Rabu, 02 November 2011

Perbincangan Dengan Siabah 3: PERPUSTAKAAN


Jika sudah kenal memang sangat nyaman kalau berkomunikasi, seolah tiada penghalang untuk mengungkapkan berbagai pikiran dan pemikiran satu sama lain. Saya dengan siabah menandai masa itu, masa sudah kenal dan saling mempercayai serta memahami. Sehingga pemikiran siabah dengan derasnya keluar dari mulutnya melalui suatu ungkapan-ungkapan yang sangat bermakna.
Setelah tema pertama membuat sungai sungai kecil dihulu sungai peradaban. Yang kedua tentang belajar dari bangsa bangsa besar. Dari kedua judul itu isinya menekankan tentang begitu pentingnya membaca, yang merupakan salah satu bentuk atau aktifitas tarnsformasi dari bahasa lisan ke bahasa tulisan. Dan  setelah itu adalah pembukuan. Siabah sangat bersemangat ketika berbicara tentang masalah pembukuan ini, dan ujung dari pembicaraan mengenai perpustakaan. Siabah sangat prihatin tentang perpustakaan ini. Di Negara ini perpustakaan hanyalah sebagai pelengkap penderita, bukan sesuatu yang amaat penting dalam berbagai institusi. Mungkin hanya universitas-universitas favoritlah perpustakaan mendapat perhatian khusus. Selain itu mungkin belum ada yang serius menanganinya atau hanya apa adanya.
Si abah berbicara: “Ada suatu ungkapan, jika mau melihat atau menilai intelektual seseorang adalah dengan melihat buku bacaannya”. Dan siabah meneruskan pembicaraannya:” Jika mau menilai intelektualitas sekolah atau perguruan tinggi maka lihatlah yang perpustakaanya. Perpustakaan adalah kumpulan buku-buku. Seolah memang benda mati karena hanya kumpulan buku-buku. Padahal perpustakaan mencerminkan hidupnya pemikiran suatu lembaga pendidikan atau suatu daerah. Jika perpustakaan suatu sekolah bukunya sedikit, tidak terurus dan banyak yang tua dan tidak berkualitas. Maka hal tersebut mencerminkan intelektual isi sekolah tersebut, baik guru, kepala sekolah maupun siswanya. Demikian juga suatu universitas, kota atau daerah, atau masjid bahkan Negara”.
Perpustakaan yang hebat di negeri ini mungkin baru di universitas ternama saja, sperti ITB, UI dan lainnya. Jadi perpustakaan baru milik lembaga pendidikan yang mungkin agak lengkap. Tetapi itu belum mencerminkan mayoritas anak bangsa. Perpustakaan belum menjadi gerakan universal, terutama dilembaga-lembaga pendidikan islam atau di masjid masjid. Seperti yang kita ketahui Masjid dalam tradisi islam awal adalah pusat ilmu pengetahuan. Tempat dimana tempat mencari ilmu dan tempat mencari solusi permasalahan .
Siabah pernah berkeliling ke kota-kota besar, jangankan masjid di desa-desa, perpustkaan di Masjid istiqlal hanyalah menempati ruangan bawah masjid yang sepi pengunjung. Siabah dulu termasuk yang aktif membaca di perpustaakaan masjid istiqlal. Disamping tempatnya kurang menarik, seolah kurang promosi dan apa adanya. Padahal itu di masjid terbesar di indonesia. Demikian juga di Masjid agung bandung, Masjid al akbar Surabaya, bahkan islamic centr termegah di Samarinda juga sangat jarang bukunya.
Jadi hal ini mengindikasikan tentang minimnya pengetahuan kita terhadap peradaban Islam. Seolah hal ini dibiarkan bertahun-tahun dan menjadi suatu kebiasaan yang terus dipertahankan. Perpustkaaan / kumpulan buku buku koleksi seolah benda mati yang tidak mencerminkan intelektualitas pengurusnya. Padahal perpustkaaan mencerminkan hidupnya intelektualitas dari komunitasnya. Jadi seolah peran kita hanya dinilai oleh diri kita sendiri, dinilai oleh kebiasaan-kebiasaan yang stagnan, karena secara ekonomi kita diuntungkan. Padahal ini merupakan peluang dan kesempatan untuk memakmurkan masjidnya. Tanpa buku atau saarana intelektual lainnya, masjid nantinya hanya akan menjadi tempat berkumpulnya kaum tua yang hanya untuk kegiatan-kegaiatan seremonial. Seolah masjid sebagai tempat dimana menjadi sumber inspirasi sudah banyak ditinggalkan.


(Pemikiran Pemikiran Siabah: Hasil Suatu Diskusi, by: Adeng Lukmantara)

Pertemuan Dengan Siabah 4: LEMBAGA PENDIDIKAN ALTERNATIF BERKONSEP PERADABAN.


Pembicaraan dengan siabah menginjak kepada tema-tema yang variatif. Setidaknya banyak pemikiran-pemikiran yang agak berbeda yang mungkin kata siabah akan banyak menyinggung perasaan sebagaian orang di negeri ini. Tapi menurut siabah hal itu bukan maksud menyinggungnya tetapi upaya-upaya mengungkap konsep ideal yang kadang harus bertentangan dengan realitas manusia yang sangat subyektif dalam cara berpikir dan cara bertindak.

Setelah tentang transformasi dari bahasa lisan ke bahasa tulisan yang merupakan awal dari revolusi menuju masyarakat berkonsep peradaban, dan tema-tema pendukungnya, terutama tentang pentingnya umat islam memulai mentradisikan menulis, dan mengumpulkan hasil karya tulisan umat manusia dalam upaya cara berpikir agar selalu tidak memulai dari nol. Dan selanjutnya adalah tentang perlunya membangun lembaga pendidikan berkonsep masa depan (berkonsep peradaban).

Menurut siabah pada hakekatnya lembaga pendidikan yang diperlukan bangsa ini adalah suatu lembaga yang dapat mencetak  kader-kader berikutnya bisa membusungkan dadanya, atau menepuk dadanya dihadapan bangsa lain. Disini bukan berarti sombong tetapi bentuk suatu kebanggaan diri karena keunggulan-keunggulan yang dimiliki. Jadi lembaga pendidikan pada hakekatnya adalah lembaga pengkaderan generasi unggul.
Kaum pembaharu pendidikan islam  belakangan ini mendefinisikan generasi unggul itu dengan mengutip apa yang diungkapkan dalam suatu ayat alqur’an, yaitu suatu generasi yang mempunyai kekuatan fisik dan juga kekuatan ilmu (basthatan fil jasad wal ilmi’). Sehingga kemudian bisa menepuk dadanya sendiri, yang dapat mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Bukan karena factor-faktor yang subyektif seperti keluarga atau kekayaan.

Siabah agak mengkritik tentang model pendidikan seperti sekolah umum. Menurutnya model ini belum banyaak memberikan lompatan-lompatan ke depan secara signifikan. Karena banyak dikonsep secara mengambang. Belum bisa  mencetak manusia unggul, seolah masih mengambang, dan fondasi yang dibangun juga belum kokoh, baik dari intelektual maupun dari segi spiritual. Hal ini karena belum menjadi gerakan atau hasil yang menyeluruh.

Sekolah di negeri ini menurut siabah kebanyakan hanya untuk status local saja, belum menjadi fundamen pendorong bagi intelektualitas selanjutnya. Karena orientasi pemikirannya juga kurang berfokus. Pendidikan kebanyakan baru mencari status, dan mencari ilmu bukan menjadi tujuaan utama. Karena itu ketika slesai pendidikan, bukan menjadi awal cara berpikir tetapi lebih menekankan kepada  akhir dari belajar/ berpikir. Sebagai contoh, ketika seseorang  lulus dari sarjana  (S1), maka sarjana itu merupakan akhir dari suatu tujuan, bukan awal dari cara berpikir. Jadi banyak dari sarjana kita yang cara berpikirnya tidak seperti seorang sarjana. Jadi gelar baru menjadi keberuntungan, karena mungkin secara ekonomi lebih mampu dari tetangga yang lainnya. Tentu hal ini tidak semua seperti itu, tetapi jumlah yang demikian tentu sangatlah sedikit, sehingga belum menjadi suatu gerakan yang revolusioner untuk mengubah bangsa ini.

 Tidak hanya itu, siabah juga agak mengkritik institusi pendidikan tradisional negeri ini seperti: pesantren. Menurut siabah hingga kini pesantren kebanyakan masih bukan “islam” sebagai ide, sebagai cita-cita, tetapi baru upaya mempertahankan tradisi local, yaitu tradisi local turun temurun dari nenek moyang ke nenek moyang  hingga kita dan  selanjutnya. Seolah tidak ada kritik adanya. Jadi pesantren yang dianggap sebagai refresentasi sekolah islam, harusnya dapat menjadi alternative, malah menjadi daripada, daripada tidak sekolah, karena ekonomi yang sulit. Daripada tidak sekolah karena tidak diterima oleh sekolah umum mendingan masuk pesantren. Jadi hingga kini pesantrenpun belum bisa dijadikan alternative, karena institusi ini belum menghasilkan lompatan-lompatan besar dalam berpikir.

Meskipun sudah mulai banyak yang melakukan perubahan-perubahan, tetapi tetap masih belum bisa menjadi alternative atau setidaknya masih belum ada lompatan-lompatan besar dari hasil karya lulusannya.
Mengapa hal ini bisa terjadi, karena kita belum menggali budaya kita secara mendalam. Kebanyakan budaya bangsa disetting ketika negeri ini terbentuk. Jika kita baru merdeka tahun 1945 berarti budaya bangsa kita juga baru terbentuk setelah itu. Dan sebelum tahun itu negeri ini dikenal sebagai negeri Hindia belanda, yang konon berkuasa di Indonesia hampir 350 tahun.  Suatu waktu yang cukup untuk membunuh karakter bangsa, membunuh ide-ide cemerlang bangsa, dan waktu yang cukup untuk menjadikan cara berpikir anak bangsa ini menjadi bangsa budak atau bangsa pengabdi, bangsa termarjinal dalam berbagai kebijakan politik dan ekonomi. Jadi hakekat budaya bangsa kita tidaak pernah bisa melepaskan dari budaya-budaya bangsa termarjinal. Makanya jangan heran jika banyak lulusan sekolah kita yang bekerja diinstitusi pemerintahan atau public masih banyak melanggengkaan budaya-budaya budak, seperti korupsi, kolusi dan budaya suap.

Jadi sangat sulit lulusan dari sekolah-sekolah kita itu menjadi motivator. Karena kita baru berevolusi dari bangsa pengabdi menjadi bangsa yang merdeka. Belum bisa menjadikan bangsa yang sejahtera. Jadi ternyata PR kita masih banyak.

 (Pemikiran Pemikiran Siabah: Hasil Suatu Diskusi, By Adeng Lukmantara)




Selasa, 01 November 2011

pertemuan Dengan Siabah 1: MEMBUAT SUNGAI SUNGAI KECIL PERADABAN


Dalam suatu kesempatan saya bertemu dengan seseorang yang lumayan umurnya, sekitar berumur 45 tahunan. Meskipun kelihatan berwajah biasa saja, tetapi saya tidak menyangka bahwa dia mempunyai pandangan-pandangan jauh ke depan, terutama menyangkut peradaban islam di Indonesia, solusi pemecahan kemiskinan dan membangkitkan kemandirian dan intelektualitas anak bangsa. Siabah, demikian sebutan bagi tokoh idealis ini, karena dia tidak pernah mau menyatakan nama sebenarnya, yang menurutnya biar tidak riya.
Memang kadang pandangan atau penampilan itu menipu. Jika tidak banyak waktu luang, mungkin mutiara-mutiara yang datang dari ungkapan-ungkapan tidak ada yang mengetahui. Karena dia tidak terlalu menggebu-gebu dalam mengeluarkan pendapatnya. Seolah dia mau menilai saya, apakah akan begitu lega menerima pendapat-pendapatnya.  Di negeri ini kan begitu kuat membentengi diri dengan sekat-sekat kebodohan diri, memproteksi diri dengan doktrin-doktrin yang sempit, sehingga menurutnya meskipun yang diungkapkan merupakan kebenaran-kebenaran yang sebenarnya, kadang ditolak atau dicurigai dengan wasangka yang kadang mengerikan.

Jadi siabah seolah ingin menilai pada diri saya, apakah layak mendapatkan ungkapaan mutiaara-mutiara yang berharga ini. Dan alhamdulillah sekat-sekat ini dapat dengan mudah dihilangkan, karena sikap saya  yang cenderung terbuka, dan membuang sekat-sekat kebodohan yang memenang cenderung menutup diri kita dari kemajuan.

    Dari ungkapn-ungkapannya, sosok siabah meskipun sangat idealis, tetapi dia sangat realistis. Baginya  kebutuhan diri dan keluarga harus diutamakan daripada idealime itu sendiri. Tetapi idelaisme katanya harus tetap dijaga, jangan sampai mati karena kebutuhan hidup yang kadang sangat mengikat dan kadang diluar jangkauan.
Menyangkut tentang peradaban Islam di Indonesia, katanya  mengutip pendapat dari Nurcholis Majid, katanya baru tahap embrio. Meskipun Islam telah masuk ratusan tahun di negeri ini, tapi baru menyangkut tingkat dasar manusia. Baru memikirkan kebutuhan diri, belum melangkah ke tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu idealism membangun peradaban Islam di negeri ini. Jika dibandingkan dengan negeri tetangga, Malayasia, mungkin kita masih tertinggal. Meskipun paling maju di bandingkan Negara asia tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Negara ini masih mempertahankan idealismenya, jati dirinya yaitu Islam.

Tapi siabah tidak pernah mau menyalahkan siapa siapa katanya, karena hal itu diakibatkan oleh ketidaktahuan kita atau wacana yang sangat kurang, disamping kurang percaya diri dari kita sendiri.

 Membicarakan tentang peradaban, hal ini sangat menarik. “ Jika di andaikan sungai” kata siabah sambil diam sejenak. Dan ia meneruskan lagi:” Jika peradaban itu diandaikan sbagai sebuah sungai. Maka sungai itu akan besar jika banyak cabang skecil ungai-sungai kecil di hulunya. Semakin banyak sungai kecil, maka sungai itu akan menjadi sangat besar. Seperti sungai amazone atau sungai nil, sangat tergantung cabang-cabang sungai kecil di hulunya”. Demikian juga peradaban maka peradaban Islam di indoonesia akan menjadi besar, jika banyak cabang sungai kecil dihulunya. Semakin banyak cabaang kecil dihulu maka akan semakin besar hasil suatu peradaban.

Peradaban itu menurut siabah adalah menyangkut dominasi. Dominasi itu menyangkut idelisme dan tindakan atau hasil karya. “Nah kita ini selama ini baru pada tahap kebutuhan perut, dan jika menyangkut agamapun baru tingkat paling dasar, dan cenderung itu-itu saja, dan diulang-ulang, karena kita dari dulu hingga kini hanya mengembangkan budaya lisan, belum pada tahap hasil karya berupa tulisan. Karena kalau berupa tulisan maka kita akan melihat tingkatan pemikiran.”
“oh iya” kata si abah diam sjenak. Dan ia berkata lagi “Jika belajar pada peradaban Islam tempo dulu yang sangat kaya, maka kita akan melihat begitu dominannya pemikiran dalam bentuk karya tulisan”. Semakin banyak karya tulis yang dibuat maka ulama itu akan sangat terkenal dan dihormati. Nah hal ini berbeda dengan bangsa kita. Ulama yang terkenal adalah ulama yang tampil di TV dengan ceramah yang itu-itu saja, dan diulang-ulang.” Dan hal ini jika menjadi tren dari masa ke masa, maka selmanya bangsa ini akan terjerembab ke kedaan selalu berangkat dari nol dan dari nol.tidak pernah beranjak ke tingkat yang lebih tinggi lagi, karena semua ucapan tidak tercatat sehingga tidak pernah tahu sampai tingkatan apa kita menaiki tangga peradaban.

Menurut siabah, jika tingkatan peradaban itu diibaratkan naik tangga, maka kita harus mengetahui sampai mana tingkatan itu kita taiki. Kalau hanya bahasa lisan, kita sulit untuk menentukan sampai tangga dimana kita naik. Atau mungkin hanya tetap disana saja, belum pernah naik naik.

Dan menurut siabah juga seperti halnya peradaban barat, peradaban islam klasik (peradban islam tempo dulu) mengalami peningkatan ketika ada transformasi dari bahasa lisan ke bahasa tulisan. Hal ini dimulai oleh Nabi Muhammad SAW. Dan wahyu pertama juga memperjelas tentang itu.  Ayat pertama dari Surat pertaama yang menyuruh membaca (iqro) menandai hal itu.  Jadi bukan menyuruh mendengar. Karena prosses mendengar cenderung statis, sedang membaca selalu ada proses yang berkelanjutan. Membaca itu khan harus ada yang dibaca, berarti juga harus ada buku. Dan proses itu berlanjut, berarti harus ada yang menulis buku. Nah hal ini juga berarti harus ada yang membuat atau mencetak buku. Untuk membuat buku harus ada kertas, harus ada mesin cetak, harus ada tinta dan seterusnya, hingga harus ada perpustakaan dan penjual buku. Jadi proses membaca disamping prosesnya sangat panjang. Hal ini juga berarti lapangan kerja yang begitu banyak dibelakangnya.
Jadi proses membaca disamping akan membuat revolusi pemikiraan yang dasyat, juga akan mengembangkan potensi ekonomi yang luar biasa. Yang kadang diluar dugaan. Tapi jika selamanya hanya mengandalkan budaya lisan, maka disamping keilmuan yang cenderung tidak bertambah, karena yang dibahas selalu diulang-ulang, juga cenderung membodohi. Karena bahasa lisan cenderung lebih mengarah bagaimana menyenangkan pendengar, bukan mengungkap kebenaran yang sebenarnya, yang justru kadang menyakitkan.

Siabah memperjelas lagi, bahwa bahasa tulisan, disamping potensi ekonomi pemikiran dan ekonomi yang luar biasa, juga bahasa tulisan lebih mencerahkan. Karena dalam bahasa tulisan terdapat pendalaman suatu masalah atau suatu ide. Dan tingkatan daari suatu pemikiran cenderung bisa diukur, apakan tulisan itu sederhana, atau hanya menulis saja, atau justru tingkatan yang tinggi.

Jadi jika peradaban Islam di negeri ini akan maju, berarti pula haarus merubah pandangan yang revolusioner. Jangan terlalu percaya pada ungkapan kata-kata, tapi mulailah dengan banyak membaca. Bahasa lisan hanya bisa dijadikan awal dari pembahasan yang lebih mendalam, bukan dijadikan sebagai bahasa da’wah yang cenderung dipertahankan. Umat harus dibawa kearah yang lebih mendalam. Dan hal ini hanya akan ditemui dibuku-buku.
Menurut siabah sebenarnya sangat gampang untuk menilai peradaban suatu bangsa. “lihatlah perpustakaannya.”. Atau kalau mau menilai sekolah atau perguruan tinggi apakah intelek atau tidaknya, maka lihatlah perputastakaannya. Termasuk menilai tentang intelektual seseorang,”Lihatlah rumahnya, apakah banyak buku ataau tidak. Karena buku itu cerminan  intelektual seseorang. Semakin banyak buku, berarti orang itu senang membaca, berarti pula intelektualnya tinggi juga.

Jadi menurut siabah merujuk pada ungkapan nurcholish majid itu bahwa peradaban umat islam bangsa ini baru tahap embrio, mungkin tidak terlalu salah. Karena karya intelektual masih bisa dihitung jari. Dibandingkan dengan jumlah penduduk yang 200 juta lebih. Jika di Indonesia ada 100ribu doctor, dan rata-rata membuat 3 buah karya. Maka 300ribu karya. Dan itupun yang bisa dibaca oleh masyarakat umum, mungkin hanya 1 persen, berarti hanya 3000 judul buku. Itupun mungkin terkendala oleh susahnya penerbitan. Tapi dibandingkan dengan jumlah warga Negara yang 200 juta orang, maka sungguh sangatjauh dari tingkat ideal.

Tidak hanya itu, menurut siabah, jika dibandingkan dengan hasil peradaban hindu budha di negeri ini, sungguh jauh. Apa yang dibanggakan dari hasil karya kita. Pusat-pusat pemerintahanpun merupakan karya-karya penjajah, bukan karya kita sendiri. Istana Negara bangsa ini yang didiami presiden yang  dibanggakan juga merupakan karya dari bangsa penjajah, gedung sate di kota bandung yang terkenal sebagai pusat pemerintahan jawa baratpun merupakan hasil karya penjajah. Dan hampir semua pemerintahan di propinsi dan kota-kota di negeri ini juga merupakan hasil karya penjajah. Jadi kapan kita bisa menepuk dada kita.

Dan sebagai suatu ungkapan terakhir dari perbincangan itu siabah berpesan agar kita memulai membangun cabang sungai-sungai kecil dihulu peradaban. Dan kita harus merupakan bagian dari pembangun peradaban islam di negeri ini. Dan menjadi bagian dari perubah budaya dari budaya lisan menjadi budaya tulisan. Dan siabah juga memulai hal ini dengan menulis, merangkum dan meringkas tokoh dan intelektual peradaban islam dari dulu hingga kini.

  Dan ketika ditanya tentang hasil karyanya yang tebal, lebih dari 1500 halaman. Itu baru satu judul, belum judul yang lain. “Untuk apa  bah, hasil karya itu ditulis kalau tidak diterbitkan?. Siabah yah enteng saja menjawabnya: “Mudah mudahan menjadi bagian dari cabang kecil dari sungai peradaban islam bangsa ini.”

(Pemikiran Pemikiran Siabah : Hasil Suatu Diskusi,
By: Adeng Lukamntara)

Pertemuan Dengan Siabah 2: BELAJAR PADA BANGSA BANGSA BESAR


Ketika berkunjung ke rumah siabah, saya menyaksikan buku tebal yang katanya merupakan hasil karyanya selama berrtahun tahun.  Siabah katanya telah membaca ratusan buku hanya untuk diambil ringkasan dari riwayat para tokoh.  Buku ini katanya diawali dengan tulisan tangan, kemudian di tik pakai mesin tik, karena computer waktu itu belum seperti sekarang, katanya. Kemudian ketika era computer mulai booming, maka siabaah mencoba mem-file-kannya ke dalam computer. Dan sekarang di era internet, maka siabah mencoba tulisannya tempo dulu dilengkapi oleh foto-foto di internet, dan data-data yang kurang mulai ditambah diambil dari internet.

Konon katanya, sebelum booming era internet seperti sekarang ini, buku ini pernah ditawarkan di penerbitan Surabaya, penerbitan di Jakarta dan penerbitan di Bandung. Di Surabaya (di penerbitan bina ilmu) katanya bukunya itu pernah menginap selama sebulan, penerbitan Jakarta (di pusaka alkautsar) juga pernah menginap sebulan, demikian juga di bandung ( Remaja rosdakarya) juga pernah menginap sebulan. Tapi semuanya di tolak, yah mungkin karena datanya kurang atau karena terlalu tebal dan tidak pasar oriented. Tetapi rupanya siabah tidak pernah putus asa.

Tadinya karyanya ini bukan untuk dijual atau dipasarkan, tetapi sebagai refleksi dari hobbi dan siapa tahu kalau sudah punya rizki akan dia terbitkan sendiri, yah minimal untuk konsumsi anak dan cucu. Siapa tahu generasi berikutnya bisa tidaknyamengebangkan pemikiran yang begitu beragam. Setidaknya anak cucu siabah tidak haarus menaiki tangga peradaban dari nol terus, minimal dia bisa memulainya dri taangga 1 atau tangga 2 peradaban. Siabah mencoba menawarkan tulisannya ini katanya hanya didesak oleh rekan-reakannya, untuk apa menulis buku kalau tidak pernah diterbitkan. “Yah untuk menyenangkan rekan-rekan, karena seolah dia mewakili pasar ‘mungkin’ begitu pentingnya tulisan ini.”
Rasa optimistis merupakan bagian dari prinsip hidup dari siabah.Menurutnya meskipun kebutuhan diri terus mengejaar seolah tanpa henti, jangan tinggalkan idealismemu mati, tetapi tetap harus dijaga walau sedikit. Karena kadang idealism mati dengan timbulnya kebutuhan yang sangat mendesak atau kebutuhan yang terus menerus mengejar seolah tiada henti.

Menurut siabah, nanti umat islaam Indonesia akan mengalami kejenuhan terhadap model da’wah yang dikembangkan sekarang ini. Menurut siabah nanti padaa generasi mendatang akan muncul suatu generasi yang merindukan peradaban Islam yang sebenarnya. Mereka bosan terhadap upacara-upacara yang tiada contoh dari Rasulullah.Mereka akan bosan terhadap model ceramah-ceramah yang dikembangkan sekarang ini. Mereka akan merindukan bacaan-bacaan yang mencerahkan, yang membangkitkan dirinya untuk bisa menepuk dadanya sendiri.

Menurut siabah juga katanya umat islam sekarang ini telah mengalami kebingunagn ideantitas. Dimana mereka mencoba menawarkan berbagai alternative dan percobaan yang kadang justru membuat bingung sendiri.  Karena menurut siabah konsep dewasa ini masih dikembangkan baru bentuk parsal dari peradaban. Sedang kaum tradisi masih terjebak pada model-model yang jumud dan stagnan. Dan tidak pernah beraani merevisi tradisi yang hanya itu itusaja yang diucapkan. Umat belum pernah melangkah ke tahapan berikutnya, yaitu membicarakan peradaban.
Jika peradaban suatu bangsa ingin besar, maka mereka harus belajar kepada bangsa-bangsa besar yang telah mengalaminya. Eropa sekarang ini menguasai peradaban karena mereka  mulai bisa berkomunikasi dengan peradaban besar sebelumnya, dan mencoba menghilangkan sekat dominasi lawaannya.  Bangsa eropa mulai besar ketika ia mulai mengungkapkan pemikiran-pemikiran besar  dari bangsa tradisionalnya, yaitu peradaban Yunani.  Dan peradaban islam sebagai jembatannya dicoba dihilangkan perannya

Menurut siabah, kita bukan ingin  mengikuti peradaban barat yang sekarang ini mendominasi, dalam arti yang membabi buta. Tetapi yang kita harus akui  adalah proses yang hampir sama, adalah langkahnya terutama masalah transisi tradisi lisan kepada tradisi tulisan. Eropa mengalami pencerahan yang sangat mengagumkan karena ia bisa melewati transisi ini. Tradisi tulisan merupakan langkah awal revolusioner menuju suatu kemajuan yang sangat mengagumkan. Dan tidak adaa bangsa besar hanya mengandalkan bahasa lisan yang cenderung mengulang-ulang.
Menurut siabah Peradaban identik dengan dominasi segala aspek kehidupan. Bangsa yang memimpin peradaban selalu dijadikan contoh dan juga rujukan dalam berbagai hal, termasuk bernegara, politik, ekonomi, hingga mode atau style. Dan bangsa terbelakang akan selalu mengekor di belakangnya, dan akan selalu bangga mengkampanyekan apa apa yang datang dari mereka.
Sebagai bagian dari bangsa dibelakang atau bangsa yang tidak dominan seolah kita tidak pernah akaan bisa mengalahkan dominasi yang begitu menggurita. Hampir semua aspek kita kalah semua, baik politik, ekonomi apalgi tekhnologi. Jangankan kita bisa mendominasi, mengikutipun seolah kita harus tergopoh-gopoh. Karena berbagai kekurangan yang begitu menganga. Banyak orang yang seolah=olah optimispun, tapi hatinya selalu berbicara sinis.

Memang didunia ini tidak ada yang tidak mungkin, suatu ungkapan yang kadang amat gampang diungkapkan, tapi realitasnya kadang justru tidak mungkin. Karena upaya upayaa untuk itu seolah tidak pernah ada. Jika adapun seolah dibuat secara evolusioner, Padahal masyarakat dominan sendiri selalu berlari didepan kita.Melepaskan diri dari dominasi suatu hal yang tidak mungkin terjadi, karena konsep untuk itu kita justru belum punya. Dan menghilangkan dominasipun akan menjadi kurang produktif atau bahkan tidak produktif sama sekali.

 Menurut siabah  kita wajib mempelajari peadaban dewasa ini, sambil mencari peluang kemungkinan bisa mendominasi peradaban. Tetapi kita jangan terjebak seperti orang yang mengambang yang tidak pernah bisa ke atas dan tidak pernah bisa ke bawah.  Kita berkewajiban mengungkap hasil peradaban kita tempo dulu agar kita bisa bertumpu pada kaki sendiri. Yang nantinya anak cucu kita akan bisa menepuk dadanya sendiri. Menepuk dengan bangganya.

Menurut siabah kita harus mengikuti bangsa barat dalam metodenya bisa berkomunikasi dengan kebesaran pemikiran masa lampaunya, yaitu peradaban Yunani. Nah umat islam juga harus mengikuti hal ini, kita harus bisa berkomunikasi dengan kebesaran peradaban islam tempo dulu. Yaitu dengan mengungkap seluruh pemikiran yang berkembang di masa itu. Berarti tanggung jawab generasi sekarang ini adalah memberikan jalan kepada generasi muslim masa depan untuk bisa mengkomunikasikan peradaban dewasa ini dengan peradaban islam klasik  yang kaya.

 Jadi menurut siabah, ia menulis, mengumpulkan, meringkas tokoh dan intelektual muslim dari masa ke masa adalah suatu upaya untuk itu.  Siabah tidak peduli disebut plagiat atau apapun yang bersifat negatif, karena orang lainpun belum begitu peduli terhadap hal demikian.  Jadi menurut siabah,upayanya itu mudah-mudahan menjadi pembuka jalan generasi mendatang untuk bisa berkomunikasi dengan peradaban masa lampaunya yang kaya.“Nah mengumpulkan riawyat hidup, karya-karya dan peranannya serta pemikirannya dari para pemikir muslim tempo dulu. Karena disana ada hikmah, ada pelajaran dan mungkin ada kebanggaan.”

Setelah kita mengumpulkan semua ilmuwa, karya tulis dan berbagai pemikirannya, maka mungkin generasi mendatang  harus memulai mengumpulkan atau memperbanyak (di fotocopy atau discan) semua buku peninggalan peradaban islam klasik, kemudian dibangun perpustakaan-perpustakaan. Setelah itu generasi mendatang harus mulai mencetak semua manuskrip (tulisan tangan) hasil peradaban islam tempo dulu. Setelah mencetak seluruh hasil peradaban islam klasik dan disebar  ke berbagai perpustakaan, baru menginjak proses selanjutnya, yaitu menterjemahkan  hasil peradabaan itu ke berbagai bahasa di dunia. Agar isinya diketahui oleh semua oraang.
Menurut siabaah jika proses itu bisa dilalui, maka dominaasi peradaban kemungkinan akan terbuka.  Proses tersebut diatas sangat rumit dan memerlukan dana yang sangat besar. Karena itu hingga kinipun orang banyak yang tidak pernah memulai, karena memerlukan dana yang luar biasa. Dan meskipun ada dana pun mending untuk investasi yang lain. Hanya orang=orang yang idealislah yang mungkin akan bisa merealisasikannya.

Jadi sebagai suatu kesimpulan menurut siabah, mungkin peranan yang bisa kita ambil dari berbagai hal tersebut diatas adalah bagaimana kita menjadi bagian dari pembuat cabang sungai-sungai kecil di hulu peradaban. Dan hal ini harus cepat dimulai, sehingga kita bisa menetapkan angka nol  (awal) yang menuju positif. Karena jika tidak pernah dimulai, mungkin generasi mendatang akan berangkat dari nol juga. Dan hal ini akan terus menerus dari generasi ke generasi.

(Pemikiran Pemikiran Siabah: Hasil suatu diskusi : By Adeng Lukmantara)


Filsafat Menyontek

Pertemuan yang intens dengan siabah membuat diri saya semakin mendapat pencerahan. Siabah adalah nama seseorang yang dia sendiri tidak mau disebutkan namanya, tetapi ia terkenal dengan nama siabah. Nama siabah sendiri merupakan penghormatan pada ayahnya (yang selalu dipanggil abah) yang begitu bijak dan termasuk tokoh sunda yang memang  termarjinalkan karena hegemoni perpolitikan di negeri ini yang kurang menghormati budaya  local yang kaya.

Siabah sendiri  pernah mesantren di cimahi Bandung, pernah pendidikan ikatan dinas PT, IPTN (sekarang PT. DI) di Bandung, dan pernah jadi kartawan tetap di PT tersebut. Kemudian karena kerja di kontraktor ia juga melanglang buana ke jawa timur dan Kalimantan timur. Bandung, Jakarta, Surabaya, bontang, Samarinda, Balikpapan  merupakan kota-kota yang pernah ia kunjungi, Karena ia pernah kerja atau pendidikan dikota itu.

Disamping itu siabah ini adalah penulis yang tekun. Ia menulis sejarah peradaban islam, biografi lebih dari 1500 tokoh dan intelektual muslim.   Ia banyak sekali membaca buku-buku keislaman dan ia meringkasnya menyangkut pembicaraan biografi dan pemikiranya. Karena latar belakang yang kompleks membuat siabah setidaknya  mempunyai pengetahuan yang luas menyangkut berbagai hal, sejarah keagamaan, politik, tekhnologi dan lain-lain, disamping nantinya menjadi teman diskusi yang sangat mengesankan.

Dan salah satu yang sangat mengesankan saya, adalah pembahasan tentang filsafat menyontek. Menurut siabah permasalahan menyontek anak sekolah untuk nilai ujian di bangsa ini menjadi masalah yang hampir sama dengan masalah korupsi dan kolusi pada system birokrasi kita. Gerakan menyonteks yang berlangsung tiap tahun ketika musim ujuian nasional di sekolah-sekolah untuk penilaian yang sesaat. Bagi siabah ini merupakan gerakaan yang sangat mengkhawatirkam bagi kelangsungan masa depan anak bangsa. Gerakan tersebut meupakan gerakan awal generasi korup masa depan.

Menyonteks dalam hubungan belajar mengajar, terutama dalam hubungannya  menentukan penilaian secara keseluruhan, menurut siabah adalah kesalahan yang sangat mendasar. Karena jika dibiarkan akan merusak system dan proses belajar. Jika orang sudah tidak mempercayai lagi sebuah system dan proses maka orang akan males dan skeptis. Jika sudah demikian maka segala harapan orang akan sendirinya mati. Dan jika proses demikian berlanjut maka Negara ini akan dikuasai oleh manusia-manusia rakus yang lambat laun akan menghancurkan Negara secara perlahan-lahan. Jadi inilah bahasanya jika proses contek menyontek dibiarkan dalam tataran proses belajar anak bangsa.

Siabah menambahkan lagi, menurutnya siabah itu adalah orang yang anti dalam contek menyontek. Sebagai orang yang selalu rangking satu di sekolah, dengan tidak nyontekpun selalu mempunyai nilai tertinggi di kelasnya. Jadi untuk apa nyontek.  Bagi orang pintar, bagi orang cerdas nyonteks itu adalah suatu keharaman bagi dirinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena kalau nyontek baginya tidak akan bisa menilai dirinya dengan orang lain dalam lingkungan akademik. Jadi yang dinamai test bagi orang-orang pinter dan cerdas adalah suatu keharusan dan merupakan suatu hal yang logis untuk selalu dilakukan untuk menilai seseorang dan menilai sutu proses belajar. Karena tanpa test maka kita aakan sulit menilai intelektualitas seseorang atau suatu komunitas bangsa. Jadi ketika contek mencontek dibiarkan atau dilegalkan seperti sekarang ini maka  kita akan sulit  menentukan kualitas anak didik, dan kita juga akan sulit menentukan kualitas sekolah, kulaitas pengajar dan seterusnya.

Sebenarnya yang sangat membahayakan adalah ketika sudah tidak ada lagi anak didik yang idealis. Tatanan membiarkan contek mencontek akan menghilangkan generasi idealis ini. Dan jika sudah tidak ada lagi generasi idealis maka kehancuran Negara akan semakin cepat di depan mata. Karena hal-hal idealis dimatikan, sehingga sangat sulit juga dalam menentukan  penilaian. Karena nantinya Negara akan di atur oleh orang rakus, korup. Dan jika system ada ditangan-tangan generasi korup, maka orang akan males untuk berdikari, males berkarya dan seterusnya.  Jadi Negara bagai di atur oleh orang mati, maka Negara akan stagnan, sehingga Negara akan sendirinya hancur.


(Pemikiran-pemikiran Siabah, Hasil Suatu Diskusi : By Adeng Lukmantara)

Kamis, 11 Agustus 2011

MENGENAL PROFIL RAJA RAJA KEMAHARAJAAN SUNDA (669 S/D 1579 M)


  1. Maharaja Tarusbawa
      Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
     Tarusbawa dianggap sebagai  bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “tohaan di Sunda (raja Sunda). Ia menjadi cikal bakal raja-raja Sunda yang memerintah  berikutnya.
     Setelah menerima tahta tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa  kemudian memindahkan ibukota  kerajaan yang baru  di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang).
     Ia berusaha untuk mengembalikan kejayaan tarumanagara, seperti  yang dialami oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon  kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya.), karena itu ia kemudian mendirikan ibukota baru.
    
  1. Sanjaya
    Setelah Tarusbawa  meninggal (w. 723 M), Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja Sunda, mewakili istrinya, yang merupakan cucu dari Tarusbawa. Pada tahun itu juga Sanjaya  berhasil merebut kekuasaan Galuh dari rahyang Purbasora, yang merebut kekuasaan dari ayahnya, Bratasenawa (rahyang Sena). Oleh karena itu seluruh wilayah Sunda  dan galuh berada di bawah kekuasaan Sanjaya.

  1. Temperan Barmawijaya
      Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram. Temperan berkuasa selama 7 tahun,  dari tahun 732-739 M. Ia meninggal ketika terjadi kudeta oleh Sang manarah atau Ciung Wanara.

  1. Hariang banga (739-766 M)
      Hariang banga  atau sang banga atau Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya, berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang berkuasa hanya di sebelah barat sungai Citarum dari tahun 759 M.
     Dari istrinya yang bernama Dewi Kancana sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah), sang banga  mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian menggantikan kekuasaan setelahnya.
      Sebuah naskah abad ke13 M (atau abad ke-14 M) memberitakan bahwa Sang banga  pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja  yang merdeka dari Galuh.
     Lepasnya pakuan dari galuh terjadi setelah  20 tahun Banga menjadi pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk  kekuasaanya adalah sebelah barat Citarum


  1. Rakeyan Medang
     Rakeyan Medang merupakan putra dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di tahta Sunda, yang berkuasa selama 17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan gelar Parbu Hulu Kujang.
     Ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.

                                            
  1. Rakeyan Hujung Hulon
       Rakeyan Hujung kulon bergelar Prabu Gilingwesi. Ia naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan berkuasa selama 12 tahun dari tahun 783-795 M.
    Ia berasal dari galuh, putra Sang Mansiri. Karena  Rakeyan medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ketangan menantunya, Rakeyan Hjung Kulon.
     Rakeyan Hujung Kulon juga tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga  tahta kemudian jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara.


  1. Rakeyan Diwus Prabu Pucuk Bumi (MP. 795-812 M)
        Rakeyan Diwus naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeya Hujung Kulon Prabu Giling Wesi, yang berkuasa selama 24 tahun., dari  tahun 795 hingga 812 M. Ia kemudian diagntikan oleh putranya, rakeyan Wuwus.


  1. Rakeyan Wuwus
      Rakeyan Wuwus naik tahta Sunda  menggatikan ayahnya, Rakeyan Diwus, dengan gelar Prabu Gajah Kulon.
    Ia menikah dengan putri Sang Welengan , Raja Galuh (mp. 806-813 M). Kekuasaan Galuh juga jatuh padanya ketika kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842 M), meninggal dunia. Sehingga Sunda Galuh berada di satu tangan lagi.
     Setelah Rakeyan Wuwus meninggal, kekuasaan tahta Sunda jatuh kepada adik iparnya dari Galuh, Arya Kedatwan. Hanya saja karena tidak disenangi oleh pembesar istana Sunda, ia dikudeta dan terbunuh pada tahun 895 M. Dan kekuasaan jatuh kepada putranya, Rakeyan Windusakti.


  1. Prabu Darmaraksa (891-895 M)
      Arya Kedathan  bergelar Prabu Darmaraksa bersal dari istaanan Galuh, naik tahta Sunda, menggantikan kaka iparnya, Rakeyan Wuwus meninggal dunia.
      Tetapi ia  tidak disenangi oleh pembesar istana Sundapura, sehingga kemudian ia dikudeta dan terbunuh pada tahun 895 M. Dan kekuasaan jatuh kepada putranya, Rakeyan Windusakti.


  1. Rakeyan Windusakti (895-913 M)
Rakeyan Windusakti  dengan gelar Prabu Dewageng, naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Rakeyan Wusus. Ia berkuasa dari tahun 895 sampai 913 M.
    Ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading pada tahun 913 M.
                           

  1. Rakeyan Kamuning gading (913-916 M)
    Rakeyan Kamuning Gading, dengan gelar Prabu Pucukwesi,  naik tahta  menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan berkuasa hanya 3 tahun (913-916 M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.

  1. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916-942 M)
      Rakeyan Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa berkuasa di tahta sunda setelah mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.


  1. Rakeyan Watu  Agung  (942-954 M)
       Rakeyan Watu agung bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M).
      Ia kemudian dikudeta oleh sepupunya, putra Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp. 954-964 M)

  1. Limburkancana  (954-964 M)
      Limburkancana naik tahta sunda setelah mengkudeta Rakeyan Watuagung. Ia merasa berhak tahta Sunda dan memerbut kekuasaan sebagai balasan terhadap kudeta yang dilakukan oleh pamannya, Rakeyan Jayagiri, terhadap ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916 M.
      Setelahnya, tahta Sunda kemudian diteruskan oleh putra sulungnya, rakeyan Sundasamabawa yang bergelar Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M).


  1. Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M) 
      Rakeyan Sundasambawa dan bergelar Prabu Munding Ganawirya, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Prabu Limbur Kancana. Karena tidak mempunyai putra, kekuasaan kemudian jatuh  kepada adik iparnya, Rakeyan Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri.


  1. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung
     Prabu jayagiri rakeyan Wulung gadung naik tahta sunda menggatikan kakak iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia naik tahta karena kakaknya tidak mempunyai anak.
     Rakeyan Jayagiri ini kemudian mewariskan kekuasaanya  kepada putranya,  Rakeyan Gendang, yang bergelar Prabu Brajawisesa (mp. 989-1012 M).


  1. Prabu Brajawisesa (989-1012 M)
     Rakeyan Gendang dengan gelar Prabu Brajawisesa naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan Jayagiri. Ia kemudian digantikan oleh cucunya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)


  1. Prabu Dewa Sanghiyang (mp. 1012-1019 M)
      Prabu Dewa Sanghiyang naik tahta Sunda menggantikan kakeknya, Prabu Brajawisesa.
     Setelahnya tahta sunda kemudian diwariskan kepada anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp. 1019-1030 M).


  1. Prabu sanghiyang Ageung (1019-1030 M)
     Raja ke-19 dari tahta Sunda, yang memerintah dari tahun 1019 hingga 1030 M. Ia memerintah kerajaan Sunda dan berkedudukan di istana Galuh.
    Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya, yang masih kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak yang bernama Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri Jayabhupati inilah yang kemudian  membuat prasasti Cibadak.


  1. Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M)
       Sri Jayabhupati atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M)
     Ayahnya,  Prabu sanghiyang Ageng , sedang ibunya berasal dari ibu dari putri Sriwijaya. Ia  menjadi menantu dari Darmawangsa Teguh dari Jawa, yang juga mertua dari Erlangga. Istrinya merupakan adik dari  Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M), yang kemudian menjadi prameswarinya.  Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang dicantumkan dalam prasasti Cibadak.
     Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.
     Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa  dan huruf Jawa kuno, yang sekarang  disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
    
21.    Prabu Dharmaraja (1042-1065 M)

     Raja Sunda ke-21, yang naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang meninggal pada tahun 1042 M.
      Prabu Dharmaraja  atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti Salakasunda buana. Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang Mokteng  Winduraja, karena ia dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah nama desa di kecamatan Kawali kabupaten Ciamis.
     Jadi ada gejala setelah wafatnya Sri Jayabupati sampai dengan tahun 1187 M, pusat pemerintahan Sunda  terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di Winduraja.
      Setelah meninggal, tahta sunda kemudian diwariskan kepada menantunya,  Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp. 1065-1155 M)


  1. Prabu Langlangbumi (mp. 1065-1155 M)

       Prabu Langlang bumi  atau Prabu langlang Buana naik tahta Sunda ke-22, menggantikan mertuanya, Prabu Darmaraja.
      Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M)

  1. Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur (mp. 1155-1157 M)
      Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur, berkuasa di tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Setelahnya tahta sunda kemudian diteruskan oleh putranya,  Prabu Darmakusuma. (mp. 1157-1175 M).


  1. PRABU DARMAKUSUMA (mp. 1156-1175 M)
    Prabu Dharmakusuma naik tahta Sunda ke-24,  menggantikan ayahnya, rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M). Dan kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dharmasiksa..


  1. PRABU DARMASIKSA (mp. 1175-1297 M)
      Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa.  Ia naik tahta menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), yang berkedudukan di Pakuan.
     Prabu Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan  ia  memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.
       Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M.

26.    RAKEYAN SAUNGGALAH PRABU RAGA SUCI  (mp. 1297-1303 M)
      Rakeyan Saunggalah bergelar Prabu Ragasuci, naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu Resiguru Darmasiksa, yang berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297 hingga 1303 M. Ia memerintah berkedudukan Di Saunggalah (Kuningan).
     Setelah meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan di Taman, sehingga  ia kemudian dikenal dengan nama Sang Mokteng Taman.
    

  1. PRABU CITRA GANDA (1303-1311 M)
       Prabu Citraganda naik tahta sunda menggantikan ayanya, Prabu ragasuci, Ia berkuasa selama 8 tahun (dari tahun 1303-1311 M), dan  berkuasa dengan berkedudukan di pakuan.
      Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Prabu Linggadewata.  Prabu Ragasuci ketika meningal, ia dipusarakan (dimakamkan) di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang Mokteng tanjung.         

  1. PRABU LINGGA DEWATA (1311-1333 M)
      Prabu Linggadewata naik tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Citra Ganda.  Ia memerintah tahta Sunda  berkedudukan di Kawali  selama 22 tahun (mp. 1311-1333 M).
     Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya yang bernama Rimalestari, yang menikah dengan Ajiguna Linggawisesa.
      Setelah meninggal ia dipusarakan di  Kikis, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama  Sang Mokteng Kikis. Karena ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta selanjutnya ia wariskan kepada menantunya,  Prabu Ajiguna Linggawisesa.


  1. PRABU AJIGUNA WISESA (1333-1340 M)
       Prabu Ajigunawisesa naik tahta Sunda menggatikaan mertuanya, Prabu Linggadewata.   Ia memerintah berkedudukan di keraton Kawali selama 7 tahun (mp. 1333-1340 M).
     Ia naik tahta karena istrinya, Rimamelati, putri dari Prabu Linggadewata merupakan pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3 orang anak, yang pertama yaitu Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot, yang kemudian menggantikan tahtanya. Yang kedua adalah Dewi Kiranasari yang menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dan yang ketiga (bungsu) adalah Prabu Suryadewata yang menjadi Raja (Ratu) Galuh. Prabu Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga, dan ia meninggal di Wararaja (hutan raja) ketika sedang berburu.
     Prabu Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding.

  1. PRABU RAGAMULYA LUHUR PRABAWA ( mp. 1340-1350 M)
        Prabu Ragamulya Luhur Prabawa  naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Ia memerintah selama 10 tahun (mp. 1340-1350 M).
       Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati. Prabu Luhur Prabawa  terkenal juga dengan nama  Sang Aki Kolot.
      Setelah meninggal, ia dikenal  dengan Salumah Ing  Taman, karena ia meninggal di Taman. Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Maharaja  Linggabuana wisesa (mp. 1350-1357 M), yang gugur dalam perang bubat.


  1. MAHARAJA PRABU LINGGABUANA (1350-1357 M)
   
      Prabu Linggabuana Wisesa memerintah sunda menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, yang memerintah selama 7 tahun (1350-1357 M).
     Ia  gugur di medan perang bubat,  dalam mempertahankan harga diri dan melawan kecurangan majapahit, bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri Citra resmi.
     Karena anak laki-lakinya (adik dari diah pitaloka) masih berumur 9 tahun, maka  kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati yang kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora.
      Karena meninggal di Bubat, prabu Linggabuana kemudian dikenal juga dengan nama  Sang Mokteng Bubat.

  1. PRABU BUNISORA (mp. 1357-1371 M)
      Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.  Ia menggantikan tahta sunda, karena putra mahkota (putra Prabu Linggabuana), Wastukencana, masih kecil (unur 9 tahun). Ia memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp. 1357-1371 M)
     Pada masa pemerintahan  Prabu Linggabuana, ia menjabat sebagai patih mangkubumi, dan menggantikan kedudukannya, ketika sang raja  gugur.

  1. PRABU ANGGALARANG / PRABU NISKALA WASTUKANCANA (mp. 1371-1475 M).
     Prabu anggalarang  atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).
       Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja.
     Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).

  1. PRABU SUSUK TUNGGAL (mp. 1382-1482 M)
      Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah Sunda cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur.
      Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
      Prabu Susuk Tunggal  yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati.
          Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda,   kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
        Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.


  1. SRIBADUGA MAHARAJA JAYADEWATA (mp. 1482-1521M)
     Prabu Jayadewata  merupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
    Pada tahun 1482 M,  Jaya Dewata menerima tahta  Galuh dari ayahnya,  Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.
      Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran
      Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.

  1. PRABU SURAWISESA (mp. 1521-1535 M)

      Surawisesa merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu dari Prabu Susuk Tunggal.    Surawisesa dipuji oleh naskah Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran, memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian penulis Carita parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.
         Surawisesa memerintah  selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
                               
  1. RATU DEWATA (mp. 1535-1543 M)
    Prabu Dewata buanawisesa atau kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia  naik tahta raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.
    Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Rati Dewata sangat alim  dan taat beragama.
    Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah  dengan baik. Tapa brata  seperti yang dilakukannya hanya boleh  dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:
” Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan  engkau berpurapura rajin puasa).
     Rupanya penulis kisah kuno ini  melihat bahwa kealiman  Ratu Dewata  itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).

  1. PRABU  SAKTI (mp. 1543-1551 M)
    Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun  .
     Untuk mengatasi  yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
     Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.



  1. PRABU NIKALENDRA (mp. 1551-1567 M)
     Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya,  naik tahta  sebagai penguasa Pajajaran  yang ke-5 (penguasa Sunda ke-   ), pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda  ke segala lapisan masyarakat.
    Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja  dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya  raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.

  1. PRABU SURYAKANCANA (mp. 1567-1579 M)
      Prabu Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang  berkuasa dari tahun.
      Prabu Surya Kancana atau Prabu Raga Mulya atau dalam cerita parahiyangan di sebut Nusya Mulya. Prabu Surya Kancana sendiri merupakan nama yang diberikan dalam naskah Wangsakerta.
      Prabu Suryakanacana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.

(By Adeng Lukmantara 
Sumber: dari berbagai sumber di internet )

CIUNG WANARA, CERITA PANGERAN DARI KERAJAAN GALUH


   
Ciung Wanara merupakan nama untuk Sang Manarah, penguasa Galuh dari tahun 739-783 M.      Sang Manarah atau Prabu  Suratama atau Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun 739-783 M),  dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum di sebelah barat.
     Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permanadikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh utusan Temperan, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Ibunya Dewi Pohaci Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah  Permana meninggal ia menjadi istri kedua temperan.
     Setelah menginjak remaja, ia kemudian melakukan kudeta terhadap keturunan Sanjaya (tamperan), dengan dukungan penuh kakeknya, Bimaraksa atau kemudian terkenal dengan nama Aki balangantrang.

Ki Balangantrang
    Setelah terjadi kudeta oleh Sanjaya yang menewaskan hampir seluruh keluarga Raja  Purbasora, dan yang selamat dari kudeta tersebut adalah patihnya, Bimaraksa, yang  dikemudian hari dikenal dengan Aki Balangantrang.
      Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan  anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja  di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini  dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu  membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
      Ki Balangntarang ini  dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mendidik Sang Manarah yang kemudian terkenal dengan nama Ciung Wanara. Masa kecil sang Manarah dalam cerita-cerita rakyat, memang dibesarkan oleh kakeknya di Geger Sunten, Ki Balangantrang. Dan ketika ia dewasa kemudian  berusaha untuk merebut kekuasaannya dari Temperan.
     Sang Manarah dibantu oleh kakeknya, Ki Balangantrang  yang mahir dalam urusan perang dan startegi, dengan pasukan yang telah dipersiapkan di Geger Sunten. Perebutan kekuasaan ini diperhitungkan dengan matang, yaitu pada saat  diselenggarakan pesta sabung ayam. Penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang  memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
    Kudeta ini  berhasil dalam waktu yang singkat, Galuh dapat dikuasai. Dalam pertempuran antara putra mahkota Hariang Banga dan Manarah, yang berakhir dengan kekalahan Banga, dan raja (temperan) terbunuh.

Serbuan Sanjaya  ke galuh
    Mendengar putranya, Tamperan meninggal, Sanjaya sangat marah, kemudian ia menyiapkan pasukan  besar dari Medang bhumi mataram untuk menyerbu ibukota Galuh.
      Sanjaya menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang.
      Perang saudara satu keturunan Wretikandayun  meletus, dan pasukan Manarah mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu dapat dihentikan  atas prakarsa  rajaresi Demunawan, yang waktu itu berusia 93 tahun. Perundingan gencatan senjata  digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali. 
     Untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan banga kemudian dinikahkan  dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedang Banga sebagai raja Sunda  bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang bernama Kancanasari.
     Manarah ditakdirkan mempunyai umur yang panjang. Ia bertahta di Galuh  hingga tahun 783 M. Lalu ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri  dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa  hingga akhir hayat. Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun.

(By adeng Lukmantara
Sumber: Kumpulan / ringkasan dari berbagai sumber di internet )