Selasa, 12 Mei 2015

MAHARAJA SONJAYA, PEWARIS TAHTA 3 KERAJAAN DI JAWA: SUNDA, GALUH DAN MEDANG BHUMI MATARAM

Penulis:
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang - Sumedang


Pengantar

Naskah ke-2, yang ditulis setelah Ciung Wanara yaang cocok untuk film kolosal, adalah mengenai tokoh yang bernama Rakeyan Jambri atau terkenal juga dengan nama Maharaja Sonjaya. Yang dalam tulisan awal berjudul Rkeyan Jambri (maharaja Sonjaya) The First and the Greates Kings of Java, kemudian dirubah menjadi Maharaja Sonjaya, pewaris 3 Kerajaan di Jawa: Sunda, Galuh dan Medang Bhumi Mataram.

Siapa sebenarnya rakeyan Jambri atau Sonjaya ini? Dikatakan dalam sejarah Sonjaya atau Rakeyan Jambri adalah tokoh pertama (yang tertulis) yang pernah menjadi raja sunda dan galuh dan kemudian sebagai pendiri dinasti Sonjaya di Mataram kuno (jogjakarta sekarang). 

Banyak orang yang tidak mengenal, siapa sesungguhnya raja pertama yang bisa mempersatukan tanah Sunda dan Jawa. Dalam sejarah yang pertama kali menguasai dan menjadi cikal bakal kerajaan besar di Mataram kuno adalah Maharaja Sonjaya atau Rakeyan Jambri. Nenek moyangnya berasal dari Galuh, pernah menjadi raja sunda, Galuh dan terakhir menjadi pendiri dinasti Sonjaya di kerajaan Mataram Kuno. Jadi raja raja besar ditanah Jawa, terutama dinasti Sonjaya di Mataram, nenek moyangnya berasal dari Galuh.  Senna, ayah dari Sonjaya, pernah berkuasa di Medang. Sebelumnya Senna adalah raja di Galuh, tetapi karena dikudeta oleh kakak seibunya, Prabu Purbasora, dan ia melarikan diri  ke gunung Merapi, dan kemudian menjadi raja di Medang, karena istrinya Sannaha berasal dari sana, dan menjadi pewaris tahta Medang.

Banyak naskah dan juga prasasti  yang menceritakan tentang Sanjaya ini, di tanah sunda dapat dilihat dalam naskah Carita Parahiyangan, dan dilengkapi dalam Naskah Wangsakerta yang banyak menceritakan tentang Sonjaya ini. Dan peninggalan di kerajaan Medang atau yang disebut dengan Mataram Kuno dapat ditemukan dalam Prasasti Canggal yang ditemukan diatas gunung Wukir dekat Kedu (jawa tengah), termasuk ayahnya, Sena yang pernah berkuasa disana. Dan diceritakan juga dalam prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 907 M, tertulis nama Rakai Mataram tertulis pada urutan pertama dari para raja raja yang pernah memerintah kerajaan Medang.

Di Medang gelar Sonjaya adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sonjaya, hal ini berarti ketika Senna masih berkuasa, Sanjaya masih bertindak sebagai kepala daerah Mataram (jogjakarta sekarang). Dan disebutkan dalam prasasti Mentyasih  bahwa sonjaya adalah raja pertama yang bertahta di kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu (Rahyangta Rumuhun i Medang i Pohpitu). Dan Pohpitu adalah ibukota yang dibangun oleh Sonjaya.

Seorang keturunan Sonjaya yang bernama Daksottama memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau kalender Sanjaya  dalam prasasti prasastinya, antara lain: prasasti Taji Gunung tahun 910 M, prasasti Timbangan Wungkal tahun 913 M dan prasasti Tihang tahun 914 M.

Menurut analisis sejarawan tahun 1 Sonjaya bertepatan dengan tahun 717 M dan  kemungkinan itu adalah tahun dimana Sanjaya berhasil mendapatkan kembali tahta warisan Senna. (lihat Wikipedia). Dalam sejarahnya Sena dikudeta dari raja Galuh oleh Prabu Purbasora pada tahun 716 M, dan kemungkinan baru menjadi raja di Medang satu tahun kemudian.

Jadi jika melihat dari silsilah dan bukti bukti tertulis, bahwa raja raja Mataram Kuno (Jogjakarta sekarang) berasal dari dinasti Sonjaya, yang notabene nenek moyangnya berasal dari Galuh. Jadi menurut sejarah, raja raja Mataram kuno (jogjakarta dan sekitarnnya) itu nenek moyangnya  berasal dari Galuh.

Tentang rakeyan jambri atau Maharaja Sonjaya ini sangat menarik sekali. karena itu sangat cocok untuk dijadikan cerita film kolosal. hal hal yang menarik darinya adalah ambisi, prinsip, mobilitas dan sikap universalnya.  Ia merupakan sang penguasa 3 kerajaan besar Sunda, Galuh dan Mataram.  Ia adalah tokoh yang mobile / dinamis, ambisisus, dan  Dikatakan mempunyai sikap yang tegas dan keras (ia pemuja siwa). Ambisinya untuk balas dendam terhadap ua-nya Prabu Purbasora yang mengkudeta ayahnya di Galuh menunjukan sikap ambisius dan tegasnya. Sikap dinamisnya (mobile) bisa dilihat dalam upayanya, yang tidak puas hanya menduduki raja sunda galuh, tetapi juga di Mataram. Dan diceritakan pula, ia kemudian menaklukan daerah daerah lainnya hingga tanah melayu. Jadi Sonjaya atau Jambri ini dapat dikatakan sebagai raja terbesar pertama di tanah Jawa (The First and The Greatest King in Java).



NASKAH

MAHARAJA SONJAYA,  PEWARIS TAHTA 3 KERAJAAN: SUNDA, GALUH DAN MEDANG BUMI MATARAM



BAB I GALUH TAHUN 716 M

Setelah suksesi Raja Galuh dari Rahiyang Mandiminyak kepada anaknya Prabu Sena (Rahiyang Senna) pada tahun 709 M, menimbulkan pro kontra di kalangan istana Galuh. Ada yang menganggap wajar karena ia merupakan anak dari raja sebelumnya, Prabu Mandiminyak. Tetapi ada juga yang kurang berkenan yang berkaitan dengan latar belakang Sang Sena

Masyarakat Galuh waktu itu mempertanyakan tentang latar belakang Prabu Senna yang dianggapnya tidak jelas, yang merupakan hasil dari skandal perselingkuhan Raja sebelumnya (Rahiyang Mandiminyak) dengan kakak iparnya, Pwah Rababu, istri dari Mahaguru Sempak Waja.  

Masyarakat galuh banyak yang sinis dan kadang mencibir tentang skandal di istana Galuh ini, yang harusnya tidak terjadi. Dan pengangkatan Rahiyang Senna menjadi raja menjadikan cibiran masyarakat galuh semakin menjadi jadi. Meskipun Prabu sena terkenal sangat baik, tetapi latar belakangnya yang membuat ia tercoreng.

Rahiyang Sena dengan gelar Bratasenawa menjadi raja Galuh yang ketiga menggantikan ayahnya, Mandiminyak.  Ia naik tahta pada tahun 709 M setelah ayahnya (Prabu Mandiminyak) meninggal pada tahun itu juga. Tetapi hal ini tidak diterima oleh kakak seibunya, Purbasora, yang  merasa lebih berhak naik tahta Galuh. Purabasora kemudian mengkudeta Sena pada tahun 716 M.

Hal inilah ditangkap oleh Prabu Purbasora, yang merasa yang paling berhak menjadi raja Galuh. Karena ia merupakan kakak tertua, dari anak pertama Pendiri Galuh, Sempak Waja. Disamping itu latar belakang Prabu Senna yang dianggapnya tidak jelas membuat Purbasora semakin yakin bahwa dirinyalah yang berhak menjadi raja Galuh waktu itu.

Keinginan Rahiyang Purbasora menjadi raja seolah mendapat dukungan dari masyarakat Galuh yang menginginkan istana Galuh terbebas dari skandal.  Disamping itu Purbasora secara pribadi juga merupakan pribadi yang taat beragama dan idealis, disamping tegas, cakap dan juga gagah perkasa. Karena itu idealisasi tokoh yang pastas menjadi raja seolah mendapat tempatnya di sosok Rahiyang Purbasora ini.  Karena itu pemberontakan seolah tidak mendapat rintangan yang berarti. Karena mendapat dukungan dari Masyarakatnya.

Rencana pemberontakan dari Rahiyang Purbasora diketahui oleh Prabu Senna, sehingga ia meminta bantuan tentara dari kerajaan sunda untuk melawannya, yang waktu itu rajanya adalah Maharaja Tarusbawa, yang merupakan teman dari Rahiyang Senna. 

Maharaja Tarusbawa adalah pendiri kerajaan Sunda, yang sebelumnya ia merupakan pewaris tahta Tarumanagara dari mertuanya, Prabu Lingga Warman. Tetapi ia kemudian memindahkan ibukota Tarumanagar ke Sunda, sehingga ia kemudian dikenal dengan nama Raja sunda, atau dalam istilah Naskah Carita Parahiyangan disebut dengan nama Tohaan Sunda.

Sebelum bantuan dari kerajaan sunda sampai, hal itu diketahui oleh rahiyang Purbasora. Pada tahun 716 M Dengan dukungan dari sepupunya, Bimaraksa (dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang), dan pasukan dari mertuanya dari kerajaan Indraprahasta, dengan cepat menyerang istana Galuh. Dan akhirnya tentara Galuh dapat ditaklukan dengan cepat. Prabu Senna ditangkap dan diasingkan  ke Gunung Merapi (Gunung Dieng).

Purbasora merupakan putra dari Semplak Waja, putra pertama raja Galuh, Wretikandayun, yang tidak bisa menggantikan ayahnya karena giginya ompong, disamping telah menjadi resi di Galunggung. Purbasora menikah dengan putri Raja Indraparhasta (di sekitar Cirebon sekarang), Sang Resi Padmahariwangsa, yang bernama Dewi Citrakirana.  

Setelah berhasil mengkudeta Rahiyang Sena pada tahun  716 M, Rahiyang Purbasora kemudian diangkat menjadi raja Galuh ke-4, dengan gelar penobatan  Prabu Purbasora Jayasakti Mantraguna, Ia mewakili orang yang lurus dan menjunjung tinggi moral, yang ingin melakukan pembaharuan di Galuh. Disamping terkenal kuat keinginannya untuk membangun negara, dan cenderung sangat idealis. Prabu purbasora sangat apik dalam menata pemerintahannya. Dia mengkudeta Prabu Sena karena alasan yang lebih mengacu pada agama dan moralitas. Dan ia dianggap merupakan refresentasi idealisme kekuasaan di galuh.

Ditempat lain Prabu Sena setelah melarikan diri ke Gunung Merapi (Dieng), hal ini diketahui oleh keluarga istrinya dari Kalingga / Medang Bumi mataram, dan dijemput ke Gunung Merapi. Dan setahun kemudian (tahun 717 M) ia diangkat menjadi raja di Medang Bumi Mataram, atas nama istrinya, Sannaha, cucu dari Ratu Sima yang terkenal. Dengan demikian, tahun 717 M inilah dianggap sebagai awal dari Sanjayawarsa atau kalender Sanjaya  / penanggalan Sanjaya oleh Daksottama, penguasa dan intelektual keturunan Sonjaya di Medang bumi Mataram. 


Berpengalaman ketika berkuasa di tanah Galuh, Prabu Senna ketika berkuasa di Medang terkenal sebagai raja yang bijaksana, adil dalam tindakan, perwira. Sehingga ketika ia meninggal, seolah rakyat kehilangan, berkabung sedih kehilangan pelindung. (Jadi Sanjaya mengapa memilih Medang diakhir hidupnya, karena kesan rakyat terhadap ayahnya yang begitu besar, dan ia ingin meneruskannya).

Dalam Prasasti Canggal atau disebut juga prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya, yang berangka tahun 654 asaka atau 732 M, yang ditemukan digunung Wukir di desa Kadiluwih kecamatan Salam kabupaten Magelang Jawa Tengah, yang ditulis dalam bahasa Sangsekerta dan huruf Pallawa. Prasasti ini dipandan sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 M sebagai seorang penguasa universal dari kerajaan Mataram. (lihat wikipedia). Jadi sesuai dengan sejarah Sunda bahwa Sanjaya menjadi raja di Medang pada tahun 732 M.

Prasasti tersebut berisi antara lain:
  • Pembangunan Lingga oleh Raja Sanjaya di atas Gunung
  • Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu
  • Pulau jawa yang sangat Makmur, kaya akan tambang emas, dan banyak menghasilkan padi .
  • Di pulau ini didirikan candi siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa
  • Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh Raja senna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat negara berkabung sedih kehilangan pelindung
  • Pengganti raja senna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. 
  • Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak usah takutakan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang.



BAB II RENCANA RAKEYAN JAMBRI UNTUK MEMBALAS DENDAM

Setelah kudeta yang dilakukan oleh Rahiyang Purbasora, dan Prabu Senna melarikan diri ke gunung Merapi (gunung Dieng).  Sebelum melarikan diri ke Gunung Merapi, Prabu Senna, sempat berpesan kepada anaknya, Sonjaya untuk membalaskan dendam terhadap Prabu Purbasora, yang membuatnya mereka terusir. Karena itu Senna menyarankan Rakeyan Jambri untuk cepat cepat meninggalkan ibukota Galuh dan mencari suaka kepada orang orang yang mau menyelamatkannya.

Anak Senna, Sonjaya sangat marah besar, tetapi ia juga seolah kebingungan tentang keselamatan dirinya, dan berusaha untuk lari meninggalkan ibukota Galuh.  

Ada pendapat yang mengatakan bahwa ketika Prabu Sena dikudeta, Sonjaya anak Sena, sedang berada di Mataram, di neneknya, Dewi parwati. Sonjaya adalah anak dari Prabu Sena dengan istrinya sanaha. Senna menikah dengan anak seayah beda ibu. sanaha merupakan anak dari Prabu Mandiminyak dengan Dewi parwati. Sedangkan Sena merupakan anak dari Prabu Mandiminyak dengan Pwah Rababu.


Prabu Sena sangat mengetahui tentang kekuatan pasukan Purbasora, karena itu Prabu Senna menasehati Sonjaya, meskipun harus balas pati, tetapi harus hati hati atau dalam bahasa sundanya "Ulah Gurung Gusuh". Dan Prabu Sena menasehati Sonjaya agar tetap menghormati dan tidak mengganggu leluhur galuh yang masih hidup.

Mengikuti nasehat ayahnya, Sonjaya kemudian mencari suaka politik kepada tokoh tokoh Galuh. Pada awalnya yang ditemui adalah Rahiyang Kidul di Denuh (kakak dari kakeknya, Prabu Mandiminyak). Setelah mengetahui Sonjaya anaknya Senna, Dengan demikian Sonjaya berarti  merupakan cucunya juga, Rahiyang Kidul tidak mau mengambil resiko dari kerajaan Galuh yang waktu itu memburu para pendukung Senna. Untuk  itu ia menyarankan untuk pergi minta suaka ke Kuningan untuk menemui tritunggal penguasanya di sana ( Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa).  

Tetapi menurut  Rahiyang kiidul agar lebih amannya lagi  Sonjaya sebaiknya pergi ke tohaan Sunda (kerajaan Sunda). Apalagi Rahiyang Kidul mengetahui bahwa raja Sunda waktu itu, Prabu Tarusbawa merupakan sahabat karib Senna.  

Rahiyang Kidul adalah nama lain dari Jantaka, putra kedua dari Prabu Wretikandayun, pendiri raja galuh. Rahiyang Kidul menjadi resi di Denuh. Ia merupakan kakak dari Prabu Mandiminyak (raja kedua Galuh) atau ua-nya Prabu Sena. Ia juga merupakan ayah dari Bimaraksa, yang ikut serta dalam kudeta terhadap Prabu Sena pada tahun 716 M. 

Sonjaya kemudian mengikuti saran dari Rahiyang kidul, ia  tidak menemui tritunggal penguasa Kuningan (sang Wulan, Sang Tumanngal dan Sang Pandawa). Tetapi ia kemudian pergi ke ibukota kerajaan Sunda untuk mencari suaka. Perjalanan yang jauh tidak menyurutkan ambisinya untuk bertemu sang raja yang merupakan sahabat baik ayahnya, Prabu Senna.


Rahiyang kidul menyarankan kepada Rakeyan Jambri untuk pergi ke barat menemui Tohaan Sunda. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Raja Sunda Hanya disebut Tohaan Sunda. Tohaan atau raja sunda waktu itu adalah Prabu tarusbawa yang berkuasa dari tahun 699 sampai tahun 723 M. Tarusbawa dianggap sebagai  bapak pendiri kemaharajaan Sunda.

Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, menikah dengan putri dari Raja Tarumanegara, Prabu Linggawarman, raja Tarumanegara terakhir. Dan pada tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya menjadi raja Tarumanegara. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M. Setelah menerima tahta tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa  melakukan beberapa kebijakan, diantaranya  memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor) di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang). Disini ia mendirikan lima buah keraton, ( Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut Panca Persada) yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati.  Dalam Naskah  Carita Parahiyangan disebut “Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura  Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa.

Putra Tarusbawa terbesar, dan sekaligus putra Mahktota kerajaan Sunda, Rakeyan Sundasambawa meninggal dunia saat masih muda. Ia meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini kemudian dinikahi Rakeyan Jambri Galuh. Tarusbawa wafat pada tahun 723 Masehi, dalam usia 91 tahun, yang kemudian digantikan Sanjaya, suami cucunya dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya.

Setibanya di istana negara, karena mengetahui Sonjaya anaknya Prabu Senna, yang merupakan sahabat karib Sang Raja Sunda, Prabu Tarusbawa. Maka sang prabu menyambutnya dan kemudian menikahkan Sonjaya Rakeyan jambri dengan salah satu cucunya, yang bernama  Nay Sekarkancana, putri dari Putra mahkota  kerajaan sunda Rakeyan Sundasambawa, tetapi meninggal dunia saat masih muda.

Selain menikaah Nay Sekarkencana atau Tejakencana, Sonjaya juga menikah dengan Dewi Sudiwara, putri raja Desasinga, incu Prabu Narayana, adiknya Parwati (istri Prabu Mandiminyak).  Sonjaya menikah dengan saudara sebuyutnya, karena masih cucu dari Maharani Sima. Narayana alias Iswara  menjadi raja Bhumi Sambara (mp. 695-742 M). Putri Sudiwara merupakan adik dari Rakeyan Limwara  atau yang disebut dengan nama Prabu Gajayana (mp. 760-789 M). Perkawinan antara Sonjaya dan Dewi Sudiwara menjadika posisi sonjaya semakin kuat. Dan dari perkawinannya dengan Dewi Sudiwara mempunyai anak yang bernama Rakai Panangkaran yang lahir pada tahun 717 M. SEdang dari Dewi Teja kencana Sonjaya mempunyai anak yang bernama Temperan Barmawijaya yang waktu itu berusia 13 tahun, ketika Panangkaran dilahirkan. Sena menjadi raja di Medang selama 16 tahun (716-732 M), yang merupakan warisan dari mertuanya, Dewi Parwati yang sebelumnya berkuasa (dengan suaminya Prabu Mandiminyak) selam 14 tahun (695-702 M), seterusnya Parwati berkuasa sendiri dari tahun 702 hingga 716 M, karena suaminya, Prabu Mandiminyak menjadi raja Galuh pada tahun 702 hingga wafatnya pada tahun 709 M. .


Pada tahun 723 M, setelah 7 tahun tinggal di istana kerajaan Sunda, ia kemudian diangkat menjadi raja Sunda dengan gelar penobatan Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Rakeyan Jambri menjadi raja menggantikan kakek istrinya yang meninggal, Prabu Tarusbawa pada tahun itu juga.

Dengan penobatannya sebagai raja sunda maka kepercayaan diri Rakeyan Jambri  bangkit lagi. Karena itu pada tahun yang sama ia kemudian mengumumkan untuk menyerang kerajaan Galuh.

Dan untuk mencari dukungan di sekitar Galuh, Rakeyan jambri kemudian pergi ke Gunung Sawal untuk menemui penguasanya, Rubuyut Sawal. Untuk menanyakan pusaka Rubuyut Sawal, yang dikatakan isinya “Retuning Bala sarewu” yang mengandung hikmah untuk menjadi “Ratu Sakti, Pangwaris Sang Resi Guru”.

Pusaka tersebut diberikan oleh Rubuyut Sawal ke Rakeyan jambri untuk melawan Purbasora di Galuh. Karena konon Prabu purbasora adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan hanya dengan bantuan pusaka dari Rubuyut awal inilah yang bisa mengalahkannya.

Rakeyan jambri semakin bertambah kepercayaan dirinya. Ia kemudian mengutus utusan ke kerajaan Medang yang waktu itu yang menjadi raja adalah ayahnya, Senna, untuk meminta bantuan dalam penyerangan terhadap Galuh.


Dan Rakeyan Jambri kemudian merencanakan menyerang Galuh secara tiba-tiba di malam hari, dengan pasukan yang besar. Sanjaya merencanakan menyerang Galuh dari utara dan barat dengan pasukan yang berasal dari kerajaan Sunda, pasukan Medang menyerang dari timur, dan pasukan Rubuyut Sawal yang sudah ada di sekitar Galuh, yang menusuk pasukan Galuh dari dalam.


BAB III JATUHNYA GALUH

Pada tahun 723 M, akhirnya ibukota Galuh diserang dari 3 arah pada secara mendadak pada malam hari. Rakeyan Jambri sangat mengetahui kekuatan dari tentara Prabu Purbasora dari Galuh yang terkenal sangat kuat dan hebat, disamping rajanya juga, Prabu Purbasora adalah raja yang tiada tanding, dan terkenal akan kesaktiannya. karena itu Jambri mulai percaya diri ketika sudah mengantongi pusaka dari Rubuyut Sawal yang diyakini bisa mengalahkannya. Ia juga menyerangnya dengan tiba tiba di malam hari.

Tentu serangan mendadak cukup mengagetkan tentara galuh. Meskipun sudah disiagakan, tetapi karena diserang tiba-tiba akhirnya benteng ibukota Galuh dapat dilumpuhkan dengan cepat. Sehingga memudahkan untuk menyerang istana. Dalam serba kalau balau tersebut, sang raja masih dengan gagah beraninya mengahadapi serangan dari tentara Sanjaya tersebut.  Tetapi tentara begitu besar, dan sanjaya mempunyai senjata yang bisa mengalahkan Prabu Purbasora yang diberikan Rubuyut Sawal. Akhirnya Sang Raja galuh tersebut gugur. Hampir seluruh anggota keluarga raja meninggal, kecuali sang Patih  Bimaraksa yang bisa meloloskan diri dengan sedikit pasukannya. Dan salah atu cucu dari Purbasora juga dapat diselamatkan, yaitu Adimulya Permanadikusumah.

Patih Bimaraksa pada awalnya dengan gagah beraninya ia melawan tentara sanjaya, tetapi karena mendengar sang Raja sudah meninggal, akhirnya ia berusaha menyelamatkan keluarga istana yang masih hidup, dan ia dan pasukannya mulai mundur, ke suatu daerah yang kemudian terkenal dengan nama Geugeur Sunteun. Disini Patih Bimaraksa mendirikan padepokan, dan ia sendiri menamakan dirinya dengan anam Aki  Balangantrang. Yang nantinya menjadi oposisi dari penguasa keturunan Sonjaya. Sanjaya tidak terlalu jauh mengejar patih Bimaraksa dan pasukannya tersebut. Ia mendapat pesan dari Senna, kecuali Prabu Purbasora yang menjadi target balas dendamnya, sedangkan yang lainnya disarankan tidak diapa-apakan.


Setelah Jatuhnya Galuh

Setelah jatuhnya Galuh ke tangan Rakeyan Jambri atau Prabu Harisdarma. Berarti Rakeyan jambri yang waktu menguasai Galuh mulai terkenal dengan nama Sonjaya,  berkuasa di kerajaan Sunda, dan kemudian menguasai Galuh. Karena itu  Sanjaya dianggap yang pertama kali menyatukan kembali tatar sunda dalam satu kepemimpinan, seperti yang terjadi di era kerajaan Tarumanagara.  

Nama Sonjaya dalam Naskah carita Parahiyangan mulai disebut ketika Galuh sudah ditaklukan olehnya. Dalam urutan Raja, Sanjaya merupakan raja kedua kemaharajaan Sunda, sedang di Galuh ia merupakan raja urutan ke-5.

Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus dihormati. Sanjaya sendiri tidak memiliki ambisi dan hasrat untuk menjadi penguasa Galuh atau tinggal di Galuh, Ia pun berkeinginan menyudahi perang saudara. Sebagai orang yang taat terhadap orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk meminta restu dan menghormati orang-orang tua di Galuh.   Ia melakukan penyerangan hanya  untuk menghapus  dendam ayahnya, Sena. Karena itu ketika ia dapat membunuh Purbasora, ia tidak serta merta menjadi raja Galuh.

Ia mencoba meminta nasehat dari salah seorang yang sangat dihormati di tanah Galuh, yang menjadi  resiguru di Galunggung, yaitu Sempak waja. Sempak Waja, adalah ayah dari Prabu Purbasora, dan merupakan kakak kakeknya, Prabu mandiminyak, atau ua dari ayahnya..

Karena itu  sanjaya kemudian mengutus Patih Anggada untuk menemui Sempak Waja, yang terkenal dengan nama Batara Dangiang Guru di Galunggung. Untuk menanyakan tentang siapa yang akan berkuasa di Galuh. Sanjaya untuk memintakan pendapat agar Demunawan (adik purbasora) dapat diangkat sebagai  raja, yang mewakili kepentingan Sanjaya di Galuh.

Demunawan adalah anak kedua dari Dahyang Guru Sempak Waja, dan merupakan adik dari Prabu Purbasora. Ia dilahirkan di Kabuyutan Galunggung.  Setelah dewasa ia  kemudian pergi ke Arile, dan membuat perkampungan di Kuningan  (Ngababakan di Kuningan) dan menetap di Saunggalah.

Demunawan kemudian terkenal dengan nama Rahiyangtang Kuku atau terkenal juga dengan nama Sang Seuweukarma. Dalam kependetaan atau keagamaan ia sangat terkenal hingga Keling, Puntang, Kauripan, Wiru, Jawa, Bali, Melayu, Kemir, Barus, Berawan, Camara Upatah, dan Cina.



Sempakwaja sebagai ayah dari Purbasora dan Demuwan tentunya patut mencurigai permintaan Sanjaya. Ia berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan Sanjaya pembunuh Purbasora. Ia tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh.

Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja  disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara, yang menyebabkan mereka bukan menjadi bawahan resi dangiang guru.

Batara dangiang Guru berkata: “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan.  Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti.” (Rahiyang Sanjaya pergilah dapatkan oleh diri sendiri, Kalahkan Guruhaji Pagerwesi, kalahkan Wulan, Sang Tumanggal,  kalahkan Guruhaji Tepus dan kalahkan Guruhaji Tepus dan kalahkan guruhaji Balitar,  Dan pergilah  Rahiyang Sanjaya, kalahkan  Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa  di Kuningan. Mereka memenangkan kesaktian, yang menjadikan Sang Wulan, Sang Tumangga dan Sang Pandawa di Kuningan tidak menjadi bawahan Batara Dangiang Guru (sempak waja). Kalau  terkalahkan kamu bener-benar sakti.)

Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja.
      
Mendapat tantangan dari Batara Dangiang Guru, Sanjaya merasa tertantang, ia kemudian mengerahkan pasukannya  untuk menyerang ketiga serangkai di  Kuningan tersebut. Dan terjadilah perang besar di Kuningan. Dan pasukan Sanjaya justru dikalahkan dan dikejar-kejar (diuber-uber) oleh pasukan Kuningan. Karena itu kemudian ia mundur, hingga sungai Kuningan. Dari sini ia kemudian pulang ke Galuh. Dan Sang Wulan dan Sang Tumanggal kembali ke Arille.

Dan kekakalahan ini kemudian dilaporkan ke Batara Dangiang Guru, dan ia dikejar-kejar oleh pasukan  Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan. Kekalahan Sanjaya oleh ketiga jagoan dari Kuningan mengakibatkan ia harus memberikan upeti (sajian).

Dalam cerita ini diungkapkan bahwa setelah memenangkan peperangan Sang Wulan, Sang Tumanggal, sang Pandawa di Kuningan menghadap ke Batara danghiang guru di Galunggung. Mereka membawa pisajiaeun (semacam upeti), dan berkata: “ Mawa pisajieun, urang miang ka Galunggung, pakean lalaki sapangadeg, pangcalikan, munding sarakit, beas sacukupna pikeun dahar (Membawa pisajiaeun (semacam upeti), kita berangkat ke Galunggung, pakaian lelaki lengkap, kursi, kerbau seraki (2 ekor), dan beras secukupnya untuk makan).”

Sesampainya di Galunggung, ia berhenti daerah Pakambangan, dan bertemu dengan Sang Pakambangan, hal ini kemudian dilaporkan oleh Sang kambangan ke Batara Dangiang Guru (Sempak waja) tentang kedatangan Sang Wula, Sang Tumanggal dan Sang Pandawa. Sempak Waja sangat bahagia sekali kedatangan oleh jagoan dari Kuingan tersebut. Ia kemudian mengutus  Sang Pakambangan untuk menemui Sanjaya, dan supaya membawa upeti  “.......kudu mawa pisajieun, pakean lalaki sapangadeg, pangdiukan wulung,  munding sarakit, kawali beusi jeung beas sacukupna pikeun dahar. (harus membawa pisajieun, pakaian laki-laki lengkap, kursi wulung, kerbau sarakit (2 buah), membawa besi dan beras secukunya”. Dan Sang Pakambangan menceritakan bahwa ada Sang Wulan, Sang Tumanggal dan Sang Pandawa dari kuningan di Galunggung.

Maka Rahiyang sanjaya kemudian berangkat ke Galunggung. Sesampainya ke hadapan angiang Guru. Sang Dangiang Guru berkata:” Rahiang Sanjaya!Lamun kaereh ku sia Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, aing bakal nurut kana sagala ucapan sia. Da beunang ku aing kabawah. Turut kana ucapan aing. Da aing wenang ngelehkeun, hanteu kasoran. Da aing anak dewata.”

Dengan kekalahan ini Sanjaya akhirnya harus mengikuti kemauan dari batara dangiang Guru. Dan Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa kemudian menjadi bawahan Batara Dangiang Guru. Dan mereka kemudian diangkat menjadi penguasa di daerah kekuasaan Batara dangiang Guru. Sang Wulan dijenengkeun Guruhaji di Kajaron, Sang Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha, Sang Pandawa di Kuningan jadi Guruhaji Lajuwatang, Sang Puki jadi Guruhaji di Pagerwesi, Sang Manisri dijadikeun, Buyuthaden Rahesa di Puntang, Buyuthaden Tujungputih di Kahuripan, Buyuthaden Sumajajah di Pagajahan., Buyuthaden Pasugihan di Batur., Buyuthaden Darongdong di Balaraja., Buyuthaden Pagergunung di Muntur., Buyuthaden Muladarma di Parahiangan, Buyuthaden Batuhiang di Kuningan.


Setelah berbagai peperangan yang ia jalani, akhirnya ia menetap menjadi raja di Galuh. Sonjaya juga mencoba untuk menemui Demunawan yang terkenal dengan nama Rahiyangtang kuku atau Sang Seuweukarma, seorang resiguru di Kuningan. Ia mengutus sang Patih untuk menemuinya. Sanjaya merasa tidak diakui saudara oleh Sang Seuweukarma itu, padahal dalam keagamaan pengaruh sang seuweukarma sudah terkenal dan diakui hingga Keling, Jawa, Melayu,  Barus dan Cina. Karena itu Sonjaya mengutus patihnya untuk menemuinya.

Dan menurut para patih yang menemui Demunawan itu, menurutnya para patih mudah mudahan kita bisa mengamalkan Sanghiyang Darmasiksa. Menurutnya juga jika ingin unggul dalam berbagai peperangan, maka kamu berangkatlah dari Galuh untuk menguasai raja raja disekitarnya.


Maka berangkatlah Sonjaya dengan angkatan perangnya untuk menaklukan Mananggul, dan akhirnya  mananggul dapat ditaklukan, sang rajanya, Pu Anala dapat dikalahkan. Sonjaya juga menyerang Kahuripan, dan penguasa Kahuripan yang bernama Wulukapeu takluk. Sonjaya kemudian menyerang Kadul, dan rajanya yang bernama Rahiyang Supena dapat ditaklukan. Sanjaya kemudian menyerang Balitar, dan rajanya sang Ratu Bima dapat dikalahkan. Dari sini ia kemudian menyebrang lautan ke wilayah Melayu. Yang pertama wilayah ini ditaklukan adalah wilayah Kemir, rajanya yang bernama Rahiyaangtang Gana dapat dikalahkan. Ia kemudian menyerang Keling, rajanya yang bernama sang Sriwijaya dapat ditaklukan. Ia juga kemudian memerangi Barus, dan rajanya yang bernama Ratu Jayadana dapat dikalahkan. 




(lanjut)

(By Adeng Lukmantara)

Sumber: Dari berbagai Sumber