Senin, 23 Agustus 2010

MENGENAL TRADISI TRADISI PEMBODOHAN DALAM KEBIASAAN IBADAH YANG TETAP DIPERTAHANKAAN KAUM TRADISI

Tulisan ini akan mengungkap berbagai praktek pembodohan dalam ritualitas tradisi yang selama ini mengalami pembenaran. Tulisan ini mungkin dikhususkan pada masarakat sunda, yang konon secara sejarah dan kata yang mengidamkan sebagai masarakat yang murni, suci atau puritan. Karena arti sunda itu berarti suci, murni, dan puritan.
Kata Sunda dipergunakan oleh maharaja Purnawarman untuk menamai ibukota yang baru, Sundapura., yang berarti kota suci, kota murni, atau kota puritan. Suatu sejarah yang mengagumkan, nama yang sungguh idealis. Karena itu tulisan ini dikhususkan untuk masarakat sunda yang cinta ilmu, yang cinta kebenaran dan mempunyai idealisme memurnikan agamanya, sesuai dengan nama sunda itu sendiri.
Dan corak keislaman masyarakat sunda, yang lebih sintesis (memadukan) bukan sinkretis (mencampuaradukan) mungkin akan dengan mudah memahami kekeliruan dalam budaya. Dan jika memang dibaca oleh masyarakat lainnya ini merupakan tulisan untuk masarakat sunda, suatu suku  yang memang sudah ditunggu peranannya dalam mengembangkan islam yang modern.
Banyak tradisi ibadah yang mungkin telah dibenarkan dalam tradisi, kita tetapi karena kebiasaan berulang-ulang, maka kita tidak menyadari bahwa tradisi-tradisi tersebut membawa kepada tradisi pembodohan masyarakat Islam.

1. Tradisi tarawih yang hanya mengandalkan jumlah, super cepat dan suratnya itu-itu saja.
Tradisi tarawih di desa-desa kaum tradisi, dengan jumlah tertentu dan tiap-tiap tarawih tiap hari surat yang dibacanya itu-itu saja, (mungkin secara agama sah), tetapi dibalik kebiasaan itu ada unsur pembodohan. membiarkan masyarakat  pada kebiasaan yang salah, dan wacana yang sempit (hanya itu-itu saja).
Tarawih hal seperti yang dilakukan oleh kaum tradisi mungkin tidak ada contohnya dan tidak dicontohkan oleh nabi. Tarawih semau gue, mungkin itu ungkapan yang cocok untuk jenis tarawih ini. Dan justru jenis tarawih inilah yang mengalami pembenaran dari kaum agama tradisi dan masyarakat banyak. Jadi kloplah kaum agama tradisi dan masyarakat tradisi yang memang statis mendapatkan polanya. Pembodohan dan  kemalasan masyarakat mengalami mutualisme yang menjadi tradisi selama puluhan tahun bahkan ratusan tahun.
Kita harus mulai bertanya pada diri kita benarkan tradisi ini, apakah kita tidak berpikir dan berpikir, atau memangg budaya kita seperti itu. Tidak ada kekhusuan dalam shalat seperti itu, mungkin juga tidak ada contoh dari Rasulullah, dan mungkin kita juga telah mempertahankan budaya kebodohan, suatu budaya tanpa ilmu. Kita hanya meraih target 23 rakaat sedang nilai-nilai dari shalat tidak pernah diindahkan.  suatu pengembangan masyarakat yang instan, yang tidak pernah mengenal makna dari ungkapan-ungkapan spiritual ibadah. 
Demikian surat yang dibaca, hanya itu-itu saja, itu merupakan budaya kita yang sering membodohi yang tidak tahu, dan yang tidak tahu selalu mempertahankan kemalasannya dalam mencari ilmu. Kita tidak pernah memberikan wacana yang variatif. Kalau diibaratkan makan, maka kita hanya makan dengan ikan asin dan sambal, hanya itu-itu saja. Padahal banyak ikan laut lainnya, banyak daging-dagingan, itu kalau diibaratkan pada makanan.
Masyarakat sunda harus mengevaluasi diri, untuk apa mempertahankan kebodohan, dan para Tokoh agama harus bertanya juga, untuk apa mempertahankan pembodohan. Masyarakat kita harus dipintarkan agar tidak mudah dibodohi, agar tidak mudah  dijajah, agar tidak mudah terjebak pada berbagai kesusahan. Masarakat sunda harus dicerdaskan, biarkan dia mengerti kebenaran yang sebenar-benarnya, jangan terus dibodohi.........mungkin harus menjadi peringatan kepada kaum yang senang menjadikan bangsanya sendiri menjadi bangsa yang bodoh,..... karena kebodohan merupakan sumber kemiskinan...., jangan biarkan bangsa kita berada dalam kemiskinan... kasihan.

2. Tahlilan
Tahlilan adalah suatu tradisi pasca kematian seseorang dengan bacaan-bacaan dari agama (tahlil). Tahlilan adalah suatu tradisi dari masyarakat jawa pasca kematian seseorang. Tahlil ini merupakan suatu bentuk sinkretis (campuraduk budaya) jawa, suatu tradisi yang tidak mau mengalah kepada agama. Suatu bentuk campur aduk masalah agama dan tradisi, intinya tradisi tetapi luarnya, cangkangnya berbau agama, karena menggunakan bacaan-bacaan tahlil dari agama, padahal hakekatnya adalah tradisi.
Mungkin kebiasaan ini  diterima oleh masyarakat jawa, tetapi bagi masyarakat sunda, hal ini tidak mempunyai  akar tradisi. Ada suatu hal yang perlu diingat, dalam konsep Sunda tempo dulu, seperti yang dikemukakan oleh kropak 630 sanghiyang siksa kandang karesian, kosep agama sunda adalah ....sing para dewa kabeh pada bakti ka batara seda niskala pahi manggihkeun si tuhu lawan  pretyaksa (maka para dewa semua berbakti kepada batara seda niskala. semua menemukan yang hak dan yang wujud)...jadi para dewa semua berbakti pada yang kuasa.

Jadi konsep ketuhanan sunda adalah monoteisme, sehingga para dewa harus tunduk kepada yang maha esa, dan yang maha kuasa. Kosep manusia sunda waktu dulu meskipun dokrin-dokrin hindu yang politheisme menguasai pepolitikan, tetapi tidak pernah menghapuskan sistem monotheisme masyarakat sunda, bahkan tetap dominan, para dewa harus mengabdi pada yang maha kuasa....
Nah ketika Islam masuk ke masyarakat sunda, karena ada kecocokan dalam hal monotheisme, dan nama sunda itu sendiri yang berarti suci, murni atau puritan. Maka bentuk sinkren apapun yang berhubungan dengan agama tidak pernah mempunyai tempat. Masyarakat sunda cenderung sinkretis dalama masalah agama dan tradisi, dan mungkin termasuk masyarakat yang puritan yang selalu berpijak pada konsep keagamaan yang murni, karena itu budaya tahlil harusnya tidak mempunyai dasar pijakan dalam budaya sunda, apalagi dalam agama.
Dalam konsep agama budaya tahlil yang dilakukan oleh kaum tradisi jawa dikategorikan sebagai bid'ah, mengada-ngada dalam urusan agama, suatu tradisi yang tidak berdasar, tradisi yang tidak pernah dicontohkan rasul. Dan ditinjau dari sejarahpun itu merupakan tradisi pembodohan dibalik konsep agama. Hal ini mungkin cocok bagi masyarakat jawa yang cenderung sinkretis, tetapi bagi masyrakat sunda budaya disamping tidak mempunyai dasar tradisi  juga agama, sehingga ke depan budaya ini harus dihapuskan dalam tradisi sunda...(konsep membodohi dibalik tradisi agama)
Ketika mondok di pesantren, memang dasar tahlil ini sangat susah untuk mencari dasarnya, kecuali kata ulama  ini kata ulama itu, yang mendukung, tanpa dibahas latar belakang dasar hukum dan sebagainya. Karena itu dalil-dalilnya selalu dicari agar ada pembenaran, dan pembenaran-pembenaran itu hampir semuanya tidak berdasar.
Jadi mungkin generasi muslim sunda modern harus mulai mengkaji berdasar ilmu. Jangan percaya begitu saja pada kaum agama yang mendukung budaya tahlilan seperti tradisi tersebut, Karena ada konsep pembodohan dari tardisi ini, dan agama hanya dibuat kedok, yang aslinya adalah tradisi yang tetap tidak mau mengalah. jadi generasi muslim sunda ke depan harus mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan agama yang tidak berdasar, dan tidak berilmu....................


(lanjut.................)