Jumat, 03 April 2015

ENSIKLOPEDIA SUNDA DALAM KONSEP PERADABAN

Pengantar

Membaca dan membaca adalah pekerjaan sampingan yang menjadi wajib ditengah kesibukan sehari hari yang kadang tidak ada waktu jika kita tidak pernah menyempatkannya. Apalagi pekerjaan dalam bidang enggineering, terutama dalam bidang kontruksi, kadang seolah tiada hari tanpa ada waktu yang santai, karena target dan batas kontrak kerja, yang mengharuskan kerja lembur hingga malam hari. Seolah tidak ada ruang untuk membaca yang lain, apalagi menulis. 

Bagi orang yang sering beralasan tidak ada waktu, seolah memang tidak ada waktu untuk mencari pengetahuan yang lebih. Jangankan sibuk, ketika waktu santaipun seolah tidak ada waktu untuk berkreasi dalam bidang lain. Tapi bagi orang yang menyempatkan diri, sebenarnya tidak ada yang namanya tidak ada waktu, yang ada hanyalah bentuk kemalasan yang selalu dipertahankan. Jangankan menulis membacapun seolah enggan.

Setelah membaca, konon kita harus meninggalkan kesan, meninggalkan suatu bukti bahwa kita pernah membaca. Karena itu yang dibaca harus dirangkum, dan harus ditulis. Karena jika sudah ada rangkuman dalam bentuk tulisan berarti kita minimal telah membaca yang berkaitan dengan tema tersebut. Jadi jikapun ada masalah yang sama atau tema yang sama berarti kita tinggal menambahkan pada rangkuman yang telah ditulis sebelumnya. Jadi nanti kita akan menyimpulkan, dan membenarkan apa yang diungkapkan oleh seorang intelektual muslim klasik, bahwa tulislah yang ada dibenak kita, jika anda sudah menulis maka anda akan memepertanyakan tulisan yang anda tulis sebelumnya, bahwa tulisan anda tidaklah sempurna, berarti harus ada yang ditambah, berarti harus ada yang dibaca. Jadi proses menulis dan membaca nantinya seolah rangkaian yang tidak terputus.

Untuk membuat suatu tema yang menyangkut apa apa yang kita baca seolah sulit adanya. Dan untuk merangkum yang pernah kita baca dalam tema yang berbeda beda juga sangat sulit untuk memberikan judul. Dan untuk memudahkan dikemudian hari jika diperlukan untuk mencari sumber naskah yang kita perlukan, maka tulisan berbentuk ensiklopedia atau kamus seolah jalan pertama yang kita harus lakukan. Karena itu tulisan yang ditulis dalam tulisan ini di beri nama “Ensiklopedia Sunda Dalam Konteks Peradaban.” Karena rangkaian tulisan ini nantinya bermuara pada satu tema besar, yaitu peradaban Sunda.

Sering membaca jika tidak disertai membuat rangkuman dalam bentuk tulisan, seolah bagaikan kita pergi ke suatu kota tetapi tidak pernah ada dokumentasi berupa foto keberadaan kita disana. Seolah kadang keberadaan kita dipertanyakan. Jangankan detail yang globalpun dipertanyakan. Meskipun perumpamaan diatas tidak begitu  pas, tetapi bagaikan foto disuatu tempat, menunjukan bahwa itu bukti nyata bahwa kita pernah ke sana.

Dengan demikian, tulisan ini bagi kami bagaikan dokumentasi ketika kita pergi ke suatu daerah. Hal itu bisa sebagai kenangan, bisa juga sebagai sumber inspirasi jika kita akan membahas daerah yang kita kunjungi, dan lain sebagainya.

Jadi tulisan tentang ensiklopedia ini hanyalah rangkuman tulisan orang orang yang pernah dibaca tulisannya, dan sangat sayang jika tidak ada jejak, sebagai bentuk penghormatan kita terhadap upaya orang yang telah berpikir. Jika semakin banyak dibaca, semakin banyak dikutip maka mudah mudahan amal dari sang penulis akan mengalir meskipun mereka telah tiada.


Mudah mudahan dengan tulisan rangkuman ini, menjadi salah satu dari upaya mengungkap kembali wacana peradaban Sunda ke mainstream yang seharusnya. Yang nantinya akan menjadi tern pembahasan ke depan.


A

Ajiguna Wisesa, Prabu (mp. 1333 - 1340 M).
Prabu  Ajiguna Wisesa merrupakan raja kerajaan Sunda. Dalam Carita parahiyangan disebut hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang Hilang di Kidding). Prabu Ajigunawisesa, yang berkuasa di tanah Sunda (termasuk Galuh) selama 7 tahun dari tahun   1333 sampai dengan tahun 1340 M. Ia naik tahta menggantikan mertuanya Prabu Linggadewata. Atau Sang Mokteng Kikis (yang Hilang di Kikis). Ia memerintah berkedudukan di keraton Kawali selama 7 tahun
Ia naik tahta karena istrinya, Rimamelati, putri dari Prabu Linggadewata merupakan pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3 orang anak, yaitu:
·   Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot. Ia merupakan anak pertama, dan  kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda.Dewi Kiranasari merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon.
·   Prabu Suryadewata, merupakan anak ketiga atau anak bungsu. Ia diangkat  menjadi Raja (Ratu) Galuh. Prabu Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga.  Ia meninggal di Wararaja (hutan raja) ketika sedang berburu.
Prabu Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding atau dalam istilah carita parahiyang, “Nu hilang di Kidding”.
Anak Prabu Ajiguna Wisesa  yang ketiga yang bernama Prabu Suryadewata, yang diangkat menjadi Raja Galuh dianggap sebagai cika bakal kerajaan Talaga. Putra Suryadewata  yang bernama Suddhayasa, yang dikenal juga dengan nama Batara Gunung Picung atau batara gnung bitung dianggap menjadi cikal bakal kerajaan Talaga (Majalengka)
Batara Gunung Picung mendirikan kabataraan Gunungpicung di talaga. Kabataraan di Gunung Picung diyakini sebagai kekuasaan kebataraan setelah kebataraan tembong agung, di Sumedang berubah menjadi kerajaan Sumedang Larang.  Kekuasaan kabataraan gunung picung  dari Batara Gunung Picung kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu Talaga menjadi sebuah kerajaan.
Sebelumnya Prabu Suryadewata,  sebelum kepindahan keraton Galuh  ke Pakuan,  menginstruksikan kepada Prabu Aji putih untuk membangun kabataraan Tembong Agung. Kabataraan tembong agung ini dikemudian hari menjadi kerajaan Sumedang Larang.


Aki Tirem (W. 130 M)
Aki Tirem diangggap sebagai cikal bakal kerajaan Salakanagara, diwilayah Sunda. Sebelum menjadi kerajaan, wilayah salakanagara pada awalnya di perintah oleh penguasa setempat yang bernama Aki Tirem.
Aki Tirem atau lengkapnya Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya,  berkuasa di suatu kota yang bernama Pulosari. Aki Tirem menikahkan putrinya yang bernama Pohaci Larasati  dengan Dewawarman,  pangeran  yang berasal  dari Palawa di India kidul, yang kemudia menggantikannya.
Setelah aki Tirem meninggal  pada tahun 130 M, kekuasaannya kemudian diteuskan oleh menantunya, Dewawarman I, yang dinobatkan sebagai raja pertama salakanagara.


Amanat Galunggung
Amanat Galunggung adalah  nama yang diberikan untuk sekumpulan naskah  yang ditemukan di kabuyutan ciburuy, kabupaten Garut, dan merupakan salah satu naskah tertua di Nusantara. Naskah ini ditulis pada abad 15 M pada daun lontar dan daun nipah, menggunakan  bahasa dan aksara Sunda kuno. Naskah ini berisi nasehat mengenai etika dan budi pekerti Sunda, yang disampaikan Rakeyan Darmasiksa, raja Sunda ke-25, penguasa Galunggung, kepada putranya, Ragasuci (sang Lumahing Taman).
Nama “Amanat Galunggung” berasal dari filolog  Saleh Danasasmita, yang  turut mengjkaji naskah tersebut, kemudian turut mengompilasikan hasil kajiannya  dalam “Sewaka Darma, SanghyangSiskandang Karesian, Amanat Galunggung.” (1987)
Diantara isi dari naskah Amanat galunggung, adalah:
  • Harus  dijaga kemungkinan orang asing  dapat merebut  tanah kabuyutan (tanah yang disakralkan).
  • Barangsiapa yang dapat mendudukan Galunggung sebagai tanah yang  disakralkan akan  memperoleh kesaktian, unggul perangt,  berjaya dan mewariskan  kekayaan sampai turun temurun.
  • Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah  daripada putra raja yang tidak  mampu mempertahankan  tanah airnya.
  • Jangan memarahi orang yang tidak bersalah.
  • Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu  mempertahankan  tanah air pada zamannya.

Amanat Galunggung, Teks Naskah Bahasa Asli

Berikut ini adalah teks Amanat Galunggung dalam bahasa asli dari Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong Garut. Yang disadur (dicutat) dari tulisan Atja dan Saleh Danasasmita, Proyek Pengembangan Permuseuma Jawa Barat 1981.

Lembar Jilid verso
Awignam astu. Nihan tembey sakakala Rahyang Ba/n/nga, masa sya nyusuk na Pakwan makangaran Rahyangta Wuwus, ¹) maka
manak Maharaja Dewata, Maharaja Dewata maka manak Baduga Sanghyang, Baduga Sanghyang maka manak Prebu Sanghyang maka mank Sa(ng)
Lumahing rana, Sa(ng) Lumahing rana maka manak Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang (maka manak) Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kem-
bang maka manak Rekéyan Darmasiksa. Darmasiksa siya ngawarah anak öncu umpi cicip muning anggasa(nta)na (kulasantana) pretisantana wit wekas kulakadang…… ²)

I rekto
  sakabeh, nguniwéh sapilancökan, mulah pabwang³) pasalahan paksa, mulah paködöködö, asing ra(m)pes, cara purih, turutan mulah ködö di tinöng di maneh, isos-
 isökön carekna patikrama, jaga kita dek jaya prang ta(n)jor juritan tan alah kuréya, musuh ti dara(t) ti laut, ti barat ti timur sakuriling désa, musuh alit,
musuh ganal mu(ng)ku kahaja urang miprangkön si tepet, si bener,si duga,si twarasi, mulah sida döng kulakadang, mulah munuh tanpa dwasa, mulah
ngarampas tanpa dwasa, mulah midukaan tanpa dwasa, mulah nenget a(s)tri sama astri, mulah nenget hulun sama hulun, jaga dapetna pretapa dapetna pegengön sakti, bönangna (ku4) Sunda, Jawa, La(m)pung, Ba-

I verso
luk, banyaga nu dék ngarebutna kabuyutan na Galungung, asing iya nu mönangkön kabuyutan na Galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang, iya höb
nyéwana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama-resi5), lamun miprangköna kabuyutan na Galunggung, a(n)tuk na, kabuyutan,
awak urang na kabuyutan , nu löwih diparaspade, pahi döng na Galunggung, jaga bönangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung,
ku sakalian , muliyana kulit di jaryan, madan na rajaputra, antukna boning ku sakalaih, jaga rang a(ng)gos dihélwan, munuh tanpa dwasa, ngajwal tanpa dwasa, nguniwéh tan bakti di sang pandita di puhun di manéh, na carita boning ku sa-

II rekto
kalih ngaranya, na kabuyutan, jaga hamo isös di mullah di pamali di manéh, mulah kapuhan dina musuh ganal bala (boning) dila(n)can, musuh alit mwa boning ditambaan,
 jampé mwa matih, mangmang sasra tanpa guna, patula tawur tan mretyaksa ku padan ngalalwan sipat
galeng mgalalwan siksa nu kwalwat, kwaywa nguha di carék aki lawan buyut, upadina pa(n)day bösi panday omas, memen paraguna, hamba lawak, tani gusti,
lanang wadon, nguniwéh na raja puta – ködö di tinöng di manéh hamo ngadéngé carék i(n)dung lawan bapa, hamo ngadéngé carék na patikrama wwang ködöanakéh, upadina kadi tungtung halalang sategal kadi a(ng)gerna puncak ing gunung, sa-

II verso
pa ta wruh ri puncaknya, asing wruh iya ta wruh inya patingtiman, wruh di carék aki lawan buyut, marapan kita jaya prang höböl nyéwana, jaga kita miprangkön
si tepet si bener, si duga si twarasi, iya tuhu sirena janma (d)ina bwana iya kahidupanana urang sakabéh, iya pawindwan ngaranya kangken gunung panghiyangana urang, pi(n)dah
ka cibuntu ngaranya, pindah ka l(e)mah pamasarran , gosana wwang ngéyuhan kapanasan, jaga rampésna agama, hana kahuripana urang sakabeh, mulah kwaywa moha di
carékna kwalwat pun. Ujar Rekéyan Darmasiksa, ngawarah urang sakabéh, nyaraman Sa(ng) lumahing Taman, sya Rekéyan Darmasiksa, maka manak Sa(ng) Lumahing Taman, patemwan döng ti Darma-agung, aya mangsesya pa-

III rekto
temwan don ti sisima pun. Makangaran San Raja Purana, carek Sang Raja Purana, ah ra(m)pes6) carek dewata kami, sya Rekeyan Darmasiksa pun. Jaga di-
turutan ku na urang reya, marapan atis ikang desa, sang prabu enak alungguh, sang rama enak emangan, sang disi jaya prang, jaga isos di carek nu kwalyat, nga-
lalwakon agama nu nyusuk na Galunggung, marapan jaya pran jadyan tahun, hobol nyewana, jaga makeyana patikrama, paninggalna sya seda, jagat
daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu, haywa paalaala palungguhan, haywa paalaala pamonang, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka pada mulianya, ku ulah ku sabda, (ku) ambek,

III verso
si niti si nityagata, si aum, si hööh si karungrungan, ngalap kaswar semu guyu/ng/ téjah ambek guru 7) basa, dina uran sakabéh, tuha kalawan anwam, mulah
majar kwanta, mulah majar lak(s)ana, mulah madahkön pada janma, mulah sabda ngapus, iya pang jaya prang höböl nyewana ngaranya, urang ménak maka
rampés agama, haat héman dina janma, mana urang ka(n)del kulina, mana urang dipajarkön ména(k) ku na rama, carék na patikrama, na urang lanang wadwan, iya
tuwah iya tapa, iya tuwah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampés twah waya tapa, apana urang ku twah na mana bö(ng)har ku twah na mana waya tapa, na maka muji sakalih ja ku tapa, na muji manéh kéh ona-

IV rekto
m sugan ku ra(m)pés na twah mana bönghar, na maka nyösöl sakalih ja urang hantö tapa, nyösöl manéh kéh onam, sugan tu gwaréng na twah mana burungna
na tapa, hamwa karampes lamu(n) dipindaha(n) na twah, jaga dipéda ku sakalih, hamwa karampés na(m)bahan twah ja rang dipuji ku /suku/ sakalih, si cangcingan si langsi-
tan si paka, si rajön-lökön, si mwa-surahan si prenya, si paka maragwalragwal, purusa ém ét imöt rajön-lökön pakapradana, iya bisa ngaranya, titis bö(ng)har waya
tapa kitu tu rampes twah na ménak, jaga isös di carék nu kwalwat, di puhun di manéh, maluy swarga tka /t/ing kahyangan Batara Guru, lamun tepet bener di awak di manéh tu (u)cap na urang kahaja bwa-

IV verso
t si mumulan, si ngödöhan, si bantölö, dungkuk peruk, supenan, jangkelék, rahéké, mémélé,
bra/h/hélé, sélér twalér, hantiwalér, tan bria, kuciwa, rwahaka, jangjangka, juhara, hantö di kabisa, luhya mumulan , mo tö(ng)töing, manggahang, bara/ng/-
hual, nica mreswala, kumutuk pregutu, surahana, sewekeng, pwapwarosé, téréh kasimwatan, téréh kapidéngé ,mwa teteg di carék wahidan, sulit rusit, rawa-
ja papa, katang-katang di kalésa di kawah ma ku Sang Yamadipati, atma cumunduka ring ywaga tiga, mangrupa janma, maka jadi neluh, mulana mumulan sangkana réya kahayang, hantö di imah di maneh,7) ménta twah ka sakalih, ménta

V rekto
guna ka sakalih, hantö dibéré ksel hatinya, jadi nelu(h), pamalina iya dwakan iya jangjitan ngaranya, kajajadiyana na urang hiri paywagya di nu bener, na twah
ra(m)pés dina urang, agamani(ng) paré,ma(ng)sana jumarun, telu daun, ma(ng)sana dioywas, gedé paré, ma(ng)sana bulu irung, bökah, ta karah nunjuk lang/ng/it,
tanggah ta karah, kasép nangwa tu iya ngaranya, umösi ta karah lagu tu(ng)kul, harayhay asak, tak karah ca(n)d ukur, ngarasa maneh kaösi, aya si nu hayang,
daék tu make hurip na urang réya, agamaning paré pun. Lamun umisi tanggah, harayhay tanggah, asak tanggah, hapa ngarana, pahi döng ayöh ngarana, hantö alaönana, kitu tu agama dina urang réa; ngarasa manéh imah kaösi, löit kaö-

V verso 
si (da)yöh kaösi dipaké sikara dipaké simangké, dipaké hulangga, mwa kabita na paré téya kéna hantö alaönana, hantö turutanönana, na urang r(é) ya sarwa
döng ayöh ngawara ngarana, mwa karampés, jaga rang téoh twah, bwa tu höböl nyéwana pun. Lamun héman dinu karwalwat, jaga rang éwéan, jaga ngara(m)pas, jaga
ngasupkön hulun, ja rang midukaan, nanya ka nu karwalwat, mwa téo(h) sasab na agama pun, na sasana bwat kwalwat pun, Hana nguni hana mangké, tan hana
nguni tan hana mangké, aya ma böhöla aya tu ayöna, hantö ma böhöla hantö tu ayöna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna, (hana guna) hana ring demakan, tan hana

VI rekto 
guna tan hana ring demakan, galah dawa sinambung/ng/an tuna, galah cöndök tinug(e)lan tka, a(n)tukna karah na urang ngarasa manéh hantö tapa lalo tandang
marat nimur, ngalwa(r) ngidul réya kahayang, réya gösan mangkuk, bogoh pi(n)dah, réya agama, réya patingtiman, pipirakan, ider-ideran, bwaga di kuras hayang r(é)ya
hulun mu(ng)ku kasorang ja urang hanto tapa, salah paké urang ménak, na gusti, na panghulu, na wiku sakabéh salah paké, na raja sabwana salah paké,
böki awor-awur tanpa wastu ikang bwana, carék Rekéyan Darmasiksa surung réya gösan mangkuk höwöng kénéh mo réya éwé, surung pritapa soné, höwöng kénéh hatö tapa, mu(ng)ku kasorang ja urang hantö tapa, kéna hantö dika-

VI verso
bisa hantö dikarajöna, ja ku ngarasa man éh gwaréng twah karah dipi(n)dah/h/an ku  na urang hamo tu galah dawa sina(m)bungan tuna ngarana, nu pridana,
nu takut sapa, nurut dina ménak, di gusti panghulu, réya kabisa, prijnya, cangcingan, gapitan, iya galah cöndök tinugelan t(é)ka ngarana,
hatina tö 8)  burung/ng/ ön tapa kitu ma na urang pun. Ku na urang ala lwirna patanjala, pata ngarana cai, jala ngarana (a)pya, hantö ti 9) burung/ng/ ön tapa kita
lamuna bitan apwa teya, ongkoh-ongkwah dipilalwaön di manéh, gena(h) dina kagölisan, mulah kasimwatan, mulah kasiwöran ka nu miburung/ng/an tapa, mulah kapidéngé ku na carék gwaréng, ongkwah-onhkoh di pitinöng/ng/ön di manéh, iya ra(m)pes, iya gölis……..


¹) Gelar rahyangta digunakan dalam Carita Parahyangan, sedangkan tokoh yang      bersangkutan dalam naskah Cirebon disebut Rakryan Wuwus. Dengan demikian namanya bukan Rahyang Tawuwus, melainkan Rahyangta Wuwus.
²) Bagian ini rusak berat. Bila dibandingkan dengan kropak 630, mungkin tadinya berisi kata baraya.
³) Kata ini dalam Sunda modern menjadi pam(b)eng (berhalangan) dengan pergeseran arti. Kata pabwang berarti saling merintangi.
4) Lihat baris 3 !
5) Bukan sebutan ber-ayah kepada resi, melainkan rama (tetua desa) dan resi (pendeta).
6) Terjemahan yang disusun Pleyte hanya sampai di sini.
7) Kata guru di sini berarti berat seperti pada istilah guru-lagu (berat-ringan). Padanan  yang tepat dalam Bahasa Sunda modern ialah anteb (mantap).
7) Menurut Pleyte, sampai bagian inilah garapan K. F. Holle.
8) Jika dibandingkan dengan catatan 9) baris yang sama dan maksud kalimatnya, kemungkinan salah tulis atau salah baca; bagian ini lebih baik dibaca: “hantö piburungön tapa”.

 9) Sama dengan no 8) harus dibaca “hantö piburungön tapa”, pada baris 4 kedua, kita temukan kata miburungan tapa yang erat pertaliannya dengan piburungön tapa.


Amanat Galunggung, Teks Naskah Terjemahan Bahasa Indonesia

Berikut ini adalah teks terjemahan Amanat Galunggung dalam bahasa Indonesia dari Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong Garut. Yang disadur (dicutat) dari tulisan Atja dan Saleh Danasasmita, Proyek Pengembangan Permuseuma Jawa Barat 1981.

Lembar Jilid verso
 Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan1) Rahiyang Banga, ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan,2)bernama Rahingta Wuwus, maka (ia) berputera Maharaja Dewata berputera Baduga Sanghiyang, Baduga Sanghiyang berputera Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing rana3), Sang Lumahingrana berputera Sang Lumahing Winduraja, Sang Lumahing Winduraja berputera Sang Lumahing Tasikpanjang, Sang Lumahing Tasikpanjang  berputera Sang Lumahing Ujung Kembang, Sang Lumahing Ujung Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa. Darmasiksa, ia menasihati anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip(turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6), kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit wekas4) (turunan ke-9), sanak-saudara

I rekto
semuanya, demikian pula saudara-saudara kandung.
Jangan benterok (karena) berselisih maksud, jangan saling berkeras: hendaknya rukun (dalam) tingkah laku (dan) tujuan. Ikuti, jangan (hanya) berkeras pada keinginan diri sendiri (saja). Camkanlah ujar patikrama,5) bila kita ingin menang perang, selalu unggul berperang, tidak (akan) kalah oleh (musuh) yang banyak: musuh dari darat dari laut, dari barat dari timur di sekitar negeri; musuh halus, musuh kasar.
Jangan dengan sengaja kita memperebutkan: yang lurus. Yang benar, yang jujur, yang lurus hati. Jangan berjodoh dengan saudara, jangan membunuh yang tak berdosa, jangan merampas (milik) yang tak bersalah, jangan menyakiti yang tak bersalah; jangan saling curiga/sesali antara wanita/isteri, jangan saling curiga antara hamba dengan hamba.
Waspadalah. kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan, kekuasaan)6) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung, Ba-

I verso
luk, para pedagang (orang asing) yang akan merebut kabuyutan7) di Galunggung. Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama Berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi,8)
Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah9) kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih (sulit dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah dari pada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain.10)
Ikutilah terus (pantangan-pantangan) yang telah ditaati, (yaitu) membunuh (yang) tak berdosa, memarahi11) (yang) tak bersalah, demikian pula tidak berbakti kepada pendeta dan leluhur12) kita sendiri dalam peristiwa dapat direbutnya kabuyutan oleh orang lain13 )

II rekto
Hindarkan sikap tidak mengindahkan cegahan dan pantangan diri sendiri, jangan bingung menghadapi musuh ksar; lascar (musuh) dapat dilawan, sebaliknya musuh halus tidak dapat diobati. Jampi tidak akan mempan, sumpah (kutukan) seribu (kali) tak akan berguna, ibarat tawur (kurban) yang tidak terlaksana oleh perbuatan melampau batas (garis) pematang (aturan), mengabaikan aturan dari leluhur (orang tua), luput menyadari ucapan kakek dan buyut.
Bandingannya: pandai besi dengan pandai emas, dalang dengan penabuh gamelan, hamba dengan majikan, petani dengan pemilik tanah, laki-laki dengan perempuan, demikian pula raja dengan upeti (persembahan). Berkeras kepada keinginan sendiri tidak mendengar nasihat ibu dan bapak, tidak mengindahkan ajaran patikrama, itulah contoh orang yang keras kepala; ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegalan, ibarat tetapnya puncak gunung. Si-

II verso
Apa yang mengetahui puncaknya? Siapa pun yang mengetahuinya, ya tahulah akan ketentraman, tahu akan nasihat kakek dan buyut, agar kita unggul perang dan lama berjaya.
Janganlah kita memperebutkan (bertengkar) tentang: yang tepat (lurus), yang benar, yang jujur, yang lurus hati; ya sungguh-sungguh tenteram manusia di dunia, ya kehidupan kita semua, ya ketenteraman namanya ibarat gunung kahiyangan (bagi) kita, beralih ke telaga (bening) namanya, beralih ke tanah pusara, tempat orang berteduh dari kepanasan.
 Pelihara kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua, jangan luput atau bingung terhadap ajaran para leluhur (orang tua).
  (Itulah) ujar Rakeyan Darmasiksa, menasihati kita semua, mengajari Sang Lumahing Taman. Ia, Rakean Darmasiksa berputera Sang Lumahing Taman dan perkawinannya dengan wanita dari Darma Agung pernah ia pun me-

III rekto
nikah dengan orang desa. (Putranya) bernama Sang Raja Purana. Kata Sang Raja Purana, ah sempurna, sempurna ajaran ayahku suwargi,14)  dia Rakeyan Darmasiksa.
 Peliharalah agar tetap ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram seluruh negeri, raja tenteram bertahta, sang rama tenteram menghimpun bahan makanan,15)  sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung,16)  agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman,17)  lama berjaya panjang umur, sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi.      Dunia kemakmuran,18)  tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu. Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya,19)  sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalahlah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad:

III verso
yang bijaksana yang elalu berdasarkan kebenaran, yang bersifat hakiki,20) yang sungguh-sungguh,21) yang memikat hati,22) suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara. Bagi kita semua, tua dan muda, jangan berkata berteriak, jangan berkata menyindir-nyindir, jangan menjelekkan23) sesama orang, jangan berbicara mengada-ada,24) agar unggul perang dan lama berjaya namanya.
 Kita merasa senang,25) maka sempurnalah agama, kasih-sayang kepada sesama manusia, maka kita dianggap26) bangsawan,27) maka kita dikatakan orang mulia28) oleh sang rama.
 Menurut ajaran dalam patikrama, bagi kita, laki-laki dan perempuan, ya beramal ya bertapa; itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Ada pun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula dapat berhasil tapa kita. Maka orang lain akan memuji tapa kita,29) maka puji sajalah diri sendiri,

IV rekto
(katakan:) barangkali karena sempurna amal maka menjadi kaya. Bila disesali oleh orang lain karena kita tidak melakukan tapa, sesali sajalah diri sendiri, (katakan:) barangkali karena beramal buruk maka tapa kita menjadi batal. Percuma (tidak akan diterima) jika amal itu dihilangkan  (tidak dilakukan) karena takut dicela oleh yang lain; percuma kita menambah30) amal bila mengharapkan dipiji oleh orang lain. Sebab si cekatan, si terampil, si tulus-hati, si rajin-tekun, si tawakal, si bersemangat, perwira, cermat, teliti, rajin, tekun, penuh keutamaan,31) ya berkemampuan namanya, benar-benar32) kaya dan berhasil tapanya. Begitulah kesempurnaan amal orang mulia.
     Terus camkanlah ujar orang-orang tua, ujar leluhur kita sendiri (agar) masuk surga tiba di kahiyangan Batara Guru, bila kejujuran dan kebenaran ada pada diri kita sendiri. Itu dikatakan kita menyengaja (berbuat baik). Un-

IV verso
tuk si pemalas, si keras-kepala, si pandir, pemenung, pemalu, mudah tersinggung,33) lamban, kurang semangat, gemar tiduran,34) lengah, tidak tertib,35) mudah lupa, tak punya keberanian,36) kecewa, luar biasa, sok jago, juara (jagoan), (tetapi) tak berkepandaian, selalu mengeluh, malas, tidak bersungguh-sungguh, pembantah, penempelak, ) selalu berdusta, bersungut-sungut, menggertu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, ) mudah terpengaruh, mudah percaya kepada omongan orang(tanpa disaring dahulu), tidak teguh memegang amanat, ) sulit, rumit (mengesalkan) ) aib, nista.
Mayat-mayat pada lubang kawah (neraka) (dikuasai) oleh Sang Yamadipati. Arwah berdatangan dalam tiga periode, berupa manusia, maka jadi mengeluh, asal-mula jadi mengeluh (karena) malas pada hal banyak keinginan, tidak tersedia di rumahnya, meminta belas-kasihan kepada orang lain, meminta

V rekto
Kebajikan kepada orang lain. (Bila) tidak kesal hatinya, jadi mengeluh. Tercela, (karena yang demikian itu) ya seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Akibatnya kita mengiri akan keutamaan orang yang benar.
Ada pun amal yang sempurna pada diri kita (adalah) ilmu padi: pada saat bertunas (sebesar jarum), keluar daun (tiga daun), saat disiangi, tumbuh dewasa, keluar kuncup (seperti bulu hidung), mekar buah, ya menunjuk langit, ya menengadah; indah tampang41) namanya. Setelah berisi tiba saat42) mulai merunduk, menguning masak ya makin runduk, karena merasa diri telah berisi.
 Bila ada yang mau dan bersedia (berbuat) demikian, maka kehidupan orang banyak akan seperti peri-laku padi. Bila saatnya berisi (tetap) tengadah, saat menguning (tetap) tengadah, saat masak (tetap) tengadah, hampa namanya. Lain dengan yang disebut (padi) rebah-muda, sebab nihil hasilnya,43) Demikianlah peri-laku orang banyak; karena merasa rumah telah lengkap (terisi), lumbung telah teri-

V verso
si, negeri44) telah ramai isinya, dijadikankekayaan,45) dijadikan persediaan,46) dijadikan perhiasan.47) Tidak akan ada yang mengingini padi itu, karena tak dapat dipetik hasilnya, tak ada yang patut ditiru.
Maka orang banyak sama dengan rebah-muda namanya. Janganlah kita berwatak rendah,48) pasti tak akan lama hidup. Bila kita menyayangi orang-orang tua, hati-hatilah memilih istri, hati-hatilah memilih jodoh,49) hati-hatilah memilih hamba, agar jangan menyakiti hatinya.
Bertanyalah kepada orang-orang tua, (niscaya) tidak akan hina tersesat dari agama, yaitu hukum buatan leluhur. Ada dahulu ada sekarang,50) Tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada catangnya;51) ada jasa ada anugerah, tidak ada

VI rekto
jasa tidak akan ada anugerah. Galah panjang disambung batang,52) galah tusuk dipotong runcing.53)
Akhirnya malah, kita merasa tidak melakukan amal baik. Lalu berkelana, ke barat ke timur, ke utara ke selatan, banyak tempat tinggal (rumah), senang berpindah-pindah, banyak tanam-tanaman,54) banyak tempat peristirahatan, perhiasan perak,55) bertualang, senang (memelihara) ternak,56) ingin banyak hamba. Tidak akan terlaksana, karena kita tidak beramal (berkarya) baik.
Salah tindak para orang terkemuka, ya pemilik tanah, ya penguasa, ya pendeta, semuanya salah tindak,57) ya bahkan raja seluruh dunia salah tindak. Makin semrawut tanpa kepastian dunia ini. Kata Rakeyan Darmasiksa: urung memperoleh rumah banyak, lebih baik58) jangan beristri banyak; urung bertapa mencapai kesucian diri, lebih baik jangan bertapa.
Tak akan terlaksana, karena kita tidak berkarya, karena tidak memiliki

VI verso
keterampilan, tidak rajin, karena merasa diri berbakat buruk, malah lalu kita jauhi,59) percuma saja, (ibarat) galah panjang disambung batang namanya.
(Mereka) yang utama, yang takut akan kutukan, taat kepada orang-orang mulia, kepada pemilik tanah dan penguasa, banyak memiliki keterampilan, cerdas, cekatan, terampil, ya (ibarat) galah tusuk dipotong runcing namanya. Tidaklah mengurungkan (menyia-nyiakan) amal-baik mita bila demikian halnya.
Kita tiru wujud patanjala; pata berarti air, jala berarti sungai. Tidak akan sia-sia amal baik kita, bila (kita) meniru sungai itu. Terus tertuju60) kepada (alur) yang akan dilaluinya, senang akan keelokan, jangan mudah terpengaruh, jangan mempedulikan61) (hal-hal) yang akan menggagalkan amal-baik kita; jangan mendengarkan (memperhatikan) ucapan yang buruk, pusatkan perhatian kepada cita-cita (keinginan) sendiri. Ya sempurna, ya indah,....

 1)  Kata sakakala oleh Pleyte diterjemahkan dengan “overlivering omtrent de afstameling”           (ceritera turun-temurun tentang silsilah). Dalam prasasti-prasasti Subda, kata sakakala selalu dimaksudkan sebagai tanda peringatan bagi yang sudah wafat.
 2)  ” Masa sya nyusuk na Pakwan” oleh Pleyte diterjemahkan “toen hij Pakoean stchte” (ketika ia mendirikan Pakuan). Kata nyusuk berarti membuat susukan atau parit (biasanya untuk pertahanan kota). Pengertiannya sama dengan kata marigi dalam prasasti Kawali.
 3)  Kata sang lumahing umumnya berarti “yang dipusarakan di”. Sang Lumahing rana berarti yang gugur di medan perang. Pleyte menduga, tokoh ini adalah raja Sunda yang gugur di Bubat tahun 1357 yang disebutnya Prabu wangi.
 4)  Dalam kropak 630 disebut “putuh wekas” (= putus jejak/turunan).
 5)  Kata patikrama lebih baik tidak diterjemahkan, karena kata itu dapat berarti: adat, kebiasaan, tradisi, tata-tertib, sopan-santun, peraturan, undang-undang atau hukum keagamaan.
 6) Kata pretapa dapat berarti: sinar (kekuatan), cahaya, pancaran, perbawa, kemuliaan, kewibawaan, pengaruh, kuasa (lihat: Mardiwarsito).
7)  Kata kabuyutan pun lebih baik tidak diterjemahkan, sebab kata itu dapat berarti “tempat keramat”, “tempat suci” dengan fungsi yang berbeda-beda (kuburan leluhur, tempat pemujaan dan lain-lain).
 8) Istilah rama di sini berarti “tetua desa” (bukan ayah). Karena itu lebih baik tidak diterjemahkan.
9)   Kata awak dapat berarti badan atau kuasa.
10)  Tepatnya: nilai kulit lasun di tempat sampah menyamai rajaputra. Rajaputra dalam hal ini ialah Rakeyan Saunggalah yang kemudian disebut Prabu Ragasuci dan setelah wafat disebut Sang Lumahing Taman, putera Prabu Darmasiksa.
11)  Kata ngajwal berasal dari kata jwal (sangsekerta : jval) yang berarti: menyala, bersinar, merah-padam atau naik pitam.
12)  Kata puhun sebenarnya berarti pohon yang dalam hal ini berarti cakal-bagal atau leluhur. Sinonimnya ialah wiwitan (witwitan) yang sebenarnya juga berarti tumbuh-tumbuhan (wit = pohon).
13)  Kata sakalih dalam bahasa sunda dapat berarti yang lain atau sekalian (semuanya).
14)  Kata dewata dapat pula berarti suwargi atau almarhum.
15)  Bandingkan dengan catatan 18)! Diterjemahkan makan tidak tepat.
16)  Lihat tinjauan sejarah!
17)  Kata tahun di sini berarti: tumbuh-tumbuhan, tanaman, pohon.
18)  Kata daranan (sansekerta: dhara) menurut konteks kalimat harus diartikan bantuan bahan makanan (mcdonell). Kata kemakmuran lebih memadai.
19)  Rama, resi, dan prabu disebut tritangtu dibuana yang sama kedudukannya tetapi berbeda tugas. Ketiga-tiganya dianggap penjelmaan Mahapurusa.
20)  Kata aum dapat diterjemahkan dengan ya untuk menyeru Tuhan. Si aum adalah mereka yang senantiasa menyeru (mengingat) Tuhan. Juga berarti kebenaran atau kenyataan tertinggi (hakiki).
21)  Kata hööh berarti: ya, benar, sungguh-sungguh.
22)  Karungrungan = kasöndöhan , selalu dikerumuni orang karena sifatnya yang menyenangkan.
23)  Kata madahkön berasal dari kata adah (= adas) yang berarti buruk atau jelek; madahkön = memburukkan atau menjelekkan.
24)  Kata ngapus berasal dari kata apus = tali atau ikat. Angapus atau ngapus berarti mengikat atau membuat sajak.
25)  Kata menak adalah kontradiksi dari ma + inak yang berarti merasa enak atau senang. Kemudian digunakan pula untuk menyebut golongan masyarakat yang terhormat (dianggap enak hidupnya).
26)  Kata kandel dalam hal ini tidak berarti tebal, melainkan kaandel (dipercaya, dianggap, diandalkan).
27)  Rupa-rupanya, karena Pleyte dan Holle mengartikan kata kandel  itu dengan tebal,maka kata kulit muncul sebagai asosiasinya. Dilihat dari hubungan kalimat dan maknanya, perkataan kandel kulit (= tebal kulit) di sini tidaklah tepat, bahkan janggal. Sangat mungkin dalam naskah tertulis kulina (orang keturunan, bangsawan). Hal ini sejalan dengan kata menak pada frase berikutnya.
28)  Di sini kata menak berarti orang mulia, bangsawan.
29)  Dalam kropak 630, lembar X, dikatakan, bahwa memiliki keahlian dan mengerjakan profesi dengan sepenuh hati disebut tapa di nagara.
30)  Karena kata pindah di sini berarti hilang, maka “ na bah” seharusnya ditulis nambah (=menambah).
31)  Kata pakaprada berasal dari kata paka = perlu, muda, matang, lengkap, tulus hati, penuh, cukup) dan pradana = utama, pertama, terkemuka.
32)  Menurut Coolsma, kata titis di antaranya berarti meneran  (tepat) dan kona (kena).
33)  Dalam bahasa Sunda: delit atau pundungan.
34)  Maksudnya berbaring bermalas-malasan (sunda : gégéléhéan)
35)  Dalam bahasa Sunda sekarang: toleran atau oleran = tak pernah menyimpan atau meletakkan sesuatu pada tempatnya dan kemudian melupakannya.
36)  Kata bria ubahan dari wirya = keberanian, keperwiraan.
37)  Kata bara(ng)hual  berasal dari kata hual= suka mengungkit-ungkit kesalahan atau keburukan orang lain atau membalikkan perkataan seseorang.
38) Kata pwapwarose (sekarang: poporose) berarti berusaha keras memperoleh sesuatu dengan memaksakan diri.
39)  Kata wahidan berasal dari kata Sangsekerta vahita=amanat.
40)  Kata rusit dalam bahasa Sunda sekarang menjadi rujit=menjijikkan, mengesalkan karena banyak tingkah atau karena terlalu memilih-milih.
41)  Kata nangwa dalam Bahasa Sunda sekarang menjadi nango(h)=menjulurkan muka dengan dagu ditopang  sambil tidak berbuat atau memperhatikan sesuatu.
42)  Kata lagu di sini berarti waktu (lagu indit)=waktu berangkat).
43)  Padi yang ayöh (rebah) pada usia muda, masih dapat dipanen, sedangkan padi hampa (kalimat sebelumnya) nihil hasilnya.
44)  Kata dayöh diartikan negeri berdasarkan penjelasan dalam kropak 630 lembar XV mengenai isi yang dimaksud:”Desa ma ngaranya dayöh, na dayöh lamun kosong hantö turutanönana”
45)  Kata sikara berasal dari kata Sangsekerta svkara=kekayaan.
46)  Kata simangke berdasarkan konteks kalimat diartikan “untuknanti”.
47)  Mungkin sama dengan kata wulangga (gunung perhiasan). Perubahan wulangga menjadi hulangga dapat dibandingkan dengan perubahan kata Kawi wulanjar yang dalam Bahasa Sunda menjadi hulanjar.
48)  Kata teoh sinonim dengan kata landöh: arti umumnya ialah tempat atau tanah yang rendah. Dalam kamus Coolsma diartikan “onder, beneden” (bawah).
49)  Kata rampas di sini berarti jodoh atau pasang, seperti dalam kata sarampasan=sepasang, sejodoh atau satu setel.
50)  Kata mangke dapat berarti nanti atau sekarang.
51)  Tunggul=sisa bonhkot kayu bekas tebangan; catang=batang kayu yang sudah roboh.
52)  Kata tuna di sini ambilan dari kata Sangsekerta tunda=batang atau belalai.
53)  Kata teka juga ambilan dari kata Sangsekerta titka=runcing,meruncingkan. Kata cöndök dalam kropak 630 cedek (=sedek) yang berarti tusuk atau sodok.
Dalam kropak 630 (XII) terdapat ungkapan: Lamun urang daek dipuji makadyangganing galah dawa sinambungan tuna, rasa atoh ku pamuji; anggös ma dipake,….eta kangken galah dawa ta, eta kangken pare hapa ta ngarana”.
Maksudnya ialah perbuatan yang berlebihan sehingga menjadi sia-sia. Lawannya ialah “galah cedek tinugelan teka”.
54)  Kata agama (a=tidak+gama=pergi, bergerak) sebenarnya berarti sesuatu yang tidak bergerak atau tidak berubah. Menurut Macdonell, arti kata agama (a suku pertama pendek) adalah: “immovable, tree”.
55)  Kata pipirakan adalah jamak dari pirak perak (bukan cerai).
56)  Kata kuras sebenarnya dikhususkan kepada hewan kaki empat yang berkuku (hoofed four-footed animal). Ungkapan lesang kuras (tak pandai menyimpan rezeki) mula-mula dimaksudkan: seseorang yang ternaknya selalu lepas (kabur) seolah-olah licin kulitnya.
57)  Kata pake di sini sejalan penggunaannya dengan prasasti Kawali baris 8 dan 9 “pakena gawe rahayu”. Dalam Bahasa Sunda sekarang kira-kira sama dengan ungkapan pamake dalam arti adat dan perilaku. Untuk pemerintahan dapat diartikan kebijakan atau tindakan pemerintah.
58)  Kata höwöng dalam Bahasa Sunda sekarang menjadi löhöng=mendingan, lebih baik.
59)  Kata pindah di sini berarti menjauhkan diri (lihat Marsito!).
60)  Ongkoh-ongkwah (sekarang: ongkoh-ongkoh)=jongjon, tonggoy berarti tidak mempedulikan hal-hal lain karena tenggelam dalam hal yang sedang dihadapinya.

61)  Dalam Bahasa Sunda dialek bogor ada ungkapan kasiwer=teperhatikan atau sempat diperhatikan; siwor atau siwer berarti memperhatikan atau menyempatkan dir


Anggalarang, Prabu (mp. 1371-1475 M).
Prabu anggalarang  atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).
Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja.
Wastukancana berkembang menjadi seorang  raja yang seimbang, kebesaran budi pekertinya, seperti tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada prasastinya kawali, yaitu:Negara akan jaya dan unggul perang bila berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja harus selalu berbuatkebajikan (pakena gawe rahayu)”
Ayahnya, Prabu Linggabuana, yang  gugur dalam perang bubat, sebagai karena mempertahankan kehormatan sunda sebagai bangsa yang besar,  mendapat julukan Prabu wangi, sehingga dalam cerita Parahiyangan  disebutkan bahwa anaknya, Prabu  Niskala  Wastu kancana  adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi.
Wastukancana mempunyai 2 orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati), putri resi Susuk, penguasa Lampung, dan  Mayang sari, putri sulung  Prabu rahyang Bunisora.
Dari perkawinanya dengan Rara Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum.Sedang dari Mayangsari, putri sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana  mempunyai 4 orang putra. Yang sulung,  bernama Ningrat Kancana yang naik tahta  Kawali (Galuh) dan bergelar Prabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang ketiga  Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa
Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).

Arya Kedaton (mp. 891-895 M)
Arya Kedathan merupakan raja kerajaan sunda, setelah Rakeyan Wuwus. Arya kedaton bergelar Prabu Darmaraksa Salakabuana.berasal dari istana Galuh, naik tahta Sunda, menggantikan kakak iparnya, Rakeyan Wuwus yang meninggal dunia. Ia naik tahta degan merebut kekuasaan dari putra mahkota Batara Danghiyang Guruwisuda.
Selama berkuasa ia  tidak disenangi oleh pembesar istana SundaBaru empat tahun memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda. Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan Windusakti, dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik tahta pada tahun 895 Masehi.

Ayatrohaedi (1939-2006 M)
Salah seorang penulis sejarah dan penterjemah peradaban sunda.Ia termasuk salah satu dari 3 orang yang berjasa dalam mengungkap tuisan sejarah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta, disampng Saleh Danasasmita dan Yoseph Iskandar tahun1980-an.
Ia lahir di Jatiwangi Majalengka pada 5 desember 1939 dan meninggal di Sukabumi pada 18 februari 2006.  Setelah lulus dari sekolah menengah, tahun 1959 ia melanjutkan ke fakultas sastra jurusan ilmu Purbakala dan Sejarah kuna indonesia (sekarang arkeologi). Dan pada tahun 1964 M, ia bekerja di Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Mojokerto. Pernah mengajar di Fakultas sastra Unpad Bandung (selama 5 tahun), kemudian kembali ke fakultas sastra UI, pada tahun 1983-1987 menjabat sebagai ketua jurusan Arkeologi, pembantu dekan bidang akademik (1999-2000), pembantu rektor IKJ (institut kesenian jakarta0 (1989-19940).
Pada tahun 1978  ia meraih gelar doktor  dari UI  dengan disertasi berjudul “Bahasa Sunda di Daerah Cirebon , sebagai Kajian Lokabasa”. Dan disertasi ini dianggap sebagai disertasi pertama mengenai dialektologi di asia tenggara.


B
Babad Pajajaran

 Babad Pajajaran ditulis di Sumedang pada tahun 1816 M, pada masa  Pangeran Kornel.

Bagawat Resi Makandria
Bagawat Resi Makandria, adalah mertua dari Wretikandayun, sang pendiri kerajaan Galuh. Keberadaan Bagawat Resi Makandria ini diceritakan dalam Naskah Carita Parahiyangan.
Resi Makandria terkenal sebagai resi yang sangat alim, ia sejak muda menjalani hidup sebagai resi denga banyak bertapa. Karena tingkat keilmuannya yang sangat tinggi, dalam naskah ini diceritakan bahwa ia mengerti perbincangan sepasang burung yang higgap di atas pertapaannya.
Pada suatu hari ada sepasang burung jantan dan betina yang bersarang di atas pertapaannya. Burung tersebut dinamakan “Si Uwur Uwur” atau “Si Naragati”. Si burung betina tersebut mempunyai anak, tetapi kemudian dimakan oleh jantannya. Maka sag betina itu marah kepada burung jantannya: “Alangkah hinannya jika kita tidak mempunyai anak itu. Lihatlah Bagawat Resi Makndria, bertapa itu karena sengsara sebab tidak mempunyai anak”. Mendengar percakapan burung si uwur uwur tersebut, maka berkatalah Bagawat Resi Makandria:” Bagaimana akan punya anak, kawin juga tidak.”
Mendengar dari percakapan tersebut, maka Bagawat Resi Makandria kemudian menghentikan pertapaannya, dan bertekad menemui Sang Resi Guru manikmaya di Kendan untuk memiinta jodoh. Setelah menghadap Sang resi Guru, ia kemudian menceritakan tentang perbincangan burung yang bernama Si Uwur Uwur, bahwa alangkah hinanya jika tidak mempunyai anak. Maka Resi Makandria menceritakan tentang maksud kedatangannya untuk minta jodoh ke Sang Resi Guru.
Sang Resi Guru kemudian menjodohkan Bagawat Resi Makandria dengan anaknya, Pwah Rababu. Dan menyuruh Bagawat Resi makandrai untuk kembali ke pertapaannya, dan calon istrinya, Pwah rababu akan menyusu kemudian. Singkat cerita, Resi Makandria ini mempunyai anak perempuan yang bernama Pwah Bungatak Mangalengale.  

Dari kisah ini kemungkinan penulis ingin menekankan tentang pentingnya regenerasi atau keturunan sebagai suatu upaya untuk kesinambungan peradaban suatu bangsa. 
Tentang kisah  Bagawat Resi Makandria ini dalam Naskah Carita Parahiyangan, sebagai berikut:

Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek bikangna: “Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh
Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak.”
Carek Bagawat Resi Makandria: “Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu.”
Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: “Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka
Kendan.”
Manehna datang ka Kendan.
Carek Sang resi Guru: “Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak datang ka dieu?” “Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati.
Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak.”
Carek Sang resi Guru: “Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu
geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh,
anaking.”
Pwah Rababu terus nyusul, dating ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku   rabi.
Kabireungeuheun aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat Rasi Makandria ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama.
Carek Sang Resi Guru: “Enten, anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung.”
Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir Pwah Bungatak
Mangalengale.

Banten
Banten sekarang ini merupakan sebuah propinsi di Indonesia. Banten pada masa kerajaan Sunda merupakan pelabuhan terbesar (lebih besar dri Sunda kalapa (jakarta). Di era Islam, banten disamping menjadi nama kesultanan, juga merupakan pusat peradaban Islam di wilayah barat pasundan.
Kehancuran banten  diyakini sebagai akibat dari  perang dengan Belanda pad tahun 1813 dan 1832 M, dan  yang lebih tragis lagi karena terjangan tsunawi akibat meletusnya gunung karakatau pada 27 Agustus 1883 M.
Ledakan  gunung krakatau  pada tahun 1883 M, diungkapkan ole Simon Winchester, daam bukunya: ” Krakatoa: The Day the world  exploded august 27, 1883.” Dalam buku itu ia mengungkapkan  bahwa ledakan  hebat dan meletusnya  gunung krakatau  pada 27 agustus 1883, yang disusul tsunami, membunuh hampir 40.000 orang di pulau jawa dan Sumatra. Mayat-mayat korban dibawa ombak hingga Zanzibar, dan dampaknya terasa hingga prancis. Ia juga menulis bahwa ledakan krakaatau  menimbulkan  banyak perubahan social, ekonomi, dan politik. Ia membantu memicu militansi para petani jawa terhadap orang belanda.
  
Brajawisesa, Prabu (mp. 989-1012 M)
Prabu Brajawisesa atau Rakeyan Gendang  naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan wulung gadung atau prabu Jayagiri, yang berkuasa selama 23 tahun..
Rakeyan Gendang mempunyai 2 orang anak, yaitu: Prabu Dewa sanghiyang yang dikemudian hari menggantikan ayahnya menjadi raja sunda, dan Dewi Rukmawati, dinikahi oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, penguasa (raja) kerjaan Galuh yang bertahta pada tahun 988-1012 M
Setelah meninggal, ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)

Bujangga Manik. 
Bujangga manik adalah seorang Pangeran dari kerajaan Pajajaran, yang bernama Prabu Jaya pakuan, yang mengambil jalan hidup sebagai pendeta. Ia melakukan perjalanan 2 kali ke wilayah timur (jawa dan bali). Ia menulis kisah perjalanannya yang kemudian dinamai Naskah Bujangga Manik. Kisah perjalanannya dari tanah Sunda ke Bali telah begitu banyak menceritakan nama tempat, nama sungai dan keadaan masyarakat dizamannya. Meskipun tidak terlalu detail, tetapi kisah perjalanannya ini banyak memberikan keterangan yang bermamfaat dalam hubungannya dengan upaya mengungkap peradaban di indonesia di zamannya,
Naskah bujangga  Manik merupakan salah satu  naskah primer peradaban Sunda yang ada hingga kini. Naskah ini ditulis pada daun palma (lontar) dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno, dan dipekiraan ditulis pada abad ke-15 M. Manuskrip itu kini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, England.  Sejak tahun 1627, naskah tersebut menjadi koleksi Perpustakaan Bodlelan, Oxford University. tersebut.
Bujangga  Manik atau nama aslinya Prabu Jaya Pakuan  adalah seorang pangeran kerajaan Sunda (bergelar Prabu karena masih kerabat raja) yang kemudian mengambil jalan hidup sebagai pendeta. Dalam tulisannya ia mengambil nama Bujangga Manik. Dan ia juga menamakan dirinya dengan nama "Ameng Layaran" (petualang yang berlayar) setelah kisah perjalanan pertamanya.
Ia melakukan pengembaraan dalam upaya untuk mempelajari  dan memperdalam agama yang diyakininya, sehingga ia hidup membujang hingga akhir hayatnya.
Bujangga Manik merupakan seorang intelektual mumpuni dizamannya, ia  mengetahui isi kitab-kitab, mengenal  susunan buku buku, mengetahuai hukum dan nasehat-nasehat, dan mengenal sanghyang darma, serta menguasai bahasa jawa. Ia juga dikenal sebagai pemahat patung dan ahli bangunan. Di beberapa tempat ia memahat patung, dan merenovasi kembali kabuyutan / tempat suci yang sudah terbengkalai, dan membangun beberapa bangunan baik untuk tempat tinggalnya maupun tempat pertapaanya.
Ia juga terkenal sebagai ahli geografi yang mumpuni di zamannya. Ia telah  menyajikan catatan perjalanan yang mengandung data topografis yang terperinci dan akurat. Dalam tulisannya, “Bujangga Manik’s Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source (Perjalanan Bujangga Manik menyusuri Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuna)” Noordyn, seorang peneliti asal Belanda menemukan sedikitnya 450 nama tempat (termasuk nama gunung dan sungai) dalam naskah Bujangga Manik, yang sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa.
Dalam sastra tulisannya menunjukan bahwa dia merupakan seorang sastrawan yang hebat. Naskah Bujangga Manik, berstruktur puisi dengan delapan suku kata, berbahasa Sunda Kuna, dan panjangnya mencapai sekitar 1.758 baris. Bujangga Manik mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis. Sebagaimana yang diteliti oleh Teeuw, seorang penelitti asal belanda,  dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan pola persajakan yang menawan.
Disamping ilmunya yang mumpuni. Bujangga manik terkenal karena ketampanannya, Tentang ketampanannya, sangat mempesonakan pembantu putri raja, yang bernama Jompong Larang. karena itu Jompong Larang kemudian berkeinginan untuk menjodohkan Bujangga Manik dengan putri raja, yang bernama Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana” .
Jompong larang berkata kepada putri raja  sebagai berikut:

“......nama laki-laki itu Ameng Layaran,
seorang laki-laki yang sangat tampan,
lebih tampan dari Banyak Catra,
lebih tampan dari Silih Wangi,
bahkan lebih tampan dari keponakan Putri.
Ia tinggi dan sangat diidam-idamkan,
laki-laki untuk dipeluk dan dibelai di beranda,
untuk ditimang-timang di ranjang,
ditimbang oleh peraturan,
untuk dirangkul di ruang tidur.
Selain itu ia bisa bahasa Jawa,
mengetahui isi dari kitab-kitab,
mengenal susunan buku-buku,
mengetahui hukum dan nasihat-nasihat,
mengenal sanghyang darma........”

Dari ungkapan tersebut diatas, bahwa Bujangga Manik  terkenal sangat tampan (ganteng). Sehingga Jompong Larang membandingkannya dengan orang yang tampan ditanah sunda baik sebelum dan sesudahnya. Jompong larang membandingkan dengan ketampanan Banyak Catra, dan Siliwangi. Dan ia juga membandingkan ketampanan keponakan putri raja, yang juga terkenal tampan.
Dari kisah ini sangat jelas bahwa Siliwangi merupakan raja yang telah berkuasa sebelum Bujangga Manik.  Jadi jelas bahwa Siliwangi merupakan raja, bukan gelar raja-raja pajajaran, tetapi gelar raja, yang kemungkinan besar nama gelar bagi maharaja Angalarang (Wastukancana) anak dari Prabu Wangi yang gugur di Bubat, tentang ketampanan “Banyak Catra”, belum ada sejarah yang mengungkap siapa dia sebenarnya? Dan siapa juga keponakan sang putri yang terkenal tampan juga?
Dari tulisannya, karya Bujangga Manik ini diyakini ditulis pada abad ke-15 Masehi., dan sebelum Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M. Pada masanya sudah dikenal Demak, kemungkinan baru berdiri, dan  Majapahit masih tetap berdiri.. Cirebon tidak diceritakan sama sekali, kemungkinan belum begitu dikenal waktu itul, dan Sumedang  Larang masih dikenal dengan nama Medang Kahiyangan.
Tentang penguasa atau raja sunda yang berkuasa dizamannya tidak diceritakan dalam tulisannya, tetapi ia sezaman dengan putri raja yang bernama “ Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana”, yang akan dijodohkan dengannya, tetapi ia menolak karena mau mengambil jalan hidup sebagai seorang pendeta.
Bujangga manik hidup setelah era raja Siliwangi. karena dalam tulisanna menunjukan perbandingan dengan Siliwangi, karena itu ia hidup bukan di era Raja Siliwangi. Dan kemungkinan raja Siliwangi merupakan gelar dari Prabu Anggalarang (Prabu Wastukanana). Karena ia merupakan pengganti (silih) prabu Wangi yang meninggal di medan pertempuran Bubat.
Dari tulisannya juga menandai bahwa Pajajaran waktu itu sangat tenang dan tentram, karena tidak ada perselisihan, sehingga Bujangga Manik tidak pernah menulis tentang ketidaknyamanan di pajajaran (kerajaan sunda).

Bunisora, Prabu  (mp. 1357-1371 M)
Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.  Ia menggantikan tahta sunda, karena putra mahkota (putra Prabu Linggabuana), Wastukencana, masih kecil (unur 9 tahun). Ia memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp. 1357-1371 M) dengan gelar Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.
Pada masa pemerintahan  Prabu Linggabuana, ia menjabat sebagai patih mangkubumi, dan menggantikan kedudukan raja, ketika Linggabuana gugur. Dalam menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung mengambil jalan hidupnya sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang. Karena setelah ia menyerahkan kekuasaan pada wastukancana, ia menjadi pertapa dan resi di jampang.
Kekalahan sang raja Linggabuana  dalam perang Bubat bukan berarti kerajaan Sunda takluk. Raja Sunda yang baru, Bunisora menerima permintaan maaf  dari penguasa Majapahit, hayam Wuruk, yang mengutus utusan yang berasal dari Bali, seperti yang diungkapkan dalam naskah kidung sunda. Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, maka Prabu Bunisora mengeluarkan peraturan yang kemudian dinamakan dengan Larangan estri ti kaluaran, yang melarang  mengawinkan seluruh anggota kerajaan dengan majapahit.
Prabu Bunisora dikenal dengan nama  Prabu Kuda lalean. Dan dalam babad Panjalu disebut dengan nama Prabu Borosngora. Dan setelah meninggal ia dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Gegeromas, karena ia meninggal di Geger Omas.
Dari perkawinannya dengan permaisuri Laksmiwati, Ia mempunyai anak, yaitu: Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang, Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di tatar sunda, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh, Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah GaluhMayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.
Setelah meninggal, tahta jatuh ke keponakannya dan sekaligus menantunya,  yaitu Prabu Wastukencana atau Prabu Anggalarang,  atau ada yang menyebut dengan nama Prabu Siliwangi 1.

C
Candi Bojongmenje
Ketika  candi  bojong menje di Rancaekek tergali, arkeolog mengatakan bahwa arsitektur  candi bojong menje sama persis dengan candi-candi yang ada di peguungan Dieng, tetapi usia candi bojong menje lebih tua. Tetapi penelitian  berhenti hingga kini.
Tentang kemiripan  antara Bojong menje dan candi  dieng hal ini dimungkinkan  karena merupakan ciri dari candi sunda, yang dibuat dari nenek moyang yang sama, yaitu kerajaan Kendan dan juga Galuh, yaitu Prabu Sena, putra Prabu mandiminyak  dari galuh. Setelah dikudeta oleh Prabu Purbasora ia kemudian melarikan diri ke wilayah timur kesekitar gunung dieng. Disini ia menikahi Sannaha putri dari raja mataram kuno, dan kemudian Sena menjadi raja di mataram kuno (mp. 716-732 M). Karena Sena beragama Hindu dan di tanah kelahirannya (Galuh)  membuat candi  hindu kurang mendapat  dukungan pemerintah (seperti diketahui bahwa hindu di sunda  tidak dominan dan tidak jadi agama negara). Senna kemudian membangun candi di pegunungan dieng, yang hampir sama dengan yang ada di nenek moyangnya, Galuh dan Kendan.


Candrawarman (mp. 515-535 M)
 Merupakan penguasa ke-6 Tarumanagara, menggantikan ayahnya, Indrawarman, dengan gelar Sri Maharaja Chandrawarman Sang Hariwangsa Purusasakti Suralagawageng Paramartha, yang bertahta dari tahun 515-535 M.
Pada masanya menurut naskah Wangsakerta  (pustaka Jayadhipa), banyak memberikan keleluasaan penguasa daerah dalam mengelola daerahnya (otonomi).  Pada masa Candrawarman ini banyak penguasa yang menerima kekuasaanya didaerahnya sendiri karena kesetiaanya kepada Tarumanagara. 
 Candrawaran kemudian digantikan oleh anaknya, Suryawarman.

 Carita Parahiyangan
Carita Parahiyangan merupakan suatu naskah Sunda kuno yang berbahasa Sunda kuno, yang dibuat pada akhir abad ke-16 M, yang menceritakan sejarah tanah sunda, mengenai kerajaan Sunda, yaitu isatana (keraton) galuh dan istana (keraton) pakuan. Naskah ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Naskah Carita Parahiyangan terdiri dari  47 lembar  daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang tiap lembarnya berisi 4 baris. Huruf yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda kuno.
Naskah ini pertama kali diteliti oleh K.F. Holle, kemudian C.M Pleyte. Naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia  oleh Purbacaraka sebagai tambahan laporan mengenai u Tulis dibogor, dan selanjutnya oleh beberapa sarjana sunda.
Naskah Carita Parahiyangan ini menceritakan  sejarah sunda dari awal kerajaan Galuh  pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota kerajaan Sunda) akibat serangan kesultanan Banten, Cirebon dan Demak.
Naskah parahiyangan ini banyak sekali menyebut  nama tempat yang merupakan kekuasaan kerajaan Sunda. Nama-nama tempat ini ada yang tetap hingga kini.


Carita Purnawijaya
Carita Purnawijaya merupakan karya sastra Sunda yang menceritakan tentang perjalanan Purnawijaya ke Neraka.
Purnawijaya adalah yaksa (buta) yang mendapat pengajaran dari sang dewa utama mengenai bertingkah laku jahat. Setelah itu Purnawijaya diajak melihat neraka sehingga  mengetahui siksa yang akan dijalani oleh manusia yang banyak dosa.
Naskah ini disimpan di Perpusnas (2 karopak 413 dan 423) menggunakan bahasa Sunda kuno dan tulisan Sunda kuno, yang diukir dalam daun palm, dan dibuat kirakira pada abad ke17 M. Naskah yang di karopak 423 ada 39 lembar.

Carita Purwaka Caruban Nagari
Naskah ini ditulis sekitar tahun 1720-an oleh Pangeran Arya dari Cirebon.
   
Carita Ratu Pakuan
Suatu naskah yang berbentuk pantun yang di tulis oleh pujangga yang bernama Kairaga, dari gunung Srimanganti, Cikuray. Naskah ini diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 M atau awal abad 18 M dalam bahasa Sunda, yang dapat ditemukan pada Karopak 410.

Naskah ini menceritakan dengan indah tentang kepindahan ratu Ambetkasih, istri Sribaduga maharaja Jayadewata dan selirnya,  dari istana Galuh ke istana Pakuan.

Carita Waruga Guru
Carita Waruga guru adalah suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada tahun 1750-an.

Ciamis
Hal hal yang penting menyangkut Ciamis. Berdirinya kerajaan Galuh pada taanggal 23Maret 612 M. Digantinya nama kabupaten galuh menjadi kabupaten Ciamis oleh Tumenggung Sastra Winata pada tahun 1916 M. Pindahnya pusat pemerintahan dari Imbanagara ke Cibatu )(ciamis) oleh bupati Raden Aa Wiradikusumah pada 15 Januari 1815 M. Pndahnya pusat kabupaten Galuh dari Garatengah yang letaknya disekitar Cineam (tasikmalaya) ke Cibarunay (imbanagara) pada 12 Juni 1642 M, dianggap sebagai hari jadi kabupaten Ciamis.

Cianjur
Asal usul kabupaten cianjur diketahui setelah masuknya  Islam ke Cianjur dari kesultanan banten pada abad ke-16 M. Bupati pertama Cianjur bernama Wiratanu I yang memerintah pada abad ke17 M dan berpusat di Cikidul-Cikalong Kulon, kira-kira 20 Km sebelah utara Cianjur sekarang. Pada masa bupati Wiratanu II ibukota dipindahkan  ke tepi sungai daan jalan raya  yang telah dibuat oleh Deandels (jalan anyer –panarukan), yaitu kota Cianjur sekarang.
Cianjur menjadi pusat keresidenan Priangan pada masa Raden Kusumah  Diningrat, dengan wilayah meliputi: Pelabuhan Ratu sebelah barat,  Sungai Citanduy dengan barisan gunung Halimun, Megamendung,  Tangkuban Perahu disebelah timur, dan samudra Indonesia  di sebelah selatan.
Pada masa bupati R.A.A. Prawiradireja wilayah Cianjur mengalami perubahan  menjadi Cikole sebelah barat, Sukabumi sekarang, Bandung dan Tasikmalaya dengan ibukota kresedinenan  dipindahkan ke Bandung.
Perkebunan the dan karet merupakan akibat dari system  tanam paksa (culture stelsel). Perkebunan tersebut  merupakan tempat liburan  akhir pekan bagi asisten residen dan orang-orang belanda yang tinggal di Cianjur da cenderung membuat rumah di daerah Cipanas Cianjur..

Cisanti
Sungai Cisanti merupakan salah satu hulu sungai citarum, yang mengalir dari selatan Bandung. Di hulu sungai Cisanti ada danau Cisanti. Dan danau ini terletak di kaki gunung Wayang.  Danau ini terletak di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Letaknya yang tersembunyi di pegunungan, serta keindahan alam yang masih asri menjadi alternatif wisata bagi beberapa orang. Selain itu, danau ini juga menyimpan peninggalan sejarah berupa petilasan Adipati Ukur, ksatria Sunda yang memimpin pemberontakan melawan Mataram.


Citra Ganda, Prabu (1303-1311 M)
 Prabu Citraganda dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya saja “Nu Hilang di Tanjung”). Ia naik tahta sunda menggantikan ayahnya tahun 1303 M, Prabu ragasuci. Ia berkuasa di tanah sunda (termasuk Galuh dan galunggung) selama 8 tahun (dari tahun 1303-1311 M), dan  berkuasa dengan berkedudukan di pakuan.
Ia merupakan putra dari Prabu Ragasuci dengan Dara Puspa berasal dari putri kerajaan Melayu, (Dara Puspa merupakan adik dari Dara Kencana, istri Kertanegara dari Singasari (Jawa timur sekarang). Prabu Citraganda berprameswarikan Dewi Antini, yang merupakan putri dari Prabu Rajapurana.
Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Prabu Linggadewata.  Prabu Ragasuci ketika meningal, ia dipusarakan (dimakamkan) di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang Mokteng tanjung.                                      

D
Darmaraja, Prabu (mp. 1042-1065 M)
Prabu Darmaraja dalam carita parahiyangan  dsisebut “ Nu Hilang di Winduraja”, yang menjadi raja selama 23 tahun.   Prabu Dharmaraja  atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti Salakasunda buana, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati, yang meninggal pada tahun 1042 M. Ia berkuasa atas seluruh tatar sunda (Sunda, Galuh, Galunggung).
Pada awal kekuasaannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh  saudara seayah, Wikramajaya, yang menjadi Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.  Tetapi pemberontakannya dapat ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya, dan jabatan Panglima Angkatan Laut diganti oleh Wirakusuma.
Prabu Dharmaraja menikah dengan Dewi Surastri, dan mempunyai beberapa orang, diantaranya: Prabu Langlangbumi, yang kemudian menggantikannya sebagai raja, Darmanagara, menjadi Mangkubumi kerajaan dan Wirayuda yang menjadi  Panglima Perang.
Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang Mokteng  Winduraja, karena ia dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah nama desa di kecamatan Kawali kabupaten Ciamis.
 Jadi ada gejala setelah wafatnya Sri Jayabupati sampai dengan tahun 1187 M, pusat pemerintahan Sunda  terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di Winduraja.
Setelah meninggal, tahta sunda kemudian diwariskan kepada menantunya,  Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp. 1065-1155 M)

Darmakusuma, Prabu (mp. 1156-1175 M)
Dalam Carita Parahiyangan prabu Darmakusuma hanya di sebutkan tempat meninggalnya “ Nu hilang di Winduraja” , yang berkuasa selama 18 tahun.
Prabu Dharmakusuma naik tahta Sunda ke-24,  menggantikan mertuanya. Rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M). la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas seluruh wilayah sunda (menguasai 3 kerajaan utama: Galunggung, Galuh dan Sunda).
 Prabu Darmakusuma berasal dari Galunggung, ia merupakan cucu dari penguasa Galunggung, Batari Hiyang Janapati. Ia menikah dengan putri dari Raja Sunda, Prabu Menak Luhur, yang bernama Ratnawisesa. Dari perkawinannya ia memperoleh anak yang bernama Sang darmasiksa, yang dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.
             
Darmasiksa, Prabu  (mp. 1175-1297 M)
Dalam bagian ini Rakean Darmasiksa lah yang banyak diungkapkan tentang kelebihannnya,“ ......Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahiangan. “Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.”
Rakeyan Darmasiksa atau  Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa.  Ia naik tahta tahun 1175 M menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), dengan gelar Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnula memerintah seluruh wilayah sunda (termasuk Galuh, galuggung dan Saunggalah). Pada awalnya beribukota di Saunggalah (Kuningan), tetapi kemudian ibukotanya dipindahkan ke Pakuan (bogor) pada tahun 1187 M.
Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu Dharmasiksa merupakan titisan (jelmaan) Dewa Wisnu karena kebbajikannya. Ia mendirikan panti pendidikanna (Binajapanti)  dan sejumlah kabuyutan (tempat suci-keramat). Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi setiap golongan, baik untuk para sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi), para dukun (sang disri), para biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan), dan para leluhur (parahiyangan).
Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu: Puteri Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi, Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah, Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera,  Rahiyang Jayadarma. Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan SingasariDari perkawiannya memperoleh putra yang bernama rakeyan Wijaya atau raden Wijaya, yang dikemudian hari dikenal sebagai pendiri kerajaan majapahit.
Prabu Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan  ia  memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.
Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M. Sebelum menjadi raja sunda, Prabu darmasiksa pada awalnya menjadi penguasa di Saunggalah (Kuningan)   selama 12 tahun, mewakili mertuanya.  Karena ia kawin dengan putri raja saunggalah.
Pada awalnya ia berkuasa di Saunggalah I (Kuningan), tetapi kemudian  memindahkannya ke Saunggalah II, di daerah Tasik sekarang. Menurut kisah Bujangga Manik yang di tulis pada abad ke15 M, lokasi lahan tersebut terletak di daerah tasik selatan sebelah barat.
Sebagai pangeran, putra, Prabu darmakusuma  raja Sunda, ia kemudian  naik tahta Sunda menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1175 M.  Ia berkuasa  sebagai raja Sunda dan berkedudukan di Pakuan, sedang di Saunggalah kemudian digantikan oleh putranya, Prabu ragasuci.
Disebutkan bahwa Rakeyan darmasiksa merupakan  penjelmaan dari ’Patanjala sakti’, yang semula menjadi  penguasa wilayah Saunggalah (Kuningan)  Di Saunggalah ia termasuk penguasa yang berhasil, berkat kepemimpinannya yang bijak serta mampu ’ngertakeun urang rea’ (mensejahterakan kehidupan rakyat banyak).
Pabu Darmasiksa memiliki putra mahkota yang bernama Rakeyan Jayadarma, yang berkedudukan di Pakuan. Rakeyan jayadarma  mempunyai istri yang bernama Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal, putri  Mahisa Campaka  dari kerajaan Singasari.
Dari perkawinan dengan Dyah Singamurti ini ia mempunyai anak  yang bernama Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih terkenal dengan nama  Rakeyan Wijaya, yang lahir di Pakuan (Dalam Sejarah Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya). Karena Jayadarma  meninggal di usia muda, Lembu Tal tidak betah di Pakuan, akhirnya minta pulang ke Singasari / ke Tumapel Jawa Timur, sambil membawa anaknya. Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.
Dengan meninggalnya Jayadarma  mengosongkan kedudukan putra mahkota. Karena anak dari Jayadarma, Raden Wijaya berada di negeri Singasari (jawa Timur), maka tahta Sunda jatuh ke tangan adik dari Jayadarma, Prabu Ragasuci.
Karena itu dalam babad tanah jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden Wijaya ini disebut pula Jaka susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari Pasundan). Raden wijaya sebenarnya merupakan pewaris tahta sunda yang ke-27, tetapi karena berada di Singasari, tahta jatuh ke tangan pamannya, (adik Jayadarma), Prabu Ragasuci.
Prabu Darmasiksa masih  memiliki kesempatan  menyaksikan kelahiran Kerajaan Majapahit, yang didirikan oleh cucunya, Raden Wijaya.  Menurut Pustaka II/2, Prabu Darmasiksa  pernah memberi peupeujeh (nasehat) kepada cucunya tersebut:
”Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih bhmi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh puyut kalisayan mwang jaya catrumu, ngke pinaka mahaprabu ika hana ta daksina sakeng hyang tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang sayogyanyarajya Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yantanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasuka. Yan rajya sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya mangkanajuga rajya sunda ring wilwatika”
Inti dari nasehat Darmasiksa ini menjelaskan tentang larangannya untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah  sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.
Mungkin dari nasehat inilah, dari naskah-naskah Majapahit, seperti Nagarakertagama, atau Kidung Sunda, kerajaan Sunda tidak termasuk Nusantara yang merupakan wilayah taklukan majapahit. Dan Sunda tidak pernah dikuasai atau kalah perang melawan Majapahit. Tragedi bubat yang terjadi pada zaman Hayam Wuruk dan Patih Gajah mada di kemudian hari menunjukan hal itu. Dan tragedi Bubat diyakini merupakan awal dari kehancuran karir Gajah mada, dan awal dari  kemunduran dari majapahit itu sendiri. Sedang Sunda masih bertahan hingga abad ke-16 M.
Bukti tertulis peninggalan dari Prabu Darmasiksa diantaranya suatu naskah yang sekarang dinamakan dengan naskah Amanat Galunggung.
 Inti dari naskah amanat galunggung berisiKeharusan untuk menjaga dan mempertahankan tanah kabuyutan dari gangguan orang asing, bahkan tanah kabuyutan sangat di sakralkan. Iapun mentebutkan, bahwa : lebih berharga kulit lasum (musang) yang berada ditempat sampah dari pada putra raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya.
·   Memotifasi agar keturunannya untuk tetap mempertahan Galunggung. Dengan cara mendudukan Galunggung maka siapapun akan memperoleh kesaktian, jaya dalam berperang, dan akan mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
Agar berbakti kepada para pendahulu yang telah mampu mempertahan tanah air pada jamannya masing-masing.

Dewa niskala, Prabu
Prabu Dewa Niskala merupakan raja Galuh menggantikan ayahnya Prabu Wastukancana. Nama aslinya Ningrat kancana, dan merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu wastukencana dengan putri Mayangsari. Ia kemudian diangkat menjadi raja galuh, dengan gelar penobatan Prabu Dewa niskala. Ia berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.    
Seperti diketahui ayahnya, Prabu Wastukancana mempunyai 2 orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati), putri resi Susuk, penguasa Lampung, dan  Mayang sari, putri sulung  Prabu rahyang Bunisora. Dari perkawinanya dengan Rara Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum. Sedang dari Mayangsari, putri sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana  mempunyai 4 orang putra. Yang sulung,  bernama Ningrat Kancana yang naik tahta  Kawali (Galuh) dan bergelar Prabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang ketiga  Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.

Dewa Sanghiyang, Prabu (mp. 1012-1019 M)
Prabu Dewa Sanghiyang naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Brajawisesa dan berkuasa selama 7 tahun.
Prabu Dewa Sanghiyang berkuasa aatas kerajaan sunda dan kerajaan galuh, sehingga ia bergelar Maharaja. Sebagai wakilnya dirinya di kerajaan galuh, ia kemudian mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai tahun 1027 M.
Setelahnya tahta sunda kemudian diwariskan kepada anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp. 1019-1030 M).


Dewawarman 1 (mp. 130-168 M)
Pendiri dan sekaligus menjadi raja pertama kerajaan Salakanagara, yang berkuasa dari tahun 130-168 M, dengan gelar Prabu Darmaloka Pala Aji Raksa Gapura Sagara, atau terkenal dengan nama Dewawarman 1.
Pada awalnya ia merupakan duta keliling  kerajaaan Pallawa dari Bharata (India) di pulau Jawa. Ia kemudian menetap di Barat Pulau Jawa (sekitar Pandeglang) karena menikah dengan putri penguasa  setempat, Aki Tirem, yang bernama  Dewi Pwahaci Larasati.
Setelah aki Tirem meninggal  pada tahun 130 M,   ia kemudian menggantikannya, dan kemudian dinobatkan sebagai raja pertama Salakanagara dengan gelar Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapura Sagara, sedang Dewi Pohaci  di beri gelar Dwi Dwan Rahayu. Dan pada saat itu  juga diberlakukan penanggalan sunda yang kemudian dikenal dengan sebutan saka sunda. Ia juga mendirikan ibukota Rajatapura.
Dewawarman berkuasa selama 38 tahun, sejak dinobatkan pada tahun 52 saka (130 M) hingga 168 M. Selama masa pemerintahannya, ia mengutus adiknya yang merangkap menjadi senopati, bernama Bahadur Harigama untuk menjadi  raja daerah  di Mandala Ujung Kulon, sedangkan adiknya yang lain yag berman Sweta Liman sakti dijadikan raja daerah Tanjung Kidul dengan ibukota Agrabhitapura.
Dewawarman 1 berkuasa selama 38 tahun dan kemudian digantikan oleh anaknya, Dewawarman 2.

Dewawarman 2 (mp. 168—195 M)
Raja kedua Salakanagara dari dinasti Dewawarman, dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra, yang menggatikan ayahnya, Dewawarman 1.
 Ia merupakan putra sulung dari Dewawarman 1 dengan Dewi Pohaci.
                                         
Dewawarman 3 (mp. 195-238 M)
Raja ketiga dinasti Dewawarman, dengan gelar Prabu Singa  Sagara Bima Yasawirya, menggantikan ayahnya, Dewawarman 2.

Dewawarman 4 (mp. 238-252 M)
Ia menjadi raja ke-4 kerajaaan Salakanagara, dari  dinasti Dewawarman. Ia merupakan menantu Dewawarman 2, yang merupakan raja Ujung Kulon.

Dewawarman 5 (mp. 252-276 M)
Ia menjadi raja Salakanagara ke-5 dari dinasti Dewawarman, menggantikan mertuanya, Dewawarman 4.
Ia menikah dengan putri sulung Dewawarman 4, yang bernama Mahisasuramardini Warmandewi, yang kemudian menggantikannya setelah suaaminya (Dewawarman 5) meninggal dunia.

 Dewawarman 6 (mp. 289-308 M)
 Raja ke-7 dinasti Dewawarman. Ia dijuluki Sang mokteng Samudra. Ia merupakan putra tertua Dewawarman 5. Ia naik tahta dinasti Dewawarman menggantikan ibunya, Mahisa Suramardini.

Dewawarman 7 (mp. 308-340 M)
 Raja ke-8 dinasti Deawarman, dengan gelar  Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Ia merupakan putra tertua  Dewawarman 6.

 Dewawarman  8  (mp. 348-362 M)
Raja ke-10  kerajaan Salakanagara dari  dinasti Dewawarman, dengan gelar  Prabu Darmawirya Dewawarman. Ia merupakan cucu Dewawarman 6 yang menikahi Sphatikarnawa.
Dewawarman 8 mempunyai beberapa orang anak. Yang sulung, seorang perempuan yang bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi, disebut juga Minati, yang kemudian menikah dengan Jayasingawarman, yang kemudian menggantikanya, dan memindahkan ibukotanya ke Tarumanagara, sehingga kerajaan ini berubah  dengan nama tarumanagara.
Dari istrinya yang kedua, Dewi Candralocana, putri Sang Kudungga, dari kerajaan Bakulapura, Kutai, ia mempunyai  putra yang bernama  Aswawarman, yang ketika masih kecil (orok beureum) di asuh oleh kakeknya di Kutai, Kudungga.
Anaknya  yang ketiga bernama Dewi Indari, yang kemudian menikah dengan Maharesi Santanu, raja Indraprahasta (Cirebon Kidul). Anaknya yang ke-4, bernama Dewawarman, pindah ke Sumatra (Swarnadhipa),  yang kemudian menurunkan raja raja Sriwijaya, diantaranya Adityawarman.
Dewawarman 8 merupakan raja terakhir Salakanagara. Ia kemudian digantikan oleh menantunya,  Jayasingawarman, yang kemudian memindahkan kekuasaanya ke sekitar sungai Citarum, dan negaranya kemudian terkenal dengan nama Tarumanagara.

Dharmayawarman (mp. 382-395 M)
Dharmayawarman atau lengkapnya Rajarsi (Rajaresi) Dharmayawarman guru yang  berkuasa di Tarumanagara dari tahun 382-395 M, menggantikan ayahnya, Jayasingawarman. Dinamakan Rajarsi  dan guru karena ia juga pemimpin agama.
Setelah meninggal ia dikenal  dengan nama Lumah  ri Chandrabaga karena dipusarakan di sungai Chandrabaga. Ia mempunyai  2 orang anak laki-laki dan seorang perempuan,. Putra pertamanya bernama  Purnawarman, yang kemudian menggantikannya

G
Gajah Kulon, Prabu  (819-891 M)
Prabu gajah  atau Rakeyan Wuwus menjadi penguasa Galuh menggantikan kakak iparnya,  Prabu Linggbhumi. Ia merupakan cicit dari banga yang mewarisi raja Sunda ke-8. Sehingga pada masanya Sunda dan galuh bersatu kembali.
Rakeyan Wuwus  beristrikan putri keturunan Galuh. Sementara itu adik perempuan rakeyan Wuwus  menikah dengan putra Galuh yang kemudian menggatikan kedudukannya sebagai raja Sunda bergelar Prabu Darmaraksa Bhuwana atau Arya Kedatawan
Dengan demikian sejak tahun 852 M, kerajaan Sunda dan galuh diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan antara kerabat keraton Pakuan, Galuh dan Saunggalah. Dan terpecah lagi pada masa setelah Prabu Niskala Kancana, yang membagi kekuasaan bagi kedua anaknya, Prabu Susuk tunggal di pakuan sedang Prabu dewa Niskala di galuh.
Dan kedua kerajjaan ini kemudian disatukan lagi oleh cucu Niskala wastu Kancana, yaitu Jayadewata, yang kemudian berghelar Sri baduga Maharaja. Dan era tersebut kemudian terkenal dalam sejarah Sunda disebut sebagai era Pakuan Pajajaran ataau Pajajaran saja, yang dinisbatkan kepada nama ibukotanya, pakuan Pajajaran.

Galuh 
Nama galuh selain nama kerajaan yang berada di ciamis sekarang juga berarti permata, sehinggga ada istilah ilmu kegaluhan  yang berarti permata kehidupan yang berada di tengah hati . dalam bahasa sunda istilahnya “Galuh galeuhna galih

Geusan Ulun, Prabu (mp. 1579-1608 M).
Prabu Geusan Ulun menjadi raja Sumedang Larang menggatikan ayah dan ibunya, Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukotanya.
Pada masanya kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya, yang diserang oleh Banten dibawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf.  Dan pada tahun 1579 M (8 Mei 1579 M), ibukota Pajajaran, Pakuan, runtuh.
Sebelum peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, Prabu Ragamulya Surya Kencana, Raja Pajajaran terakhir mengutus 4 orang kepercayaannya, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Sanghiyang Hawu (Jaya perkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Terong peot) dan  berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,  kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut  kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M).
Meskipun tempat penobatan raja, Palangka Sriman di Pakuan diboyong ke Banten oleh Maulana Yusuf, tetapi ia tidak bisa memboyong mahkota kebesaran Sunda. Sehingga Sumedang Larang lah yang tetap dianggap sebagai  penerus kemaharajan Sunda terakhir.
Prabu Geusan Ulun adalah raja terbesar dan terakhir. Penerusnya, rangga Gempol I yang masih berdarah Cirebon kemudian bergabung dengan mataram, sehingga Sumedang Larang berubah statusnya dari kerajaan menjadi kabupatian.
Wilayah kekuasaan Sumedang Larang meliputi  Kuningan, Garut, Bandung, Tasik dan Suykabumi (wilayah Priangan). Kecuali Galuh (Ciamis). Pada masanya kerajaan Sumedang mengalami kemajuan yang pesat  dibidang sosial, budaya , agama, militer dan pemerintahan.
Tetapi ketika dianggap sebagai penerus kekuasaan dari Pajajaran, luas wilayahnya semakin luas. Di barat  berbatasan dengan sungai Cisadane, di timur berbatasan dengan sungai Cipamali (brebes, purwekerto, cilacap, Banyumas), kecuali Cirebon dan jayakarta, batas utara laut Jawa dan selatannya samudra hindia.
Dalam upayanya memperdalam agama Islam, Prabu Geusan Ulun pernah ke Demak, yang diikuti oleh 4 perwira utamanya yang disebut kandaga lante. Setelah dari Demak, ia mampir di Cirebon Disini ia bertemu dengan penguasa Cirebon, Panembahan Ratu.
Prabu Geusan Ulun  terkenal mempunyai perilaku yang santun, disamping  sangat tampan, sehingga disenangi penduduk Cirebon, termasuk prameswari Panembahan Ratu, yang bernama Ratu Harisbaya. Sang ratu sangat tertarik dan jatuh cinta  pada Geusan Ulun, sehingga ketika rombongan  Prabu Geusan Ulun pulang ke Sumedang, ia dengan tanpa sepengetahuannya ikut rombongan. Karena mengancam akan bunuh diri, akhirnya ia di bawa pulang ke Sumedang.
Karena kejadian ini Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk  merebut kembali  ratu Harisbaya, sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
Dengan penengah sultan Agung dari Mataram yang meminta agar panembahan ratu menceraikan ratu Harisbaya, yang aslinya berasal dari Pajang-Demak yang dinikahkan oleh sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat  menyerahkan wilayah  barat sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon.
Karena peperangan itu pula ibukota Sumedang larang dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut dengan Dayeuh Luhur.
Prabu  Geusan Ulun memiliki 3 orang istri, yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada. Yang kedua adalah Ratu Harisbaya, yang berasal dari Pajang Demak, dan yang ketiga adalah Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut, ia memiliki 15 orang anak, yaitu
Pangeran rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
  • Raden  Aria Wiraraja
  • Kiai Kadu rangga Gede
  • Kiai rangga Patrakalasa di Cunduk kayu
  • Raden Aria Rangga Pati di Haur koneng
  • Raden Ngabehi Watang
  • Nyi Mas Demang Cipaku
  • Raden Ngabehi Martayudha di Ciawi
  • Raden rangga Wiratama di Cibeureum
  • Raden rangga Nitinagara di Pagaden dan Pamanukan
  • Nyi Mas Rangga pamade
  • Nyi Mas Dipati Ukur di Bandung
  • Raden Suriadiwangsa, putra ratu Harisbaya dari panembahan Ratu
  • Pangeran Tumenggung Tegal Kalong
  • Raden kiai Demang Cipaku di dayeuh Luhur.
Gunung di Tatar Sunda
Nama gunung gunung di tatar sunda telah diceritakan oleh Bujngga Manik alam naskahnya pada abad ke-15 M. Bujangga Manik banyak menceritakan gunung dalam hal perbatasan / tapal batas wilayah di tatar sunda. Ia juga bercerita tentang gunung ini berkaitan dengan tempat tempat suci atau yang dianggapsuci. Gunung gunung yang ada dalam kisah Bujanggga Manik adalah:
Gunung Ageung (gunung gede)
Gunung Gajah.
Gunung Cikuray
Gunung Papandayan
Gunung Agung,pilarnya Pager Wesi.
Gunung Pamrehan,penopang Pasir Batang.
Gunung Kumbang merupakan tapal batas Maruyung, ke arah utaranya wilayah Losari.
Gunung Cereme pilarnya Pada Beunghar,di selatan Kuningan,kebarat Walang Suji, wilayah Talaga.
Gunung Galunggung
Gunung Tampomas (gunung Tompo Emas) wilayah Medang Kahiangan.
Gunung Tangkuban Parahu. pilar wilayah Gunung Wangi.
Gunung Marucung,pilarnya Sri Manggala.
 Gunung Burangrang pilar wilayah Saung Agung. 
Gunung Burung Jawa,pilarnya Hujung Barat.
Gunung Nagarati,pilarnya Batu Hiang.
Gunung Barang,pilarnya wilayah Kurung Batu.
Gunung Banasraya,pilarnya wilayah Sajra,
Gunung Kosala
Gunung Catih,pilarnya Catih Hiang.
Gunung Hulu Munding,pilarnya Demaraja,
Gunung Parasi,pilarnya Tegal Lubu,
Gunung Hijur (pilarnya Kujang Jaya)
Gunung Sunda (pilarnya Karangiang)
Gunung Karang(pilarnya wilayah Karang)
Gunung Cinta Manik (pilarnya wilayah Rawa)
Gunung Kembang (tempat segala macam pertapa)
Gunung sembung
Gunung Bulistir di ujung kulon pilarnya Gunung Anten.
Gunung Bojage.
Gunung Kendan,
Gunung Wayang
Gunung Malabar
Gunung Guntur
Gunung Ratu,

Gunung Patuha.  penopang Majapura.

Gunung Burangrang,
Gunung Burangrang merupakan sebuah gunung api mati, ditataran Sunda yang  mempunyai ketinggian setinggi 2.064 meter. Gunung ini merupakan salah-satu sisa dari hasil letusan besar Gunung Sunda di Zaman Prasejarah. Gunung Burangrang bersebelahan dengan Gunung Sunda.
Dikatakan oleh Bujangga Manik bahwa Gunung Burangrang, merupakan pilar perbatasan/ tapal batas wilayah Saung Agung.  Di kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan Saung Agung.

Gunung Cikuray,
Gunung Cikuray adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Gunung Cikurai mempunyai ketinggian 2.841 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi keempat di Jawa Barat setelah Gunung Gede. Gunung ini berada di perbatasan kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggun.
Nama gunung ini telah ada sejak abad ke 15 M, seperti yang diungkapkan oleh bujangga Manik dalam naskahnya

Gunung Ciremai
Gunung Ceremai  adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan  ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam),
Menurut Bujangga manik dalam askahnya pada abad ke-15 M, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah Talaga. Jadi menurut Bujangga manik di sekitar Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan dan Talaga. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin waktu itu belum begitu dikenal.

Itu Gunung Ceremay,
pilarnya Pada Beunghar,
di selatan wilayah Kuningan,
ke baratnya Walang Suji,
di situlah wilayah Talaga.

Gunung Guntur
Bujangga Manik juga menyebut Gunung Guntur, gunung ini terdapat di wilayah barat Garut, Jawa Barat, yang mempunyai ketinggian 2.249 meter. Gunung Guntur merupakan salah satu gunung berapi paling aktif pada dekade 1800-an. Tapi sejak itu aktivitasnya kembali menurun.

Gunung Malabar 
Gunung Malabar  terletak di bagian selatan Kabupaten Bandung dengan titik tertinggi 2.343 meter di atas permukaan laut. Malabar merupakan salah satu puncak yang dimiliki Pegunungan Malabar. Beberapa puncak yang lain adalah Puncak Mega, Puncak Puntang, dan Puncak Haruman.
Kawasan Gunung Wayang Windu-Gunung Malabar-Gunung Patuha, kini terbentang hamparan perkebunan teh yang telah dibangun sejak zaman Belanda atas jasa Karel Albert Rudolf Boscha, astronom Belanda yang mendirikan perkebunan Teh Malabar, sekitar 300 tahun lebih setelah kunjungan Bujangga Manik.

Gunung Patuha,
Gunung Patuha merupakan sebuah gunung yang terdapat di sekitar Bandung Selatan.  Tingginya 2.386 meter. Gunung patuha memiliki kawah yang sangat eksotik, yaitu kawah putih. Kawah yang terbentuk dari letusan gunung patuha itu memiliki dinding kawah dan air yang berwarna putih, .yang sekarang dijadikan obyek wisata.
Bujangga manik mengungkapkan bahwa Gunung Patuha merupakan pilar/ tapal batas wilayah Majapura.

Gunung Papandayan,
Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut,, tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung  mempunyai ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung.Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal.
Di Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.
Keindahan Gunung Papandayan ini telah diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya di abad ke 15 M. Bujangga Manik bahkan menaiki gunung ini, dan melihat lihat sekelilingnya, disuatu tempat yang disebut Panenjoan. Setelah Bujangga Manik naik ke Gunung Papandayan, yang ia sebut dengan Panenjoan (tempat penglihatan). Ia melihat satu persatu wilayah kekuasaan kerajaan Sunda,  Ke arah Selatan wilayah Danuh,di timur karang papak, dan di barat balawong yang merupakan wilayah Pager Wesi.

Setelah menanjak ke Gunung Papandayan,
yang juga dipanggil Panenjoan,
aku melihat pegunungan dari sana,
jajaran (?) pemukiman di mana-mana,
semua desa, semua pemukiman,
peninggalan Nusia Larang yang mulia.

Aku melihat mereka satu per satu.
Di arah selatan adalah wilayah Danuh,
di timur Karang Papak,

Gunung Tangkuban Parahu,
Nama Gunung Tangkuban Perahu telah ada sejak abad ke 15 M, hal ini diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya. Menurut Bujangga Manik, Gunung Tangkuban Parahu merupakan pilar atau tapal batas  wilayah Gunung Wangi, yang merupakan negara bagian dari kerajaan sunda waktu itu.
Gunung Tangkuban Perahu sekarang berada di kabupaten bandung dan juga Subang. Gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter dan termasuk gunung api aktif.. Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Bujangga Manik dalam naskahnya tidak mengaitkan gunung Tangkuban Parahu ini dengan kisah Sangkuriang.

Gunung Wayang 
Gunung Wayang lokasinya berada di kabupaten bandung. Kata wayang dalam Gunung Wayang  bukan berasal dari kata wayang (golek) seperti yang kita kenal saat ini. Wayang di sini berasal dari kata wa, yang berarti angin atau berangin lembut, dan yang atau hyang artinya dewata. Jadi, kata wayang yang menjadi nama gunung ini berarti angin yang berembus dari Dewata, atau angin surgawi atau angin dewata yang lembut, yang mencirikan gambaran keindah-permaian alam yang abadi. Di  kaki gunung Wayang terdapat sungai Cisanti yang merupakan hulu sungai citarum
Berdasar sejarah sasakala Gunung Wayang, puncak gunung tersebut menjadi tempat bersemedi Pangeran Jaga Lawang.  Gunung Wayang mempunyai ketinggian  2.181 meter diatas permukaan laut.

Nama Gunung Wayang  ini telah ada sejak abad ke-15 M, yang diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya.

Guruminda Sang Minisri (mp.782-799 M)
 Dalam Carita Parahiyangan, Raja Galuh setelah Sang manarah, yang menggantikannya adalah Sang Minisri,  yang berkuasa selama 60 tahun. Sedang dalam Naskah Wangsakerta Sang Minisri berkuasa selama 17 tahun, dari tahun 782 sampai dengan 799 M.
Sang Minisri bergelar Prabu Dharmasakti Wijaleswara, menjadi penguasa Galuh, menggantikan mertuanya, Sang Manarah, yang berkuasa di tanah Galuh dari tahun 783 hingga 799 M,
Sang Minisri menikah dengan Purbasari, putri dari Sang Manarah.     Guruminda Sang minisri dalam cerita Pasundan terkenal dengan nama Lutung kasarung. Dan kisah tentang berkuasanya banyak diceritakan dalam kisah lutung kasarung tersebut.
Ia kemudian digantikan oleh  Sang Tariwulan atau Prabu kertayasa.

H
 Haji Parwatasari
 Haji Parwatasari  berasal dan dibesarkan dari Jampang. Ia melakukan pemberontakan  melawan VOC. Dalam melakukan pemberontakannya menggunakan 12 taktik tempur Pajajaran.
Ia diyakini telah belajar di kampus ilmu  kemiliteran pajajaran yang terdapat di Pakidulan Sukabumi, di wilayah antara Surade dan Jampang kulon

 Hariang Banga (mp. 739-766 M)
 Hariang banga merupakan salah seorang raja terkenal dalam peradaban sunda, karena keturunan raja raja Sunda kemudian berasal darinya, bahkan termasuk kerajaan Majapahit. Hariang Bangan  atau sang banga atau Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya, berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang berkuasa hanya di sebelah barat sungai Citarum dari tahun 759 M.
Setelah peristiwa kudeta berdarah tahta di Kerajaan Galuh, antara  Ciung Wanaara (Manarah) dengan Sanjaya, akhirnya ditempuh cara dengan jalan damai. Berdasarkan "Perjanjian Galuh", yang dipimpin oleh  Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah (Kuningan), akhirnya tahta Kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga. la diangkat menjadi raja sunda pada  tahun 739 Masehi, dengan nama nobat: Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
Dari pernikahannya dengan Dewi Kancana sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah),  Sang Banga  mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian menggantikan kekuasaan .
Sebuah naskah abad ke13 M (atau abad ke-14 M) memberitakan bahwa Sang banga  pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja  yang merdeka dari Galuh.
Lepasnya pakuan dari galuh terjadi setelah  20 tahun Banga menjadi pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk  kekuasaanya adalah sebelah barat Citarum

Hariwangsawarman (639-640 M)
Hariwangsawarman atau dewamurti naik tahta Tarumanagara ke10, menggantikan Sudhawarman.  Dewamurti dianggap sebagai penguasa yang kasar dan tanpa belas kasih (kejam), hingga akhirnya ia dibunuh oleh Brajagiri, anak angkat Kertawarman, raja tarmanagara ke-8, yang ia permalukan. Brajagiri sendiri tewas dibunuh oleh Sang Nagajaya menantu Dewamurti.



I
Indrawarman (mp. 455-515 M)
Idrawarman mennjadi penguasa Tarumanagara ke-6, menggantikan ayahnya, Wisnuwarman, yang bergelar  Sri Maharaja Indrawarman Sang paramartha Saktimahaprabhawa lingga Triwikrama bhuwanatala, dan berkuasa selama 60 tahun (dari tahun 455- 515 M).

Setelah meninggal, ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Canrawarman.

J
Jaya Giri, Prabu  (973-989 M)
Prabu jayagiri atau  rakeyan Wulung gadung naik tahta sunda menggatikan kakak iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia naik tahta karena kakak iparnya tidak mempunyai anak. Rakeyan wulung Gadung berkuasa di tanah sunda dari tahun 973 smpai 989 M.
  Rakeyan Wulung Gadung menikah dengan Dewi Somya, yang merupakan putri dari Prabu Limbur Kencana, adik dari Rakeyan Sunda Sambawa. Karena kakaknya, Rakeyan Sunda sambawwa tidak mempunyai anak, maka ia menggantikan kakak iparnya, Rakeyan Sunda Sambawa atau Prabu Munding Ganawirya. Dari perkawinannya dengan Dewi Somya ia mempunyai anak yang bernama Rakeyan gendang.
 Rakeyan Wulung Gadung  ini kemudian mewariskan kekuasaanya  kepada putranya,  Rakeyan Gendang, yang bergelar Prabu Brajawisesa (mp. 989-1012 M).


Jayasingawarman (mp. 358-382 M)
Pendiri kerajaan Tarumanagara, dengan gelar Rajadirajaguru Jayasingawarman Gurudharmapurusa, yang memerintah selama 24 tahun (358-382 M).
Pada awalnya ia merupakan pewaris tahta Salakanagara, menggantikan mertuanya, raja DewawarmanVIII. Tetapi setelah ia berkuasa pusat pemerintahan dipindahkan dari Rajatapura ke Tarumanagara, sehingga kemudian nama salakanagara berubah menjadi Tarumanagara. Dan Salakanagarapun secara  otomatis menjadi negara bawahan Tarumanagara.
Jayasaingawarman merupakan  seorang maharesi dari Salankayana di India, yang mengungsi ke daerah pasundan, karena daerahnya diserang dan ditaklukan  maharaja Samudragupta dari kerajaan magada, yang mengungsi ke wilayah tanah Sunda.
Tidak seperti penguasa-penguasa salakanagara, keberadaan Jayasingawarman jelas tertulis dalam prasasti Tugu, yang ditemukan di desa Cilincing Jakarta.  Pada parsasti ini ia disebut gelarnya saja, Rajadi         rajaguru, bersama  dua raja sesudahnya, Rajarsi dan Purnawarman.

Berdasar  keterangan prasasti Tugu, setelah wafat pad tahun 382 M, Abu jenazahnya dilarungkan (dihanyutkan)  di sungai Gomati (sekitar bekasi), maka itu kemudian dikenal sebagai Sang Lumahing Gomati. Ia lalu digantikan oleh anaknya, Rajarsi (rajaresi) Dharmayawarmanguru.

Jompong Larang
 Jompong Larang adalah pembantu putri raja,  yang bernama Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Nama Jompong Larang ada dalam naskah Bujangga Manik, yang diceritakannya ia berkeinginan untuk menjodohkan Bujangga Manik dengan putri raja, yang bernama Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana” .


K
Kabuyutan  hulu sungai Cimarinjung 
Kabuyutan atau tempat suci di hulu sungai Cimarinjung, gunung Bulistir, Ujung kulon diceritkan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya pada abad ke-15 M.  Kabuyutan ini  dikatakannya sebagai peninggalan Pantajala, seorang pangeran yang gagal menjadi raja. Ia tinggal disana selama 1 tahun lebih, dikarenakan terlalu banyak orang asing yang mendatanginya, yang dianggapnyaa terlalu banyak godaan. (Tentang siapa Pantajala, masih dalam pencarian sumbernya)

Aku pergi ke Hujung Kulan,
karena di sana banyak hal yang menunggu.
Aku berjalan menyelatan,
melanjutkan perjalananku ke Gunung Bulistir.
Itu hulu Sungai Cimarinjung,
peninggalan Patanjala,
ketika ia gagal menjadi raja.

Di sana aku tidak tinggal lama,
selama satu tahun lebih.

Terlalu sering aku didatangi orang asing,
oleh orang-orang yang datang dari bawah,
terlalu banyak godaan datang.

Kabuyutan Gunung Sembung
Kabuyutan / tempat suci Gunung Sembung diceritakan dalam naskah Bujangga Manik pada abad ke-15 M. Bahkan ia tinggal Di kabuyutan tersebut 1 tahun. Kabuyutan  (tempat Suci) Gunung Sembung, berada di Hulu Sungai Citarum

Setelah mengagumi semua hal itu,
setelah melihat pegunungan,
setelah meninggalkan Panenjoan,
setiba di Gunung Sembung,
yang merupakan hulu Sungai Citarum,
di sana aku singgah bertapa,
sambil melepas lelah.

Setelah mengagumi semua hal dari perjalanannya, ia kemudian pergi untuk bertapa di Gunung sembung, d hulu sungai citarum, selama 1 tahun.  Disana ia beribadah dan  mendirikan Lingga dan memahat patung serta membuat tugu, yang ia katakan akan menjadi bukti bagi generasi mendatang, bahwa ia pernah pergi ke sana, seperti yang ia ungkapkan:

Beribadahlah aku melakukan persembahan,
memuja dengan penuh keyakinan.

Kemudian aku mendirikan lingga,
lalu memahat patung,
selanjutnya membuat tugu.

Benda-benda ini menunjukkan pada semua orang,
bukti untuk orang-orang mendatang,
bahwa aku sudah menyelesaikan tugasku.

Setelah aku beribadah dengan menyapu,
menyapu sampai bersih (?),
pekarangan di sekitar,
aku mendatangi bangunan-bangunan dan memasukinya,
duduk dalam kesunyian,
memberika penghormatan (?) dan bermeditasi.
Olehku diresapi,
olehku dinanti-nanti,
apa hasil dari tujuanku,
apa yang menyebabkan penantianku.

Aku menyebutnya
keabadian, kekal bersama zat teragung,
yang memenuhi maksud penantianku.

Karena sebelum adanya diriku,
kebaikan dari orang bijak,
yang mampu menyadari pertapaan tertinggi,
memilih berkonsentrasi pada diri sendiri,
untuk memahami pengindraan tertinggi,
dengan mengikuti penciptaan diri yang sesungguhnya,
tidak dapat terbawa oleh warna [penampilan fisik],
penuh dengan keberanian, hati yang kuat,
seperti manusia suci yang agung,
yang menunjukkan bukti jelas dari itu.

Setelah exerting dirinya sendiri,
Bujangga Manik yang terhormat
menuju utara, selatan, barat, dan timur,
di pusat dari titik puncak,
mencari tempat untuk tinggal,
mencari tempat untuk bertapa,
mencari air untuk tenggelam,
tempat untuk mati bagiku kelak,
tempat membaringkan tubuh.

Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
selama setahun lebih.

Terlalu sering aku dikunjungi orang asing,
oleh orang-orang yang datang dari bawah,
terlalu banyak godaan.

Kabuyutan Karang Carencang
Kabuyutan atau tempat suci atau Pertapaan Carencang, di Hulu Sungai Cisokan, di gunung Patuha, diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya pada abad ke-15 M. Dalam tulisannya ia bahkan menulis, bahwa Diakhir perjalanannya akhirnya Bujangga manik menemukan tempat bertapanya yang ideal, di kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda)Karang Carencang yang suci, di  hulu Sungai Cisokan di Gunung Patuha.  Di kabuyutan ini sudah ada Lingga Payung yang menghadap ke Kreti haji. Dikatakannya Lingga itu bertahta intan permata, yang kilapnya menutupi lingga tersebut, yang menjadi lingga payung yang menghadap ke Bahu Mitra.  Seperti yang diungkapkan dalam tulisannya.

Setelah kuberangkat dari sana,
sesampai di Gunung Ratu,
di Karang Carengcang yang suci.
yang merupakan hulu sungai Cisokan,
berjalan menuruni Gunung Patuha,
setengah jalan menuju Lingga Payung,
yang menghadap ke Kreti Haji.

Kabuyutan ini diyakini sebagai situs gunung padang, yang ditemukan sekarang, karena berhulu pada sungai Cisokan. Menurut legenda, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna.
Disana  Bujangga Manik  tinggal selama 10 tahun, yang ia katakan 9 tahun untuk pertapaan, sedang di tahun ke-10 nya, ia melakukan tugas-tugasnya. Tubuhnya dikatakan mulai berat. Dan di hari itulah ia menggubah puisi /prosanya yang sangat menarik.

Sungguh di sana:
aku menemukan tempat suci,
tempat dengan lingga bertakhta intan permata,
kilapnya menutupi lingga itu (?),
rising upwards, menjadi lingga payung,
menghadap Bahu Mitra.

Olehku telah dibangun tempat tinggal baru,
direkatkan dalam beberapa tingkat,
disambung sekelilingnya,
bagian bawah beralaskan batu pipih,
menghadap ke atas dari arah batu yang berdiri ,
bagian teratas oleh marmer,              
bertaburkan intan permata.

berkilauan di antara mereka,
tujuh bangunan untuk keperluanku,
sebuah dapur dan tempat kayu bakar,
dan juga tempat untuk menebah,
dua bangunan berdiri di jalan

Lumbung dua berjajar
taman di kiri-kanan gerbang,
dengan tanaman yang melambai,
yang akan segera berbuah,
bunga-bunga sedang mekar penuh.

bangunan-bangunan tersebut masih utuh
paviliun tersebut masih bagus.

Ketika waktunya tiba,
telah sampai pada waktu yang tepat
setelah sembilan tahun melaksanakan pertapaan,
pada tahun kesepuluh tugas-tugas telah terpenuhi,
tubuh ini berat,
dalam bentuk yang sempurna.
 Ketika bulan segera terbenam,
matahari muncul pada waktunya,
siang digantikan malam,
tahun berakhir, tugas terpenuhi,
yang sudah mati di-walang suji,
yang membusuk di-walang sanga,
tubuh beristirahat kembali di atas dipan,
dengan gegendis sebagai bantal,
meninggal, menghadap kepada hal yang sebaliknya.

Aku mati tanpa penyakit,
meninggal bukan karena penderitaan,
aku telah dilepaskan melalui pembebasan terakhir.

Roh pergi,
kepribadian pergi,
apa yang bebas dilepaskan.

Jiwa dilepaskan dari ikatannya,
sari pati kehidupan dilepaskan dari jiwa,
sama-sama terpisahkan dan hilang.

Tubuhku memasuki dunia yang mati,
berharap (?) menjadi dewa,
ikatan penghubung memasuki kehampaan.

Jiwaku buyar menjadi tak terlihat,
sama dengan dewata.

Kemudian aku berjalan di atas jalan luas,
menemukan jalan yang terbuka luas.

Setiap persimpangan dilengkapi dengan bangunan,
semua jurang memiliki jembatan,
lereng dengan anak tangga,
turunan dengan pijakan tersusun.

Jejak-jejak dari sapu masih bisa terlihat,
melengkung ke arah timur dan barat.
paviliun, bendungan dan bebatuan,
terhubung dalam deretan yang panjang.

Bunga patah tumbuh berdekatan,
bersinar (?) seperti kembang api.
Pohon pinang tumbuh seperti paras,
pinang tiwi dan pinang gading,
pinang tiwi yang sedang mekar penuh,
pinang gading bersinar kekuning-kuningan.

Di tengah-tengah pinggiran sungai terulur,
hanjuang tumbuh sampai mata manusia,
handeuleum tumbuh setinggi manusia,
handong merah dan handong,

 “...apakah kau mencintai semua manusia di dunia,
ketika kau masih hidup,
saat ada di dunia?”

Bujangga Manik yang terhormat
merasa seperti sedang ditanyai.
Dengan penuh hormat ia berbicara,
menjawab dengan sopan,
berbicara menurut kata hatinya,
menjawab Dorakala:

 “Aku tidak ingin membicarakannya,
agar yang benar tidak menjadi salah,
agar yang baik tidak menjadi buruk,
agar surga tidak menjadi neraka.

Agar kesimpulan mudah dipahami,
Agar kesimpulan tidak datang dari awal.
Aku menolak untuk memanggil saksi dari manusia,
penghuni dunia ini,
semua orang di tengah-tengah dunia.
Di antara seribu seratus satu,
bahkan tidak ada satu pun,
manusia yang perkataannya dapat dipercaya.

Terdapat banyak penjahat,
bahkan dewa diperangi (oleh mereka),
aku menganggap mereka tidak dapat diandalkan,
karena ingin ikut dalam api yang membakar,
karena mereka akan tersesatkan,
oleh mereka yang jahat.

Hanya ada satu pengecualian:
siang hari yang suci adalah saksiku,
malam yang suci adalah saksiku,
bulan dan bintang,
dan bumi pertiwi yang suci.

Mereka yang memelihara dan melihat:
bumilah yang lebih mengamati,
langitlah yang lebih memerhatikan,
kamulah yang tahu mana yang benar.

Mereka yang mengingat rasa,
mereka yang menjaga kekuatan utama,
mereka yang memerhatikan kata-kata,
mereka yang mengamati pikiran,
menjaga sifat asli manusia,
mengerti salah dan benar,
mengetahui buruk dan baik
mereka itulah saksiku.”

Dorokala yang mulia berkata:
“Dengan segala hormat, jiwa yang suci.

Aku tidak akan mendebat,
karena wujudmu tidaklah kabur.

Tubuhmu bersih dan bercahaya,
terlihat seperti dewa,
seperti intan, seperti permata.

 Tubuhmu lebih wangi dari opium,
lebih berarti dari kayu cendana,
lebih manis dari kulit kayu masui.

 Benar-benar wujud seorang yang benar,
yang menunjukkan makhluk surga.

Dengan segala hormat, jiwa yang suci,
yang terhormat Bujangga Manik,
pergilah seperti yang kau mau,
kamu boleh pergi ke surga.

 Setelah meninggalkan tempat itu,
pergilah mendaki,
menanjak,
menuju taman yang bening,
beralaskan permata.
Pancuran dari perunggu bercahaya,
dengan kolam dari perak,
berakhir pada sebuah cerat,
tempat cuci dilapisi emas,
dengan gayung dari bejana perak.

Mandi dan membersihkan diri,
yang mandi membersihkan keringat.

 Setelah kau selesai mandi,
jangan berkelana terlalu jauh,
kau di dalam taman bercahaya itu.

 Ada sebuah tempat indah yang dituju:
pergilah menuju bangunan yang dekat dengan jalan,
terbuat dari besi hitam,
dipadukan dengan besi magnet,
dipasak besi yang tahan lama,
tiang gading ukiran,
disangga oleh gong jawa,
bertatahkan kaca cina,
dipadu dengan batu kresna,

....dipadukan dengan permata,
dengan bendul perak seperti batu kapur,
dengan kasok terbuat dari .....
beratapkan ubin-ubin perunggu,
yang berpasak emas,
dengan lantai yang dilapisi
dengan rumbai emas hitam,
dipadukan dengan perak putih seperti batu kapur,
yang diikat dengan emas cina,
bergantian dengan kawat jawa.

 Cermin jawa dipasangkan,
di setiap tiang bangunan.

 Di situ perabot dihias,
sebelum pergi ke surga,
di sanalah tempat berhias,
apa yang tidak tersedia di sana?
cemin jawa bersepuh emas
sisir dari gading berukir,
satu gelas minyak cina
isinya ....

 kapur barus dalam guci,
bunga resa di jambangan,
zat kelenjar rusa jantan dalam belanga dari gading,
guci penuh wewangian kayu cendana,
sepucuk ....

... cinta.
Bujangga Manik yang terhormat
lalu diangkat dipangku,
dibawa dari lengan satu ke lengan lainnya,
dibawa ke atas panggung (?),
dari panggung ke tandu,
tandu yang dihiasi gading,
berkendara di atas sapi putih,
dengan kipas bergagang emas,
berkelap kelip oleh batu rubi,
bertakhtakan emas,
dengan batu mirah dan permata di atasnya,
bertatahkan mutiara,
berpadu dengan permata dan batu rubi, batu mirah,
batu-batu beharga dan intan,
semuanya serba indah.

 Cerita Darma Kancana,
di atas tirai yang bercahaya,
di bawah tirai yang tembus pandang,
terpasang pada mereka naga yang berhadapan satu sama lain,
di tengah-tengah naga-naga yang ...,
di bawah naga-naga yang bertemu,
seekor merak yang menari di atasnya,
semua serba indah,
semua benar-benar tidak ternilai,
luar biasa,
sangat baik dan hebat untuk dilihat,
bersinar dengan segala jenis warna,
berkelap-kelip dan bercahaya.

Seperti bunga pamaja
wujud dari jiwa suci,
diramaikan oleh tetabuhan,
goong dan gending yang dipedengarkan,
simbal perunggu dicampur dengan caning,
semuanya tetabuhan
 alat-alat musik suci,
Alat musik suci paburancaheun,
simbal rari dimainkan,
gong ditabuh,
payung-payung dengan sutra keling [India],
bendera bambu kiri dan kanan,
barisan panjang sutra putih,
unyut yang berlimpah,
seperti burung kuntul yang terbang indah.

 Payung sutra, gading di atasnya,
payung kertas, emas di atasnya,
payung hateup dari sutra keling,
gorden dengan sepuhan Cina,
dihiasi permata yang bergantungan,
satin dengan permata dan emas,
kipas dengan gagang emas,

cahaya keemasan kelopak terong,
di atasnya batu rubi, naga-naga yang merantai,
pajale permata, sangat bermanfaat,
petir berteman cahaya surgawi,
dikelilingi pelangi,
di sana ...).

Kabuyutan Ranca Goda 
Kabuyutan atau tempat suci Ranca Goda terdapat di Gunung Patuha (daerah Ciwidey Bandung selatan, sekarang). Keberadaan kabuyutan ini diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya pada abad ke-15 M. Bujangga manik  pernah tinggal di kabuyutan (tempat suci) Randa Goda ini.  Ia  bahkan membangunnya kembali sebagai tempat pertapaan. Kemungkinan sebelum kedatangan Bujangga Manik kabuyutan ini terbengkalai, karena itu ia membangun kembali situs ini sebagai tempat pertapaan). Bujangga Manik bertapa dan melakukan ibadah disini setahun lebih.

Setiba di Mulah Mada,
melewati Tapak Ratu,
pergi ke Gunung Patuha,
ke tempat suci Ranca Goda.

Aku membangunnya kembali
dan menjadikannya tempat pertapaan,
yang disari oleh mandala
Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
hanya setahun lebih.

Kertawarman (561-628 M)
Kertawarman naik tahta Tarumanagara menggantikan maharaja Suryawarman. Ia berkuasa dari tahun 561 hingga 628 M.
Ia kemudian digantikan oleh sudhawarman.

Ki Balangantrang
Ki Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena menderita penyakit kemir (hernia / burut).  Setelah terjadi kudeta oleh Sanjaya yang menewaskan hapir seluruh keluarga Purbasora, ia yang waktu itu menjadi patihnya berhasil menyelamatkan diri. Ia juga merupakan kakek dari Sang Manarah, karena Naganingrum nmerupakan anaknya.
Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan  anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja  di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini  dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu  membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Ki Balangntarang ini  dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mendidik Sang Manarah yang kemudian terkenal dengan nama Ciung Wanara. Masa kecil sang Manarah dalam cerita-cerita rakyat, memang dibesarkan oleh kakeknya di Geger Sunten, Ki Balangantrang. Dan ketika ia dewasa kemudian  berusaha untuk merebut kekuasaannya dari Temperan. Ia dibantu oleh kakeknya, Ki Balangantrang  yang mahir dalam urusan perang dan startegi, dengan pasukan yang telah dipersiapkan di Geger Sunten. Perebutan kekuasaan ini diperhitungkan dengan matang, yaitu pada saat  diselenggarakan pesta sabung ayam yang menjadi kegemaran di kerajaan tersebut.
Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang  memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini  berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari  (dewi pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan dan  dibiarkan bebas. Pada malam hari, banga dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep dari tahanan.
Tetapi tindakan banga ini  diketahui oleh pengawal, yang segera memberitahu Sang manarah. Karena itu kemudian terjadi pertempuran antara Banga dan Manarah, yang berakhir dengan kekalahan Banga.  Sementara itu Tamperan dan pangrenyep yang melarikan diri kemudian terbunuh oleh pasukan yang mengejarnya.
Mendengar putranya, Tamperan meninggal, Sanjaya sangat marah, kemudian ia menyiapkan pasukan  besar dari Medang bhumi mataram untuk menyerbu ibukota Galuh. Dilain pihak,  Manarah telah menduga  bahwa sanjaya tidak akan tinggal diam. Oleh karena itu, ia telah siaga dengan pasukan  yang juga didukung oleh pasukan sisa Indraprahasta (kerajaan ini sat itu telah berubah menjadi Wanagiri), dan raja-raja daerah Kuningan yang pernah ditaklukan oleh sanjaya.
Sanjaya menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang.
Perang saudara satu keturunan Wretikandayun  meletus, dan pasukan Manarah mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu dapat dihentikan  atas prakarsa  rajaresi Demunawan, yang waktu itu berusia 93 tahun. Perundingan gencatan senjata  digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali. 
Untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan banga kemudian dinikahkan  dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedang Banga sebagai raja Sunda  bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang bernama Kancanasari.
Manarah ditakdirkan mempunyai umur yang panjang. Ia bertahta di Galuh  hingga tahun 783 M. Lalu ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri  dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa  hingga akhir hayat. Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun.

Ki Gedeng Tapa
Ia merupakan penguasa syah Bandar Karawang di era Pajajaran.

Ki Lengser
Ki Lengser adalah tokoh yang selalu dikaitkan dengan kesenian.

Kidung Sunda / Kidung Sundayana
Kidung Sunda adalah sebuah tulisan / naskah  dalam bahasa Jawa pertengahan yang berbentuk syair (tembang), yang kemungkinan berasal dari Bali. Dalam kidung ini diceritakan tentang kisah pencarian  seorang permaisuri Hayam Wuruk dari Majapahit, dan tragedi perang bubat yang memilukan.
Kidung Sunda adalah sumber tertulis yang paling terinci dan paling penting dalam mengupas tentang peristiwa Bubat yang memilukan dan memalukan. Sebagai naskah kuno yang terdapat di Bali, Kidung Sunda memberikan yang relative adil dalam mengupas tragedy berdarah di bubat, penghianatan Gajah Mada dan kepahlawanan Sunda yang tanpa pantang menyerah.
Dari kisahnya, dengan gaya bahasanya yang lugas dan lancar, tidak berbelit-belit seperti karya-karya sastra, mengindikasikan adanya factor kebenaran, disamping ditulis oleh orang Bali yang relative independen dalam menganalisa kisah ini.
Kisah dalam Kidung Sunda  memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Dalam kisah ini, Kidung Sunda menceritakan Patih Anepaken, Patih Sunda yang begitu tegas dan tidak takut sedikitpun dalam menghadapi tentara Majapahit, meskipun hanya membawa perlengkapan seadanya, karena hanya mengantar penganten, dan  dia tetap lantang meskipun berada di sarang / daerah Majapahit.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Hal ini mengindikasikan bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi. Karena penulis dari kisah ini cenderung lebih berpihak pada orang Sunda, maka Kidung Sunda jarang ditampilkan dalam buku-buku sejarah.

Kitab Waruga jagat
Suatu naskah yang berasal dari Sumedang


Kuningan, Kerajaan 
Kerajaan Kuningan merupakan salah satu kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui  kapan kerajaan ini didirikan, yang pasti awalnya kerajaan ini merupakan  bawahan keresian Galunggung, Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai putri yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari  Galunggung, putra dari pendiri galuh, Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang atas permntaan Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke menantunya, Demunawan.
Masa Demunawan  (723 - 774)
Resi Demunawan mendirikan ibukota baru Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile  atau Saung Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku. Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (ajaran Kitab Suci), serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya  masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali  pada tahun 739 M. Antara Sonjaya yang membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara). Perang  menelan banyak korban jiwa.. Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran  dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739 M.
Resi Demunawan pada tahun 774 M, Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun.  Setelahnya seolah kerajaan Kuningan hilang ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan ibukota pemerintahan Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019.
Mulai periode tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah. Adalah Raja Sunda, Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja sunda ke-24, Prabu Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.
Prabu Ragasuci (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda. Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara otonom.
Ratu Selawati  (sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.



L
Langlang Bumi, Prabu (mp. 1065-1155 M)
Prabu Langlang Bumi merupakan raja Sunda. Dalam Carita parahiyangan Prabu Langlangbumi disebut, “ Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu 92 tahun, lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah”. Ia dipuji karena ketika berkuasa sangat bijak, dan kelakuannya yang sangat baik “lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah”
Prabu Langlang bumi  atau Prabu langlang Buana naik tahta Sunda  menggantikan ayahnya, Prabu Darmaraja, dan berkuasa selama 90 tahun, sedangkan di galuh ia berkuasa selama 92 tahun.
Prabu langlangbumi lahir pada tahun 1038 M dan meninggal pada tahun 1155 M. Ia menikah dengan Dewi puspawati, putri dari Sang Resiguru Batara Hiyang Purnajaya, saudara ayahnya. Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi mempunyai beberapa orang anak, diataranya: Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menak luhur, yang kemudian menggantikannya sebagai raja di tanah sunda, dan Sang cakranagara yang kemudian menjadi Mangkubumi (patih).
 Peristiwa sejarah yang menarik dalam masa pemerintahan Maharaja Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti Geger Hanjuang atau prasasti Galunggung karena ditemukan di lereng Gunung Galunggung, Prasasti ini ditemukan di bukit Geger Hanjuang yang oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26.
Prabu Langlangbumi (1065 - 1155 M) atau sang mokteng Kerta, karena di makamkan di kerta. Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M).
Sang  Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya mempunyai 2 anak wanita, yang bernama dewi Puspawati yang kemudian menjadi istri Prabu Langlang Bumi, dan Dewi citrawati, yang juga mengharap diperistri oleh Prabu Langlang Bumi. Karena hasratnya tidak tercapai, maka Dewi Citrawati berusaha untuk membunuh kakaknya, dewi Puspawati.
Karena melihat gelagat yang membahayakan, ayahnya, sang Resiguru Purnawijaya kemudian mengawinkan Dewi Citrawati dengan penguasa (raja)  Galunggung yang bernama Resiguru Sudakarenawisesa. Karena lebih memilih jalan hidup sebagai resi, maka Sudakarenawisesa menyerahkan tahta kerajaan Galunggung kepada istrinya, Dewi Citrawati, dengan gelar penobatan Batari hiyang Janapati.
Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Untuk mengatasi permasalahan dengan penguasa galunggung tersebut,  Maharaja Langlangbumi,  meminta bantuan Batara Hiyang Purnawijaya, ayah dari Dewi Citrawati (Batari Hiyang), dan pamannya yang menjadi panglima, Suryanagara supaya diambil jalan damai. Pertemuan itu dihadiri oleh Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan: Sebelah barat sebagal Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi, Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.
Isi prasasti Prasasti Geger Hanjangditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuno yang cukup terang untuk dibaca. Walau pun hanya tiga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal dan tahun. Bacaannya baris demi baris  sebagai berikut :

tra ba i gune apuy na-
sta gomati sakakala rumata-
k disusu(k) ku batari hyang pun

Prasasti itu bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra (Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya: Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (seleai) disusuk oleh Batari Hyang.
Rumatak yang oleh penduduk setempat disebut Rumantak adalah bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang terletak tidak jauh dari bukit Geger Hanjuang tempat prasasti itu ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi dengan parit untuk pertahanan (membangun parit pertahanan sebagai perlindungan).  Berita serupa dapat kita baca dalam prasasti Kawali dan Batutulis di Bogor.
Prasasti Geger Hanjuang itu membuktikan bahwa perjanjian Galuh tahun 739 masih tetap dihormati. Dalam kropak.632 tokoh Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati (sang bijaksana atau sang budiman). Cukup unik karena pencipta ajaran tentang kesejahteraan hidup yang harus men-jadi pegangan para raja dan rakyatnya itu adalah seorang wanita.
Mengapa Batari Hyang membangun parit pertahanan sebagai perlindung-an pusat pemerintahannya belum dapat dijelaskan secara memuaskan. Mungkin ia berjaga-jaga karena melihat pusat pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh berada di kawasan timur atau mungkin karena sebab lain.
Pada zaman Prabu Langlangbumi ini  (1065 - 1155 M) ada raja kediri yang melarikan diri ke tanah sunda, karena kalah perang, yang diungkapkan dalam Babad Galuh. Kemungkinan salah seorang cucu dari Prabu Langlangbumi diperisteri oleh penguasa Kadiri-Janggala Maharaja Jayabuana Ke-sanananta Wikramotunggadewa (1102 - 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun memerintah karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ke tatar Sunda karena permaisurinya berasal dari sini. Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari pelarian dari Kediri dalam Babad Galuh.

Linggabuana Wisesa, Prabu (1350-1357 M)
Prabu Linggabuana Wisesa memerintah sunda menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, dengan gelar penobatan Prabu Maharaja Linggabuana. Ia memerintah kerajaan sunda selama 7 tahun (1350-1357 M). la dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 M). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.
Prabu Maharaja Linggabuana berprameswarikan Dewi Lara Linsing, darinya ia mempunyai 4 orang anak, tetapi anak kedua dan ketiganya meninggal pada usia 1 tahun. Anak pertamanya seorang wanita yang terkenal dalam sejarah, yaitu Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 M, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi, dan anak terakhirnya ( yang ke-empat) seorang laki-laki yang dikemudian hari menjadi raja yang sangat terkenal, yaitu Wastukencana yang lahir tahun 1348 M.
 Prabu Maharaja Linggabuana  gugur di medan perang bubat,  dalam mempertahankan harga diri dan melawan kecurangan majapahit, bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri Citra resmi.
Karena anak laki-lakinya (adik dari diah pitaloka) masih berumur 9 tahun, maka  kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati yang kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora.
Karena meninggal di Bubat, prabu Linggabuana kemudian dikenal juga dengan nama  Sang Mokteng Bubat.
Prabu Linggabuana terkenal sebagai seorang yang perkasa. Naskah Wangsakerta melukiskan dirinya sebagai berikut:” Dimedan perang bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya  diperintah dan dijajah  orang lain.”
Ia tidak merasa takut berhadapan dengan pasukan majapahit meskipun berada dikandang lawan (didaerah majapahit). Ia juga tidak merasa gentar meskipun pasukannya tidak dipersiapkan untuk berperang (ia membawa pasukan hanya untuk mengantar penganten), dan dalam jumlah yang sedikit, melawan pasukan Majapahit yang memang sudah dipersiapkan untuk berperang.
Ia tidak gentar mengahadapi pasukan majapahit yang dipimpin  oleh Pati Gajah Mada  yang jumlahmya tidak terhitung.
Ia senantiasa  mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan  hidup rakyatnya di seluruh wilayah kekuasaanya. Kemashurannya juga sampai kepada negara-negara  di pula pulau dwipantara atau (nusantara namanya yang lain).
Kemashuran sang raja membangkitkan (rasa bangga kepada ) keluarga, mentri-mentri kerajaan, angkat perang dan rakyat pasundan. Oleh karena itu namanya mewangi. Selanjutnya ia kemudian bergelar Prabu wangi.

Lingga Bumi, Prabu (813-852 M)
Prabu Linggabhumi dalam Naskah carita parahiyangan tidak diceritakan. Dan hanya diceritakan hingga Sang Welengan.
Ia menjadi penguasa Galuh menggantikan Sang Welengan.  Setelahnya tahta Galuh kemudian diserahkan  kepada suami adiknya, Rakeyan Wuwus atau yang terkenal dengan gelar Prabu Gajah Kulon, cicit Banga yang menjadi raja Sunda ke-8.

Lingga Dewata, Prabu (1311-1333 M)
Prabu Linggadewata dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya “ Nu Hilang di Kikis” (yang Hilang di Kikis). Ia naik tahta kerajaan Sunda Galuh  menggatikan ayahnya, Prabu Citra Ganda.  Ia memerintah tahta Sunda  berkedudukan di Kawali  selama 22 tahun (mp. 1311-1333 M).
Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya yang bernama Rimalestari, yang menikah dengan Ajiguna Linggawisesa.
Setelah meninggal ia dipusarakan di  Kikis (Nu Hilang di Kikis), sehingga ia kemudian terkenal dengan nama  Sang Mokteng Kikis. Karena ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta selanjutnya ia wariskan kepada menantunya,  Prabu Ajiguna Linggawisesa.

Linggawarman (mp. 666-669 M)
Linggawarman  dinobatkan sebagai raja Traumanagara ke-12, menggantikan Nagajayawarman, dengan gelar Srimaharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi. Ia merupakan raja terakhir Tarumanagara, yang memerintah hanya 3 tahun  dari tahun 666 hingga 669 M.
Ia menikah dengan Dewi Ganggasari dari Indraprahasta, suatu kerajaan otonom di daerah Cirebon sekarang. Dari Ganggasari, ia memiliki  2 anak, yang keduanya perempuan. Yang pertama, Dewi Manasih, menikah dengan Tarusbawa dari Sundasambawa. Sedang yang kedua, Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Setelah ia meninggal dunia, kekuasaan jatuh ke tangan  menantunya, tarusbawa. Dan tarausbawa ini kemudian memidahkan ibukotanya, di sekitar sungai Pakancilan.


M
Mahisasuramardini Warmandewi (mp. 276—289 M)
Ia merupakan  putri tertua Dewawarman 4 dan istri dari dewawarman 5. Ia menggantikan suaminya sebagai raja ke-6, ketika suaminya  gugur  melawan bajak laut.

Mandala Puntang.
Mandala Puntang, merupakan negara bagian dalam kerajaan Sunda. keberadaan Negeri ini diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya.
Kerajaan Mandala puntang dulunya diyakini berada di Panembong Bayongbong Garut sekarang, dan nantinya menjadi cikal bakal kerajaan   Timbanganten. Raja terakhir Kerajaan Mandala Dipuntang, Prabu Derma Kingkin memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong). Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten.
Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten nantinya termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung, daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar. Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Sejak pertengahan Abad ke-15 M, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar tatar sunda, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan

Medang Kahiangan 
Nama Sumedang tempo dulu. Nama Medang Kahiyangan ini di ceritakan dalam Naskah Bujangga Manik pada abad ke-15 M dan juga Carita parahiyangan. Setidaknya Bujangga manik melewati Medang kahiyangan 3 kali dalam perjalananya ke wilayah timur, yaitu pada keberangkatan perjalanan pertama, keberangkatan perjalanan kedua dan sekmbali dari perlanan yang kedua, Medang Kahiangan adalah wilayah sumedang sekarang ini, atau dikemudian hari terkenal dengan kerajaan Sumedang Larang. yang mewarisi kekuasaan wilayah Pajajaran, ketika pajajjarann burak / runtuh. Bujangga Manik belum menyebut nama Sumedang Larang tetapi masih nama Medang Kahiyangan.

 Itu Gunung Tampo Omas,
di wilayah Medang Kahiangan.

Satu-satunya gunung besar yang ada di Medang kahiyangan adalah Gunung Tampomas (gunung Tompo Emas) yang mempunyai ketinggian 1.684 diatas permukaan laut.



Menak Luhur, Prabu (mp. 1155-1157 M)
Prabu Menak Luhuratau nama aslinya Rakeyan Jayagiri merupakan raja Sunda. Dalam Carita parahiyangan Rakeyan Jaya Giri tidak disebutkan,karena mungkin ia hanya bertahta di wilayah kerajaan Sunda saja, yang kekuasaanya hanya dari sungai Citarum ke barat.
Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur, berkuasa di tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Ia hanya berkuasa sangat singkat yaitu selama 2 tahun, karena ayahnya Prabu Langlangbumi berkuasa selama 90 tahun (di sunda), dan di galuh selama 92 tahun. Ayahnya, Prabu Langlang Bumi menyerahkan wilayah Sunda ke Rakeyan Jayagiri pada tahun 1155 M, sedang wilayah Galuh dan sekitarnya ia masih pegang sendiri.
Prabu Menakluhur menikah dengan Ratna Satya, yang dijadikan permaisurinya. Dari perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa. Ratna Wisesa menikah dengan  Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa.
Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara meninggal  pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda, jatuh ke menantunya,  Prabu Darmakusuma. la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.


Munding Ganawirya, Prabu (mp. 964-973 M) 
Rakeyan Sundasambawa dan bergelar Prabu Munding Ganawirya, naik tahta setelah mengkudeta Rakeyan WatuagungIa merupakan putra dari Limburkancana. Karena tidak mempunyai putra, kekuasaan kemudian jatuh  kepada adik iparnya, Rakeyan Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri.
Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun, kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah, daek ngala awewe ku awewe.



N
Nagayawarman (640-666 M)
Nagajaya mewarisi tahta  dari mertuanya, dEwamurti  hariwangsawarman, dengan gelar Maharaja Nagajayawarman Darmastya Cupjayasatru. Ia berasal dari Cupunagara, kerajaan bahahan Tarumanagara.
Nagajayawarman memerintah  Tarumanagara  sejak tahun 562-588 saka (640-666 M). Setelah ia wafat kemudian digantikan oleh Linggawarman.   


Naskah Bujangga Manik
Naskah Bujangga Manik adalah naskah primer, yang merupakan peninggalan dari naskah berbahasa Sunda yang sangat berharga. Naskah ini ditulis dalam daun nipah, dalam puisi naratif  berupa lirik  yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini seluruhnya terdiri dari  29 daun nipah, yang masing-masing  berisi  56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Yang menjadi tokoh dan yang menulis naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari kerajaan Sunda. Walaupaun ia seorang prabu (keluarga raja/ bangsawan) dari keraton Pakuan Pajajaran, ia lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi.
Bujangga Manik melakukan perjalanan 2 kali ke negeri Jawa. Pada perjalanan kedua, ia singgah  di Bali untuk beberapa lama serta ke pulau Sumatra dan akhirnya ia bertapa di sekitar gunung Patuha sampai ia meninggal.
Bujangga Manik dalam naskah ini  menyebut negri Majapahit, Malaka, dan Demak, hal ini dapat diperkirakan bahwa  naskah ini ditulis pada akhir abad ke14 M, atau awal abad ke15 M.
Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan topografi pulau jawa pada awal abad ke15 M. Lebih dari 400 nama tempat tinggal dan sungai disebut  dalam naskah ini dan berbagai nama tempat yang masih digunakan hingga kini.
Naskah ini sekarang tersimpan  di perpustakaan Bodleian, di Oxford sejak tahun 1627 M.

Naskah Wangsakerta
Naskah Wangsakerta merupakan hasil pertemuan para ahli sejarah dari hampir 90 daerah di Nusantara yang berlangsung pada tahun 1677 sampai dengan 1698 M di keraton Kasepuhan Cirebon.
Naskah Wangsakerta adalah suatu istilah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta secara pribadi atau oleh timnya.  Naskah ini ditemukan awal tahun 1970 M, selain menimbulkan kekaguman  karena kelengkapannya, juga menimbulkan kontroversi dan keraguan. Para ahli sejarah banyak yang meragukan karena alasan: isinya terlalu histories (tidak umum sebagaimana naskah-naskah  sezamannya), dan isinya cocok dengan naskah-naskah barat, dan mungkin tidak dibuat pada abad ke-17 M, disamping keadaan fisik naskah (kertas, tinta dan bangun aksara / huruf) yang kasar, tidak seperti naskah lama pada umumnya.
 Pangeran Wangsakerta memenuhi permintaan ayahnya, Panembahan Girilaya, dari kesultanan Cirebon,  agar sang pangeran menulis kisahkisah kerajaan Nusantara. Kemudian panitia dibentuk untuk  mengadakan suatu gotrasawala (symposium / seminar) diantara para ahli  sejarah di Nusantara, yang hasilnya kemudian ditulis  menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal dengan Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini berlangsung tahun 1599 saka (atau 1677 M), dan penyusunan naskah ini menghabiskan waktu 21 tahun (selesai pada 1620 saka / 1698 M).
Hurup yang digunakan dalam naskah ini adalah hurup kawi dengan bahasa yang disebut jawa tengahan, tetapi menurut wangsakereta sendiri disebut Purwa Jawa (Jawa Kuno).
Di Perpustakaan kesultanan Cirebon mengoleksi 1703 judul naskah dan 1213 diantaranya berupa karya pangeran Wangsakerta dan timnya, mengenai kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ada 47 jilid yang merupakan gabungan dari sejarah berbagai daerah, yaitu:
·    Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara, 25 jilid (sarga). Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara ini  dibagi dalam 5 parwa (bab) yang masing-masing mempunyai judul tersendiri:

  •  Pustaka Kathosana Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
  • Pustaka Rajyawarnana Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
  • Pustaka Kertajaya Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
  • Pustaka Rajakawasa Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
  • Pustaka Nanaprakara Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
  • Pustaka Pararatwan, 10 jilid.
  • Pustaka Nagara Kretabhumi, 12 jilid.
    Naskah Wangsakerta  kini tersimpan di Museum Sribaduga Maharaja, Bandung.


Nikalendra, Prabu
Prabu Nikalendra adalah Raja pajajaran ke-5. Prabu Nilakendra  naik tahta  sebagai raja Pajajaran  yang ke-5, pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda  ke segala lapisan masyarakat. 
Prabu Nikalendra terkenal dengan nama Tohaan di Majaya, karena setelah kekalahan perang melawan pasukan maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan  Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja  dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya  raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.
Nikalendra ini sezaman dengan Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, yang menjadi penguasa kesultanan Banten. Hasanuddin sering melakukan penyerangan terhadap kerajaan pajajaran dengan melibatkan anaknya, Maulana Yusuf. Maulana Yusuf inilah di kemudian hari  yang mengalahkan dan menguasai keraton Pakuan Pajajaran.
Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu
nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun
panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada
diwujudkeun rupa-rupa carita.
Prabu Nikalendra mengalami kekalahan, hal ini terjadi ketika sunan gunung jati  masih hidup (dan baru meninggal pada tahun 1586 M). Sang prabu meninggalkan keraton Pakuan dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Dan ternyata Pakuan masih  dan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
Tentang situasi dari kerajaan Pajajaran dimasanya, diceritakan dalam naskah Carita Parahiyangan sebagai berikut:
Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta.
Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.
Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi,
Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu.
Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu pateterean.
Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma
rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina
barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borakborak da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.
Lilana jadi ratu genepwelas taun.

Nusa Mulya, Prabu (mp. 1567-1579 M)
Prabu Nusa Mulya atau Prabu Suryakancana merupakan raja terakhir kerajaan Sunda atau terkenal juga denga nama  kerajaan Pajajaran.  Ia menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada tahun 1567 M. 
Prabu Nusamulya atau Prabu Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang  berkuasa dari tahun 1567 sampai 1579 M. Nama Prabu Nusa Mulya ada dalam Naskah Carita parahiyangan sedang dalam Naskah Wangsakerta dikenal dengan nama Prabu Ragamulya  Suryakancana
Prabu Nusa mulya  tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari
Pada masa Rja Prabu Nusa Mulya, terjadi banyak peperangan. Di berbagai arena pertempuran, seperti terjadi di Rajagaluh, Kalapa, Pakuan, Galuh, Datar, Mandiri, Patege, Jawakapala, Gegelang, dan Salajo semuanya dikalahkan oleh orang Islam, seperti diungkapkan dalam Naskah carita parahiyangan:

Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan.
Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.
Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan,
perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeheleh ku urang Islam.
Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.

Diakhir masa kekuasaan ayahnya, Prabu Nikalendra nyaris ibukota pajajaran lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja. Sebagian penduduknya menggungsi ke wilayah pantai selatan  diantaranya ke cisolok dan Bayah, dan juga banyak yang mengungsi ke timur, ke sumedang Larang dan lainnya. Dan putra mahkota sendiri, Prabu Nusamulya mengungsi ke pulosari, pandeglang. Dan disnilah ia kemudian diangkat menjadi raja.
Daerah pulosari Pandeglang, diyakini merupakan daerah asal nenek moyang kerajaan sunda, yaitu daerah yang didirikan oleh Aki Tilem, cikal bakal kerajaan Salakanagara, yang merupakan nenek moyang kerajaan Sunda. Dengan mengungsi ke pulosari setidaknya Ragamulya ingin membangun sejarah baru seperti nenek moyangnya dulu, untuk membangun Pajajaran yang kuat.
Setelah kekalahan perang melawan pasukan maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga diangkat dalam pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Pakuan terkenal sangat tangguh, benteng pertahanan yang dibuat oleh Maharaja jayadewata sngat tangguh untuk ditembus oleh musuh. Diceritakan dalam sejarah Banten, pakuan baru bisa ditembus oleh musuhnya karena ada penghianatan dari dalam pakuan, yang membukakan pintu benteng pakuan. Sehingga dengan leluasa   Pasukan yang dipimpin oleh Maulana Yusuf dari Banten masuk. Dan menghancurkan ibukota.


P
Pabuntelan
Pabuntelan dahulu kala merupakan pusat pemerintahan di era dipati ukur. Di kaki bukit pabuntelan ini terdapat kampung yang namanya Cipatat.
Nama Pabuntelan disebut karena La Faile dalam kunjungannya ke distrik Cipeujeuh dan sekitarnya sekitar awal tahun 1894 M memperoleh bahan dan informasi tentang berbagai  peninggalan sejarah terkait dengan dipati Ukur di tempat tersebut.
 Pabuntelan terletak di perbatasan distrik Cipeujeuh dan Banjaran

Padabeunghar, Kerajaan 
Belum ada yang mencatat tentang sejarah Padabeunghar ini. Padahal Bujangga manik pada abad ke-15 M telah mengatakan bahwa Gunung Ciremay merupakan pilar (tapal batas) Padabeunghar. Kemungkinan Padabeunghar ini terletak di desa Padabeunghar yang merupakan nama sebuah desa yang terletak di kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan. Nama Padabeunghar ini juga sekarang dapat ditemui di suatu desa di Sukabumi, yaitu desa Padabeunghar, sebuah desa yang terletak di kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi.
Para peneliti masih kebingungan dengan Padabeunghar ini, apakah hanya merupakan ibukota atau nama keerajaannya juga. Ada yang mengaitkan bahwa Padabeunghar di era Bujangga Manik sama dengan Rajagaluh sekarang. Mengingat pada arti pada artinya kaki gunung, dan beunghar artinya kaya atau sugih-mukti. hal itu mirip dengan  loh jinawi (loh = tanah, jinawi = subur-makmur). Dengan demikian Raja artinya yang menguasai, galuh  artinya permata; rajagaluh sama artinya dengan yang banyak mempunyai permata, alias kaya.
Setidaknya ada 2 kali Bujaangga Manik berbicara tentang Padabeunghar ini, sebelumnya  ketika setelah dari Saunggalah perjalananya ke barat ia melewati Padabeunghar.

Sesampai di Saung Galah
berangkatlah aku dari sana
ditelusuri Saung Galah
Gunung Galunggung di belakang saya
melewati Panggarangan
melalui Pada Beunghar

Pamipiran ada di belakangku.

Pakuan
Pakuan  merupakan ibukota kerajaan Sunda terakhir. Tome Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) /ibukota kerajaan Sunda terletak 2 hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa yang terletak di muara sungai Ciliwung.


Pancakaki Masalah  Karuhun Kabeh,
 Suatu naskah yang berasal dari Ciamis yang ditulis pada abad ke 18 M,  dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon.

Pangeran Arya Cirebon (w. 1723 M)
Pangeran arya Cirebon, Ia menulis  naskah “Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis pada tahun 1720 .Carita  Purwaka Caruban nagari ini mulai diterbitkan tahun 1972.
Pangeran arya Cirebon atau  Pangeran Adiwijaya merupakan putra bungsu sultan kasepuhan pertama. Dan merupakan kemenakan dari Pangeran wangsakerta. Dalam percaturan sejarah tatar sunda , nama Pangeran Arya Cirebon  cukup dikenal  karena sejak tahu 1706 ia ditunjuk oleh VOC menjadi Opzichter para bupati di priangan.
Buku karyanya  dinilai memeiliki kadar kesejarahan yang cukup tinggi, karena menyebut sumber penulisnya. Dan diakhir tulisannya ia menyebut, bahwa tulisannya disusun berdasarkan  naskah Pustaka Nagara Kretabhumi karya Pangeran wangsakerta.

Pangeran Jaya Pakuan
 (lihat Bujangga Manik)

Pangeran Wangsa Kerta
Pangeran wangsa kerta dari cirebon merupakan orang indonesia pertama yang  menyususn sejarah Nusantara yang lengkap. Karena terlalu lengkap dan juga ilmiyah sehingga sampai sekarang oeh masyarakat indonesia karyanya masih diragukan.Karya Wangsakerta mulai diperkenalkan oleh 3 penulis dan sejarawan sunda, yaitu Ayatrohaedi, Saleh Danasasmita dan Yoseph Iskandar pada tahun 1980-an
Pangeran Wangsakerta adalah anak ketiga Panembahan Girilaya (w. 1662 M) dari Cirebon.  Sedang Panembahan Girilaya merupakan cucu dari Sunan Gunung jati dan menggantikan kakeknya sebagai raja Cirebon, karena ayahnya sendiri telah meninggal. Pangeran Girilaya menikah dengan putri Mataram, dan mempunyai 3 orang anak, yaitu Pangeran Martawijaya, yang kemudian dikenal dengan  Sultan Sepuh 1, yang menurunkan para penguasa di Kasepuhan. Anaknya yang kedua, yang bernama Pangeran Kartawijaya, yang kemudian menjadi sultan Anom 1, dan kemudian menjadi leluhur para sultan Kanoman. Dan ketiga  yaitu Pangeran Wangsakerta, tyang tidak mempunyai wilayah kekuasaan dan membantu kakanya sultan Sepuh.
Pangeran wangsakerta dikenal kutubuku, Jilid terakhir dari karya utamanya yang berjudul Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, kitab tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara”, jilid terakhir merupakan daftar pustaka yang menyebut tidak kurang dari 1700 judul naskah

Perang Bubat
Peristiwa Bubat setidaknya tercatat dalam suatu naskah yang dinamakan dengan nama Kidung Sunda, atau Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Di Bali sendiri kidung ini dinamakan geguritan Sunda.
Melihat rombongan Sunda yang tidak bersenjata lengkap, timbul niat jahat gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan Sunda, sebagai pembalasan atas kekalahan-kekalahan sebelumnya.
Dalam naskah-naskah kuno, yang dibuat pada masa majapahit, baik oleh para pujangga, tidak memasukan kerajaan sunda pada negara-negara nusantara. Kerajaan Sunda tidak pernah kalah perang melawan majapahit, bahkan dimungkinkan Majapahit  pernah mengalami kekalahan yang tragis, seperti apa yang diungkapkan oleh Patih Anepaken kepada Gajah Mada, naskah Kidung Sunda dari Bali menceritakan dengan jelas tentang itu.
Patih anepaken merupahan mahapatih Sunda yang mengikuti rombongan maharaja Linggabuana untuk mengantar putri ke Majapahit. Ia tidak merasa takut meskipun hanya diiringi oleh 300 pasukan untuk melawan ribuan yang dipersiapkan oleh Gajah Mada.
Dari perkataan yang dikutip dalam kidung Sunda tersebut, maka ada beberapa kesimpulan: Patih Anepaken ingin mengatakan bahwa kerajaan Sunda adalah kerajaan besar, yang tidak ada satu negarapun yang dapat menguasai Sunda, demikian juga Majapahit.
Kritikannya terhadap moralitas Majapahit yang  mengambil kesempatan dalam kesempitan. Menantang perang kepada lawan yang tidak membawa senjata perang, dan dengan harapan persaudaraan (perkawinan). Ingin mengingatkan bahwa tempo dulu ketika majapahit berperang dengan kerajaan Sunda, dengan kekalahan yang telak, dimana para mantrinya dengan meminta belas kasihan dari para prajurit Sunda
Gajah mada sangat mengetahui kehebatan kerajaan Sunda, karena tidak mungkin mengalahkan mereka, bahkan pernah kalah sebelumnya. Karena itu ia bagaikan mendapat durian runtuh ketika rombongan raja Sunda datang ke kandangnya dengan tidak bersenjata lengkap, karena hendak mengantar penganten, suatu kesempatan untuk  balas dendam.
Perang bubat diyakini mengakibatkan akhir dari karir patih Gajah Mada. Ia dipersalahkan  karena peristiwa itu. Meskipun masih menjabat patih hingga beberapa tahun berikutnya, tetapi pamornya sangat menurun.

Prabu Gajah Kulon (mp. 812-
 Prabu Gajah Kulon atau dalam Naskah carita Parahiyangan disebut Rakeyan Wuwus merupakan raja kerajaan Sunda. Ia naik tahta Sunda  menggatikan ayahnya, Rakeyan Diwus, dengan gelar Prabu Gajah Kulon.
Prabu Gajah Kulon atau Rakeyan Wuwus  menikah dengan putri Sang Welengan, Raja Galuh (mp. 806-813 M), yang bernama Dewi Kirana Setelah Sang Welengan meninggal dunia, tahta galuh jatuh ke kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842 M). Tetapi, karena Prabu Linggabumi tidak mempunyai keturunan, maka tahta Galuh juga jatuh ke Rakeyan Wuwus. Sehingga Rakeyan Wuwus berkuasa atas Sunda dan Galuh. Dengan demikian, kekuasaan di wilayah Sunda Galuh dipegang oleh Prabu Gajah Kulon keturunan Sang Banga, pada tahun 825 Masehi.
Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang putera, ialah:  Batara Danghiyang Guruwisuda dan Dewi Sawitri. Sebagai putera laki‑laki, Batara Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).

Setelah Prabu Gajah Kulon wafat, tahta Kerajaan Sunda dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh Sang Arya Kedaton, dengan nama nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Baru empat tahun memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda.

Purbasora, Rahiyang (mp. 716-723 M)
Rahiyang Purbasora merupakan raja ke-4 dari kerajaan Galuh. Rahiyang Purbasora  bergelar Prabu Purbasora jayasakti mantraguna menjadi Raja di Galuh yang ke-4, setelah berhasil mengkudeta Rahiyang Sena pada tahun  716 M. Ia mewakili orang yang lurus dan menjunjung tinggi moral, yang ingin melakukan pembaharuan di Galuh.
Purbasora merupakan putra dari Semplak Waja, putra pertama raja Galuh, Wretikandayun, yang tidak bisa menggantikan ayahnya karena giginya ompong, disamping telah menjadi resi di Galunggung. Purbasora menikah dengan putri Raja Indraparhasta (di sekitar Cirebon sekarang), Sang Resi Padmahariwangsa, yang bernama Dewi Citrakirana.  Diceritakan bahwa Purbasora  dianggap type ideal Raja Galuh waktu itu, dan  patihnya bernama Bimaraksa, atau yang dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang, merupakan anak dari Rahiyang Jantaka (Rahiyang Kidul).
Rhiyang Purbasora terkenal kuat keinginannya untuk membangun negara, dan cenderung sangat idealis. Latar belakang idealis dan juga pada awalnya termarjinal, Prabu purbasora sangat apik dalam menata pemerintahannya. Dia mengkudeta Prabu Sena karena alasan yang leBih mengacu pada agama dan moralitas, bahwa sang Raja, Prabu Sena bukan orang yang cocok menjadi raja. Prabu Purbasora masih menganut idealisme kekuasaan di galuh. Ayahnya tidak berkuasa hanya alasan  giginya ompong, padahal dia adalah anak yang tertua, karena sebenarnya ayahnyalah yang harus berkuasa di tanah Galuh. Hal ini juga terjadi pada pamannya yang kedua, Jantaka Rahiyang Kidul, yang juga tidak bisa menjadi raja karena kemir. Dan Hak Raja jatuh pada pamannya yang ketiga, Prabu Mandiminyak, yang secara fisik dia sehat, tetapi secara moral ia adalah orang yang rusak, karena telah berbuat skandal dengan ibu Purbasora. Dan ketika Mandiminyak lengser, meninggal, justru yang menggantikannya adalah Prabu Sena yang notabene adalah anak hasil dari hubungan gelap antara Prabu Mandiminyak dan Rababu.
Secara moral lingkungan kerajaan Galuh pada masa Mandiminyak dan juga Raja Sena berada dalam masa yang rendah, dan masyarakat Galuh seolah mencibir keadaan istana yang penuh dengan skandal, dan telah terjadi pembenaran. Meskipun Prabu Sena tidak bersalah atau patut disalahkan, karena ia hanya hasil skandal. Tetapi masyarakat seolah tidak mau tahu dan hal ini berkembang menjadi bahan ejekan masyarakat. Hal inilah kemudian ditangkap oleh Prabu Purbasora. Disamping sangat dihormati secara moral, Purbasora oleh masyarakat justru dianggap sebagai tokoh ideal untuk menguasai Galuh. Disamping gagah perkasa, purbasora adalah cucu pertama dari Prabu Wretikandayun. Karena itu ketika ia melakukan kudeta terhadap Sena seolah didukung oleh rakyatnya, sehingga kudetanya sangat cepat dapat dilakukan.
Pada tahun-tahun pertama berkuasa, ia mencoba menghancurkan basis-basis kekuasaan Prabu Sena. Dan ketika sudah merasa aman dia berkuasa ia memulai melakukan langkah-langkah untuk memeperbaiki keadaan negaranya. Pada masa Purbasora ini keberadaan Galuh mulai diperhitungkan lagi. Kekuatan militernya juga sangat mumpuni. Dengan bantuan dari pasukan kerajaan mertuanya, ia dapat dengan mudah menguasai kerajaan Galuh dengan waktu yang singkat.. tetapi Prabu Purbasora tidak memprediksi kudeta dari keponakannya, Sanjaya, yang justru datang tidak diduga duga.
Purbasora hanya berkuasa selama 7 tahun (716-723 M), dan kemudian digulingkan oleh keponakannya, Sanjaya (Rakeyan Jambri), putra Sena, penguasa yang dikudeta sebelumnya.

Purnawarman (395-434 M)
 Purnawarman merupakan raja ke-3 dan Raja terbesar Tarumanagara, yang memerintah selama 39 tahun (antara tahun 395 hungga 434 M). Ia naik tahta Tarumanagara menggantikan ayahnya, Dharmayawarman, dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaarakrama Suryamahapurusa Jagatati atau Sang Pramdara Saktipurusa.
Zaman Purnawarman merupakan zaman keemasan tarumanagara. Banyak prasasti memuat kebesaran namanya. Setidaknya ada 7 prasasti yag berkaitan dengannya.
 Dalam memerintah ia dibantu adiknya, Cakrawarman, yang menjadi panglima perang (didarat). Sedangkan pamanya, Nagawarman menjadi panglima angkatan laut. Dari prameswarinya, ia mempunyai beberapa anak laki-laki dan perempuan. Diantaranya Wisnuwarman, yang kemudian menggantikannya.
Setelah meninggal, ia digelari Sang Limahing  Tarumanadi, karena abu jenazahnya di larungkan di Sungai Citarum, dan tahta selalunjutnya jatuh kepada anak sulungnya, Wisnuwarman.

Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana
Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana merupakan putri dari raja sunda. Nama putri ini ada dalam catatan di Naskah Bujangga Manik. Putri ini  terkenal sangat cantik sekali seperti diungkapkan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya, yang ia dengar dari ibunya (ibu Bujangga Manik) yang membujuknya supaya Bujangga manik mau menikah dengan sang putri:

"......Mungkin kau tidak tahu,
Sang Putri rupawan berkulit indah bercahaya,
tubuh molek dan perilaku baik,
selain cantik juga mempunyai keahlian,
terlindungi dengan baik dan tak dapat dikalahkan,
rambut bewarna hitam kebiru-biruan,
berilmu tanpa diajarkan,
cantik dari sejak lahir,
adil sejak dikeluarkan dari kandungan,
dia tidak ada tandingannya.”

Dan dalam kritiknyaa terhadap jompong larang terhadap  kecerobohannya. Ia menulis juga tentang kecantikan sang putri.

“.......Pahanya padat, pergelangan tangannya molek,
jari tangannya runcing,
kukunya panjang,
alisnya melengkung, pelipisnya menyatu,
susunan giginya yang indah, ........”



R


Ragasuci, Prabu  (mp. 1297-1303 M)
 Prabu Ragasuci dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya saja “ Nu Hilang di Taman”.  Nama masih belum menjadi raja terkenal dengan nama Rakeyan Saunggalah, dan setelah menjadi raja bergelar Prabu Ragasuci. Ia  naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu Resiguru Darmasiksa,. Ia berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297 hingga 1303 M. Karena sebelumnya, ayahnya,  Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi). Ragasuci memerintah berkedudukan Di Saunggalah (Kuningan).
Prabu Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota, karena kedudukan itu dijabat kakaknya, Rakeyan Jayadarma. Karena Jayadarma meninggal ketika masih muda (usia 44 tahun), ia kemudian naik tahta menggantikan ayahnya.
Prameswarii Ragasuci yang bernama Dara Puspa berasal dari putri kerajaan Melayu, dan merupakan adik dari Dara Kencana, istri Kertanegara dari Singasari (Jawa timur sekarang). Dari istrinya ia mempunyai anak yang bernama Citraganda, yang dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.
Setelah meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan di Taman, sehingga  ia kemudian dikenal dengan nama Sang Mokteng Taman.

Rahiyang Kidul
Rahiyang Kidul atau nama aslinya Jantaka, merupakan anak kedua dari Wretikandayun, sang pendir dan raja pertama kerajaan Galuh.  Ia lahir tahun 622 M, memilih menjadi rajaresi (batara hiyang buyut) di Denuk (sekarangg sekitar daerah Garut Selatan).


Rahiyang Mandiminyak
Rahiyang Mandiminyak atau nama aslinya Amara merupakan anak bungsu Wretikandayun yang lahir tahun 624 M,  Ia diangkat menjadi putra mahkota, dan kemudian menjadi raja di Galuh menggantikan Wretikandayun setelah wafat.
Rahiyang Mandiminyak ketika masih menjadi pangeran melakukan skandal percintaan dengan kakak iparnya (istri dari Sempak Waja)., sehingga ia kemudian diasingkan untuk sementara.
Diceritakan dalam naskah Carita parahiyangan, suatu waktu Rahiyang Mandiminyak yang merupakan putra mahkota Galuh, mengadakan pesta perjamuan (utsawakarma) di istana. Ia juga mengundang saudara-sudaranya, termasuk Semplak waja dan jantaka. Yang mengundang adalah ayahnya (Wretikandayun), yang merupakan raja Galuh waktu itu. Sempakwaja tidak hadir karena sakit namun karena menganggap undangan ayahnya tersebut penting, maka ia diwakili oleh isterinya Pwah Rababu. Sementara Pwah Rababu pergi ke Galuh, keduan anaknya tinggal di Galunggung merawat ayahnya (sempak Waja).
Kehadiran Pwah Rababu yang cantik di Istana Galuh ternyata menerbitkan masalah. Pwah Rababu disamping parasnya yang sangat cantik juga ia terkenal sangat pandai menari. Dan ketika ia ikut menari di halaman istana (buruan ageung) sangat menggemparkan masyarakat, berduyun-duyunlah orang untuk melihatnya, sehingga buruan ageung (halaman istana) sangat ramai. Hal ini membuat penasaran Sang Putra Mahkota. Dan ketika ia melihat wanita yang sangat cantik sekali maka tertarik, padahal mengetahui bahwa ia merupakan kakak iparnya.
Rahiyang Mandiminyak kemudian menyuruh patihnya untuk memaksa Pwah rababu untuk dibawa ke istanannya. Rahiyang Mandiminyak sangat mencintainya, hal ini mungkin juga sudah dipendam sejak dulu ketika kakaknya mendapatkan Pwah rababu yang terkenal sangat cantik. Rahiyang mandiminyak terkenal sebagai orang yang pandai merayu, Dan dengan paksaan maka dikhabarkan selama 4 hari terjadilah smarakarya (skandal asmara) antara Pwah Rababu, yang cantik itu, dengan adik iparnya, Rahiyang Mandiminyak.
Hasil skandal kedua manusia berlainan jenis itu adalah seorang anak laki-laki yang kemudian dinamakan Sena yang lahir pada tahun 661 M. Sena artinya sang salah, karena ia dilahirkan dari hubungan yang salah.
Skandal percintaan antara rahiyang mandiminyak dan Pwah rababu sangat menggemparkan istana galug dan juga kerajaa. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa tersebut, tetap akhirnya dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pwah Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung, dan  setelah lahir Sena harus dirawat oleh Mandiminyak sebagai pertanggungjawabannya.
Untuk meredam gejolak, dan juga reputasi istana yang terkenal sebagai pusat keagamaan.    Menurut sejarah, Mandiminyak selanjutnya disingkirkan secara halus dari keraton oleh ayahnya, Wretikandayun. Ia dikawinkan dengan Parwati anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga.
Dari perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha. Kelak setelah Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun 683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).
Pada tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah sampai tahun 742 M.
Tentang skandal ini diceritakan dalam Naskah Carita Parahiyangan, sebagai berikut:

Barang ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungukeuneunana, tatabeuhan di
Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh taya kendatna nu ngigel.
Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: “Patih, na naon eta
ateh?”
“Bejana nu ngigel di buruan ageung!”
“Eta bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tanggungan aing.
Geuwat bawa sacara paksa!”
Patih indit ka buruan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku
Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonna, nyalahir anak lalaki dingaranan Sang Sena.

Rahiyang Sena (mp. 709-716 M)
Rahiyang Sena erupakan raja kerajaan galuh ke-3. Rahiyang Sena dengan gelar Bratasenawa menjadi raja Galuh yang ketiga menggantikan ayahnya, Mandiminyak.  Ia naik tahta pada tahun 709 M setelah ayahnya (Mandiminyak meninggal) pada tahun itu juga. Tetapi hal ini tidak diterima oleh kakak seibunya, Purbasora, yang  merasa lebih berhak naik tahta Galuh. Purabasora kemudian mengkudeta Sena pada tahun 716 M.
Setelah dikudeta oleh Rahiyang Purbasora, Rahiyang Sena kemudian melarikan diri ke negeri istrinya, Sanaha, di Kalingga Utara (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Di Bumi Mataram ini ia mewarisi tahta dari istrinya,  menjadi raja di Medang Bumi Mataram tersebut.
Medang bumi mataram beribukota di sekitar daerah yogyakarta sekarang. Pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah jawa timur sekarang.  Dan diantara raja-raja yang berkuasa di Medang Bumi Mataram diantaranya Sena dan Sanjaya. Berdasar Prasasti Mantyasih tahun 907 M atas nama Dyah Balitung menyebut nama  Rakai mataram sang ratu Sanjaya. Tetapi dalam Prasasti canggal tahun 732 M, menyebut raja yang pernah berkuasa sebelumnya adalah Senna.
 Jadi ada korelasi sejarah dari Galuh dan Medang Bumi Mataram yang berasal dari prasasti-prasasti yang ditemukan di eks kerajaan Medang Bumi Mataram.

Rajaputra
Raja kedua dari kerajaan Kendan, dan merupakan putra dari Resi Manikmaya atau Sang Resi Guru. Dalam naskah Carita Parahiyangan diceritakan  “Sang Resi Guru boga anak Rajaputra”, demikian baris kedua dari carita Parahiyangan tersebut. 
Rajaputra merupakan gelar untuk Suraliman, yang dikenal sebagai seorang yang mahir dalam perang.  Disamping itu, ia juga terkenal sangat tampan disamping kelebihannya dalam ilmu perang dan strategi. Pada usia 20 tahun Suraliman  diangkat menjadi senopati Kendan, dan akhirnya  diangkat menjadi panglima balatentara (baladika) Tarumanagara.
Setelah ayahnya (Manikmaya) meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja kendan yang ke-2. Penobatannya berlangsung  pada tanggal 12 bagian gelap bulan asuji tahun 490 saka (5 Oktober 568 M). Pada masa pemerintahannya ia selalu unggul dalam peperangan.
Suraliman menikah dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari kerajaan Kutai di Kalimantan keturunan Kudungga). Dari pernikahannya dengan Dewi Mutyasari tersebut, ia mempunyai seorang putra yang bernama Kandiawan, dan seorang putri yang bernama Kandiawati. Kandiawan yang kemudian bergelar Rahiyangta ri Medang Jati kemudian menggantikannya, sedang adiknya, Kandiawati, menikah dengan  saudagar asal Sumatra dan tinggal bersama suaminya.
Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun (568-597 M), yang kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Sang Kandiawan.

Rakeyan Diwus  (MP. 795-812 M)
Rakeyan Diwus bergelar Prabu Pucuk Bumi naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Hujung Kulon Prabu Giling Wesi.
Ia berkuasa selama 24 tahun., dari  tahun 795 hingga 812 M. Ia kemudian digantikan oleh putranya, rakeyan Wuwus.

Rakeyan Hujung Kulon (MP. 783-795 M)
Rakeyan Hujung kulon merupakan raja kerajaan Sunda pengganti Raakeyan Medang. Rakeyan Hujungkulon  bergelar Prabu Gilingwesi,  naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan berkuasa selama 12 tahun dari tahun 783-795 M.
Rakeyan Hujung Kulon merupakan putra raja Galuh, Sang Mansiri. Karena  Rakeyan medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ketangan menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.
Dari negeri ayahnya, tahta Galuh jatuh kepada adiknya, sang Tariwulan, dengan gelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
Rakeyan Hujung Kulon juga tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga  tahta kemudian jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara pada tahun 795 M.

Rakeyan Jayagiri (mp.916-920 M)
Rakeyan Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa Jaya Buana berkuasa di tahta sunda setelah mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.
Setelah mengkudeta kekuasaan dari kakaknya sebagai raja Sunda, Rakeyan Jayagiri juga berusaha untuk menguasai Galuh yang masih dipegang oleh keturunan Rakeyan Kamuning Gading. Putri Kamuning Gading menikah dengan penguasa Galuh, Rakeyan JayaDrata, yang merupakan cucu dari Dahyiang Guruwisuda dari putrinya yang bernama Dewi Sundara.  Dan berbarengan dengan kudeta Jayagiri terhadap Kamuning Gading, di kerajaan Galuh terjadi suksesi kekuasaan kepada Rakeyan Jayadrata.
Untuk menyempurnakan kekuasaanya, pasukan kerajaan Sunda kemudian diperintahkan oleh Rakeyan Jayagiri untuk merebut keraton Galuh. Tetapi ia dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Galuh. Serangan kedua yang besar dan lengkap, dikerahkan untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuan kedua juga dapat dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh Prabu Jayadrata.
Karena tidak pernah dapat dikuasai oleh Rakeyan jayagiri, maka kerajaan Galuh menjadi kerajaan merdeka di bawah naungan Prabu Jayadrata. Dan kekuasaan Rakeyan jayagiri hanya mencakup kerajaan sunda sebelah barat Citarum.
Rakeyan Jayadrata menikah dengan putri dari Kamuning Gading. Karena itu, Rakeyan jayadrata mendukung adik iparnya, Rakeyan Limbur kancana untuk merebut kekuasaan dari Rakeyan jayagiri. Dan Rakeyan Limbur Kancana dapat merebut kekuasaan dari Rakeyan Jayagiri pada tahun 920 M.
Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti, akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.
Sebagai tindakan balas dendam, Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suami Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930 Masehi.
Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.

Rakeyan Kamuning Gading ( mp. 913-916 M)
Rakeyan Kamuning Gading, dengan gelar Prabu Pucukwesi,  naik tahta  menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan berkuasa hanya 3 tahun (913-916 M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.


Rakeyan Limburkancana (mp. 920-930 M)
Rakeyan Limburkancana naik tahta sunda setelah mengkudeta pamannya, Rakeyan Jayagiri, sebagai balas terhadap ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916 M.
Rakeyan Limburkancana mempunyai 2 orang anak, yaitu Rakeyan Sunda Sambawa dan Dewi Somya. Setelah Limburkancana meninggal, tahta Sunda direbut oleh menantu Rakeyan Jayagiri   yang bernama Rakeyan Watuagung.

Rakeyan Medang (mp. 766-783 M)
Rakeyan medang merupakan raja Sunda setelah Prabu Hariang Banga. Ia merupakan putra dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di tahta Sunda, yang berkuasa selama 17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan gelar penobatan Prabu Hulu Kujang.
Ia merupakan putra dari Hariang banga dari istrinya Dewi Kencana Sari (keturunan Demunawan). Ia tekenal dengan nama  Rakeyan Medang, karena pernah menetap di negeri buyutnya di Medang Bumi Mataram (bekas Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan Panangkaran (putera Sang Sanjaya).
Sebelum menjadi raja, Rakeyan Medang menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun. Dari permaisurinya, Prabu Hulukujang mempunyai seorang puteri, yang bernama Dewi Samatha. Sang putri kemudian menikah dengan Rakeyan Hujungkulon.    Karena Rakeyan Medang  tidak mempunyai anak laki-laki, maka  tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung Kulon, yang bergelar Prabu Gilingwesi.

Rakeyan Watuagung  (930-954 M)
Rakeyan Watu agung bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M).
Ia kemudian dikudeta oleh sepupunya, putra Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp. 954-964 M)

Rakeyan Windusakti (mp. 895-913 M)
Rakeyan Windusakti  dengan gelar Prabu Dewageng Jayeng Buana, naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Arya Kedaton, yang terbunuh. Ia berkuasa dari tahun 895 sampai 913 M.
Rakeyan Windusakti menikah dengan putri dari Rakeyan Wuwus, Dewi Sawitri.  Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti, mempunyai  dua orang putera, yaitu:  Rakeyan Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri.
Setelah wafat, ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading pada tahun 913 M. dengan gelar  Prabu Pucukwesi

Ratu Dewata (mp. 1535-1543 M)
Prabu Dewata buanawisesa atau kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia  naik tahta raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.
Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim  dan taat beragama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu, hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang Vegetarian). Hal ini diceritakan dalam naskah carita Parahiyangan:

Prabu Ratudewata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem.
Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku
tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehann tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara,
henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya. Katelah
ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.
     
Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah  dengan baik. Tapa brata  seperti yang dilakukannya hanya boleh  dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:
  Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan  engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupanya penulis kisah kuno ini  melihat bahwa kealiman  Ratu Dewata  itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).
Pada masanya perjanjian perdamaian  Pajajaran Cirebon  masih berlaku. Tetapi ratu dewata lupa bahwa ia merupakan tunggul (pimpinan) negara yang harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk beluk dalam politik.
Sementara, Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten, yang ikut juga dalam menandatangani perjanjian perdamaian Cirebon Pajajaran tersebut, kurang menyetujui karena wilayah kekuasaanya berbatasan langsung dengan Pajajaran, tetapi karena kepatuhan pada ayahnya, Sunan Gunung Jati.
Hasanuddin membuat pasukan khusus tanpa identitas resmi, yang mampu bergerak cepat. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata  ini terjadi serangan mendadak  ke ibukota Pakuan dari musuh yang tidak dikenal asal usulnya. Ratu Dewata  beruntung masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa,  dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, perwira ini masih mampu menghadapi serangan musuh, disamping tangguhnya benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga, menyebabkan serangan banten  (dan mungkin juga dari Kalapa / Jayakarta) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang pernah jadi rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran  Sri Baduga yang diwariskan kepada cucu-cucunya.
Penyerang tidak berhasil  menembus pertahanan kota tetapi 2 orang perwira (senopati) pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan sarendet.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu  ini dengan cepat bergerak ke utara  dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, yang dalam zaman Sri Baduga  merupakan desa kawikuan yang dilindungi negara.


Ratu Pucuk Umun  (1530-1578 M),
Ratu Pucuk umun atau ratu Inten Dewata  merupakan Raja (ratu) Sumedang Larang yang pertama kali masuk Islam. Ia naik tahta Sumedang Larang menggantikan ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan.  Ia merupakan  seorang keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk Islam, dan berkuasa bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang Larang.  Pada masanya ibukota  kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kuatamaya.
Pada pertengahan abad ke-16 M, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia sendiri kemudian masuk Islam dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M), yang terkenal dengan nama Pangeran santri, atau  Ki Gedeng Sumedang. Pangeran santri yang memerintah Sumedang bersama istrinya, sambil menyebarkan islam ke seluruh wilayah kerajaan.
Pangeran Santri adalah putra dari pangeran Palakaran (Pangeran Pamalekaran / dipati tetarung), putra arya dammar (sultan Palembang). Ibunya  Ratu Martasari (Nyi Mas ranggawuluung), anak  Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjuman) serta  cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama  keturunan Arab Hdramaut, yang berasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru kerajaan Sunda.
Pangeran Kusumah dinata terkenal dengan nama Pangeran santri karena  asalnya dari pesantren dan pewrilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahannya tersebut, berakhirlah  masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Dan sejak itu menyebarlah Islam di seluruh penjuru Sumedang larang.
     Dari hasil pernikahan antara Pucuk Umun dan Pangeran santri melahirkan 6 orang putra,yaitu
  1. Pangeran Angkawijaya, yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Geusan ulun, yang menggatikan menjadi raja Sumedang Larang. Ia merupakan  raja Sumedang Larang terbesar dan terakhir kerajaan Sumedang Larang.
  2. Kiai rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang, suapaya memeluk Islam.
  3. Kiai Demang Watang di Walakung
  4. Santowaan  Wirakusumah yang keturunannya berada di pagaden dan Pamanukan Subang.
  5. Santowaan Cikeruh
  6. Santowaan Awi Luar.

     Ratu pucuk Umun  dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean gede kota Sumedang.

Ratu sakti (mp. 1543-1551 M)
Sang Ratusakti Sang Mangabatan merupakan Raja Pajajaran ke-4. Ia menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun  1543 sampai dengan tahun 1551 M.
Untuk mengatasi  yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja melakukan pelanggaran  yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini  Estri Larangan ti Kaluaran, yaitu dengan mengawini pengungsi yang sudah bertunangan. Konon masih  ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya, yaitu bekas selir ayahnya. Karena itu kemudian ia diturunkan dari tahta kerajaan.
Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian pasukan Hasanauddin dari Banten dan Fatahillah sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan.

     Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.
Tentang keberadaan Ratusakti ini diceritakan dalam naskah carita Parahiyangan sebagai berikut:
diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka
Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe.
Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa,
ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita.
Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.

Resi Manikmaya
Resi Manikmaya atau kalau dalam naskah Carita Parahiyangan disebut dengan nama gelarnya Sang Resi Guru. Ia merupakan pendiri kerajaan Kendan, yang merupakan kerajaan bawahan Tarumanagara dan ia menjadi raja yang pertama.
Ia berasal dari keluarga calangkayana, India Selatan. Sebelumnya ia telah mengembara  mengunjungi beberapa negara, seperti: Gandi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa sapi (Ghohnusa) atau pulau Bali, Syangka, yawana, Cina dan lain-lain.
Manikmaya menikah dengan putri raja Tarumanagara ke7, maharaja Suryawarman (mp. 535-561 M) yang bernama Tirtakancana. Oleh Suryawarman ia dihadiahi daerah Kendan (yaitu suatu wilayah  perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung sekarang). Dan ia kemudian dinobatkan sebagai raja  resi guru di daerah ini, yang dilengkapi dengan mahkota raja dan mahkota prameswari. Semua raja daerah taruumanagara, oleh Suryawarman harus menghormatinya, karena disamping sebagai menantu raja juga karena sebagai seorang brahmana ulung yang dianggap banyak berjasa terhadap agama.
Manikmaya memerintah Kendan selama 32 tahun , dari tahun 536 sampai 568 M. Dari perkawinannya dengan Tirtakusuma ia mempunyai seorang putra dan seorang putri. Yang putra bernama Rajaputra Suraliman, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa Kendan yang kedua.


S
Saleh Danasasmita
Ia termasuk salah satu dari 3 orang yang berjasa dalam mengungkap tuisan sejarah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta, disampng Ayatrohaedi dan Yoseph Iskandar tahun 1980-an. Bahkan ia pada tahun 1986 ia telah berhasil mengidentifikasi Pangeran wangsakerta, sebagai sejarawan Abad XVII. Tulisan itu berupa makalah, pernah disampaikan dalam Seminar Kebudayaaan Sunda Proyek Sundanologi Depdikbud di Bandung pada tanggal 9-11 Maret 1986, yang sebelumnya nyaris tidak dikenal dalam penulisan sejarah Nusantara.

Sang Aki Kolot ( mp. 1340-1350 M)
Dalam Carita Parahiyaangan di sebutkan bahwa Sang Aki Kolot menjadi raja / berkuasa di Galuh dan Sunda selama 10 tahun.
Sang Aki kolot merupakan sebutan dari Prabu  Ragamulya Luhur Prabawa, yang naik tahta  Sunda  (termasuk Galuh) menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Ia memerintah selama 10 tahun  dari tahun 1340 sampai dengan tahun 1350 M.
Sang Aki Kolot atau Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati.      Setelah meninggal, ia dikenal  dengan Salumah Ing  Taman, karena ia meninggal di Taman.
 Setelah meninggal kekuasaan jatuh pada anaknya, yang bernama Prabu   Linggabuana wisesa, yang dalam Carita Parahiyang hanya disebut Prabu Mharaja, yang berkuasa selama 7 tahun  (1350-1357 M), yang gugur dalam perang bubat

Sang Kadiawan
Sang Kandiawan adalah  raja ke-3 dari kerajaan Kendan. Ia merupakan anak dari Rajaputra Suraliman. Sang kandiawan menyebut dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia bergelar     Rahiyangta di Medang jati  atau terkenal juga dengan nama  Sang Layu Watang. Dialah yang membuat Sanghiyang Watang Ageung.
Sang Kandiawan menggantikan tahta ayahnya, Suraliman, menjadi raja Kendan yang ke-3. Sebelum menjadi raja Kendan,  ia telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu Sang Kandiawan  diberi gelar Rahiyangta Ri Medang Jati.
Setelah ia  dinobatkan menjadi raja, ia tidak berkedudukan di  Kendan, tetapi di Medang Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan  pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang  daerah kendan  pemeluk Hindu Siwa. Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M).
Sang Kandiawan  mempunyai 5 orang putra, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun.  Kelima anak sang Kandiawan  dalam naskah ini dianggap sebagai “titisan” Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala,
Tahun 612 M,  Sang Kandiawan  mengundurkan diri dari tahta kerajaan, alalu menjadi pertapa  di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu telah menjadi rajaresi di Menir.

Sang Manarah (739-783 M)
Sang Manarah atau Prabu  Suratama atau Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun 739-783 M),  dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum di sebelah barat.
Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permanadikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh utusan Temperan, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Ibunya Dewi Pohaci Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah  Permana meninggal ia menjadi istri kedua temperan.
Setelah menginjak remaja, ia kemudian melakukan kudeta terhadap keturunan Sanjaya (tamperan), dengan dukungan penuh kakeknya, Bimaraksa atau kemudian terkenal dengan nama Aki balangantrang.

Sang Tariwulan Prabu Kertayasa (mp. 799-806 M)
Sang Triwulan menjadi raja menggantikan Guruminda Sang Minisri. Ia berkuasa di tanah Galus selama 7 tahun, dari tahun 799 sampai dengan tahun 806 M.
Sang Tariwulan bergelar Prabu Kertayasa Dewakusaleswara, merupakan putra kedua dari Sang Minisri. Kakaknya Rakeyan Hujung Kulon menikah dengan putri Rakeyan Medang. Karena Rakeyan Medang tidak mempunyai anak laki-laki, maka tahta Sunda kemudian jatuh kepeda menantunya, Rakeyan Hujung Kulon. Dan setelah menjadi raja sunda, pangeran hujung Kulon bergelar Prabu Gilingwesi.
Karena kakaknya, Rakeyan Hujung Kulon, menjadi raja Sunda, maka tahta galuh jatuh pada adiknya, Sang Tariwulan, dengan gelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
  
Sang Welengan ( 806-813 M)
Sang Welengan dan bergelar Prabu  Brajanagara Jayabhuwana, menjadi penguasa galuh menggantikan Sang Tariwulan Prabu Kertayasa. Dalam Carita parahiyangan diceritakan bahwa ia berkuasa di Galuh selam 7 tahun..
  
Sanghiyang Ageung, Prabu (mp. 1019-1030 M)
Prabu Sanghiyang Ageung dalam Carita Parahiyangan di sebut “Prabu Sanghiang” yang berkuasa selama 11 tahun.  Prabu Sanghiyang Ageung mewarisi tahta sunda dan Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Sanghiyang yang meninggal dunia. Ia memerintah tanah sunda  dari tahun 1019 hingga 1030 M, dengan ibukota  di istana Galuh.
Karena ia berkuasa atas Sunda dan galuh maka ia menyadang gelar Maharaja. Dan sebagai penguasa wilayah kerajaan galuh, ia percayakan kepada adik istrinya, Dewi Sumbadra pada tahun yang sama yaitu pada tahun 1019 M. Maharaja sanghiyang Ageung meninggal pada tahun 1030M, tetapi Dewi Sumbadra berkuasa atas tanah galuh hingga tahun 1065 M.
Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya, yang masih kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak yang bernama Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri Jayabhupati inilah yang kemudian  membuat prasasti Cibadak.


Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518 M)
Naskah ini ditulis pada tahun 1440 saka atau 1518 M, dalam bahasa Sunda kuno, yang ditulis dalam daun nipah. Naskah ini oleh sebagaian ahli  dianggap sebagai pustaka ensiklopedik, yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional,  kropak 630).
Isi naskah ini dibagi 2 bagian. Yang pertama disebut dasakreta selaku ”kundangeun urang rea” (ajaran akhlak untuk semua orang). Sedang yang kedua  disebut darma pitutur, yang berisi ilmu pengetahuan (bahasa sunda = pangaweruh) yang harus dimiliki oleh setiap manusia agar hidup berguna di dunia.
Meskipun  dalam naskah ini berjudul karesian, isinya tidak hanya berkenaan dengan kaum agama, tetapi banyak bertalian dengan kehidupan menurut ajaran darma. Dan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan ada dalam darma pitutur, seperti apa yang diungkapkan dalam pengantarnya:
 Kitu keh urang janma ini lamun dek nyaho dipuhun suka lawan enak ma ingetkeun saur sang darma pitutur...., kalinganya, kita jarang dek ceta, ulah salah geusan nanya.”


Sanghiyang Talaga Warna
Bujangga Manik dalam naskahnya (abad 15 M) menyatakan bahwa tempat ini merupakan Tempat  yang berupa danau Paling Disucikan Orang Pakuan.
Dalam perjalanannya setelah tinggal di Hulu sungai citarum di gunung sembung setahun. Bujangga Manik kemudian merencanakan ke tempat suci yang paling disucikan oleh orang di Pakuan, dan danau suci Sanghiyang Talaga Warna, di gunung gede (dulu gunung ageung). Untuk itu ia kemudian  berjalan ke arah utara barat, berjalan melewati gunung Pala, dengan menyebrangi sungai Cisaunggalah, dan berjalaan ke arah barat hingga tiba di kabuyutan di gunung Pategeng, yang oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang, ketika akan membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit. Kemudian ia menyebrang sungai Cihea, sungai Cisokan, daeah pamengker. Manunggal, berjalan melewati Lingga Lemah. Lalu pergi ke Eronan, mendaki gunung Lembu Hambalang. Setiba di gunung Ageung, hulu sungai ciliwung,
Dalam perjalanannya menuju kabuyutan di hulu sungai ciliwung, yang disucikan oleh orang pakuan. Ia melewati  kabuyutan di gunung Pategeng, yang oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang, ketika akan membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit.
Disni diceritakan tentang tempat suci Pakuan, di Hulu Sungai Ciliwung di Gunung Gede (Gunung Ageung).. Ada yang menganggap tempat suci orang pakuan ini adalah situs gunung Padang di cianjur. Dan ada yang menganggap bahwa Situs gunung padang adalah tempat pertapaan Bujangga Manik, di hulu sungai cisokan.

 Sepergiku dari sana,
berjalanlah aku ke utara-barat,
melihat pegunungan:
itulah Gunung Karesi,
itulah Gunung Langlayang,
di baratnya Gunung Palasari.

Berjalan melewati Gunung Pala.
Setiba ke tempat suci,
menyeberangi Sungai Cisaunggalah,
aku berjalan ke barat,
tiba di Gunung Pategeng,
peninggalan Sang Kuriang,
ketika akan membendung Citarum,
tetapi gagal karena matahari keburu terbit.

Telah kulalui daerah itu,
aku menyeberangi Sungai Cihea,
aku menyeberangi Sungai Cisokan,
pergi ke daerah Pamengker.

Tibalah aku di Mananggul,
berjalan melewati Lingga Lemah.

lalu aku pergi ke daerah Eronan,
mendaki [Gunung] Lembu Hambalang.

Setiba di Gunung Ageung,
itu hulu Sungai Cihaliwung,
tempat suci dari Pakuan,
danau suci Sanghiang Talaga Warna:

 “Oh, bagaimana nasibku!
Aku tidak akan dapat melanjutkan perjalanan,
mengunjungi ibu dan ayahku,
mengunjungi tempat guruku!”

Sangkuriang
Sangkuriang adalah tokoh legenda yang sangat terkenal dalam sejarah lisan peradaban Sunda. Dia dianggap sebagai tokoh praktisi intelektual terkemuka dalam sejarah lisan Sunda. Ia selalu dikaitkan dengan pembuatan bendungan Bandung tua tempo dulu, dan selalu dikaitkan dengan legenda berdirinya gunuNg Tangkuban Perahu.
Cerita Sangkuriang ini diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dan sumber tulisan tertua yang menyinggung mengenai Sangkuriang ini diungkap dalam naskah Bujangga Manik, yang ditulis oleh pertapa dan pengembara Sunda yang terkenal yaitu Bujangga Manik atau Prabu Jaya pakuan pada abad ke 15 M.Dalam perjalanannya menuju kabuyutan di hulu sungai ciliwung, yang disucikan oleh orang pakuan. Ia melewati  kabuyutan di gunung Pategeng, yang oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang, ketika akan membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit.
Cerita  Sangkuriang ini sangat inspirated terutama menyinggung dalam penguasaannya terhadap tekhnologi tinggi. Terlepas dari adanya bantuan dari jin atau apapun, tetapi yang jelas bahwa sangkuriang ini memenang tokoh ini erat kaitannya dalam penguasaan tekhnologi.


Sanjaya
Rahiyang Sanjaya merupakan raja ke-5 kerajaan Galuh, dan menjadi raja ke-2 dari kerajaan Sunda menggantikan mertuanya Prabu Tarusbawa. Ia terkenal juga dengan nama Rakeyan Jambri.Ia lahir pada tahun 683 M, yang berarti ketika ayahnya dikudeta ia berusia 30 tahun. Ayahnya  Rahiyang Sena dan ibunya bernama Sannaha 
Ayahnya, Sena dikudeta oleh ua-nya, Rahiyang Purbasora. Ia kemudian berencana untuk menuntut balas dendam terhadap Rhiyang Purbasora, yang telah mengkudeta ayahnya. Pada awalnya yang ditemui adalah Rahiyang Kidul di Denuh. Rahiyang Kidul tidak mau mengambil resiko dari kerajaan Galuh, karena itu ia menyarankan untuk pergi ke Kuningan untuk menemui penguasanya di sana. Dan Rahiyang Kidul juga menyarankan untuk pergi ke kerajaan tohaan Sunda (kerajaan Sunda) dimana istri Sanjaya berasal.  
Di Galuh, Sanjaya juga menemui opsisi  Rahiyang Purbasora, yaitu Rubuyut Syawal yang merupakan teman ayahnya, Rahiyang Sena,  untuk meminta pusaka darinya  yang merupakan lambang kekuasaan Galuh. Dalam percakapannya dengan Rubuyut Syawal  Sanjaya berkata:” saya putra Prabu sena, saya mau menanyakan tentang pustaka kepunyaan Rubuyut  Syawal, yang isinya ‘Retuning Bala sarewu”, yang mengadung kebiksanaan (hikmah) untuk menjadi Raja yang perkasa, warisan Sang Resi Guru.” Mengetahui bahwa Sanjaya merupakan putra dari Sena yang merupakan sahabatnya, maka pusaka tersebut kemudian diberikan kepada Sanjaya.
 Setelah mendapat  pusaka dari Rubuyut Syawal, yang diselamatkan dari kudeta Prabu purbasora. Maka Sanjaya mulai menyusun kekuatan untuk mengkudeta Prabu Purbasora. Meskipun ia telah menikah dengan cucu Tarusbawa dari kerajaan Sunda,  ia belum berani menyerang galuh. Dan hasratnya dilaksanakan setelah Prabu Tarusbawa meninggal pada tahun 723 M, dan ia menggantikan menjadi raja di Pakuan atas nama istrinya.
 Rencana serangan terhadap Rahiyang Purbasora di Galuh,  disusun sangat hati hati dengan bantuan Rubuyut Syawal dan pasukan dari Sunda pada tahun 723 M. Pasukan dari Rubuyut Syawal ia pimpin sendiri, sedang pasukan dari kerajaan Sunda, dipimpin oleh paman istrinya,  Patih Anggada.
 Serangan dilakukan pada malam hari  dengan diam-diam dan mendadak yang menyebabkan seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil  meloloskan diri hanyalah menantunya yang menjadi patih Galuh, yang sekaligus menjadi senopati kerajaan, yang bernama Bimaraksa bersama sepasukan kecil. Bimaraksa  ini yang dikemudian hari  terkenal dengan nama Aki Balangantrang, memainkan peranan penting dalam upaya merebut kembali kekuasaan Galuh dari turunan sanjaya, yang diperankan oleh sang Manarah, atau dalam cerita rakyat sering disebut dengan Ciung Wanara. Aki Balangantrang inilah yang nantinya menjadi batu sandungan Sanjaya  berikutnya.
 Dengan demikian pada tahun yang sama, yaitu tahun 723 M, sanjaya mewarisi 2 kerajaan besar di Tanah Sunda, yaitu kerajaan sunda dan kerajaan Galuh. Sehingga Sunda dan Galuh dapat dipersatukan lagi oleh Sanjaya.

Saung Agung
Kerajaan Saung Agung keberadaanya diungkapkan oelh Bujangga manik dalam naskahnya pada abad ke-15 M. Dikatakan oleh Bujangga Manik  dalam naskahnya bahwa Gunung Burangrang, merupakan pilar / tapal batas wilayah Saung Agung.  Di kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan Saung Agung.
Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon .Pada tahun 1530, bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten.

Sempak Waja
Sempak Waja atau dalam Carita parahiyangan disebut Rahiyang Semplak Waja, merupakan anak tertua Wretikandayun, pendiri dan raja kerajaan Galuh pertama.  Sempak Waja yang lahir tahun 620 M. Ia memilih menjadi batara dangiang guru  di Galunggung.
Kisah   Rahiyang Sempak Waja dimasa muda diceritakan agak romantis. Berawal dari rasa iba (kasihan)  Sang Resiguru dari Kendan terhadap Sempak Waja yang tidak punya istri. Sang Resi guru memerintahkan anaknya, Pwah Rababu yang terkenal sangat cantik, untuk menemui Sempak waja, karena dianggap sangat cocok untuk menjadi suaminya.
Konon karena kesaktiannya, Sang Resiguru ini mengubah ikat kepalanya (totopong) menjadi Jaralang Bodas. Dan jaralang Bodas itu mendekati Sempakwaja. Dalam hatinya Sempak Waja bertanya: “ Mengapa ada Jaralang Bodas?” Karena itu Sempak Waja kemudian mengambil penyumpit, terus mengejarnya untuk disumpit. Tetapi ketika ia terus mengejarnya malah menemukan wanita cantik yang bernama Pwah Rababu, yang sedang mandi di telaga Cendana. Kata Sempak Waja siapa yang sedang mandi itu. Ia kemudian samping (jarit) nya dileled ku sumpit dan kena. Ada teman Pwah rababu, yang bernama Pwah Aksari ketika melihat Sempak Waja kemudian melarikan diri ke hutan sekitarnya (tegalan). Dan Pwah Rababu oleh Sempak Waja kemudian dibawa ke Galunggung dan kemudian dijadikan istrinya.
Diceritakan bahwa Sempak Waja sangat mencintai istrinya (dipikasih), dan dari istrinya tersebut mempunyai 2 putra, yaitu Rahiyang Purbasora dan Rahiyang Demunawan.
Dalam Naskah Carita Parahiyangan, diceritakan:

Anak Rahiangta di Menir teh aya tiluan, nu cikal nya Rahiang Sempakwaja, ngadeg
Batara Dangiang Guru di Galunggung; Rahiangtang Kidul, ngadeg Batara Hiang Buyut di Denuk; Rahiangtang Mandiminyak ngadeg ratu di Galuh.
Carek Sang Resi Guru: “Karunya aing ku Rahiang Sempakwaja henteu boga pamajikan.
Anaking Pwah Rababu! Hidep leumpang ungsi Rahiang Sempakwaja, lantaran aya
manehna pibatureun hidep tatapa.”
Sang Resi Guru ngagesek totopong jadi jaralang bodas, nya indit nyampeurkeun
Rahiang Sempakwaja, nu harita kabeneran keur ngawelit.
Carek Sanghiang Sempakwaja: “Na naha nya aya jaralang bodas etah?”
Cop nyokot sumpit, terus diudag rek disumpit. Pwah Rababu kapanggih eukeur mandi di talaga Candana.
Carek Rahiang Sempakwaja: “Ti ma etah nu mandi?” Sampingna dileled ku sumpit,
beunang. Aya baturna para Pwah Aksari, tuluy lalumpatan ka tegalan.
Pwah Rababu dibawa ku Rahiang Sempakwaja, dipirabi. Kacida dipikaasihna. Nya lahir anakna lalaki duaan, nya eta Rahiang Purbasora jeung Rahiang Demunawan.

 Si Kabayan
Dalam peradaban di Indonesia, yang mempunyai sejarah lisan terbanyak yang diceritakan secara turun temurun dan menjadi cerita tokoh pandir terkemuka adalah tokoh yang bernama Sikabayan. Jika di peradaban timur tengah tempo dulu mengenal cerita tokoh pandir terkemuka, yaitu Abu Nawas, dalam peradaban sunda ada Si Kabayan.
Tokoh si kabayan ini merupakan cerita dongeng yang banyak diceritakan dalam hubungannya dengan ide ide yang brilyan dalam masyarakat biasa di zamannya. Meskipun terlihat pandir dan juga konyol, tetapi dari berbagai cerita mengenai sikabayan mengindikasikan bahwa dia adalah seorang pemikir dan tokoh yang selalu dikaitkan dalam menyelesaikan masalah yang cukup rumit di masyarakatnya. Meskipun terkesan malas, tetapi dari berbagai cerita alasannnya cukup memberikan info dalam memberikan penyelesaian masalah masalah di zamannya, dengan perumpamaan yang sangat mengagumkan.
Suatu cerita lisan menunjukan bahwa mungkin tokoh ini ada di zaman dahulu. Meskipun kita tidak pernah tahu sejak zaman kapan tokoh ini berada. Tetapi dari kisah kisah menunjukan bahwa dia memang ada, dan sangat berbekas dalam hati masyarakat, sehingga selalu mengenangnya dan menceritakannya dari masa ke masa. Karena tidak mungkin masyarakat menceritakan tanpa ada sebab dan musababnya.  Dan hal ini hanya ada di daerah sunda, di daerah lain tidak ditemukan tokoh semacam ini, termasuk dalam peradaban jawa.
Tokoh Si Kabayan, kadang di ceritaan sebagai tokoh konyol, pandir dan malas, tetapi dengan ide ide dan kemauan yang besar dan brilyan. Karena segala permasalahan yang rumitpun oleh si kabayan ini bisa diselesaikan, meskipun terkadang agak konyol. Dia dianggap malas dimungkinkan karena ia berada di lingkungan pedesaan yang segala sesuatu harus bekerja dengan tenaga dan gerak, tidak ada sedikitpun ruang untuk merenung dan berpikir. Dari sinilah seolah dia juga seorang penghayal yang tiada bandingnya. Menghayal sangat beda tipis dengan berpikir, merenung adalah salah satu cara untuk berpikir. Si kabayan juga terkenal dengan tokoh berkemauan besar. Buktinya ia telah memenangkan hati Nyi Iteung, mojang desa yang menjadi bunga desa sehingga menjadi istrinya.  Dia memang penghayal besar, yang selalu dikaitkan dengan penyelesaian masalah yang rumit dengan mudah dapat diselesaikan meskipun agak konyol.
Yang dingat dari kisah si kabayan yang selalu diceritakan oleh ayah dan ibu saya, adalah tentang sayembara menaklukan gajah yang sedang ngamuk. Banyak orang sakti yang tidak bisa menundukan gajah yang sedang ngamuk dan marah tersebut. Hal itu kedengaran oleh Sikabayan. Dan ketika sedang merenung memikirkan cara menaklukan gajah yang sedang ngamuk tersebut, tiba tiba ada seekor nyamuk yang bunyi pas di depan mukanya. Maka oleh sikabayan nyamuk itu ditepuk oleh dua tangannya, sehingga mati.
Dari kejadian ini si kabayan mencoba menarik logika dan kesimpulan. “Nyamuk saja yang kecil sekali tepuk sudah mati, apalagi gajah yang besar”. Meskipun logikanya agak konyol, tetapi begitulah si kabayan, kadang dengan ide kecil dan sepele inilah seseorang biasanya menjadi berani. Dengan logika tersebut Si Kabayan dengan gagahnya memberanikan diri untuk ikut sayembara menangkap gajah yang sedang marah dan ngamuk tersebut.
Keberpihakan memang selalu ada pada si kabayan. Karena hadiahnya akan dikawinkan dengan seorang putri raja. Mendengar suaminya akan mengikuti sayembara, maka sang istri cemburu, sehingga ketika ia mau pergi ikut sayembara, di nasinya ia campurkan sedikut racun yang bisa melumpuhkan. Tadinya nasi ini untuk bekal si kabayan.
Maka berangkatlah si kabayan ke lokasi gajah yang sedang mengamuk. Alangkah kagetnya si kabayan, melihat gajah yang begitu besar dan sedang marah. Sehingga banyak pohon yang tumbang karena amukan sang gajah. Melihat demikian hati si kabayanpun mulai ciut, dan ia mencoba naik pada pohon besar. Tetapi terus dikejar oleh sang gajah, dan sang gajah tersebut menunggu di bawah sambil mendorong dorong pohon yang dinaiki si kabayan tersebut, sehingga nasi yang dibawanyapun jatuh, dan dimakan oleh sang gajah. Karena beracun maka sang gajahpun pingsan.
Karena jasanya dalam menaklukan gajah ini si kabayan mendapat banyak hadiah, meskipun ia tidak mengawini salah seorang putri raja. Karena tujuannya hanya ikut menaklukan sang gajah.

Situs Karang Kamulyan
Situs karang kamulyan dipercaya oleh masyarakat  ciamis sebagai peninggalan kerajaan galuh di era Ciung wanara (sang manarah). Situs ini terletak  antara ciamis dan banjar (kira-kira 17 km ke arah timur dari kota ciamis) yang luasnya 25 ha.

 Situs Sindang Barang
Situs Sindang Barang terletak di kampung Sindang Barang desa Pasir Euri, kecamatan tamansari kabupaten bogor.   Di kampung Sindang barang (sekitar 8000 m2) ini  terdapat  sejumlah situs-situs purbakala peninggalan  kerajaan pajajaran, seperti: batu dolmen, menhir, dakon, temu gelang, punden ater dan surawisesa,  yang berada di 98 titik lokasi seluas 285 ha. Di lokasi ini terdapat batu karut yang memiliki ukuran sebesar rumah.
Tetapi situs ini mengalami tragis sekali, peninggalan yang berharga tidak mendapat penghargaan dari pemerintah, negara dan pejabat asal daerahnya. Peninggalan berharga kemudian dijual kepada cukong-cukong dan dijadika prerumahan elit, suatu penghinaan terhadap nenek moyang.

SPHATIKARNAWA WARMANDEWI (mp. 340-348 M)
 Raja ke-9 kerajaan Salakanagara dari dinasti Dewawarman. Ia merupakan putri sulung Dewawarman 7.

Sri Baduga Maharaja Jayadewata (mp. 1482-1521M)
Sri Baduga Maharaja Jayadewata atau Prabu Jayadewata  merupakan Pajajaran terbesar dan peratama. Ia meupakan  putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda atau kemudian terkenal dengan nama Pajajaran pada tahun 1482 M. 
Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. seperti diungkap dalam Naskah Carita parahiyangan:

Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di
Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana
henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku
ngalanggar Sanghiang Siksa.

 Masa mudanya Sri baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Marugul) waktu bersaing  memperebutkan  Subanglarang, istrinya yang beragama Islam. Dalam berbagai hal orang sezamannya  teringat kepada kebesaran  buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu Siliwangi.
Pada mulanya ia  memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindang kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja Jayadewata. Ia merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastukenacana dari Mayang Sari. Ia  kemudian memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedengtapa, yang menjadi raja di Singapura. Subang Larang  adalah muslim pertama di lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok qura di Pura Karawang. Dari turunan  Subang Larang inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda (raja Cirebon dan banten). Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak: Walangsungsang (atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang (ibu dari Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara. Jaya Dewata juga memperistri Kentrik  Manik Mayang sunda,  putri Prabu Susuk Tunggal, dari istana Pakuan. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
Pada tahun 1482 M,  Jaya Dewata menerima tahta  Galuh dari ayahnya,  Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran
    Dalam carita parahiyangan  diberitakan  sebagai berikut: ” Sang Susuk Tunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana  Sri Baduga  Maharajadiraja Ratu haji  di Pakuan  Pajajaran nu  mikadatwan  sri bima punta narayana Madura suradipati, inyana pakwan sanghiyang sri ratu dewata” ( Sang Susuk Tunggal  ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja  ratu penguasa  di Pakuan Pajajaran  yang bersemayan di keraton Sri Bima Punta  Narayana Madura Suradipati yaitu istana  Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
 Pindahnya putri Ambetkasih, istri Sri baduga Maharaja yang pertama, dari keraton timur (galuh) ke Pakuan, bersama istri-istri Sri Baduga yang lain, terekam oleh  pujangga yang bernama Kairaga di Gunung Srimanganti (Ci Kuray), dalam sebuah naskah yang ditulis dalam sebuah pantun dan dinamai ’Carita ratu Pakuan’, yang diperkirakan ditulis diakhir abad ke-17 M atau awal abad 18 M. Diantara isi naskahnya (terjemahan):
 ” Tersebutlah Ambetkasih bersama madu-madunya bergerak payung kebesaran melintasi tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke pakuan kembali dari keration timur  hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir lukisan alun di sanghiyang pandai larang keraton penenag hidup, bergerak barisan depan disusul  kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih nampan perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke pakuan. Bergerak tandu kencana beratap cemara  gading bertiang emas bernama  lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang berkuncup singa-singaan di sebelah kiri kanan panjang hijau bertiang gading berpuncak getas yang  bertiang berpuncak emas dan panjang  sabirilen berumbai potongan benang”
Tindakan pertama  yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi menjadi  raja adalah menunaikan  amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu prasasti  peninggalan Sri Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):

” Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan  sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota  di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sambawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan mmeberatkannya dengan ’dasa’ , ’calagra’, kapasa timbang’, dan ’pare dongdang’. Maka diperintahkan  kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah  yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.”

Dalam carita Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan. Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah Karuhun Kabeh (dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires, utusan Portugis dari Malaka,  ikut mencatat kemajuan zaman Sri baduga  dengan komentar:” The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka  adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan  perdagangan Sunda  hingga ke kepulaan  maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa  mencapai  1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)  dikatakan cukup untuk mengisi 1000 kapal.
 Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata. Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batutulis, sedang dalam carita parahiyangan ditulis Jayadewata. Sumber sejarah pertama yang mengungkap nama siliwangi, adalah  naskah sanghiyang siksa kandang karesian (1518 M), yang dimaksud menyebutkan  salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama (lalakon)nya tidak diceritakan. Yang kedua adalah naskah ”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, yang menceritakan tentang  Prabu Siliwangi, yang merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang berkuasa di kraton Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur. Prabu Siliwangi bertahta di keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan Subang Larang (1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di Kawali (1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga  emnikah dengan putri Ambetkasih. Dan yang ketiga terdapat dalam naskah Carita Ratu Pakuan (kropak 410) yang ditulis kira-kira pad akhir abad ke-17 M atau awal abad ke-18 M. Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Prabu Siliwangi yang berkuasa di Pakuan, yang mempunyai istri Ambetkasih dan Subanglarang. Hal ini cocok dengan  Naskah cirebon diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga maharaja


Sri Jayabhupati, Prabu (mp. 1030-1042 M)
Dalam Carita Parahiyangan Sri Jayabhupati sebut “Prabu Datia Maharaja” yang berkuasa selama 7  tahun.
Sri Jayabhupati atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M) dari ibu putri dari kerajaan Sriwijaya. Ia berkuasa di tanah sunda selama 12 tahun, dan di Galuh selama 7 tahun.  
Sri jayabhupati juga bergelar Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti Samarawijaya calakabhuana mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja. Istrinya merupakan adik dari  Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M), yang kemudian menjadi prameswarinya.  Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang dicantumkan dalam prasasti Cibadak.
Sri jayabupati mempunyai beberapa orang anak, yaitu: Prabu dharmaraja yang dikemudian hari menggantikan sebagai raja, wikramajaya yang menjadi panglima angkatan laut, Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya (anak dari istrinya yang bernama Dewi Pertiwi), dan lainnya. Setelah ia meninggal, tahta jatuh ke anaknya yang bernama Prabu Dharmaraja.
Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.  Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa  dan huruf Jawa kuno, yang sekarang  disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
 Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
 D73
 //0// Swasti  shakawarsatita 952 Karttikamasatithi dwadashi  shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra mottunggadewa, ma-

D96
 Gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway  denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang tan hanani baryya baryya shila. Irikang iwah tan pangalapa ikan sesini iwah. Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan I hulu, I sor makahingan  ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha.

D 97:
Sumpah denira prahajyan  sunda. Iwirnya nihan.   
Terjemahan:
Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal 12 bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati  Jayamahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswara  nindita haro gonawardhana wikramottung gadewa, membuat  tanda  disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat  oleh Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar  ketentuan ini. Disungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan  di sebelah sini sungai dalam batas  daerah pemujaan  sanghiyang tapak di sebelah hulu.  Disebelah hilir dalam batas daerah  pemujaan sanghiyang tapak pada dua batang  pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan  sumpah)
 Sumpah yang diucapkan oleh raja Sunda  lengkapnya tertera pada prasasti  ke-4 (D 98). Terdiri dari 20  baris, yang intinya menyeru semua  kekuatan gaib didunia dan di surga agar ikut  melindungi keputusabn raja.. Siapapun yang menyalahi  ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya  kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan  dengan menghisap otaknya, menghirup  darahnya, memberantakan ususnya  dan membelah dadanya. Sumauh itu ditutup dengan kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” ( Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati ini bertepatan dengan 111 Oktober 1030 M, Isi prasasti ini dalam segala hal  menunjukan corak jawa timur, tidak hanya huruf, bahasa dan gaya , melainkan juga gelar raja di lingkungan raja di keraton Dharmawangsa, karena ia sendiri merupakan menantu dari Dharmawangsa.


Sudhawarman (628-639 M)
 Sudhawarman menjadi penguasa Tarumanagara ke-9, yang berkuasa dari tahun 628-639 M. Pada masanya diwilayah timur mulai berkembang kerajaan Galuh, yang didirikan oleh cicit Suryawarman, Wretikandayun.
Pada Sudhawarman sudah nampak kemunduran dari tarumanagara, hal ini diperparah oleh penggantinya, Dewamurti yang terkenal sebagai pengauasa yang kejam, dan tanpa belas kasih.


Summa Oriental
Summa Oriental  merupakan karya Tome Peres, duta besar asal Portugis di Kerajaan Sunda. Ia banyak bercerita tentang kebesaran kerajaan Sunda di era Sri Baduga Maharaja Jayadewata (Prabu Siliwangi), yang ditulis sekitar tahun 1513 M. Dalam buku ini ia banyak menceritakan tentang keadaan kerajaan Sunda di era Sri Baduga Maharaja Jayadewata.

Surawisesa (mp. 1521-1535 M)
Prabu Surawisesa merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu dari Prabu Susuk Tunggal.    Surawisesa dipuji oleh naskah Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran, memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian penulis Carita parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.
Surawisesa dalam kisah-kisah tardisional lebih dikenal dengan sebutan  Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Prameswarinya, Kinawati, berasal dari kerajaan  Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar minggu, Jakarta, sekarang. Kinawati adalah putri Mental Buana, cicit Munding Kawati, yang semuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak  di tepi Ciliwung.
Surawisesa memerintah  selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
Diantara raja-raja  zaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi  bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau babad pakuan, misalnya, semata  mengisahkan ’petualangan’ Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita panji.
 Sebelum menjadi raja, ketika masih menjadi pangeran, ia pernah diutus oleh ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka. Ia pergi ke Malaka  dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521 M.
Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajagan  pihak portugis pada tahun 1513 M, yang diikuti oleh Tome Pires. Sedang hasil kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis  yang dipimpin oleh Hendrik  De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran  (Sunda) dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa  Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai  dibangun, pihak sunda akan menyerahkan  1000 karung lada tiap tahun  untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351 kwintal).
Perjanjian antara kerajaan Sunda  dan Portugis sangat  mencemaskan Sultan trenggono, sultan Demak III. Setelah selat Malaka yang merupakan pintu masuk  perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di  Malaka dan Samudra Pasai. Jika selat Sunda  yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis. Maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan negara-negara Islam diwilayah timur, termasuk demak, terancam putus.
Maka kemudian Sultan Trenggono  yang di pimpin oleh Fatahillah, yang menjadi senapati Demak menyerang Banten, yang jatuh pada tahun 1526 M.
Surawisesa mewarisi tahta kekuasaan dalam masa yang tidak menguntungkan, sebab wilayah-wilayahnya banyak diserang oleh musuh, disamping kalah pengaruh oleh Cirebon, yang di bantu oleh Demak, yang merupakan pusat Islam di tataran Sunda. Selama 14 tahun berkuasa ia telah melakukan 15 kali peperangan tanpa mengalami kekalahan, seperti apa yang diungkapkan dalam naskah Carita Parahiyangan.
 Pada awal masa kekuasaannya wilayah Islam hanya berkonsentrasi di Cirebon. Pada masa ayahnya berkuasa, Cirebon belum berani mengadakan pemberontakan. Tetapi ketika ia berkuasa cirebon yang dibantu demak mulai melancarkan serangan di berbagai tempat. Cirebon mengklaim bahwa mereka sama-sama keturunan dari Prabu jaya dewata dan mempunyai hak berkuasa di tanah sunda. Perlawaanan Cirebon yang dibantu demak mulai intensif ketika Cirebon di kuasai oleh cucu Prabu Jaya Dewata atau keponakan Surawisesa sendiri, yang terkenal dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati.
Sunan Gunung jati mulai menyerang wilayah-wilayah pajajaran, di 15 medan pertempuran, yaitu di jakarta (kalapa), di Banten (wahanten girang), di tanjung, di Ancol Kiyi, dan lainnya, tetapi dizaman Surawisesa wilayah-wilayah tersebut masih belum bisa di taklukan.
Tentang medan perang diera Prabu Surawisesa diceritakan dalam naskah carita parahiyangan:
Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan.
Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka
Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya. Lawasna jadi ratu opatwelas taun.

Suriadiwangsa I
Merupakan anak dari Pangeran Yunus III (raden Abdullah bin Pati Unus) di banten, yang ditugaskan  untuk membantu pengislaman  di daerah pedalaman Galuh sampai sukapura (tasikmalaya).  Pangeran Yunus III menikah dengan adik Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang. Dari pernikahnya, ia mempunyai anak yang bernama Suriadiwangsa II, yang kemudian dikenal dengan Rangga Gempol I, cikal bakal  dinasti Kusumahdinata  yang dikenal dikemudian hari. Rangga Gempol I ini kemudian diangkat menjadi anak angkat Prabu Geusan Ulun.
Dalam sejarah Sunda, rangga Gempol I hanya disebut sebagai anak angkat Prabu Geusan Ulun tanpa menyebut siapa ayah kandungnya, untuk menjaga  wibawa kerajaan Sumedang Larang, karena raja-raja mereka  keturunan orang luar Sumedang.

Suryawarman (535-561 M)
Merupakan penguasa Tarmunagara yang ke-7, menggantikan ayahnya, Candrawarman. Ia banyak mengikuti kebijakan ayahnya dalam memberikan otonomi yang luas kepada daerah kekuasaanya.
 Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja-raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan  perhatiannya ke daerah timur.
Misalnya pada tahun 526 M, Manikmaya, menantunya, mendirikan kerajaan baru di daerah kendan (daerah Nagreg, suatu daerah antara Bandung dan Garut). Sedang putra Manikmaya yang bernama Suraliman, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumanagara, dan kemudian menjadi panglima angkatan perang kerajaan.
Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika  cicit (bao) Manikmaya, Wretikandayun, mendirikan kerajaan galuh., pada tahun 612 M.

Susuk Tunggal, Prabu (mp. 1382-1482 M)
Prabu Susuktunggal merupakan raja dari kerajaan Sunda setelah Prabu Wastukancana. Ia merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai citarum ke barat. Ia berkuasa  cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur (galuh)
Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
Prabu Susuk Tunggal  yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati. Dalam Naskah Carita Parahiyangan diungkapan sebagai berikut:


Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang
Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Haluwesi, nu nyaeuran
Sanghiang Rancamaya.
Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
“Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati.”
Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima-untarayana
madura-suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata.
Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka
bukti raja utama.

Lilana ngadeg ratu saratus taun.

Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda,   kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh menantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.


T
Talaga, Kerajaan 
Bujangga Manik mengatakan Walangsuji merupakan wilayah Kerajaan Talaga. Walangsuji diyakini merupakan ibukota dari kerajaan Talaga.
Kerajaan Talaga didirikan oleh Prabu Talaga manggung. Setelahnya, anaknya yang menggantikannya, yang bernama Ratu Simbarkancana, kemudian  Kerajaan Talaga dipegang oleh putera pertamanya yang  mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung meninggal, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puterinya yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan tidak lagi di walangsuji, tetapi  dipindahkan ke Parung.

Tarusbawa, Prabu
Prabu Tarusbawa merupakan raja kerajaan Sunda pertama, dan dianggap sebagai pendirinya. Prabu Tarusbawa berkuasa dari tahun 699 sampai tahun 723 M. Tarusbawa dianggap sebagai  bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “Tohaan di Sunda (raja Sunda). Ia menjadi cikal bakal raja-raja Sunda yang memerintah  berikutnya.
Pada tahun 669 Masehi di kerajaan  Tarumanagara ada pewarisan tahta, dari Linggawarman kepada menantunya, Tarusbawa. Dari sinilah kemudian Tarusbawa merubah sebutan Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda. Dan sejak itulah, Kerajaan Sunda mulai dikenal dalam panggung sejarah.
 Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, menikah dengan putri dari Raja Tarumanegara, Prabu Linggawarman, raja Tarumanegara terakhir. Dan pada tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya menjadi raja Tarumanegara. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
Setelah menerima tahta tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa  melakukan beberapa kebijakan, diantaranya  memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor) di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang). Disini ia mendirikan lima buah keraton, ( Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut Panca Persada) yang bentuk maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati.  Dalam Naskah  Carita Parahiyangan disebut “Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura  Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa.
Dengan membangun ibukota baru Tarusbawa berusaha untuk mengembalikan kejayaan Tarumanagara, seperti  yang dialami oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon  kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya).  Tetapi, pada waktu itu, Wretikandayun, bangsawan Tarumanagara, yang berkuasa di Galuh, yang telah berkuasa sejak tahun 612 M, menuntut supaya wilayah  dibagi 2, dengan bantuan besannya dari Kalingga, Ratu Sima.
 Untuk menghindari perpecahan, akhirnya disepakati bahwa sungai Citarum sebagai batas perbatasan kekuasaan. Tarusbawa disebelah barat citarum sedang Wretikandayun disebelah timur sungai Citarum.
  Putra Tarusbawa terbesar, dan sekaligus putra Mahktota kerajaan Sunda, Rakeyan Sundasambawa meninggal dunia saat masih muda. Ia meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini kemudian dinikahi Rahyang Sanjaya dari Galuh.

Tarusbawa wafat pada tahun 723 Masehi, dalam usia 91 tahun, yang kemudian digantikan Sanjaya, suami cucunya dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya.


Temperan Barmawijaya (732-739 M).
Temperan  mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram (Medang kamulan atau Bhumi mataram).. Temperan berkuasa  selama 7 tahun,  dari tahun 732-739 M,  yang kemudian dikudeta oleh anak tirinya, Sang manarah
Sebelum meninggalkan tahta Sunda, Sanjaya mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Temperan dan resiguru Demunawan. Pakuan dan Galuh  menjadi kekuasaan Temperan, sedang Kuningan dan Galunggung diperintah oleh resi guru Demunawan (putra Sempakwaja). Dengan demikian Temperan menguasai Sunda Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732-739 M.
Ketika Sanjaya mengangkat Premanadikusuma (cucu purbasora) sebagai raja Galuh, ia juga mengangkat Temperan sebagai patihnya. Dan ketika Premana meninggalkan istana  untuk bertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada Temperan. Temperan kemudian mengutus utusan untuk melakukan pembunuhan terhadap  Permanadikusumah.
Premanadikusuma ketika meninggalkan istana,  juga meninggalkan istrinya, Dewi Pangreyep, yang baru berusia 19 tahun.     Temperan mewarisi watak buyutnya yang senang membuat skandal. Ia konon membuat skandal  dengan pangreyep, mantan istri Premanadikusuma dan membuahkan  kelahiran Kamarasa atau yang terkenal dengan nama Hariang Banga (723 M). Disamping itu, setelah Permanadikusumah meninggal, ia juga mengawini Naganingrum sebagai istri keduanya.
Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, dari  Sanjaya  yang menjadi raja Kalingga Mataram. Sementara itu Sang Manarah, atau lebih dikenal dengan nama Ciung Wanara yang telah diakui sebagai anaknya, secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta galuh dengan bimbingan buyutnya, Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Ki Balangantrang, di Geger Sunten.
 Aki Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena menderita penyakit kemir (hernia / burut). Ki Balangantrang adalah satusatunya keluarga istana Purbasora yang dapat menyelamatkan diri dari kudeta sanjaya. Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan  anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja  di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini  dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu  membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Anarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang  memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
    Kudeta ini  berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari  (dewi pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan dan  dibiarkan bebas. Pada malam hari, banga dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep dari tahanan. Tetapi kemudian Tamperan terbunuh



W
Wanayasa
 Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda. Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai pangparatan Situ Wanayasa.
Wanayasa berasal dari kata “wana” dan “yasa” yang berarti hutan yang sangat lebat. Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain Carita Parahiyangan  di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu (perlu penyelidikan)
Nama Saung Agung, kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon.
Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.
Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.

Wangsamanggala
Ia merupakan demang cirebon  yang menulis buku Pustaka Pakungwati Cirebon  (1779 M), yang ia tulis bersama Tirta Manggala  Demang Cirebon Girang.


Wisnuwarman (434-455 M
Wisnuwarman menggantikan ayahnya, Purnawarman dan berkuasa  di tarumanagara dari tahun 434 sampai dengan 455 M, dengan gelar  Sri Maharaja Wisnuwarman Iswara Digwijaya  Tunggal Jagatpati.
 Wisnuwarman dinobatkan pada tanggal 14 paro terang bulan posdya tahun 356 saka (434 M). Tiga tahun setelah penobatannya, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya,  Cakrawarman, mahapatih di era ayahnya, (adik Purnawarman).  Cakrawarman merasa bahwa dirinya yang lebih pantas dari Wisnuwarman sehingga memberontak selama 28 hari dari tanggal 14 parogelap bulan asuji sampai dengan 11 parogelap bulan kartika 350 saka atau bertepatan dengan 21 okteober sampai 18 november 437 M, tetapi gagal, dan dapat ditumpas.
Wisnuwarman berkuasa selama 21 tahun (dari tahun 434-455 M). Prameswarinya bernama Suklawarmandewi, adik raja Bakulapura. Suklawarmandewi tidak memberinya keturunan,karena keburu meninggal akibat sakit. Yang menjadi prameswari selanjutnya adalah Suklawatidewi, putri Wiryabanyu yang terkenal kecantikaannya. Dari Suklawatidewi ini, Wisnuwarman  memiliki beberapa putra. Putra sulungnya, yang bernaa Indrawarman kemudian menggantikannya.

Wretikandayun
Wretikandayun merupakan pendiri dari kerajaan Galuh. Ayahnya, Sang Kandiawan atau Rahiyang ta Medang Jati  setelah menjadi raja di Kendan selama lima belas tahun (597- 612 M),  kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada putra bungsunya,Wretikandayun di Galuh.
Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya yang menjadi resi pada 23 Maret 612 M, pada usia 21 tahun. Pada awalnya ia  menjadi rajaresi di Menir, dan kemudian diangkat menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya. Wretikandayun tidak berkedudukan di  di Kendan atau di Medang Jati, tidak juga di Menir. Tetapi ia mendirikan pusat pemerintahan (ibukota) baru, yang kemudian diberi nama Galuh (permata).
Ketika ia dinobatkan sebagai raja Kendan,  penguasa Tarumanagara saat itu adalah Srimaharaja Kertawarman (mp. 561-628 M). Ia berturut-turut menjadi raja daerah (bawahan Tarumanagara) pada masa udawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (mp. 666-669 M).  Dan ketika tahta tarumanagara jatuh kepada Tarusbawa pada tahun 669 M, menantu Linggawarman dari Sundasambawa, yang kemudian mendirikan kerajaan Sunda, Wretikandayun yang waktu itu berumur 78 tahun kemudian memerdekakan diri (merdeka), dan wilayah Tarumanagara di bagi 2, dengan perbatasan Sungai Citarum. Tarusbawa berkuasa di barat Sungai Citarum, sedang Wretikandayun sebelah timurnya, hingga sungai Cipamali (kali brebes sekarang).   
Kendan pada masa Wretikandayun lebih dikenal dengan nama kerajaaan Galuh, dan kerajaan ini  kemudian memegang peranan penting dan merdeka ketika Tarumanagara berubah menjadi bawahan Sundasambawa. Dengan demikian Kendan di era Wretikandayun lebih di kenal dengan nama kerajaan Galuh.

Wretikandayun beristrikan Pwah Bungatak Mangalengale atau Manawati, dan setelah menjadi prameswari terkenal dengan nama Candraresmi. Dari perkawinannya ia kemudian mempunyai 3 putra, yang bernama: Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).
Nama Wretikandayun diceritakan dalam Naskah carita Parahiyangan, sebagai berikut:

Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumenbumen, harita teh nya nyusun Purbatisti.
Lawasna jadi ratu salapanpuluh taun. Diganti ku Rahiang Kulikuli, lawasna jadi ratu
dalapanpuluh taun. Diganti ku Rahiangtang Surawulan, lawasna jadi ratu genep taun,
katujuhna diturunkeun, lantaran goreng lampah. Diganti ku Rahiangtang Pelesawi,
lawasna jadi ratu saratusdualikur taun, lantaran hade lampah. Diganti ku Rahiangtang Rawunglangit, lawasna geneppuluh taun.

  
Y
Yoseph Iskandar
Ia termasuk salah satu dari 3 orang yang berjasa dalam mengungkap tuisan sejarah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta, disampng Saleh Danasasmita dan Ayatrohaedi.

(Ditulis oleh Adeng Lukmantara, dari berbagai sumber buku dan internet)

.