Rabu, 21 September 2016

TOKOH DAN ULAMA DALAM ISLAMISASI DI TANAH SUNDA

Pengantar
Suatu realitas bahwa agama Islam  telah dianut hampir seratus persen oleh masyarakat sunda. Meskipun yang terakhir dalam menerima Islam, justru di masyarakat sunda lah seolah totalitas masyarakat sunda telah menerima Islam dengan semangat yang lebih rasional.
Yang membedakan Islamisasi di tanah sunda dengan islamisasi di daerah lain, adalah peran para penguasanya diawal islamisasi  yang memang sangat komit terhadap keislaman, dan banyak dibesarkan dalam lingkungan keislaman yang ketat. 
Perjalanan Islam di tanah sunda, meskipun telah membumi, tetapi belum mencapai tahap peradabannya. Jadi ketika embrio Islam mulai tumbuh di tanah Sunda, justru kemudian terjebak pada kekuasaan bangsa lain (termasuk Mataram dan Eropa / Belanda) sehingga peradaban islam di tanah sunda belum mencapai bentuknya.
Untuk mencapai peradaban yang modern yang islami tentu bukan hal yang mudah, karena perlu lompatan lompatna besar untuk merealisasikan hal tersebut. Seperti halnya bangsa barat, bahwa salah satu persyaratan untuk mencapai tingkat peradabannya, harus terjadi transformasi transformasi dari era tradisonal menuju modern. Jika orang barat mensyaratkan bahw kemajuan suatu  bangsa salah satunya tergantung pada transformasi dari bahasa lisan ke bahasa tulisan, Jadi orang sunda akan mencapai apa yang dikatakan masyarakat modern yang islami jika sudah membuadayakan baca dan tulis. Jadi bukan hanya lisan saja, tetapi harus mulai memindahkan kebiasaan ke dalam bahasa tulisan. Dan jika tidak pandai menulis maka kita harus menjadi bagian dari pembacanya. Dan jika membaca juga masih males malesan maka jika agak kaya, maka kita harus jadi bagian dari pengumpul tulisan orang.
Jadi benar kata orang bijak, jika kita ingin melihat intelektual seseorang maka lihatlah isi lemari di rumahnya. Jika banyak buku berarti bahwa dia intelektualnya mumfuni, Dan jika koleksi bukunya tidak ada, meskipun gelarnya tingg, berarti orang tersebut diragukan keilmuannya. Karena bagaimanapun buku adalah cerminan intelektual seseorang.
Jadi ada 3 profesi  tambahan orang sunda yang mungkin harus mulai dibiasakan, yaitu jadilah penulis. Jika belum bisa jadilah pembaca dan yang terakhir, jika belum sempat kedua duanya, maka jadilah pengumpul atau kolektor buku. Dan jika tidak termasuk diantara ketiganya, maka seolah kita tidak mempunyai harapan yang besar untuk masa depan bangsa. Kehidupan seolah tidak ada kenangan dan Kekayaan nanti hanya digenggam tangan, dan tidak memberi dampak terhadap peradaban yang mencerahkan.
Dan sebagai upaya dari membiasakan ketiga profesi tambahan tersebut, maka pada kesempatan ini mencoba untuk membuat ringkasan biografi para tokoh dan ulama Islam di tanah Sunda dari masa ke masa.  Yang sebenarnya tulisan ini telah dibahas dalam judul lain di blog ini. Tetapi supaya fokus dalam pencarian dan pengembangan  maka dipandang perlu untuk dibuat judul tersendiri.
“Informasi sedikit adalah awal dari pencarian”, sambil “kokoreh” kemungkinan besar mutiara mutiara kehidupan akan ditemui.



BAB I TOKOH ISLAMISASI AWAL DI TANAH SUNDA

1.. HAJI PURWA (HAJI BRATALEGAWA)
Bratalegawa atau kemudian terkenal dengan nama Haji Purwa adalah pemeluk agama Islam pertama di kalangan istana Kerajaan Sunda. Bratalegawa merupakan  putera kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, raja sunda penggati Prabu Linggabuana. Prabu Bunisoraini adalah adik kandung dari Prabu Lianggabuana yang gugur dalam perang bubat. Prabu Bunisora menggantikan Prabu Linggabuaba yang gugur dalam perang bubat sebagai raja pendamping , karena putra mahkotayang bernama Wastukancana yang masih kecil ( 9 tahun).
Bratalegawa memilih hidupnya sebagai saudagar besar yang  biasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad.  Kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin.  Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia pun dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh pada tahun 1337 Masehi. Disini ia kemudian mengajak saudara saudaranya (ratu Banawati,penguasa Galuh, dan Giridewata )Ki Gedeng kasmaya, penguasa Cirebon Girang) untuk masuk islam, tetapi tidak ada yang mau. Haji Purwa  menetap di Cirebon  Girang.
Kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda dijadikan titik tolak masuknya agama Islam ke Tatar Sunda pada pertengahan abad ke-14 M. Dengan demikian Islam di era Bratalegawa Islam sudah masuk ke tatar sunda sebelah selatan (ibukota Galuh letaknya di selaatan tatar sunda). Dan pada masanya juga di karawang telah kedatangan ulama besar yang mendirikan pesantren, dan dianggap sebagai penyebar isllam di tatar sunda bagian utara, yaitu Syekh Quro (syekh hasanuddin yang mendirikan pesantrn di Karawang. Di cirebon juga mulai kedatangan Syekh Nurjati atau terkenal dengan nama Syekh Datuk kahfi ke Cirebon, yang menikah dengan cucu dari Baratalegawa (Haji Purwa) yang bernama Hadijah.

2.. SYEKH QURO
Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di tanah sunda, terutama di daerah Karawang. Karawang waktu itu merupakan salah satu kota pelabuhan penting kerajaan Sunda di era Kawali, disamping Cirebon.
Syekh Quro nama aslinya adalah Syekh Hasanuddin putra Syekh Yusuf Sidik, seorang ulama yang datang dari negeri Campa (daerah Vietnam  sekarang). Ia datang di Pulau Jawa pada abad ke-14 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati., menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho .
Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang. Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan bertempat tinggal di sana. Di Karawang ia menikah dengan Ratna Sondari, puteri Ki Gedeng Karawang, dan membuka pesantren yang diberi nama pondok Quro yang khusus mengajarkan al-Qur’an, karena itulah Syekh Hasanuddin kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro.
Syekh Quro bermukim di Karawang sampai meninggal dan dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Wadas, Karawang.dari pesantrennyalah, nantinya salah seorang Istri Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata belajar, yaitu Nyi. Subang Larang.
Ratna Sondari, istri dari Syekh Quro merupakan putri syah bandar Pelabuhan Karawang, yang dikenal dengan nama Ko Gedeng Karawang. Ia memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah mesjid di Gunung Sembung (Nur Giri Cipta Reangga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng atau Masjid Sang Saka Ratu.

3.. SYEKH DATUK KAHFI
Syekh Datuk Kahfi adalah tokoh penyebar agama Islam di tatar sunda terutama daerah cirebon sekarang, dan merupakan leluhur raja raja Sumedang Larang era Islam.
Syekh Datuk Kahfi merupakan seorang ulama keturunan Arab Hadramaut, yang beasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru tatar sunda. Ia merupakan nenek moyang raja raja Sumedang Larang. Cicitnya yang bernama Pangeran Kusumah dinata yang kemudian dikenal dengan Pangeran Santri menikah dengan Ratu PucukUmun, Ratu Sumedang Larang ketika itu
Syekh datuk Kahfi atau dikenal juga dengan nama Syekh Nurjati, Syekh Idofi  atau Syekh Nurul jati  datang ke tatar Sunda sezaman dengan Syekh Quro dari Karawang pada abad ke 14 M. Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Nurjati  menikah dengan cucu Bratalegawa (haji Purwa) bernama Hadijah.
Syekh Nurjati datang sebagai utusan Raja Parsi bersama 12 orang pengikutnya sekitar abad ke-14, pada masa syahbandar  Ki Gedeng Jumajanjati. Atas izin dan kebaikan penguasa pelabuhan itu, Syekh Nurjati kemudian menetap dan bermukim di Pasambangan, di bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon sekarang.
Di Cirebon Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren, dan merupakan tempat berguru Pangeran Cakrabuana  dan Nyi Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati). Keduanya merupakan anak penguasa kerajaan Sunda waktu itu, Sri baduga Maharaja Prabu Jayadewata.
Dengan demikian sebenarnya Islam di tatar sunda sudah dikenal pada abad 14 M, jauh sebelum era walisongo di jawa.

4.. NYI SUBANG LARANG
Nyi Subang larang adalah istri dari maharaja Sunda, Sri Baduga mahara Prabu jayadewata. Meskipun bukan sebagai prameswari utama, tetapi ia dianggap tokoh awal  dalam islamisasi  di kalangan istana kerajaan sunda di Pakuan .Dalam sejarah tidak terlalu bbanyak diceritakan perannya dalam islamisasi di kalangan istana. Tetapi justru dari Nyi Subang Larang inilah keturunannya menjadi tokoh tokoh penting dalam islamisasi di Tanah sunda.
Dari turunan Nyi Subang Larang. Istana Pajajaran semakin akrab dengan agama Islam. Bahkan anaknya yang bernama Walangsungsang atau Prabu Cakrabuana merupakan tokoh Islam yang sangat disegani, dan oleh ayahnya diangkat menjadi penguasa di Cirebon. Tetapi yang dianggappaling berpengaruh dalam cerita cerita sunda tentang proses islamisasi adalah yang bernama Kiansantang. Tokoh Kiansantang ini merupakan nama lain dari Sangara, putra bungsu Prabu Siliwangi dari Subang Larang. Kiansantang meruapakan tokoh yang paling berpengaruh dalam proses islamisasi dalam cerita masyarakat Sunda. Dan dikenal dengan tokoh yang sangat mewakili  dalam islamisasi di tanah sunda.

5.. PANGERAN CAKRABUANA  (1345-  Saka/ 1423-   M)
Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Cakraningrat atau Pangeran Walangsungsang  merupakan anak tertua dari raja Sunda, Sri baduga maharaja dari istrinya yang beragama islam, Nyi Subang larang. Dan dikenal merupakan tokoh islamisasi awal yang paling berpengaruh di kota pelabuhan Cirebon.
Pangeran Cakrabuana kadang  dikaitkan dengan nama Kiansantang. Tetapi para sejarawan lebih sering menyatakan bahwa Kiansantang itu adalah putra bungsu Sang raja, Sri baduga maharaja Prabu jayadewata dari istrinya Nyi Subang larang yang bernama Sangara. Seperti diungkapkan di atas, bahwa Sri baduga maharaja dari istrinya yang beragama Islam, Nyi Subang larang, mempunyai 3 orang anak, yaitu Walangsungsang, Nyi lara santang, dan Sangara.
Walangsungsang merupakan tokoh yang paling berpengaruh sebagai pembuka islamisasi di tanah Sunda.  Sebagai putra sulung dari salah seorang istri raja. Walangsungsang termasuk tokoh yang disegani di kalangan istana kerajaan Sunda. Meskipun ia sendiri bukan putra mahkota. Tetapi karena sama sam putra sulung, maka ia juga termasuk yang paling disegani secara silsilah. Ia kemudian memamfaatkan kedududkan sebagai penguasa di Cirebon yang diberikan ayahnya. Tetapi ia kemudian menjalin kerjasama dengan Demak yang sedang agresif melakukan islamisasi di tanah jawa. Hal ini kemudian membuat sang raja mulai cemas terhadap masa depan kerajaannya terhadap dominasi Islam.  Karena itu sang raja mengutus putra mahkota, Pangeran Surawisesa untuk melakukan kerjasama dengan Portugis. Dan hal justru menjadi sumber perpecahan semakin tajam di kalangan istana. Terutama ketika Sang raja Sri baduga maharaja meninggal.
Ia sendiri tidak begitu berambisi dalam perebutan kekuasaan. Justru keponakannya, Syarif Hidayatullah yang  menggantikannya sebagai penguasa Cirebon, mulai berani mengutak atik kekuasaan pamannya, Prabu Surawisesa, raja di kerajaan Sunda pengganti kakeknya.

6.. RARA SANTANG (1348-  Saka/ 1426-     M)
Rara Santang merupakan putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata dari istrinya Subang Larang. Dan merupakan ibu dari tokoh islamisasi paling berpengaruh di tanah sunda, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Rara Santang atau Syarifah Muda’in  merupakan anak kedua dari 3 bersaudara sang raja Sunda dari istrinya Nyi Subang Larang. Ia merupakan adik Walngsungsang dan kakak dari Pangeran Sangara (Kiansantang).
Ia bersama kakaknya, Pangeran Cakrabuana, menunaikan haji ke  Mekah. Di mekah ia dipersunting oleh  salah seorang pangeran asal Mesir yang bernama Mualana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah. Dan setelah menikah, Rara Santang berganti nama menjadi Syarifah Muda’in. Dari pernikahannya, ia mempunyai 2 orang anak, yaitu Syarif Hidayatullah (1372-   Saka/ 1450-    M) dan Syarif Nurullah (1375-   Saka/ 1453-   M). Setelah syarif Abdullah meninggal, kekuaaan jatuh ke tangan adiknya, sedang ia dan ibunya pergi ke Bghdad dan kemudian kembali ke tatar sunda, ke daerah Cirebon sekarang, pada tahun 1475 M.  

7.. KIANSANTANG (PANGERAN SANGARA) (1350-   Saka/ 1428-    M)
Kiansantang diyakini adalah anak bungsu dari  Sri Baduga Maharaja dengan Nyi Subang Larang. Dan nama lain dari Sangara.Tidak ada yang menulis secara detail tentang tokoh ini. Tetapi tokoh in seolah merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam islamisasi di tanah sunda secara idea.
Kiansantang merupakan tokoh yang dianggap paling  mewakili dalam Islamisasi di tanah Sunda. Dia seolah tokoh yang ingin mencari kebenaran dengan suatu logika yang mungkin logika tertinggi waktu itu. Ia mencari kebenaran dengan mencari dari sumber aslinya.
Kita mungkin teringat cerita lisan tentang Kiansantang. Ia adalah orang yang sangat sakti.Konon di tatar sunda dan jaa tidak ada yang bisa mengalahkannya. Karena itu iangin sekali melihat darahnya sendiri. Sehingga ia kemudian pergi ke Mekah untuk bertemu dengan Sayidina Ali yang sangat terkenal akan kesaktiannya. Karena itu ia kemudian berencana ke Mekah untuk menantang Sayidina Ali. Tetapi di perjalanan ia bertemu dengan seorang yang sudah sepuh. Setelah perbincangan antara kedua belah puhak, dan sang kiansantang menguatarakan maksudnya untuk menemui Sayidina Ali. Sang Kakek  kemudian meminta tolong Kiansantang mengangkat tongkatnya yang tertancap.Tetapi tongkat tersebut tidak tercabut, meskipun tenaga sudah dikeluarkan semua, yang akhirnya kiansantang menyerah dan tunduk. Karena sudah menyerah. Kemudian sang kakek menceritakan bahwa dia adalah Sayidina Ali, yang menasehatinya setelah ke Mekah agar kembali lagi ke tatar sunda.
Meskipun seolah tokoh cerita karena media lisan yang dominan dalam kisah kisah mengenai Kiansantang ini. Tetapi hal ini mengindikasikan tentang pencarian kebenaran Islam, menjadi tonggak dalam ciri Islam di tanah Sunda yang lebih rasional, patuh sehingga islamisasi cenderung lebih sintesis. Lebih mneyukai perpaduan daripada mencampur adukan (sinkretis).
Dalam kisah Kiansantang diceritakan tentang pencarian kebenaran dan juga pengujian kesaktian. Dia tidak pernah mau menyerah untuk mencari kebenaran dan juga pengujian kesaktian. Pengujian kesaktian juga diartikan pengujian secara intelektual. Ia ingin mencari orang yang dapat mengalahkan dirinya, yang nantinya akan menjadi suatu bentuk kepatuhan pada yang mnegalahkannnya. Konon hingga tanah suci mekah ia datangi. Dan konon ia dapat dikalahkan oleh Ali, sehinga ia kemudian patuh dan tunduk terhadap Ali. Ali disni dapat dartikan keterwakilan kebenaran Islam. Sehingga dengan sendirinya tunduk dan patuh terhadap kalam ilahi. Karena jikalihat secara urutan tahun terlalu jauh, jika Kiansantang adalah tokoh Islam di akhir abad ke 15 dan awal abad ke16 M, sedang tokoh Ali hidup  pada abad ke 7 Masehi.

1) Kisah kiansantang menunjukan bahwa proses islamisasi menunjukan sifat menerima Islam dengan patuhnya (taat). Karena itu dalam kelanjutannya Islam di tanah sunda sebenarnya lebih rasional dan bersifat ditinggikan, berupa kepatuhan seperti yang ditunjukan oleh Kiansantang. Para ahli mngkatagorikan islam di tanah sunda  dengan istilah sintesis (perpaduan). Islam lebih ditinggikan daripada adat. Hal ini berbeda dengan ciri Islam di Jawa yang bersifat sinkretis (campur aduk). Karena ada suatu kisah yang menjelaskan tentang Islam di tanah Jawa itu. Diceritakan bahwa ada seorang ulama dan pendeta berjalan bersamaan. Satu sama lain ingin saling menonjolkan . Sang kiai membawa keris atau pedang, sedang sang pendeta hindu membawa kendi berisi air. Keduanya melempar barang yang dibawanya ke atas. Dan pecahlah kendi tersebut dengan pedang atau keris. Dengan bangganya sang kia mengatakan, bahwa kendinya telah pecah. Yang berarti Islam lebih tinggi daripada Hindu. Tetapi sang pendeta hindu  mengatakan jangan girang dulu, lihatlah keris ata pedang itu basah kena air kendi, berarti Islam akan tertutup atau terbasahi atau tercampur oleh tradisi Hindu (sinkretis)

7.. SUNAN GUNUNG JATI
Syarif Hidayatullah merupakan  yang paling berpengaruh dalam islamisasi di tanah sunda secara praktis. Jika Kiansantang berbicara tentang idea,maka Syarif Hidayatullah lebih ke dalam islamisasi secara praktis.
Syarif Hidayatullah adalah cucu dari penguasa besar tanah Sunda, cucu dari Sri Baduga maharaja. Ia merupakan anak dari putri raja, Rara santang, yang menikah dengan pembesar dari Mesir. Rara santang adalah anak dari Sri Baduga maharaja Prabu jayadewata, atau sekarang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi, dari istrinya Nyi Subang larang.
Sebagai pangeran dari kalangan istana sunda, maka Syarif Hidayatullah sangat dihormati baik di daerahnya dan juga di kerajaan Demak. Ia disegani dalam kaitannya dengan masalah keagamaan dan dalam tingkatan sosial kemasyarakatan dan juga dalam bidang kemiliteran.  Dan ia mamfaatkan itu dalam upaya islamisasi di tanah sunda.
Ia memamfaatkan kekisruhan para pangeran di istana pajajaran setelah ditinggal kematian kakeknya, Sri baduga maharaja. Dan ia memamfaatkan momen penolakan para pangeran yang menentang kerjasama kerajaan Sunda dengan kaum Portugis, dalam upayanya membangun benteng Portugis di kota pelabuhan Kalapa (sunda kalapa atau jakarta sekarang).
Dengan dibantu oleh kerajaan Demak, ia kemudian melakukan penyerangan terhadap kota pelabuhan Kalapa (Jakarta) dan banten, yang merupakan dua kota pelabuhan terpenting dari kerajaan Sunda. Setelah kedua kota itu dapat ditaklukan maka ia juga berupaya untuk menaklukan daerah  di timur dan selatan kerajaan ini. Kuningan, Majalengka, dan galuh kemudian dapat ditaklukan. Dan Sumedang juga menerima islam secara damai melalui perkawinan. Meskipun Sumedang larang tetap menjadi bagian dari kerajaan pajajaran dan tidak berusaha untuk memberontak, meskipun agama mereka sudah berbeda.
Syarif Hidayatullah sangat dihormati karena perannya dalam islamisasi secara menyeluruh di tanah Sunda. Sehingga Islam mulai banyak dianut oleh masyarakat Sunda, meskipun ia sendiri tidak berhasil menguasai ibukota kerajaan Sunda, pakuan. Baru cucunya, Maulana Yusuf,  bisa menaklukan pusat kerajaan tersebut di tahun 1579 M.

8.. MAULANA HASANUDDIN
Merupakan anak pertama Sunan gunung Jati, dan dianggap sebagai pendiri kesultanan Banten yang sebenarnya, yang merdeka, yang lepas dari pengaruh Cirebon.  Maulana hasanuddin berjasa menjadikan banten sebagai pusat Islam di tatar sunda sebelah barat.
Ia merupakan putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari istrinya, Nyi Kawunganten. Nyi Kawunganten merupakan putri dari penguasa Banten, Surasowan. Dan ketika Hasanuddin lahir pada tahun 1478 M, kakeknya (Sorasowan) menamainya Pangeran Sebakingkin. Hasanuddin menikah dengan putri indrapura, dan mempunyai putra yang bernama Maulana Yusuf, yang kemudian menggantikannya setelah ia meninggal.
Setelah Sang kakek (surasowan) meninggal di usia yang relatif muda, kekuasaan Banten jatuh ke tangan pamannya, Arya Surajaya (anak Surasowan). Sedang ayahnya, Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon, karena mewarisi kekuasaan Cirebon dari pamannya, Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang).
Syarif Hidayatullah memamfaatkan keluarganya termasuk putranya Hasanuddin dalam menguasai Banten.  Ketika terjadi persetujuan antara penguasa Pajajaran dengan Portugis untuk membangun benteng di Sunda Kalapa (jakarta) dan juga Banten, hal ini dijadikan momen untuk melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Pajajaran yang ada di Banten. Sehingga terjadi peperangan pada tahun 1526 M antara Hasanuddin yang dibantu oleh pasukan ayahnya dari Cirebon, yang dipimpin oleh Fatahillah dengan pamannya (Arya Surajaya). Dan akhirnya  Arya Surajaya dapat dikalahkan. Dan Hasanuddin oleh ayahnya, Sunan Gunung Jati, diangkat menjadi bupati Banten pesisir dan banten Girang.
Pada tahun 1568 M, ayahnya Sunan Gunung Jati (syarif Hidayatullah) meninggal.  Dan pada saat itu juga Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negeri yang merdeka dari pengaruh Cirebon dan Demak, dan ia mengangkat dirinya sebagai sultan pertama dari kerajaan Banten tersebut, dengan gelar Panembahan Hasanuddin.. Untuk memeperkuat posisi pemerintahannya, Hasanuddin kemudian mendirikan istana yang dinamakan dengan Istana Surasowan, untuk mengenang sang kakek, penguasa Banten sebelumnya.
Hasanuddin sejak masa mudanya dikenal sebagai seorang pendakwah Islam di tanah Banten. Karena ia termasuk Bangsawan di kerajaan Pajajaran memudahkannya untuk melakukan dakwahnya. Meskipun kemudian dibatasi oleh pamannya, Arya Surajaya, karena dianggap membahayakan eksistensinya di Banten.

  9. . FATAHILLAH
10. .
11..

12.. PANGERAN SANTRI
Pangeran Santri atau Pangeran Kususmah Dinata atau terkenal juga dengan nama Ki Gedeng Sumedang merupakan suami dari Ratu PucukUmun, penguasa Sumedang keturunan raja raja kuno Sumedang. Ia kemudian memerintah Sumedang Larang  dengan istrinya, Ratu Pucuk Umun Ratu Intan Dewata (1530-1558 M).  Ia merupakan putra dari Pangeran Pamelekaran (dipati Tetarung) cucu dari Syekh Maulana Abdurrahman dancici dari Syekh Datuk Kahfi.  Ia dijuluki Pangeran Santri karena asalnya dari pesantren dan perilakunya terkenal sangat alim.
Sumedang Larang merupakan wilayah yang paling berpengaruh saat itu di wilayah kerajaan Sunda. Wilyahnya yang luas, meliputi Sumedang itu sendiri, Majalengka,  Bandung, Subang, Karawang dan Indramayu.
Pada masa Ratu pucuk Umun, ibukota kerajaan yang pada awalnya di daerah Ciguling dipindahkan ke daerah Kutamaya sekarang. Dengan menikahi Ratu Pucuk Umun    , Pangeran Santri kemudian melakukan islamisasi di daerah kekuasaannnya.

13.. SULTAN MAULANA YUSUF
Merupakan sultan Banten yang kedua yang berkuasa dari tahun 1570 hingga 1580 M. Pada masanyalah Pakuan yang merupakan ibukota kerajaan Pajajaran, kerajaan Hindu terakhir di daerah sunda dapat ditaklukan.
 Maulana Yusup merupakan  Putera dari Sultan Hasanudin dari istrinya Ratu Ayu Kirana. Pada masanya penaklukan ibukota Pajajaran menjadi prioritasnya, dan berhasil. Ia berjasa dalam mengukuhkan kekuasaan kesultanan  islam di  Banten, meskipun ia tidak berhasil menguasai seluruh wilayah eks. Kerajaan Pajajaran.

14. PRABU GEUSAN ULUN
Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya merupakan putra pertama Pangeran Santri dengan Ratu PucukUmun.  Ia menjadiRaja sumedang Larang menggantikan ayahnya, pangeran Santri.
Sumedang Larang dimasanya, meskipun sudah memeluk Islam tetapi Sumedang Larang masih setia kepada kerajaaan Sunda di Pakuan. Sehingga ketika Pakuan jatuh pada tahun 1579 M, ia dianggap sebagai penerus dari kerajaan Sunda. Empat mentri utama Pajajaran yang disebut Kandaga Lante menyerahkan mahkota / Siger raja Sunda kepada Prabu Geusan Ulun, sebagai perlambang bahwa wilayah wilayah kerajaan Sunda yang tidak dikuasai oleh Banten dan Cirebon merupakan daerah kekuasaannya.

BAB II TOKOH DAN ULAMA ISLAM ABAD 17 M (ERA KOLONIAL)

1.. SYEKH ABDUL MUHYI
Syekh Abdul Muhyi seorang ulama yang hidup pada abad ke17 M. Ia lahir pada tahun 1650 M. Aqyahnya, Lebe warta Kusumah, masih bangsawan sunda yang tinggal di Gresik/ ampel.
Pada usia 19 tahun ia pergi ke Aceh untuk berguru kepada ulamabesardi Aceh waktu itu, Syekh Abdurrauf Singkel selama 8 tahun (1090-1098 H/ 1669-1677). Pada usia 27 tahun pergi ke Baghdad untuk ziarah ke makam Syekh Abdul Qodir jailani dan bermukim disana selama 2 tahun. Dan setelah itu ia bersama gurunya (syekh abdurrauf Singkel) pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Tahun 1677 ia kembali ke Aceh, dan kemudian kembali ke Gresik. Dan ia kemudian pergi ke tatar sunda, dan menikah dengan seorang wanita masih keturunan bangsawan sunda.
Pada awalnya ia menetap di DarmoKuningan selama 7 tahun (1678-1685 M), .Kemudian perg ke Pameungpeuk (1 tahun) (1685-1686), kemudian ke Batuwangi hingga Lebaksiu dan bermukim disana selama 4 tahun (1686-1690), kemudian ke kampung Cilumbu diatas gunung, sambil bertafakur. Karena diatas gunung tersebut sering menenangkan hatinya, maka gunung tersebut dinamakan dengan nama gunung Mujarod, yang berarti gunung untukmenenangkan hati. Setelah itu iakemudian ke daerah pamijahan sekarang, dan menemukan goa yang dicarinya karena mimpinya ketika di baghdad. Ia tinggal di dalam goapamijahan dan mengajar para santrinya  di sana.
Setelah itu, ia kemudian menyebarkan agama islam di kampung Bojong, kemudian ke Safarwadi disini ia membangu rumah dan masjid, dan mengajar hingga ia meninggal. Ia dimakamkan di daerah pamijahan sekarang.
Syekh abdul Muhyi berjasa dalam pengisalaman masyarakat di sekitar di tatar sunda bagian selatan (kuningan, Garut, tasikmalaya), yang waktu itu masih banyak yang menganut agama Islam.

2.. KANJENG DALEM CIKUNDUL (w.1706 M)
Raden Aria Wiratanudatar atau lebih dikenal dengan Kanjeng Dalem Cikundul dikenal sebagai bupati pertama Cianjur (mp. 1677-1691)  dan tokoh yang berperan dalam islamisasi di wilayah Cianjur.
Raden Aria Tanu bin Aria Wangsa Goparana merupakan turunan dari raja raja Talaga. Ayahnya yang bernama Aria Wangsa Goparana merupakan anak dari Sunan Ciburang, raja Talaga. Ayahnya, merupakan orang pertama yang memeluk Islam dan meninggalkan keraton Talaga, dan tinggal di Sagalaherang. Disni ia mendirikan pesantren dan menyebarkan agama Islam disana. Pada akhir abad ke-17, ayahnya tersebut meninggal dunia di Kampung Nangkabeurit, Sagalaherang. Diantara anak anak Aria Wangsa Gopana adalah: Jayasasana (setelah menjadi bupati cianjur bergelar Aria Wiratanu Datar), Candramanggala, Santaan Kumbang, Yudanagara, Nawing Candradirana, Santaan Yudanagara danNyi Mas Murti.
Jasasana terkenal sangat alim dalam agama, dan setelah dewasa bermukim di kampung Cijagang Cianjur. Disini ia dinagkat menjadi bupati Cianjur periode 1677-1691 dengan gelar aria Wira Tanu  
Ia  meningggal  sekitar tahun 1706 M dan dimakamkan di puncak bukit Cijagang, kampung Majalaya desa Cijagang, kecamatan Cikalong Kulon Cianjur. Dan ia meninggalkan 11 orang anak: Dalem Aria Wiramanggala, Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad), Dalem Aria Tirta (di Karawang), Dalem Aria Natamanggala (dalem aria kidul / gunung jati cianjur), R. Aria Wiradimanggala (dalem aria cikondang), Dalem Aria Suradiwangsa (dalem panembong), Nyi Mas Kaluntar, Nyi Mas Bogem, Nyi R. Mas Karangan, Nyi RM Kara, Nyi Mas Janggot.

BAB III TOKOH DAN ULAMA ISLAM ABAD 18 M (ERA KOLONIAL)

1.. RH ABDUL MANAF
Raden Haji Abdul Manaf atau lebih dikenal dengan nama Eyang Dalem Mahmud adalah seorang ulama sunda di bandung selatan yang hidup pada abad peralihan ab ke-17-18 M. Ia  diperkirakan hidup antara tahun 1650-1725 M. Belum ada penelitian tentang perannya dalam islamisasi di Bandung selatan. Tetapi makamnya hingga kini masih dikeramatkan dan banyak diziarahi, menandai bahwa ia dulunya merupakan ulama berpengaruh.
Salah satu peninggalnya adalah kampung yang bernama Kampung Mahmud desa Mekar Rahayu kecamatan Marga Asih Bandung Selatan. Di kampung ini konon mempunyai keharusann dan juga larangan, diantaranya: rumah panggung, pantangan memakai kaca, menggali sumur dan bertembok. Kemudian dilarang menyetel musik dan memelihar binatang. Dan daerahnya juga dilarang diinjak oleh orang non muslim.
Ia merupakan cicit dari bupati bandung waktu itu, Dalem Dipati Agung Suriadinata. Dengan silsilah sebgai berikut RH Abdul Manaf bin Dalem Natapraja bi Dipati Agung Suriadinata.
Karena hidup di era kolonial, konon pesantrennya disamping tempat mengembangkan ajaran islm juga  merupakan tempat perlindungan bagi orang orang yang mencari perlindungan, termasuk dari kejaran kolonial belanda. Karena konon kampung ini tidak pernah tersentuh oleh orang belanda. Dan semua larangan yang ada dikampung itu berkaiatan dengan upayanya untuk menghindari kegaduhan supaya tidak terlacak oleh pihak kolonial.

BAB IV TOKOH DAN ULAMA ISLAM ABAD 19 M (ERA KOLONIAL)

1.. KIAI HASAN MAOLANI (w. 1874 M)
Seolah ulama asal Kuningan yang di buang oleh Kolonial belanda ke Manado, Sulawesi utara. Oleh karena itu ia kemudian dikenang dengan nama Eyang Manado.
Ia lahir di Lengkong kabupaten Kuningan. Ia seorang pendakwah dan mengajar di Pesantren yang didirikannya di Lengkong Kuningan. Pendidikannya diraih di beberapa pesantren, diantaranya: di pesantrn Kedung Panjang, Majalengka dan Pesantrn Ciwaringin, Cirebon. Disamping muridnya yang relatif banyak, ia juga sering didatangi oleh masyarakat untuk meminta saran dan nasehat.
Dalam dakwahnya ia banyak menekankan tentang kata jihad yang ada dalam Al Qur;an, seperti yang semppat ditulis dalam karyanya yang dinamakan Fathul Qorib (40 jilid). Karena kata katanya dianggap membahayakan karena itu ia kemudian ditangkap oleh pihak kolonial Belanda.
Kiai Hasan Maolani ditangkap oleh kolonial Belanda pada tanggal 12 Safar 1257 H/ 1837 M. Mulanya ia ditahan di Cirebon, tetapi karena pengaruhnya masih besar, akhirnya pemerintah Hndia Belanda memindahkannya ke Batavia (jakarta). Kemuadian ke Ternate (maluku), ke Kaema dan terakhir di Tondano, sebelah selatan Manado (sulawesi Utara).
Di Tondano, kebetulan terdapat masyarakat Jawa yang dibuang bersama Kiai Maja setelah perang diponogoro berakhir. Di kampung Jawa ini, mengajar bekas pasukan diponogoro yang ingin mendalami Islam. Karena banyak muridnya, ia kemudian mendirikan pesantren yang dikenal dengan nama Pesantren Rama Kiai Lengkong.
Disamping terhadap pendidikan dan dakwah, ia juga menaruh perhatian besar terhadap pengembangan pertanian dan perkanan sebagaimana yang dilakukannya di Lengkong Kuningan.
Hingga 32 tahun ia tidak pernah kembali ke Kuningan. Pengajuan untuk kembali ke daerah asalnya selalu ditolak oleh residen Priangan.  Dan pada  29 Aprl 1874, Kiai Hasan Maolani meninggal. Dan dimakamkan di pemakaman Kiai Maja (salah seorang panglima pangeran dipenogoro yang juga di buang ke Tondano),  di Tondano.

2.. SYEKH NAWAWI AL BANTANI  (1230-1314 H / 1813-1897 M)
Seorang ulama besar asal Banten, ahli hukum Islam (fiqih) dan ushul. Ia tinggal lama di Mekah dan mengajar di Masjidil Haram. Ia terkenal karena tulisannya yang sangat banyak (ledih dari 80 buah) dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan.
 Nama lengkapnya Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi, dan kemudian terkenal dengan nama Nawawi al Bantany atau Nawawi al Jawi. Ia lahir di Tanara, Serang, Banten. Ayahnya, Umar ibn Arabi, adalah seorang ulama dan menjadi penghulu di Tanara.
 Pada usia 15 tahun, ia pergi ke Mekah dan bermukim disana selama 3 tahun untuk belajar ilmu keagamaan. Ia juga pernah belajar di Madinah.  Pada tahun 1248 H / 1831 M, ia kembali ke Banten dan mengajar di pondok yang didirikan ayahnya (selama 3 tahun), tetapi ia kemudian kembali lagi ke Mekah dan tidak pernah kembali.  Ia belajar kepada guru-gurunya selama 30 tahun (1830-1860 M), dan akhirnya mengajar di Masjidil Haram.
Banyak ulama besar indonesia yang pernah berguru padanya, antara lain: KH. Cholil bangkalan, KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ary (pendiri NU), KH Asnawi Kudus, KH Tb. Bakrie Purwakarta, KH. Arsyad Thawil, dan lain-lain.
 Ia  pernah diundang ke Al Azhar Mesir untuk memberi ceramah dan fatwa-fatwa pada beberapa perkara khusus.     Ia meninggal di Mekah pada 25 syawal 1314 H / 1897 M, tetapi ada yang mencatat 1316 H /1899 M.
Kelebihan dari Syekh Nawawi adalah  terkenal sebagai seorang penulis yang produktif. Karya-karyanya sangat populer dimasanya dan banyak dibaca oleh kalangan pelajar Timur Tengah dan Asia Tenggara.     Karena kepakarannya, Dr. Snouck Horgronje (seorang orientalis dan penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Islam di Indonesia) menggelarinya sebagai doktor ilmu ketuhanan. Sedang kalangan intelektual waktu itu menggelarinya Al Imam wa al Fahm al Mudaqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Tentang pengaruhnya, Dr. Snouck H., mengakui pengaruh besar yang ditularkan oleh syekh Nawawi ini, hingga mendorong masyarakat Melayu / Indonesia untuk mengkaji Islam secara seksama. Ia (Snouck) juga mengakui bahwa Syekh Nawawi juga mampu membangun cita-cita politik Islam.
Berikut ini adalah beberapa karyanya, antara lain:
  • ·       Tafsir al Munir (Yang memberi Sinar), merupakan karyanya dalam tafsir yang cukup monumental.
  • ·   Kasifah al Saja, suatu kitab tentang fiqih, yang merupakan syarah/ komentar terhadap kitab fiqih Safinah an Najah karya Salim bin Sumeir al Hadrami. Para pakar menyebut, karyanya ini lebih praktis daripada yang dikomentarinya.
  • ·      Syarh al ‘Uqud al Lujjayn fi Bayan al Huquq al Zawjain, suatu karyanya tentang fiqih yang terkenal dikalangan pesantren Jawa. Hampir semua pesantren memasukan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib terutama dalam bulan Ramadhan. Kitab ini berisi tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail, hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci.
  • ·         Nihayah al Zayn. Tentang ushul fiqih.
  • ·  Sallam al Munajah (tangga untuk Mencapai Keselamatan).Tentang fiqih yang merupakan syarah Safinah as Salah .
  • ·         At Tausyiah. Dalam bidang fiqih, yang merupakan syarah darikitab Fath al Qarib al Mujib karya Ibn Qasun al Ghazi.
  • ·    Fath al Majid (Pembuka bagi yang mulia) dalam bidang tauhid / akidah, yang merupakan syarah kitab Ad Durr al Farid fi At Tauhid.
  • ·     Tijan al Durar, tentang akidah / tauhid yang merupakan syarah dari kitab Fi at Tauhid karya Al Balajury.
  • ·         Nur al Dhalam, tentang akidah.
  • ·     Tangih al Qaul (Meluruskan pendapat) karyanya dalam bidang hadits, yang merupakn syarah dari kitab Lubab al Hadits karya As Suyuthi.
  • ·         Salalim al Fudala (Tangga bagi para ulama terpandang), karyanya dalam bidang akhlak / tasauf, yang merupakan syarah dari kitabManzhumah Hidayah al Azkiya.
  • ·         Misbah adz Dzalam (Penerang kegelapan), karyanya dalam bidang tasauf /akhlaq.
  • ·         Maraqi fi Ubudiyah
  • ·         Al Qami’ al Thugyan, tentang tasauf.
  • ·         Nashaih al Ibad, tentang tasauf.
  • ·         Minhaj al Raghibi, tentang tasauf.
  • ·         Al Ibriz ad Dani (Emas yang dekat)
  • ·         Bughyah al Awam (Kezaliman orang awam)
  • ·         Fathu Shomad ( Kunci untuk mencapai yang maha pemberi)
  • ·         Fathu Ghafir al Khatiyah (kunci untuk pengampunan kesalahan)
  • ·         Lubab al Bayan (Inti penjelasan)
BAB III TOKOH DAN ULAMA ABAD KE 20 M (PRA DAN KEMERDEKAAN)

1.. KH. AHMAD SANUSI (1306-1369 H/ 1889-1950 M),
Seorang ulama dari tataran Sunda, asal Sukabumi, dan termasuk dari sedikit ulama indonesia yang produktif dalam menulis. Ia menulis buku lebih dari 120 judul  dalam bahasa Sunda, dan lebih 22 judul diterbitkan dalam bahasa Melayu.
Ia lahir di desa Cantayan, CiBadak, Sukabumi, dan merupakan anak ketiga dari Ajengan Abdurrahim bin H. Yasin, seorang pengasuh pesantren Cantayan.
Sejak kecil ia dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Dan pendidikannya di dapat dari berbagai pesantran.  Ia mempunyai pemikiran yang kritis. Ketika belajar di pesantren Guntur ia berani mendebat gurunya (Ajengan Ahmad Satibi), suatu tindakan yang dianggap kurang ajar (waktu itu) oleh rekan-rekannya.
 Pada tahun 1909 M, ia pergi ke Mekah dan bermukim disana selama 7 tahun dan berguru kepada ulama-ulama Madzhab Syafi’I (antara lain: Syekh Shaleh Junaidi, Syekh Shaleh Bafadil, Sayid Jawani (mufti madzhab Syafi’I di Mekah) dan lain-lain). Di Mekah ini ia mendapat kehormatan menjadi imam di Masjidil Haram. Di Mekah ini juga ia bergabung dengan SI (Syarikat Islam) dan terlibat perdebatan dengan ulam-ulama Indonesia perihal SI, disamping menulis buku.
Pada tahun 1915 M, ia kembali ke Cantayan dan mengajar di pesantren ayahnya, dan segera menarik banyak pengikut. Pada tahun 1931 ia mendirikan Al ittihadiyatul Islamiyah (AII). Ia juga membangun perguruan Syamsul ‘Ulum, yang sekarang terkenal dengan pesantren Gunung Puyuh. Disamping soal  agama  (Al Qur’an dan hadits)  ia juga  mengajarkan  permasalahan  kemasyarakatan.
Di bidang politik di Indonesia awal  ia menempati beberapa jabatan penting, antara lain: dewan penasehat keresidenan Bogor (Shungikai), wakil resioden Bogor, anggota BPUPKI, anggota KNIP, dan lain-lain.
Peran dan Pemikiran
Para pengamat sering memasukan Ahmad Sanusi sebagai ulama tradisional / konservatif (madzhab Syafi’I), tetapi ia percaya pintu ijtihad masih terbuka, meskipun ia sendiri tidak melakukan ijtihad. Tetapi ide dan semangatnya sangat berbau pembaharuan (kadang ia berbeda pendapat dengan kelompok tradisi, kadang berbeda juga dengan penganjur pembaharuan).
Perselisihannya dengan kaum tradisi dan pemerintah, menyangkut soal fatwanya yang menentang pengumpulan zakat dan zakat fitrah lewat perpanjangan tangan pemerintah penjajah Hindia Belanda; Dan kritikan yang keras terhadap upacara ke-3, ke-7 hari dan seterusnya (slametan) bagi orang yang meninggal. Ia juga menfatwakan tidak wajibnya mendo’akan bupati (yang waktu itu menjadi kebiasaan khutbah Jum’at selalu mendo’akan bupati) dalam khutbah Jum’at, dan lain-lain.
Karena aktifitas dan kritikannya, ia dianggap membahayakan kolonial Hindia Belanda. Dan ia ditangkap ketika terjadi pemberontakan di Banten dan dipenjara selama 7 bulan di Sukabumi. Setelah itu ia diasingkan ke Jakarta.
Ketika dalam  tahanan  pengaruhnya semakin meluas dan ia tetap beradu argumentasi dengan kaum tradisi dan juga kaum pembaharu diluar tahanan.
Diantara karya karyanya adalah:
Dalam bidang tafsir,
  • ·         Raudhlatul Irfan fi Ma’rifat Al Qur’an
  • ·         Maljau at Thalibin
  • ·         Tamsyiyatul Muslimin fi tafsir Kalam Rabb al ‘Alamin, suatu kitab tafsir Al Qur’an yang diterbitkan pada oktober 1932. tafsir ini merupakan yang pertama kali terbit di Sukabumi dan merupakan sesuatu yang baru dalam masyarakat Sukabumi bahkan di daerah Pasundan, maka penerbitannya tidak luput dari kecaman dan tantangan.
  • ·         Ushul al Islam fi Tafsir Kalam al Muluk al alam fi Tafsir Surah al Fatihah
  • ·         Kanzur ar rahmah wa Luthf fi tafsir Surah al Kahfi
  • ·         Tajrij qulub al Mu’minin fi Tafsir Surah Yasin
  • ·         Kasyf as sa’adah fi tafsir Surah Waqi’ah
  • ·         Hidayah Qulub as Shibyan fi Fadlail Surah tabarak al Mulk min al Qur’an.
  • ·         Kasyf adz Dzunnun fi Tafsir layamassuhu ilaa al Muthahharun
  • ·         Tafsir Surah al falaq
  • ·         Tafsir Surah an Nas
  • Dalam bidang fiqih,
  • ·         Al Jauhar al Mardliyah fi Mukhtar al Furu as Syafi’iyah
  • ·         Nurul Yaqin fi Mahwi Madzhab al Li’ayn wa al Mutanabbi’in wa al Mubtadi’in.
  • ·         Tasyfif al auham fi ar Radd’an at Thaqham.
  • ·         Tahdzir al ‘awam fi Mufiariyat Cahaya Islam.
  • ·         Al Mufhamat fi daf’I al Khayalat
  • ·         At tanbih al mahir fi al Mukhalith
  • ·         Tarjamah Fiqh al Akbar as Syafi’i.
  • Dalam bidang ilmu kalam
  • ·         Kitab Haliyat al ‘Aql wa al Fikr fi bayan Muqtadiyat as Syirk wa al Fikr.
  • ·         Thariq as Sa’adah fi al Farq al islamiyah
  • ·         Maj’ma al fawaid fi Qawaid al ‘Aqaid
  • ·         Tanwir ad Dzalam fi farq al Islam
  • ·         Miftahh al jannah fi bayan ahl as Sunnah wa al jama’ah
  • ·         Tauhid al Muslimin wa ‘Aqaid al Mu’minin
  • ·         Alu’lu an Nadhid
  • ·         Al Mufid fi Bayan ‘ilm al tauhid
  • ·         Siraj al Wahaj fi al Isra wa al Mi’raj
  • ·         Al ‘Uhud wa al Hudud
  • ·         Bahr al Midad fi tarjamah Ayyuha al Walad
  • Dalam bidang tasauf
  • ·         Al Audiyah as syafi’iyah fi Bayan Shalat al hajah wa al Istikharah
  • ·         Siraja al afkar
  • ·         Dalil as sairin
  • ·         Jauhar al bahiyah fi Adab al mar’ah al Mutazawwiyah
  • ·         Mathla’ul al anwar fi Fadhilah al istighfar
  • ·         Al tamsyiyah al Islam fi manaqib al Aimmah
  • ·         Fakh al albab fi Manaqib Quthub al Aqthab
  • ·         Siraj al Adzkiya fi Tarjamah al Azkiya.


(.. Lanjut)

By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam (asal Sumedang)

Sumber:
Buku: Dari berbagai sumber 

Internet: wikipedia, ensikperadaban.com, dan lain lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar