Kamis, 11 Agustus 2011

MENGENAL PROFIL RAJA RAJA KEMAHARAJAAN SUNDA (669 S/D 1579 M)


  1. Maharaja Tarusbawa
      Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
     Tarusbawa dianggap sebagai  bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “tohaan di Sunda (raja Sunda). Ia menjadi cikal bakal raja-raja Sunda yang memerintah  berikutnya.
     Setelah menerima tahta tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa  kemudian memindahkan ibukota  kerajaan yang baru  di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang).
     Ia berusaha untuk mengembalikan kejayaan tarumanagara, seperti  yang dialami oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon  kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya.), karena itu ia kemudian mendirikan ibukota baru.
    
  1. Sanjaya
    Setelah Tarusbawa  meninggal (w. 723 M), Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja Sunda, mewakili istrinya, yang merupakan cucu dari Tarusbawa. Pada tahun itu juga Sanjaya  berhasil merebut kekuasaan Galuh dari rahyang Purbasora, yang merebut kekuasaan dari ayahnya, Bratasenawa (rahyang Sena). Oleh karena itu seluruh wilayah Sunda  dan galuh berada di bawah kekuasaan Sanjaya.

  1. Temperan Barmawijaya
      Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram. Temperan berkuasa selama 7 tahun,  dari tahun 732-739 M. Ia meninggal ketika terjadi kudeta oleh Sang manarah atau Ciung Wanara.

  1. Hariang banga (739-766 M)
      Hariang banga  atau sang banga atau Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya, berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang berkuasa hanya di sebelah barat sungai Citarum dari tahun 759 M.
     Dari istrinya yang bernama Dewi Kancana sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah), sang banga  mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian menggantikan kekuasaan setelahnya.
      Sebuah naskah abad ke13 M (atau abad ke-14 M) memberitakan bahwa Sang banga  pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja  yang merdeka dari Galuh.
     Lepasnya pakuan dari galuh terjadi setelah  20 tahun Banga menjadi pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk  kekuasaanya adalah sebelah barat Citarum


  1. Rakeyan Medang
     Rakeyan Medang merupakan putra dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di tahta Sunda, yang berkuasa selama 17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan gelar Parbu Hulu Kujang.
     Ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.

                                            
  1. Rakeyan Hujung Hulon
       Rakeyan Hujung kulon bergelar Prabu Gilingwesi. Ia naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan berkuasa selama 12 tahun dari tahun 783-795 M.
    Ia berasal dari galuh, putra Sang Mansiri. Karena  Rakeyan medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ketangan menantunya, Rakeyan Hjung Kulon.
     Rakeyan Hujung Kulon juga tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga  tahta kemudian jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara.


  1. Rakeyan Diwus Prabu Pucuk Bumi (MP. 795-812 M)
        Rakeyan Diwus naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeya Hujung Kulon Prabu Giling Wesi, yang berkuasa selama 24 tahun., dari  tahun 795 hingga 812 M. Ia kemudian diagntikan oleh putranya, rakeyan Wuwus.


  1. Rakeyan Wuwus
      Rakeyan Wuwus naik tahta Sunda  menggatikan ayahnya, Rakeyan Diwus, dengan gelar Prabu Gajah Kulon.
    Ia menikah dengan putri Sang Welengan , Raja Galuh (mp. 806-813 M). Kekuasaan Galuh juga jatuh padanya ketika kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842 M), meninggal dunia. Sehingga Sunda Galuh berada di satu tangan lagi.
     Setelah Rakeyan Wuwus meninggal, kekuasaan tahta Sunda jatuh kepada adik iparnya dari Galuh, Arya Kedatwan. Hanya saja karena tidak disenangi oleh pembesar istana Sunda, ia dikudeta dan terbunuh pada tahun 895 M. Dan kekuasaan jatuh kepada putranya, Rakeyan Windusakti.


  1. Prabu Darmaraksa (891-895 M)
      Arya Kedathan  bergelar Prabu Darmaraksa bersal dari istaanan Galuh, naik tahta Sunda, menggantikan kaka iparnya, Rakeyan Wuwus meninggal dunia.
      Tetapi ia  tidak disenangi oleh pembesar istana Sundapura, sehingga kemudian ia dikudeta dan terbunuh pada tahun 895 M. Dan kekuasaan jatuh kepada putranya, Rakeyan Windusakti.


  1. Rakeyan Windusakti (895-913 M)
Rakeyan Windusakti  dengan gelar Prabu Dewageng, naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Rakeyan Wusus. Ia berkuasa dari tahun 895 sampai 913 M.
    Ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading pada tahun 913 M.
                           

  1. Rakeyan Kamuning gading (913-916 M)
    Rakeyan Kamuning Gading, dengan gelar Prabu Pucukwesi,  naik tahta  menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan berkuasa hanya 3 tahun (913-916 M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.

  1. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916-942 M)
      Rakeyan Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa berkuasa di tahta sunda setelah mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.


  1. Rakeyan Watu  Agung  (942-954 M)
       Rakeyan Watu agung bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M).
      Ia kemudian dikudeta oleh sepupunya, putra Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp. 954-964 M)

  1. Limburkancana  (954-964 M)
      Limburkancana naik tahta sunda setelah mengkudeta Rakeyan Watuagung. Ia merasa berhak tahta Sunda dan memerbut kekuasaan sebagai balasan terhadap kudeta yang dilakukan oleh pamannya, Rakeyan Jayagiri, terhadap ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916 M.
      Setelahnya, tahta Sunda kemudian diteruskan oleh putra sulungnya, rakeyan Sundasamabawa yang bergelar Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M).


  1. Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M) 
      Rakeyan Sundasambawa dan bergelar Prabu Munding Ganawirya, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Prabu Limbur Kancana. Karena tidak mempunyai putra, kekuasaan kemudian jatuh  kepada adik iparnya, Rakeyan Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri.


  1. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung
     Prabu jayagiri rakeyan Wulung gadung naik tahta sunda menggatikan kakak iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia naik tahta karena kakaknya tidak mempunyai anak.
     Rakeyan Jayagiri ini kemudian mewariskan kekuasaanya  kepada putranya,  Rakeyan Gendang, yang bergelar Prabu Brajawisesa (mp. 989-1012 M).


  1. Prabu Brajawisesa (989-1012 M)
     Rakeyan Gendang dengan gelar Prabu Brajawisesa naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan Jayagiri. Ia kemudian digantikan oleh cucunya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)


  1. Prabu Dewa Sanghiyang (mp. 1012-1019 M)
      Prabu Dewa Sanghiyang naik tahta Sunda menggantikan kakeknya, Prabu Brajawisesa.
     Setelahnya tahta sunda kemudian diwariskan kepada anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp. 1019-1030 M).


  1. Prabu sanghiyang Ageung (1019-1030 M)
     Raja ke-19 dari tahta Sunda, yang memerintah dari tahun 1019 hingga 1030 M. Ia memerintah kerajaan Sunda dan berkedudukan di istana Galuh.
    Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya, yang masih kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak yang bernama Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri Jayabhupati inilah yang kemudian  membuat prasasti Cibadak.


  1. Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M)
       Sri Jayabhupati atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M)
     Ayahnya,  Prabu sanghiyang Ageng , sedang ibunya berasal dari ibu dari putri Sriwijaya. Ia  menjadi menantu dari Darmawangsa Teguh dari Jawa, yang juga mertua dari Erlangga. Istrinya merupakan adik dari  Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M), yang kemudian menjadi prameswarinya.  Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang dicantumkan dalam prasasti Cibadak.
     Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.
     Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa  dan huruf Jawa kuno, yang sekarang  disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
    
21.    Prabu Dharmaraja (1042-1065 M)

     Raja Sunda ke-21, yang naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang meninggal pada tahun 1042 M.
      Prabu Dharmaraja  atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti Salakasunda buana. Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang Mokteng  Winduraja, karena ia dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah nama desa di kecamatan Kawali kabupaten Ciamis.
     Jadi ada gejala setelah wafatnya Sri Jayabupati sampai dengan tahun 1187 M, pusat pemerintahan Sunda  terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di Winduraja.
      Setelah meninggal, tahta sunda kemudian diwariskan kepada menantunya,  Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp. 1065-1155 M)


  1. Prabu Langlangbumi (mp. 1065-1155 M)

       Prabu Langlang bumi  atau Prabu langlang Buana naik tahta Sunda ke-22, menggantikan mertuanya, Prabu Darmaraja.
      Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M)

  1. Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur (mp. 1155-1157 M)
      Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur, berkuasa di tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Setelahnya tahta sunda kemudian diteruskan oleh putranya,  Prabu Darmakusuma. (mp. 1157-1175 M).


  1. PRABU DARMAKUSUMA (mp. 1156-1175 M)
    Prabu Dharmakusuma naik tahta Sunda ke-24,  menggantikan ayahnya, rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M). Dan kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dharmasiksa..


  1. PRABU DARMASIKSA (mp. 1175-1297 M)
      Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa.  Ia naik tahta menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), yang berkedudukan di Pakuan.
     Prabu Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan  ia  memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.
       Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M.

26.    RAKEYAN SAUNGGALAH PRABU RAGA SUCI  (mp. 1297-1303 M)
      Rakeyan Saunggalah bergelar Prabu Ragasuci, naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu Resiguru Darmasiksa, yang berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297 hingga 1303 M. Ia memerintah berkedudukan Di Saunggalah (Kuningan).
     Setelah meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan di Taman, sehingga  ia kemudian dikenal dengan nama Sang Mokteng Taman.
    

  1. PRABU CITRA GANDA (1303-1311 M)
       Prabu Citraganda naik tahta sunda menggantikan ayanya, Prabu ragasuci, Ia berkuasa selama 8 tahun (dari tahun 1303-1311 M), dan  berkuasa dengan berkedudukan di pakuan.
      Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Prabu Linggadewata.  Prabu Ragasuci ketika meningal, ia dipusarakan (dimakamkan) di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang Mokteng tanjung.         

  1. PRABU LINGGA DEWATA (1311-1333 M)
      Prabu Linggadewata naik tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Citra Ganda.  Ia memerintah tahta Sunda  berkedudukan di Kawali  selama 22 tahun (mp. 1311-1333 M).
     Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya yang bernama Rimalestari, yang menikah dengan Ajiguna Linggawisesa.
      Setelah meninggal ia dipusarakan di  Kikis, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama  Sang Mokteng Kikis. Karena ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta selanjutnya ia wariskan kepada menantunya,  Prabu Ajiguna Linggawisesa.


  1. PRABU AJIGUNA WISESA (1333-1340 M)
       Prabu Ajigunawisesa naik tahta Sunda menggatikaan mertuanya, Prabu Linggadewata.   Ia memerintah berkedudukan di keraton Kawali selama 7 tahun (mp. 1333-1340 M).
     Ia naik tahta karena istrinya, Rimamelati, putri dari Prabu Linggadewata merupakan pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3 orang anak, yang pertama yaitu Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot, yang kemudian menggantikan tahtanya. Yang kedua adalah Dewi Kiranasari yang menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dan yang ketiga (bungsu) adalah Prabu Suryadewata yang menjadi Raja (Ratu) Galuh. Prabu Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga, dan ia meninggal di Wararaja (hutan raja) ketika sedang berburu.
     Prabu Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding.

  1. PRABU RAGAMULYA LUHUR PRABAWA ( mp. 1340-1350 M)
        Prabu Ragamulya Luhur Prabawa  naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Ia memerintah selama 10 tahun (mp. 1340-1350 M).
       Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati. Prabu Luhur Prabawa  terkenal juga dengan nama  Sang Aki Kolot.
      Setelah meninggal, ia dikenal  dengan Salumah Ing  Taman, karena ia meninggal di Taman. Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Maharaja  Linggabuana wisesa (mp. 1350-1357 M), yang gugur dalam perang bubat.


  1. MAHARAJA PRABU LINGGABUANA (1350-1357 M)
   
      Prabu Linggabuana Wisesa memerintah sunda menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, yang memerintah selama 7 tahun (1350-1357 M).
     Ia  gugur di medan perang bubat,  dalam mempertahankan harga diri dan melawan kecurangan majapahit, bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri Citra resmi.
     Karena anak laki-lakinya (adik dari diah pitaloka) masih berumur 9 tahun, maka  kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati yang kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora.
      Karena meninggal di Bubat, prabu Linggabuana kemudian dikenal juga dengan nama  Sang Mokteng Bubat.

  1. PRABU BUNISORA (mp. 1357-1371 M)
      Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.  Ia menggantikan tahta sunda, karena putra mahkota (putra Prabu Linggabuana), Wastukencana, masih kecil (unur 9 tahun). Ia memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp. 1357-1371 M)
     Pada masa pemerintahan  Prabu Linggabuana, ia menjabat sebagai patih mangkubumi, dan menggantikan kedudukannya, ketika sang raja  gugur.

  1. PRABU ANGGALARANG / PRABU NISKALA WASTUKANCANA (mp. 1371-1475 M).
     Prabu anggalarang  atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).
       Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja.
     Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).

  1. PRABU SUSUK TUNGGAL (mp. 1382-1482 M)
      Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah Sunda cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur.
      Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
      Prabu Susuk Tunggal  yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati.
          Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda,   kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
        Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.


  1. SRIBADUGA MAHARAJA JAYADEWATA (mp. 1482-1521M)
     Prabu Jayadewata  merupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
    Pada tahun 1482 M,  Jaya Dewata menerima tahta  Galuh dari ayahnya,  Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.
      Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran
      Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.

  1. PRABU SURAWISESA (mp. 1521-1535 M)

      Surawisesa merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu dari Prabu Susuk Tunggal.    Surawisesa dipuji oleh naskah Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran, memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian penulis Carita parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.
         Surawisesa memerintah  selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
                               
  1. RATU DEWATA (mp. 1535-1543 M)
    Prabu Dewata buanawisesa atau kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia  naik tahta raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.
    Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Rati Dewata sangat alim  dan taat beragama.
    Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah  dengan baik. Tapa brata  seperti yang dilakukannya hanya boleh  dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:
” Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan  engkau berpurapura rajin puasa).
     Rupanya penulis kisah kuno ini  melihat bahwa kealiman  Ratu Dewata  itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).

  1. PRABU  SAKTI (mp. 1543-1551 M)
    Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun  .
     Untuk mengatasi  yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
     Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.



  1. PRABU NIKALENDRA (mp. 1551-1567 M)
     Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya,  naik tahta  sebagai penguasa Pajajaran  yang ke-5 (penguasa Sunda ke-   ), pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda  ke segala lapisan masyarakat.
    Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja  dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya  raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.

  1. PRABU SURYAKANCANA (mp. 1567-1579 M)
      Prabu Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang  berkuasa dari tahun.
      Prabu Surya Kancana atau Prabu Raga Mulya atau dalam cerita parahiyangan di sebut Nusya Mulya. Prabu Surya Kancana sendiri merupakan nama yang diberikan dalam naskah Wangsakerta.
      Prabu Suryakanacana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.

(By Adeng Lukmantara 
Sumber: dari berbagai sumber di internet )

CIUNG WANARA, CERITA PANGERAN DARI KERAJAAN GALUH


   
Ciung Wanara merupakan nama untuk Sang Manarah, penguasa Galuh dari tahun 739-783 M.      Sang Manarah atau Prabu  Suratama atau Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun 739-783 M),  dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum di sebelah barat.
     Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permanadikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh utusan Temperan, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Ibunya Dewi Pohaci Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah  Permana meninggal ia menjadi istri kedua temperan.
     Setelah menginjak remaja, ia kemudian melakukan kudeta terhadap keturunan Sanjaya (tamperan), dengan dukungan penuh kakeknya, Bimaraksa atau kemudian terkenal dengan nama Aki balangantrang.

Ki Balangantrang
    Setelah terjadi kudeta oleh Sanjaya yang menewaskan hampir seluruh keluarga Raja  Purbasora, dan yang selamat dari kudeta tersebut adalah patihnya, Bimaraksa, yang  dikemudian hari dikenal dengan Aki Balangantrang.
      Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan  anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja  di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini  dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu  membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
      Ki Balangntarang ini  dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mendidik Sang Manarah yang kemudian terkenal dengan nama Ciung Wanara. Masa kecil sang Manarah dalam cerita-cerita rakyat, memang dibesarkan oleh kakeknya di Geger Sunten, Ki Balangantrang. Dan ketika ia dewasa kemudian  berusaha untuk merebut kekuasaannya dari Temperan.
     Sang Manarah dibantu oleh kakeknya, Ki Balangantrang  yang mahir dalam urusan perang dan startegi, dengan pasukan yang telah dipersiapkan di Geger Sunten. Perebutan kekuasaan ini diperhitungkan dengan matang, yaitu pada saat  diselenggarakan pesta sabung ayam. Penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang  memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
    Kudeta ini  berhasil dalam waktu yang singkat, Galuh dapat dikuasai. Dalam pertempuran antara putra mahkota Hariang Banga dan Manarah, yang berakhir dengan kekalahan Banga, dan raja (temperan) terbunuh.

Serbuan Sanjaya  ke galuh
    Mendengar putranya, Tamperan meninggal, Sanjaya sangat marah, kemudian ia menyiapkan pasukan  besar dari Medang bhumi mataram untuk menyerbu ibukota Galuh.
      Sanjaya menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang.
      Perang saudara satu keturunan Wretikandayun  meletus, dan pasukan Manarah mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu dapat dihentikan  atas prakarsa  rajaresi Demunawan, yang waktu itu berusia 93 tahun. Perundingan gencatan senjata  digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali. 
     Untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan banga kemudian dinikahkan  dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedang Banga sebagai raja Sunda  bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang bernama Kancanasari.
     Manarah ditakdirkan mempunyai umur yang panjang. Ia bertahta di Galuh  hingga tahun 783 M. Lalu ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri  dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa  hingga akhir hayat. Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun.

(By adeng Lukmantara
Sumber: Kumpulan / ringkasan dari berbagai sumber di internet )
   

MENGENAL DIPATI UKUR, SANG PEMBEBAS


Adipati Ukur demikian nama salah satu jalan yang terkenal di kota Bandung. Dipati Ukur  atau lengkapnya Dipati Ukur Wangsanata, konon merupakan menak asal Purbalingga, yang menjadi menantu Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang. Ia pada awalnya merupakan penguasa wilayah ukur (daerah bandung sekarang), dibawah kekuasaan Sumedang Larang. Ia menikah dengan putri dari Prabu Geusan Ulun, yang terkenal dengan nama Nyi Mas Dipati Ukur.

Menjadi Bupati Wedana Priangan
      Setelah Pangeran Ranggagede dipenjara oleh kerajaan Mataram, karena dianggap  gagal dalam menghadapi serangan dari Banten atau dianggap main mata dengan banten, maka jabatan bupati wedana priangan diberikan kepada saudara iparnya, Adipati Ukur.
     Ketika dipati ukur  menjadi bupati wedana, pada tahun 1628 /1629 M, ia mendapat perintah dari Sultan Agung untuk menyerang Batavia (Jakarta sekarang), yang waktu itu dikuasai Belanda, bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso.
       Adipati Ukur membawa 9 umbul (pimpinan daerah) dalam penyerangan ke Batavia tersebut, diantaranya.  Dari ke-9 umbul tersebut, 3 umbul kemudian menghianatinya dan menjadi antek-antek mataram, yaitu Umbul Sukakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihurbeuti Ki Astamanggala, dan umbul Sindangkasih, Ki Somahita.

Gerakan Pembebasan Dipati Ukur Dari Pengaruh Mataram
     Sebagai bawahan Mataram akhirnya  Dipati Ukur menjalankan perintah Sultan Agung Mataram untuk menyerbu Belanda di Batavia. Serangan pertama dari sultan Agung terhadap VOC mendapat dukungan penuh dari Adipati Ukur, walaupun pada penyerangan tersebut gagal.  Pada penyerangan kedua, adiapati ukur  memamfaatkan kesempatan tersebut untuk membebaskan daerah ukur dan Sumedang dari pengaruh Mataram.
      Dari 4000 pasukan yang dikerahkan hanya 400 tentara yang kembali. Dari peristiwa itu ia merasa terharu dan kemudian bersumpah untuk tidak mengabdi dan tunduk lagi ke Mataram. Ia ingin membebaskan tanah Ukur dan Sumedang dari kekuasaan Mataram. Ia ‘nyicikeun cai, ngawurkeun leubu, sumpah moal daek  ngawula deui ka Mataram’.
     Tetapi Dipati Ukur  kemudian mendapat serangan dari Tumenggung Narapaksa, senapati Sultan Mataram, yang membawa beribu-ribu pasukan untuk melumpuhkan pasukan Dipati Ukur yang tinggal 400-an.  Menghadapi hal demikian, Dipati Ukur kemudian mundur, untuk mengatur strategi dan menunggu di gunung Lumbung. Tentara Mataram banyak yang meninggal ‘ditinggangan’ (Dijatuhi) batu diatas gunung. Perlawanan Dipati Ukur dapat dihentikan setelah Mataram mendapat bantuan dari 3 umbul yang menghianatinya, yaitu: Umbul Sukakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala, Umbul Sindangkasih Ki somahita.
       Atas jasa-jasanya terhadap Mataram, ketiga umbul yang menghianati Dipati Ukur tersebut  kemudian diangkat  menjadi mantri agung di tempatnya masing-masing. Ki Astamanggala, Umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi  mantri Agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wirangun angun. Ki Wirawangsa menjadi  bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Tanubaya sebagai bupati Parakan Muncang.
       Dipati Ukur merupakan simbol dari pembebasan manusia sunda yang justru mendapat penghianatan dari bangsanya sendiri, terutama antek-antek penjajah.  
 
(By Adeng Lukmantara
Sumber: dari berbagai sumber di internet)