Pengantar
Suatu
realitas bahwa agama Islam telah dianut
hampir seratus persen oleh masyarakat sunda. Meskipun yang terakhir dalam
menerima Islam, justru di masyarakat sunda lah seolah totalitas masyarakat
sunda telah menerima Islam dengan semangat yang lebih rasional.
Yang
membedakan Islamisasi di tanah sunda dengan islamisasi di daerah lain, adalah
peran para penguasanya diawal islamisasi yang memang sangat komit terhadap keislaman, dan banyak
dibesarkan dalam lingkungan keislaman yang ketat.
Perjalanan
Islam di tanah sunda, meskipun telah membumi, tetapi belum mencapai tahap
peradabannya. Jadi ketika embrio Islam mulai tumbuh di tanah Sunda, justru
kemudian terjebak pada kekuasaan bangsa lain (termasuk Mataram dan Eropa / Belanda)
sehingga peradaban islam di tanah sunda belum mencapai bentuknya.
Untuk
mencapai peradaban yang modern yang islami tentu bukan hal yang mudah, karena
perlu lompatan lompatna besar untuk merealisasikan hal tersebut. Seperti halnya
bangsa barat, bahwa salah satu persyaratan untuk mencapai tingkat peradabannya,
harus terjadi transformasi transformasi dari era tradisonal menuju modern. Jika
orang barat mensyaratkan bahw kemajuan suatu
bangsa salah satunya tergantung pada transformasi dari bahasa lisan ke
bahasa tulisan, Jadi orang sunda akan mencapai apa yang dikatakan masyarakat modern
yang islami jika sudah membuadayakan baca dan tulis. Jadi bukan hanya lisan
saja, tetapi harus mulai memindahkan kebiasaan ke dalam bahasa tulisan. Dan
jika tidak pandai menulis maka kita harus menjadi bagian dari pembacanya. Dan
jika membaca juga masih males malesan maka jika agak kaya, maka kita harus jadi
bagian dari pengumpul tulisan orang.
Jadi
benar kata orang bijak, jika kita ingin melihat intelektual seseorang maka
lihatlah isi lemari di rumahnya. Jika banyak buku berarti bahwa dia
intelektualnya mumfuni, Dan jika koleksi bukunya tidak ada, meskipun gelarnya
tingg, berarti orang tersebut diragukan keilmuannya. Karena bagaimanapun buku
adalah cerminan intelektual seseorang.
Jadi
ada 3 profesi tambahan orang sunda yang
mungkin harus mulai dibiasakan, yaitu jadilah penulis. Jika belum bisa jadilah
pembaca dan yang terakhir, jika belum sempat kedua duanya, maka jadilah
pengumpul atau kolektor buku. Dan jika tidak termasuk diantara ketiganya, maka
seolah kita tidak mempunyai harapan yang besar untuk masa depan bangsa.
Kehidupan seolah tidak ada kenangan dan Kekayaan nanti hanya digenggam tangan,
dan tidak memberi dampak terhadap peradaban yang mencerahkan.
Dan
sebagai upaya dari membiasakan ketiga profesi tambahan tersebut, maka pada
kesempatan ini mencoba untuk membuat ringkasan biografi para tokoh dan ulama
Islam di tanah Sunda dari masa ke masa.
Yang sebenarnya tulisan ini telah dibahas dalam judul lain di blog ini.
Tetapi supaya fokus dalam pencarian dan pengembangan maka dipandang perlu untuk dibuat judul
tersendiri.
“Informasi
sedikit adalah awal dari pencarian”, sambil “kokoreh” kemungkinan besar mutiara
mutiara kehidupan akan ditemui.
BAB I TOKOH ISLAMISASI AWAL
DI TANAH SUNDA
1.. HAJI PURWA (HAJI
BRATALEGAWA)
Bratalegawa atau kemudian terkenal
dengan nama Haji Purwa adalah pemeluk agama Islam pertama di kalangan istana
Kerajaan Sunda. Bratalegawa merupakan putera kedua
Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, raja sunda
penggati Prabu Linggabuana. Prabu Bunisoraini adalah adik kandung dari Prabu
Lianggabuana yang gugur dalam perang bubat. Prabu Bunisora menggantikan Prabu
Linggabuaba yang gugur dalam perang bubat sebagai raja pendamping , karena
putra mahkotayang bernama Wastukancana yang masih kecil ( 9 tahun).
Bratalegawa memilih hidupnya sebagai
saudagar besar yang biasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka,
Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat
bernama Farhana binti Muhammad. Kemudian menunaikan ibadah haji dan
mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali
menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia pun dikenal dengan sebutan Haji
Purwa.
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji
Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh pada tahun 1337 Masehi. Disini
ia kemudian mengajak saudara saudaranya (ratu Banawati,penguasa Galuh, dan
Giridewata )Ki Gedeng kasmaya, penguasa Cirebon Girang) untuk masuk islam,
tetapi tidak ada yang mau. Haji Purwa menetap di Cirebon Girang.
Kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda
dijadikan titik tolak masuknya agama Islam ke Tatar Sunda pada pertengahan abad
ke-14 M. Dengan demikian Islam di era Bratalegawa Islam sudah masuk ke tatar
sunda sebelah selatan (ibukota Galuh letaknya di selaatan tatar sunda). Dan
pada masanya juga di karawang telah kedatangan ulama besar yang mendirikan
pesantren, dan dianggap sebagai penyebar isllam di tatar sunda bagian utara,
yaitu Syekh Quro (syekh hasanuddin yang mendirikan pesantrn di Karawang. Di
cirebon juga mulai kedatangan Syekh Nurjati atau terkenal dengan nama Syekh
Datuk kahfi ke Cirebon, yang menikah dengan cucu dari Baratalegawa (Haji Purwa)
yang bernama Hadijah.
2.. SYEKH QURO
Syekh Quro sebagai penyebar dan guru
agama Islam pertama di tanah sunda, terutama di daerah Karawang. Karawang waktu
itu merupakan salah satu kota pelabuhan penting kerajaan Sunda di era Kawali,
disamping Cirebon.
Syekh Quro nama aslinya adalah Syekh
Hasanuddin putra Syekh Yusuf Sidik, seorang ulama yang datang dari negeri Campa
(daerah Vietnam sekarang). Ia datang di Pulau Jawa pada abad ke-14 sezaman
dengan kedatangan Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati., menumpang kapal yang
dipimpin Laksamana Cheng Ho .
Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho
tiba di Pura Karawang. Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di
Karawang dan bertempat tinggal di sana. Di Karawang ia menikah dengan Ratna
Sondari, puteri Ki Gedeng Karawang, dan membuka pesantren yang diberi nama
pondok Quro yang khusus mengajarkan al-Qur’an, karena itulah Syekh Hasanuddin
kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro.
Syekh Quro bermukim di Karawang sampai
meninggal dan dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Wadas, Karawang.dari
pesantrennyalah, nantinya salah seorang Istri Sri Baduga Maharaja Prabu
Jayadewata belajar, yaitu Nyi. Subang Larang.
Ratna Sondari, istri dari Syekh Quro merupakan
putri syah bandar Pelabuhan Karawang, yang dikenal dengan nama Ko Gedeng
Karawang. Ia memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah mesjid di
Gunung Sembung (Nur Giri Cipta Reangga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng atau
Masjid Sang Saka Ratu.
3.. SYEKH DATUK KAHFI
Syekh Datuk Kahfi adalah tokoh penyebar
agama Islam di tatar sunda terutama daerah cirebon sekarang, dan merupakan
leluhur raja raja Sumedang Larang era Islam.
Syekh Datuk Kahfi merupakan seorang
ulama keturunan Arab Hadramaut, yang beasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di
berbagai penjuru tatar sunda. Ia merupakan nenek moyang raja raja Sumedang
Larang. Cicitnya yang bernama Pangeran Kusumah dinata yang kemudian dikenal
dengan Pangeran Santri menikah dengan Ratu PucukUmun, Ratu Sumedang Larang
ketika itu
Syekh datuk Kahfi atau dikenal juga
dengan nama Syekh Nurjati, Syekh Idofi atau Syekh Nurul jati datang
ke tatar Sunda sezaman dengan Syekh Quro dari Karawang pada abad ke 14 M. Syekh Datuk
Kahpi atau Syekh Nurjati menikah dengan cucu Bratalegawa (haji Purwa)
bernama Hadijah.
Syekh Nurjati datang sebagai utusan Raja
Parsi bersama 12 orang pengikutnya sekitar abad ke-14, pada masa syahbandar Ki Gedeng Jumajanjati. Atas izin dan kebaikan
penguasa pelabuhan itu, Syekh Nurjati kemudian menetap dan bermukim di
Pasambangan, di bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima
kilometer sebelah utara Kota Cirebon sekarang.
Di Cirebon Syekh Datuk Kahfi mendirikan
pesantren, dan merupakan tempat berguru Pangeran Cakrabuana dan Nyi Rara
Santang (ibu Sunan Gunung Jati). Keduanya merupakan anak penguasa kerajaan
Sunda waktu itu, Sri baduga Maharaja Prabu Jayadewata.
Dengan demikian sebenarnya Islam di
tatar sunda sudah dikenal pada abad 14 M, jauh sebelum era walisongo di jawa.
4.. NYI SUBANG LARANG
Nyi Subang larang adalah istri dari
maharaja Sunda, Sri Baduga mahara Prabu jayadewata. Meskipun bukan sebagai
prameswari utama, tetapi ia dianggap tokoh awal dalam islamisasi di
kalangan istana kerajaan sunda di Pakuan .Dalam sejarah tidak terlalu bbanyak
diceritakan perannya dalam islamisasi di kalangan istana. Tetapi justru dari
Nyi Subang Larang inilah keturunannya menjadi tokoh tokoh penting dalam
islamisasi di Tanah sunda.
Dari turunan Nyi Subang Larang. Istana
Pajajaran semakin akrab dengan agama Islam. Bahkan anaknya yang bernama
Walangsungsang atau Prabu Cakrabuana merupakan tokoh Islam yang sangat
disegani, dan oleh ayahnya diangkat menjadi penguasa di Cirebon. Tetapi yang
dianggappaling berpengaruh dalam cerita cerita sunda tentang proses islamisasi
adalah yang bernama Kiansantang. Tokoh Kiansantang ini merupakan nama lain dari
Sangara, putra bungsu Prabu Siliwangi dari Subang Larang. Kiansantang
meruapakan tokoh yang paling berpengaruh dalam proses islamisasi dalam cerita
masyarakat Sunda. Dan dikenal dengan tokoh yang sangat mewakili dalam
islamisasi di tanah sunda.
5.. PANGERAN CAKRABUANA (1345-
Saka/ 1423- M)
Pangeran Cakrabuana atau Pangeran
Cakraningrat atau Pangeran Walangsungsang merupakan anak tertua dari raja
Sunda, Sri baduga maharaja dari istrinya yang beragama islam, Nyi Subang
larang. Dan dikenal merupakan tokoh islamisasi awal yang paling berpengaruh di
kota pelabuhan Cirebon.
Pangeran Cakrabuana kadang dikaitkan dengan nama Kiansantang. Tetapi para
sejarawan lebih sering menyatakan bahwa Kiansantang itu adalah putra bungsu
Sang raja, Sri baduga maharaja Prabu jayadewata dari istrinya Nyi Subang larang
yang bernama Sangara. Seperti diungkapkan di atas, bahwa Sri baduga maharaja
dari istrinya yang beragama Islam, Nyi Subang larang, mempunyai 3 orang anak,
yaitu Walangsungsang, Nyi lara santang, dan Sangara.
Walangsungsang merupakan tokoh yang
paling berpengaruh sebagai pembuka islamisasi di tanah Sunda. Sebagai
putra sulung dari salah seorang istri raja. Walangsungsang termasuk tokoh yang
disegani di kalangan istana kerajaan Sunda. Meskipun ia sendiri bukan putra
mahkota. Tetapi karena sama sam putra sulung, maka ia juga termasuk yang paling
disegani secara silsilah. Ia kemudian memamfaatkan kedududkan sebagai penguasa
di Cirebon yang diberikan ayahnya. Tetapi ia kemudian menjalin kerjasama dengan
Demak yang sedang agresif melakukan islamisasi di tanah jawa. Hal ini kemudian
membuat sang raja mulai cemas terhadap masa depan kerajaannya terhadap dominasi
Islam. Karena itu sang raja mengutus putra mahkota, Pangeran Surawisesa
untuk melakukan kerjasama dengan Portugis. Dan hal justru menjadi sumber
perpecahan semakin tajam di kalangan istana. Terutama ketika Sang raja Sri
baduga maharaja meninggal.
Ia sendiri tidak begitu berambisi dalam
perebutan kekuasaan. Justru keponakannya, Syarif Hidayatullah yang
menggantikannya sebagai penguasa Cirebon, mulai berani mengutak atik kekuasaan
pamannya, Prabu Surawisesa, raja di kerajaan Sunda pengganti kakeknya.
6.. RARA SANTANG (1348- Saka/ 1426- M)
Rara
Santang merupakan putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata dari istrinya
Subang Larang. Dan merupakan ibu dari tokoh islamisasi paling berpengaruh di
tanah sunda, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Rara
Santang atau Syarifah Muda’in merupakan
anak kedua dari 3 bersaudara sang raja Sunda dari istrinya Nyi Subang Larang.
Ia merupakan adik Walngsungsang dan kakak dari Pangeran Sangara (Kiansantang).
Ia
bersama kakaknya, Pangeran Cakrabuana, menunaikan haji ke Mekah. Di mekah ia dipersunting oleh salah seorang pangeran asal Mesir yang bernama
Mualana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah. Dan setelah menikah, Rara Santang
berganti nama menjadi Syarifah Muda’in. Dari pernikahannya, ia mempunyai 2
orang anak, yaitu Syarif Hidayatullah (1372-
Saka/ 1450- M) dan Syarif
Nurullah (1375- Saka/ 1453- M). Setelah syarif Abdullah meninggal,
kekuaaan jatuh ke tangan adiknya, sedang ia dan ibunya pergi ke Bghdad dan
kemudian kembali ke tatar sunda, ke daerah Cirebon sekarang, pada tahun 1475 M.
7.. KIANSANTANG (PANGERAN
SANGARA) (1350- Saka/ 1428- M)
Kiansantang diyakini adalah anak bungsu
dari Sri Baduga Maharaja dengan Nyi Subang Larang. Dan nama lain dari
Sangara.Tidak ada yang menulis secara detail tentang tokoh ini. Tetapi tokoh in
seolah merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam islamisasi di tanah sunda
secara idea.
Kiansantang merupakan tokoh yang
dianggap paling mewakili dalam Islamisasi di tanah Sunda. Dia seolah
tokoh yang ingin mencari kebenaran dengan suatu logika yang mungkin logika
tertinggi waktu itu. Ia mencari kebenaran dengan mencari dari sumber aslinya.
Kita mungkin teringat cerita lisan
tentang Kiansantang. Ia adalah orang yang sangat sakti.Konon di tatar sunda dan
jaa tidak ada yang bisa mengalahkannya. Karena itu iangin sekali melihat
darahnya sendiri. Sehingga ia kemudian pergi ke Mekah untuk bertemu dengan
Sayidina Ali yang sangat terkenal akan kesaktiannya. Karena itu ia kemudian
berencana ke Mekah untuk menantang Sayidina Ali. Tetapi di perjalanan ia
bertemu dengan seorang yang sudah sepuh. Setelah perbincangan antara kedua
belah puhak, dan sang kiansantang menguatarakan maksudnya untuk menemui
Sayidina Ali. Sang Kakek kemudian meminta tolong Kiansantang mengangkat
tongkatnya yang tertancap.Tetapi tongkat tersebut tidak tercabut, meskipun
tenaga sudah dikeluarkan semua, yang akhirnya kiansantang menyerah dan tunduk.
Karena sudah menyerah. Kemudian sang kakek menceritakan bahwa dia adalah
Sayidina Ali, yang menasehatinya setelah ke Mekah agar kembali lagi ke tatar
sunda.
Meskipun seolah tokoh cerita karena
media lisan yang dominan dalam kisah kisah mengenai Kiansantang ini. Tetapi hal
ini mengindikasikan tentang pencarian kebenaran Islam, menjadi tonggak dalam
ciri Islam di tanah Sunda yang lebih rasional, patuh sehingga islamisasi
cenderung lebih sintesis. Lebih mneyukai perpaduan daripada mencampur adukan
(sinkretis).
Dalam kisah Kiansantang diceritakan
tentang pencarian kebenaran dan juga pengujian kesaktian. Dia tidak pernah mau
menyerah untuk mencari kebenaran dan juga pengujian kesaktian. Pengujian
kesaktian juga diartikan pengujian secara intelektual. Ia ingin mencari orang
yang dapat mengalahkan dirinya, yang nantinya akan menjadi suatu bentuk
kepatuhan pada yang mnegalahkannnya. Konon hingga tanah suci mekah ia datangi.
Dan konon ia dapat dikalahkan oleh Ali, sehinga ia kemudian patuh dan tunduk
terhadap Ali. Ali disni dapat dartikan keterwakilan kebenaran Islam. Sehingga
dengan sendirinya tunduk dan patuh terhadap kalam ilahi. Karena jikalihat
secara urutan tahun terlalu jauh, jika Kiansantang adalah tokoh Islam di akhir
abad ke 15 dan awal abad ke16 M, sedang tokoh Ali hidup pada abad ke 7
Masehi.
1)
Kisah kiansantang menunjukan bahwa proses islamisasi menunjukan sifat menerima
Islam dengan patuhnya (taat). Karena itu dalam kelanjutannya Islam di tanah
sunda sebenarnya lebih rasional dan bersifat ditinggikan, berupa kepatuhan
seperti yang ditunjukan oleh Kiansantang. Para ahli mngkatagorikan islam di
tanah sunda dengan istilah sintesis (perpaduan). Islam lebih ditinggikan
daripada adat. Hal ini berbeda dengan ciri Islam di Jawa yang bersifat
sinkretis (campur aduk). Karena ada suatu kisah yang menjelaskan tentang Islam
di tanah Jawa itu. Diceritakan bahwa ada seorang ulama dan pendeta berjalan
bersamaan. Satu sama lain ingin saling menonjolkan . Sang kiai membawa keris
atau pedang, sedang sang pendeta hindu membawa kendi berisi air. Keduanya
melempar barang yang dibawanya ke atas. Dan pecahlah kendi tersebut dengan
pedang atau keris. Dengan bangganya sang kia mengatakan, bahwa kendinya telah
pecah. Yang berarti Islam lebih tinggi daripada Hindu. Tetapi sang pendeta
hindu mengatakan jangan girang dulu, lihatlah keris ata pedang itu basah
kena air kendi, berarti Islam akan tertutup atau terbasahi atau tercampur oleh
tradisi Hindu (sinkretis)
7.. SUNAN GUNUNG JATI
Syarif Hidayatullah merupakan yang
paling berpengaruh dalam islamisasi di tanah sunda secara praktis. Jika Kiansantang
berbicara tentang idea,maka Syarif Hidayatullah lebih ke dalam islamisasi
secara praktis.
Syarif Hidayatullah adalah cucu dari
penguasa besar tanah Sunda, cucu dari Sri Baduga maharaja. Ia merupakan anak
dari putri raja, Rara santang, yang menikah dengan pembesar dari Mesir. Rara
santang adalah anak dari Sri Baduga maharaja Prabu jayadewata, atau sekarang
lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi, dari istrinya Nyi Subang larang.
Sebagai pangeran dari kalangan istana
sunda, maka Syarif Hidayatullah sangat dihormati baik di daerahnya dan juga di
kerajaan Demak. Ia disegani dalam kaitannya dengan masalah keagamaan dan dalam
tingkatan sosial kemasyarakatan dan juga dalam bidang kemiliteran. Dan ia
mamfaatkan itu dalam upaya islamisasi di tanah sunda.
Ia memamfaatkan kekisruhan para pangeran
di istana pajajaran setelah ditinggal kematian kakeknya, Sri baduga maharaja.
Dan ia memamfaatkan momen penolakan para pangeran yang menentang kerjasama
kerajaan Sunda dengan kaum Portugis, dalam upayanya membangun benteng Portugis
di kota pelabuhan Kalapa (sunda kalapa atau jakarta sekarang).
Dengan dibantu oleh kerajaan Demak, ia
kemudian melakukan penyerangan terhadap kota pelabuhan Kalapa (Jakarta) dan
banten, yang merupakan dua kota pelabuhan terpenting dari kerajaan Sunda.
Setelah kedua kota itu dapat ditaklukan maka ia juga berupaya untuk menaklukan
daerah di timur dan selatan kerajaan ini. Kuningan, Majalengka, dan galuh
kemudian dapat ditaklukan. Dan Sumedang juga menerima islam secara damai
melalui perkawinan. Meskipun Sumedang larang tetap menjadi bagian dari kerajaan
pajajaran dan tidak berusaha untuk memberontak, meskipun agama mereka sudah
berbeda.
Syarif Hidayatullah sangat dihormati
karena perannya dalam islamisasi secara menyeluruh di tanah Sunda. Sehingga
Islam mulai banyak dianut oleh masyarakat Sunda, meskipun ia sendiri tidak
berhasil menguasai ibukota kerajaan Sunda, pakuan. Baru cucunya, Maulana
Yusuf, bisa menaklukan pusat kerajaan tersebut di tahun 1579 M.
8.. MAULANA HASANUDDIN
Merupakan anak pertama Sunan gunung
Jati, dan dianggap sebagai pendiri kesultanan Banten yang sebenarnya, yang
merdeka, yang lepas dari pengaruh Cirebon. Maulana hasanuddin
berjasa menjadikan banten sebagai pusat Islam di tatar sunda sebelah barat.
Ia merupakan putra dari Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari istrinya, Nyi Kawunganten. Nyi
Kawunganten merupakan putri dari penguasa Banten, Surasowan. Dan ketika
Hasanuddin lahir pada tahun 1478 M, kakeknya (Sorasowan) menamainya Pangeran
Sebakingkin. Hasanuddin menikah dengan putri indrapura, dan mempunyai putra
yang bernama Maulana Yusuf, yang kemudian menggantikannya setelah ia meninggal.
Setelah Sang kakek (surasowan) meninggal
di usia yang relatif muda, kekuasaan Banten jatuh ke tangan pamannya, Arya Surajaya
(anak Surasowan). Sedang ayahnya, Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon,
karena mewarisi kekuasaan Cirebon dari pamannya, Pangeran Cakrabuana
(Walangsungsang).
Syarif Hidayatullah memamfaatkan
keluarganya termasuk putranya Hasanuddin dalam menguasai Banten. Ketika terjadi persetujuan antara penguasa
Pajajaran dengan Portugis untuk membangun benteng di Sunda Kalapa (jakarta) dan
juga Banten, hal ini dijadikan momen untuk melakukan pemberontakan terhadap
kekuasaan Pajajaran yang ada di Banten. Sehingga terjadi peperangan pada tahun
1526 M antara Hasanuddin yang dibantu oleh pasukan ayahnya dari Cirebon, yang
dipimpin oleh Fatahillah dengan pamannya (Arya Surajaya). Dan akhirnya Arya Surajaya dapat dikalahkan. Dan
Hasanuddin oleh ayahnya, Sunan Gunung Jati, diangkat menjadi bupati Banten
pesisir dan banten Girang.
Pada tahun 1568 M, ayahnya Sunan Gunung
Jati (syarif Hidayatullah) meninggal.
Dan pada saat itu juga Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negeri
yang merdeka dari pengaruh Cirebon dan Demak, dan ia mengangkat dirinya sebagai
sultan pertama dari kerajaan Banten tersebut, dengan gelar Panembahan
Hasanuddin.. Untuk memeperkuat posisi pemerintahannya, Hasanuddin kemudian
mendirikan istana yang dinamakan dengan Istana Surasowan, untuk mengenang sang
kakek, penguasa Banten sebelumnya.
Hasanuddin sejak masa mudanya dikenal
sebagai seorang pendakwah Islam di tanah Banten. Karena ia termasuk Bangsawan di
kerajaan Pajajaran memudahkannya untuk melakukan dakwahnya. Meskipun kemudian
dibatasi oleh pamannya, Arya Surajaya, karena dianggap membahayakan
eksistensinya di Banten.
9. . FATAHILLAH
10. .
11..
12.. PANGERAN SANTRI
Pangeran Santri atau Pangeran Kususmah
Dinata atau terkenal juga dengan nama Ki Gedeng Sumedang merupakan suami dari
Ratu PucukUmun, penguasa Sumedang keturunan raja raja kuno Sumedang. Ia
kemudian memerintah Sumedang Larang dengan istrinya, Ratu Pucuk Umun Ratu
Intan Dewata (1530-1558 M). Ia merupakan putra dari Pangeran Pamelekaran
(dipati Tetarung) cucu dari Syekh Maulana Abdurrahman dancici dari Syekh Datuk
Kahfi. Ia dijuluki Pangeran Santri karena asalnya dari pesantren dan
perilakunya terkenal sangat alim.
Sumedang Larang merupakan wilayah yang
paling berpengaruh saat itu di wilayah kerajaan Sunda. Wilyahnya yang luas,
meliputi Sumedang itu sendiri, Majalengka, Bandung, Subang, Karawang dan
Indramayu.
Pada masa Ratu pucuk Umun, ibukota
kerajaan yang pada awalnya di daerah Ciguling dipindahkan ke daerah Kutamaya
sekarang. Dengan menikahi Ratu Pucuk Umun , Pangeran Santri
kemudian melakukan islamisasi di daerah kekuasaannnya.
13.. SULTAN MAULANA YUSUF
Merupakan sultan Banten yang kedua yang
berkuasa dari tahun 1570 hingga 1580 M. Pada masanyalah Pakuan
yang merupakan ibukota kerajaan Pajajaran, kerajaan Hindu terakhir di
daerah sunda dapat ditaklukan.
Maulana Yusup merupakan
Putera dari Sultan Hasanudin dari istrinya Ratu Ayu Kirana. Pada masanya
penaklukan ibukota Pajajaran menjadi prioritasnya, dan berhasil. Ia berjasa
dalam mengukuhkan kekuasaan kesultanan islam di Banten, meskipun ia
tidak berhasil menguasai seluruh wilayah eks. Kerajaan Pajajaran.
14. PRABU GEUSAN ULUN
Prabu Geusan Ulun atau Pangeran
Angkawijaya merupakan putra pertama Pangeran Santri dengan Ratu
PucukUmun. Ia menjadiRaja sumedang Larang menggantikan ayahnya, pangeran
Santri.
Sumedang Larang dimasanya, meskipun
sudah memeluk Islam tetapi Sumedang Larang masih setia kepada kerajaaan Sunda
di Pakuan. Sehingga ketika Pakuan jatuh pada tahun 1579 M, ia dianggap sebagai
penerus dari kerajaan Sunda. Empat mentri utama Pajajaran yang disebut Kandaga
Lante menyerahkan mahkota / Siger raja Sunda kepada Prabu Geusan Ulun, sebagai
perlambang bahwa wilayah wilayah kerajaan Sunda yang tidak dikuasai oleh Banten
dan Cirebon merupakan daerah kekuasaannya.
BAB II TOKOH DAN ULAMA ISLAM
ABAD 17 M (ERA KOLONIAL)
1.. SYEKH ABDUL MUHYI
Syekh Abdul Muhyi seorang ulama yang
hidup pada abad ke17 M. Ia lahir pada tahun 1650 M. Aqyahnya, Lebe warta
Kusumah, masih bangsawan sunda yang tinggal di Gresik/ ampel.
Pada usia 19 tahun ia pergi ke Aceh
untuk berguru kepada ulamabesardi Aceh waktu itu, Syekh Abdurrauf Singkel
selama 8 tahun (1090-1098 H/ 1669-1677). Pada usia 27 tahun pergi ke Baghdad
untuk ziarah ke makam Syekh Abdul Qodir jailani dan bermukim disana selama 2 tahun.
Dan setelah itu ia bersama gurunya (syekh abdurrauf Singkel) pergi ke Mekah
untuk menunaikan ibadah haji. Tahun 1677 ia kembali ke Aceh, dan kemudian
kembali ke Gresik. Dan ia kemudian pergi ke tatar sunda, dan menikah dengan
seorang wanita masih keturunan bangsawan sunda.
Pada awalnya ia menetap di DarmoKuningan
selama 7 tahun (1678-1685 M), .Kemudian perg ke Pameungpeuk (1 tahun)
(1685-1686), kemudian ke Batuwangi hingga Lebaksiu dan bermukim disana selama 4
tahun (1686-1690), kemudian ke kampung Cilumbu diatas gunung, sambil
bertafakur. Karena diatas gunung tersebut sering menenangkan hatinya, maka
gunung tersebut dinamakan dengan nama gunung Mujarod, yang berarti gunung
untukmenenangkan hati. Setelah itu iakemudian ke daerah pamijahan sekarang, dan
menemukan goa yang dicarinya karena mimpinya ketika di baghdad. Ia tinggal di
dalam goapamijahan dan mengajar para santrinya di sana.
Setelah itu, ia kemudian menyebarkan
agama islam di kampung Bojong, kemudian ke Safarwadi disini ia membangu rumah
dan masjid, dan mengajar hingga ia meninggal. Ia dimakamkan di daerah pamijahan
sekarang.
Syekh abdul Muhyi berjasa dalam
pengisalaman masyarakat di sekitar di tatar sunda bagian selatan (kuningan,
Garut, tasikmalaya), yang waktu itu masih banyak yang menganut agama Islam.
2.. KANJENG DALEM CIKUNDUL (w.1706 M)
Raden Aria Wiratanudatar atau lebih
dikenal dengan Kanjeng Dalem Cikundul dikenal sebagai bupati pertama Cianjur
(mp. 1677-1691) dan tokoh yang berperan
dalam islamisasi di wilayah Cianjur.
Raden Aria Tanu bin Aria Wangsa Goparana
merupakan turunan dari raja raja Talaga. Ayahnya yang bernama Aria Wangsa
Goparana merupakan anak dari Sunan Ciburang, raja Talaga. Ayahnya, merupakan
orang pertama yang memeluk Islam dan meninggalkan keraton Talaga, dan tinggal di
Sagalaherang. Disni ia mendirikan pesantren dan menyebarkan agama Islam disana.
Pada akhir abad ke-17, ayahnya tersebut meninggal dunia di Kampung Nangkabeurit,
Sagalaherang. Diantara anak anak Aria Wangsa Gopana adalah: Jayasasana (setelah
menjadi bupati cianjur bergelar Aria Wiratanu Datar), Candramanggala, Santaan
Kumbang, Yudanagara, Nawing Candradirana, Santaan Yudanagara danNyi Mas Murti.
Jasasana terkenal sangat alim dalam
agama, dan setelah dewasa bermukim di kampung Cijagang Cianjur. Disini ia dinagkat
menjadi bupati Cianjur periode 1677-1691 dengan gelar aria Wira Tanu
Ia
meningggal sekitar tahun 1706 M dan
dimakamkan di puncak bukit Cijagang, kampung Majalaya desa Cijagang, kecamatan
Cikalong Kulon Cianjur. Dan ia meninggalkan 11 orang anak: Dalem Aria
Wiramanggala, Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad), Dalem Aria Tirta (di
Karawang), Dalem Aria Natamanggala (dalem aria kidul / gunung jati cianjur), R.
Aria Wiradimanggala (dalem aria cikondang), Dalem Aria Suradiwangsa (dalem
panembong), Nyi Mas Kaluntar, Nyi Mas Bogem, Nyi R. Mas Karangan, Nyi RM Kara,
Nyi Mas Janggot.
BAB III TOKOH DAN ULAMA ISLAM
ABAD 18 M (ERA KOLONIAL)
1.. RH
ABDUL MANAF
Raden Haji Abdul Manaf atau lebih
dikenal dengan nama Eyang Dalem Mahmud adalah seorang ulama sunda di bandung
selatan yang hidup pada abad peralihan ab ke-17-18 M. Ia diperkirakan hidup antara tahun 1650-1725 M.
Belum ada penelitian tentang perannya dalam islamisasi di Bandung selatan.
Tetapi makamnya hingga kini masih dikeramatkan dan banyak diziarahi, menandai
bahwa ia dulunya merupakan ulama berpengaruh.
Salah satu peninggalnya adalah kampung
yang bernama Kampung Mahmud desa Mekar Rahayu kecamatan Marga Asih Bandung
Selatan. Di kampung ini konon mempunyai keharusann dan juga larangan,
diantaranya: rumah panggung, pantangan memakai kaca, menggali sumur dan
bertembok. Kemudian dilarang menyetel musik dan memelihar binatang. Dan
daerahnya juga dilarang diinjak oleh orang non muslim.
Ia merupakan cicit dari bupati bandung waktu
itu, Dalem Dipati Agung Suriadinata. Dengan silsilah sebgai berikut RH Abdul
Manaf bin Dalem Natapraja bi Dipati Agung Suriadinata.
Karena hidup di era kolonial, konon
pesantrennya disamping tempat mengembangkan ajaran islm juga merupakan tempat perlindungan bagi orang orang
yang mencari perlindungan, termasuk dari kejaran kolonial belanda. Karena konon
kampung ini tidak pernah tersentuh oleh orang belanda. Dan semua larangan yang
ada dikampung itu berkaiatan dengan upayanya untuk menghindari kegaduhan supaya
tidak terlacak oleh pihak kolonial.
BAB IV TOKOH DAN ULAMA ISLAM
ABAD 19 M (ERA KOLONIAL)
1.. KIAI
HASAN MAOLANI (w. 1874 M)
Seolah ulama asal Kuningan yang di buang
oleh Kolonial belanda ke Manado, Sulawesi utara. Oleh karena itu ia kemudian
dikenang dengan nama Eyang Manado.
Ia lahir di Lengkong kabupaten Kuningan.
Ia seorang pendakwah dan mengajar di Pesantren yang didirikannya di Lengkong
Kuningan. Pendidikannya diraih di beberapa pesantren, diantaranya: di pesantrn
Kedung Panjang, Majalengka dan Pesantrn Ciwaringin, Cirebon. Disamping muridnya
yang relatif banyak, ia juga sering didatangi oleh masyarakat untuk meminta
saran dan nasehat.
Dalam dakwahnya ia banyak menekankan
tentang kata jihad yang ada dalam Al Qur;an, seperti yang semppat ditulis dalam
karyanya yang dinamakan Fathul Qorib (40 jilid). Karena kata katanya dianggap
membahayakan karena itu ia kemudian ditangkap oleh pihak kolonial Belanda.
Kiai Hasan Maolani ditangkap oleh
kolonial Belanda pada tanggal 12 Safar 1257 H/ 1837 M. Mulanya ia ditahan di
Cirebon, tetapi karena pengaruhnya masih besar, akhirnya pemerintah Hndia
Belanda memindahkannya ke Batavia (jakarta). Kemuadian ke Ternate (maluku), ke
Kaema dan terakhir di Tondano, sebelah selatan Manado (sulawesi Utara).
Di Tondano, kebetulan terdapat
masyarakat Jawa yang dibuang bersama Kiai Maja setelah perang diponogoro berakhir.
Di kampung Jawa ini, mengajar bekas pasukan diponogoro yang ingin mendalami
Islam. Karena banyak muridnya, ia kemudian mendirikan pesantren yang dikenal
dengan nama Pesantren Rama Kiai Lengkong.
Disamping terhadap pendidikan dan
dakwah, ia juga menaruh perhatian besar terhadap pengembangan pertanian dan
perkanan sebagaimana yang dilakukannya di Lengkong Kuningan.
Hingga 32 tahun ia tidak pernah kembali
ke Kuningan. Pengajuan untuk kembali ke daerah asalnya selalu ditolak oleh
residen Priangan. Dan pada 29 Aprl 1874, Kiai Hasan Maolani meninggal. Dan
dimakamkan di pemakaman Kiai Maja (salah seorang panglima pangeran dipenogoro yang
juga di buang ke Tondano), di Tondano.
2.. SYEKH NAWAWI AL BANTANI
(1230-1314 H / 1813-1897 M)
Seorang ulama besar asal Banten, ahli
hukum Islam (fiqih) dan ushul. Ia tinggal lama di Mekah dan mengajar di
Masjidil Haram. Ia terkenal karena tulisannya yang sangat banyak (ledih dari 80
buah) dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan.
Nama lengkapnya Abu Abdul Mu’thi
Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi, dan kemudian terkenal dengan nama Nawawi
al Bantany atau Nawawi al Jawi. Ia lahir di Tanara,
Serang, Banten. Ayahnya, Umar ibn Arabi, adalah seorang ulama dan menjadi
penghulu di Tanara.
Pada usia 15 tahun, ia pergi ke
Mekah dan bermukim disana selama 3 tahun untuk belajar ilmu keagamaan. Ia juga pernah
belajar di Madinah. Pada tahun 1248 H / 1831 M, ia kembali ke Banten dan
mengajar di pondok yang didirikan ayahnya (selama 3 tahun), tetapi ia
kemudian kembali lagi ke Mekah dan tidak pernah kembali. Ia belajar
kepada guru-gurunya selama 30 tahun (1830-1860 M), dan akhirnya mengajar di
Masjidil Haram.
Banyak ulama besar indonesia yang pernah
berguru padanya, antara lain: KH. Cholil bangkalan, KH. Ahmad Dahlan (Pendiri
Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ary (pendiri NU), KH Asnawi Kudus, KH
Tb. Bakrie Purwakarta, KH. Arsyad Thawil, dan lain-lain.
Ia pernah diundang ke Al Azhar Mesir untuk
memberi ceramah dan fatwa-fatwa pada beberapa perkara
khusus. Ia meninggal di Mekah pada 25 syawal 1314 H /
1897 M, tetapi ada yang mencatat 1316 H /1899 M.
Kelebihan dari Syekh Nawawi adalah
terkenal sebagai seorang penulis yang produktif. Karya-karyanya sangat
populer dimasanya dan banyak dibaca oleh kalangan pelajar Timur Tengah dan Asia
Tenggara. Karena kepakarannya, Dr. Snouck Horgronje
(seorang orientalis dan penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Islam
di Indonesia) menggelarinya sebagai doktor ilmu ketuhanan. Sedang
kalangan intelektual waktu itu menggelarinya Al Imam wa al Fahm al
Mudaqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam).
Tentang pengaruhnya, Dr. Snouck H., mengakui pengaruh besar yang ditularkan
oleh syekh Nawawi ini, hingga mendorong masyarakat Melayu / Indonesia untuk
mengkaji Islam secara seksama. Ia (Snouck) juga mengakui bahwa Syekh Nawawi
juga mampu membangun cita-cita politik Islam.
Berikut ini adalah beberapa karyanya, antara lain:
- · Tafsir al Munir (Yang memberi Sinar), merupakan karyanya dalam tafsir yang cukup monumental.
- · Kasifah al Saja, suatu kitab tentang fiqih, yang merupakan syarah/ komentar terhadap kitab fiqih Safinah an Najah karya Salim bin Sumeir al Hadrami. Para pakar menyebut, karyanya ini lebih praktis daripada yang dikomentarinya.
- · Syarh al ‘Uqud al Lujjayn fi Bayan al Huquq al Zawjain, suatu karyanya tentang fiqih yang terkenal dikalangan pesantren Jawa. Hampir semua pesantren memasukan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib terutama dalam bulan Ramadhan. Kitab ini berisi tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail, hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci.
- · Nihayah al Zayn. Tentang ushul fiqih.
- · Sallam al Munajah (tangga untuk Mencapai Keselamatan).Tentang fiqih yang merupakan syarah Safinah as Salah .
- · At Tausyiah. Dalam bidang fiqih, yang merupakan syarah darikitab Fath al Qarib al Mujib karya Ibn Qasun al Ghazi.
- · Fath al Majid (Pembuka bagi yang mulia) dalam bidang tauhid / akidah, yang merupakan syarah kitab Ad Durr al Farid fi At Tauhid.
- · Tijan al Durar, tentang akidah / tauhid yang merupakan syarah dari kitab Fi at Tauhid karya Al Balajury.
- · Nur al Dhalam, tentang akidah.
- · Tangih al Qaul (Meluruskan pendapat) karyanya dalam bidang hadits, yang merupakn syarah dari kitab Lubab al Hadits karya As Suyuthi.
- · Salalim al Fudala (Tangga bagi para ulama terpandang), karyanya dalam bidang akhlak / tasauf, yang merupakan syarah dari kitabManzhumah Hidayah al Azkiya.
- · Misbah adz Dzalam (Penerang kegelapan), karyanya dalam bidang tasauf /akhlaq.
- · Maraqi fi Ubudiyah
- · Al Qami’ al Thugyan, tentang tasauf.
- · Nashaih al Ibad, tentang tasauf.
- · Minhaj al Raghibi, tentang tasauf.
- · Al Ibriz ad Dani (Emas yang dekat)
- · Bughyah al Awam (Kezaliman orang awam)
- · Fathu Shomad ( Kunci untuk mencapai yang maha pemberi)
- · Fathu Ghafir al Khatiyah (kunci untuk pengampunan kesalahan)
- · Lubab al Bayan (Inti penjelasan)
BAB III TOKOH
DAN ULAMA ABAD KE 20 M (PRA DAN KEMERDEKAAN)
1.. KH. AHMAD SANUSI (1306-1369
H/ 1889-1950 M),
Seorang ulama dari tataran Sunda, asal
Sukabumi, dan termasuk dari sedikit ulama indonesia yang produktif dalam
menulis. Ia menulis buku lebih dari 120 judul dalam bahasa Sunda, dan lebih 22 judul
diterbitkan dalam bahasa Melayu.
Ia lahir di desa Cantayan, CiBadak,
Sukabumi, dan merupakan anak ketiga dari Ajengan Abdurrahim bin H. Yasin,
seorang pengasuh pesantren Cantayan.
Sejak kecil ia dibesarkan dalam
lingkungan pesantren. Dan pendidikannya di dapat dari berbagai pesantran.
Ia mempunyai pemikiran yang kritis. Ketika belajar di pesantren Guntur ia
berani mendebat gurunya (Ajengan Ahmad Satibi), suatu tindakan yang dianggap
kurang ajar (waktu itu) oleh rekan-rekannya.
Pada tahun 1909 M, ia pergi ke
Mekah dan bermukim disana selama 7 tahun dan berguru kepada ulama-ulama Madzhab
Syafi’I (antara lain: Syekh Shaleh Junaidi, Syekh Shaleh Bafadil, Sayid Jawani
(mufti madzhab Syafi’I di Mekah) dan lain-lain). Di Mekah ini ia mendapat
kehormatan menjadi imam di Masjidil Haram. Di Mekah ini juga ia bergabung
dengan SI (Syarikat Islam) dan terlibat perdebatan dengan ulam-ulama Indonesia
perihal SI, disamping menulis buku.
Pada tahun 1915 M, ia kembali ke
Cantayan dan mengajar di pesantren ayahnya, dan segera menarik banyak pengikut.
Pada tahun 1931 ia mendirikan Al ittihadiyatul Islamiyah (AII). Ia juga
membangun perguruan Syamsul ‘Ulum, yang sekarang terkenal dengan pesantren
Gunung Puyuh. Disamping soal agama (Al Qur’an dan hadits) ia
juga mengajarkan permasalahan kemasyarakatan.
Di bidang politik di Indonesia awal
ia menempati beberapa jabatan penting, antara lain: dewan penasehat
keresidenan Bogor (Shungikai), wakil resioden Bogor, anggota BPUPKI, anggota
KNIP, dan lain-lain.
Peran dan Pemikiran
Para pengamat sering memasukan Ahmad
Sanusi sebagai ulama tradisional / konservatif (madzhab Syafi’I), tetapi ia
percaya pintu ijtihad masih terbuka, meskipun ia sendiri tidak melakukan
ijtihad. Tetapi ide dan semangatnya sangat berbau pembaharuan (kadang
ia berbeda pendapat dengan kelompok tradisi, kadang berbeda juga dengan
penganjur pembaharuan).
Perselisihannya dengan kaum tradisi dan
pemerintah, menyangkut soal fatwanya yang menentang pengumpulan zakat dan zakat
fitrah lewat perpanjangan tangan pemerintah penjajah Hindia Belanda;
Dan kritikan yang keras terhadap upacara ke-3, ke-7 hari dan seterusnya
(slametan) bagi orang yang meninggal. Ia juga menfatwakan tidak wajibnya
mendo’akan bupati (yang waktu itu menjadi kebiasaan khutbah Jum’at selalu mendo’akan
bupati) dalam khutbah Jum’at, dan lain-lain.
Karena aktifitas dan kritikannya, ia dianggap
membahayakan kolonial Hindia Belanda. Dan ia ditangkap ketika terjadi
pemberontakan di Banten dan dipenjara selama 7 bulan di Sukabumi. Setelah
itu ia diasingkan ke Jakarta.
Ketika dalam tahanan pengaruhnya semakin
meluas dan ia tetap beradu argumentasi dengan kaum tradisi dan juga kaum
pembaharu diluar tahanan.
Diantara karya karyanya adalah:
Dalam bidang tafsir,
- · Raudhlatul Irfan fi Ma’rifat Al Qur’an
- · Maljau at Thalibin
- · Tamsyiyatul Muslimin fi tafsir Kalam Rabb al ‘Alamin, suatu kitab tafsir Al Qur’an yang diterbitkan pada oktober 1932. tafsir ini merupakan yang pertama kali terbit di Sukabumi dan merupakan sesuatu yang baru dalam masyarakat Sukabumi bahkan di daerah Pasundan, maka penerbitannya tidak luput dari kecaman dan tantangan.
- · Ushul al Islam fi Tafsir Kalam al Muluk al alam fi Tafsir Surah al Fatihah
- · Kanzur ar rahmah wa Luthf fi tafsir Surah al Kahfi
- · Tajrij qulub al Mu’minin fi Tafsir Surah Yasin
- · Kasyf as sa’adah fi tafsir Surah Waqi’ah
- · Hidayah Qulub as Shibyan fi Fadlail Surah tabarak al Mulk min al Qur’an.
- · Kasyf adz Dzunnun fi Tafsir layamassuhu ilaa al Muthahharun
- · Tafsir Surah al falaq
- · Tafsir Surah an Nas
- Dalam bidang fiqih,
- · Al Jauhar al Mardliyah fi Mukhtar al Furu as Syafi’iyah
- · Nurul Yaqin fi Mahwi Madzhab al Li’ayn wa al Mutanabbi’in wa al Mubtadi’in.
- · Tasyfif al auham fi ar Radd’an at Thaqham.
- · Tahdzir al ‘awam fi Mufiariyat Cahaya Islam.
- · Al Mufhamat fi daf’I al Khayalat
- · At tanbih al mahir fi al Mukhalith
- · Tarjamah Fiqh al Akbar as Syafi’i.
- Dalam bidang ilmu kalam
- · Kitab Haliyat al ‘Aql wa al Fikr fi bayan Muqtadiyat as Syirk wa al Fikr.
- · Thariq as Sa’adah fi al Farq al islamiyah
- · Maj’ma al fawaid fi Qawaid al ‘Aqaid
- · Tanwir ad Dzalam fi farq al Islam
- · Miftahh al jannah fi bayan ahl as Sunnah wa al jama’ah
- · Tauhid al Muslimin wa ‘Aqaid al Mu’minin
- · Alu’lu an Nadhid
- · Al Mufid fi Bayan ‘ilm al tauhid
- · Siraj al Wahaj fi al Isra wa al Mi’raj
- · Al ‘Uhud wa al Hudud
- · Bahr al Midad fi tarjamah Ayyuha al Walad
- Dalam bidang tasauf
- · Al Audiyah as syafi’iyah fi Bayan Shalat al hajah wa al Istikharah
- · Siraja al afkar
- · Dalil as sairin
- · Jauhar al bahiyah fi Adab al mar’ah al Mutazawwiyah
- · Mathla’ul al anwar fi Fadhilah al istighfar
- · Al tamsyiyah al Islam fi manaqib al Aimmah
- · Fakh al albab fi Manaqib Quthub al Aqthab
- · Siraj al Adzkiya fi Tarjamah al Azkiya.
(.. Lanjut)
By Adeng Lukmantara
Peminat Studi
Peradaban Sunda dan Islam (asal Sumedang)
Sumber:
Buku: Dari berbagai
sumber
Internet:
wikipedia, ensikperadaban.com, dan lain lain