Dalam pelajaran di sekolah dulu, kita mengenal cerita cerita legenda, yaitu suatu kisah yang dikaitkan dengan terjadinya suatu tempat. Salah satu contoh yang terkenal mengenai legenda ini, diantaranya: Cerita Sangkuring.
Kisah
Sangkuriang ini, di tanah Sunda sudah diceritakan turun temurun dari nenek
moyang hingga sekarang. Bujangga Manik seorang penulis dan pengembara Sunda
pada abad ke-15 M, telah menyinggung nama Sangkuriang dalam naskahnya (naskah
karya Bujangga Manik ini masih tersimpan
di Oxford University Inggris):
“Leumpang aing ka baratkeun, datang ka bukit
Patenggeng. Sasakala Sang Kuriang, masa dek nyitu Citarum, burung tembey
kasiangan”
(Berjalanan aku ke barat, datang dari Bukit
Patenggeng, Legenda Sang Kuriang, bagaimana mau membendung Citarum, gagal
karena kesiangan)
Entah
Cerita Legenda atau dongeng atau sejarah, kisah tentang Sangkuriang ini telah
menjadi bagian terpenting dalam sejarah peradaban tanah Sunda. Cerita mengenai
Sangkuriang merupakan cerita legenda yang sangat spektakuler, Karena
kronologisnya sesuai dengan kronologi letusan gunung Sunda, pembentukan danau
Bandung purba dan lahirnya gunung Tangkuban Parahu.
Bahkan
seorang Geolog Belanda yang bernama R.W. Van Bemmelen (1936) begitu terpana
ketika mendengar kisah Sangkuriang ini. Dalam Karyanya The Geological Hystory
of Bandung Region , dan juga bukunya yang monumental The Geology of Indonesia,
R.W. Van Bemmelen masih menyelipkan sasakala Sangkuriang.
Keterpanaan
ini karena menurutnya kisah Sangkuriang begitu cocok dengan kisah pembentukan
Danau Bandung Purba dan letusan Katastropi gunung Tangkuban Perahu. Dan hal
yang menarik juga karena pada beberapa daerah toponimi atau penamaan wilayah
begitu erat kaitannya dengan sasakala Sangkuriang ini.
Dalam
kisah Legenda Sangkuriang ada beberapa tempat yang disebut berkaitan dengau danau
purba Bandung, diantaranya nama nama gunung yang ada di sekitar Bandung.
Setidaknya ada 4 gunung yang dikaitkan dengan cerita Sangkuriang, yaitu: Gunung Bukit Tunggul, Gunung Burangrang,
Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Manglayang.
Jika
Gunung Bukit Tunggul dikaitkan dengan kayu yang dibuat untuk perahu, dan tunggul bekas tebangan. Tunggul dalam bahasa sunda berarti Sisa
batang kayu (yang sudah ditebang) yang
masih utuh dengan akarnya dan masih tertanam di tanah. Gunung Burangrang
dikaitkan dengan sisa sisa tumpukan kayu ( rangrang dalam bahasa sunda berarti
sisa dahan, ranting dan daun daunan) dari kayu untuk perahu. Gunung Tangkuban
perahu, berkaitan dengan kekesalan Sangkuriang karena kegagalannya, sehingga
menendang perahu hingga terbalik. Tangkuban Perahu sendiri dalam bahasa sunda
berarti perahu yang terbalik. Sedang Gunung Manglayang ada hubungannya, ketika
Sangkuriang menjebol bendungan di
Sanghiyang Tikoro karena gagal membangun hingga waktu pajar. Sumbatan danau
itupun ia lemparkan ke arah timur dan kini menjadi gunung Manglayang.
Kisah
Sangkuriang pada hakekatnya merupakan sejarah komplik. Menurut Edi S
Ekadjati pada hakekatnya komplik itu
akan timbul secara alamiyah dalam kehidupan manusia. Komplik antara Sangkuriang
dan ibunya (Dayang Sumbi) ibarat saling berhadapannya konvensi (tradisi) dan
inovasi (modern) dalam konsep kebudayaan..
Dan
menurutnya juga ditinjau dari Sudut pandang lain, kisah Sangkuriang itu
menggambarkan tokoh manusia sunda (laki laki) yang dinamis, kukuh pendirian,
tidak gampang putus harapan, berani, banyak akal dan teguh pada kemauan. Sedang
Dayang Sumbi mewakili perempuan sunda yang memegang kuat nilai nilai tradisi
dan pendiran (terlarang anak menikah dengan ibunya) dan juga banyak akal.
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang
BAB I.. SANGKURIANG DALAM KISAH
1.. Kisah Dayang Sumbi dan Si Tumang
Alkisah
di negeri kahiyangan tempatnya para dewa, ada dewa san dewi yang dihukum turun
ke bumi dengan wujud binatang karena melakukan kesalahan. Yang laki laki (dewa)
berwujud anjing dan kemudian dikenal dengan nama Si Tumang. Dan yang wanita
berbentuk babi hutan (bagong) yang kemudian dikenal dengan nama Bagong
Wayungyang (dewi Wayung Hyang). Untuk kembali lagi ke alam para dewa, dewa dewi
yang sudah berwujud binatang itu harus bertapa dan juga melakukan kehidupan di
bumi.
Pada
suatu hari, seorang raja yang bernama Sungging Prabangkara dengan rombongannya
melakukan perburuan ke hutan dimana para dewa itu berada. Di hutan sang raja
kencing, dan air kencingnya tertampung dalam daun Caring (Keladi Hutan). Tidak
jauh dari tempat kencing Sang Raja, Bagong Wayung Hiyang yang telah yang sedang bertapa, merasa kehausan, hingga
meminum air seni sang raja yang ada dalam daun caring.
Setelah
meminum air seni tersebut, secara ajaib Bagong (babi hutan) jelmaan Dewi Wayung
Hiyang itu hamil, dan kemudian melahirkan seorang anak wanita yang cantik. Dan
bayi wanita yang cantik tersebut dengan tidak disengaja ditemukan oleh Sang
raja Sungging Prabangkara, dan membawanya pulang ke istana, bersama anjing yang
menunggu bayi tersebut. Ia tidak menyadari
bahwa bayi wanita yang cantik itu merupakan putrinya sendiri. Dan anjing itu
kemudian dikenal dengan nama Si Tumang.
Bayi
wanita itu kemudian oleh sang raja dinamakan Rara Sati dan setelah dewasa
kemudian dikenal dengan nama Dayang Sumbi.
Dikisahkan bahwa setelah remaja (gadis), Dayang Sumbi kemudian menjadi
remaja yang sangat cantik. Sehingga diperebutkan oleh para pangeran dan para
raja yang ada di negerinya.
2.. Kelahiran dan Kepergian Sangkuriang
Menenun untuk
membuat pakaian seolah menjadi keahlian yang harus dimiliki oleh para putri
bangsawan, termasuk putri raja. Hal ini diungkapkan pula dalam naskah bujangga
manik, bahwa ibu Bujangga Manik yang merupakan putri bangsawan sunda mempunyai
keahlian dalam menenun, dan kesehariannnya sibuk dalam menenun.
Karena dayang
sumbi merupakan salah satu putri bangsawan atau putri raja, maka ia juga mempunyai
keahlian dalam bidang menenun ini. Dan jika tidak ada acara kenegaraan atau hal
hal yang penting, keseharian Dayang Sumbi banyak dihabiskan dalam menenun untuk
membuat pakaian.
Dan kisah
selanjutnya justru diawali dengan proses tenun menenun ini. Pada suatu hari
ketika sedang asyiknya menenun kain, torompong (torak) tenunan jatuh ke bale
bale bawah. Karena merasa malas mengambil, maka terlontar sumpah serapah dari
Putri Dayang Sumbi. Dayang Sumbi
berjanji bahwa siapa saja yang mengambilkan torompong yang jatuh, jika jenis
kelamin laki laki maka akan dijadikan suami, sedang jika berjenis kelamin
wanita, maka akan dijadikan saudarinya.
Si Tumang
yang telah menjadi anjing istana, dan selalu setia menjaga keputren Dayang
Sumbi, ketika mengetahui torompong Sang Putri jatuh, kemudian ia mengambilkan
Torompong tersebut, dan memberikannya ke Dayang Sumbi di lantai atas.
Melihat bahwa
yang mengambil Torompong itu adalah seekor anjing, Dayang Sumbi gundah dan
seolah tidak percaya. Tetapi karena sudah bersumpah, maka mau tidak mau Dayang
Sumbi harus menerima Si Tumang yang menjadi suaminya.
Hal ini
justru membuat aib bagi keluarga kerajaan. Mendengar hal tersebut kemudian sang raja
marah, dan karena merasa aib, akhirnya sang raja mengasingkan Dayang Sumbi ke
hutan di perbukitan dengan di temani oleh Seekor anjing yang bernama Situmang.
Konon pada
malam bulan purnama, si Tumang dapat kembali ke wujud aslinya sebagai dewa yang
tampan. Dayang Sumbi mengira ia bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan.
Padahal sang Dewa adalah perwujudan dari
Si Tumang. Tidak lama kemudian Dayang Sumbi hamil, dan melahirkan seorang anak
laki laki yang tampan, yang kemudian dinamakan Sangkuriang.
Dengan
berlalunya waktu, akhirnya Sangkuriang telah menjadi seorang anak yang kuat,tampan
dan pandai berburu. Pada suatu hari Dayang Sumbi menginginkan makan hati menjangan. Maka ia
menyuruh putranya Sangkuriang dengan ditemani oleh Si Tumang untuk berburu
menjangan. Tetapi seolah hari itu merupakan hari kesialan Sangkuriang, sehingga
ia tidak menemukan buruan satupun.
Dan ketika
itu ada lewat seekor bagong (babi hutan), dan menyuruh Si Tumang untuk
mengejarnya. Tetapi karena Babi tersebut merupakaan jelmaan dari Dewi wayung
Hiyang, yang merupakan nenek dari sangkuriang, Si Tumang tidak berusaha
mengejarnya, malah diam.
Hal itu
membuat Sangkuriang marah, sudah seharian tidak menemukan buruan, malah babi
hutan di depan mata dibiarkan. Pada awalnya untuk menakut nakuti Si Tumang
dengan menombak Si Tumang, supaya mengejar sang babi. Tetapi Si Tumang tidak
bergerak sedkitpun. Maka karena saking marahnya, Sangkuriang kemudian menumbak
Si Tumang, hingga mati.
Karena
menjangan tidak didapat, maka Si tumang kemudian diambil hatinya. Dan
memberikan kepada ibunya untuk dimasak dan dimakan.
Dayang Sumbi
mulai curiga ketika Si Tumang tidak ada. Dan ketika ia mengetahui bahwa yang
dimakannya merupakan hati Si Tumang, yang merupakan ayah dari Sangkuriang. Maka
kemarahan Dayang Sumbi memuncak, dan memukul kepala Sangkuriang dengan
peralatan yang terbuat dari tempurung kelapa hingga terluka, dan meninggalkan
bekas.
Karena
ketakutan, kemudian Sangkuriang melarikan diri dari rumahnya. Dan selanjutnya
sangkuriang mengembara mengelilingi dunia. Dalam pengembaraannya, Sangkuriang
diceritakan berguru kepada banyak pertapa yang sakti. Dan Sangkuriang kemudian
tumbuh menjadi anak remaja yang kuat, sakti, tampan dan gagah perkasa.
Dan
diceritakan, ibunya Dayang Sumbi, merasa menyesal ditinggal oleh anaknya. Ia
terus memanggil Sangkuriang, tetapi Sangkuriang malah semakin lari menjauh. Dan
ia terus berusaha untuk mencari anaknya, sambil bertapa dan memohon kepada sang
penguasa agar dipertemukan kembali dengan anaknya yang menghilang.
3.. Pertemuan Kembali dan Kisah Cinta
yang Kandas
Dayang Sumbi meskipun sudah berumur, tetapi
karena hanya makan tumbuh tumbuhan, kecantikannya tetap terjaga. Sehingga
seolah masih gadis remaja. Dan Sangkuriang yang telah menjadi seorang pengembara,
tetap mengembara ke arah barat, hingga bertemu dengan seorang gais yang Sangat
Cantik.
Sangkuriang
tidak menyadari bahwa gadis belia yang cantik itu merupakan ibunya. Sedang
Dayang Sumbi juga tidak menyadari bahwa pemuda yang gagah dan tampan itu merupakan
putranya, sangkuriang, yang ia cari bertahun tahun.
Dan
dikisahkan bahwa kedua insan itu memadu asmara, sehingga terjadi kisah
percintaan yang romantis. Tetapi ketika
Dayang Sumbi sedang membelai rambut Sangkuriang, ia merasa kaget, ketika meraba
bekas luka dikepala Sangkuriang. Ia
masih teringat tentang pukulan dikepala sangkuriang dan meninggalkan bekas. Dan
hal ini diutarakannya ke Sangkuriang. Bahwa ia merupakan putranya yang
dicarinya bertahun tahun. Tetapi Sangkuriang tidak mempercayainya, dan
Sangkuriang memandang bahwa alasan Dayang Sumbi hanyalah alasan untuk tidak
dikawininya. Dan Sangkuriang tetap memaksa untuk menikah dengan Dayang Sumbi.
Dan
kemungkinan supaya tidak menyakiti hati anaknya yang ia cari, maka dayang
Summbi bersedia menikah denga Sangkuriang dengan Syarat membuat telaga (danau)
dengan membendung Sungai Citarum dan juga perahu dalam satu malam. Dayang Sumbi seolah membuat suatu hal yang
tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia. Dengan permintaan demikian seolah
dapat meredam keinginan Sangkuriang untuk mengawininya.
Tetapi
Sangkuriang adalah orang yang tangguh, kuat pendirian dan juga sakti. Ia
menyanggupi permintaan dayang Sumbi. Ia
kemudain membendung Sungai citarum. Dan ia juga membuat perahu. Diceritakan
ketika membuat perahu dari pohon
lametang yang ada di timur, tunggul (akar dan pokok pohon) kemudian menjadi
Gunung Bukit Tunggul. Dahan, ranting dan daun daunan menumpuk ke sebelah barat,
yang kemudian dikenal dengan Gunung Burangrang.
Dengan
bantuan para Guriang, bendungan hampir bisa diselesaikan bersamaan dengan
selesainya pembuatan perahu. Hal ini sangat mencemaskan Dayang Sumbi. Dan ia
mulai memutar otak untuk menggagallkan rencana Sangkuriang, yang di depan mata
pasti tercapai.
Dayang
Sumbi kemudian mengambil daun
kingkilaban tujuh lembar, dibungkusnya dengan kain putih hasil tenunannya (boeh
rarang), lalu diiris halus. Potongan ini ditaburkan ke arah timur. Hal ini
untuk merekayasa pencahayaan. Jadi seolah
fajar menyingsing di ufuk timur. Cahaya membersit, pertanda matahari
akan terbit. Hal ini juga menandai ayam mulai
berkukuruyuk.
Tentu hal ini
membuat ketakutan para guriang (makhluk halus) yang membantu Sangkuriang
membendung Citarum. Para Guriang mengira fajar mulai terbit. Karena itu
kemudian para guriang tersebut pergi melarikan diri ke alamnya.
Karena merasa
gagal, sangkuriang sangat marah, maka bendungan yang ada di Sanghyang Tikoro
dijebolnya. Dan sumbat aliran sungai Citarum dilempar ke arah timur dan
dikemudian hari menjadi Gunung Manglayang. Dan air danau / bendunganpun surut
seketika. Dan perahu kemudian ditendangnya hingga menjadi gunung Tangkuban Perahu sekarang
(tangkuban perahu berarti perahu tretelungkup/ terbalik).
Karena merasa
ditipu kemudian sangkuriang mengejar dayang Sumbi hingga gunung Putri. Dsini
para penulis kisah seolah kehilangan jejak. Konon di gunung putri ini Dayang
Sumbi meninggalkan tanda berupa setangkai bunga jaksi (atau para penulis cerita
sering mengatakan dayang sumbi berubah
menjadi setangkai bunga jaksi). Sedang Sangkuriang sering dikatakan ngahiyang,
demikian para penulis cerita, karena memang jejak setelah itu tidak diketahui.
BAB II.. SANGKURIANG DAN SEJARAH DANAU
BANDUNG PURBA.
1..
Kesesuaian Cerita Dengan Terjadinya Danau Bandung Purba
Para
ahli geologi banyak yang kagum (atau ada yang mengatakan terpana) terhadap
kisah Sangkuriang ini, karena ketersesuaian dengan sejarah pembentukan danau
Bandung Purba dan letusan Katastropi gunung Tangkuban Perahu. Dan hal
yang menarik juga karena pada beberapa daerah toponimi atau penamaan wilayah
begitu erat kaitannya dengan kisah Sangkuriang ini.
Berdasarkan
kisah, Sangkuriang diminta dayang Sumbi untuk
membuat danau dan perahu, membendung Sungai Citarum dalam satu malam. Menurut
para ahli geologi, kisah Sangkuriang jika dibandingkan dengan sejarah
terbentuknya Danau Bandung purba, melalui 4 tahap.
Tahap
pertama: Sangkuriang menebang pohon Lametang untuk bahan perahu yang berada di
sebelah timur. Pohon itu ditebangnya kemudian runtuh ke arah barat. Sisa
tunggulnya kemudian menjadi Gunung Bukittunggul. Runtuhnya pohon begitu dahsyat
sehingga menimbulkan gempa. Sisa batang yang runtuh memanjang barat timur
menjadi tinggian Sesar Lembang. Bagian ranting dan batang pohon dalam bahasa
Sunda disebut Rangrang, diinterpretasikan sebagai Gunung Burangrang. Kejadian
ini terjadi sebelum terbentuknya perahu.
Tahap
kedua: Setelah menebang pohon Sangkuriang tidak langsung membuat perahu, tetapi
membendung Sungai citarum dulu, agar tergenang
menjadi danau, Pada tahap ini Gunung Sunda meletus, materialnya membendung
Citarum di utara Padalarang. Maka tergenanglah menjadi Danau Bandung Purba.
Tahap ketiga,
setelah sungai dibendung, Sang Kuriang melanjutkan membuat perahu. Danau sudah
terbendung, airnya mulai tergenang. Pada tahap ini diungkapkan bahwa Dayang
Sumbi mulai cemas atas keberhasilan dari Sangkuriang, sehingga kemudian
mengambil daun kingkilaban tujuh lembar, dibungkusnya dengan kain putih hasil
tenunannya (boeh rarang), lalu diiris halus. Potongan ini ditaburkan ke arah
timur. Jadi seolah fajar menyingsing di
ufuk timur. Cahaya membersit, pertanda matahari akan terbit, Hal ini membuat
Sangkuriang marah besar, maka maka
bendungan yang ada di Sanghyang Tikoro dijebolnya (sekarang ditemukan bahwa tempat
Sangkuring menjebol Bendungan bukan di Sanghiyang tikoro tetapi di Cukang Rahong).
Dan sumbat aliran sungai Citarum dilempar ke
arah timur dan dikemudian hari menjadi Gunung Manglayang. Dan perahu kemudian
ditendangnya hingga menjadi gunung
Tangkuban Perahu sekarang (tangkuban perahu berarti perahu tretelungkup/
terbalik). Dengan demikian pada tahap ini bersamaan dengan
lahirnya lahir gunung tangkuban perahu. Hal
ini dianggap bersesuaian dengan penelitian bahwa Gunung Tangkuban Perahu adalah
gunung yang berusia lebih muda dibandingkan gunung-gunung di sekitarnya (Gunung
Bukit Tunggul dan Gunung Burangrang).
Pada tahap
ketiga ini, ketika danau sudah tergenang, dari dalam kaldera Gunung Sunda
terjadi gejolak aktivitas gunung api. Terjadi letusanletusan dari beberapa lubang
kawah. Karena kawah kawahnya berjajar barat-timur, maka rona gunung ini
terlihat seperti perahu yang terbalik bila dilihat dari selatan.
Tahap keempat,
karena melihat kemarahan Sangkuriang, Dayang Sumbi kemudian berlari ke arah timur, dan
secepat kilat Sang Kuriang mengejarnya. Di sebuah bukit kecil, hampir saja
Dayang Sumbi tertangkap. Bukit tempat menghilangnya Dayang Sumbi disebut Gunung
Putri
Dan dewasa
ini, memaknai dari tahap 4 ini, dikenal dengan upaya penyelamatan, atau upaya
mitigasi. Ketika ada gunung meletus atau gejolak gunung api, kita harus mencari tempat di punggungan yang
aman, yang tidak akan tersapu aliran lahar, terjangan awan panas dan hujan abu.
....
(Lanjut............)
By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Sumber:
Ekadjati, Edi.S., Dari Pentas Sejarah Sunda, Kiblat Buku Utama, Bandung 2014
Internet : Id. Wikipedia, Geomagz (Majalah Geologi Populer), dll