Kamis, 02 September 2010

KONSEP KONSEP SUNDA KLASIK 'YANG MENCERAHKAN'

Masyarakat Sunda tempo dulu dibangun dalam konsep yang mencerahkan. Dalam peradaban sunda klasik yang telah hilang, maka kita akan menemukan suatu konsep konsep-pencerahan yang sangat menakjubkan, yang justru telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat sunda kini. 
Masyarakat kita kini telah begitu lama meninggalkan akar budaya, dan terjebak menjadi pengekor yang penurut mengikuti irama kaki-kaki didepannya. Dan anehnya peran sebagai pengekor tetap dinikmati dan dipertahankan, dan tanpa upaya-upaya untuk menjadi bangsa yang leader,....Seolah hidup dibiarkan mengalir tanpa upaya-upaya memamfaatkan potensi yang sebenarnya sangat menjanjikan.
Menjadi bangsa pengekor (bangsa buntut) mengikuti doktrin-doktrin yang sebenarnya sangat bertentangan dengan tradisi sunda, karena telah mengalami pembenaran-pembenaran manusia terjajah selama ratusan tahun. Sehingga hingga sekarangpun masyarakat kita kurang diperhatikan dalam kancah nasional maupun international, karena selalu berpegang teguh dan menikmati perannya sebagai 'pengekor' bukan sebagai leader. Padahal perannya sangat dibutuhkan, karena kalau dalam istilah 'catur' menjadi kuda hitam, bisa menjadi alternatif, karena perannya sangat dibutuhkan.
Upaya-upaya menjadi bangsa leader memang harus segera dilakukan meskipun mungkin tidak akan mendapat dukungan dari mayoritas masyarakatnya karena telah menikmati perannya. Dan salah satu upaya dari membangkitkan sunda masa depan yang cerah adalah mencoba mengungkap kembali konsep-konsep pencerahan yang terdapat dalam peradaban klasik, baik dari kosa kata atau dari sejarah.


A. Dari Asal-Usul Penamaan Tempat, Ibukota kerajaan dan nama kerajaan
1.Sunda
Sunda berarti suci, murni atau puritan. Dalam sejarah nama sunda pertama kali diproklamirkan atau diperkenalkan oleh Maharaja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanagara, untuk menamai nama ibukotanya yang baru, Sundapura, yang berarti kota suci (pura yang suci).
Jadi dengan menamai Sunda untuk ibukotanya ini, mungkin purnawarman, ingin membuat identifikasi yang jelas dan tegas tentang orientasinya ke depan, yaitu kesucian, kemurnian atau puritan, atau bisa juga diartikan sebagai golongan putih. Bagaimanapun penamaan mencerminkan suatu idealisme seseorang. Purnawarman adalah seorang maharaja besar, yang banyak membangun pusat-pusat peradaban, membangun sarana-sarana infrastruktur seperti jalan atau waktu itu sungai merupakan saranan lalulintas yang efektif. Maka ia membangun terusan-terusan, irigasi dan lain sebagainya dalam rangka memakmurkan bangsanya, dan itu tercatat dalam sejarah.
Sunda, berarti suci, putih, murni atau puritan merupakan corak yang dicita-citakan Purnawarman. Jadi kemurnian , kesucian atau puritanisme adalah cita-cita yang hendak dibangun oleh pendirinya.

2. Galuh
Ketika Wretikandayun menjadi pewaris tahta kerajaan Kendan, yang merupakan  negara bagian Tarumanagara, maka ia kemudian membangun sebuah ibukota baru yang akan menjadi pusat pemerintahan, Sang Wretikandayun manamainya dengan nama Galuh. Galuh adalah suatu kata yang berarti permata. Jadi disini Wretikandayun sang pendiri galuh, adalah seorang idealis. Dengan menamainya Galuh mengindikasikan tentang cita-citanya yang luhur yaitu membangun permata, permata kehidupan, permata dunia, sehingga orang selalu akan mengaguminya, atau membangun permata peradaban sehingga akan selalu dikenang oleh generasi berikutnya, karena dia telah meletakan kerangka yang baik, yaitu permata (galuh).
Karena itu tokoh-tokoh Galuh tempo dulu merupakan permata-permata seorang ksatria sunda, seperti Ciung Wanara, Aki Balangantrang, merupakan percik-percik sejarah sunda yang penuh dengan pelajaran tentang ksatria, dan strategi disamping tetap menjunjung tinggi persaudaraan. Tidak hanya itu, cerita Lutung Kasarung juga berlatar sejarah Galuh.

3. PakuanPakuan  berasal dari kata Paku, yang berarti kokoh, berdiri kokoh, anceug, teguh, dan arti yang lain yang berhubungan dengan kekuatan dan keteguhan. Pakuan adalah nama Ibukota kerajaan Sunda, yang sering disambung  dengan nama Pajajaran (karena berjajar). Jika paku berjajar maka akan menjadi kekuatan yang amat kokoh. Nama yang sepadan dengan paku sering juga digunakan sebagai nama raja-raja sunda, seperti Prabu Susuk tunggal. Nama susuk tunggal fungsinya sama dengan paku. Hal ini mengindikasikan bahwa pendiri ibukota Sunda,, adalah seorang idealis yang menginginkan keteguhan dalam prinsip. Sehingga dalam sejarah, kerajaan Sunda adalah kerajaan yang paling teguh dan paling lama berkuasa di tanah jawa, dengan sistem yang paling baik.


4. Sumedang
Sumedang berasal dari kata 'insun medal insun madangan' (saya dilahirkan saya menerangi), merupakan ungkapan yang sangat mencerahkan, yang dilontarkan oleh Prabu Tajimalela, ketika dia selesai bertapa. Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Aji Putih. Prabu Tajimalela ini dianggap sebagai pendiri kerajaan Sumedang Larang yang sebenarnyya.
Pada awalnya Prabu Aji Putih mendapat restu dari Prabu Suryadewata untuk membangun suatu kerajaan keagamaan (kabuyutan) yang ia namai dengan nama Tembong Ageung (kelihatan besar). Prabu Aji Putih merupakan seorang idealis yang menginginkan generasi penerusnya akan menampakan diri menjadi bangsa yang besar, sehingga ia namai tembong ageung (kelihatan besar).
Dan ketika Prabu tajimalela berkuasa, setelah ia kembali dari pertapaanya, dan ia berkata 'insun medal insun madangan' , maka setelah itu nama kerajaan tembong ageung menjadi sumedang larang yang berasal dari "inSUN MEdal insun maDANGan' (saya dilahirkan saya menerangi) yang berarti pula 'saya dilahirkan saya mencerahkan'.
Dengan demikian Prabu Tajimalela lebih ingiin mengokohkan peranannya dalam kehidupan,(eksistensi sunda dalam kehidupan) bahwa kita dilahirkan mempunyai suatu tugas yang sangat mulia yang itu menerangi atau mencerahkan manusia. Mencerahkan berarti menjadikan agar orang lain itu menjadi manusia2 yang cerdas dan pinter, sehingga dengan kecerdasannya maka akan diraih suatu kemakmuran dan kesejahteraan. Pencerahan juga berarti, jangan membiarkan orang lain hidup dalam kebodohan, hidup dalam kezumudan. Karena kebodohan adalah sumber utama dari segala malapetaka dan kemiskinan.. Ada idiom, orang bodoh pasti miskin....


5. Dan lain-lain


B. Dari Kosa Kata
1. Rancage
Dulu orang tua sering mengajari bahwa hidup itu harus rancage. Yang menjadi pertanyaan adalah apa arti 'rancage' itu, sehingga tokoh besar sunda, Ayip Rosidi, menamai piagam atau penghargaan yang bernama "Rancage" bagi orang yang berprestasi dalam hal kebudayaan.
Rancage adalah kosa kata Sunda yang sangat dinamis, yang berarti menuju ke tingkatan yang lebih tinggi (lebih baik). Seperti kita ketahui, dalam proses perjalanan manusia, ada tahapan untuk bisa berdiri tegak, jalan dan lari. Untuk bisa berjalan dikala kecil harus diajari berjalan selangkah demi selangkah, kemudian nantinya bisa berjalan sendiri dan kemudian lari. Contoh lain adalah dalam pencapaian ilmu, untuk menuju ke tahapan yang lebih tinggi, kita harus mengalami tahapan-tahapan pendidikan, dari SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi.
Dengan demikian arti rancage disini berarti suatu proses atau tahapan atau upaya-upaya menjadi manusia yang lebih baik, (derajat lebih tinggi) dalam semua aspek kehidupan. Rancage adalah konsep otimistis dan konsep dinamisasi manusia sunda bahwa kita menjalani hidup harus tetap berproses secara bertahap menuju yang lebih baik.


C. Dari Peribahasa
1. "Lamun hayang ngakeul kudu ngakal"
Dalam konsep Sunda untuk mendapatkan nafkah tidak langsung berkata harus kerja, tapi harus ngakal, yang berarti harus menggunakan akal. Suatu konsep yang intinya bahwa dalam mencari  nafkah harus menggunakan ilmu pengetahuan.
Kerja biasanya diidentikan dengan hanya penggunaan otot  atau fisik. Jadi nenek moyang Sunda tempo dulu mengajarkan kepada generasi sesudahanya agar dalam mencari nafkah itu harus mengedepankan ilmu pengetahuan.
'Lamun hayang ngakeul kudu ngakal" artinya kalau mau 'ngakeul' harus menggunakan akal". Ngakeul adalah proses pasca penanakan nasi yang akan disajikan. Orang sunda tempo dulu (dan hingga kini dikampung) ketika nasi telah selesai ditanak, dan akan disajikan, harus mengalami suatu proses yang disebut ngakeul, yaitu nasi yang sudah mateng dari dandangan diolah supaya 'pulen' dengan menghilangkan unsur-unsur asap dalam nasi, yaitu dimasukan pada suatu tempat yang disebut dulang, dan diaduk-aduk dan dikipasi dengan kipas yang dinamai hihid. Jadi ngakeul adalah proses panca penanakan dan pengolahan nasi agar 'pulen' dalam penghidangan.
Sedang ngakal adalah penggunaan akal. Jadi sebenarnya konsep mencari nafkah yang ingin diajarkan oleh nenek moyang sunda sangatlah ideal, gunakan akalmu. Karena dengan akal banyak sekali cara yang bisa dilakukan, tidak hanya menggunakan otot saja, tetapi melalui metode atau tekhnik yang benar. Buah akal adalah pikiran dan strategi. Dengan menggunakan pikiran dan strategi maka akan mudahlah mencari nafkah.
Nah inilah sebenarnya yang banyak ditinggalkan oleh orang sunda kini. Penjajahan yang lama membuat semua potensi akal tertutupi bahkan ditutupi. Ketakutan yang berlebihan membuat manusia-manusia sunda kurang kreatif. Padahal nenek moyang sunda mengajarkan sangat ideal bagi pencapaian derajat manusia yang sangat mumpuni, tapi sekarang banyak ditinggalkan, karena mencari nafkah cenderung hanya menggunakan otot, dan kebiasaan turun temurun bangsa terjajah, taklid, jumud dan tidak kreatif.
Jadi intinya, nenek moyang sunda tempo dulu menginginkan generasi berikutnya menjadi manusia-manusia profesional, yang menggunakan akalnya. Profesi itu banyak sekali, bisa sebagai pengajar, bisa sebagai penulis buku, bisa sebagai penyair atau pengarang, tani, dipabrik-pabrik dan lain-lain.
Jadi sangat sayang dan mungkin sangat kita kasihani jika banyak orang sunda yang mempunyai profesi sebagai buruh kasar, dengan gaji tidak seberapa, dan hak-haknya juga biasanya jarang diperhatikan baik oleh pemerintah maupun pengusaha karena memang mereka lemah dan tidak berdaya. Harusnya hal demikian bagi manusia sunda itu tidak diharapkan oleh para pendirinya, karena sunda sendiri merupakan daerah parahiyangan, yang merupakan turunan-turunan rahiyang. Bukan berarti menjadi buruh tidak boleh, tapi kita harus kasihan,....dan ini merupakan tugas dari para pemimpinnya, meskipun hal yang demikian sangat sulit, dan yang paling mungkin adalah merevolusi diri, jangan biarkan diri berada dalam kebodohan dan selalu mempertahankan kebodohan, konon orang bodaoh itu lebih sombong karena ketidaktahuannya. Karena kebodohan merupakan sumber malapetaka awal manusia. Orang bodoh itu pasti miskin, dan orang miskin belum tentu bodoh.
Perbanyak membaca, perbanyak membaca, cari tahu yang tidak tahu, dan cara-cara lain agar kita meningkat pengetahuannya. Karena dengan pengetahuan adalah kesempatan, kesempatan awal untuk memulai menjadi manusia kompetitor, yang siap memenangkan persaingan. Meskipun persaingan bukan tujuan, tapi di dunia ini akan selalu bersaing, dan dengan pengetahuan kita akan selalu siap bersaing.

Perbedaan Konsep akal Sunda dan konsep akal Jawa
Judul ini bukan untuk menjelekkan salah satu dari keduanya, tetapi ini merupakan awal dari suatu langkah untuk mencari konsep yang mandiri (independen) dan tidak hanya menjadi bangsa pengekor. Konsep akal dalam tradisi jawa telah mengalami penegatifan konsep akal (konsep akal sudah dinegatifkan artinya. Hal ini bisa diungkapkan dalam kata 'ngakali' adalah suatu ungkapan atau kata yang menunjukan cara-cara yang negatif. Ngakali adalah suatu perbuatan atau cara untuk hal-hal yang berbau negatif, seperti mencelakan orang dan lain sebagainya. Jadi konsep akal dalam tradisi jawa telah mengalami penegatifan makna. Hal ini berbeda dengan konsep sunda yang memang  menyuruh kita menggunakan akal.
Tidak hanya akal, kata 'pinter' pun mempunyai pengertian yang berbeda. Dalam konsep jawa yang disebut orang pinter adalah dukun, atau paranormal, atau orang dianggap mempunyai pengetahuan tanpa belajar. Hal ini berbeda dengan konsep sunda tentang orang pinter. Yang disebut pinter dalam tradisi sunda adalah orang yang pinter secara akademik, untuk dukun tetap disebut dukun.
Dari keterangan diatas sebenarnya cukup mewakili, bahwa manusia harusnya menggunakan penggunaan akal yang maksimal. Karena itu sudah saatnya kita memulai membangun lagi tradisi sunda yang orsinil yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan penggunaan akal yang maksimal.
Dan sudah saatnya kita melepaskan budaya menjadi bangsa pengekor, dan meninggalkan cara-cara bangsa terjajah, yang menjunjung tinggi kemalasan dan sangat jarang menggunakan akalnya.


(lanjut.......)