Jumat, 29 Mei 2015

WRETIKANDAYUN, SANG PENDIRI KERAJAAN GALUH

Pengantar

Dalam naskah Carita Parahiyangan yang banyak diceritakan selain dari sanjaya dan Resi Demunawan atau Sang Seuweu Karma adalah Wretikandayun. Masyarakat Sunda kebanyakan mungkin tidak mengenal nama Wretikandayun itu. Atau kebanyakan dari mereka juga tidak tahu siapa sih yang mendirikan kerajaan galuh, yang kekuasaanya dari sungai citarum hingga hujung Galuh atau Surabaya sekarang.

Jadi setelah cerita / naskah  Ciung Wanara, Sanjaya sang Pediri kerajaan Medang Bumi mataram, Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit, Surawisesa dan Prabu Linggabuana, Sang Prabu Wangi. Meskipun belum selesai semua, karena dalam proses pencarian data, maka kisah selanjutnya mungkin yang cocok untuk dibahas yang ke-6, adalah pendiri kerajaan Galuh, yaitu Wretikandayun.

Di tengah sumber referensi yang sedikit, memang sangat sulit bisa berbicara atau memberikan data cerita sesuai aslinya. Dalam istilah sunda ada istilah “kokoreh”, seperti ayam ketika mencari makan, harus terus “kokoreh” meskipun makanan kemungkinan tidak di dapat, tetapi ada upaya untuk mencarinya. Meskipun ada sedikit informasi, alangkah baiknya mencoba menulis apa yang di dapat, dari berbagai sumber baik buku maupun internet. Karena dengan menulis akan ada proses menuju kesempurnaan meskipun tidak akan sempurna, karena berbagai keterbatasan. Tetapi proses merupakan sesuatu hal yang harus dilalui dan dijalani.

“Tidak ada istilah bejo atau beruntung” hanya menunggu keberuntungan, yang mungkin hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri. Tetapi proses “kokoreh” yang mulai harus dibangkitkan, atau mungkin istilah yang lainya adalah kita harus tetap berusaha. Karena itu, naskah atau cerita yang akan dibahas sekarang ini adalah pendiri kerajaan galuh, yaitu Wretikandayun. Sebagai usaha kokoreh dalam mempelajari sejarah dari sumber yang sedikit, dan ingin memperkenalkan pada generasi muda Sunda, untuk mencoba mengetahui atau memperkenalkan siapa sih yang mendirikan kerajaan Galuh itu. Ada istilah jika tidak kenal maka tidak akan sayang, maka kami mencoba memperkenalkan kembali naskah Wretikandayun, untuk hanya ingin membuka gerbang, pengkajian sejarah sunda kepada generasi muda sunda, meskipun tidak akan pernah sesuai dengan kisah sebenarnya.

Sejarah kerajaan sunda, di daerah sunda itu sendiri, adalah seperti sejarah anak tiri. Pengalaman saya sendiri, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, atau pesantren, tidak pernah menerima pelajaran tentang sejarah galuh, sejarah sunda, dan lain sebagainya. Jadi kalau tidak mengkaji sendiri maka dijamin tidak akan mengetahui itu siapa Wretikandayun. Jadi tulisan ini mudah mudahan menjadi gerbang bagi generasi muda yang energik untuk mengkaji sejarah ssunda dengan seksama. Masa yang kita ketahui hanya ken arok, ken dedes, hayam wuruk, patih gajahmada, dan lainnya. 




NASKAH

KERAJAAN KENDAN  TAHUN 600-AN MASEHI   

Diceritakan di kerajaan kendan pada tahun 600-an Masehi, suatu kerajaan bawahan Tarumanagara. Yang berkuasa dari kerajaan itu adalah Sang kandiawan. Sang kandiawan naik tahta di kerajaan kendan menngantikan ayahnya, Rajaputra Suraliman pada tahun 597 M. Sang kandiawan adalah seorang yang alim, yang sangat dekat dengan nilai nilai keagamaan.  Sehingga ia mengarah sebagai seorang rajaresi.

Kerajaan Kendan merupakan suatu kerajaan bawahan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan ini didirikan  Sang Resiguru Manikmaya pada tahun 536 M. Resiguru Manimaya berkuasa selama 32 tahun, dari tahun 536-568 M.  
Resiguru Manikmaya diduga berasal dari Calangkayana atau India Selatan.      Manikmaya menikah dengan putri raja Tarumanagara ke7, maharaja Suryawarman (mp. 535-561 M) yang bernama Tirtakancana. Oleh Suryawarman ia dihadiahi daerah Kendan (yaitu suatu wilayah  perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung sekarang). Dan ia kemudian dinobatkan sebagai raja  resi guru di daerah ini, yang dilengkapi dengan mahkota raja dan mahkota prameswari. Semua raja daerah taruumanagara, oleh Suryawarman harus menghormatinya, karena disamping sebagai menantu raja juga karena sebagai seorang brahmana ulung yang dianggap banyak berjasa terhadap agama.
Manikmaya memerintah Kendan selama 32 tahun , dari tahun 536 sampai 568 M. Dari perkawinannya dengan Tirtakusuma ia mempunyai seorang putra dan seorang putri. Yang putra bernama Rajaputra Suraliman, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa Kendan yang ke-2.

Sang Kandiawan merupakan anak dari Rajaputra Suraliman dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari kerajaan Kutai di Kalimantan keturunan Kudungga). Dari ayah dan ibunya tersebut, ia juga mempunyai adik yang bernama Kandiawati,  yang menikah dengan  saudagar asal Sumatra dan tinggal bersama suaminya.

Rajaputra merupakan gelar untuk Suraliman, putra dari Sang Resi Guru Manimaya. Rajaputra Suraliman terkenal sebagai seorang yang mahir dalam perang.  Ia terkenal sangat tampan disamping kelebihannya dalam ilmu perang dan strategi. Pada usia 20 tahun Suraliman  diangkat menjadi senopati Kendan, dan akhirnya  diangkat menjadi panglima balatentara (baladika) Tarumanagara.
Setelah ayahnya (Manikmaya) meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja kendan yang ke-2.Penobatannya berlangsung  pada tanggal 12 bagian gelap bulan asuji tahun 490 saka (5 Oktober 568 M). Pada masaa pemerintahannya ia selalu unggul dalam peperangan.
Suraliman menikah dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari kerajaan Kutai di Kalimantan keturunan Kudungga). Dari pernikahannya dengan Dewi Mutyasari tersebut, ia mempunyai seorang putra yang bernama Kandiawan, dan seorang putri yang bernama Kandiawati. Kandiawan yang kemudian bergelar Rahiyangta ri Medang Jati kemudian menggantikannya, sedang adiknya, Kandiawati, menikah dengan  saudagar asal Sumatra dan tinggal bersama suaminya.
Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun (568-597 M), yang kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Sang Kandiawan.

Sebelum menjadi Raja, ia pada awalnya menjadi rajamuda di Medang Jati. Karena itu setelah ia  dinobatkan menjadi raja Kendan. Sang Kandiawan tidak berkedudukan di  Kendan, tetapi ia memindahkannya ke  Medang Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan  merupakan  pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang  daerah kendan waktu itu menjadi  pemeluk Hindu Siwa.

Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M). Sang kandiawan meneyebut dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia bergelar    Rahiyangta di Medang jati  atau terkenal juga dengan nama  Sang Layu Watang. Dialah yang membuat sanghiyang Watang Ageung.
Sang Kandiawan menggantikan tahta ayahnya, Suraliman, menjadi raja Kendan yang ke-3. Sebelum menjadi raja Kendan,  ia telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu Sang Kandiawan  diberi gelar Rahiyangta Ri Medang Jati.
Setelah ia  dinobatkan menjadi raja, ia tidak berkedudukan di  Kendan, tetapi di Medang Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan  pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang  daerah kendan  pemeluk Hindu Siwa. Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M). 

Sang Kandiawan  mempunyai 5 orang putra, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun.  Kelima anak sang Kandiawan  dalam naskah Carita Parahiyangan dianggap sebagai “titisan” Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala,

Sayembara / Taruhan Antar Anak Anak Sang Kandiawan.

Setelah menginjak dewasa, pangeran pangeran putra Sang kandiawan tersebut sangat menyenangi acara berburu. Pada suatu acara, mereka berlima: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun  mereka merencanakan untuk berburu di suatu bukit dekat pertapaan Bagawat Resi Makandria.

Rencana berburu itu dipimpin oleh kakak tertuanya, yaitu Mangukuhan. Sang Mangukuhan berkata: “Mari adik-adik kita berburu ke bukit (tegalan).” Dan ketika akan berburu, diadakan dulu rapat antar para Pangeran tersebut, dan disepakati bahwa yang pertama kali memenangkan buruannya akan dijadikan raja nantinya.

Maka berangkatlah kelima pangeran tersebut ke suatu bukit / tegalan. Mereka dengan semangat berlomba-lomba untuk mendapatkan yang pertama mendapat hasil  buruannya, karena mereka telah disepakati bersama bahwa yang pertama kali mendapatkan hasil buruan akan dijadikan raja, pengganti ayahnya.

Sang Resi Bagawat Resi Makandria
Jauh sebelum rencana para pangeran sedang berkompetisi di tegalan / bukit buruan para pangeran tersebut. Terdapatlah seorang Resi yang bernama Bagawat Resi Makandria yang sedang bertapa dengan hidmatnya. Ia nantinya menjadi mertua dari Wretikandayun.
Resi Makandria terkenal sebagai resi yang sangat alim, ia sejak muda menjalani hidup sebagai resi dengan banyak bertapa. Karena tingkat keilmuannya yang sangat tinggi, dalam naskah ini diceritakan bahwa ia mengerti perbincangan sepasang burung yang higgap di atas pertapaannya.

Dari pembicaraan burung si Uwur Uwur atau Si Naragati yang sedang berdebat dengan betinanya. Sang burung  mengkritik habis Resi Makandria yang katanya, alangkah hinanyya jika tidak mempunyai anak. Menuerutnyasang resi melakukan pertapaan tersebut karena sengsara karena tidak punya  anak. Dan dari perbincangan juga diungkapkan bahwa jangankan dia punya akan punya anak, sedang kawin saja tidak. Karena alangkah akan sengasaranya jika tidak punya anak.

 Pada bab kedua dari Carita Parahiyangan menceritakan kisah seorang resi, yang bernama Bagawat Resi Makandria, yang kelak akan menjadi mertua dari Wretikandayun, sang pendiri kerajaan Galuh.
Pada suatu hari ada sepasang burung jantan dan betina yang bersarang di atas pertapaannya. Burung tersebut dinamakan “Si Uwur Uwur” atau “Si Naragati”. Si burung betina tersebut mempunyai anak, tetapi kemudian dimakan oleh jantannya. Maka sag betina itu marah kepada burung jantannya: “Alangkah hinannya jika kita tidak mempunyai anak itu. Lihatlah Bagawat Resi Makndria, bertapa itu karena sengsara sebab tidak mempunyai anak”. Mendengar percakapan burung si uwur uwur tersebut, maka berkatalah Bagawat Resi Makandria:” Bagaimana akan punya anak, kawin juga tidak.”
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan sebagai berikut:
Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek bikangna: “Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh
Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak.”
Carek Bagawat Resi Makandria: “Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu.”
Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: “Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka
Kendan.”
Manehna datang ka Kendan.
Carek Sang resi Guru: “Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak datang ka dieu?” “Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati.
Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak.”
Carek Sang resi Guru: “Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu
geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh,
anaking.”

Mendengar dari percakapan tersebut, maka Bagawat Resi Makandria kemudian menghentikan pertapaannya, dan bertekad menemui Sang Resi Guru manikmaya di Kendan untuk meminta jodoh. Setelah menghadap Sang resi Guru, ia kemudian menceritakan tentang perbincangan burung yang bernama Si Uwur Uwur, bahwa alangkah hinanya jika tidak mempunyai anak. Maka Resi Makandria menceritakan tentang maksud kedatangannya untuk minta jodoh ke Sang Resi Guru.

Sang Resi Guru kemudian menjodohkan Bagawat Resi Makandria dengan anaknya, Pwah Rababu. Da menyuruh Bagawat Resi Makandrai untuk kembali ke pertapaannya, dan calon istrinya, Pwah Rababu akan menyusu kemudian. Singkat cerita, Resi Makandria ini mempunyai anak perempuan yang bernama Pwah Bungatak Mangalengale.  

Dari kisah ini kemungkinan penulisnya ingin menekankan tentang pentingnya regenerasi atau keturunan sebagai suatu upaya untuk kesinambungan peradaban suatu bangsa.  Dan hal ini seolah menjadi dokrin sunda, bahwa kita jangan diam dalam arti bertapa saja tanpa usaha apa apa.

Kemenangan Pangeran Wretikandayun

Sebelum berburu dimulai kelima saudara itu bersepakat bahwa siapa yang pertama kali menumbak hewan buruannnya maka berhak menjadi raja. Di Tegal  (bukit) ada sepasang kerbau yang jantan bernama Kebowulan sedang yang betina bernama Pwah Manjangandara, yang merupakan jelmaan dari Resi Makandria dan istrinya, Pwah Rababu. Sepasang kerbau itu dikejar oleh kelima orang tersebut, dan kebowulan tertembak oleh Wretikandayun, kemudian dikejar hingga tempat pertapaan. Disana ditemukan Pwah Bungatak mangalengale sedang sedang menyusu kepada Pwah Manjangandara.

Pwah Bungatak Mangalengale kemudian dibawa Wretikandayun ke Galuh kepada ayahnya Sang Kandiawan atau Rahiyangta Medang Jati. Setelah dewasa Pwah Bungatak Mangale-ngale ini kemudian dijadikan istri oleh Wretikandayun.

Setelah itu keempat saudaranya menyepakati bahwa yang berhak menjadi putra mahkota adalah putra bungsu sang raja, yaitu Wretikandayun. Dan ia diangkat menjadi rajamuda di Menir.

BAB II RAJA WRETIKANDAYUN

Setelah berkuasa selam 15 tahun, Sang kandiawan kemudian mengundurkan diri menjadi raja, untuk lebih berkonsentrasi dalam bidang keagamaan sebagai raja resi. Karena kesepakan antar anak anaknya, maka yang naik tahta menjadi raja adalah Wretikandayun, putra bungsunya.

Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M). Sang kandiawan meneyebut dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia bergelar    Rahiyangta di Medang jati  atau terkenal juga dengan nama  Sang Layu Watang. Dialah yang membuat sanghiyang Watang Ageung.

Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya pada 23 Maret 612 M, pada usia 21 tahun. Dan setelah menjadi raja  Wretikandayun tidak berkedudukan di  di Kendan atau di Medang Jati, tidak juga di Menir. Tetapi ia mendirikan pusat pemerintahan (ibukota) baru, yang kemudian diberi nama Galuh (permata).

Kendan pada masa Wretikandayun lebih dikenal dengan nama kerajaaan Galuh, dan kerajaan ini  kemudian memegang peranan penting dan merdeka ketika Tarumanagara berubah menjadi bawahan Sundasambawa. Dengan demikian Kendan di era Wretikandayun lebih di kenal dengan nama kerajaan Galuh, yang mandiri.

Menjadi Kerajaan Galuh Yang Merdeka

Ketika Wretikandayun dinobatkan sebagai raja Kendan,  penguasa Tarumanagara saat itu adalah Srimaharaja Kertawarman (mp. 561-628 M). Ia berturut-turut menjadi raja daerah (bawahan Tarumanagara) pada masa udawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (mp. 666-669 M). 

Dan ketika tahta tarumanagara jatuh kepada Tarusbawa pada tahun 669 M, menantu Linggawarman dari Sundasambawa, yang kemudian mendirikan kerajaan Sunda, Wretikandayun yang waktu itu berumur 78 tahun kemudian memerdekakan diri (merdeka), dan wilayah Tarumanagara di bagi 2, dengan perbatasan Sungai Citarum. Tarusbawa berkuasa di barat Sungai Citarum, sedang Wretikandayun sebelah timurnya.   

Dengan demikian tahun 669 M, dianggap sebagai awal dari kerajaan Galuh yang mandiri.

Mengangkat Saudara saudaranya Menjadi Pejabat Negara

Nasib keempat saudara Wretikandayun pada awalnya memilih jalan kehidupan yang berlainan. Kakak tertuanya, Sang Mangukuhan memilih jadi petani (tukang ngahuma). Kakak keduanya, Sang Karungkalah memilih menjadi  tukang moro (Tukang berburu), Kakak ketiganya, Sang Katungmaralah memilih menjadi  tukang nyadap (pengambil air nira untuk membuat gula), dan kakak ke-empatnya memilih menjadi pedagang (saudagar).

Dan ketika Wretikandayun menjadi Raja Galuh, keempat saudaranya tersebut diangkat derajatnya (dijunjung) menjadi penguasa didaerah kekuasaannya:  Sang Mangukuhan diangkat menjadi penguasa di Kuli Kuli (Rahiyangtang Kuli-Kuli), dan  berkuasa selama 80 tahun. Sang Karungkalah diangkat menjadi penguasa di  Sarawulan (Rahiyangtang Sarawulan), dan berkuasa hanya 6 tahun, karena kelakuannya yang kurang bagus. Sang Katung Maralah diangkat menjadi penguasa di Pelesawi (rahiyangtang Pelesawi), dan berkuasa selama 122 tahun karena kelakuannya yang terpuji / baik.
Sang Sandanggreba diangkat menjadi penguasa di Rawunglangit (Rahiangtang Rawunglangit), dan berkuasa selama 60 tahun
    

BAB III PUTRA PUTRA SANG RAJA

Wretikandayun beristrikan Pwah Bungatak Mangalengale atau Manawati, dan setelah menjadi prameswari terkenal dengan nama Candraresmi. Dari perkawinannya ia kemudian mempunyai 3 putra, yang bernama: Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).

Rahiyang Sempak Waja
Rahiyang Semplak Waja, merupakan anak tertua Wretikandayun yang lahir tahun 620 M. Ia memilih menjadi resiguru (batara dangiang guru)  di Galunggung.

Kisah   Rahiyang Sempak Waja dimasa muda diceritakan agak romantis. Berawal dari rasa iba (kasihan)  Sang Resiguru dari Kendan terhadap Sempak Waja yang tidak punya istri. Sang Resi guru memerintahkan anaknya, Pwah Rababu yang terkenal sangat cantik, untuk menemui Sempak waja, karena dianggap sangat cocok untuk menjadi suaminya.

Konon karena kesaktiannya, Sang Resiguru ini mengubah ikat kepalanya (totopong) menjadi Jaralang Bodas. Dan jaralang Bodas itu mendekati Sempakwaja. Dalam hatinya Sempak Waja bertanya: “ Mengapa ada Jaralang Bodas?” Karena itu Sempak Waja kemudian mengambil penyumpit, terus mengejarnya untuk disumpit. Tetapi ketika ia terus mengejarnya malah menemukan wanita cantik yang bernama Pwah Rababu, yang sedang mandi di telaga Cendana. Kata Sempak Waja siapa yang sedang mandi itu. Ia kemudian samping (jarit) nya dileled ku sumpit dan kena. Ada teman Pwah rababu, yang bernama Pwah Aksari ketika melihat Sempak Waja kemudian melarikan diri ke hutan sekitarnya (tegalan). Dan Pwah Rababu oleh Sempak Waja kemudian dibawa ke Galunggung dan kemudian dijadikan istrinya.
Diceritakan bahwa Sempak Waja sangat mencintai istrinya (dipikasih), dan dari istrinya tersebut mempunyai 2 putra, yaitu Rahiyang Purbasora dan Rahiyang Demunawan.

Rahiyang Kidul
 Jantaka atau Rahiyang Kidul yag lahir tahun 622 M, memilih menjadi rrajaresi (batara hiyang buyut) di Denuk (sekarangg sekitar daerah Garut Selatan).

Rahiyang Mandiminyak
    Amara atau Rahiyang Mandiminyak merupakan anak bungsu Wretikandayun yang lahir tahun 624 M,  Ia diangkat menjadi putra mahkota, dan kemudian menjadi raja di Galuh menggantikan Wretikandayun setelah wafat.

BAB IV. SKANDAL YANG MENGGEMPARKAN ISTANA GALUH

Suatu waktu Rahiyang Mandiminyak yang merupakan putra mahkota Galuh, mengadakan pesta perjamuan (utsawakarma) di istana. Ia juga mengundang saudara-sudaranya, termasuk Semplak waja dan Jantaka. Yang mengundang adalah ayahnya (Wretikandayun), yang merupakan raja Galuh waktu itu. Sempakwaja tidak hadir karena sakit namun karena menganggap undangan ayahnya tersebut penting, maka ia diwakili oleh isterinya Pwah Rababu. Sementara Pwah Rababu pergi ke Galuh, keduan anaknyatinggal di Galunggung merawat ayahnya (sempak Waja).

Kehadiran Pwah Rababu yang cantik di Istana Galuh ternyata menerbitkan masalah. Pwah Rababu disamping parasnya yang sangat cantik juga ia terkenal sangat pandai menari. Dan ketika ia ikut menari di halaman istana (buruan ageung) sangat menggemparkan masyarakat, berduyun-duyunlah orang ntuk melihatnya, sehingga buruan ageung (halaman istana) sangat ramai. Hal ini membuat penasaran Sang Putra Mahkota. Dan ketika ia melihat wanita yang sangat cantik sekali maka tertarik, padahal mengetahui bahwa ia merupakan kakak iparnya.

Rahiyang Mandiminyak kemudian menyuruh patihnya untuk memaksa Pwah rababu untuk dibawa ke istanannya. Rahiyang Mandiminyak sangat mencintainya, hal ini mungkin juga sudah dipendam sejak dulu ketika kakaknya mendapatkan Pwah rababu yang terkenal sangat cantik. Rahiyang mandiminyak terkenal sebagai orang yang pandai merayu, Dan dengan paksaan maka dikhabarkan selama 4 hari terjadilah smarakarya (skandal asmara) antara Pwah Rababu, yang cantik itu, dengan adik iparnya, Rahiyang Mandiminyak.

Hasil skandal kedua manusia berlainan jenis itu adalah seorang anak laki-laki yang kemudian dinamakan Sena yang lahir pada tahun 661 M. Sena artinya sang salah, karena ia dilahirkan dari hubungan yang salah.

Istana Gempar
Skandal percintaan antara rahiyang mandiminyak dan Pwah rababu sangat menggemparkan istana galuH dan juga kerajaaN. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa tersebut, tetap akhirnya dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pwah Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung, dan  setelah lahir Sena harus dirawat oleh Mandiminyak sebagai pertanggungjawabannya.

Menyingkirkan Putra Mahkota
Untuk meredam gejolak, dan juga reputasi istana yang terkenal sebagai pusat keagamaan.  Mandiminyak selanjutnya disingkirkan secara halus dari keraton oleh ayahnya, Wretikandayun. Ia dikawinkan dengan Parwati anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga.

Dari perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha. Kelak setelah Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun 683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).

Pada tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah sampai tahun 742 M.

BAB VI SUKSESI GALUH

Rahiyang Mandiminyak menjadi raja kedua kerajaan Galuh, menggantikan ayahnya yang berkuasa selama 90 tahun. Rahiyang mandiminyak menjadi raja galuh pada tahun 702 M. Karena itu Rahiyang Mandiminyak  berkuasa di atas 2 negara, yaitu Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (di tataran Sunda). Sehingga  posisi Rahiyang Mandiminyak sangat kuat sekali, dan pada tahun  703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan. Karena itu kekuasaan Galuh sangatlah luas, yaitu dari timur sungai Citarum hingga ujung Galuh (Surabaya sekarang)


Mandiminyak berkuasa di tanah Galuh hanya 7 tahun, dari tahun 702 sampai 709 M. Pada tahun 709 M, Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Sena, anaknya dari Pwah Rababu. Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pwah Rababu, dan akhirnya Prabu Sena dikudeta oleh Prabu Purbasora.

(lanjut)

By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda & Islam
Asal  Hariang - Sumedang

Dari Berbagai Sumber di Internet.

Rabu, 20 Mei 2015

MAHARAJA PRABU LINGGABUANA, SANG PRABU WANGI

Oleh
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang

Pengantar

Meskipun ke-4 naskah sebelumnya belum selesai, yaitu: Ciung Wanara, Rakeyan Jamri (Maharaja Sanjaya) raja kedua Sunda-Galuh yang kemudian menjadi Pendiri kerajaan Mataram kuno (medang bumi mataram), Raden Wijaya, Jaka Susuruh Sunda, yang menjadi pendiri Majapahit, yang ke-4 Prabu Surawisesa. Dan yang ke-5, naskah yang dipersiapkan untuk cerita dalam film kolosal atau drama adalah tentang Prabu Lingga Buana, atau di kemudian hari terkenal dengan nama Prabu Wangi, karena ia telah menebarkan keharuman harga diri sebagai manusia dan bangsa. Maka dari pada itu selanjutnya di kerajaan Sunda ada nama raja terkenal dengan nama Prabu Siliwangi, yang artinya adalah Silih (pengganti) wangi (Prabu Wangi). Meskipun nantinya siapa sebenarnya yang mendapat gelar Prabu Siliwangi ((pengganti prabu Wangi yang membuat nama harum sunda).

Mungkin banyak yang belum begitu mengenal siapa sebenarnya Maharaja Prabu Lingga Buana tersebut termasuk orang sunda sendiri, padahal kita sering mendengar raja sunda yang gugur di Bubat, waktu perang melawan Patih gajah Mada dari Majapahit. Dengan demikian yang akan dibahas selanjutnya adalah Raja yang gugur di medan Bubat.

Banyak sejarah tentang Prabu Wangi ini yang belum diungkap ke publik, terutama dari sumber kuno yang hingga kinipun tidak pernah dipakai, karena masalah politik dan dominasi di negara kita ini. Tetapi dalam kisah Prabu Lingga Buana disini akan banyak menampilkan sejarah atau kisah yang diungkapkan oleh naskah kuno yang bernama Kidung sunda atau kidung sundayana, yang ditulis oleh sejarawan Bali, yang waktu itu ada di majapahit, ketika sama sama akan menghadiri acara pernikahan Hayam Wuruk, Raja dari majapahit dan Dyah Pitaloka putri dari kerjaan Sunda.

Prabu Linggabuana terkenal sebagai seorang yang perkasa. Naskah Wangsakerta melukiskan dirinya sebagai berikut: ” Di medan perang bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya  diperintah dan dijajah  orang lain.” Ia tidak merasa takut berhadapan dengan pasukan majapahit meskipun berada dikandang lawan (di daerah majapahit). Ia juga tidak merasa gentar meskipun pasukannya tidak dipersiapkan untuk berperang (ia membawa pasukan hanya untuk mengantar penganten), dan dalam jumlah yang sedikit, melawan pasukan Majapahit yang memang sudah dipersiapkan untuk berperang. Ia tidak gentar mengahadapi pasukan majapahit yang dipimpin  oleh Patih Gajah Mada  yang jumlahmya tidak terhitung.

Berbicara sejarah, di negeri ini dikembangkan suatu sistem sejarah yang dinamakan sejarah kekuasaan. Yang berarti bahwa sejarah yang dipelajari dan dikembangkan adalah sejarah yang sesuai dengan dokrin dokrin rezim kekuasaan. Jadi kebanyakan para ahli dan analis sejarah berawal dari dokrin dulu, baru dibuat wacana seolah olah bahwa yang benar adalah dokrin dokrin yang dikembangkan oleh rezim. Bagi kaum sejarawan murni sebenarnya hal ini dianggap sebagai “korupsi” dalam urusan sejarah. Karena sejarah dimanipulasi untuk kepentingan rezim kekuasaan. Bagi sejarawan yang terdokrinasi, bukti bukti sejarah atau sumber sumber sejarah lain seolah bukan merupakan hal yang terpenting dan harus dilindungi serta harus dilestarikan. Seolah masyarakat tidak pernah diberi tahu sejarah yang sebenarnya.


Harusnya masyarakat sejarah negeri ini mengembangkan suatu sikap yang berawal dari ungkapan informasi sedikit awal dari pencarian. Dengan logika sederhana, tidak mungkin bangsa ini selama ratusan tahun, tidak punya sejarah sama sekali. Apalagi dalam lingkupan ratusan tahun, seolah naif adanya. Dan penghargaan terhadap nenek moyang sepertinya tidak pernah ada sama sekali, karena itu segala sesuatu kalau perlu dimanipulasi, termasuk sejarah itu sendiri. 

Sayang memang kita mempunyai Naskah Naskah kiuno yang tersisa, tidak pernah dikaji di sekolah-sekolah. Tidak ada keseriusan dalam menterjemahkan. Padahal naskah-naskah tersebut merupakan warisan nenek moyang yang tersisa. Untuk mengetahui pun harus mencari sendiri, yang dialami oleh penulis pun demikian. Sebagai orang sunda di sekolah dari SD, SMP dan SMA, dan kuliah, tidak pernah sedikitpun diajarari tentang ada naskah yang bernama Carita parahiyangan, Naskhah Bujangga manik, apalagi naskah Kidung Sunda atau Kidung Sndayana, termasuk kitab sejarah yang kumplit seperti Naskah Wangsakerta. Kalau pararaton dan negarakertagama, mungkin pernah dengar, karena hubungannya dengan dokrin sejarah kekuasaan. Seolah bangsa tidak pernah menghargai hasil karya nenek moyang. Sangat beruntung memang bahwa naskah naskah yang asli ada di negeri orang ((belanda, inggris dan lain lain). Karena di negerinya sendiri tidak pernah ada penghargaan. Setidaknya dalam penterjemahann juga masih dilakukan perorangan, bukan melalui kebijakan negara.

Naskah Kidung Sunda atau naskah Kidung Sundayana, terjemahananya juga sangat sulit dicari, termasuk di internet, hanya penggalan-penggalan dan harus mengikuti analisis para sejarawan dokriner yang sudah disetting sebelumnya. Seolah tidak pernah ada kemauan untuk menterjemahkan kepada bahasa indonesia secara utuh. Termasuk  kitab atau naskah naskah yang lainnya, seperti Naskah wangsakerta, Pararaton, negara kertagama dan lainnya. 

Dan sangat disayangkan juga mengapa naskah wangsakerta tidak pernah diterjemahkan secara resmi dan menjadi kajian dalam sejarah. Padahal sudah begitu komplit dalam penyajian, dan lebih bergaya intelektual kini. Para pelajar negeri ini jangankan tahu isinya, namanya juga mungkin tidak pernah dengar (seperti yang dialami dulu). Sayang memang padahal jika dikaji setidaknya negeri ini tidak akan pernah berangkat dari nol terus menerus. Jadi aalangkah disayangkan seperti naskah Kidung Sundayana langsung dikatakan tidak masuk akal, karena tidak sesuai dengan pararaton dan negarakertagama yang lebih subyektif. Setidaknya Kidung Sundayana ditulis oleh sejarawann Bali yang tidak ada kedekatan dengan kerajaan Sunda seperti kerajaan Bali dengan Majapahit, yang begitu akrab. Jadi kemungkinan analisanya lebih obyektif, meskipun ada hal hal yang perlu diperdebatkan.

Tentang analisis yang berbeda dari para sejarawan, disanalah kelebihan penulisan sejarah. Karena sejarah jika ditulis oleh bangsa yang berbeda akan berbeda pula analisisnya. 


NASKAH

BAB I PAKUAN PAJAJARAN TAHUN 1339 MASEHI

Pada tahun 1339 M Sang Raja Sunda sangat bahagia ketika menyaksikan kelahiran sang bayi wanita, cucunya  yang sangat cantik. Sang raja tersebut tersebut kemudian memberi nama bayi tersebut dengan nama  Citraresmi.

Sang Raja yang berbahagia tersebut diatas bernama Maharaja Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa. Ia merupakan raja Kerajaan Sunda  yang berkuasa  dari tahun 1340 hingga tahun 1350 M. Dan anak wanita tersebut merupakan putri dari putra Mahkota, Pangeran Linggabuana.

Maharaja Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, dalam naskah Carita parahiyangan di sebut Sang Aki Kolot. Ia berkuasa di tanah Sunda dan galuh selama 10 tahun. Ia menggantikan menjadi raja menggantikan ayahnya Prabu Ajiguna Wisesa atau Sang Mokteng Kidding (yang hilang di kidding) yang berkuasa dari tahun 1333-1340 M. Sang Aki Kolot atau Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati.      Setelah meninggal, ia dikenal  dengan Salumah Ing  Taman, karena ia meninggal di Taman.
RagamulyaLuhur Prabawa atau sang aki kolot mempunyai adik yang bernama Prabu Suryadewata, yang diangkat menjadi raja Galuh. sang adik raja atau  Prabu Suryadewata inilah di kemudian hari yang menurunkan raja raja kerajaan Talaga.  Dan Prabu Suryadewata ini juga yang merupakan cikal bakal dari kerajaan Sumedang larang. Prabu Suryadewata sebelum kepindahan keraton Galuh ke Pakuan, menginstruksikan kepada Prabu Aji Putih untuk membangun kabuyutan di Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal kerajaan Sumedang larang.

Pada tahun 1350 M, Sang raja Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa meninggal dunia. Dan ia kemudian digantikan oleh anaknya pangeran Linggabuana. Sang Pangeran dinobatkan menjadi raja  pada  tanggal 14 bagian terang bulan palguna tahun 1272 Saka (22 Februari 1350 M), dengan nama penobatan Prabu Linggabuana Wisesa. 

Dalam melaksanakan pemerintahannya sehari hari Sang Raja  baru tersebut di bantu oleh adik iparnya, yang menjadi mangkubumi, yaitu Sang Bunisora yang bergelar Mangkubumi Saradipati.

Dalam naskah carita Parahiyangan Prabu Linggabuana hanya disebut Prabu Maharaja saja. Sebagai berikut: “....Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina. Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.......

Prabu Maharaja Linggabuana berprameswarikan Dewi Lara Linsing, darinya ia mempunyai 4 orang anak, tetapi anak kedua dan ketiganya meninggal pada usia 1 tahun. Anak pertamanya seorang wanita yang terkenal dalam sejarah, yaitu Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 M, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi, dan anak terakhirnya ( yang ke-empat) seorang laki-laki yang dikemudian hari menjadi raja yang sangat terkenal, yaitu Wastukencana yang lahir tahun 1348 M.


BAB II BEREDARNYA LUKISAN WANITA CANTIK DI MAJAPAHIT

Di ibukota majapahit, telah beredar lukisan seorang wanita cantik. Masyarakat ibukota Majapahit merasa kagum terhadap kecantikan wanita dalam lukisan  yang begitu sempurnanya. Seolah di seluruh negeri Majapahit tidak ada yang menandinginya. Lukisan tersebut adalah karya maestro waktu itu yang bernama Sungging Prabangkara, yang secara diam diam ia melukis Sang Putri Sunda ketika berkunjung ke Pakuan, ibukota kerajaan Sunda.

Sungging Prabangkara adalah Seorang seniman dan pelukis profesional, yang senang mengembara ke berbagai negeri untuk melukis berbagai hal yang menarik dari negeri negeri yang dikunjunginya. Ia tidak hanya melukis kecantikan putri sunda saja, tetapi banyak juga koleksinya tentang putri putri raja atau bangsawan di berbagai negeri yang ia kunjungi. Dan yang mendapat respon yang paling besar dari lukisannya adalah lukisan tentang putri sunda tersebut.

Tentang lukisan wanita cantik begitu terkenalnya. Banyak orang yang memperbicangkan bahwa wanita itu cocok untuk Sang Raja yang baru dilantik menjadi raja. Apalagi sang raja belum punya pasangan. Tidak hanya di masyarakat banyak, ternyata lukisan tersebut juga menjadi perbincangan yang hangat di kalangan istana majapahit. Sejumlah pangeran banyak yang begitu mengaguminya, termasuk Sang raja Muda Majapahit, yaitu Hayam Wuruk, yang waktu itu masih bujangan.

 Melihat lukisan tersebut seolah memberikan jawaban tentang angan angan sang raja untuk mempersunting seorang wanita yang cantik, yang ia rasakan belum ada yang cocok di lingkungan kerajaan Majapahit.  Padahal banyak bangsawan dan raja bawahan majapahit yang mengidolakan sang raja untuk menjadi menantu mereka. Dan hal ini juga sangat diharap oleh kaum mudi Majapahit dan putri putri bangsawan serta raja bawahan Majapahit. Tetapi seolah semua putri bangsawan dan raja bawahan tidak membuat Sang raja tertarik. Justru Sang Raja sangat mengidolakan lukisan karya maestro, Sungging Prabangkara tersebut.

Setelah menjadi raja, seolah Hayam Wuruk merasa ada yang kurang dalam dirinya. Ia begitu merindukan sosok pendamping yang ia idolakan. Seolah tidak ada yang menarik hatinya di sekitar istana Majapahit. Dan hal ini seolah mendapat jawaban dari karya sang pelukis tersebut.

Karena itu ia mengutus para mentrinya untuk mendatangkan sang pelukis ke istana. Apakah memang benar benar lukisannya itu nyata, atau hanya khayalan sang pelukis belaka. Sang pelukis meyakinkan bahwa memang benar adanya. Menurutnya, ia telah mengembara ke berbagai negeri, dan ia begitu terpesona tentang kecantikan Diah Pitaloka, putri Sang Raja Sunda yang begitu cantiknya, sehingga ia melukisnya.


Mendengar penjelasan dari sang pelukis, sang raja seolah ingin meyakinkan tentang kebenaran lukisan wanita tersebut. Maka sang raja kemudian mengutus pelukis istana, dan orang orang kepercayaannya sang raja untuk meyakinkannya. Disamping pelukis, orang kepercayaan yang diustus oleh sang raja terdiri dari 5 orang, yaitu:Gajah Enggon yang menjabat sbagai pimpinan utusan, Ma Panji Elam (sang Arya Rajapakrama), Pu Kapasa (stys suradhiraja), Pu Menur (sang Arya Wangsaprana), Pu Kapat (Sng arya Patipati).

Setelah utusan kembali ke Majapahit dan meaporkan tentang kebenaran Sang Putri Sunda yang cantik tiada taranya. Maka dengan persetujuan keluarganya, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada maharaja Linggabuan untuk meminang putri Sunda melalui perantara tuan Anepaken. Dan rombongan utusan kedua dipimpin oleh Patih Madu yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan dimana pesta perkawinan antara raja Hayam Wuruk dan putri akan dilangsungkan.

Setelah pinangan dari Haayam Wuruk diterima, akhirnya disepakati bersama bahwa Raja Linggabuana, permaisuri dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan Putri, sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibukota Majapahit.

Raja Sunda, Prabu Linggabuana adalah seorang ksatria, yang sangat menjunjung tinggi moral. Ia sangat mempercayai maksud dan tujuan Raja Majapahit untuk menjadikan putrinya menjadi istri raja majapahit tersebut. Tidak ada rasa takut, karena kelurusan hatinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa nantinya akan dikhianati justru sudah nyampai tujuan. 

Dan Sang Raja juga menerima pinangan karena untuk mempererat tali persaudaraan, karena pendiri Majapahit, atau kakek sang Raja Majapit tersebut adalah merupakan keturunan dari Raja Sunda. Dengan demikian dengan jauh dari rasa prasangka seolah persaudaraan turunan sedarah seolah akan dieratkan lagi dengan acara perkawinan di antara kedua negara.

Seperti telah diceritakan sebelumnya, bahwa Raden Wijaya adalah ketrunan dari Raja Sunda. Ayahnya  Pangeran Jayadarma, yang merupakan putra mahkota dari kerajaan Sunda meninggal akibat di racun, ketika Rade Wijaya masih kecil. Karena itu, ibunya yang berasal dari Singasari, meminta kembali pulang ke daerah asalnya, Singasari. pangeran jayadarma merupakan putra dari raja Prabu Darmasiksa.


Keberangkatan Rombongan Penganten ke Majapahit

Tentang rencana keberangkatan Sang raja ke Majapahit, pada awalnya ditentang oleh piak dewan kerajaan Sunda, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Kaarena menurut adat yang berlaku, tidak lazim pihak pengantin wanita datang ke pengantin laki-laki. Menurut mereka kemungkinan hal itu merupakan jebakan dari pihak majapahit yang saat itu ingin menguasai tanah sunda, karena dari beberapa peperangan seblumnya Majapahit pernah dikalahkan. 

Tetapi Sang Raja Linggabuana sangatlah berjiwa besar, apalagi bahwa pendiri Majapahit masih merupakan bangsawan Sunda. Dengan alasan silaturahmi untuk mempererat persaudaraan. Sebagai bangsa besar yang tidak pernah dikalahkan, seolah Sang Raja terlalu percaya diri akan kebaikan orang lain. Apalagi masih keturunan yang sama. Dan akhirnya iia memutuskan untuk berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur kedua negara tersebut.

Prabu Lingga Buana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima dan ditempatkan dipasanggrahan Bubat. Rombongan Sang raja disamping diikuti oleh oleh Prameswarinya, juga diikuti oleh pembesar Sunda lainnya.

Ajimumpung Gajah Mada

Mengetahui bahwa Raja sunda beserta rombongan tidak membawa senjata lengkap, karena bertujuan untuk mengantar sang penganten. Timbullah niatnya untuk untuk memamfaatkan kesempatan. Karena waktu itu kerajaan Sunda adalah salah satu negara terkuat di Jawa, untuk menyerang ke negaranya kemungkinan akan kalah seperti yang dialami sebelumnya (Kisah peperangan antara majapahit dengan Sunda, pernah terjadi seperti yang diungkapkan oleh salah seorang patih Sunda yang memaki Gajahmada (lihat Naskah Kidung Sundayana yang ditulis oleh orang Bali)).

Karena itu seolah kesempatan yang ditunggu tunggu justru datang sendiri. Karena itu seolah sudah disetting sbelumnya, bahwa kerajaan Sunda ditempatkan di pasanggarahan Bubat, karena jika terjadi peperangan akan mudah diserang di berbagai penjuru.

Gajah Mada juga memamfaatkan keberadaan raja sunda yang ada dekat pusat kerajaan Majapahit. Dengan demikian, jika terjadi pertempuranpun akan mudah mendatangkan seluruh pasukan Majapahit ke medan perang.
Etika dalam perang bukanlah budaya yang dikembangkan oleh Gajah Mada, menjunjung sikap ksatria juga bukanlah jiwa dari sang patih ini. Justru mengembangkan sikap Ajimumpung. Sikap mumpung Sang raja Sunda tidak bersenjata untuk perang. Karena itu ia dengan gagah beraninya membuat suatu kepustusan bahwa kedatangan sang Raja sunda ke tanah majapahit sebagai suatu tanda takluk kepada Majapahit. 

Tentu sikap Patih Gajah mada ini membuat Sang Raja Marah, dan karen itu ia mengutus sang Patih untuk menemui Patih Gajah Mada. Patih Sunda dengan gagah berani tanpa sedikitpun takut meski di negeri orang memaki maki Gajah Mada yang tidak mengembangkan sikap seorang ksatria, seperti yang diungkapkan dalam Naskah Kidung Sundayana.

Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.

“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kami ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti sama seperti dari Nusantara. Kami lain, kami orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.

Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”

Dari perkataan sang Patih Sunda ini,  (yang terdapat dalam Kidung Sundayana ini) kita jadi mengetahui, bahwa telah terjadi peperangan antara Majapahit dan kerajaan Sunda sebelumnya. Dimana pasukan Majapahit dikejar kejar dan diburu orang Jipang. Dan kemudian pasukan sunda kembali dan balatentara Majapahit Mundur. Kedua mentriMajapahit yang bernama Les dan Beleteng diparang dan mati. Pasukan Majapahit bubar dan melarikan diri, ada yang masuk ke jurang dan kena duri. Dimana mana pasukan majapahit merengek rengek minta dkasihani untuk hidup.


Sang Patih Sunda seolah tidak takut terhadap Gajah Mada meskipun mereka di daerah Majapahit. Cuma Dia menyayangkan  sikap Gajah Mada yang hianat, tidak sopan. Sehingga sang Patih mempertanyakan tentang ajaran yang dianut oleh sang patih, seolah tidak beragama dan tidak punya etika sebagai ksatria, yang senang menipu orang yang berbudi sahdu.


BAB II PERANG BUBAT

Sumber yang paling banyak menceritakan tentang perang Bubat adalah naskah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Dalam Kitab pararthon dikisahkan peristiwa Bubat terjadi padaa tahun saka 1257 atau 1357 M.

Dalam naskah-naskah kuno, yang dibuat pada masa majapahit, baik oleh para pujangga, tidak memasukan kerajaan sunda pada negara-negara nusantara. Kerajaan Sunda tidak pernah kalah perang melawan majapahit, bahkan dimungkinkan Majapahit  pernah mengalami kekalahan yang tragis, seperti apa yang diungkapkan oleh Patih Anepaken kepada Gajah Mada, naskah Kidung Sunda dari Bali menceritakan dengan jelas tentang itu.
Patih anepaken merupahan mahapatih Sunda yang mengikuti rombongan maharaja Linggabuana untuk mengantar putri ke Majapahit. Ia tidak merasa takut meskipun hanya diiringi oleh 300 pasukan untuk melawan ribuan yang dipersiapkan oleh Gajah Mada.
 Dari perkataan yang dikutip dalam kidung Sunda tersebut, maka ada beberapa kesimpulan:
Pertama Patih Anepaken ingin mengatakan bahwa kerajaan Sunda adalah kerajaan besar, yang tidak ada satu negarapun yang dapat menguasai Sunda, demikian juga Majapahit.
Kedua: Kritikannya terhadap moralitas Majapahit yang  mengambil kesempatan dalam kesempitan. Menantang perang kepada lawan yang tidak membawa senjata perang, dan dengan harapan persaudaraan (perkawinan).
Ketiga. Ingin mengingatkan bahwa tempo dulu ketika majapahit berperang dengan kerajaan Sunda, dengan kekalahan yang telak, dimana para mantrinya dengan meminta belas kasihan dari para prajurit Sunda.
Keempat: Gajah mada sangat mengetahui kehebatan kerajaan Sunda, karena tidak mungkin mengalahkan mereka, bahkan pernah kalah sebelumnya. Karena itu ia bagaikan mendapat durian runtuh ketika rombongan raja Sunda datang ke kandangnya dengan tidak bersenjata lengkap, karena hendak mengantar penganten, suatu kesempatan untuk  balas dendam.


Pahlawan Sunda Yang Gugur Dalam Perang Bubat
Dalam naskah Wangsakerta diceritakan bahwa para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, yaitu:
Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda,
Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya.
Rakeyan Tumenggung Larang Ageng
Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda)
Gempong Lotong
Sang Panji Melong Sakti
Ki Panghulu Sura
Rakeyan Mantri Saya
Rakeyan Rangga Kaweni
Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu)
Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali
Rakeyan Juru Siring
Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul)
Sang Mantri Patih Wirayuda
Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda)
Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan)
Ki Juru Wastra
Ki Mantri Sebrang Keling
Ki Mantri Supit Kelingking

Pengaruh Perang Bubat Terhadap Majapahit dan Gajah Mada

Perang bubat diyakini mengakibatkan akhir dari karir patih Gajah Mada. Ia dipersalahkan  karena peristiwa itu. Meskipun masih menjabat patih hingga beberapa tahun berikutnya, tetapi pamornya sangat menurun.

Dan perang Bubat ini membuat pamor dari Majapahit menurun drastis, dan dalam perkembangannya tidak terlalu lama majapahit hancur dan hilang seolah ditelan Bumi.

Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389 M, dan dimakamkan di Tayung (daerah Brebek Kediri sekarang). Ia digantikan oleh menantunya dan juga keponakannnya, Wikrawardhana, (suami dari anak perempuannya). Dan anaknya dari selirnya, Bhre Wirabhumi, diber kekuasaan di ujung Jawa timur. Dan dalam perkembangannya sering terjadi perang antara kedaton kulon (Wikramardhana) dan kedaton wetan (Bhre Wirabhumi), untuk memperebutkan keekuasaannya. Dengan demikian Setelah hayam Wuruk wilayah Majapahit hanyalah kekuasaan yang meliputi jawa tengah dan jawa timur.

Patih Gajah Mada meninggal pada tahun 1364 M (7 tahun setelah perang bubat).

Gelar Sang Prabu Wangi
Prabu wangi adalah nama gelar dari Prabu Linggabuana Wisesa. Karena ia telah berjasa dalam memelihara kehormatan kerajaan Sunda, yang tidak pernah ditaklukan.


Dalam cerita cerita lisan dalam tradisi sunda, sering banyak dibicarakan tentang raja yang bernama Siliwangi, yang berasal dari kata Silih (artinya pengganti) dan Wangi (yang artinya Harum , yang berasal dari Prabu Wangi). Jadi siliwangi adalah suatu gelar untuk raja setelah Prabu Wangi. Ada perselisihan tentang siapa sebenarnya Prabu Siliwangi tersebut. Ada yang mengatakan Prabu Wastukancana (anaknya) yang dianggap sebagai Prabu Siliwangi ini, karena dialah yang menggantikan ayahnya, ke-harum-annya dalam memerintah tanah sunda karena kecakapan dan prestasinya. Dan ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri baduga Maharaja Prabu jayadewata, karena mempersatukan kembali sunda galuh dalam satu kerajaan disamping kecakapannya dalam memerintah dan membuat rakyatnya makmur. Makanya ia sangat dikenang oleh rakyatnya, sehingga ia juga dikatakan Prabu Siliwangi. Entah mana yang benar, tetapi para sejarawan, kadang menulis Siliwangi I berarti itu Prabu Wastukancana. Dan jika menyebut nama Siliwangi II berarti Sri Baduga maharaja. Tentang siapa itu Prabu Siliwangi, tetapi yang jelas adalah bahwa nama nama raja yang berprestasi setelah Prabu wangi ini, kadang disebut sebagai Prabu Siliwangi.


BAB III SUKSESI DI TANAH SUNDA (1357 M)

 Mengetahui bahwa sang Raja Linggabuana gugur dalam peperangan, maka terjadi suksesi  di tanah Sunda. Karena Sang Pangeran Mahkota, yang bernama Wastukancana masih berusia  9 tahun, maka diangkatlah raja pendamping, yang merupakan adik ipar sang raja, yang waktu itu menjabat sebagai mangkubumi, yaitu mangkubumi Suradipati, atau kemudian terkenal dengan nama Prabu Bunisora,  dengan gelar penobatan Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.

Prabu Bunisora pada masa Prabu Linggabuana menjabat sebagai mangkubumi. Setelah menjadi raja dalam menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung mengambil jalan hidupnya sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang. Karena setelah ia menyerahkan kekuasaan pada wastukancana, ia menjadi pertapa dan resi di jampang.  Ia juga dikenal dengan nama  Prabu Kuda lalean. Dan dalam babad Panjalu disebut dengan nama Prabu Borosngora. Dan setelah meninggal ia dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Gegeromas, karena ia meninggal di Geger Omas.

Prabu Bunisora memerintah tanah sunda selam 14 tahun, dari tahun 1357 hingga tahun 1371 M. Setelah meninggal, tahta jatuh ke keponakannya dan sekaligus menantunya,  yaitu Prabu Wastukencana atau Prabu Anggalarang,  atau ada yang menyebut dengan nama Prabu Siliwangi 1.

Prabu Bunisora menikah dengan laksmiwati, dan mempunyai anak:
Yang pertama: Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang, yang kedua: Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di tatar sunda, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh, yang ketiga: Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh., dan yang ke-4: Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.

 Permintaan Maaf Dari hayam Wuruk
   Kekalahan sang raja Linggabuana  dalam perang Bubat bukan berarti kerajaan Sunda takluk. Raja Sunda yang baru, Bunisora menerima permintaan maaf  dari penguasa Majapahit, hayam Wuruk, yang mengutus utusan yang berasal dari Bali, seperti yang diungkapkan dalam naskah kidung sunda.

 Undang Undang  ” Larangan Estri ti Kaluaran”

   Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, maka Prabu Bunisora mengeluarkan peraturan yang kemudian dinamakan dengan Larangan estri ti kaluaran, yang melarang  mengawinkan seluruh anggota kerajaan dengan majapahit.



(Lanjut, kisah diatas belum selesai)

By Adeng Lukmantara
Peminat Sejarah Peradaban Asal Sumedang