Senin, 22 Agustus 2016

SI KABAYAN : TOKOH IMAJINATIF YANG INSPIRATIF

Oleh 
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang Jawa barat


Pengantar

Salah satu fungsi dari belahan otak kanan adalah imajinasi atau menghayal. Mengenai kata mengkhayal atau imajinasi, jika dikaitkan dengan tokoh, mungkin orang sunda akan  teringat pada cerita atau dongeng tentang Si Kabayan.
Cerita Si kabayan seolah sudah menjadi cerita turun temurun masyarakat sunda sejak dulu. Si Kabayan ini adalah tokoh imajinasi yang sangat terkenal di tataran sunda. Si Kabayan adalah si penghayal besar. Kadang orang memandang waktu itu sangat negatif "pangedulan" alias males.
Yang diketahui dari kita tentang Si Kabayan ini adalah tokoh yang suka berkelakar, humoris, kadang dianggap malas tetapi selalu memberikan solusi yang sangat cerdas.
Saya tidak tahu masuk mana tokoh Sikabayan ini. Apakah dia masuk kategori kecenderungan pengguna otak kiri atau otak kanan. Tapi yang jelas si Kabayan ini adalah tokoh imajinatif ditanah sunda yang sangat inspiratif, karena dia selalu dihubungkan dengan solusi masyarakat di zamannya. 
Karena sangat inspiratif, maka tokoh si Kabayan ini telah ditulis dalam beratus ratus judul, telah disinetronkan dalam berbagai versi dan telah difilmkan dalam dalam beberapa judul. 
Jadi tokoh Sikabayan ini merupakan tokoh imajinatif yang sangat inspiratif, meskipun diizamannya dia sering disebut pangedulan, atau tidak kreatif.

Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang


SI KABAYAN : TOKOH IMAJINATIF YANG INSPIRATIF

BAB I SI KABAYAN DALAM SUATU CERITA

1.. Pemeran Utama Cerita Si Kabayan
Dalam suatu cerita, tokoh utama dalam kisah Si Kabayan hanya 4 orang, yaitu Si Kabayan itu sendiri, Si Iteung istrinya, Si Abah yang merupakan mertua laki-laki Si kabayan (bapak Si Iteung), dan Ambu yang merupakan mertua perempuan Si Kabayan. Sedang tokoh tokoh lainnya merupakan pelengkap, tergantung pada tema ceritanya.
Si kabayan selalu diidentikan orang yang polos, agak malas, tetapi agak cerdas, banyak ide disamping humoris. Keberhasilan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang rumit, kadang di luar nalar dizamannya. Keberhasilan bisa berupa kemujuran, atau memang karena logika yang masuk akal.
 Si Iteung digambarkan sebagai wanita yang cantik, berwajah agak hitam tetapi manis (hitam manis / Si hideung santeun) yang menjadi kembang desa dan primadona para jejaka di desa, tetapi si kabayan dapat memenangkan persaingan, dan dapat merebut hati Si Iteung.
Si Abah merupakan orang tua Si Iteung, yang sebenarnya tidak mau mempunyai menantu seperti Si Kabayan. Tetapi kemudian harus terpaksa merelakan anaknya di kawin oleh si Kabayan, karena kegigihan Si kabayan dalam memperjuangkan untuk meluluhkan hati anaknya Si Iteung.
Ambu merupakan ibu dari Si Iteung, dan dikenal tokoh bijaksana, yang sering mendamaikan kesalahpahaman pemikiran Si Kabayan dengan suaminya (Si Abah) yang kadang terkenal agak kurang menyukai sifat sifat Si Kabayan.
Sedang Tokoh lain hanyalah tokoh pelengkap tergantung pada tema cerita Si Kabayan. Tetapi kebanyakan cerita berasal dari konflik antara Si Kabayan dan mertuanya, Si Abah. Maka dalam cerita cerita atau film film tentang Si Kabayan, kadang kadang muncul dari Si Abah diantaranya kata: Si Borokokok atau Si Ontohod, untuk istilah yang diberikan kepada Si Kabayan.
2.. Sifat Dasar Si Kabayan
Si kabayan di daerah nusantara merupakan tokoh jenaka yang tiada duanya. Ceritanya berkembang mengikuti perkembangan zaman. Tetapi ada keunikan dari tokoh ini yang tetap melekat, yaitu kepolosan yang seolah tidak ada obsesi dan tendensi; selalu memperlihatkan sikap orang kampung (agak kampungan); tidak pernah merasa tersinggung jika dikritik atau dihina dan selalu menanggapinya dengan santai; seperti orang malas tetapi selalu berpikir (merenung); daya imajinatifnya selalu melampaui zamannya, cerdas dan banyak akal. Jika menghadapi permasalahan yang rumit sekalipun tetap dalam wajah dan kondisi yang tidak pernah panik, dan solusi atau pemecahan permasalahan kadang sulit di duga tetapi masuk akal, dan dengan solusi permasalahan yang cemerlang.
Si Kabayan adalah seorang perenung yang luar biasa. Perenung merupakan istilah untuk kata orang yang sering merenung memikirkan sesuatu ynag kadang di luar pemikiran  zamanya. Karena itu ia kadang imajinatifnya melebihi zamanya dan di luar pikiran masyarakat sekitarnya. Karena itu mertuanya kadang menganggap si kabayan seperti orang yang malas (pangeudulan) dan seorang penghayal besar.
Karena pemikiran yang luar biasa, banyak akal  dan gigih dalam memperjuangkan kemauannya, meskipun seperti orang kampungan dan pemalas. Tetapi justru sikap yang demikian yang dapat meluluhkan hati Si Iteung, bunga desa si mojang  hideung santeun (Si Iteung yang hitam manis).
2.. Perbandingan dengan Tokoh Lain
Kadang orang mensejajarkan tokoh Si kabayan ini dengan Abu Nawas atau Nasrudiin dalam sastra Arab pada abad pertengahan. Seperti halnya Abu Nawas atau Nasruddin adalah tokoh jenaka yang sangat cerdas, seseorang yang membuat ketidakmungkinan menjadi mungkin dengan keberhasilan yang luar biasa dan dilakukan dengan hal hal yang jenaka.
Meskipun terlalu jauh mensejajarkan Si Kabayan dengan tokoh seperti Abu Nawas dan juga Nasruddin, tetapi Tokoh Si kabayan ini hanya ada satu satunya di Nusantara yang begitu membumi. Dan hanya ada dalam kebudayaan masyarakat Sunda.
Wikipedia menulis bahwa si kabayan merupakan tokoh imajinatf dari budaya Sunda. Polahnya dianggap lucu, polos, tetapi sekaligus cerdas. Atep Kurnia dalam tulisannya mengutip pendapat Rassers (1941) yang menilai tokoh si kabayan ini adalah tokoh ambivalen. Selain sebagai penghubung dan pewarta dari sang pencipta, ia juga mewakili totalitas dan kekuatan masyarakat yang bersifat membangun, tetapi juga menghambat. Oleh karena itu Rassers menganggap Si kabayan adalah pahlawan budaya sekaligus tukang tipu.
Entah dari mana tokoh sikabayan ini berasal. Kadang orang memandang bahwa Si Kabayan hanyalah tokoh fiktif. Tetapi ada yang mengatakan bahwa tokoh si kabayan ini adalah tokoh nyata yang pernah ada di Banten.

BAB II CERITA SI KABAYAN DARI MASA KE MASA
Dalam peradaban di Indonesia, yang mempunyai sejarah lisan terbanyak yang diceritakan secara turun temurun dan menjadi cerita tokoh pandir terkemuka adalah tokoh yang bernama Sikabayan. Jika di peradaban timur tengah tempo dulu mengenal cerita tokoh pandir terkemuka, yaitu Abu Nawas, dalam peradaban sunda ada Si Kabayan.
Tokoh si kabayan ini merupakan cerita dongeng yang banyak diceritakan dalam hubungannya dengan ide ide yang brilyan dalam masyarakat biasa di zamannya. Meskipun terlihat pandir dan juga konyol, tetapi dari berbagai cerita mengenai sikabayan mengindikasikan bahwa dia adalah seorang pemikir dan tokoh yang selalu dikaitkan dalam menyelesaikan masalah yang cukup rumit di masyarakatnya. Meskipun terkesan malas, tetapi dari berbagai cerita alasannnya cukup memberikan info dalam memberikan penyelesaian masalah masalah di zamannya, dengan perumpamaan yang sangat mengagumkan.
Suatu cerita lisan menunjukan bahwa mungkin tokoh ini ada di zaman dahulu. Meskipun kita tidak pernah tahu sejak zaman kapan tokoh ini berada. Tetapi dari kisah kisah menunjukan bahwa dia memang ada, dan sangat berbekas dalam hati masyarakat, sehingga selalu mengenangnya dan menceritakannya dari masa ke masa. Karena tidak mungkin masyarakat menceritakan tanpa ada sebab dan musababnya.  Dan hal ini hanya ada di daerah sunda, di daerah lain tidak ditemukan tokoh semacam ini, termasuk dalam peradaban jawa.
Tokoh Si Kabayan, kadang di ceritaan sebagai tokoh konyol, pandir dan malas, tetapi dengan ide ide dan kemauan yang besar dan brilyan. Karena segala permasalahan yang rumitpun oleh si kabayan ini bisa diselesaikan, meskipun terkadang agak konyol. Dia dianggap malas dimungkinkan karena ia berada di lingkungan pedesaan yang segala sesuatu harus bekerja dengan tenaga dan gerak, tidak ada sedikitpun ruang untuk merenung dan berpikir. Dari sinilah seolah dia juga seorang penghayal yang tiada bandingnya.
sangat beda tipis dengan berpikir, merenung adalah salah satu cara untuk berpikir. Si kabayan juga terkenal dengan tokoh berkemauan besar. Buktinya ia telah memenangkan hati Nyi Iteung, mojang desa yang menjadi bunga desa sehingga menjadi istrinya.  Dia memang penghayal besar, yang selalu dikaitkan dengan penyelesaian masalah yang rumit dengan mudah dapat diselesaikan meskipun agak konyol.
Yang dingat dari kisah si kabayan yang selalu diceritakan oleh ayah dan ibu saya, adalah tentang sayembara menaklukan gajah yang sedang ngamuk. Banyak orang sakti yang tidak bisa menundukan gajah yang sedang ngamuk dan marah tersebut. Hal itu kedengaran oleh Sikabayan. Dan ketika sedang merenung memikirkan cara menaklukan gajah yang sedang ngamuk tersebut, tiba tiba ada seekor nyamuk yang bunyi pas di depan mukanya. Maka oleh sikabayan nyamuk itu ditepuk oleh dua tangannya, sehingga mati.
Dari kejadian ini si kabayan mencoba menarik logika dan kesimpulan. “Nyamuk saja yang kecil sekali tepuk sudah mati, apalagi gajah yang besar”. Meskipun logikanya agak konyol, tetapi begitulah si kabayan, kadang dengan ide kecil dan sepele inilah seseorang biasanya menjadi berani. Dengan logika tersebut Si Kabayan dengan gagahnya memberanikan diri untuk ikut sayembara menangkap gajah yang sedang marah dan ngamuk tersebut.
Keberpihakan memang selalu ada pada si kabayan. Karena hadiahnya akan dikawinkan dengan seorang putri raja. Mendengar suaminya akan mengikuti sayembara, maka sang istri cemburu, sehingga ketika ia mau pergi ikut sayembara, di nasinya ia campurkan sedikut racun yang bisa melumpuhkan. Tadinya nasi ini untuk bekal si kabayan.
Maka berangkatlah si kabayan ke lokasi gajah yang sedang mengamuk. Alangkah kagetnya si kabayan, melihat gajah yang begitu besar dan sedang marah. Sehingga banyak pohon yang tumbang karena amukan sang gajah. Melihat demikian hati si kabayanpun mulai ciut, dan ia mencoba naik pada pohon besar. Tetapi terus dikejar oleh sang gajah, dan sang gajah tersebut menunggu di bawah sambil mendorong dorong pohon yang dinaiki si kabayan tersebut, sehingga nasi yang dibawanyapun jatuh, dan dimakan oleh sang gajah. Karena beracun maka sang gajahpun pingsan.
Karena jasanya dalam menaklukan gajah ini si kabayan mendapat banyak hadiah, meskipun ia tidak mengawini salah seorang putri raja. Karena tujuannya hanya ikut menaklukan sang gajah.

BAB III SI KABAYAN DAN KONSEP AL BAYAN
Istilah Si Kabayan ada yang mengaitkan dengan kosa kata awalnya, yang menurut salah satu pendapat berasal dari kata Al bayan. Meskipun kadang pendapat ini ada yang menyatakan disebut dengan istilah kirata atau dikira kira tapi nyata. Tetapi justru mungkin pendapat inilah yang masuk akal. Dan menurut pendapat ini Si Kabayan adalah tokoh nyata yang berasal dari Banten selatan. Sebagai tokoh Islam yang berada di lingkungan istana kerajaan yang waktu itu didominasi masih bercorak Hindu. Atau juga kemungkinan di era Islam di era Mataram yang cenderung feodalistik. Si Kabayan seolah ingin mempertahankan sifat kesundaan, yaitu egaliter.
Al Bayan berasal dari kosa kata arab yang berarti bukti kebenaran. Dan turunan dari kata al bayan ini ada istilah tabayun. Karena itu si kabayan bertabayun untuk mencetuskan tentang egaliterianisme masyarakat, dan menggugat feodalisme yang diusung sufisme jawa, karena bertentangan dengan budaya sunda yang egaliter.
Tentang mengapa baahwa dari seorang penda’wah  atau pencerah malah dikenal menjadi seorang yang dikenal sebagai seorang yang pandir atau yang lucu. Hal ini dipersamakan dengan nasib Abu Nawas. Seperti diketahui bahwa Abu Nawas sebenarnya adalah ilmuwan mumpuni. Sebagai ahli bahasa dan juga sastra, dan diakhir hayatnya menjadi tokoh sufi.
Setiap zaman memang kadang beda dalam mengungkapkan pendapatnya atau keinginan atau imajinatifnya tentang masa depan. Hal itu juga mungkin sangat sulit untuk mengungkapkan hasil renungan terhadap masyarakat sekitar, apalagi di lingkungan petani atau masyarakat kampung biasa. Seolah angan adalah sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki oleh mereka semua. Penilaian masyarakat sekitar hanya pada hal yang realistis, yaitu kekayaan atau bekerja dan bekerja. Tidak ada ruang untuk memikirkan yang lainnya.
Disamping itu di lingkungan kerajaan atau birokrasi, kadang orang sombong terhadap jabatannya. Karena itu sangat sulit untuk mengingatkannya, apalagi oleh rakyat biasa. Karena itu ketika akan mengkritik atau mengingatkan amasyarakat sekitar atau mengungkapkan hasil renungan atau pendapat diperlukan bukti kebenaran yang tidak menyinggung yang dikritiknya. Maka disinilah sebenarnya si Kabayan itu berkiprah. Ia harus bertabayun memberikan bukti kebenaran dengan cerdik di lingkungan masyarakat yang stagnan atau feodal.
Masyarakat sunda yang egaliter seolah perlu mengkritik segala kejumudan dalam segala hal dan feodalisme yang mula kental di masyarakat sunda, karena pengaruh dari luar (Mataram atau Belanda). Karena itu tokoh si kabayan ini berusaha untuk mengkritik dengan cerdik baik kasar dan halus terhadap gejala gejala yang bertentangan dengan dengan sifat dasar yang egaliter.
Tetapi orang di zamannya tidak mau tahu dan sombong atas segala sindiran halus dan kasar yang ditempuh si kabayan. Dan justru malah terjadi penilian yang salah terhadap si kabayan yang dianggap sebagai penghayal besar dan cenderung males. Dan streotif ini terjadi hingga kini. Meskipun demikian, yang dikagumi hingga kini adalah kecerdasannya dalam menyelesaikan suatu masalah dengan brilyan tanpa orang merasa tersinggung dengan pencapaiannya.

Jadi si kabayan telah memberikan suatu bukti kebenaran atau tabayun. Jadi si kabayan ini seolah dicela tetapi justru dikenang sepanjang masa. Dan ide ide kreatifnya menginspirisakan banyak ide ide cerita. Sehingga telah berpuluh puluh judul cerita tentang si kabayan ini di tulis. Dan juga sering di sinetronkan dan juga di filmkan. Jadi sesuai judul si kabayan adalah tokoh imajinatif masyarakat sunda yang hidup dan sangat inspiratif. 


.............. (Lanjut)


By Adeng Lukmantara
Sumber:
Koran: Pikiran Rakyat
Internet: Wikpedia, Atep Kurnia (Cerita Rakyat: Si Kabayan, dari buku ke buku)



Jumat, 19 Agustus 2016

SANGKURIANG : TOKOH LEGENDA YANG INSPIRATIF

Oleh 
Adeng Lukmantara
Peminat Study Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang


Kata Pengantar

Dalam pelajaran di sekolah dulu, kita mengenal cerita cerita legenda, yaitu suatu kisah yang dikaitkan dengan terjadinya suatu tempat. Salah satu contoh yang terkenal mengenai legenda ini, diantaranya: Cerita Sangkuring.
Kisah Sangkuriang ini, di tanah Sunda sudah diceritakan turun temurun dari nenek moyang hingga sekarang. Bujangga Manik seorang penulis dan pengembara Sunda pada abad ke-15 M, telah menyinggung nama Sangkuriang dalam naskahnya (naskah karya Bujangga Manik  ini masih tersimpan di Oxford University Inggris):
“Leumpang aing ka baratkeun, datang ka bukit Patenggeng. Sasakala Sang Kuriang, masa dek nyitu Citarum, burung tembey kasiangan”
(Berjalanan aku ke barat, datang dari Bukit Patenggeng, Legenda Sang Kuriang, bagaimana mau membendung Citarum, gagal karena kesiangan)

Entah Cerita Legenda atau dongeng atau sejarah, kisah tentang Sangkuriang ini telah menjadi bagian terpenting dalam sejarah peradaban tanah Sunda. Cerita mengenai Sangkuriang merupakan cerita legenda yang sangat spektakuler, Karena kronologisnya sesuai dengan kronologi letusan gunung Sunda, pembentukan danau Bandung purba dan lahirnya gunung Tangkuban Parahu.
Bahkan seorang Geolog Belanda yang bernama R.W. Van Bemmelen (1936) begitu terpana ketika mendengar kisah Sangkuriang ini. Dalam Karyanya The Geological Hystory of Bandung Region , dan juga bukunya yang monumental The Geology of Indonesia, R.W. Van Bemmelen masih menyelipkan sasakala Sangkuriang.
Keterpanaan ini karena menurutnya kisah Sangkuriang begitu cocok dengan kisah pembentukan Danau Bandung Purba dan letusan Katastropi gunung Tangkuban Perahu. Dan hal yang menarik juga karena pada beberapa daerah toponimi atau penamaan wilayah begitu erat kaitannya dengan sasakala Sangkuriang ini.
Dalam kisah Legenda Sangkuriang ada beberapa tempat yang disebut berkaitan dengau danau purba Bandung, diantaranya nama nama gunung yang ada di sekitar Bandung. Setidaknya ada 4 gunung yang dikaitkan dengan cerita Sangkuriang, yaitu:  Gunung Bukit Tunggul, Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Manglayang.
Jika Gunung Bukit Tunggul dikaitkan dengan kayu yang dibuat untuk perahu, dan  tunggul bekas tebangan.  Tunggul dalam bahasa sunda berarti Sisa batang kayu (yang sudah ditebang)  yang masih utuh dengan akarnya dan masih tertanam di tanah. Gunung Burangrang dikaitkan dengan sisa sisa tumpukan kayu ( rangrang dalam bahasa sunda berarti sisa dahan, ranting dan daun daunan) dari kayu untuk perahu. Gunung Tangkuban perahu, berkaitan dengan kekesalan Sangkuriang karena kegagalannya, sehingga menendang perahu hingga terbalik. Tangkuban Perahu sendiri dalam bahasa sunda berarti perahu yang terbalik. Sedang Gunung Manglayang ada hubungannya, ketika Sangkuriang menjebol  bendungan di Sanghiyang Tikoro karena gagal membangun hingga waktu pajar. Sumbatan danau itupun ia lemparkan ke arah timur dan kini menjadi gunung Manglayang.
Kisah Sangkuriang pada hakekatnya merupakan sejarah komplik. Menurut Edi S Ekadjati  pada hakekatnya komplik itu akan timbul secara alamiyah dalam kehidupan manusia. Komplik antara Sangkuriang dan ibunya (Dayang Sumbi) ibarat saling berhadapannya konvensi (tradisi) dan inovasi (modern) dalam konsep kebudayaan..
Dan menurutnya juga ditinjau dari Sudut pandang lain, kisah Sangkuriang itu menggambarkan tokoh manusia sunda (laki laki) yang dinamis, kukuh pendirian, tidak gampang putus harapan, berani, banyak akal dan teguh pada kemauan. Sedang Dayang Sumbi mewakili perempuan sunda yang memegang kuat nilai nilai tradisi dan pendiran (terlarang anak menikah dengan ibunya) dan juga banyak akal.

Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang


BAB I.. SANGKURIANG DALAM KISAH

1.. Kisah Dayang Sumbi dan Si Tumang
Alkisah di negeri kahiyangan tempatnya para dewa, ada dewa san dewi yang dihukum turun ke bumi dengan wujud binatang karena melakukan kesalahan. Yang laki laki (dewa) berwujud anjing dan kemudian dikenal dengan nama Si Tumang. Dan yang wanita berbentuk babi hutan (bagong) yang kemudian dikenal dengan nama Bagong Wayungyang (dewi Wayung Hyang). Untuk kembali lagi ke alam para dewa, dewa dewi yang sudah berwujud binatang itu harus bertapa dan juga melakukan kehidupan di bumi.
Pada suatu hari, seorang raja yang bernama Sungging Prabangkara dengan rombongannya melakukan perburuan ke hutan dimana para dewa itu berada. Di hutan sang raja kencing, dan air kencingnya tertampung dalam daun Caring (Keladi Hutan). Tidak jauh dari tempat kencing Sang Raja,  Bagong Wayung Hiyang yang telah yang  sedang bertapa, merasa kehausan, hingga meminum air seni sang raja yang ada dalam daun caring.
Setelah meminum air seni tersebut, secara ajaib Bagong (babi hutan) jelmaan Dewi Wayung Hiyang itu hamil, dan kemudian melahirkan seorang anak wanita yang cantik. Dan bayi wanita yang cantik tersebut dengan tidak disengaja ditemukan oleh Sang raja Sungging Prabangkara, dan membawanya pulang ke istana, bersama anjing yang menunggu bayi tersebut.  Ia tidak menyadari bahwa bayi wanita yang cantik itu merupakan putrinya sendiri. Dan anjing itu kemudian dikenal dengan nama Si Tumang.
Bayi wanita itu kemudian oleh sang raja dinamakan Rara Sati dan setelah dewasa kemudian dikenal dengan nama Dayang Sumbi.  Dikisahkan bahwa setelah remaja (gadis), Dayang Sumbi kemudian menjadi remaja yang sangat cantik. Sehingga diperebutkan oleh para pangeran dan para raja yang ada di negerinya.

2.. Kelahiran dan Kepergian Sangkuriang
Menenun untuk membuat pakaian seolah menjadi keahlian yang harus dimiliki oleh para putri bangsawan, termasuk putri raja. Hal ini diungkapkan pula dalam naskah bujangga manik, bahwa ibu Bujangga Manik yang merupakan putri bangsawan sunda mempunyai keahlian dalam menenun, dan kesehariannnya sibuk dalam menenun.
Karena dayang sumbi merupakan salah satu putri bangsawan atau putri raja, maka ia juga mempunyai keahlian dalam bidang menenun ini. Dan jika tidak ada acara kenegaraan atau hal hal yang penting, keseharian Dayang Sumbi banyak dihabiskan dalam menenun untuk membuat pakaian. 
Dan kisah selanjutnya justru diawali dengan proses tenun menenun ini. Pada suatu hari ketika sedang asyiknya menenun kain, torompong (torak) tenunan jatuh ke bale bale bawah. Karena merasa malas mengambil, maka terlontar sumpah serapah dari Putri Dayang Sumbi.  Dayang Sumbi berjanji bahwa siapa saja yang mengambilkan torompong yang jatuh, jika jenis kelamin laki laki maka akan dijadikan suami, sedang jika berjenis kelamin wanita, maka akan dijadikan saudarinya.
Si Tumang yang telah menjadi anjing istana, dan selalu setia menjaga keputren Dayang Sumbi, ketika mengetahui torompong Sang Putri jatuh, kemudian ia mengambilkan Torompong tersebut, dan memberikannya ke Dayang Sumbi di lantai atas.
Melihat bahwa yang mengambil Torompong itu adalah seekor anjing, Dayang Sumbi gundah dan seolah tidak percaya. Tetapi karena sudah bersumpah, maka mau tidak mau Dayang Sumbi harus menerima Si Tumang yang menjadi suaminya.
Hal ini justru membuat aib bagi keluarga kerajaan.  Mendengar hal tersebut kemudian sang raja marah, dan karena merasa aib, akhirnya sang raja mengasingkan Dayang Sumbi ke hutan di perbukitan dengan di temani oleh Seekor anjing yang bernama Situmang.
Konon pada malam bulan purnama, si Tumang dapat kembali ke wujud aslinya sebagai dewa yang tampan. Dayang Sumbi mengira ia bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan. Padahal  sang Dewa adalah perwujudan dari Si Tumang. Tidak lama kemudian Dayang Sumbi hamil, dan melahirkan seorang anak laki laki yang tampan, yang kemudian dinamakan Sangkuriang.
Dengan berlalunya waktu, akhirnya Sangkuriang telah menjadi seorang anak yang kuat,tampan dan pandai berburu. Pada suatu hari  Dayang Sumbi  menginginkan makan hati menjangan. Maka ia menyuruh putranya Sangkuriang dengan ditemani oleh Si Tumang untuk berburu menjangan. Tetapi seolah hari itu merupakan hari kesialan Sangkuriang, sehingga ia tidak menemukan buruan satupun.
Dan ketika itu ada lewat seekor bagong (babi hutan), dan menyuruh Si Tumang untuk mengejarnya. Tetapi karena Babi tersebut merupakaan jelmaan dari Dewi wayung Hiyang, yang merupakan nenek dari sangkuriang, Si Tumang tidak berusaha mengejarnya, malah diam.
Hal itu membuat Sangkuriang marah, sudah seharian tidak menemukan buruan, malah babi hutan di depan mata dibiarkan. Pada awalnya untuk menakut nakuti Si Tumang dengan menombak Si Tumang, supaya mengejar sang babi. Tetapi Si Tumang tidak bergerak sedkitpun. Maka karena saking marahnya, Sangkuriang kemudian menumbak Si Tumang, hingga mati.
Karena menjangan tidak didapat, maka Si tumang kemudian diambil hatinya. Dan memberikan kepada ibunya untuk dimasak dan dimakan.
Dayang Sumbi mulai curiga ketika Si Tumang tidak ada. Dan ketika ia mengetahui bahwa yang dimakannya merupakan hati Si Tumang, yang merupakan ayah dari Sangkuriang. Maka kemarahan Dayang Sumbi memuncak, dan memukul kepala Sangkuriang dengan peralatan yang terbuat dari tempurung kelapa hingga terluka, dan meninggalkan bekas.
Karena ketakutan, kemudian Sangkuriang melarikan diri dari rumahnya. Dan selanjutnya sangkuriang mengembara mengelilingi dunia. Dalam pengembaraannya, Sangkuriang diceritakan berguru kepada banyak pertapa yang sakti. Dan Sangkuriang kemudian tumbuh menjadi anak remaja yang kuat, sakti, tampan dan gagah perkasa.
Dan diceritakan, ibunya Dayang Sumbi, merasa menyesal ditinggal oleh anaknya. Ia terus memanggil Sangkuriang, tetapi Sangkuriang malah semakin lari menjauh. Dan ia terus berusaha untuk mencari anaknya, sambil bertapa dan memohon kepada sang penguasa agar dipertemukan kembali dengan anaknya yang menghilang.

3.. Pertemuan Kembali dan Kisah Cinta yang Kandas
Dayang Sumbi meskipun sudah berumur, tetapi karena hanya makan tumbuh tumbuhan, kecantikannya tetap terjaga. Sehingga seolah masih gadis remaja. Dan Sangkuriang yang telah menjadi seorang pengembara, tetap mengembara ke arah barat, hingga bertemu dengan seorang gais yang Sangat Cantik.
Sangkuriang tidak menyadari bahwa gadis belia yang cantik itu merupakan ibunya. Sedang Dayang Sumbi juga tidak menyadari bahwa pemuda yang gagah dan tampan itu merupakan putranya, sangkuriang, yang ia cari bertahun tahun.
Dan dikisahkan bahwa kedua insan itu memadu asmara, sehingga terjadi kisah percintaan yang  romantis. Tetapi ketika Dayang Sumbi sedang membelai rambut Sangkuriang, ia merasa kaget, ketika meraba bekas luka dikepala Sangkuriang.  Ia masih teringat tentang pukulan dikepala sangkuriang dan meninggalkan bekas. Dan hal ini diutarakannya ke Sangkuriang. Bahwa ia merupakan putranya yang dicarinya bertahun tahun. Tetapi Sangkuriang tidak mempercayainya, dan Sangkuriang memandang bahwa alasan Dayang Sumbi hanyalah alasan untuk tidak dikawininya. Dan Sangkuriang tetap memaksa untuk menikah dengan  Dayang Sumbi.
Dan kemungkinan supaya tidak menyakiti hati anaknya yang ia cari, maka dayang Summbi bersedia menikah denga Sangkuriang dengan Syarat membuat telaga (danau) dengan membendung Sungai Citarum dan juga perahu dalam satu malam.  Dayang Sumbi seolah membuat suatu hal yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia. Dengan permintaan demikian seolah dapat meredam keinginan Sangkuriang untuk mengawininya.
Tetapi Sangkuriang adalah orang yang tangguh, kuat pendirian dan juga sakti. Ia menyanggupi permintaan dayang Sumbi.  Ia kemudain membendung Sungai citarum. Dan ia juga membuat perahu. Diceritakan ketika membuat perahu  dari pohon lametang yang ada di timur, tunggul (akar dan pokok pohon) kemudian menjadi Gunung Bukit Tunggul. Dahan, ranting dan daun daunan menumpuk ke sebelah barat, yang kemudian dikenal dengan Gunung Burangrang.
Dengan bantuan para Guriang, bendungan hampir bisa diselesaikan bersamaan dengan selesainya pembuatan perahu. Hal ini sangat mencemaskan Dayang Sumbi. Dan ia mulai memutar otak untuk menggagallkan rencana Sangkuriang, yang di depan mata pasti tercapai.
Dayang Sumbi  kemudian mengambil daun kingkilaban tujuh lembar, dibungkusnya dengan kain putih hasil tenunannya (boeh rarang), lalu diiris halus. Potongan ini ditaburkan ke arah timur. Hal ini untuk merekayasa pencahayaan. Jadi seolah  fajar menyingsing di ufuk timur. Cahaya membersit, pertanda matahari akan terbit. Hal ini juga menandai ayam mulai berkukuruyuk.
Tentu hal ini membuat ketakutan para guriang (makhluk halus) yang membantu Sangkuriang membendung Citarum. Para Guriang mengira fajar mulai terbit. Karena itu kemudian para guriang tersebut pergi  melarikan diri ke alamnya.
Karena merasa gagal, sangkuriang sangat marah, maka bendungan yang ada di Sanghyang Tikoro dijebolnya. Dan sumbat aliran sungai Citarum dilempar ke arah timur dan dikemudian hari menjadi Gunung Manglayang. Dan air danau / bendunganpun surut seketika. Dan perahu kemudian ditendangnya hingga  menjadi gunung Tangkuban Perahu sekarang (tangkuban perahu berarti perahu tretelungkup/ terbalik).
Karena merasa ditipu kemudian sangkuriang mengejar dayang Sumbi hingga gunung Putri. Dsini para penulis kisah seolah kehilangan jejak. Konon di gunung putri ini Dayang Sumbi meninggalkan tanda berupa setangkai bunga jaksi (atau para penulis cerita sering  mengatakan dayang sumbi berubah menjadi setangkai bunga jaksi). Sedang Sangkuriang sering dikatakan ngahiyang, demikian para penulis cerita, karena memang jejak setelah itu tidak diketahui.

BAB II.. SANGKURIANG DAN SEJARAH DANAU BANDUNG PURBA.

1.. Kesesuaian Cerita Dengan Terjadinya Danau Bandung Purba
Para ahli geologi banyak yang kagum (atau ada yang mengatakan terpana) terhadap kisah Sangkuriang ini, karena ketersesuaian dengan sejarah pembentukan danau Bandung Purba dan letusan Katastropi gunung Tangkuban Perahu. Dan hal yang menarik juga karena pada beberapa daerah toponimi atau penamaan wilayah begitu erat kaitannya dengan kisah Sangkuriang ini.
Berdasarkan kisah,  Sangkuriang diminta dayang Sumbi untuk membuat danau dan perahu, membendung Sungai Citarum dalam satu malam. Menurut para ahli geologi, kisah Sangkuriang jika dibandingkan dengan sejarah terbentuknya Danau Bandung purba, melalui 4 tahap.
Tahap pertama: Sangkuriang menebang pohon Lametang untuk bahan perahu yang berada di sebelah timur. Pohon itu ditebangnya kemudian runtuh ke arah barat. Sisa tunggulnya kemudian menjadi Gunung Bukittunggul. Runtuhnya pohon begitu dahsyat sehingga menimbulkan gempa. Sisa batang yang runtuh memanjang barat timur menjadi tinggian Sesar Lembang. Bagian ranting dan batang pohon dalam bahasa Sunda disebut Rangrang, diinterpretasikan sebagai Gunung Burangrang. Kejadian ini terjadi sebelum terbentuknya perahu.
Tahap kedua: Setelah menebang pohon Sangkuriang tidak langsung membuat perahu, tetapi membendung Sungai citarum dulu, agar tergenang menjadi danau, Pada tahap ini Gunung Sunda meletus, materialnya membendung Citarum di utara Padalarang. Maka tergenanglah menjadi Danau Bandung Purba.
Tahap ketiga, setelah sungai dibendung, Sang Kuriang melanjutkan membuat perahu. Danau sudah terbendung, airnya mulai tergenang. Pada tahap ini diungkapkan bahwa Dayang Sumbi mulai cemas atas keberhasilan dari Sangkuriang, sehingga kemudian mengambil daun kingkilaban tujuh lembar, dibungkusnya dengan kain putih hasil tenunannya (boeh rarang), lalu diiris halus. Potongan ini ditaburkan ke arah timur. Jadi seolah  fajar menyingsing di ufuk timur. Cahaya membersit, pertanda matahari akan terbit, Hal ini membuat Sangkuriang marah besar, maka maka bendungan yang ada di Sanghyang Tikoro dijebolnya (sekarang ditemukan bahwa tempat Sangkuring menjebol Bendungan bukan di Sanghiyang tikoro tetapi di Cukang Rahong).
 Dan sumbat aliran sungai Citarum dilempar ke arah timur dan dikemudian hari menjadi Gunung Manglayang. Dan perahu kemudian ditendangnya hingga  menjadi gunung Tangkuban Perahu sekarang (tangkuban perahu berarti perahu tretelungkup/ terbalik). Dengan demikian pada tahap ini bersamaan dengan lahirnya lahir gunung tangkuban perahu. Hal ini dianggap bersesuaian dengan penelitian bahwa Gunung Tangkuban Perahu adalah gunung yang berusia lebih muda dibandingkan gunung-gunung di sekitarnya (Gunung Bukit Tunggul dan Gunung Burangrang).
Pada tahap ketiga ini, ketika danau sudah tergenang, dari dalam kaldera Gunung Sunda terjadi gejolak aktivitas gunung api. Terjadi letusanletusan dari beberapa lubang kawah. Karena kawah kawahnya berjajar barat-timur, maka rona gunung ini terlihat seperti perahu yang terbalik bila dilihat dari selatan.
Tahap keempat, karena melihat kemarahan Sangkuriang, Dayang  Sumbi kemudian berlari ke arah timur, dan secepat kilat Sang Kuriang mengejarnya. Di sebuah bukit kecil, hampir saja Dayang Sumbi tertangkap. Bukit tempat menghilangnya Dayang Sumbi disebut Gunung Putri
Dan dewasa ini, memaknai dari tahap 4 ini, dikenal dengan upaya penyelamatan, atau upaya mitigasi. Ketika ada gunung meletus atau  gejolak gunung api,  kita harus mencari tempat di punggungan yang aman, yang tidak akan tersapu aliran lahar, terjangan awan panas dan hujan abu.

....

(Lanjut............)


By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam

Sumber: 
Ekadjati, Edi.S., Dari Pentas Sejarah Sunda, Kiblat Buku Utama, Bandung 2014
Internet : Id. Wikipedia, Geomagz (Majalah Geologi Populer), dll







Selasa, 16 Agustus 2016

SRI JAYABUPATI, RAJA KERAJAAN SUNDA KE-20

Kata Pengantar


Dalam naskah Carita Parahiyangan, disebut nama Prabu Detya Maharaja. Dan dalam naskah Wangsakerta dan juga Prasasti yang ditemukan di Cibadak menjelaskan tentang Raja Sunda yang ke-20 Prabu Detya Maharaja ini, yaitu Maharaja Sri Jayabhupati.
Ada hal yang unik dari Raja Sri Jayabhupati ini, yaiti dari gelar dan prasasti yang ditemukan mengenainya bercorak jawa timuran. Karena ia sendiri merupakan menantu dari Raja Darmawangsa Teguh.
Meskipun belum begitu komplit, karena data yang minim, dan hanya merupakan cuplikan cuplikan. Mudah mudahan ke depannya ada perbaikan.


NASKAH

BAB I SILSILAH DAN KELUARGA
Sri jayabupati atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati merupakan raja kerajaan sunda ke-20, yang berkuasa dari tahun 1030-1042 M. Ia naik tahta menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M).
Dalam Carita Parahiyangan Sri Jayabhupati sebut “Prabu Datia Maharaja” yang berkuasa di tanah sunda selama 12 tahun, dan di Galuh selama 7 tahun.
Ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M), dan ibunya merupakan  putri asal Sriwjaya, yang masih kerabat Raja Wura Wuri.
Ayahnya, Prabu sangiang Ageung menikahkan  Sri Jayabupati dengan putri raja terakhir Dinasti Sonjaya, Raja Darmawangsa Teguh.

a.. Sri Jayabhupati dinikahkan  Dengan Putri Darmawangsa Teguh
Dalam sistem kerajaan klasik, perkawinan antar kerajaan biasanya dijalin untuk memperkokoh negara tersebut. Baik dari keluarga laki laki atau keluarga waniita akan menjadi kuat karena ikatan perkawinan ini. Setidaknya untuk menyerang salah satu dari keluarga tersebut akan mendapat konsekwensi bantuan dari kerajaan yang menjadi menantua atu mertuanya.
Hal ini mungkin dilakukan oleh Raja Sunda waktu itu, Prabu Sanghiyang Ageung dan raja Medang Bhumi Mataram waktu itu, Darmawangsa Teguh. Kerajaan Sunda dikenal secara tradisi merupakan kerajaan yang tangguh dan stabil. Karena kemungkinan ikatan perkawinan untuk memperkuat satu sama lain.
Hal tersebut ditambah dengan untuk mempererat kekeluargaan kembali. Karena seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa kerajaan Bhumi Mataram, masih merupakan satu keturunan. Karena dinasti yang berkuasa disana merup[akan turunan dari Sonjaya, yang berasal dari tanah Sunda.
Dengan mengawinkan Sri Jayabupati dengan putri dari Darmawangsa Teguh, Bagi Prabu Sanghiyang Ageung (ayah Sri Jayabupati), memperolh 2 keuntungan, yaitu: tetap Menjalin silaturahmi dengan dinasti Sonjaya, karena Sonjaya berasal dari  Sunda. Dan yang kedua Prabu sanghiyang Ageung seolah ingin memeperkokoh kedudukannya  dalam tatanan global. Karena Prabu Sanghiyang Ageung beristrikan putri dari Sriwijaya. Karena itu seakin kokhlah keberadaan Prabu Sanghiyang Ageung ini, menjadi besan raja Sriwijaya dan mempunyai menantu dari Medang Bhumi Mataram.

b.. Gelar dan Corak Jawatimuran
Sri jayabhupati bergelar Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya   calakabhuana  mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa.
 Gelar ini bercorak Keraton Jawa Timur-an, merupakan  hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja. Istrinya merupakan adik dari  Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M), yang kemudian menjadi prameswarinya.  Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang dicantumkan dalam prasasti Cibadak.

c.. Keluarga
Sri jayabupati menikah dengan anak Prabu Darmawangsa, dan merupakan adik dari Dewi Laksmi, istri dari raja Airlangga. Dari istrinya putri Darmawangsa, ia mempunyai beberapa orang anak,  diantaranya: Prabu dharmaraja yang dikemudian hari menggantikan sebagai raja, dan wikramajaya yang menjadi panglima angkatan laut.
Sri Jayabhupati menikah juga dengan Dewi Pertiwi, yang kemudian mempunyai anak yang bernama  Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya. Dan lain lain.
Setelah ia meninggal, tahta jatuh ke anaknya yang bernama Prabu Dharmaraja (1042-1065 M), atau dalam Naskah Carita Parahiyangan  disebut “ Nu Hilang di Winduraja”, yang menjadi raja sunda  selama 23 tahun. 
  
BAB II MASA PEMERINTAHAN
Pada masa kekuasaannya, Sri Jayabhupati diuntungkan oleh sistem kekeluargaan besar di zamannya. Ibunya merupakan putri dari raja Sriwijaya, sedang istrinya berasal dari Medang Bhumi Mataram. Jadi secara politik, dia diuntungkan oleh sistem kekluargaan tersebut.
Tetapi hal ini menjadi lain, ketika justr terjadi persaingan antara Sriwijaya dengan penguasa Medang Bhumi Mataram waktu itu. Dan penulis sejarah sering mengatakan bahwa kerajaan mertuanya hancur  kalah karena serangan raja Wura Wuri, yang merupakan sekutu Sriwijaya di Jawa. 

BAB III PRASASTI PENINGGALAN SRI JAYABHUPATI
Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.
Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa  dan huruf Jawa kuno, yang sekarang  disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98

Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):

D73
//0// Swasti  shakawarsatita 952 Karttikamasatithi dwadashi  shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra mottunggadewa, ma-

D96
Gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway  denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang tan hanani baryya baryya shila. Irikang iwah tan pangalapa ikan sesini iwah. Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan I hulu, I sor makahingan  ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha.

D 97:
Sumpah denira prahajyan  sunda. Iwirnya nihan. 
  
Terjemahan:
Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal 12 bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati  Jayamahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswara  nindita haro gonawardhana wikramottung gadewa, membuat  tanda  disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat  oleh Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar  ketentuan ini. Disungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan  di sebelah sini sungai dalam batas  daerah pemujaan  sanghiyang tapak di sebelah hulu.  Disebelah hilir dalam batas daerah  pemujaan sanghiyang tapak pada dua batang  pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan  sumpah)

Sumpah yang diucapkan oleh raja Sunda  lengkapnya tertera pada prasasti  ke-4 (D 98). Terdiri dari 20  baris, yang intinya menyeru semua  kekuatan gaib didunia dan di surga agar ikut  melindungi keputusabn raja.. Siapapun yang menyalahi  ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya  kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan  dengan menghisap otaknya, menghirup  darahnya, memberantakan ususnya  dan membelah dadanya. Sumauh itu ditutup dengan kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” ( Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).


Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati ini bertepatan dengan 111 Oktober 1030 M, Isi prasasti ini dalam segala hal  menunjukan corak jawa timur, tidak hanya huruf, bahasa dan gaya , melainkan juga gelar raja di lingkungan raja di keraton Dharmawangsa, karena ia sendiri merupakan menantu dari Dharmawangsa.

(Lanjut.....)

By Adeng Lukmantara
Sumber: Id.Wikipedia


Minggu, 14 Agustus 2016

DEMUNAWAN, RAJARESI DARI SAUNGGALAH (KUNINGAN)

Kata Pengantar


Salah seorang yang banyak dibicarakan dalam Naskah Carita Parahiyangan adalah tokoh yang bernama Rahiyangtang Kuku atau disebut juga dengan nama Sang Seuweukarma, atau dikenal juga dengan nama Resi Demunawan. Resi Demunawan merupakan pendiri istana Saunggalah di Kuningan.






NASKAH

A.. SILSILAH DAN KEKUASAAN
Rajaresi Demunawan atau rahiyangtang Kuku atau dikenal juga dengan nama  Sang Seuweu Karma. Ia dkienal sebagai raja yang adil, sehingga gelar Seuweu Karma berkaitan dengan keadilan ini. Seuweu dalam bahasa indonesia berarti anak atau putra, karma berarti adil, atau berkaitan dengan huku keadilan. Karena ia sangat bijak dalam menentukan hukum, dan ia sendiri dikenal dengan gelar rajaresi (resiguru) artinya raja yang ahli juga dalam bidang keagamaan, dikenal arif dan bijaksana. Dan dalam Naskah Carita Parahiyangan diungkapkan betapa arifnya dia sehinngga dikenal sebagai “tempat panyuluhan jalma rea (Tempat meminta pendapat banyak orang)”.
Rajaresi Demunawan merupakan putra kedua dari pasangan Rahiyang Sempak Waja dengan istrinya, Pwah Rababu. Ia merupakan adik dari Prabu Purbasora (Raja Galuh ke-4 yang mengkudeta Prabu Sena), dan kakak lain bapak, Prabu Sena (Raja galuh ke-3).
Demunawan menikah dengan putri penguasa Kuningan, Sang Pandawa atau Prabu Wiragati, yang bernama Pohaci Sangkari pada tahun 671 M.
Ketika masih di Kuningan,  dalam naskah Wangsakaerta (Pustaka rajya rajya-i Bhumi Nusantara) ia tinggal di  keraton yang ada di kuningan yang dinamakan  Sangkarmasaya, yang berarti tempat sang karma, yaitu tempat Demunawan tinggal menetap dan memerintah daerahnya. Tetapi ketika ia berkuasa atas Kuningan dan Galunggung, ia berkuasa di saunggalah. Saunggalah berasal dari kata saung berarti Rumah, dan Galah berarti panjang. Dengan demikian arti Saung Galah berarti Rumah panjang, atau Keraton yang memanjang.

1.. Rahiyang Sempak Waja (620-   M)
Rahiyang Semplak Waja atau Batara dangiang Guru merupakan anak tertua Wretikandayun  yang lahir tahun 620 M. Sempak waja tidak menjadi raja karena ia ompong. Dengan demikian ia kemudin  memilih menjadi resiguru (batara dangiang guru)  di Galunggung. Sempak Waja menikah dengan Pwah Rababu dan mempunyai 2 anak, yaitu: Prabu Purbasora dan Resi Demunawan.
Prabu Purbasora karena merasa anak tertua dan dilahirkan dari anak tertua raja pendiri Galuh. Karena itu ia merasa paling berhak atas tahta galuh. Dengan alasan moralitas kemudian Prabu Purbasora pada tahun 716 M mengkudeta  Raja Galuh, yaitu Prabu Sena yang merupakan adiknya seibu.

2.. Menerima Tahta dari Ayah dan Mertua
Setelah pasca kudeta Sonjaya terhadap Prabu Purbasora (kakak Demunawan). Untuk mengeksiskan kekuasaan Demunawan, maka pada tahun 723 M Demunawan mendapatkan tahta  raja Kuningan dari mertuanya, Sang Pandawa. Dan ia juga mendapat tahta Galunggung dari ayahnya, Batara dangiang Guru sempak Waja. Dengan demikian kekuasaan Demunawan kemudian meliputi Kuningan dn juga Galunggung.
Dengan berlalunya waktu, dan menjadikan kerajaan Saunggalah menjadi kerajaan yang disegani baik otoritasnya dalam kekuasaan dan juga dalam keagamaan. 

B. KONSTALASI POLITIK GALUH TAHUN  723 M PASCA KUDETA SONJAYA TERHADAP PURBASORA
Setelah terjadi kudeta Sonjaya terhadap Prabu Purbasora pada tahun 723 M, maka konstalasi perpolitikan di kerajaan galuh berubah. Meskipun Sonjaya dapat mengalahkan Prabu Purbasora dan dapat menguasai Galuh. Tetapi Sonjaya tidak serta merta menguasai galuh secara keseluruhan.
Galuh dalam sejarahnya dibangun dalam otokrasi keagamaan. Karena itu otokrasi keagamaan mempunyai wilayahnya yang independen. Dengan demikian meskipun sistem pemerintahan Galuh dikuasai  tidak otomatis menguasai seluruhnya. Karena Galuh mengakui kekuasaan otokrasi dari para penguasa agama. Sehingga dengan dikuasainya Galuh tidak serta merta dapat menguasai seluruh wilayah, terutama yang berkaitan dengan otokrasi kekuasaan keagamaan. Dan otokrasi kekuasaan keagamaan yang sangat dihormati di Galuh adalah Kabataraan Galunggung, yang didirikan oleh putra pertama pendiri Galuh, Wretikandayun, yang bernama Batara dangiang Guru Sempak Waja.
Otoritas Galunggung waktu itu masih dipegang oleh tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat Galuh, yaitu Batara Dangiang Guru Rahiyang Sempak Waja. Yang secara silsilah merupakan ayah dari Prabu Purbasora, dan kakek dari Sonjaya itu sendiri.
Dengan demikian, meskipun Sonjaya dapat menguasai istana galuh, tetapi  secara de fakto masih tidak diakui sebagai penguasa Galuh secara keseluruhan, karena belum diakui oleh otokrasi kekuasaan keagamaan, terutama Galunggung. Apalagi ketika Sonjaya diuji oleh Batara dangiang Guru untuk mengalahkan raja raja di daerah Kuningan, Tetapi Sonjaya tidak mampu mengalahkannya.
Sehingga Sonjaya kemudian meminta ijin kepada Batara dangiang Guru Sempak Waja, untuk menjadikan Resi Demunawan dari Saunggalah untuk menjadi raja Galuh. Sonjaya memandang bahwa  Resi Demunawan merupakan adik dari Prabu Purbasora.  Tetapi permintaan  ini ditolak oleh Sempak waja, karena ia merasa curiga bahwa hal itu hanya siasat Sonjaya untuk memancing Demunawan masuk dalam perangkapnya di galuh, setelah itu membinasakannya. Dan alasan Sempak waja yang kedua adalah karena ia tidak rela Demunawan menjadi bawahan Sonjaya. Di ketahui juga bahwa Sonjaya waktu itu juga telah menjadi raja di Pakuan.
Karena Sonjaya tidak dapat menguasai ketiga penguasa di Kuningan (tiga serangkai dari Kuningan: sang Pandawa, sang wulan dan ), maka Sonjaya akhirnya menerima siapapun yang ditunjuk oleh Batara dangiang Guru yang hendak memegang pemerintahan di galuh. Batara dangiang Guru sempak waja kemudian menunjuk Premanadikusumh, putra patih Wijaya atau cucu Purbasora (atau buyut Sempak Waja itu sendri). Dan untuk mengontrol kekuasaan di Galuh sebagai penyeimbang, maka sonjaya kemudian menunjuk putranya, yang bernama Temperan Barmawijaya menjadi patih di Galuh.
Tidak hanya itu, dalam membendung kekuasaan Sonjaya di Galuh, maka Batara Dangiang guru Sempak Waja kemudian mengukuhkan kedudukan Demunawan di Kuningan. Pada tahun 723 M, Demunawan dinobatkan menjadi raja di Kuningan menggantikan kedudukan mertuanya, Sang pandawa atau Prabu Wiragati.  Dan pada waktu itu juga ia kemudian meyerahkan wilayah kekuasaan galunggung kepadanya. Karena ia menerima tahta Galunggung, yang mempunyai otoritas keagamaan yang sangat disegani, maka dikemudian hari ia dikenal dengan gelar raja Resi Demunawan.
Dengan demikian Demunawan  berkuasa atas wilayah Kuningan dan juga Galunggung, yang kemudian hari dinamakan kerajaan Saunggalah, karena memilih Saunggalah sebagai ibukota pemerintahannya.
Dengan pembentukan kerajaan baru yang independen ini seolah Batara Dangiang Guru telah membuat tandingan kerajaan Galuh. Karena kerajaan Sunda dan Galuh itu sendiri tidak berani mengutak ngatik kekuasaan Resiguru demunawan di Saunggalah.

1.. Sonjaya Pada Tahun 732 M Mendapat Tahta Medang Bumi Mataram
Setelah kekuasaan galuh diserahkan kepada Premanadikusumah, Sonjaya kemudian kembali ke Pakuan. Tetapi pada tahun 732 M, Sonjaya dinobatkan menjadi penguasa (raja) menggantikan ayahnya, Prabu Sena, yang telah berkuasa sebelumnya. Prabu Sena setelah dikudeta oleh Prabu Sena pada tahun 716 M, ia melarikan diri ke Medang Bhumi Mataram, kerajan istrinya, sanaha, berasal. Ia kemudian menjadi raja di sana. 
Sebagai konsekwensi kepindahan Sonjaya ke Bhumi Mataram, maka kekuasaan Sunda kemudian di serahkan kepada putranya, Prabu Temperan Barmawiajaya.

2. Prabu Temperan Barmawijaya
Setelah mendapat tahta kerajaan Sunda pada tahun 732 M, dari ayahnya, Sonjaya. Prabu Temperan merasa perlu untuk mengeksikan diri sebagai raja, terutama ddi daerah Galuh.
Karena itu untuk mengeksiskan kekuasaannya di kedua kerajaan Prabu Temperan kemudian menyingkirkan kekuasaan Premanadikusumah dari tahta Galuh. Dan hal ini mendapat  kesempatan ketika Premanadikusumah sedang dalam pertapaannya.
Dan hal ini diungkapkan dalam Naskah Carita Parahiyangan:
“Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala. Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung dulurna Rahiang Banga. Sang manarah males pati.”

B. GALUH TAHUN 739 M PASCA KUDETA SANG MANARAH
Pada tahun 739 M terjadi perang besar di Kerajaan Galuh. Hal ini diakibatkan oleh kudeta yang dilakukan oleh Sang Manarah (Ciung Wanara) terhadap penguasa Sunda Galuh,  Prabu Temperan, yang menyebabkan Prabu temperan meninggal dunia pada tahun 739 M. Dengan demikian tahta galuh sejak tahun 739 M dipegang oleh Sang Manarah.
 Sisa pasukan kerajaan  dipimpin anak Temperan, yang beernama  Hariang Banga, juga mulai terdesak.  Hariang Banga dapat ditangkap dan dipenjara oleh Ciung Wanara, tetapi Hariang Banga dapat meloloskan diri. Dan ia mulai menyusun kembali pasukan untuk menyerang Galuh.
Prabu Sonjaya yang sudah menjadi raja di Jawa (Medang Mataram) sangat marah ketika mendengar anaknya, Prabu Temperan, meninggal akibat kudeta tersebut. Sehingga ia kemudian mengerahkan pasukan dari Mataram untuk menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang. Dan dari barat juga bergerak tentara dari ibukota Pakuan menuju menyerang Galuh yang dipimpin oleh Hariang Banga dan patihnya.
Tetapi perang besar ini kemudian dapat dihentikan oleh Raja resi Demunawan yang waktu itu berusia 93 tahun, dengan diadakan gencatan senjata. Perundingan gencatan senjata  digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali. 
Dan untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan banga kemudian dinikahkan  dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedang Banga sebagai raja Sunda  bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang bernama Kancanasari.


Dengan demikian Resi Demunawan telah melakukan kebijakan yang sangat cerdas, meskipun sistem kenegaraan telah terpisah, tetapi seluruh tataran sunda dibangun dengan kekeluargaan. Dengan perkawinan keluarga Saunggalah dengan istana Galuh dan juga Istana Pakuan, seolah ikatan keluarga dijalin lagi melalui suatu ikatan perkawinan keraton Saunggalah, Galuh dan Pakuan. Dan dikemudian hari ikatan tersebut dijalin, sehingga kerajaan sunda di Pakuan, Galuh dan Saunggalah, seolah menjadi satu kesatuan. Dan ketiga kota tersebut kemudian dijadikan menjadi ibukota kerajaan sunda, tergantung raja sunda dimana berasal. Dan penguasa terkenal dikemudian hari, Prabu Darmasiksa, yang digelari titisan Wisnu berasal dari istana saunggalah ini.


(lanjut)
By Adeng lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam

Sumber: dari berbagai Sumber