Pengantar
Siapa sebenarnya yang mendapat julukan Prabu Siliwangi dalam sejarah peradaban Sunda.. Ada yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah Prabu Wastukancana, karena arti dari kata silih adalah pengganti. Sedang Wangi disini adalah gelar Prabu Wangi, yang digelarkan pada Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Disamping itu pada masa pemerintahan Prabu Wastukancana juga wilayah kerajaan Sunda sedang dalam masa kemakmurannya. Karena itu kerajaan Sunda adalah kerajaan yang paling disegani dimasanya. Sedang waktu itu Majapahit sedang dalam proses kemundurannya/ kehancurannya. Karena itu banyak para ahli yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah Prabu Wastukancana ini. Tetapi dalam naskah Wangsakerta, Prabu Wastukancana disebut dengan Prabu Wangi Sutah.
Di lain pihak, Sri Baduga Maharaja Prabu Jaya Dewata
adalah raja yang kembali mempersatukan keuasaan Sunda dalam satu pemerintahan.
Dimana setelah Prabu Wastukancana, kerajaan dibagi 2, yaitu sunda pakuan yang
beribukota di Pakuan yang diperintah oleh anaknya dari Putri Lampung, yang
bernama Prabu Susuk Tunggal, dan juga dari Sunda Galuh diperintah oleh anaknya
dari putri Raja Bunisora, yang bernama Dewa Niskala.
Prabu Jayadewata berhasil mempersatukan wilayah
kerajaan Sunda dalam satu pemerintahan, dan pada masanya kerajaan Sunda
menacapai kemakmurannya. Karena itu maka Sri baduga Maharaja Prabu Jayadewata oleh
masyarakat banyak sekarang dianggap sebagai refresentasi dari Prabu Siliwangi,
raja yang memberikan keharuman kepada kerajaan Sunda, karena itu oleh
masyarakat sekarang Prabu jayadewata inilah yang disebut dengan Prabu
Siliwangi.
Tentang siapa yang benar dari pendapat ini, maka suatu
kompromi dalam sejarah biasanya untuk Prabu Niskala Wastukancana di gelari
Prabu Siliwangi I dan untuk Sri Baduga Maharaja biasanya digelari Prabu
Siliwangi 2. Tetapi karena Wasukancana digelari Prabu Wangi Sutah, berarti Prabu
Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata.
Dan dalam naskah naskah kuno, Prabu Siliwangi ini
telah disebut dalam naskah Bujangga Manik, suatu naskah yang ditulis oleh
Bujangga manik atau Prabu Jaya Pakuan. Dimana diceritakan oleh Jompong Larang
yang menceriitakan tentang ketampanan Bujangga Manik, yang tampannya lebih
tampan dari Parbu Siliwangi.
Jompong
Larang menjawab:
“Mohon maaf,
Putri, nama laki-laki itu Ameng Layaran,
seorang
laki-laki yang sangat tampan,
lebih tampan
dari Banyak Catra,
lebih tampan
dari Silih Wangi,
bahkan lebih
tampan dari keponakan Putri.
Ia tinggi dan
sangat diidam-idamkan,
laki-laki
untuk dipeluk dan dibelai di beranda,
untuk
ditimang-timang di ranjang,
ditimbang
oleh peraturan,
untuk
dirangkul di ruang tidur.........."
Naskah Bujangga Manik adalah naskah
primer yang ditulis oleh pelakunya sendiri, Bujangga Manik atau Prabu Jaya
Pakuan yang bergelar Prabu Ameng Layaran. Naskah ini ditulis pada abad ke 15
Masehi, dimana kerajaan Majapahit masih ada, dan kerajaan Demak baru muncul,
Cirebon belum menunjukan menjadi kerajaan, dan Sumedang Larang masih dikenal
dengan Medang Kahiyangan. Tidak diceritakan zaman siapa ia hidup, tetapi dari
zamannya mengindikasikan bahwa naskah ini ditulis diakhir abad ke-15 Masehi.
Dan nama Siliwangi juga disebut dalam
Kropak 630 yang dikenal dengan Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, pada
lembar 16 verso tercantum nama Siliwangi sebagai tokoh lakon pantun. Naskah ini
ditulis tahun 1440 Saka (1518 M), di era masa pemerintahan Sri baduga maharaja
(1482-1521 M).
NASKAH
BAB
I KAWALI TAHUN 1451 M
Telah
lahir seorang putra cucu dari raja sunda waktu itu, Prabu Niskala Wastu
Kancana. Anak tersebut merupakan anak dari Pangeran Dewa Niskala, yang
dikemudian hari menjadi Raja Galuh, di istana Surawisesa Kawali. Bayi tersebut
dikemudian hari terkenal dengan nama Pangeran Jaya Dewata atau Pangeran Pamanah
Rasa. Ia lahir di ibukota kerajaan galuh waktu itu, Kawali, di keraton
Surawisesa.
Pamanah
rasa diperkirakan lahir pada 17 April 1451 M, di keraton Surawisesa Kawali
(Ciamis sekarang). Ayahnya Dewa Niskala merupakan raja dari kerajaan Galuh.
Prabu Dewa Niskala berkuasa di Galuh dari tahun 1475 sampai dengan tahun
1482 M. Nama Pamanah Rasa hanyalah nama panggilan. Ia dinobatkan menjadi
raja galuh pakuan dengan gelar Prabu Guru Dewata Prana.
Pamanah
Rasa tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Masa mudanya dikenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas. Dalam berbagai hal orang sezamannya teringat
kepada kebesaran buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam
perang bubat, yang digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga dikemudian hari ia
dikenal dengan Prabu Siliwangi.
BAB
II KELUARGA
Prabu
Jaya dewata merupakan putra dari Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kencana
penguasa Galuh dari tahun 1475 hingga 1482 M.
Setelah
akil baligh Prabu Jawa Dewata pada mulanya memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng
Sindang kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja
Jayadewata. Ia merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga
Wastukenacana dari Mayang Sari.
Ia kemudian memperistri Subang Larang, putri
dari Ki gedengtapa, yang menjadi penguasa di Singapura. Subang Larang adalah muslim pertama di
lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok Syekh Qura di Pura Karawang. Dari turunan Subang Larang
inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan
Sunda (raja Cirebon dan banten). Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3
anak: Walangsungsang (atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman),
Lara santang (ibu dari Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara atau ada yang menyebutnya dengan nama Kiansantang.
Jaya Dewata juga memperistri
Kentrik Manik Mayang sunda, putri Prabu Susuk Tunggal, dari istana
Pakuan. Dengan demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah
(keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan. Dari istrinya ini ia kemudian mempunyai anak yang bernama Pangeran Sangiang
atua setelah menjadi raja menggantikan ayahnya bergelar Prabu Surawisesa
Jayaperkosa.
BAB III MASA KEKUASAAN DAN KEBIJAKAN DALAM NEGERI
Prabu Jayadewata merupakan putra Dewa
Niskala, Raja dari istana Galuh, dan juga menjadi menantu Prabu Susuktunggal, Raja Sunda di Pakuan. Dengan demikian ia
merupakan pewaris 2 tahta istana kerajaan yaitu istana Galuh di Kawali dan
istana kerajaan Sunda di Pakuan.
Pada
tahun 1482 M secara resmi Pangeran Jayadewata diangkat menjadi raja. Dalam
Prasasti Batutulis yang ada di Bogor, disebutkan bahwa Prabu Jayadewat
dinobatkan menjadi raja 2 kali.
diwastu diya wingaran prebu guru dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga maharaja ratu
haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata..... "
Arti:
Semoga Selamat, ini tanda peringatan Prabu
ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prau Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri baduga
maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata
Pertama,
ia diangkat menjadi Raja Galuh menggantikan ayahnya, Prabu Dewa Niskala (Prabu
Ningrat Kencana), dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Ayahnya, Prabu Dewa
Niskala menjadi raja di Galuh selama 7 tahun, dari tahun 1397-1404 Saka. Dewa
Niskala kemudian memberikan tahta pada anaknya, karena ia melakukan kesalahan
mengawini salah satu putri bangsawan dari Majapahit (Wilwatika). Hal itu
menyebabkan ketegangan dengan kerajaaan Sunda. Dan untuk meredam ketegangan,
Dewa Niskala kemudian mengangkat anaknya, Prabu jayadewata menjadi raja di
Galuh.
Kedua,
ia juga diangkat raja di istana Pakuan Pajajaran menggantikan mertuanya, Prabu
Susuk Tunggal, dengan gelar penobatan Sri Baduga Maharaja.
Dan penbatan
kedua tahta itu terjadi ketika pada
tahun 1482 M, diangkat oleh ayahnya Dewa Niskala senagai raja di istana Kawali
Galuh. Dan pada tahun itu juga ia diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan, menggantikan mertuanya, Prabu Susuk Tunggal. Dengan peristiwa tersebut yang
terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam
satu tangan, Jayadewata.
2.. Iring Iringan pindahnya Keraton
Karena
pada awalnya Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata mendapat tahta dari ayahnya
dari galuh, maka ia berkuasa seperti ayahnya di istana Surawisesa Kawali Galuh.
Tetapi ketika mendapat tahta dari mertuanya dari Pakuan Pajajaran, maka ia
kemudian memilih istana di Pakuan, yang bernama keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati, dengan singgasan Sriman Sriwacana.
Jayadewata memutuskan untuk
berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama
tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan sehari hari mewakili mertuanya,
prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat
pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini kerajaan sunda lebih
dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya
Pakuan Pajajaran.
Karena
pertama menjadi raja di Galuh, maka ia kemudian pindah ke istana Galuh di
Kawali. Tetapi ketika ia diangkat menjadi raja di Pakuan, ia memutuskan Pakuan
menjadi ibukota pemerintahannya. Maka terjadilah proese perpindahan kembali
dari istana Kawali ke istana di Pakuan.
Dan
Iring iringan kepindahan keluarga keraton dari istana di Kawali ke Pakuan,
diceritakan dalam kisah perjalanan Ratu Ambetkasih (istri pertama Prabu Jayadewata) dan madu
madunya dari keraton Kawali ke keraton Pakuan yang ditulis oleh Kairaga,
seorang penulis dan penyair Pantun sunda yang hidup sekitar awal abad ke-18 M.
“ ..........
Dicarita Ngabetkasih, kadeungeun / sakamaruan, bur payung agung ngawah tugu, nu
saur manuk sabda tunggal, nu dek mulih ka Pakuan.
Saundur
ti dalem timur, kedaton wetan buruan, si Mahut Putih gede manik, maya datar
ngarana.
Sunilaya
ngarana, dalem Sri Kancana Manik, Bumi Ringgit cipta ririyak di sanghiyang
Pandan Larang, dalem si pawindu hurip.
.....................
... Bur
ti heula ley peundeuri, iyuh na hulun susushunan, bulak karas himbal
kakarangge, bese jati dipasangi bubuleud emas.
Tetek
taleh salaka, sasaka gading ditapak liman, baaneun ka pakuan, bur jolian homas,
dipuncakan ku camara gading
Dililinggan
omas, ngarana tangga rantay , dipuncakan ku mirah, tumpak di karang montaja,
singasari keri kanan.
Payung
wilis lilingga gading, dipuncakan ku manik molah, payung getas di lilinggan,
dipuncakan homas, deung payung saberilen.
Beunang
ngagaler ku lungsir, tapo terong homas keloh> Gelewer paraja papan, kikiceup
deungeun liliyeuk, deg semut sama dulur.
Betana
ttaan pindah, bur kadi kuta Sri Manglayang, lumenggang di awang awang, juru
kendi ti peundeuri juru kandaga ti heula.
Deung sawung galng kiwa tangen, di tengah
kidang kancana, saha nu si singa barong. Bur ti heula ley peundeuri. Sataganan lain
deui.
...................
Arti:
“............
Tersebutlah Ambetkasih diiringi sanak keluarga dan madu madunya, mengembanglah payung kebesaran
melintas Tugu, dengan seia sekata, yang
akan kembali ke Pakuan.
Sekepergiannya
dari istana timur, pelataran Keraton timur, Si Mahut Putih sebesar permata,
Maya Datar namanya
Sunilaya
namanya, istana Sri Kancana Manik, rumah berukir dibuat gemerlapan. di
sanghiyang Pandan Larang, istana Si Pawindu hurip (penenang hidup).
..............................
Berangkat
yang didepan, diikuti yang belakang, teduh para hamba yang dipertuan, perahu
kecil (berisi) pei penuh sesak, pei kayu jati persegi dilapisi emas.
Pemotong
taleh dari perak, pusaka dari gading berukirgajah, yang akan di bawa ke
Pakuan...
.............................
Berjalanlah
kereta kencana, diatasnya dihiasi dengan cemara kemuning.
Ditiang
pancangi emas, namanya tangga berjuntai, diatasnya dihiasi permata batu mirah,
bertumpuk di pekarangan penuh kilauan permata, kursi kerajaan dikiri kanan.
Payung
Wilis bertiangkan gading, diatasnya dihiasi dengan permata bergoyang. Payung
agung ditiangi, diatasnya dihiasi emas, dengan payung yang dilengkapi berlian.
Yang
dialasi kain sutera, hiasan kepala (mahkota emas cekung. Berderet para
pembeesar, saling kedip sambil saling lirik, saling tersenyum sesama saudara.
Bagaikan
semut tanaman berpindah. Gemerlap bagaikan kota Sri Manglayang, terbang melayang
diangkasa. Para pembawa gentong dari belakang, para pembawa tempayan logam
didepan.
Dengan
pagar ayu di kiri kanan, di tengah barisan berselendang keemasan, bersama
dengan yang bertopeng singa. Maju yang di depan dikuti yang di belakang,
serombongan berbeda lagi.
....................
3. Kebijakan
Pertama
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga
setelah resmi menjadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya,
Wastukancana, yang disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia
masih menjadi mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu
prasasti peninggalan Sri Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai
berikut (terj.):
” Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi rahyang
Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana. Maka selanjutnya
kepada susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan
ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sambawa. Semoga ada yang
mengurusnya. Jangan mmeberatkannya dengan ’dasa’ , ’calagra’, kapasa timbang’,
dan ’pare dongdang’. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar
jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan
membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan
peraturan dewa.”
4. Perekonomian &
Perdagangan
Tentang
kesejahteraan masyarakatnya, diceritakahn dalam naskah carita Parahiyangan
sebagai berikut:
Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu
Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku
lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana
henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah
Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Teu
ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku
ngalanggar Sanghiang Siksa.
Dalam
carita Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan.
Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah Karuhun Kabeh
(dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa pemerintahan Sri
Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires,
utusan Portugis dari Malaka, ikut mencatat kemajuan zaman Sri
baduga dengan komentar:
” The Kingdom of Sunda is
justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil;
mereka adalah orang-orang jujur).
Juga
diberitakan kegiatan perdagangan Sunda hingga ke kepulaan
maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1
bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakan cukup
untuk mengisi 1000 kapal.
BAB IV
PERKEMBANGAN POLITIK DI NEGERI LUAR (TAHUN 1500-AN) DAN KEBIJAKAN POLITIK SANG RAJA
PERKEMBANGAN POLITIK DI NEGERI LUAR (TAHUN 1500-AN) DAN KEBIJAKAN POLITIK SANG RAJA
Pada era Sri baduga maharaja berkuasa
selama 48 tahun dari tahun dari tahun
1482 hingga 1521 M, perkembangan politik di luar negeri sedemikian cepatnya.
Diawali dengn berdirinya kerajaan Demak, yang diikuti oleh jatuhnya kerajaan Majapahit tahun 1400 Saka
atau 1478 M, sehingga para bangsawannya banyak yang mengungsi ke tanah sunda.
Majapahit yang digadang gadang mempunyai kekuasaan besar, seolah hilang di
telan bumi.
Ia juga melihat perkembangan kerajaan
Demak yang cukup agresif, dan menjadi kekuatan global islam di wilayah timur. Disamping itu ia juga menyaksikan jatuhnya
pusat perdagangan Islam di Malaka pada tahun 1511 M oleh Portugis.
Sebagai kerajaan Hindu terakhir,
meskipun belum ada yang berani untuk melakukan peperangan dengan kerajaan Pajajaran.
Tetapi melihat perkembangan yang demikian pesat di luar negeri, membuatnya
harus melakukan beberapa kebijakan yang kontroversial untuk kelangsungan
kerajaannya di masa depan. Sehingga ia kemudian melakukan kontak perjanjian
dengan Portugis di Malaka, meskipun akhirnya kebijakan ini dianggap menjadi salah
satu sebab dari keretakan antar pangeran keturunannya yang berbeda keyakinan di
kemudian hari.
a. Berdirinya
Demak dan Jatuhnya Majapahit
Pada masa
mudanya ia menyaksikan pengungsian besar besaran dari bangsawan Majapahit ke
tanah Sunda/ Galuh. Dan salah satu sebab kejatuhan ayahnya sebagai penguasa
Galuh, karena mengawininya istri di kaluaran, yang waktu itu sangat di haramkan
dalam istana Sunda Galuh, akibat peristiwa Bubat yang menimpa maharaja
Linggabuana pada tahun 1357 M.
Demak didirikan oleh Raden Fatah, pada tahun 1475 M. Ia berkuasa
selama 43 tahun, dari tahun 1475 M hingga 1518 M. Kekuasaan kemudian diteruskan
oleh anak pertamanya yang bernama Pati Unus yang berkuasa dari tahun 1518 M
sampai dengan 1521 M, dan setelah itu diteruskan oleh anak keduanya yang
bernama Sultan Trenggono yang berkuasa dari tahun 1521-1548 M.
Setelah Sutan Trenggono meninggal, Demak mengalami
perpecahan, dan dianggap sudah berakhir. Sehingga Kerajaan kerajaan dalam
dominasinya menjadi kerajaaan yang
independen, sperti Cirebon dan lainnya. Tahun 1548 M, dianggap sebagai akhir
dominasi Demak, karena setelah itu terjadi perpecahan, dan Demak dianggap
lenyap seolah ditelan bumi pada tahun 1554 M, saat Joko Tingkir mengalihkan
kekuasaannya ke Pajang.
Selama kurang lebih 73 tahun (antara tahun 1475-1548 M)
kerajaan Demak dianggap paling agresif dan berhasil dalam mendominasi
perpolitikan di Jawa bagian tengah dan timur. Meskipun perpolitikan di Cirebon dan
juga Banten mulai dominan, tetapi ia kurang berhasil dalam menaklukan kerajaan
pajajaran secara keseluruhan. Selama
kurun waktu tersebut, Demak hampir menguasai seluruh wilayah jawa bagian timur
dan tengah, termasuk bantuannya ke Cirebon dalam menghadapai Pajajaran.
Kerajaan Demak berdiri ketika Majapahit berada pada posisi terparah dalam sejarahnya. Kekuasaanya hanya meliputi Jawa bagian timur. karena itu dengan mudahnya Demak dapat menguasai ibukota Majapahit, dan daerah daerah bekas kekuasaanya satu per satu oleh Demak dapat dikuasai.
Sri Baduga maharaja berkuasa di Pajajaran sezaman dengan Raden Fatah (mp. 1475-1518 M) dan Pati Unus (mp. 1518-1521 M) di Demak. Sehingga pada masanya ia menyaksikan penaklukan majapahit dan penyerbuan Demak ke Malaka.
b.Jatuhnya Malaka
tahun 1511 M dan Berkah Bagi Pajajaran
Kesultanan
Malaka didirikan ada tahun 1405 M oleh Parameswara, salah seorang bangsawan
pelarian dari Sriwijaya. Ia kemudian masuk islam dan bergelar Sultan iskandar
Syah. Kemudian kesultanan ini berkembang menjadi pusat perdagangan international
kala itu yang sangat disegani dan ramai hingga jatuh ke tangan Portugis pada
tahun 1511 M, di era Sultan Mahmud Syah.
Parameswara
berkuasa hingga tahun 1414 M, hingga diteruskan oleh anaknya Megat iskandar
syah (mp. 1414-1424 M), dan sultan berikutnya berturut turut, Sultan Muhammad
Syah (mp. 1424-1444 M), Sultan Abu Syahid, Sultan Muhammad Syah (mp. 1444-1445 M),
Sultan Mudzafar syah (mp. 1446-1459 M), Sultan mansyur Syah (mp. 1459-1477 M), Sultan
Alauddin Riayat Syah (mp. 1477-1488 M) dan terakhir Sultan Mahmud syah (mp. 1488-1511
M).
Hingga tahun
1511 Masehi, Malaka disamping menjadi
ibukota juga merupakan kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan. Malaka
telah menjadi kekuatan utama penguasaan jalur selat malaka. Dan hal ini berakhir
ketika Malaka jatuh ket tangan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Alburquerque.
Jatuhnya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M, justru membawa berkah tersendri bagi Pajajaran. Pedagang pedagang muslim yang terancam oleh keberadaan Portugis di malaka mulai mencari alternatif pelabuhan dan jalur baru perdagangan untuk mencari rempah rempah. Disamping Aceh yang mendapat berkah karena jatuhnya Portugis tersebut, Pajajaran juga mendapat dampak yang sangat positif. Perubahan jalur dari selat Malaka ke selat sunda, membawa berkah tersendiri bagi pelabuhan pelabuhan Pajajaran yang ada di selat sunda tersebut, terutama Banten dan juga Nusa Kalapa.
Kedua pelabuhan utama di Pajajaran tersebut telah berubah menjadi pelabuhan teramai dan pusat perdagangan utama di wilayah nusantara, terutama yang mau menuju daerah timur.
Jatuhnya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M, justru membawa berkah tersendri bagi Pajajaran. Pedagang pedagang muslim yang terancam oleh keberadaan Portugis di malaka mulai mencari alternatif pelabuhan dan jalur baru perdagangan untuk mencari rempah rempah. Disamping Aceh yang mendapat berkah karena jatuhnya Portugis tersebut, Pajajaran juga mendapat dampak yang sangat positif. Perubahan jalur dari selat Malaka ke selat sunda, membawa berkah tersendiri bagi pelabuhan pelabuhan Pajajaran yang ada di selat sunda tersebut, terutama Banten dan juga Nusa Kalapa.
Kedua pelabuhan utama di Pajajaran tersebut telah berubah menjadi pelabuhan teramai dan pusat perdagangan utama di wilayah nusantara, terutama yang mau menuju daerah timur.
c.
Kebijakan Politik
Melihat
perkembangan politik di luar negerinya dan terisnpirasi oleh jatuhnya Malaka
oleh Portugis pada tahun 1511 M. Sang raja seolah terinspirasi oleh kemenangan
Portugis tersebut.
Setelah
Majapahit Jatuh, dan setelah melihat perkembangan anak anaknya yang beragama
Islam di Cirebon, yang mulai terpengaruh oleh Demak. Sehingga kemungkinan besar
kerajaan Pajajaran akan jatuh juga, jika tidak ada upaya upaya untuk
memperkuatnya.
Pajajaran
seolah menjadi kerajaan Hindu sendirian ditengah kepungan kerajaan-kerajaan
Islam yang mulai berdiri dan setelah kerajaan kerajaan Hindu banyak yang
berubah menjadi kerajaan Islam. Karena itu keberhasilan Portugis dalam
menguasai kerajaan islam sekaliber Malaka, maka ia seolah mendapat teman.
Meskipun pelabuhan pelabuhan di Pajajaran diuntungkan oleh direbutnya Malaka
oleh Portugis. Tetapi melihat perkembangan anak-anaknya yang berkuasa di
Cirebon yang melakukan kerjasama dengan Demak, seolah membuka matanya, bahwa
masa depan kerajaannya terancam. Meskipun pada masanya ia yakin, bahwa tidak
ada kerajaan yang berani melakukan kontak senjata dengan Pajajaran.
Sri baduga maharaja mengutus putra mahkotanya, Pangeran Surawisesa untuk melakukan kerjasama dengan Portugis di malaka. Pangeran mahkota tersebut pergi ke Malaka dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521 M, untuk menemui Alfonso d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka.
Sri baduga maharaja mengutus putra mahkotanya, Pangeran Surawisesa untuk melakukan kerjasama dengan Portugis di malaka. Pangeran mahkota tersebut pergi ke Malaka dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521 M, untuk menemui Alfonso d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka.
Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan
penjajagan pihak portugis pada tahun 1513 M, yang diikuti oleh Tome
Pires. Sedang hasil kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis
yang dipimpin oleh Hendrik De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan
Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan
Pajajaran dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani
pada 21 Agustus 1522 M.
Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di
Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan
lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak
Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai dibangun, pihak sunda akan
menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk deitukarkan dengan
muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351 kwintal).
BAB
V
NAMA NAMA DAN GELAR UNTUK SRI BADUGA
MAHARAJA
Karena bebagai prestasi dari Prabu jayadewata,
disamping menjadi pemersatu wilayah sunda dan galuh, juga pada zamannya
dikatakan sebagai zaman kegemilangannya. Baik dalam bidang ekonomi an
kesejahteraan rakyatnya. Karena itu ia sering dikaitkan dengan nama Prabu
Siliwangi (penggati Prabu Wangi), dan juga Sri baduga Maharaja. Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan
dalam prasasti Batutulis, sedang dalam carita parahiyangan ditulis
Jayadewata.
a. Gelar Prabu Siliwangi
Prabu
Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda,
gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Sumber
sejarah pertama yang mengungkap nama siliwangi, adalah naskah
sanghiyang siksa kandang karesian (1518 M), yang dimaksud
menyebutkan salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama
(lalakon)nya tidak diceritakan.
Yang
kedua adalah naskah ”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis oleh
Pangeran Arya Cirebon, yang menceritakan tentang Prabu Siliwangi, yang
merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang berkuasa di kraton
Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur. Prabu Siliwangi bertahta di
keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan Subang Larang
(1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di Kawali
(1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga emnikah dengan putri Ambetkasih.
Dan yang ketiga terdapat dalam naskah Carita Ratu
Pakuan (kropak 410) yang ditulis kira-kira pad akhir abad ke-17 M atau awal
abad ke-18 M. Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Prabu Siliwangi yang
berkuasa di Pakuan, yang mempunyai istri Ambetkasih dan Subanglarang. Hal ini
cocok dengan Naskah cirebon diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu
Siliwangi adalah Sri Baduga maharaja.
b.
Sri Baduga Maharaja
Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batu
Tulis, yang ada di Bogor sekarang.
BAB VI PRASASTI BATUTULIS
Prasasti Batutulis meruapakan prasasti yang di buat oleh Prabu Surawisesa,
raja kerajaan Pajajaran putra dari raja sebelumnya, Sri Baduga Maharaja. Dan
dibuat untuk mengenang ayahnya, Sri Baduga Maharaja.
Prasasti ini di yakini dibuat setelah upacara kematian ayahnya yang ke-12
tahun. Dan dalam prasasti itu sendiri diungkapkan bahwa pembuatan prasasti ini ada
dalam sangkala diakhir tulisan prasasti, yaitu: "Panca Pandawa mengemban bumi"
berarti 5541, jika dibalik menjadi 1455 saka
atau pada tahun 1533 Masehi.
Dalam Prasasti itu dituliskan sebagai berikut:
Wangna pun ini sakakala, Prebu ratu
purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru
dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga
maharaja ratu haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diya anak rahyang dewa niskala sang)
sida mokta ka nusalarang
ya isya ni nyiyan sakakala gugunungan
ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa (ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca
pandawa e(m) ban bumi
Semoga Selamat, ini tanda peringatan
Prabu ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prau
Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri
baduga maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata
dialah yang mebuat parit (pertahanan)
pakuan
dia putera rahiyang dewa niskala yang
dipusarakan di gunatiga, cucu rahiyang
niskala wastukancana yangdipusarakan
di nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan
berupa gunung gunungan, membuat
undakan untuk hutan samida, membuat
sanghiyang talaga rena mahawijaya (dibuat) dalam (tahn) saka "panca pandawa mengemban bumi"
Dalam prasasti ini diungkapkan bahwa Sri Baduga Maharaja ketika ia
berkuasa, telah membuat beberapa karya, diantaranya yaitu: yang membuat parit
pertahanan Pakuan (Nu Nyusuk nan Pakuan), yang membuat tanda peringatan berupa
gunung gunungan, yang membuat undakan untuk hutan samida, dan yang membuat
Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya.
Yang diungkapkan dalam prasasti ini dipertegas lagi dalam naskah
Wangsakerta kitab Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 2 halaman 21 dan 23,
sebagai berikut:
“Sang Maharaja membuat karya, yaitu: membuat telaga yang bernama Maharena
Wijaya, membuat jalan yang ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh
(perhanan) kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan
pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan
rakyat. Kemudian membuat kaputren (mahligai), kesatriaan, satuan satuan tempur,
tempat tempat hiburan (pamingtonan), memperkuat angkatan perang, mengatur upeti
dari raja raja bawahan dan kepala desa dan menyusun undang undang kerajaan
(nitirajya).
1.. Membuat Parit Pertahanan (Nu
Nyusuk nan Pakuan)
Para ahli sejarah mengartikan kata “Nu nyusuk na Pakuan” diartikan dengan
yang membuat parit di Pakuan. Yang secara luas diartikan dengan yang membuat
parit pertahanan Pakuan. Seperti yang kita ketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja
menjadikan Pakuan menjadi ibukota kerajaan, sehingga di kemudian hari
kerajaannya lebih dikenal dengan kerjaan Pakuan Pajajaran atau Pajajaran saja.
Kota Pakuan didirikan oleh Prabu Tarusbawa, pendiri kerajaan sunda. Tarusbawa
berasal dari kerajaan Sunda Sambawa. Ia menggantikan mertuanya menjadi raja
Tarumanagara menggantikan mertuanya, Prabu Linggawarman. Tetapi Prabu Tarusbawa
kemudian memindahkan ibukota dari daerah Bekasi sekarang ke Pakuan (sekitar
bogor sekarang).
Dalam naskah Carita Parahiyangan yang pertama kali yang nyusuk pakuan atau
membuat parit pertahanan Pakuan adalah Prabu Hariang Banga, sebagai upaya untuk
memperkokoh posisi Pakuan dibanding kerajaan kembar yang menjadi saingannya,
yaitu kerajaan Galuh di era Raja Prabu Sang Manarah (Ciung Wanara), yang
merupakan saudara tiri Hariang Banga.
Dan dalam kropak 406, Pakuan ini pernah diperluas (dibeukah) oleh Maharaja
Prabu Darmasiksa, yang menurut Naskah Wangsakerta, Prabu Darmasiksa pindah dari
Saunggalah ke Pakuan pada tahun 1109 Saka, dan ia memperluasnya.
Sri Baduga maharaja yang dibesarkan di Galuh (istana Surawisesa Kawali),
seolah terinspirasi oleh kakekanya, Prabu Wastukancana, yang membuat benteng
berupa parit pertahanan di sekeliling ibukota atau yang “marigi sakuliling
dayeuh”. Karena itu ia kemudian membuat parit pertahanan ibukota Pakuan (nu
nyusuk na Pakuan).
Menurut para ahli, bahwa parit atau benteng pertahanan Pakuan dibuat secara
bersambung dari beberapa orang raja. Abraham Van Riebeeck pernah menemukan
banyak sisa sisa Parit ini.
Parit / benteng pertahanan ini
merupakan karya yang mengagumkan. Ketangguhan benteng atau parit pertahanan ini
terbukti dikemudian hari. Di era kejatuahn Pakuan tahun 1579 M, meskipun Pakuan
lebih dari 12 tahun ditinggalkan oleh rajanya. Pakuan masih mampu menahan
serangan pasukan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf yang dilakukan berkali kali. Dan Pakuan akhirnya dapat dibobol karena ada
penghianatan orang dalam.
Konon sisa parit masih bisa dsaksikan di daerah Batutulis, dibelakang makam
embah dalem Batutulis. Ukuran parit itu lebarnya 10 meter dan tinggi tebing
antara 7 hingga 10 meter.
2.. Membuat tanda peringatan berupa
gunung gunungan
Ada yang mempersamakan istilah gunung gunungan dalam prasasti ini dengan
istilah Wanagiri dalam naskah Wangsakerta.
Menurut Saleh Danasasmita kemungkinan tempat peringatan yang berupa gunung
gunungan ada kemungkinan yang bernama bukit badigul sekarang, yang berada di
daerah Rancamaya. Hal ini menurutnya dari pandangan sepintas bahwa bukit iru
merupakan bukit buatan, disamping memenuhi syarat ukuran sebuah bukit atau
gunung kecil.
3.. Membuat undakan untuk hutan
samida
Hutan Samida ada yang mengartikannya merupakan hutan larangan. Dan Hutan
samida yang disebut dalam prasasti batu tulis ini diyakini berada ditempat yang
ada sekarang menjadi kebon raya Bogor.
4.. Membuat Sanghiyang Talaga Rena
mahawijaya
Mengenai Sanghiyang Talaga rena Mahawijaya atau dalam naskah Wangsakerta disebut dengan
Maharena wijaya, belum diketahui dengan pasti. Para ahli masih bersilang
pendapat, tentang letak Talaga rena Mahawijaya ini. Ada yang mengatakan
letaknya di kota baru, sekitar 5 km sebelah barat daya kota bogor. Ada yang mengatakan saa dengan
Talaga Warna di puncak, dan ada yang mengatakan di aliran ciliwung.
Dalam carita pantun yang berasal dari Bogor, lakon “Nyurabrata”, disebutkan bahwa di era masa Pajajaran ada 2
telaga, yaitu: Kamala wijaya atau Sipatahunan, yang terletak di aliran sungai
Cilwung dan Rena Wijaya yang terletak di Rancamaya.
5. Karya lainnya
Seperti diungkapkan dalam naskah
Wangsakerta kitab Pustaka Nagara Kretabhumi bahwa yang Sang Maharaja (Sri
Baduga Maharaja) selain keempat diatas,
masih membuat karya lainnya, yaitu: membuat jalan yang ke ibukota Pakuan dan
jalan ke Wanagiri, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan
pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan
rakyat. Kemudian membuat kaputren (mahligai), kesatriaan, satuan satuan tempur,
tempat tempat hiburan (pamingtonan), memperkuat angkatan perang, mengatur upeti
dari raja raja bawahan dan kepala desa dan menyusun undang undang kerajaan
(nitirajya).
Tentang jalan yang berbatu yang sempurna buatannya, pernah dilaporkan oleh
laporan ekspedisi Winkler (1690 M). Dan
tentang jalan berbatu juga dilaporkan oleh Scipio yang mengunjungi Batutulis
pada 1 September 1687 M.
Dan mungkin tentang jalan ini juga merupakan karya bersambung. Karena
setelah Sri Baduga Maharaja, dan raja
raja setelahnya. Dalam naskah Carita Parahiyangan, menyebutkan bahwa pada zaman
Sang Nikalendra yang disebut dengan Tohaan dari Majaya, yang memerintah dari
tahun rahun 1551-1567 M, pernah membuat taman yang dibalay (diperkeras dengan
batu) dan balaibobot 17 jajar (baris) yang diapit oleh 2 pintu larangan (mihapitkeun
dora larangan).
(lanjut...)
By Adeng Lukmantara
Peminat Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang
Sumber dan Gambar:
Sumber dan Gambar:
Danasasmita, Saleh, Menelusuri Situs Prasasti batutulis, Kiblat, Bandung,
2014
Danasasmita, Saleh, Mencari Gerbang Pakuan, Kiblat, Bandung, 2014
Ekadjati, Edi S., Dari Pentas Sejarah Sunda , Kiblat, Bandung, 2014
Suganda, Her, Kerajaan Galuh, Legenda, Takhta, dan Wanita, Kiblat, Bandung,
2015
Internet: Wikipedia dan lain lain