Minggu, 07 Agustus 2011

JATUHNYA PAJAJARAN


a. Kekuasaan Pajajaran Hingga Tahun 1526 M
      Sampai dengan tahun 1526 M, kerajaan pajajaran meliputi sejumlah negara bagian (bawahan/ negara daerah): Cirebon Larang, Cirebon Girang  dengan raja Prabu Kasmaya, Sindang Barang dengan raja Panji Wirajaya, Sukapura dengan raja Lembu Jaya, kidang Lamatan dengan raja Menah Dermawangi, Galuh dengan Nara Wangkang ( atau Larang Tapa),  Astan Larang dengan raja Nara Wingkang,  Tajuknasing dengan raja Aji Narma, Sumedang Larang dengan raja  Lembu Peteng Aji, Limar kancana dengan raja Ujang ngumbara, Ujung Kidul dengan raja Prabu gantangan, Kamuning Gading dengan raja Prabu Siliwangi, Pancakaki dengan raja Nitimuda Aji, Tanjung Sanguru dengan raja Lembu Wulung, Nusa (sunda) Kalapa dengan raja Pangeran rangsang Jiwa, Banten Girang dengan raja Mas Jongjo, Pulosari dengan raja Ajar Domas, dan Ujung Kulon.
     Pada tahun 1526 M, Banten yang mencakup keraajaan-kerajaan kecil, seperti: Ujung Kulon, Ujung Kidul, Pulosari, Banten Girang, dan lainya direbut oleh tentara Cirebon-Demak, di kemudian hari menjadi Kesultanan Banten. Pada tahun berikutnya (1927 M), Sunda (Nusa) Kalapa juga jatuh ke tangan Cirebon Demak, dan kemudian diganti namanya menjadi jayakarta, dan menjadikerjaan dibawah kekuasaan Banten.
     Menurunya kekuasaan Pakuan di daerah kekuasaannya yang letaknya jauh dari Pakuan, sepertyi Karawang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu dan lain-lain. Puncak kemunduran kejuasaan pakuan  ketika diserang oleh tentara Surasowan dari banten pada 8 Mei 1579 M.

b. Pajajaran Burak (Bubar)
      Dengan jatuhnya wilayah-wilayah  lainnya, Pakuan sebagai benteng terakhir semakin terjepit oleh pasukan Cirebon-Demak di timur dan banten di barat. Akhirnya pada tahun 1579 M, pasukan banten  yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, berahsil menduduki ibukota Pakuan.
   Dalam Pustaka Nusantara,  tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan:
Pajajaran sirna  ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka).
Tanggal tersebut bertepatan  dengan 8 Mei 1579 M.
        Dalam naskah Banten, serangan tentara banten  ke pakuan, disebutkan:
“ Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam  tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.”
      Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan cara halus.
      Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal  benteng Pakuan mersa sakit hati  karena tidak memperoleh  kenaikan pangkat. Ia adalah saudara ki  Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah  pintu benteng  terlebih dulu  dibukakan saudaranya itu.
     Kisah ini mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan  betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat prabu Sri Baduga  (Prabu Siliwangi). Setelah ditinggalkan  oleh raja selama 12 tahun, pasukan  Banten masih  terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
  

c. Diboyongnya Palangka Sriman Ke Banten & Penyelamatan mahkota oleh 4 kandaga lante ke Sumedang Larang

     Dengan berhasilnya menduduki ibukota pakuan, Sultan Maulanan Yusuf  kemudian memboyong benda-benda  yang menjadi simbol kemaharajaan Sunda ke Banten, termasuk singgasana penobatan maharaja Sunda, Palangka Sriman Sriwacana. Dengan diboyongnya Palangka Sriman ini menandai berakhirnya kemaharajaan Sunda dan berakhirnya zaman Pajajaran (1482-1579 M).
     Palangka Sriman, yang merupakan simbol  tempat duduk  kala seorang raja  dinobatkan, kemudian di boyong dari Pakuan ke Surasowan   Banten oleh Maulana Yusuf. Batu  berukuran 200 x 160 x 20 cm diboyong ke Banten  karena tradisi  politik  Sunda waktu itu mengharuskan  demikian. Karena, pertama, dengan dirampasnya Palangka  tersebut, di Pakuan  tidak mungkin  lagi dinobatkan  raja baru. Kedua,  dengan memiliki palangka itu, Maulana Yusuf   merupakan  penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena buyut  perempuannya adalah putri Sri baduga Maharaja.
      Tetapi Maulana Yusuf tidak bisa memboyong mahkota raja, karena telah diselamatkan oleh 4 ksatria sunda yang disebut Kandaga Lante dan menyerahkannya kepada raja Sumedang larang.
      Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu ragamulya Surya Kancana, raja pajajaran terakhir, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Sanghiyang Hawu (Jaya perkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Terong peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,  kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut  kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M). Dan Sumedang larang inilah sebenarnya yang kemudian dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir, yang tidak pernah bisa dikuasai oleh Banten dan Cirebon.
    
*) Meskipun tahun alif baru dgunakan oleh Sultan  Agung Mataram dalam tahun 1633 M, tetapi  dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan  Pakuan 1579 itu memang  akan jatuh pada tahun alif.

 
d. JATUHNYA WILAYAH LAIN
      Seperti halnya, Pakuan, yang merupakan benteng terakhir maharajaan Sunda, yang jatuh  di tangan kesultan banten pada tahun 1579 M. Wilayah-wilayah lain  satu persatu ditaklukan oleh pasukan Banten dan juga Cirebon- Demak.
     Raja Talaga, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
      Di Sumedang larang, Ratu Setyasih atau Ratu Inten Deawata atau Ratu Pucuk Umun (1530-1579 M),  meskipun tidak pernah kalah perang dan tidak pernah dikuasai oleh Cirebon, harus mengakui  kekuasaan Cirebon dan masuk Islam, meskipun tetap independen, dan tidak pernah dikuasai. Ratu Setyasih kemudian menikah dengan pangeran Santri.
      Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon. Salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian  diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan, karena kuningan menjadi bagian Cirebon.
     Di Kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Prabu ujang Meni, yang bergelar Maharaja Cipta sanghiyang di Galuh beruasah mempertahankan wilayahnya dari pasukan Cirebon. Tapi karena kekuatannya tidak seimbang, ia bersama putranya yang bernama Ujang ngekel yang kemudian naik tahta galuh bergelar  Prabu Di Galuh Ciptapermana (mp. 1595-1608 M), juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon, dan juga secara sukarela masuk Islam. Demikian juga kerajaan sindang kasih (Majalengka) dan juga Panjalu.

KERAJAAN SUNDA (669-1579 M)


       Kerajaan Sunda merupakan  kelanjutan dari kerajaan tarumanagara, yang didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 561 caka sunda (669 M). Seperti halnya Tarumanagara, yang dikenal karena ibukotanya di sekitar sungai Citarum, nama kerjaan Sunda juga diazaskan atas nama ibukotanya Sundapura.
     Raja terakhir Tarumanagara, Sri Maharaja Linggawarman yang berkuasa 3 tahun,  dari tahun 666 -669 M, mempunyai 2 orang putri. Putri tertuanya, Dewi Manasih menikah dengan tarusbawa dari Sunda, sedang putri yang kedua Sobakancana menikah dengan Depuntahyang Srijanayasa, pendiri kerajaan Sriwijaya.
      Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa, yang memindahkan ibukotanya ke Sundapura. Hal ini juga yang menyebabkan  penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702 M).
     Setelah kekalahan kerajaan Sunda oleh Banten, maka kerajaan Sunda sering disebut dengan nama kerajaan Pajajaran, yang dinisbahkan kepada nama ibukotanya, Pakuan Pajajaran.

  Luas Wilayah & Kekuasaan
  Menurut naskah Wangsakerta, kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang menggantikan kerajaan Tarumanegara.  Sejak zaman Sanjaya (mp. 723-732 M) sampai dengan Sribaduugamaharaja, wilayah kekuasaan kerajaan sunda meliputi seluruh Jawa barat sekarang, DKI Jakarta, bagian barat Jawa Tengah (daerah Banyumas, Brebes, Purwekerto, Cilacap), dari ujung kulon disebelah barat hingga sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (kali Serayu)  di sebelah timur, dan Lampung. Salah seorang penguasa Sunda yang menikah dengan putri dari penguasa Lampung adalah Prabu Niskala Wastu Kancana.      
     Tentang perbatasan wilayah timur, diceritakan dalam tulisannya oleh Bujangga Manik, seorang intelektual Sunda waktu itu dan juga seorang pelancong dan pendeta Hindu. Bujangga Manik atau Prabu jaya pakuan  melakukan perjalanan ke Jawa, dan Bali untuk mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu pada awal abad 16 M. Tulisan bujangga Manik  sekarang tersimpan di perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627 M.
       Jaya pakuan menulis dalam perajalanan pertamanya:
Sadatang ka tungtung Sunda, meuntasing di Cipamali,. Datang ka alas jawa.”
( Ketika  ku mencapai perbatasan (tungtung = ujung / akhir) sunda, ku menyebrangi sungai Cipamali. Dan masuklah ke hutan Jawa).
Kemaharajaan Sunda merupakan gabungan dari beberapa kerajaan yang berdiri secara otonom. Kerajaan-kerajaan tersebut, antara lain:
Cirebon Larang
Cirebon Girang
Sindang Barang
Sukapura (galunggung)
Kidanglamatan
Galuh
Astuna Tajeknasinng
Sumedang Larang
Ujung Muhara
Ajong Kidul
Kamuning Gading
Pancakaki
Tanjung Singguru
Nusakalapa
Banten Girang
Ujung kulon
Galunggung
Panjalu

 Ibukota
     Pusat pemerintahan (ibukota) kerajaan sunda berpindah-pindah. Setidaknya ada 4 tempat yang pernah menjadi ibukota atau pusat pemerintahan kerajaan Sunda, yaitu: Sundapura (Prahyangan Sunda), Galuh, Kawali dan Pakuan Pajajaran. Disamping itu terdapat juga kota Saunggalah, yang pernah menjadi ibukota putra-putra mahkota raja, pada masa Rahiyang darmasiksa dan putranya, Prabu Ragasuci.
      Menurut Saleh Danasasmita (1975:4), pusat kerajaan Sunda yang berpindah-pindah itu pernah berlokasi secara kronologis sebagai berikut: Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan. Dengan demikian ibukota kerajaan Sunda berakhir pada waktu kerajaan Sunda berkedudukan di Pakuan Pajajaran. Sehingga kerajaan Sunda  waktu itu lebih terkenal dengan nama Pakuan Pajajaran, yang dinisbahkan kepada nama ibukotanya.
     Dengan demikian, istilah kerajaan Pajajaran diakhir kerajaan Sunda harus diartikan sebagai kerajaan yang ibukotanya bernama Pakuan Pajajaran.

  1. Sundapura (Parahiyangan Sunda)
      Sundapura atau Parahyangan adalah ibukota awal dari kerajaan Sunda. Kota ini menjadi pusat pemerintahannya di era pendirinya, Prabu Tarusbawa, kemudian Sanjaya. Ibukota Sundapura didirikan oleh raja Tarumanagara, Purnawarman.

  1. Galuh
       Galuh adalah suatu wilayah yang sekarang disebut Ciamis. Galuh  berasal dari bahasa sangsekerta  yang berarti batu permata. Pada awalnya Galuh merupakan ibukota kerajaan Kendan di era Tarumanagara, yang didirikan oleh Wretikandayun. Tetapi kemudian terkenal sebagai ibukota kerajaan yang merdeka setelah Tarumanagara mengalami kemunduran, dan dialihkan ke Sundapura, oleh Tarusbawa. Galuh menjadi ibukota kerajaan Galuh itu sendiri, yang diperintah oleh Wretikandayun  hingga prabu Gajah kulon. Setelah Prabu gajah Kulon, Galuh dan Sunda merupakan satu kesatuan dan hanya disebut Sunda saja (atau Sunda Galuh).
      Galuh menjadi ibukota kerajaan Sunda ketika masa pemerintahan Prabu Sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M).. Masa pemerintahan Galuh berakhir  kira-kira tahun 1333 M, ketika Raja Adiguna Linggawisesa atau sang Dumahing Kending ( mp. 1333-1340 M) mulai bertahta di Kawali, sedangkan kakanya Prabu Citrganda atau Sang Dumahing Tanjung bertahta di Pakuan Pajajaran.

  1. Saunggalah
       Saunggalah menjadi ibukota kerajaan Sunda  ketika masa awal pemerintahan Prabu Guru Darmasiksa (mp. 1175-1297 M) selama 12 tahun, tetapi kemudian ia memindahkan pusat kerajaannya di Pakuan. Pusat pemerintahan di Saunggalah diteruskan oleh anaknya Prabu Ragasuci yang memerintah tanah Sunda pada tahun 1297-1303 M.

  1. Kawali
      Dari tahun 1333 sampai dengan 1482 M, pusat pemerintahan Sunda  (ibukota) berkedudukan di Kawali. Karena itu periode ini disebut sebagai zaman kawali dalam pemerintahan kerajaan Sunda dan mengenal 5 orang raja. Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan  dalam 2 preasasti batu peninggalan Prabu Wastukencana yang tersimpan di Astana Gede Kawali. Dalam prasasti itu di tegaskan ” Mangadeg di kuta kawali” (bertahta di kota kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa, yang dijelaskan sebagai ”Dalem Sipawindu hurip ” (Keraton yang memberikan ketenangan hidup).
     Diantara raja-raja Sunda yang menjadikan Kawali sebagai ibukotanya, adalah: Prabu Lingga Dewata (mp. 1311-1333 M), Prabu Ajiguna Wisesa (mp. 1333-1340 M), dan Wastukancana.

  1. Pakuan
       Ibukota terakhir kerajaan Sunda adalah Pakuan. Pakuan menjadi pusat seluruh wilayah Sunda ketika masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, hingga kejatuhannya di masa cicitnya. Era Sri Baduga Maharaja atau yang terkenal dengan nama Prabu Siliwangi, kerajaan Sunda lebih terkenal dengan nama kerajaan Pajajaran, yang dinisbahkan kepada pusat pemerintahannya Pakuan Pajajaran.
      Pakuan terkenal memiliki pertahanan yang kuat, baik secara alami maupun kokohnya benteng pertahanan. Kokohnya benteng pertahanan ini pada awalnya merupakan jasa daripada sang Banga (Hariang Banga) pada tahun 739 M, yang waktu itu berada di bawah pengaruh Sang Manarah (Ciung Wanara) yang berkuasa di kraton Galuh. Kemudian benteng pertahanan diperkuat lagi di era pemerintahan Sri Baduga Maharaja Jayadewata (Prabu Siliwangi).
         Dalam laporan Tome Peres (1513) disebutkan bahwa letak ibukota kerajan Sunda, yang ia katakan sebagai (Dayeuh), dan terletak di daerah pegunungan 2 hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung.

f. Antara Galuh, Saunggalah, dan Pakuan
     Telah disebutkan, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan saat itu belum dapat diterima; sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh pada masa sebelumnya. Karena perbedaan daerah asal inilah, Prabu Darmaraksa (891-895) akhirnya tewas mengenaskan. Nyawanya berakhir di tangan seorang menteri Sunda yang fanatik.
     Semenjak peristiwa itu, setiap raja Sunda yang baru dinobatkan selalu memperhitungkan tempat kediaman yang akan dipilihnya menjadi ibukota. Maka dari itu, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur ke barat dan sebaliknya (antara 895 hingga 1482 M). Sebagai contoh: ayah Sri Jayabhupati berkedudukan di Galuh, namun Jayabhupati sendiri memilih tinggal di Pakuan; tetapi putra Jayabhupati berkedudukan di Galuh lagi. Begitu pula dengan Prabu Guru Dharmasiksa (1175-1187) yang menurut Kropak 406, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Putranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah. Jadi, ada kalanya Galuh menjadi kerajaan utuh terlepas dari Kerajaan Sunda, ada kalanya berperan sebagai "kerajaan kembar" bersama Sunda.

*) Dayeuh dalam bahasa sunda berarti kota. Banyak nama di wilyaha Pasundan yang daiawali dengan nama dayeuh, seperti: dayeuh Luhur di sumedang, hal ini menandakan bahwa kota itu pernah menjadi ibukota atau kota penting dikerajaan tersebut.
**)Menurut Ekadjati (93:75) ada 4 kawasan yang pernah menjadi ibukota kerajaan Sunda, yaitu: Galuh, Parahyangan Sunda, Kawali dan Pakuan Pajajaran.

 
(Sumber: Dari berbagai sumber)

MENGENAL PROFIL RAJA RAJA TARUMANAGARA


1. Jayasingawarman (mp. 358-382 M)

       Pendiri kerajaan Tarumanagara, dengan gelar Rajadirajaguru Jayasingawarman Gurudharmapurusa, yang memerintah selama 24 tahun (358-382 M).
       Pada awalnya ia merupakan pewaris tahta Salakanagara, menggantikan mertuanya, raja DewawarmanVIII. Tetapi setelah ia berkuasa pusat pemerintahan dipindahkan dari Rajatapura ke Tarumanagara, sehingga kemudian nama salakanagara berubah menjadi Tarumanagara. Dan Salakanagarapun secara  otomatis menjadi negara bawahan Tarumanagara.
      Jayasaingawarman merupakan  seorang maharesi dari Salankayana di India, yang mengungsi ke daerah pasundan, karena daerahnya diserang dan ditaklukan  maharaja Samudragupta dari kerajaan magada, yang mengungsi ke wilayah tanah Sunda.
        Tidak seperti penguasa-penguasa salakanagara, keberadaan Jayasingawarman jelas tertulis dalam prasasti Tugu, yang ditemukan di desa Cilincing Jakarta.  Pada parsasti ini ia disebut gelarnya saja, Rajadi         rajaguru, bersama  dua raja sesudahnya, Rajarsi dan Purnawarman.
     Berdasar  keterangan prasasti Tugu, setelah wafat pad tahun 382 M, Abu jenazahnya dilarungkan (dihanyutkan)  di sungai Gomati (sekitar bekasi), maka itu kemudian dikenal sebagai Sang Lumahing Gomati. Ia lalu digantikan oleh anaknya, Rajarsi (rajaresi) Dharmayawarmanguru.


2. Dharmayawarman (mp. 382-395 M)

        Dharmayawarman atau lengkapnya Rajarsi (Rajaresi) Dharmayawarmanguru yang  berkuasa di Tarumanagara dari tahun 382-395 M, menggantikan ayahnya, Jayasingawarman. Dinamakan Rajarsi  dan guru karena ia juga pemimpin agama.
Setelah meninggal ia dikenal  dengan nama Lumah  ri Chandrabaga karena dipusarakan di sungai Chandrabaga. Ia mempunyai  2 orang anak laki-laki dan seorang perempuan,. Putra pertamanya bernama  Purnawarman, yang kemudian menggantikannya


3. Purnawarman (395-434 M)

       Purnawarman merupakan raja ke-3 dan Raja terbesar Tarumanagara, yang memerintah selama 39 tahun (antara tahun 395 hungga 434 M). Ia naik tahta Tarumanagara menggantikan ayahnya, Dharmayawarman, dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaarakrama Suryamahapurusa Jagatati atau Sang Pramdara Saktipurusa.
     Zaman Purnawarman merupakan zaman keemasan tarumanagara. Banyak prasasti memuat kebesaran namanya. Setidaknya ada 7 prasasti yag berkaitan dengannya.
     Dalam memerintah ia dibantu adiknya, Cakrawarman, yang menjadi panglima perang (didarat). Sedangkan pamanya, Nagawarman menjadi panglima angkatan laut. Dari prameswarinya, ia mempunyai beberapa anak laki-laki dan perempuan. Diantaranya Wisnuwarman, yang kemudian menggantikannya.
      Setelah meninggal, ia digelari Sang Limahing  Tarumanadi, karena abu jenazahnya di larungkan di Sungai Citarum, dan tahta selalunjutnya jatuh kepada anak sulungnya, Wisnuwarman.


4. Wisnuwarman (434-455 M
Wisnuwarman menggantikan ayahnya, Purnawarman dan berkuasa  di tarumanagara dari tahun 434 sampai dengan 455 M, dengan gelar  Sri Maharaja Wisnuwarman Iswara Digwijaya  Tunggal Jagatpati.
 Wisnuwarman dinobatkan pada tanggal 14 paro terang bulan posdya tahun 356 saka (434 M). Tiga tahun setelah penobatannya, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya,  Cakrawarman, mahapatih di era ayahnya, (adik Purnawarman).  Cakrawarman merasa bahwa dirinya yang lebih pantas dari Wisnuwarman sehingga memberontak selama 28 hari dari tanggal 14 parogelap bulan asuji sampai dengan 11 parogelap bulan kartika 350 saka atau bertepatan dengan 21 okteober sampai 18 november 437 M, tetapi gagal, dan dapat ditumpas.
Wisnuwarman berkuasa selama 21 tahun (dari tahun 434-455 M). Prameswarinya bernama Suklawarmandewi, adik raja Bakulapura. Suklawarmandewi tidak memberinya keturunan,karena keburu meninggal akibat sakit. Yang menjadi prameswari selanjutnya adalah Suklawatidewi, putri Wiryabanyu yang terkenal kecantikaannya. Dari Suklawatidewi ini, Wisnuwarman  memiliki beberapa putra. Putra sulungnya, yang bernaa Indrawarman kemudian menggantikannya.


5. Indrawarman (mp. 455-515 M)
     Idrawarman mennjadi penguasa Tarumanagara ke-6, menggantikan ayahnya, Wisnuwarman, yang bergelar  Sri Maharaja Indrawarman Sang paramartha Saktimahaprabhawa lingga Triwikrama bhuwanatala, dan berkuasa selama 60 tahun (dari tahun 455- 515 M).
     Setelah meninggal, ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Canrawarman.



6. Candrawarman (mp. 515-535 M)

     Merupakan penguasa ke-6 Tarumanagara, menggantikan ayahnya, Indrawarman, dengan gelar Sri Maharaja Chandrawarman Sang Hariwangsa Purusasakti Suralagawageng Paramartha, yang bertahta dari tahun 515-535 M.
    Pada masanya menurut naskah Wangsakerta  (pustaka Jayadhipa), banyak memberikan keleluasaan penguasa daerah dalam mengelola daerahnya (otonomi).  Pada masa Candrawarman ini banyak penguasa yang menerima kekuasaanya didaerahnya sendiri karena kesetiaanya kepada Tarumanagara. 
      Candrawaran kemudian digantikan oleh anaknya, Suryawarman.


7. Suryawarman (535-561 M)

      Merupakan penguasa Tarmunagara yang ke-7, menggantikan ayahnya, Candrawarman. Ia banyak mengikuti kebijakan ayahnya dalam memberikan otonomi yang luas kepada daerah kekuasaanya.
     Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja-raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan  perhatiannya ke daerah timur.
     Misalnya pada tahun 526 M, Manikmaya, menantunya, mendirikan kerajaan baru di daerah kendan (daerah Nagreg, suatu daerah antara Bandung dan Garut). Sedang putra Manikmaya yang bernama Suraliman, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumanagara, dan kemudian menjadi panglima angkatan perang kerajaan.
    Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika  cicit (bao) Manikmaya, Wretikandayun, mendirikan kerajaan galuh., pada tahun 612 M.


8, Kertawarman (561-628 M)
     Kertawarman naik tahta Tarumanagara menggantikan maharaja Suryawarman. Ia berkuasa dari tahun 561 hingga 628 M.
     Ia kemudian digantikan oleh sudhawarman.


9. Sudhawarman (628-639 M)
     Sudhawarman menjadi penguasa Tarumanagara ke-9, yang berkuasa dari tahun 628-639 M. Pada masanya diwilayah timur mulai berkembang kerajaan Galuh, yang didirikan oleh cicit Suryawarman, Wretikandayun.
    Pada Sudhawarman sudah nampak kemunduran dari tarumanagara, hal ini diperparah oleh penggantinya, Dewamurti yang terkenal sebagai pengauasa yang kejam, dan tanpa belas kasih.



10. Hariwangsawarman (639-640 M)
     Hariwangsawarman atau dewamurti naik tahta Tarumanagara ke10, menggantikan Sudhawarman.  Dewamurti dianggap sebagai penguasa yang kasar dan tanpa belas kasih (kejam), hingga akhirnya ia dibunuh oleh Brajagiri, anak angkat Kertawarman, raja tarmanagara ke-8, yang ia permalukan. Brajagiri sendiri tewas dibunuh oleh Sang Nagajaya menantu Dewamurti.


11. Nagayawarman (640-666 M)
    Nagajaya mewarisi tahta  dari mertuanya, dEwamurti  hariwangsawarman, dengan gelar Maharaja Nagajayawarman Darmastya Cupjayasatru. Ia berasal dari Cupunagara, kerajaan bahahan Tarumanagara.
     Nagajayawarman memerintah  Tarumanagara  sejak tahun 562-588 saka (640-666 M). Setelah ia wafat kemudian digantikan oleh Linggawarman.   

12. Linggawarman (mp. 666-669 M)
     Linggawarman  dinobatkan sebagai raja Traumanagara ke-12, menggantikan Nagajayawarman, dengan gelar Srimaharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi. Ia merupakan raja terakhir Tarumanagara, yang memerintah hanya 3 tahun  dari tahun 666 hingga 669 M.
      Ia menikah dengan Dewi Ganggasari dari Indraprahasta, suatu kerajaan otonom di daerah Cirebon sekarang. Dari Ganggasari, ia memiliki  2 anak, yang keduanya perempuan. Yang pertama, Dewi Manasih, menikah dengan Tarusbawa dari Sundasambawa. Sedang yang kedua, Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya.
     Setelah ia meninggal dunia, kekuasaan jatuh ke tangan  menantunya, tarusbawa. Dan tarausbawa ini kemudian memidahkan ibukotanya, di sekitar sungai Pakancilan.


Transisi Tarumanagara ke Kerajan Sunda

Tarumanagara hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Raja terakhir Linggawarman tidak mempunyai  anak laki-laki. Ia mempunyai 2 anak laki-laki. Ia mempunyai 2 anak perempuan, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua, Subakancana menjadi istri Depuntahyang Srijayanasa, pendiri kerajaan Sriwijaya.
      Tarusbawa (mp. 669-723 M), yang berasal dari kerajaan Sunda Sumbawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa  tarumanagara ke-13. Karena pamor Tarumanagara, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dengan demikian sejak tahun 670 M, nama kerajaan Tarumanagara berubah menjadi kerajaan Sunda.

(Sumber: dari berbagai sumber)