Kamis, 18 Juni 2015

PAJAJARAN BURAK, TRAGEDI HANCURNYA KERAJAAN PAJAJARAN (1579 M)

Pengantar


Setelah naskah Sri Baduga maharaja Jayadewata, sang Prabu Siliwangi II, naskah berikutnya yang dicoba untuk ditulis adalah kisah keruntuhan kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 M. Suatu kerajaan yang paling stabil di Nusantara berabad abad justru hancur diantara saling berebut pengaruh diantara anak cucu keturunan yang sama.

Sebenarnya sangat disayangkan memang, bahwa kerajaan besar di tanah sunda tersebut tidak meninggalkan jejak sama sekali, karena memang kemungkinan dihancurkan. Politik bumi hangus yang merupakan budaya baru di tanah sunda waktu itu telah melanda wilayah sunda setelah perbedaan keyakinan dianggap sebagai salah satu sebabnya. Meskipun diyakini bahwa hal tersebut bukan karena perbedaan keyakinan, tetapi lebih mengarah ke perebutan pengaruh di tanah sunda. Karena Sumedang Larang yang telah beragama Islam pun berada di balik kekuatan Pajajaran akhir, dan masih mendukungnya.

Setidaknya ada 3 kekuatan besar yang saling berebut untuk menaklukan pusat kerajaan Pajajaran tersebut. Dibarat kesultanan Banten adalah kekuatan yang paling agresif. Sedang ditimur pengaruh Cirebon meskipun mulai dominan, tetapi masih tidak banyak berbuat karena salah satu pendukung kerajaan Pajajaran, yaitu Sumedang larang yang masih satu keturunan, masih memihak Pajajaran tersebut. Di wilayah timur lannya, Mataram juga cukup agresif meluaskan pengaruhnya ke wilayah barat.

Kisah keruntuhan dari kerajaan Pajajaran telah diceritakan oleh Naskah Carita Parahiyangan dengan jelasnya. Diawali setelah meninggalnya Sri baduga maharaja Prabu Jayadewata pada tahun 1521 M, seolah dimulainya peperangan antar keturunannya. Penggantinya, Prabu Surawisesa meskipun telah berusaha untuk mempertahankan kekuasaanya, tetapi mendapat serangan yang bertubi tubi, akhirnya harus rela kehilangan beberapa wilayahnya, yang menjadi pusat kerajaan, yaitu Banten, yang justru paling agresif dalam berbagai peperangan melawan Pajajaran.

Setidaknya dalam waktu 58 tahun, setelah sri baduga maharaja meninggal dan 5 penguasa, Pajajaran sebagai pusat  kerajaan yang paling stabil selama berabad abad akhirnya hancur juga pada tahun 1579 M.

Disnilah bahaya politik bumi hangus, yang sebenarnya bukan merupakn tradisi dari tanah sunda. Karena politik bumi hangus kita harus memulai berbagai hal dari nol. Tidak ada kesinambungan sejarah. Sejarah telah terputus, sehingga generasi kemudiaan disamping selalu memulai dari nol, baik dlam bermata pencaharian ataupun tekhnologi. Sehingga masyarakat selalu memulai dari nol ke nol. Itulah mengapa politik bumi hangus itu membahayakan. Kemenangan besar mungkin diraih pada waktu itu, tetapi dalam jangka panjang sebenarnya  bukan hanya bisa menaklukan bangsa tersebut, tetapi politik bumi hangus setidaknya telah  membunuh peradaban. Sehingga peradaban putus, dan bagi orang yang mengenang  kejayaan masa lampau justru terjebak pada upaya upaya menampilkan sejarah peradaban dengan cerita cerita tahayul yang tiada masuk akal.

Sesuai dengan tema dari blog ini, yaitu mengungkap kembali khazanah sunda yang hilang. Maksudnya adalah khazanah peradaban sunda yang memang sudah terputus dengan peradaban yang aslinya. Upaya upaya mengungkap harus diupayakan melalui keahlian atau minat masing masing. Karena jika semua sudah merasa bahwa harus diungkap tuntas bukan niscaya berbagai jalan yang besar akan kita dapati.

Seperti politk bumi hangus, mematikan pendapat orang juga mungkin harus kita hindari. Biarkan mereka mereka ikut serta dengan berbagai imaginasinya. Yang penting kita bukan hanya mimpi, karena mimpi hanya dilakukan oleh orang orang yang tidak sadar. Sedang mengungkap atau mengaktualisasikan dengan berbagai imaginasinya, adalah merupakan suatu proses yang berkesinambangunan. Karena bagi para pengkhayal dalam arti yang positif atau bagi para kaum berimajinasi adalah sesuatu hal yang positif, karena berimajinasi, menghayal dan sejenisnya dilakukan oleh orang orang yang sadar. Jadi ada kemungkinan segala imaginasi nya tercapai. Apalagi kita punya nenek moyang Si Kabayan, si pengkhayal hebat, tokoh imajinatif yang paling mumpuni Dari kisah imajinasinya saja telah menghasilkan beribu ribu cerita imajinasi, berpuluh puluh film dan juga sinetron. Tokoh imajinatif yang menginspirasikan banyak imajinatif.

Kembali lagi ke cerita Pajajaran Burak. Sebenarnya bukan tidak meninggalkan jejak, karena mungkin kita kurang serius dalam mencarinya. Mungkin ada jejak, jika kita mencarinya. Karena itu dengan mengungkapkan kembali cerita Pajajaran Burak, berarti kita minimal telah membuat orang terkenang lagi akan peradaban mereka. Jika sudah mengenang berarti nantinya akan membangkitkan berbagai kemauan, ada yang mau mengungkap dengan sejarah, atau ada orang yang sengaja ingin berpetualang untuk mencari jejak jejak peradaban. Atau orang hanya ingin mencari sumber imajinatif mereka dalam mengembangkan ide idenya.

Karena itu, mudah mudahan tulisan ini menjadi salah satu dari kemauan kita untuk ikut serta dalam mengungkap peradaban sunda yang hilang. Kesinambungan sejarah itu adalah sesuatu hal yang penting. Mempelajari sejarah pada hakekatnya adalah mencari kepribadian suatu bangsa. 

Dan setelah menulis naskah ini, penulis akan fokus merevisi tulisan tulisan sebelumnya yang belum selesai. jadi untuk sementara, mungkin belum ada judul naskah berkutnya yang ditulis, karena akan fokus pada perbaikan tulisan tulisan sebelumnya. Tapi itu juga bukan harga mati, jika ada ide baru, mungkin kami akan menulis pengantarnya dulu, dan pembahasaannya dikemudian hari. Sayang memang kalau ide sudah muncul, jika tidak diungkapkan, karena ide kadang muncul secara tiba tiba. dan ide itupun kalau tidak diungkapkan kadang dengan sendirinya hilang atau lupa karena kesibukan keseharian yang kadang sulit untuk diprediksi.



BAB I

PAJAJARAN SETELAH TAHUN 1521 M

Setelah meninggalnya Sri Baduga Maharaja Prabu Jaya Dewata seolah memulai ditiupnya genderang perang antara keturunan sang Sri Baduga Maharaja. Keturunan Raja dari istrinya Subang Larang, mulai menyingsingkan bajunya ketika Pajajaran mulai bekerja sama dengan Portugis. Para pangeran dari tanah sunda yang berbeda keyakinan dengan sang raja mulai mengeksiskan dirinya untuk melawan pusat kekuasaan di Pakuan. Keterikatan persaudaraan seolah terkikis oleh pandangan yang berbeda dalam menyangkut masa depan kerajaan.

Keengganan antar kerabat yang setara masih dalam batas batas menahan diri untuk tidak saling menyerang satu sama lain. Hingga muncul generasi kedua, yang nantinya menjadi tokoh yang paling agresif dalam upaya ekspansinya dalam membebaskan Pajajaran dari kerjasamanya dengan Portugis.

Setelah Sri Baduga maharaja Prabu Jayadewata meninggal dunia, dan digantikan oleh Prabu Surawisesa. Pada zamannya mulai ada peperangan antara Pajajaran dengan Cirebon yang di bantu Demak.

Prabu Surawisesa adalah anak raja dari Kentrik Manik Mayang Sunda, istrinya yang merupakan putri dari raja sunda sebelumnya, Prabu Susuk Tunggal. Dan Prabu Surawisesa ini kemudian menggantikan tahta ayahnya, ketika ayahnya meninggal.

Di istri lain, yang bernama Nyi Subang Larang yang beragama Islam, Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata mempunyai anak 3 orang, yaitu Pangeran Cakrabuana atau sering juga disebut dengan Pangeran Walangsungsang, yang menjadi penguasa Cirebon, yang kedua adalah Rara Santang, yang menikah dengan bangsawan arab hingga mempunyai anak yang bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dan yang ketiga adalah Pangeran Sangara, atau dikenal juga dengan Kian Santang.

Prabu Surawisesa raja Pajajaran dan Pangeran Cakrabuana, penguasa wilayah Cirebon merupakan generasi yang sederajat/ setingkat, karena kekerabatannya sangat dekat, statusya masih adik kakak, seolah merasa enggan saling menyerang. Prabu Surawisesa enggan menyerang Cirebon, sedang Pangeran Cakrabuana juga masih enggan menyerang Pakuan pajajaran.

Meskipun atas desakan kesultanan Demak supaya menyerang daerah daerah Pajajaran, Pangeran Cakrabuana yang telah bekerja sama dengan Demak, belum berani untuk menyerang daerah daerah Pajajaran, terutama ketika ayahnya masih hidup. Hingga datang keponakan mereka, Pangeran Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati, yang merupakan tokoh keagamaan dan panglima perang yang paling berpengaruh.  Pangeran Syarif Hidayatullah dan kemudian diteruskan oleh turunannya merupakan orang yang paling agesif untuk menguasai Pajajaran. Sehingga seluruh serangan ke kerajaan Pajajaran selalu dalam koordinasi pasukannya.

Pangeran Syarif Hidayatullah adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penguasaan pelabuhan pelabuhan utama Pajajaran. Ia juga adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap penguasaan wiayah wilayah Pajajaran bagian timur. Diawali dengan penaklukan banten pada tahun 1526 M, kemudian diikuti oleh penaklukan Nusa Kalapa (Sunda kalapa) pada tahun 1527 M, yang kemudian diganti namanya dengan Jayakarta (Jakarta sekarang). Ia juga menaklukan beberapa wilayah Pajajaran di bagian timur. Pada tahun 1529 M, pasukannya menaklukan kerajaan Talaga. Raja talaga, Sunan Parungangsa dan putrinya Ratu Sunyalarang serta menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela masuk Islam. Kerajaan Kuningan juga juga ditaklukannya. Penguasa kuningan waktu itu, Ratu Selawati menyerah, dan salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian  diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan.

Pada masa Prabu Surawisesa yang berkuasa dari tahun 1521 hingga 1535 M, telah banyak kehilangan kekuasaannya. Meskipun ia terkenal seorang pemberani dan sulit ditaklukan, tetapi karena medan yang cukup luas, maka lambat laun wilayah wilayah yang jauh (perbatasan) banyak yang takluk ke pasukan Pangeran Syarif Hidayatullah dari Cirebon.

Penaklukan Banten dan  Kalapa
Pasukan Pangeran Hidayatullah untuk menguasai wilayah Banten dan Nusa Kalapa (Jakarta) dipercayakan kepada panglimanya, yang bernama Fatahillah, atau dikenal juga dengan nama Fadhilah Khan. Dan dalam Naskah Carita Parahiyangan bernama Arya Burah. Sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut dengan nama Wong Agung Pase (yang setelah meninggal dimakamkan di puncak Gunung Sembung, berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati.

Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda.  Banten juga merupakan salah satu daerah yang perkembangan umat islamnya cukup tinggi di kerajaan Pajajaran selain Cirebon. Disana juga terdapat anak sang penguasa cirebon berada, Maulana Hasanadiin, disamping masih kerabat penguasa setempat. Ia juga masih turunan pangeran dari kerajaan Sunda.

 Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Penguasa Banten, Arya Suranjaya beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.

Maulana Hasanudin (1552-1570 M) merupakan putri dari Pangeran Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dengan Nyi Kawunganten, putri penguasa Banten waktu itu, Surasowan. Maulana Hasanuddin oleh kakeknya, Surasowan, ia diberinama Pangeran Sebakingkin. 
Surasowan meninggal ketika usia masih relatif muda, dan tampuk kekuasaan diwariskan kepada putra sulungnya, Arya Surajaya, kakak dari istri Syarif Hidayatullah, Nyi Kawunganten. Sedang Syarif Hidayatullah waktu itu diangkat menjadi penguasa di Crebon menggantikan ua-anya, Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang. 
Maulana Hasanuddin setelah remaja, memilih menjadi seorang pengajar agamaIslam, yang mempunyai banyak santri. Sehingga ia kemudian berkembang menjadi tokoh komunitas islam di Banten, dan masyarakat sering menyebutnya dengan Syekh Hasanuddin.
Maulana Hasanudiin masih sering bekunjung ke tempat ayahnya, Syarif Hidayatullah, yang menjadi penguasa di Cirebon. Mereka sering berdiskusi masalah perkembangan politik dinegeri Pajajaran. Dan upayanya dalam pencegahan terhadap kedatangan pasukan portugis yang rencananya akan datang tahun 1526 M. 
Karena itu ayahnya, Syarif Hidayatullah mulai merencanakan untuk menguasai Banten pada tahun itu juga. Pasukan dari cirebon akan dipimpin oleh Fatahillah, dan Hasanuddin ditugasi untuk mengkoordinasikan dan memperlancar prses penyerangan tersebut.

Ketegangan dan rencana serangan Cirebon yang dibantu Demak ke Banten, rupanya memperburuk hubungannya dengan ua-nya yang menjadi penguasa di Banten, Arya Surajaya, yang masih setia ke pusat kerajaan Pajajaran, di Pakuan.

Putra Sunan Gunung Jati yang mengikuti peperangan, dan masih keponakan sang peguasa Banten yaitu Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya menjadi Bupati Banten (1526).  Dan Setahun kemudian, Fatahillah (Fadhilah Khan) bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Nusa Kalapa. 

Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.

Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.

Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri.Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.

Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.

Ditaklukannya pelabuhan utama waktu itu, Banten pada tahun 1526 M, adalah pukulan awal terberat bagi kekuasaan Surawisesa, yang dikuti oleh penaklukan Nusa kalapa (Jakarta) pada tahun berikutnya (1527 M), membuat Pakuan terisolasi dari dunia luar. Sehingga bantuan dari Portugis yang datangpun tidak bisa merapat memberi bantuan karena pelabuhan pelabuhan utama sudah dikuasai oleh pasukan Cirebon –Demak. Sehingga Portugis mengurungkan niatnya untuk membangun benteng di Nusa Kalapa.

Karena berbagai peperangan yang terus terjadi, akhirnya Sang Prabu Surawisesa kemudian melakukan perjanjian dengan pihak Sunan Gunung Jati, yang tidak akan saling menyerang satu sama lain.


BAB II SUKSESI DI PAKUAN PADA TAHUN 1535 M

Pada tahun 1535 M, Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa meninggal. Dan tahta  jatuh ke anaknya     Prabu Dewata buanawisesa atau Prabu Ratu Dewata.

Ratu dewata bukanlah seorang negarawan yang cakap. Ia kurang mengerti seluk beluk perpolitikan dan pemerintahan. Sehingga kadang kebijakanannya banyak bertolak belakang. Ia kelihatan alim dan berperilaku sebagai rajaresi. Tetapi kebijakannya justru para pendeta banyak yang menjadi korban.  
  
Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat beragama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu, hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang Vegetarian).     

Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah  dengan baik. Tapa brata  seperti yang dilakukannya hanya boleh  dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:” Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan  engkau berpura-pura rajin puasa).

Meskipun hidup seperti seorang resi, justru pada zaman Prabu Ratu dewata ini banyak ahli agama / padita yang dianiaya. Dalam Naskah Carita Parahyangan menceritakan hal ini. Seorang Pandita yang sakti dari Sumedang di aniaya, Sang pandita di Ciranjang dibunuh tanpa dosa, dan  Sang pandita di Jayagiri buang  ke sagara (laut / danau/ sungai besar)..
Rupanya penulis kisah kuno ini  melihat bahwa kealiman  Ratu Dewata  itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).

Tentang Prabu Ratu Dewata dalam Naskah Carita parahiyangan secara lengkap menceritakan:

Prabu Ratudewata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem.
Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku
tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehann tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara,
henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya. Katelah
ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.

Serangan dari pasukan luar ke Pakuan
Pada zaman Prabu Ratu Dewata diuntungkan karena perjanjian yang dibuat ayahnya, Prabu Surawisesa dengan penguasa Cirebon, Sunan Gunung Jati. Sehingga di masanya nyaris tidak ada peperangan yang melibatkan kedua negara secara terang terangan.

Pada masanya perjanjian perdamaian  Pajajaran Cirebon  masih berlaku.  Sementara, Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten, yang ikut juga dalam menandatangani perjanjian perdamaian Cirebon Pajajaran tersebut, kurang menyetujui karena wilayah kekuasaanya berbatasan langsung dengan Pajajaran, tetapi karena kepatuhan pada ayahnya, Sunan Gunung Jati.

Tetapi ada sebagian pasukan dari Banten yang merasa kurang puas terhadap isi perjanjian tersebut. Sehingga pasukan banten tersebut kemudian menyerang ibukota Pajajaran, Pakuan. Ada yang mengatakan bahwa pasukan tersebut memang di bentuk oleh Pangeran Maulana Hasanuddin.

Maulana Hasanuddin diyakini membuat pasukan khusus tanpa identitas resmi, yang mampu bergerak cepat. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata  ini terjadi serangan mendadak  ke ibukota Pakuan dari musuh yang tidak dikenal asal usulnya.

Dalam menghadapi serangan tersebut, Ratu Dewata  beruntung masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa,  dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, perwira ini masih mampu menghadapi serangan musuh, disamping tangguhnya benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga, menyebabkan serangan banten  (dan mungkin juga dari Kalapa / Jayakarta) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang pernah jadi rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran  Sri Baduga yang diwariskan kepada cucu-cucunya.

Dalam pertempuran melawan pemberontak di ibukota tersebut, ada 2 pejabat Pajajaran yang gugur, yaitu Tohaan (Raja) Sarendet jeung Tohaan (Raja) Ratu Sanghiang. Prabu Ratu Dewata berkuasa selama 8 tahun, dan tahaun ke-9, ia meninggal dunia.


BAB III
SUKSESI PADA TAHUN 1543 M
Ketika wilayah Banten, di bawah kekuasaan Maulana Hasanuddin  telah berkembang menjadi ibukota dan pusat kekuasaan islam yang terpenting, melebihi saudara tuanya (cirebon) dimana ayahnya (sunan Gunung Jati) berkuasa. Sehingga Maulana Hasanuddin seolah telah menjadi seorang penguasa yang independen, meskipun ia masih mengakui Cirebon sebagai pusat kekuaasaanya. Karena itu konflik dengan ibukota Pajajaran, Pakuan, seolah telah menjadi kebijakannya yang independen tidak harus menunggu perintah dari ayahnya di Cirebon.

Karena masih terikat oleh perjanjian yang dialkukan oleh ayahnya dan juga diikuti oleh dirinya, sehingga Maulana Hasanuddin tidak bisa menyerang secara terbuka ke ibukota Pakuan. Meskipun komplik tetap ada , dan kadang ia sendiri selalu melakukan serangan mendadak, meskipun secara diam diam. Seperti yang dilakukannya ketika Prabu Ratu Dewata masih hidup.

Sedang dipihak Pakuan Pajajaran, pada tahun 1543 M, terjadi suksesi kekuasaan. Prabu Ratu dewata meninggal dunia, diganti oleh anaknya yang bernama Ratu Sakti. Dengan demikian, Ratu sakti merupakan raja yang ke-3, raja yang ia hadapi, dalam masa kekuasaannya di Banten.

Kebijakan Ratu Sakti (mp. 1543-1551 M)
Dalam Naskah carita parahiyanga kekuasaan Ratu Sakti diungkapkan sebagai berikut:
 Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka
Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe.
Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa,
ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita.
Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.

Sang Ratusakti Sang Mangabatan menjadi Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun  1543 sampai dengan tahun 1551 M.
Ia berkuasa disaat yang tiada menentu, ancaman dari Banten dan juga Cirebon, telah membuat masyarakat Pakuan dan pajajaran pada situasi yang tidak menentu. Ia berbeda pendapat dalam mengatasi pemerintaannya yang tidak menguntungkan itu.

Untuk mengatasi  yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim. Ia bersikap sebaliknya, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.

Di samping lalim terhadap rakyatnya, ia juga membuat perpecahan di kalangan istana Pakuan. Ia dikecam bukan karena kebijakannya saja, tetapi karena ia dianggap melanggar undang undang yang menjadi dasar dalam perkawinan di kalangan istana. Raja telah melakukan pelanggaran  yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini  Estri Larangan ti Kaluaran, yaitu dengan mengawini pengungsi yang sudah bertunangan. Konon masih  ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya, yaitu bekas selir ayahnya. Karena itu kemudian ia diturunkan dari tahta kerajaan.
 Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian pasukan Hasanauddin dari Banten dan Fatahillah sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan. Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.

Setelah diturunkan dari tahta, kemudian para pembesar istana di pakuan mengangkat Sang Nikalendra atau Tohaan di Majaya.

BAB IV
SUKSESI PAKUAN TAHUN 1551 M
Ketika eksistensi banten mencapai puncaknya di bawah kekuasaan Maulana Hasanuddin, justru di pusat kerajaan Pakuan sedang mengalami degradasi kekuasaan yang akut. Pada tahun 1551 M terjadi suksesi kekuasaan, karena rajanya diturunkan secara paksa. Sehingga Maulana Hasanuddin menghadapi raja ke-4, daripakuan Pajajaran.

Sang Nikalendra atau Tohaan Di Majaya, berkuasa tidak banyak membawa perubahan dalam sikapnya berkuasa. Ia sendiri seolah kebingungan dalam melakukan kebijakannya, malah terjebak pada poya poya. Sedang di lain pihak, Maulana Hasanuddin dari Banten seolah sedang melakukan serang besar besaran ke negeri negeri yang masih dikuasai oleh Pajajaran. Putra dari maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf telah menjadi panglima perang dari Banten yang saangat ditakuti oleh pasukan pasukan Pajajaran.

Tentang kekuasaan Sang Nikalendra yang berkuasa di pakuan di ceritakan alam naskah carita parahiyangan.

Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada diwujudkeun rupa-rupa carita.
Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta.
Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.
Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi,
Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu.
Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu pateterean.
Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borakborak da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.
Lilana jadi ratu genepwelas taun.

Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya,  naik tahta  sebagai penguasa Pajajaran  yang ke-5, pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda  ke segala lapisan masyarakat.

Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja  dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya  raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.

Pada masanya Maulana Hasanuddin sering melakukan penyerangan terhadap kerajaan pajajaran dengan melibatkan anaknya, Maulana Yusuf.

Prabu Nikalendra  banyak mengalami kekalahan dalam peperangan, sehingga Sang prabu meninggalkan keraton Pakuan dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para panglima dan para prajurit yang ditinggalkan.

Dan ia sendiri meninggal pada tahun 1567 M, dan ia diganttikan oleh anaknya, yang berrnama Prabu Nusa Mulya atau Prabu Suryakencana.

BAB V
DETIK DETIK AKHIR PAKUAN JATUH (1579 M)

Di akhir Naskah carita Parahiyangan, diceritakan sebagai berikut:

Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan.
Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.
Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan, perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeheleh ku urang Islam.Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.

Nusa Mulya atau Prabu Suryakancana (Prabu Nusa Mulya dalam Naskah Wangsakerta dikenal dengan nama Prabu Ragamulya Suryakancana) menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada tahun 1567 M. Ia dianggap sebagai  raja terakhir dari Pajajaran, yang  berkuasa dari tahun 1567 sampai 1579 M.

Prabu Suryakanacana atau prabu Nusa Mulya  tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Pakuan Pajajaran telah ditinggalkan oleh rajanya, sejak Sang Nikalendra, mengalamii berbagai kekalahan dalam peperangan melawan Banten dan juga Cirebon. Setelah kekalahan perang melawan pasukan maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga diangkat dalam pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.

Diakhir masa kekuasaan ayahnya, nyaris ibukota pajajaran lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja. Sebagian penduduknya menggungsi ke wilayah pantai selatan  diantaranya ke cisolok dan Bayah, dan juga banyak yang mengungsi ke timur, ke sumedang Larang dan lainnya. Dan putra mahkota sendiri, Prabu Nusamulya mengungsi ke pulosari, pandeglang. Dan disnilah ia kemudian diangkat menjadi raja.

Daerah pulosari Pandeglang, diyakini merupakan daerah asal nenek moyang kerajaan sunda, yaitu daerah yang didirikan oleh Aki Tilem, cikal bakal kerajaan Salakanagara, yang merupakan nenek moyang kerajaan Sunda. Dengan mengungsi ke pulosari setidaknya Ragamulya ingin membangun sejarah baru seperti nenek moyangnya dulu, untuk membangun Pajajaran yang kuat.

Suksesi Di Banten tahun 1570 M
Pada tahun 1570 M, Sultan Maulana Hasanuddin meninggal dunia, sehingga kekuasaannya jatuh ke putra sulungnya, Maulana Yusuf. Sulyan Maulana Yusuf sebelum menjadi raja dikenal sebagai panglima yang paling agresif dalam menaklukan wilayah wilayah Pajajaran. Karena itu setelah berkuasa ia kemudian menabuh genderang untuk menguasai ibukota Pajajaran, Pakuan, yang telah ditinggalkan oleh penguasanya sejak tahun 1567M.

Setelah ditinggalkan oleh penguasanya pada tahun 1567 M, Pasukan syek yusuf sangat sulit untuk menembus ibukota Pakuan tersebut. Ibukota Pakuan terkenal sangat tangguh, benteng pertahanan yang dibuat oleh Maharaja jayadewata sangat tangguh untuk ditembus oleh musuh.
Diceritakan dalam sejarah Banten, pakuan baru bisa ditembus oleh musuhnya karena ada penghianatan dari dalam pakuan, yang membukakan pintu benteng pakuan. Sehingga dengan leluasa Pasukan yang dipimpin oleh Maulana Yusuf dari Banten masuk. Dan menghancurkan ibukota pada tahun 1579 M.

Pajajaran Burak tahun 1579 M
Dengan jatuhnya wilayah-wilayah  lainnya, Pakuan sebagai benteng terakhir semakin terjepit oleh pasukan Cirebon-Demak di timur dan banten di barat. Akhirnya pada tahun 1579 M, pasukan banten  yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, berahsil menduduki ibukota Pakuan.

Dalam Pustaka Nusantara,  tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan:
” Pajajaran sirna  ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka).
Tanggal tersebut bertepatan  dengan 8 Mei 1579 M.

Dalam naskah Banten, serangan tentara banten  ke pakuan, disebutkan:
“ Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam  tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.”

Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan cara halus.

Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal  benteng Pakuan merasa sakit hati  karena tidak memperoleh  kenaikan pangkat. Ia adalah saudara ki  Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah  pintu benteng  terlebih dulu  dibukakan saudaranya itu.

Kisah ini mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan  betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat prabu Sri Baduga  (Prabu Siliwangi). Setelah ditinggalkan  oleh raja selama 12 tahun, pasukan  Banten masih  terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.

Simbol Kekuasaan Pajajaran
Meskipun Syekh Yusuf dan pasukannya dapat menguasai ibukota pajajaran, pakuan, tetapi iaa gaga dalam mengamankan simbol simbol kekuasaan dari negeri pajajaran tersebut.  Dari 2 simbol yang bisa dianggap sah menjadi penguasa seluruh negeri Pajajaran, ia hanya bisa menyelamatkan 1 simbol saja, yaitu Palangka Sriman Sriwacana, tempat untuk mensyahkan raja, sedang simbol raja yang berupa mahkota ia tidak dapatkan.





Ada  2 simbol kekuasaan raja pajajaran sehingga diakui sebagai penguasa pajajaran sesungguhnya, yaitu tempat duduk ketika pengangkatan seorang raja, berbentuk batu, yang dinamakan Palangka Sriman  dan yang kedua adalah  mahkota raja. Maulana Yusuf karena masih merupakan cicit dari Mahraja jayadewata merasa berhak atas lambang tahta tersebut, sehingga ia kemudian memboyong atau membawa palangka sriman sri wacana ke banten surasowan), tetapi ia tidak berhasil merebut mahkota sebagai lambang sah kerajaan pajajaran.

Dengan berhasilnya menduduki ibukota pakuan, Sultan Maulanan Yusuf  kemudian memboyong benda-benda  yang menjadi simbol kemaharajaan Sunda ke Banten, termasuk singgasana penobatan maharaja Sunda, Palangka Sriman Sriwacana. Dengan diboyongnya Palangka Sriman ini menandai berakhirnya kemaharajaan Sunda dan berakhirnya zaman Pajajaran (1482-1579 M).

Palangka Sriman, yang merupakan simbol  tempat duduk  kala seorang raja  dinobatkan, kemudian di boyong dari Pakuan ke Surasowan   Banten oleh Maulana Yusuf. Batu  berukuran 200 x 160 x 20 cm diboyong ke Banten  karena tradisi  politik  Sunda waktu itu mengharuskan  demikian. Karena, pertama, dengan dirampasnya Palangka  tersebut, di Pakuan  tidak mungkin  lagi dinobatkan  raja baru. Kedua,  dengan memiliki palangka itu, Maulana Yusuf   merupakan  penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena buyut  perempuannya adalah putri Sri baduga Maharaja.

Tetapi Maulana Yusuf tidak bisa memboyong mahkota raja, karena telah diselamatkan oleh 4 ksatria sunda yang disebut Kandaga Lante dan menyerahkannya kepada raja Sumedang larang. Mahkota ini diselamatkan oleh empat panglima pajajaran yang sangat terkenal dan di serahkan ke penguasa Sumedang larang. Sehingga  dalam sejarah sesudahnya, Banten tidak pernah bisa menguasa seluruh tataran sunda, karena lambang kerajaan yang berupa mahkota, ia tidak dapatkan. Dan Justru seluruh eks. Kerjaan pajajaran yang tidak dikuasai oleh Cirebon dan banten jatuh ke kekuasaan kerajaan Sumedang larang.

Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu ragamulya Surya Kancana, raja pajajaran terakhir, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Jaya perkosa (embah Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati Wiradijaya (EmbahNangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,  kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut  kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M). Dan Sumedang larang inilah sebenarnya yang kemudian dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir, yang tidak pernah bisa dikuasai oleh Banten dan Cirebon.

Dengan demikian, meskipun Pakuan pajajaran dapat ditaklukan oleh Maulana Yusuf dari banten, tetapi karena gagal mendapatkan mahkota, maka Banten tidak pernah bisa menguasai seluruh bekas kerajaan pajajaran, dan justru seluruh eks  wilayah Pajajaran yang tidak dikuasai oleh cirebon dan juga Banten jatuh ke kerajaan Sumedang Larang.

    
(Lanjut)
By Adeng Lukmantara

Kamis, 11 Juni 2015

SRI BADUGA MAHARAJA PRABU JAYADEWATA, SANG PRABU SILIWANGI

Pengantar


Siapa sebenarnya  yang mendapat julukan Prabu Siliwangi dalam sejarah peradaban Sunda.. Ada yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah Prabu Wastukancana, karena arti dari kata silih adalah pengganti. Sedang Wangi disini adalah gelar Prabu Wangi, yang digelarkan pada Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Disamping itu pada masa pemerintahan Prabu Wastukancana juga wilayah kerajaan Sunda sedang dalam masa kemakmurannya. Karena itu kerajaan Sunda adalah kerajaan yang paling disegani dimasanya. Sedang waktu itu Majapahit sedang dalam proses kemundurannya/ kehancurannya. Karena itu banyak para ahli yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah Prabu Wastukancana ini. Tetapi dalam naskah Wangsakerta, Prabu Wastukancana disebut dengan Prabu Wangi Sutah.

Di lain pihak, Sri Baduga Maharaja Prabu Jaya Dewata adalah raja yang kembali mempersatukan keuasaan Sunda dalam satu pemerintahan. Dimana setelah Prabu Wastukancana, kerajaan dibagi 2, yaitu sunda pakuan yang beribukota di Pakuan yang diperintah oleh anaknya dari Putri Lampung, yang bernama Prabu Susuk Tunggal, dan juga dari Sunda Galuh diperintah oleh anaknya dari putri Raja Bunisora, yang bernama Dewa Niskala.
Prabu Jayadewata berhasil mempersatukan wilayah kerajaan Sunda dalam satu pemerintahan, dan pada masanya kerajaan Sunda menacapai kemakmurannya. Karena itu maka Sri baduga Maharaja Prabu Jayadewata oleh masyarakat banyak sekarang dianggap sebagai refresentasi dari Prabu Siliwangi, raja yang memberikan keharuman kepada kerajaan Sunda, karena itu oleh masyarakat sekarang Prabu jayadewata inilah yang disebut dengan Prabu Siliwangi.
Tentang siapa yang benar dari pendapat ini, maka suatu kompromi dalam sejarah biasanya untuk Prabu Niskala Wastukancana di gelari Prabu Siliwangi I dan untuk Sri Baduga Maharaja biasanya digelari Prabu Siliwangi 2. Tetapi karena Wasukancana digelari Prabu Wangi Sutah, berarti Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata.
Dan dalam naskah naskah kuno, Prabu Siliwangi ini telah disebut dalam naskah Bujangga Manik, suatu naskah yang ditulis oleh Bujangga manik atau Prabu Jaya Pakuan. Dimana diceritakan oleh Jompong Larang yang menceriitakan tentang ketampanan Bujangga Manik, yang tampannya lebih tampan dari Parbu Siliwangi.
Jompong Larang menjawab:
“Mohon maaf, Putri, nama laki-laki itu Ameng Layaran,
seorang laki-laki yang sangat tampan,
lebih tampan dari Banyak Catra,
lebih tampan dari Silih Wangi,
bahkan lebih tampan dari keponakan Putri.
Ia tinggi dan sangat diidam-idamkan,
laki-laki untuk dipeluk dan dibelai di beranda,
untuk ditimang-timang di ranjang,
ditimbang oleh peraturan,
untuk dirangkul di ruang tidur.........."

Naskah Bujangga Manik adalah naskah primer yang ditulis oleh pelakunya sendiri, Bujangga Manik atau Prabu Jaya Pakuan yang bergelar Prabu Ameng Layaran. Naskah ini ditulis pada abad ke 15 Masehi, dimana kerajaan Majapahit masih ada, dan kerajaan Demak baru muncul, Cirebon belum menunjukan menjadi kerajaan, dan Sumedang Larang masih dikenal dengan Medang Kahiyangan. Tidak diceritakan zaman siapa ia hidup, tetapi dari zamannya mengindikasikan bahwa naskah ini ditulis diakhir abad ke-15 Masehi.
Dan nama Siliwangi juga disebut dalam Kropak 630 yang dikenal dengan Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, pada lembar 16 verso tercantum nama Siliwangi sebagai tokoh lakon pantun. Naskah ini ditulis tahun 1440 Saka (1518 M), di era masa pemerintahan Sri baduga maharaja (1482-1521 M).


NASKAH

BAB I KAWALI TAHUN 1451 M

Telah lahir seorang putra cucu dari raja sunda waktu itu, Prabu Niskala Wastu Kancana. Anak tersebut merupakan anak dari Pangeran Dewa Niskala, yang dikemudian hari menjadi Raja Galuh, di istana Surawisesa Kawali. Bayi tersebut dikemudian hari terkenal dengan nama Pangeran Jaya Dewata atau Pangeran Pamanah Rasa. Ia lahir di ibukota kerajaan galuh waktu itu, Kawali, di keraton Surawisesa.
Pamanah rasa diperkirakan lahir pada 17 April 1451 M, di keraton Surawisesa Kawali (Ciamis sekarang). Ayahnya Dewa Niskala merupakan raja dari kerajaan Galuh. Prabu Dewa Niskala berkuasa di Galuh  dari tahun 1475 sampai dengan tahun 1482 M.  Nama Pamanah Rasa hanyalah nama panggilan. Ia dinobatkan menjadi raja galuh  pakuan dengan gelar Prabu Guru Dewata Prana.
Pamanah Rasa tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa.  Masa mudanya dikenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas. Dalam berbagai hal orang sezamannya  teringat kepada kebesaran  buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu Siliwangi.

BAB II KELUARGA

Prabu Jaya dewata merupakan putra dari Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kencana penguasa Galuh dari tahun 1475 hingga 1482 M.
Setelah akil baligh Prabu Jawa Dewata pada mulanya  memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindang kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja Jayadewata. Ia merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastukenacana dari Mayang Sari.
Ia  kemudian memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedengtapa, yang menjadi penguasa di Singapura. Subang Larang  adalah muslim pertama di lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok Syekh Qura di Pura Karawang. Dari turunan  Subang Larang inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda (raja Cirebon dan banten). Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak: Walangsungsang (atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang (ibu dari Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara atau ada yang menyebutnya dengan nama Kiansantang.
  Jaya Dewata juga memperistri Kentrik  Manik Mayang sunda,  putri Prabu Susuk Tunggal, dari istana Pakuan. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan. Dari istrinya ini ia kemudian mempunyai anak yang bernama Pangeran Sangiang atua setelah menjadi raja menggantikan ayahnya bergelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa.

BAB III MASA KEKUASAAN DAN KEBIJAKAN DALAM NEGERI 

Prabu Jayadewata  merupakan putra Dewa Niskala, Raja dari istana Galuh, dan juga menjadi menantu Prabu Susuktunggal, Raja Sunda di Pakuan.  Dengan demikian ia merupakan pewaris 2 tahta istana kerajaan yaitu istana Galuh di Kawali dan istana kerajaan Sunda di Pakuan.

1..Penobatan Raja Dua Kali
Pada tahun 1482 M secara resmi Pangeran Jayadewata diangkat menjadi raja. Dalam Prasasti Batutulis yang ada di Bogor, disebutkan bahwa Prabu Jayadewat dinobatkan menjadi raja 2 kali.

"Wangna pun ini sakakala, Prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga maharaja ratu haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata..... "
Arti: 
Semoga Selamat, ini tanda peringatan  Prabu ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prau Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri baduga maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata

Pertama, ia diangkat menjadi Raja Galuh menggantikan ayahnya, Prabu Dewa Niskala (Prabu Ningrat Kencana), dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Ayahnya, Prabu Dewa Niskala menjadi raja di Galuh selama 7 tahun, dari tahun 1397-1404 Saka. Dewa Niskala kemudian memberikan tahta pada anaknya, karena ia melakukan kesalahan mengawini salah satu putri bangsawan dari Majapahit (Wilwatika). Hal itu menyebabkan ketegangan dengan kerajaaan Sunda. Dan untuk meredam ketegangan, Dewa Niskala kemudian mengangkat anaknya, Prabu jayadewata menjadi raja di Galuh.
Kedua, ia juga diangkat raja di istana Pakuan Pajajaran menggantikan mertuanya, Prabu Susuk Tunggal, dengan gelar penobatan Sri Baduga Maharaja.  
Dan penbatan kedua tahta itu  terjadi ketika pada tahun 1482 M, diangkat oleh ayahnya Dewa Niskala senagai raja di istana Kawali Galuh. Dan pada tahun itu juga ia diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan, menggantikan mertuanya, Prabu Susuk Tunggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.

2.. Iring Iringan pindahnya Keraton
Karena pada awalnya Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata mendapat tahta dari ayahnya dari galuh, maka ia berkuasa seperti ayahnya di istana Surawisesa Kawali Galuh. Tetapi ketika mendapat tahta dari mertuanya dari Pakuan Pajajaran, maka ia kemudian memilih istana di Pakuan, yang bernama keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, dengan singgasan Sriman Sriwacana.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan sehari hari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran.
Karena pertama menjadi raja di Galuh, maka ia kemudian pindah ke istana Galuh di Kawali. Tetapi ketika ia diangkat menjadi raja di Pakuan, ia memutuskan Pakuan menjadi ibukota pemerintahannya. Maka terjadilah proese perpindahan kembali dari istana Kawali ke istana di Pakuan.
Dan Iring iringan kepindahan keluarga keraton dari istana di Kawali ke Pakuan, diceritakan dalam kisah perjalanan Ratu Ambetkasih  (istri pertama Prabu Jayadewata) dan madu madunya dari keraton Kawali ke keraton Pakuan yang ditulis oleh Kairaga, seorang penulis dan penyair Pantun sunda yang hidup sekitar awal abad ke-18 M.

“ .......... Dicarita Ngabetkasih, kadeungeun / sakamaruan, bur payung agung ngawah tugu, nu saur manuk sabda tunggal, nu dek mulih ka Pakuan.
Saundur ti dalem timur, kedaton wetan buruan, si Mahut Putih gede manik, maya datar ngarana.
Sunilaya ngarana, dalem Sri Kancana Manik, Bumi Ringgit cipta ririyak di sanghiyang Pandan Larang, dalem si pawindu hurip.
.....................
... Bur ti heula ley peundeuri, iyuh na hulun susushunan, bulak karas himbal kakarangge, bese jati dipasangi bubuleud emas.
Tetek taleh salaka, sasaka gading ditapak liman, baaneun ka pakuan, bur jolian homas, dipuncakan ku camara gading
Dililinggan omas, ngarana tangga rantay , dipuncakan ku mirah, tumpak di karang montaja, singasari keri kanan.
Payung wilis lilingga gading, dipuncakan ku manik molah, payung getas di lilinggan, dipuncakan homas, deung payung saberilen.
Beunang ngagaler ku lungsir, tapo terong homas keloh> Gelewer paraja papan, kikiceup deungeun liliyeuk, deg semut sama dulur.
Betana ttaan pindah, bur kadi kuta Sri Manglayang, lumenggang di awang awang, juru kendi ti peundeuri juru kandaga ti heula.
 Deung sawung galng kiwa tangen, di tengah kidang kancana, saha nu si singa barong. Bur ti heula ley peundeuri. Sataganan lain deui.
...................
Arti:
“............ Tersebutlah Ambetkasih diiringi sanak keluarga dan  madu madunya, mengembanglah payung kebesaran melintas  Tugu, dengan seia sekata, yang akan kembali ke Pakuan.
Sekepergiannya dari istana timur, pelataran Keraton timur, Si Mahut Putih sebesar permata, Maya Datar namanya
Sunilaya namanya, istana Sri Kancana Manik, rumah berukir dibuat gemerlapan. di sanghiyang Pandan Larang, istana Si Pawindu hurip (penenang hidup).
..............................
Berangkat yang didepan, diikuti yang belakang, teduh para hamba yang dipertuan, perahu kecil (berisi) pei penuh sesak, pei kayu jati persegi dilapisi emas.
Pemotong taleh dari perak, pusaka dari gading berukirgajah, yang akan di bawa ke Pakuan...
.............................
Berjalanlah kereta kencana, diatasnya dihiasi dengan cemara kemuning.
Ditiang pancangi emas, namanya tangga berjuntai, diatasnya dihiasi permata batu mirah, bertumpuk di pekarangan penuh kilauan permata, kursi kerajaan dikiri kanan.
Payung Wilis bertiangkan gading, diatasnya dihiasi dengan permata bergoyang. Payung agung ditiangi, diatasnya dihiasi emas, dengan payung yang dilengkapi berlian.
Yang dialasi kain sutera, hiasan kepala (mahkota emas cekung. Berderet para pembeesar, saling kedip sambil saling lirik, saling tersenyum sesama saudara.
Bagaikan semut tanaman berpindah. Gemerlap  bagaikan kota Sri Manglayang, terbang melayang diangkasa. Para pembawa gentong dari belakang, para pembawa tempayan logam didepan.
Dengan pagar ayu di kiri kanan, di tengah barisan berselendang keemasan, bersama dengan yang bertopeng singa. Maju yang di depan dikuti yang di belakang, serombongan berbeda lagi.
....................


3. Kebijakan Pertama
Tindakan pertama  yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi menjadi  raja adalah menunaikan  amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu prasasti  peninggalan Sri Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):
” Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan  sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota  di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sambawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan mmeberatkannya dengan ’dasa’ , ’calagra’, kapasa timbang’, dan ’pare dongdang’. Maka diperintahkan  kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah  yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.”

4. Perekonomian & Perdagangan 
Tentang kesejahteraan masyarakatnya, diceritakahn dalam naskah carita Parahiyangan sebagai berikut:
 Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku ngalanggar Sanghiang Siksa.
 Dalam carita Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan. Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah Karuhun Kabeh (dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires, utusan Portugis dari Malaka,  ikut mencatat kemajuan zaman Sri baduga  dengan komentar:
” The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka  adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan  perdagangan Sunda  hingga ke kepulaan  maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa  mencapai  1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)  dikatakan cukup untuk mengisi 1000 kapal.




BAB IV

PERKEMBANGAN POLITIK DI NEGERI LUAR (TAHUN 1500-AN) DAN KEBIJAKAN POLITIK SANG RAJA


Pada era Sri baduga maharaja berkuasa selama 48 tahun  dari tahun dari tahun 1482 hingga 1521 M, perkembangan politik di luar negeri sedemikian cepatnya. Diawali dengn berdirinya kerajaan Demak, yang diikuti oleh  jatuhnya kerajaan Majapahit tahun 1400 Saka atau 1478 M, sehingga para bangsawannya banyak yang mengungsi ke tanah sunda. Majapahit yang digadang gadang mempunyai kekuasaan besar, seolah hilang di telan bumi.

Ia juga melihat perkembangan kerajaan Demak yang cukup agresif, dan menjadi kekuatan global islam di wilayah timur.  Disamping itu ia juga menyaksikan jatuhnya pusat perdagangan Islam di Malaka pada tahun 1511 M oleh Portugis.

Sebagai kerajaan Hindu terakhir, meskipun belum ada yang berani untuk melakukan peperangan dengan kerajaan Pajajaran. Tetapi melihat perkembangan yang demikian pesat di luar negeri, membuatnya harus melakukan beberapa kebijakan yang kontroversial untuk kelangsungan kerajaannya di masa depan. Sehingga ia kemudian melakukan kontak perjanjian dengan Portugis di Malaka, meskipun akhirnya kebijakan ini dianggap menjadi salah satu sebab dari keretakan antar pangeran keturunannya yang berbeda keyakinan di kemudian hari.


a. Berdirinya Demak dan Jatuhnya Majapahit

Pada masa mudanya ia menyaksikan pengungsian besar besaran dari bangsawan Majapahit ke tanah Sunda/ Galuh. Dan salah satu sebab kejatuhan ayahnya sebagai penguasa Galuh, karena mengawininya istri di kaluaran, yang waktu itu sangat di haramkan dalam istana Sunda Galuh, akibat peristiwa Bubat yang menimpa maharaja Linggabuana pada tahun 1357 M.

Demak didirikan oleh Raden Fatah, pada tahun 1475 M. Ia berkuasa selama 43 tahun, dari tahun 1475 M hingga 1518 M. Kekuasaan kemudian diteruskan oleh anak pertamanya yang bernama Pati Unus yang berkuasa dari tahun 1518 M sampai dengan 1521 M, dan setelah itu diteruskan oleh anak keduanya yang bernama Sultan Trenggono yang berkuasa dari tahun 1521-1548 M. 

Setelah Sutan Trenggono meninggal, Demak mengalami perpecahan, dan dianggap sudah berakhir. Sehingga Kerajaan kerajaan dalam dominasinya  menjadi kerajaaan yang independen, sperti Cirebon dan lainnya. Tahun 1548 M, dianggap sebagai akhir dominasi Demak, karena setelah itu terjadi perpecahan, dan Demak dianggap lenyap seolah ditelan bumi pada tahun 1554 M, saat Joko Tingkir mengalihkan kekuasaannya ke Pajang.

Selama kurang lebih 73 tahun (antara tahun 1475-1548 M) kerajaan Demak dianggap paling agresif dan berhasil dalam mendominasi perpolitikan di Jawa bagian tengah dan timur. Meskipun perpolitikan di Cirebon dan juga Banten mulai dominan, tetapi ia kurang berhasil dalam menaklukan kerajaan pajajaran secara keseluruhan.  Selama kurun waktu tersebut, Demak hampir menguasai seluruh wilayah jawa bagian timur dan tengah, termasuk bantuannya ke Cirebon dalam menghadapai Pajajaran. 

Kerajaan Demak berdiri ketika Majapahit berada pada posisi terparah dalam sejarahnya. Kekuasaanya hanya meliputi Jawa bagian timur. karena itu dengan mudahnya Demak dapat menguasai ibukota Majapahit, dan daerah daerah bekas kekuasaanya satu per satu oleh  Demak dapat  dikuasai.

Sri Baduga maharaja berkuasa di Pajajaran sezaman dengan Raden Fatah  (mp. 1475-1518 M)  dan Pati Unus (mp. 1518-1521 M) di Demak. Sehingga pada masanya ia menyaksikan penaklukan majapahit dan penyerbuan Demak ke Malaka.

b.Jatuhnya Malaka tahun 1511 M dan Berkah Bagi Pajajaran

Kesultanan Malaka didirikan ada tahun 1405 M oleh Parameswara, salah seorang bangsawan pelarian dari Sriwijaya. Ia kemudian masuk islam dan bergelar Sultan iskandar Syah. Kemudian kesultanan ini berkembang menjadi pusat perdagangan international kala itu yang sangat disegani dan ramai hingga jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, di era Sultan Mahmud Syah.

Parameswara berkuasa hingga tahun 1414 M, hingga diteruskan oleh anaknya Megat iskandar syah (mp. 1414-1424 M), dan sultan berikutnya berturut turut, Sultan Muhammad Syah (mp. 1424-1444 M), Sultan Abu Syahid, Sultan Muhammad Syah (mp. 1444-1445 M), Sultan Mudzafar syah (mp. 1446-1459 M), Sultan mansyur Syah (mp. 1459-1477 M), Sultan Alauddin Riayat Syah (mp. 1477-1488 M) dan terakhir Sultan Mahmud syah (mp. 1488-1511 M).

Hingga tahun 1511 Masehi,  Malaka disamping menjadi ibukota juga merupakan kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan. Malaka telah menjadi kekuatan utama penguasaan jalur selat malaka. Dan hal ini berakhir ketika Malaka jatuh ket tangan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Alburquerque.


Jatuhnya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M, justru membawa berkah tersendri bagi Pajajaran. Pedagang pedagang muslim yang terancam oleh keberadaan Portugis di malaka mulai mencari alternatif pelabuhan dan jalur baru perdagangan untuk mencari rempah rempah. Disamping Aceh yang mendapat berkah karena jatuhnya Portugis tersebut, Pajajaran juga mendapat dampak yang sangat positif. Perubahan jalur dari selat Malaka ke selat sunda, membawa berkah tersendiri bagi pelabuhan pelabuhan Pajajaran yang ada di selat sunda tersebut, terutama Banten dan juga Nusa Kalapa.


Kedua pelabuhan utama di Pajajaran tersebut telah berubah menjadi pelabuhan teramai dan pusat perdagangan utama di wilayah nusantara, terutama yang mau menuju daerah timur.




c. Kebijakan Politik

Melihat perkembangan politik di luar negerinya dan terisnpirasi oleh jatuhnya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M. Sang raja seolah terinspirasi oleh kemenangan Portugis tersebut. 
Setelah Majapahit Jatuh, dan setelah melihat perkembangan anak anaknya yang beragama Islam di Cirebon, yang mulai terpengaruh oleh Demak. Sehingga kemungkinan besar kerajaan Pajajaran akan jatuh juga, jika tidak ada upaya upaya untuk memperkuatnya. 
Pajajaran seolah menjadi kerajaan Hindu sendirian ditengah kepungan kerajaan-kerajaan Islam yang mulai berdiri dan  setelah kerajaan kerajaan Hindu banyak yang berubah menjadi kerajaan Islam. Karena itu keberhasilan Portugis dalam menguasai kerajaan islam sekaliber Malaka, maka ia seolah mendapat teman. 
Meskipun pelabuhan pelabuhan di Pajajaran diuntungkan oleh direbutnya Malaka oleh Portugis. Tetapi melihat perkembangan anak-anaknya yang berkuasa di Cirebon yang melakukan kerjasama dengan Demak, seolah membuka matanya, bahwa masa depan kerajaannya terancam. Meskipun pada masanya ia yakin, bahwa tidak ada kerajaan yang berani melakukan kontak senjata dengan Pajajaran.
Sri baduga maharaja mengutus putra mahkotanya, Pangeran Surawisesa untuk melakukan kerjasama dengan Portugis di malaka.  Pangeran mahkota tersebut  pergi ke Malaka  dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521 M, untuk menemui Alfonso d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka. 
Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajagan  pihak portugis pada tahun 1513 M, yang diikuti oleh Tome Pires. Sedang hasil kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis  yang dipimpin oleh Hendrik  De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa  Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai  dibangun, pihak sunda akan menyerahkan  1000 karung lada tiap tahun  untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351 kwintal).

  

BAB V NAMA NAMA DAN GELAR UNTUK SRI BADUGA MAHARAJA

Karena bebagai prestasi dari Prabu jayadewata, disamping menjadi pemersatu wilayah sunda dan galuh, juga pada zamannya dikatakan sebagai zaman kegemilangannya. Baik dalam bidang ekonomi an kesejahteraan rakyatnya. Karena itu ia sering dikaitkan dengan nama Prabu Siliwangi (penggati Prabu Wangi), dan juga Sri baduga Maharaja. Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batutulis, sedang dalam carita parahiyangan ditulis Jayadewata. 

a. Gelar Prabu Siliwangi

Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Sumber sejarah pertama yang mengungkap nama siliwangi, adalah naskah sanghiyang siksa kandang karesian (1518 M),  yang dimaksud menyebutkan  salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama (lalakon)nya tidak diceritakan.
Yang kedua adalah naskah ”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, yang menceritakan tentang  Prabu Siliwangi, yang merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang berkuasa di kraton Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur. Prabu Siliwangi bertahta di keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan Subang Larang (1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di Kawali (1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga  emnikah dengan putri Ambetkasih.
Dan yang ketiga terdapat dalam naskah Carita Ratu Pakuan (kropak 410) yang ditulis kira-kira pad akhir abad ke-17 M atau awal abad ke-18 M. Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Prabu Siliwangi yang berkuasa di Pakuan, yang mempunyai istri Ambetkasih dan Subanglarang. Hal ini cocok dengan  Naskah cirebon diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga maharaja.

b. Sri Baduga Maharaja

Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batu Tulis, yang ada di Bogor  sekarang. 

BAB VI PRASASTI BATUTULIS

Prasasti Batutulis meruapakan prasasti yang di buat oleh Prabu Surawisesa, raja kerajaan Pajajaran putra dari raja sebelumnya, Sri Baduga Maharaja. Dan dibuat untuk mengenang ayahnya, Sri Baduga Maharaja.
Prasasti ini di yakini dibuat setelah upacara kematian ayahnya yang ke-12 tahun. Dan dalam prasasti itu sendiri diungkapkan bahwa pembuatan prasasti ini ada dalam sangkala diakhir tulisan prasasti, yaitu:  "Panca Pandawa mengemban bumi" berarti 5541, jika dibalik menjadi 1455 saka  atau pada tahun 1533 Masehi.
Dalam Prasasti itu dituliskan sebagai berikut:
Wangna pun ini sakakala, Prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga maharaja ratu haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diya anak rahyang dewa niskala sang) sida mokta ka nusalarang
ya isya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa (ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi

Semoga Selamat, ini tanda peringatan  Prabu ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prau Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri baduga maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata
dialah yang mebuat parit (pertahanan) pakuan
dia putera rahiyang dewa niskala yang dipusarakan di gunatiga, cucu rahiyang  
niskala wastukancana yangdipusarakan di nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan, membuat 
undakan untuk hutan samida, membuat sanghiyang  talaga rena mahawijaya (dibuat) dalam (tahn) saka "panca pandawa mengemban bumi"

Dalam prasasti ini diungkapkan bahwa Sri Baduga Maharaja ketika ia berkuasa, telah membuat beberapa karya, diantaranya yaitu: yang membuat parit pertahanan Pakuan (Nu Nyusuk nan Pakuan), yang membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan, yang membuat undakan untuk hutan samida, dan yang membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya.
Yang diungkapkan dalam prasasti ini dipertegas lagi dalam naskah Wangsakerta kitab Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 2 halaman 21 dan 23, sebagai berikut:
“Sang Maharaja membuat karya, yaitu: membuat telaga yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh (perhanan) kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (mahligai), kesatriaan, satuan satuan tempur, tempat tempat hiburan (pamingtonan), memperkuat angkatan perang, mengatur upeti dari raja raja bawahan dan kepala desa dan menyusun undang undang kerajaan (nitirajya).

1.. Membuat Parit Pertahanan (Nu Nyusuk nan Pakuan)

Para ahli sejarah mengartikan kata “Nu nyusuk na Pakuan” diartikan dengan yang membuat parit di Pakuan. Yang secara luas diartikan dengan yang membuat parit pertahanan Pakuan. Seperti yang kita ketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja menjadikan Pakuan menjadi ibukota kerajaan, sehingga di kemudian hari kerajaannya lebih dikenal dengan kerjaan Pakuan Pajajaran atau Pajajaran saja.
Kota Pakuan didirikan oleh Prabu Tarusbawa, pendiri kerajaan sunda. Tarusbawa berasal dari kerajaan Sunda Sambawa. Ia menggantikan mertuanya menjadi raja Tarumanagara menggantikan mertuanya, Prabu Linggawarman. Tetapi Prabu Tarusbawa kemudian memindahkan ibukota dari daerah Bekasi sekarang ke Pakuan (sekitar bogor sekarang).
Dalam naskah Carita Parahiyangan yang pertama kali yang nyusuk pakuan atau membuat parit pertahanan Pakuan adalah Prabu Hariang Banga, sebagai upaya untuk memperkokoh posisi Pakuan dibanding kerajaan kembar yang menjadi saingannya, yaitu kerajaan Galuh di era Raja Prabu Sang Manarah (Ciung Wanara), yang merupakan saudara tiri Hariang Banga.
Dan dalam kropak 406, Pakuan ini pernah diperluas (dibeukah) oleh Maharaja Prabu Darmasiksa, yang menurut Naskah Wangsakerta, Prabu Darmasiksa pindah dari Saunggalah ke Pakuan pada tahun 1109 Saka, dan ia memperluasnya.
Sri Baduga maharaja yang dibesarkan di Galuh (istana Surawisesa Kawali), seolah terinspirasi oleh kakekanya, Prabu Wastukancana, yang membuat benteng berupa parit pertahanan di sekeliling ibukota atau yang “marigi sakuliling dayeuh”. Karena itu ia kemudian membuat parit pertahanan ibukota Pakuan (nu nyusuk na Pakuan).
Menurut para ahli, bahwa parit atau benteng pertahanan Pakuan dibuat secara bersambung dari beberapa orang raja. Abraham Van Riebeeck pernah menemukan banyak sisa sisa Parit ini.
Parit / benteng  pertahanan ini merupakan karya yang mengagumkan. Ketangguhan benteng atau parit pertahanan ini terbukti dikemudian hari. Di era kejatuahn Pakuan tahun 1579 M, meskipun Pakuan lebih dari 12 tahun ditinggalkan oleh rajanya. Pakuan masih mampu menahan serangan pasukan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf yang  dilakukan berkali kali.  Dan Pakuan akhirnya dapat dibobol karena ada penghianatan orang dalam.

Konon sisa parit masih bisa dsaksikan di daerah Batutulis, dibelakang makam embah dalem Batutulis. Ukuran parit itu lebarnya 10 meter dan tinggi tebing antara 7 hingga 10 meter.

2.. Membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan

Ada yang mempersamakan istilah gunung gunungan dalam prasasti ini dengan istilah Wanagiri dalam naskah Wangsakerta.
Menurut Saleh Danasasmita kemungkinan tempat peringatan yang berupa gunung gunungan ada kemungkinan yang bernama bukit badigul sekarang, yang berada di daerah Rancamaya. Hal ini menurutnya dari pandangan sepintas bahwa bukit iru merupakan bukit buatan, disamping memenuhi syarat ukuran sebuah bukit atau gunung kecil.

3.. Membuat undakan untuk hutan samida

Hutan Samida ada yang mengartikannya merupakan hutan larangan. Dan Hutan samida yang disebut dalam prasasti batu tulis ini diyakini berada ditempat yang ada sekarang menjadi kebon raya Bogor.

4.. Membuat Sanghiyang Talaga Rena mahawijaya

Mengenai Sanghiyang Talaga rena Mahawijaya atau  dalam naskah Wangsakerta disebut dengan Maharena wijaya, belum diketahui dengan pasti. Para ahli masih bersilang pendapat, tentang letak Talaga rena Mahawijaya ini. Ada yang mengatakan letaknya di kota baru, sekitar 5 km sebelah barat daya  kota bogor. Ada yang mengatakan saa dengan Talaga Warna di puncak, dan ada yang mengatakan di aliran ciliwung.
Dalam carita pantun yang berasal dari Bogor, lakon “Nyurabrata”,  disebutkan bahwa di era masa Pajajaran ada 2 telaga, yaitu: Kamala wijaya atau Sipatahunan, yang terletak di aliran sungai Cilwung dan Rena Wijaya yang terletak di Rancamaya.

5. Karya lainnya
Seperti  diungkapkan dalam naskah Wangsakerta kitab Pustaka Nagara Kretabhumi bahwa yang Sang Maharaja (Sri Baduga Maharaja)  selain keempat diatas, masih membuat karya lainnya, yaitu: membuat jalan yang ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (mahligai), kesatriaan, satuan satuan tempur, tempat tempat hiburan (pamingtonan), memperkuat angkatan perang, mengatur upeti dari raja raja bawahan dan kepala desa dan menyusun undang undang kerajaan (nitirajya).
Tentang jalan yang berbatu yang sempurna buatannya, pernah dilaporkan oleh laporan ekspedisi Winkler (1690 M).  Dan tentang jalan berbatu juga dilaporkan oleh Scipio yang mengunjungi Batutulis pada 1 September 1687 M.

Dan mungkin tentang jalan ini juga merupakan karya bersambung. Karena setelah  Sri Baduga Maharaja, dan raja raja setelahnya. Dalam naskah Carita Parahiyangan, menyebutkan bahwa pada zaman Sang Nikalendra yang disebut dengan Tohaan dari Majaya, yang memerintah dari tahun rahun 1551-1567 M, pernah membuat taman yang dibalay (diperkeras dengan batu) dan balaibobot 17 jajar (baris) yang diapit oleh 2 pintu larangan (mihapitkeun dora larangan).


(lanjut...)

By Adeng Lukmantara
Peminat Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang

Sumber dan Gambar: 
Danasasmita, Saleh, Menelusuri Situs Prasasti batutulis, Kiblat, Bandung, 2014
Danasasmita, Saleh, Mencari Gerbang Pakuan, Kiblat, Bandung, 2014
Ekadjati, Edi S., Dari Pentas Sejarah Sunda , Kiblat, Bandung, 2014
Suganda, Her, Kerajaan Galuh, Legenda, Takhta, dan Wanita, Kiblat, Bandung, 2015

Internet: Wikipedia dan lain lain