Kamis, 11 Juni 2015

SRI BADUGA MAHARAJA PRABU JAYADEWATA, SANG PRABU SILIWANGI

Pengantar


Siapa sebenarnya  yang mendapat julukan Prabu Siliwangi dalam sejarah peradaban Sunda.. Ada yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah Prabu Wastukancana, karena arti dari kata silih adalah pengganti. Sedang Wangi disini adalah gelar Prabu Wangi, yang digelarkan pada Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Disamping itu pada masa pemerintahan Prabu Wastukancana juga wilayah kerajaan Sunda sedang dalam masa kemakmurannya. Karena itu kerajaan Sunda adalah kerajaan yang paling disegani dimasanya. Sedang waktu itu Majapahit sedang dalam proses kemundurannya/ kehancurannya. Karena itu banyak para ahli yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah Prabu Wastukancana ini. Tetapi dalam naskah Wangsakerta, Prabu Wastukancana disebut dengan Prabu Wangi Sutah.

Di lain pihak, Sri Baduga Maharaja Prabu Jaya Dewata adalah raja yang kembali mempersatukan keuasaan Sunda dalam satu pemerintahan. Dimana setelah Prabu Wastukancana, kerajaan dibagi 2, yaitu sunda pakuan yang beribukota di Pakuan yang diperintah oleh anaknya dari Putri Lampung, yang bernama Prabu Susuk Tunggal, dan juga dari Sunda Galuh diperintah oleh anaknya dari putri Raja Bunisora, yang bernama Dewa Niskala.
Prabu Jayadewata berhasil mempersatukan wilayah kerajaan Sunda dalam satu pemerintahan, dan pada masanya kerajaan Sunda menacapai kemakmurannya. Karena itu maka Sri baduga Maharaja Prabu Jayadewata oleh masyarakat banyak sekarang dianggap sebagai refresentasi dari Prabu Siliwangi, raja yang memberikan keharuman kepada kerajaan Sunda, karena itu oleh masyarakat sekarang Prabu jayadewata inilah yang disebut dengan Prabu Siliwangi.
Tentang siapa yang benar dari pendapat ini, maka suatu kompromi dalam sejarah biasanya untuk Prabu Niskala Wastukancana di gelari Prabu Siliwangi I dan untuk Sri Baduga Maharaja biasanya digelari Prabu Siliwangi 2. Tetapi karena Wasukancana digelari Prabu Wangi Sutah, berarti Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata.
Dan dalam naskah naskah kuno, Prabu Siliwangi ini telah disebut dalam naskah Bujangga Manik, suatu naskah yang ditulis oleh Bujangga manik atau Prabu Jaya Pakuan. Dimana diceritakan oleh Jompong Larang yang menceriitakan tentang ketampanan Bujangga Manik, yang tampannya lebih tampan dari Parbu Siliwangi.
Jompong Larang menjawab:
“Mohon maaf, Putri, nama laki-laki itu Ameng Layaran,
seorang laki-laki yang sangat tampan,
lebih tampan dari Banyak Catra,
lebih tampan dari Silih Wangi,
bahkan lebih tampan dari keponakan Putri.
Ia tinggi dan sangat diidam-idamkan,
laki-laki untuk dipeluk dan dibelai di beranda,
untuk ditimang-timang di ranjang,
ditimbang oleh peraturan,
untuk dirangkul di ruang tidur.........."

Naskah Bujangga Manik adalah naskah primer yang ditulis oleh pelakunya sendiri, Bujangga Manik atau Prabu Jaya Pakuan yang bergelar Prabu Ameng Layaran. Naskah ini ditulis pada abad ke 15 Masehi, dimana kerajaan Majapahit masih ada, dan kerajaan Demak baru muncul, Cirebon belum menunjukan menjadi kerajaan, dan Sumedang Larang masih dikenal dengan Medang Kahiyangan. Tidak diceritakan zaman siapa ia hidup, tetapi dari zamannya mengindikasikan bahwa naskah ini ditulis diakhir abad ke-15 Masehi.
Dan nama Siliwangi juga disebut dalam Kropak 630 yang dikenal dengan Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, pada lembar 16 verso tercantum nama Siliwangi sebagai tokoh lakon pantun. Naskah ini ditulis tahun 1440 Saka (1518 M), di era masa pemerintahan Sri baduga maharaja (1482-1521 M).


NASKAH

BAB I KAWALI TAHUN 1451 M

Telah lahir seorang putra cucu dari raja sunda waktu itu, Prabu Niskala Wastu Kancana. Anak tersebut merupakan anak dari Pangeran Dewa Niskala, yang dikemudian hari menjadi Raja Galuh, di istana Surawisesa Kawali. Bayi tersebut dikemudian hari terkenal dengan nama Pangeran Jaya Dewata atau Pangeran Pamanah Rasa. Ia lahir di ibukota kerajaan galuh waktu itu, Kawali, di keraton Surawisesa.
Pamanah rasa diperkirakan lahir pada 17 April 1451 M, di keraton Surawisesa Kawali (Ciamis sekarang). Ayahnya Dewa Niskala merupakan raja dari kerajaan Galuh. Prabu Dewa Niskala berkuasa di Galuh  dari tahun 1475 sampai dengan tahun 1482 M.  Nama Pamanah Rasa hanyalah nama panggilan. Ia dinobatkan menjadi raja galuh  pakuan dengan gelar Prabu Guru Dewata Prana.
Pamanah Rasa tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa.  Masa mudanya dikenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas. Dalam berbagai hal orang sezamannya  teringat kepada kebesaran  buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu Siliwangi.

BAB II KELUARGA

Prabu Jaya dewata merupakan putra dari Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kencana penguasa Galuh dari tahun 1475 hingga 1482 M.
Setelah akil baligh Prabu Jawa Dewata pada mulanya  memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindang kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja Jayadewata. Ia merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastukenacana dari Mayang Sari.
Ia  kemudian memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedengtapa, yang menjadi penguasa di Singapura. Subang Larang  adalah muslim pertama di lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok Syekh Qura di Pura Karawang. Dari turunan  Subang Larang inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda (raja Cirebon dan banten). Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak: Walangsungsang (atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang (ibu dari Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara atau ada yang menyebutnya dengan nama Kiansantang.
  Jaya Dewata juga memperistri Kentrik  Manik Mayang sunda,  putri Prabu Susuk Tunggal, dari istana Pakuan. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan. Dari istrinya ini ia kemudian mempunyai anak yang bernama Pangeran Sangiang atua setelah menjadi raja menggantikan ayahnya bergelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa.

BAB III MASA KEKUASAAN DAN KEBIJAKAN DALAM NEGERI 

Prabu Jayadewata  merupakan putra Dewa Niskala, Raja dari istana Galuh, dan juga menjadi menantu Prabu Susuktunggal, Raja Sunda di Pakuan.  Dengan demikian ia merupakan pewaris 2 tahta istana kerajaan yaitu istana Galuh di Kawali dan istana kerajaan Sunda di Pakuan.

1..Penobatan Raja Dua Kali
Pada tahun 1482 M secara resmi Pangeran Jayadewata diangkat menjadi raja. Dalam Prasasti Batutulis yang ada di Bogor, disebutkan bahwa Prabu Jayadewat dinobatkan menjadi raja 2 kali.

"Wangna pun ini sakakala, Prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga maharaja ratu haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata..... "
Arti: 
Semoga Selamat, ini tanda peringatan  Prabu ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prau Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri baduga maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata

Pertama, ia diangkat menjadi Raja Galuh menggantikan ayahnya, Prabu Dewa Niskala (Prabu Ningrat Kencana), dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Ayahnya, Prabu Dewa Niskala menjadi raja di Galuh selama 7 tahun, dari tahun 1397-1404 Saka. Dewa Niskala kemudian memberikan tahta pada anaknya, karena ia melakukan kesalahan mengawini salah satu putri bangsawan dari Majapahit (Wilwatika). Hal itu menyebabkan ketegangan dengan kerajaaan Sunda. Dan untuk meredam ketegangan, Dewa Niskala kemudian mengangkat anaknya, Prabu jayadewata menjadi raja di Galuh.
Kedua, ia juga diangkat raja di istana Pakuan Pajajaran menggantikan mertuanya, Prabu Susuk Tunggal, dengan gelar penobatan Sri Baduga Maharaja.  
Dan penbatan kedua tahta itu  terjadi ketika pada tahun 1482 M, diangkat oleh ayahnya Dewa Niskala senagai raja di istana Kawali Galuh. Dan pada tahun itu juga ia diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan, menggantikan mertuanya, Prabu Susuk Tunggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.

2.. Iring Iringan pindahnya Keraton
Karena pada awalnya Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata mendapat tahta dari ayahnya dari galuh, maka ia berkuasa seperti ayahnya di istana Surawisesa Kawali Galuh. Tetapi ketika mendapat tahta dari mertuanya dari Pakuan Pajajaran, maka ia kemudian memilih istana di Pakuan, yang bernama keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, dengan singgasan Sriman Sriwacana.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan sehari hari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran.
Karena pertama menjadi raja di Galuh, maka ia kemudian pindah ke istana Galuh di Kawali. Tetapi ketika ia diangkat menjadi raja di Pakuan, ia memutuskan Pakuan menjadi ibukota pemerintahannya. Maka terjadilah proese perpindahan kembali dari istana Kawali ke istana di Pakuan.
Dan Iring iringan kepindahan keluarga keraton dari istana di Kawali ke Pakuan, diceritakan dalam kisah perjalanan Ratu Ambetkasih  (istri pertama Prabu Jayadewata) dan madu madunya dari keraton Kawali ke keraton Pakuan yang ditulis oleh Kairaga, seorang penulis dan penyair Pantun sunda yang hidup sekitar awal abad ke-18 M.

“ .......... Dicarita Ngabetkasih, kadeungeun / sakamaruan, bur payung agung ngawah tugu, nu saur manuk sabda tunggal, nu dek mulih ka Pakuan.
Saundur ti dalem timur, kedaton wetan buruan, si Mahut Putih gede manik, maya datar ngarana.
Sunilaya ngarana, dalem Sri Kancana Manik, Bumi Ringgit cipta ririyak di sanghiyang Pandan Larang, dalem si pawindu hurip.
.....................
... Bur ti heula ley peundeuri, iyuh na hulun susushunan, bulak karas himbal kakarangge, bese jati dipasangi bubuleud emas.
Tetek taleh salaka, sasaka gading ditapak liman, baaneun ka pakuan, bur jolian homas, dipuncakan ku camara gading
Dililinggan omas, ngarana tangga rantay , dipuncakan ku mirah, tumpak di karang montaja, singasari keri kanan.
Payung wilis lilingga gading, dipuncakan ku manik molah, payung getas di lilinggan, dipuncakan homas, deung payung saberilen.
Beunang ngagaler ku lungsir, tapo terong homas keloh> Gelewer paraja papan, kikiceup deungeun liliyeuk, deg semut sama dulur.
Betana ttaan pindah, bur kadi kuta Sri Manglayang, lumenggang di awang awang, juru kendi ti peundeuri juru kandaga ti heula.
 Deung sawung galng kiwa tangen, di tengah kidang kancana, saha nu si singa barong. Bur ti heula ley peundeuri. Sataganan lain deui.
...................
Arti:
“............ Tersebutlah Ambetkasih diiringi sanak keluarga dan  madu madunya, mengembanglah payung kebesaran melintas  Tugu, dengan seia sekata, yang akan kembali ke Pakuan.
Sekepergiannya dari istana timur, pelataran Keraton timur, Si Mahut Putih sebesar permata, Maya Datar namanya
Sunilaya namanya, istana Sri Kancana Manik, rumah berukir dibuat gemerlapan. di sanghiyang Pandan Larang, istana Si Pawindu hurip (penenang hidup).
..............................
Berangkat yang didepan, diikuti yang belakang, teduh para hamba yang dipertuan, perahu kecil (berisi) pei penuh sesak, pei kayu jati persegi dilapisi emas.
Pemotong taleh dari perak, pusaka dari gading berukirgajah, yang akan di bawa ke Pakuan...
.............................
Berjalanlah kereta kencana, diatasnya dihiasi dengan cemara kemuning.
Ditiang pancangi emas, namanya tangga berjuntai, diatasnya dihiasi permata batu mirah, bertumpuk di pekarangan penuh kilauan permata, kursi kerajaan dikiri kanan.
Payung Wilis bertiangkan gading, diatasnya dihiasi dengan permata bergoyang. Payung agung ditiangi, diatasnya dihiasi emas, dengan payung yang dilengkapi berlian.
Yang dialasi kain sutera, hiasan kepala (mahkota emas cekung. Berderet para pembeesar, saling kedip sambil saling lirik, saling tersenyum sesama saudara.
Bagaikan semut tanaman berpindah. Gemerlap  bagaikan kota Sri Manglayang, terbang melayang diangkasa. Para pembawa gentong dari belakang, para pembawa tempayan logam didepan.
Dengan pagar ayu di kiri kanan, di tengah barisan berselendang keemasan, bersama dengan yang bertopeng singa. Maju yang di depan dikuti yang di belakang, serombongan berbeda lagi.
....................


3. Kebijakan Pertama
Tindakan pertama  yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi menjadi  raja adalah menunaikan  amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu prasasti  peninggalan Sri Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):
” Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan  sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota  di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sambawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan mmeberatkannya dengan ’dasa’ , ’calagra’, kapasa timbang’, dan ’pare dongdang’. Maka diperintahkan  kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah  yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.”

4. Perekonomian & Perdagangan 
Tentang kesejahteraan masyarakatnya, diceritakahn dalam naskah carita Parahiyangan sebagai berikut:
 Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku ngalanggar Sanghiang Siksa.
 Dalam carita Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan. Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah Karuhun Kabeh (dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires, utusan Portugis dari Malaka,  ikut mencatat kemajuan zaman Sri baduga  dengan komentar:
” The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka  adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan  perdagangan Sunda  hingga ke kepulaan  maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa  mencapai  1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)  dikatakan cukup untuk mengisi 1000 kapal.




BAB IV

PERKEMBANGAN POLITIK DI NEGERI LUAR (TAHUN 1500-AN) DAN KEBIJAKAN POLITIK SANG RAJA


Pada era Sri baduga maharaja berkuasa selama 48 tahun  dari tahun dari tahun 1482 hingga 1521 M, perkembangan politik di luar negeri sedemikian cepatnya. Diawali dengn berdirinya kerajaan Demak, yang diikuti oleh  jatuhnya kerajaan Majapahit tahun 1400 Saka atau 1478 M, sehingga para bangsawannya banyak yang mengungsi ke tanah sunda. Majapahit yang digadang gadang mempunyai kekuasaan besar, seolah hilang di telan bumi.

Ia juga melihat perkembangan kerajaan Demak yang cukup agresif, dan menjadi kekuatan global islam di wilayah timur.  Disamping itu ia juga menyaksikan jatuhnya pusat perdagangan Islam di Malaka pada tahun 1511 M oleh Portugis.

Sebagai kerajaan Hindu terakhir, meskipun belum ada yang berani untuk melakukan peperangan dengan kerajaan Pajajaran. Tetapi melihat perkembangan yang demikian pesat di luar negeri, membuatnya harus melakukan beberapa kebijakan yang kontroversial untuk kelangsungan kerajaannya di masa depan. Sehingga ia kemudian melakukan kontak perjanjian dengan Portugis di Malaka, meskipun akhirnya kebijakan ini dianggap menjadi salah satu sebab dari keretakan antar pangeran keturunannya yang berbeda keyakinan di kemudian hari.


a. Berdirinya Demak dan Jatuhnya Majapahit

Pada masa mudanya ia menyaksikan pengungsian besar besaran dari bangsawan Majapahit ke tanah Sunda/ Galuh. Dan salah satu sebab kejatuhan ayahnya sebagai penguasa Galuh, karena mengawininya istri di kaluaran, yang waktu itu sangat di haramkan dalam istana Sunda Galuh, akibat peristiwa Bubat yang menimpa maharaja Linggabuana pada tahun 1357 M.

Demak didirikan oleh Raden Fatah, pada tahun 1475 M. Ia berkuasa selama 43 tahun, dari tahun 1475 M hingga 1518 M. Kekuasaan kemudian diteruskan oleh anak pertamanya yang bernama Pati Unus yang berkuasa dari tahun 1518 M sampai dengan 1521 M, dan setelah itu diteruskan oleh anak keduanya yang bernama Sultan Trenggono yang berkuasa dari tahun 1521-1548 M. 

Setelah Sutan Trenggono meninggal, Demak mengalami perpecahan, dan dianggap sudah berakhir. Sehingga Kerajaan kerajaan dalam dominasinya  menjadi kerajaaan yang independen, sperti Cirebon dan lainnya. Tahun 1548 M, dianggap sebagai akhir dominasi Demak, karena setelah itu terjadi perpecahan, dan Demak dianggap lenyap seolah ditelan bumi pada tahun 1554 M, saat Joko Tingkir mengalihkan kekuasaannya ke Pajang.

Selama kurang lebih 73 tahun (antara tahun 1475-1548 M) kerajaan Demak dianggap paling agresif dan berhasil dalam mendominasi perpolitikan di Jawa bagian tengah dan timur. Meskipun perpolitikan di Cirebon dan juga Banten mulai dominan, tetapi ia kurang berhasil dalam menaklukan kerajaan pajajaran secara keseluruhan.  Selama kurun waktu tersebut, Demak hampir menguasai seluruh wilayah jawa bagian timur dan tengah, termasuk bantuannya ke Cirebon dalam menghadapai Pajajaran. 

Kerajaan Demak berdiri ketika Majapahit berada pada posisi terparah dalam sejarahnya. Kekuasaanya hanya meliputi Jawa bagian timur. karena itu dengan mudahnya Demak dapat menguasai ibukota Majapahit, dan daerah daerah bekas kekuasaanya satu per satu oleh  Demak dapat  dikuasai.

Sri Baduga maharaja berkuasa di Pajajaran sezaman dengan Raden Fatah  (mp. 1475-1518 M)  dan Pati Unus (mp. 1518-1521 M) di Demak. Sehingga pada masanya ia menyaksikan penaklukan majapahit dan penyerbuan Demak ke Malaka.

b.Jatuhnya Malaka tahun 1511 M dan Berkah Bagi Pajajaran

Kesultanan Malaka didirikan ada tahun 1405 M oleh Parameswara, salah seorang bangsawan pelarian dari Sriwijaya. Ia kemudian masuk islam dan bergelar Sultan iskandar Syah. Kemudian kesultanan ini berkembang menjadi pusat perdagangan international kala itu yang sangat disegani dan ramai hingga jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, di era Sultan Mahmud Syah.

Parameswara berkuasa hingga tahun 1414 M, hingga diteruskan oleh anaknya Megat iskandar syah (mp. 1414-1424 M), dan sultan berikutnya berturut turut, Sultan Muhammad Syah (mp. 1424-1444 M), Sultan Abu Syahid, Sultan Muhammad Syah (mp. 1444-1445 M), Sultan Mudzafar syah (mp. 1446-1459 M), Sultan mansyur Syah (mp. 1459-1477 M), Sultan Alauddin Riayat Syah (mp. 1477-1488 M) dan terakhir Sultan Mahmud syah (mp. 1488-1511 M).

Hingga tahun 1511 Masehi,  Malaka disamping menjadi ibukota juga merupakan kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan. Malaka telah menjadi kekuatan utama penguasaan jalur selat malaka. Dan hal ini berakhir ketika Malaka jatuh ket tangan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Alburquerque.


Jatuhnya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M, justru membawa berkah tersendri bagi Pajajaran. Pedagang pedagang muslim yang terancam oleh keberadaan Portugis di malaka mulai mencari alternatif pelabuhan dan jalur baru perdagangan untuk mencari rempah rempah. Disamping Aceh yang mendapat berkah karena jatuhnya Portugis tersebut, Pajajaran juga mendapat dampak yang sangat positif. Perubahan jalur dari selat Malaka ke selat sunda, membawa berkah tersendiri bagi pelabuhan pelabuhan Pajajaran yang ada di selat sunda tersebut, terutama Banten dan juga Nusa Kalapa.


Kedua pelabuhan utama di Pajajaran tersebut telah berubah menjadi pelabuhan teramai dan pusat perdagangan utama di wilayah nusantara, terutama yang mau menuju daerah timur.




c. Kebijakan Politik

Melihat perkembangan politik di luar negerinya dan terisnpirasi oleh jatuhnya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M. Sang raja seolah terinspirasi oleh kemenangan Portugis tersebut. 
Setelah Majapahit Jatuh, dan setelah melihat perkembangan anak anaknya yang beragama Islam di Cirebon, yang mulai terpengaruh oleh Demak. Sehingga kemungkinan besar kerajaan Pajajaran akan jatuh juga, jika tidak ada upaya upaya untuk memperkuatnya. 
Pajajaran seolah menjadi kerajaan Hindu sendirian ditengah kepungan kerajaan-kerajaan Islam yang mulai berdiri dan  setelah kerajaan kerajaan Hindu banyak yang berubah menjadi kerajaan Islam. Karena itu keberhasilan Portugis dalam menguasai kerajaan islam sekaliber Malaka, maka ia seolah mendapat teman. 
Meskipun pelabuhan pelabuhan di Pajajaran diuntungkan oleh direbutnya Malaka oleh Portugis. Tetapi melihat perkembangan anak-anaknya yang berkuasa di Cirebon yang melakukan kerjasama dengan Demak, seolah membuka matanya, bahwa masa depan kerajaannya terancam. Meskipun pada masanya ia yakin, bahwa tidak ada kerajaan yang berani melakukan kontak senjata dengan Pajajaran.
Sri baduga maharaja mengutus putra mahkotanya, Pangeran Surawisesa untuk melakukan kerjasama dengan Portugis di malaka.  Pangeran mahkota tersebut  pergi ke Malaka  dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521 M, untuk menemui Alfonso d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka. 
Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajagan  pihak portugis pada tahun 1513 M, yang diikuti oleh Tome Pires. Sedang hasil kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis  yang dipimpin oleh Hendrik  De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa  Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai  dibangun, pihak sunda akan menyerahkan  1000 karung lada tiap tahun  untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351 kwintal).

  

BAB V NAMA NAMA DAN GELAR UNTUK SRI BADUGA MAHARAJA

Karena bebagai prestasi dari Prabu jayadewata, disamping menjadi pemersatu wilayah sunda dan galuh, juga pada zamannya dikatakan sebagai zaman kegemilangannya. Baik dalam bidang ekonomi an kesejahteraan rakyatnya. Karena itu ia sering dikaitkan dengan nama Prabu Siliwangi (penggati Prabu Wangi), dan juga Sri baduga Maharaja. Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batutulis, sedang dalam carita parahiyangan ditulis Jayadewata. 

a. Gelar Prabu Siliwangi

Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Sumber sejarah pertama yang mengungkap nama siliwangi, adalah naskah sanghiyang siksa kandang karesian (1518 M),  yang dimaksud menyebutkan  salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama (lalakon)nya tidak diceritakan.
Yang kedua adalah naskah ”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, yang menceritakan tentang  Prabu Siliwangi, yang merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang berkuasa di kraton Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur. Prabu Siliwangi bertahta di keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan Subang Larang (1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di Kawali (1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga  emnikah dengan putri Ambetkasih.
Dan yang ketiga terdapat dalam naskah Carita Ratu Pakuan (kropak 410) yang ditulis kira-kira pad akhir abad ke-17 M atau awal abad ke-18 M. Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Prabu Siliwangi yang berkuasa di Pakuan, yang mempunyai istri Ambetkasih dan Subanglarang. Hal ini cocok dengan  Naskah cirebon diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga maharaja.

b. Sri Baduga Maharaja

Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batu Tulis, yang ada di Bogor  sekarang. 

BAB VI PRASASTI BATUTULIS

Prasasti Batutulis meruapakan prasasti yang di buat oleh Prabu Surawisesa, raja kerajaan Pajajaran putra dari raja sebelumnya, Sri Baduga Maharaja. Dan dibuat untuk mengenang ayahnya, Sri Baduga Maharaja.
Prasasti ini di yakini dibuat setelah upacara kematian ayahnya yang ke-12 tahun. Dan dalam prasasti itu sendiri diungkapkan bahwa pembuatan prasasti ini ada dalam sangkala diakhir tulisan prasasti, yaitu:  "Panca Pandawa mengemban bumi" berarti 5541, jika dibalik menjadi 1455 saka  atau pada tahun 1533 Masehi.
Dalam Prasasti itu dituliskan sebagai berikut:
Wangna pun ini sakakala, Prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga maharaja ratu haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diya anak rahyang dewa niskala sang) sida mokta ka nusalarang
ya isya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa (ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi

Semoga Selamat, ini tanda peringatan  Prabu ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prau Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri baduga maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata
dialah yang mebuat parit (pertahanan) pakuan
dia putera rahiyang dewa niskala yang dipusarakan di gunatiga, cucu rahiyang  
niskala wastukancana yangdipusarakan di nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan, membuat 
undakan untuk hutan samida, membuat sanghiyang  talaga rena mahawijaya (dibuat) dalam (tahn) saka "panca pandawa mengemban bumi"

Dalam prasasti ini diungkapkan bahwa Sri Baduga Maharaja ketika ia berkuasa, telah membuat beberapa karya, diantaranya yaitu: yang membuat parit pertahanan Pakuan (Nu Nyusuk nan Pakuan), yang membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan, yang membuat undakan untuk hutan samida, dan yang membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya.
Yang diungkapkan dalam prasasti ini dipertegas lagi dalam naskah Wangsakerta kitab Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 2 halaman 21 dan 23, sebagai berikut:
“Sang Maharaja membuat karya, yaitu: membuat telaga yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh (perhanan) kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (mahligai), kesatriaan, satuan satuan tempur, tempat tempat hiburan (pamingtonan), memperkuat angkatan perang, mengatur upeti dari raja raja bawahan dan kepala desa dan menyusun undang undang kerajaan (nitirajya).

1.. Membuat Parit Pertahanan (Nu Nyusuk nan Pakuan)

Para ahli sejarah mengartikan kata “Nu nyusuk na Pakuan” diartikan dengan yang membuat parit di Pakuan. Yang secara luas diartikan dengan yang membuat parit pertahanan Pakuan. Seperti yang kita ketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja menjadikan Pakuan menjadi ibukota kerajaan, sehingga di kemudian hari kerajaannya lebih dikenal dengan kerjaan Pakuan Pajajaran atau Pajajaran saja.
Kota Pakuan didirikan oleh Prabu Tarusbawa, pendiri kerajaan sunda. Tarusbawa berasal dari kerajaan Sunda Sambawa. Ia menggantikan mertuanya menjadi raja Tarumanagara menggantikan mertuanya, Prabu Linggawarman. Tetapi Prabu Tarusbawa kemudian memindahkan ibukota dari daerah Bekasi sekarang ke Pakuan (sekitar bogor sekarang).
Dalam naskah Carita Parahiyangan yang pertama kali yang nyusuk pakuan atau membuat parit pertahanan Pakuan adalah Prabu Hariang Banga, sebagai upaya untuk memperkokoh posisi Pakuan dibanding kerajaan kembar yang menjadi saingannya, yaitu kerajaan Galuh di era Raja Prabu Sang Manarah (Ciung Wanara), yang merupakan saudara tiri Hariang Banga.
Dan dalam kropak 406, Pakuan ini pernah diperluas (dibeukah) oleh Maharaja Prabu Darmasiksa, yang menurut Naskah Wangsakerta, Prabu Darmasiksa pindah dari Saunggalah ke Pakuan pada tahun 1109 Saka, dan ia memperluasnya.
Sri Baduga maharaja yang dibesarkan di Galuh (istana Surawisesa Kawali), seolah terinspirasi oleh kakekanya, Prabu Wastukancana, yang membuat benteng berupa parit pertahanan di sekeliling ibukota atau yang “marigi sakuliling dayeuh”. Karena itu ia kemudian membuat parit pertahanan ibukota Pakuan (nu nyusuk na Pakuan).
Menurut para ahli, bahwa parit atau benteng pertahanan Pakuan dibuat secara bersambung dari beberapa orang raja. Abraham Van Riebeeck pernah menemukan banyak sisa sisa Parit ini.
Parit / benteng  pertahanan ini merupakan karya yang mengagumkan. Ketangguhan benteng atau parit pertahanan ini terbukti dikemudian hari. Di era kejatuahn Pakuan tahun 1579 M, meskipun Pakuan lebih dari 12 tahun ditinggalkan oleh rajanya. Pakuan masih mampu menahan serangan pasukan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf yang  dilakukan berkali kali.  Dan Pakuan akhirnya dapat dibobol karena ada penghianatan orang dalam.

Konon sisa parit masih bisa dsaksikan di daerah Batutulis, dibelakang makam embah dalem Batutulis. Ukuran parit itu lebarnya 10 meter dan tinggi tebing antara 7 hingga 10 meter.

2.. Membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan

Ada yang mempersamakan istilah gunung gunungan dalam prasasti ini dengan istilah Wanagiri dalam naskah Wangsakerta.
Menurut Saleh Danasasmita kemungkinan tempat peringatan yang berupa gunung gunungan ada kemungkinan yang bernama bukit badigul sekarang, yang berada di daerah Rancamaya. Hal ini menurutnya dari pandangan sepintas bahwa bukit iru merupakan bukit buatan, disamping memenuhi syarat ukuran sebuah bukit atau gunung kecil.

3.. Membuat undakan untuk hutan samida

Hutan Samida ada yang mengartikannya merupakan hutan larangan. Dan Hutan samida yang disebut dalam prasasti batu tulis ini diyakini berada ditempat yang ada sekarang menjadi kebon raya Bogor.

4.. Membuat Sanghiyang Talaga Rena mahawijaya

Mengenai Sanghiyang Talaga rena Mahawijaya atau  dalam naskah Wangsakerta disebut dengan Maharena wijaya, belum diketahui dengan pasti. Para ahli masih bersilang pendapat, tentang letak Talaga rena Mahawijaya ini. Ada yang mengatakan letaknya di kota baru, sekitar 5 km sebelah barat daya  kota bogor. Ada yang mengatakan saa dengan Talaga Warna di puncak, dan ada yang mengatakan di aliran ciliwung.
Dalam carita pantun yang berasal dari Bogor, lakon “Nyurabrata”,  disebutkan bahwa di era masa Pajajaran ada 2 telaga, yaitu: Kamala wijaya atau Sipatahunan, yang terletak di aliran sungai Cilwung dan Rena Wijaya yang terletak di Rancamaya.

5. Karya lainnya
Seperti  diungkapkan dalam naskah Wangsakerta kitab Pustaka Nagara Kretabhumi bahwa yang Sang Maharaja (Sri Baduga Maharaja)  selain keempat diatas, masih membuat karya lainnya, yaitu: membuat jalan yang ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (mahligai), kesatriaan, satuan satuan tempur, tempat tempat hiburan (pamingtonan), memperkuat angkatan perang, mengatur upeti dari raja raja bawahan dan kepala desa dan menyusun undang undang kerajaan (nitirajya).
Tentang jalan yang berbatu yang sempurna buatannya, pernah dilaporkan oleh laporan ekspedisi Winkler (1690 M).  Dan tentang jalan berbatu juga dilaporkan oleh Scipio yang mengunjungi Batutulis pada 1 September 1687 M.

Dan mungkin tentang jalan ini juga merupakan karya bersambung. Karena setelah  Sri Baduga Maharaja, dan raja raja setelahnya. Dalam naskah Carita Parahiyangan, menyebutkan bahwa pada zaman Sang Nikalendra yang disebut dengan Tohaan dari Majaya, yang memerintah dari tahun rahun 1551-1567 M, pernah membuat taman yang dibalay (diperkeras dengan batu) dan balaibobot 17 jajar (baris) yang diapit oleh 2 pintu larangan (mihapitkeun dora larangan).


(lanjut...)

By Adeng Lukmantara
Peminat Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang

Sumber dan Gambar: 
Danasasmita, Saleh, Menelusuri Situs Prasasti batutulis, Kiblat, Bandung, 2014
Danasasmita, Saleh, Mencari Gerbang Pakuan, Kiblat, Bandung, 2014
Ekadjati, Edi S., Dari Pentas Sejarah Sunda , Kiblat, Bandung, 2014
Suganda, Her, Kerajaan Galuh, Legenda, Takhta, dan Wanita, Kiblat, Bandung, 2015

Internet: Wikipedia dan lain lain


Tidak ada komentar:

Posting Komentar