Sabtu, 24 September 2016

TRADISI TULIS MENULIS DAN PERBUKUAN DALAM TRADISI SUNDA

Pengantar
Orang bijak berkata: “Jika ingin melihat intelektualitas suatu bangsa bisa dilihat dari perbukuan bangsa itu sendiri.” Pembukuan atau perbukuan  merupakan suatu hasil dari proses tradisi membaca dan menulis. Jika seseorang atau dalam tatanan yang lebih luas menyangkut suatu bangsa menyenangi budaya  membaca, maka dalam bangsa itu akan muncul kreatifitas menulis. Dan jika kedua tradisi membaca menjadi suatu kebutuhan dan menulis menjadi suatu keharusan maka akan timbul kesemarakan dalam pembukuan.
Kata orang Bijak juga bahwa salah satu baromater untuk menjadi bangsa berperadaban modern adalah adanya transformasi dari budaya lisan ke dalam budaya tulisan. Tanpa transformasi tersebut maka selamanya bangsa itu akan terjebak pada bangsa yang tertinggal, meskipun berada dalam zaman sekarang (zaman modern), Mereka tidak akan menjadi bangsa pemain atau bangsa dominan di tengah peradaban modern, tetapi menjadi bangsa buih di tengah lautan, yang gampang diombang ambing.  Mereka akan menjadi bangsa penonton atau atau bangsa konsumen yang selalu mengeluh dan kecewa.
Peradaban Sunda klasik mungkin hanya dongengan belaka yang tidak bermutu, jika tidak ada suatu tulisan yang sekarang dikenal dengan nama  Naskah Carita Parahiyangan. Meskipun penulisnya tidak disebutkan dan uraiannya cukup singkat, tetapi karya tulis ini mempunyai suatu dentuman yang dasyat dalam pembahasan peradaban Sunda klasik. Dan mungkin Naskah Carita Parahiyangan ini juga tidak akan bisa kita baca jika tidak ada intelektual yang bisa membaca tulisan aslinya (aksara sunda). Maka kita bersyukur kepada Drs. Atja yang mencoba menterjemahkan Naskah tersebut ke dalam bahasa dan tulisan yang dikenal sekarang. Jadi disamping penulis,  menjadi penterjemah juga merupakan hal yang sngat bermamfaat. Jadi setidaknya kita harus bersyukur karena ada yang menulis dan menterjemahkan, yang merupakan salah satu tradisi menuju suatu bangsa yang berperadaban lebih maju (modern). Dan ditemukan Naskah Wangsakerta selanjutnya, adalah penemuan yang sangat spektakuler, yang menambah penjelasan dari naskah sebelumnya, meskipun banyak dikritik.
Sebenarnya orang sunda telah memasuki era sejarah sejak ditemukannya prasasti tentang kerajaan Tarumanagara di beberapa tempat. Dan Naskah Carita Parahiyangan, seolah menyambungkan peradaban sunda selanjutnya setelah era Tarumanagara.
Jadi hakekat manusia dalam hubungannya dengan peradaban hanya 3 profesi tambahan, yaitu menjadi penulis (termasuk penterjemah atau panitia penulisan), atau menjadi pembaca atau menjadi kolektor buku / tulisan. Jika menjadi ahli maka biasakan menulis, jika belum ahli dalam menulis maka giatlah membaca atau belajar. Kalau pandai menulis sudah pasti menjadi kolektor buku tentang profesi atau materi yanga akan ditulisnya. Dalam kategori yang senang membacapun pasti memburu buku buku yang akan dibacanya. Tapi biasanya karena keterbatasan dana, koleksi keduanya si penulis dan pembaca biasanya juga terbatas. Jadi jika ada keleluasaan kekayaan yang melimpah meskipun belum menyenangi membaca dan menulis, maka jadilah kolektor buku buku atau membuat perpustakaan untuk umum. Itupun jika kita berwawasan ke depan dan berawawasan peradaban.
Kata orang bijak: “Memang kasihan melihat bangsa ini, disamping banyak yang jarang membaca, apalagi menulis juga lebih jarang. Dan yang sangat jarang juga adalah menjadi kolektor buku. Jadi hingga kini pengetahuan atau pendidikan kita barulah pada tahap kebanggan  bahkan kesombongan, karena perbandingan hanya melihat pada tetangga sebelah yang memang miskin dan tidak berdaya. Pendidikan hanya untuk memperkuat dalam posisi dalam kariernya atau jabatan. Jadi ketika pensiun dari jabatan banyak yang stress atau kehilangan kepercayaan diri, karena  semasa mudanya berfokus pada karier dan jabatan, bukan kepada pengetahuan. Dan keahlian dalam menulis tidak pernah dilatih ketika masih muda. Karena itu dimasa tuanya harusnya waktunya yang banyak untuk membuat karya tulis hasil pengalamannya hidup, malah terjebak menjadi manusia yang baru belajar.
Belajar menulis meskipun kadang bingung apa yang harus ditulis, Tetapi hal itu harus dimulai dari kebingungan. Seperti halnya membaca, menulispun demikian, jika baru mulai. Untuk membangun tradisi baru memang hal yang sangat tidak mudah. Tetapi hal ini tetap harus dimulai oleh masyarakt kita atau kita sendiri. Karena tanpa memulai kita tidak akan pernah menghasilkan apa apa. 
Hakekat zaman, kemajuan ilmu atau kemajuan akal menurut  Imam Fakhrurazi (Fakhruddin ar Razi) hanya mengikat diri, hanya mengumpulkan pendapat si fulan dan si anu (mengumpulkan pendapat dan pemikiran orang),  itupun tidak menjamin bahwa pendapat itupun benar adanya. 

Nihayatu iqdamil ‘uquli ‘iqalu
Waghaayatu sayil ‘alami dhalalu
Wa laam nastafid min bahtsinaa thuula ‘umrina
Siwa an jama’na fihi qila wa qalu

 Kesudahan kemajuan akal itu hanyalah mengikat diri
Akhir perhentian perjalanan alam hanyalah kesesatan
Tiada yang didapati dari penyelidikan sepanjang umur
Hanyalah mengumpul-ngumpulkan kata si fulan dan si anu.

(Fakhruddin Ar Razi, dikutip dari Tasauf dari Abad ke Abad Karya Hamka)


NASKAH

BAB I TRADISI TULIS MENULIS DAN PERBUKUAN DALAM PERADABAN SUNDA KLASIK

A.. ABAD KE-5 MASEHI
Sejarah peradaban  suatu bangsa mulai diakui dalam sejarah jika ada bukti yang berkaitan dengan tulisan. Sebelum ada bukti bukti tertulis maka era bangsa itu disebut dengan era-prasejarah. Dengan demikian tradisi menulis seolah membatasi zaman suatu bangsa, dari zaman (era) prasejarah menuju era sejarah.
Peradaban Sunda memasuki era sejarah setelah ditemukan beberapa prasasti mengenai keberadaan kerajaan Tarumanagara dan rajanya yang gagah perkasa yang bernama Purnawarman pada abad ke-5 Masehi. Meskipun menurut naskah Wangsakerta, bahwa sejak abad ke-2 Masehi telah ada nama kerajaan sebelum menjadi Tarumanagara yang bernama Salakangara di daerah Pandeglang.  Tetapi karena bukti tertulis berupa prasasti mengenai kerajaan Salakanagara ini belum ditemukan. Karena itu keberadaan mengenai kerajaan Salakanagara masih diperdebatkan. Tetapi karena runtutan yang ditulis dalam naskah Wangsakerta tersebut mengindikasikan tentang keberadaan kerajaan tersebut, sebelum berubah menjadi kerajaan Tarumanagara.
Jadi disinilah pentingnya tulisan dalam kajian sejarah. Semakin banyak bukti tertulis, maka semakin kuat eksistensi keberadaan peradaban  suatu bangsa dalam sejarah.
Disamping tulisan dari subyeknya itu sendiri, biasanya tulisan dari negeri negeri tetangga, atau pelancong  negara lain juga sangat penting. Hal tersebut semakin memperkokoh Keberadaan peradaban suatu negara.

1.. PRASASTI MENGENAI TARUMANAGARA
Keberadaan kerajaan Tarumanagara dalam sejarah tidak pernah diragukan lagi, karena telah ditemukan beberapa prasasti yang memberitakan tentang kerajaan ini. Karean kerajaan ini banyak meninggalkan parasasti, suatu tulisan di batu. Disamping parasasti, kerajaan ini juga banyak diceritakan oleh pelancong dan penulis Cina.
Setidaknya telah ditemukan 7 prasasti yang berkaitan dengan keberadaan kerajaan Tarumanagara. Lokasi tempat semua prasasti  itu ditemukan  berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga sungai: cisadane, cianteun,  dan Ciaruteun. Sampai dengan abad ke-19 M, tempat itu masih dilaporkan dengan nama pasir muara, sekarang masuk kecamatan Cibungbulang.
Prasasti ini menggunakan aksara Sunda kuno yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara pallawa, yang mengacu pada model aksara kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini aksara tersebut belum mencapai  taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana  yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke16 M.

 a.. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti kebon kopi dibuat sekitar 400 M. Ditemukan diperkebunan kopi milik milik seorang Belanda  yang bernama Jonathan Rig, di Ciampea Bogor.

b.. Prasasti Tugu
Prasasti ini ditemukan  di kampung batuutumbu, desa tugu, kecamatan Tarumajaya, kabupaten Bekasi. Sekarang disimpan di museum di Jakarta dengan nomor D.124.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian sungai candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian  sungai gomati oleh  Purnawarman  pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakana gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan purnawarman, dan kekeringan yag terjadi pada musim kemarau.
 Prasasti tugu ini memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat  yang pada ujung-ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat itu dipahatkan  tegas memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara  awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.
Dibandingkan  dengan prasasti-prasasti Tarumanagara lainnya, prasasti Tugu  merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Purnawarman. Prasasti tugu dipahatkan  pada batu berbentuk bulat telur berukuran kurang lebih 1 meter. Prasasti ini bertuliskan aksara pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa sangsekerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari 5 baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu.
Teks (isi) prasasti ini adalah sebagai berikut:

”Pura rajadhirajena guruna pina bahuna  khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau // Pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa nerendradhvajabhut ena srimata puurnavarmmana // Prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithane caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingkaih ayata satsahasrena dehanusam sasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati  nirmalodaka // pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrenaprayati krtadaksina //
(Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnawarman, untuk mengalirkanya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termasyhur, pada tahun ke22 dari tahta yang mulia Raja Purnawarman yang berkilau-kilauan  karena kepandaian dan kebijaksanaanya serta menjadi panjipanji segala raja-raja (maka sekarang) beliaupu menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih gomati namanya. Setelah kali tersebut mengalir melintas di tengahtengah tanah kediaman yang mulia sang pendeta nenekda (raja Purnawarman) pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro gelap bulan caitra, jadi hanya 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur selamatan baginya dilakukan oleh para brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan)

c.. Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiyang
Prassati ini ditemukan dialiran sungai cidanghiyang yang mengalir di desa lebak, kecamatan munjul kabupaten Pandeglang, banten, yang berisi pujian  kepada raja Purnawaraman.

d.. Prasasti Ciaruteun
Prasasti ini ditemukan di sungai Ciaruteun, Ciampea Bogor.
Prasasti Cianteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, yang berbunyi:

”Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termasyhur  Purnawarman penguasa tarumanagara.”

Pada prasasti  Ciaruteun ini terdapat Pandatala atau jejak kaki, yang berfungsi mirip tandatangan  pada zaman sekarang.
Di Ciaruteun juga ditemuka prasasti Telapak kaki gajah, bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan  sebaris puisi berbunyi:
”Kedua jejak telapak kaki ini adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti airwata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.”
Menurut mytologi Hindu, airwata adalah nama gajah tunggangan  dewa Indra, dewa perang dan dewa guntur. Gajah perang Purnawarman  juga dinamakan airwata. Bahkan bendera kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai diatas kepala gajah. Demikian juga mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah itu ditatahkan pada prasasti Ciaruten, yang oleh para ahli hingga kini masih diperdebatkan tentang maknanya.

e.. Prasasti Muara CianteuN
Prasasti ini ditemukan  pada tahun 1864 M, di muara sungai Cianten, ciampea bogor. Prasasti ini disebut juga dengan prasasti Pasir Muara.  Prasasti ini ditemukan di tepi sungai  Cisadane dekat  Muara Cianten yang dahulu dikenal  dengan sebutan prasasti pasir muara, karena masuk ke wilayah kampung Pasir Muara.

f.. Prasasti Jambu (Prasasti Pasir Koleangkak)
Prasasti ini,  dipahat  pada batu dengan alami. Huruf yang digunakan adalah huruf Pallawa, dan bahasa sangsekerta, yang disusun dalam  bentuk seloka dengan metrum sragdhara.
Pada prasasti ini terdapat  pahatan sepasang telapak kaki (tetapi telapak kaki kiri sudah hilang karena batu bagian ini pecah). Prasasti ini tanpa tahun, tetapi menurut analisis paleografis diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-5 M. Dan dalam prasasti ini menyebut nama Purnawarman yang memerintah Tarumanagara.
Prasasti ini ditemukan pada tahun 1854 M, oleh Jonathan Rigg, yang dilaporkan  kepada dinas purbakala tahun 1948 M, dan diteliti  pertama kali tahun 1954, yang ditemukan di daerah perkebunan Jambu yang terletak  di pasir Koleangkak (pasir = bukit), Pasir Gintung, desa Parakan Muncang, kecamatan Naggung, Bogor. Dulu, zaman Belanda, lokasi ini termasuk perkebunan karet Sadeng djamboe (sekarang PT. Perkebunan XI), sehingga kemudian dinamai prasasti Jambu atau pasir koleangkak.
Isi Prasasti (terjemahan), sebagai berikut:

” Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya yang termasyhur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di taruma  dan yang baju zirnya (baju perisai) yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pengeran, tapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya.”

g.. Prasasti Pasir Ciawi
Prasasti pasir awi atau terkenal juga dengan nama prasasti Ciampea., merupakan salah satu dari 7 prasasti peninggalan Tarumanagara.
Prasasti ini terletak di lereng selatan Pasir Awi dikawasan hutan perbukitan di Cipamingkis, desa sukamakmur, Jonggol Bogor.  Prasasti ini telah diketahui tahun 1867 M, dan pertama kali ditemukan oleh NW. Hoepermans tahun 1864 M.
Prasasti ini  bergambar dahan dengan ranting dan dedaunan serta buah-buahan, juga dipahatkan sepasang telapak kaki.

2.. Sumber Sumber Luar Negeri
Sumber sumber luar negeri tentang keberadaan kerajAan tarumanagara adalah semuanya berasal dari Tiongkok (Cina), yaitu:

a.. Berita Fa-hsien
Fa shien adalah seorang pendeta budha Cina. Pada tahun 414 M, dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi, ia menceritakan  bahwa di Ye Po Ti (Jayadhipa) bagian barat,  hanya sedikit yang dijumpai orang-orang yang beragama budha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan beragama kotor (maksudnya, Animisme). To lo mo adalah ucapan lidah orang Cina bagi kata Taruma.
 Menurut cerita, pada tahun 414 M (pada masa Purnawarman berkuasa) Fa hsien berangkat dari Srilangka untuk kembali ke Kanton Cina. Pendeta  budha ini sebelumnya sudah bertahun-tahun belajar tentang  agama budha dari kerajaan-kerajaan yang bercorak budha. Setelah berlayar, kapal yang ditumpanginya diterjang badai. Sang pendetapun terdampar dan terpaksa mendarat di Ye Po ti, ejaan orang Cina untuk Jawadhipa (pulau Jawa), yang kemungkinan besar, tanah yang didarati adalah tarumanagara, yang memang terletak di barat pulau jawa.

b.. Berita dari Dinasti Sui
Dari dinasti Sui menceritakan bahwa pada tahun 528 dan 535 M, telah datang utusan (duta) dari To lo mo (Taruma) yang terletak di sebelah selatan. To lo mo adalah ejaan lidah  cina untuk nama taruma.

c..  Berita dari Dinasti Tang
Dari dinasti Tang menceritakan bahwa tahun 666 M dan 669 M, telah datang utusan dari Tolomo
Dari tiga berita diatas, para ahli menyimpulkan bahwa istilah To Lo Mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanagara.

B. SETELAH ERA PURNAWARMAN (SETELAH ABAD KE-5 M)
Tradisi tulis menulis dalam batu atau prasasti seolah terputus setelah era Purnawarman berkuasa. Ada 3 kemungkinan mengapa hal ini terjadi, yang pertama kemungkinan bahwa memang tardisi membuat prasasti tidak diteruskan karena tidak ada prestasi dari penguasa selanjutnya. Yang kedua kemungkinan bahwa negara tersebut menuju ke kemundurannya. Dan yang ketiga kemungkinan menulis juga tetapi prasastinya belum ditemukan atau hilang tertimpa zaman.
Semua prasasti tersebut diatas merupakan prasasti yang dibuat diera Maharaja Purnawarman berkuasa di kerajaan Tarumanagara. Tentang prestasi Purnawarman ini juga diceritakan dengan jelas dalam Naskah Wangsakerta. Jadi seolah ada korelasi antara Prasasti di era Purnawarman dengan Naskah Wangsakerta yang ditulis pada abad ke 17 M.

C. TRADISI TULIS MENULIS DI ERA KERAJAAN SUNDA /PAJAJARAN
Dalam naskah Wangsakerta diurai tentang transformasi dari kerajaan Tarumanagara menjadi kerjaan sunda dan juga kerajaan Galuh. Bahwa  kerajaan Tarumanaga ibukotanya dpindahkan oleh menantu raja terakhir Tarumanagara, yang bernama Prabu Tarusbawa. Disisi lain juga muncul kerajan baru di sebelah timur kerajan sunda yang disebut Galuh oleh Wretikandayun.
Kemungkinan tradisi tulis menulis juga berkembang di era kerajaan Sunda. Tetapi ketika ibukota kerajaan di Pakuan hancur, kemungkinan memusnahkan khazanah perbukuan di istana kerajaan Pajajaran tersebut.
Jadi dengan selang waktu hampir 900 tahun eksistensi kerajaan sunda seolah terputus dengan hancurnya ibukota kerajaan Pajajaran. Hal itu masih beruntung ada salah seorang intelektual sunda yang masih eksis yang mengungkap sejarah raja raja sunda meskipun dengan singkat, yang ditulis dalam daun lontar yang sekarang disebut dengan naskah Carita Parahiyangan. Dan naskah naskah lain yang masih tersisa
Sebenanrnya di era kerajaan Sunda tardisi tulis menulis sudah berkembang. Karena pada masa kerajaan ini juga ditemukan beberapa prasasti di era raja raja yang berbeda. Yang pertama di era kekuasaan Prabu Sri Jayabhupati, yang kedua di era Prabu Wastukancana, dan yang ketiga di era Prabu Surawisesa untuk mengenang ayahnya Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi.
Disamping itu terdapat beerapa naskah naskah yang sudah di terjemahkan, yang menandakan bahwa tradisi tulis menulis di kerjaan Sunda telah berkembang dengan pesat. Meskipun belum  menjaditradisi yang dominan.

A.. PRASASTI DI ERA KERAJAAN SUNDA

1.. Prasasti di Era Prabu Sri Jayabhupati
Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.
Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa  dan huruf Jawa kuno, yang sekarang  disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):

D73
//0// Swasti  shakawarsatita 952 Karttikamasatithi dwadashi  shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra mottunggadewa, ma-
D96
Gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway  denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang tan hanani baryya baryya shila. Irikang iwah tan pangalapa ikan sesini iwah. Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan I hulu, I sor makahingan  ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha.
D 97:
Sumpah denira prahajyan  sunda. Iwirnya nihan.   
Terjemahan:

Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal 12 bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati  Jayamahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswara  nindita haro gonawardhana wikramottung gadewa, membuat  tanda  disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat  oleh Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar  ketentuan ini. Disungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan  di sebelah sini sungai dalam batas  daerah pemujaan  sanghiyang tapak di sebelah hulu.  Disebelah hilir dalam batas daerah  pemujaan sanghiyang tapak pada dua batang  pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan  sumpah.

Sumpah yang diucapkan oleh raja Sunda  lengkapnya tertera pada prasasti  ke-4 (D 98). Terdiri dari 20  baris, yang intinya menyeru semua  kekuatan gaib didunia dan di surga agar ikut  melindungi keputusabn raja.. Siapapun yang menyalahi  ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya  kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan  dengan menghisap otaknya, menghirup  darahnya, memberantakan ususnya  dan membelah dadanya. Sumauh itu ditutup dengan kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” ( Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati ini bertepatan dengan 11 Oktober 1030 M.

2.. Prasasti di Era Prabu Wastukancana
Prabu Niskala wastukancana adalah salah seorang raja sunda yang banyak meninggalkan prasasti, diantaranya ditemukan di situs Astana Gede kawali. Situs ini terletak di dusun Indrayasa desa kawali. Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh seorang letnan gubernur jendral Inggris, Thomas Stamford Raffles pada tahun 1817 M.
Bunyi dari prasasti tersebuat, sebagai berikut:

“Nihan tanpa Kawali ma siya mulia tanpa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi saliling dayeuh nu najur sagala desa aya ma nu pandeuri pakena gawe rahhayu pakeun heubeul jaya dina buana.”

(Yang bertapa di kawali ini adalah yang  mulia pertapa yang berbahagia Prabu Wastu yang bertahta di kota Kawali, yang memperindah Keraton Surawisesa yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibukota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri . Semoga mereka yang dikemudian, membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang.”)

3.. Prasasti di Era Prabu Surawisesa
Setelah perjanjian dengan Cirebon pada tahun 1531 M, seolah Prabu Surawisesa dapat menghela nafas untuk memperbaiki keadaan negara dan urusan dalam negerinya.
Dan pada tahun 1533 M, pada upacara kematian ayahnya yang ke-12 tahun atau dalam upacara Srada, yang dimaksudkan untuk menyempurnakan sukma seseorang yang telah meninggal dunia. Upacara ini bisanya dlakukan 12 tahun setelah seseorang meninggal dunia.
Dan pada saat itu pula Prabu Surawisesa membuat prasasti untuk mengenang kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Prasasti itu dikemudian hari dikenal dengan Prasasti Batutulis (di bogor sekarang).
Dan dalam prasasti itu sendiri diungkapkan bahwa pembuatan prasasti ini ada dalam sangkala diakhir tulisan prasasti, yaitu:  "Panca Pandawa mengemban bumi" berarti 5541, jika dibalik menjadi 1455 saka  atau pada tahun 1533 Masehi.
Dalam Prasasti itu dituliskan sebagai berikut:

Wangna pun ini sakakala, Prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga maharaja ratu haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diya anak rahyang dewa niskala sang) sida mokta ka nusalarang
ya isya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa (ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi

Semoga Selamat, ini tanda peringatan  Prabu ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prau Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri baduga maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata
dialah yang mebuat parit (pertahanan) pakuan
dia putera rahiyang dewa niskala yang dipusarakan di gunatiga, cucu rahiyang  
niskala wastukancana yangdipusarakan di nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan, membuat 
undakan untuk hutan samida, membuat sanghiyang  talaga rena mahawijaya (dibuat) dalam (tahn) saka "panca pandawa mengemban bumi"

Dalam prasasti ini diungkapkan bahwa Sri Baduga Maharaja ketika ia berkuasa, telah membuat beberapa karya, diantaranya yaitu: yang membuat parit pertahanan Pakuan (Nu Nyusuk nan Pakuan), yang membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan, yang membuat undakan untuk hutan samida, dan yang membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya.

B.. KARYA KARYA TULIS ERA PERADABAN SUNDA KLASIK
Tentang karya tulis orang sunda tempo dulu banyakyang belum terugkap. Naskah naskah kuno hasil peradaban sunda tersebar di berbagai perpustakaan di Belanda dan di Inggris. Dan hinga kini ada sekitar 50-an naskah sunda yang ada di Perpustakaan Nasional dan Kabuyuta Ciburuy Garut yang masih belum diungkap.
Berikut ini adalah hasil karya tulis dala peradaban sunda klasik yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa sekarang, baik dalam bahasa sunda kiwari dan indonesia.

1.. Naskah Carita parahiyangan
Naskah Carita Parahiyangan merupakan suatu naskah Sunda kuno yang berbahasa Sunda kuno, yang dibuat pada akhir abad ke-16 M, yang menceritakan sejarah tanah sunda, mengenai kerajaan Sunda, istana (keraton) galuh dan istana (keraton) pakuan. Naskah ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Naskah Carita Parahiyangan terdiri dari  47 lembar  daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang tiap lembarnya berisi 4 baris. Huruf yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda kuno. Tentang pengarangnya tidak disebutkan. Dari analisisnya menunjukan bahwa ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang sosiologi.
Naskah ini pertama kali diteliti oleh K.F. Holle, kemudian C.M Pleyte. Naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia  oleh Purbacaraka sebagai tambahan laporan mengenai u Tulis dibogor, dan selanjutnya oleh beberapa sarjana sunda.
Naskah Carita Parahiyangan ini menceritakan  sejarah sunda dari awal kerajaan Galuh  pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota kerajaan Sunda) akibat serangan kesultanan Banten, Cirebon dan Demak.

2.. Amanat Galunggung
Amanat Galunggung adalah  nama yang diberikan untuk sekumpulan naskah  yang ditemukan di kabuyutan ciburuy, kabupaten Garut, dan merupakan salah satu naskah tertua di Nusantara. Nama “Amanat Galunggung” berasal dari filolog  Saleh Danasasmita, yang  turut mengjkaji naskah tersebut,
Naskah ini ditulis pada abad 15 M pada daun lontar dan daun nipah, menggunakan  bahasa dan aksara Sunda kuno. Naskah ini berisi nasehat mengenai etika dan budi pekerti Sunda, yang disampaikan Rakeyan Darmasiksa, raja Sunda ke-25, penguasa Galunggung, kepada putranya, Ragasuci (sang Lumahing Taman).
Diantara isi dari naskah Amanat galunggung, adalah:
‘- Harus  dijaga kemungkinan orang asing  dapat merebut  tanah kabuyutan (tanah yang disakralkan).
‘-  Barangsiapa yang dapat mendudukan Galunggung sebagai tanah yang  disakralkan akan  memperoleh kesaktian, unggul perangt,  berjaya dan mewariskan  kekayaan sampai turun temurun.
‘- Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah  daripada putra raja yang tidak  mampu mempertahankan  tanah airnya.
‘- Jangan memarahi orang yang tidak bersalah.
‘- Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu  mempertahankan  tanah air pada zamannya.

3.. Naskah Bujangga Manik
Naskah Bujangga Manik adalah naskah primer, yang merupakan peninggalan dari naskah berbahasa Sunda yang sangat berharga. Naskah ini ditulis dalam daun nipah, dalam puisi naratif  berupa lirik  yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini seluruhnya terdiri dari  29 daun nipah, yang masing-masing  berisi  56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Yang menjadi tokoh dan yang menulis naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari kerajaan Sunda. Walaupaun ia seorang prabu (keluarga raja/ bangsawan) dari keraton Pakuan Pajajaran, ia lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi.
Bujangga Manik melakukan perjalanan 2 kali ke negeri Jawa. Pada perjalanan kedua, ia singgah  di Bali untuk beberapa lama serta ke pulau Sumatra dan akhirnya ia bertapa di sekitar gunung Patuha sampai ia meninggal.
Bujangga Manik dalam naskah ini  menyebut negri Majapahit, Malaka, dan Demak, hal ini dapat diperkirakan bahwa  naskah ini ditulis pada akhir abad ke14 M, atau awal abad ke15 M.
Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan topografi pulau jawa pada awal abad ke15 M. Lebih dari 400 nama tempat tinggal dan sungai disebut  dalam naskah ini dan berbagai nama tempat yang masih digunakan hingga kini.
Naskah ini sekarang tersimpan  di perpustakaan Bodleian, di Oxford sejak tahun 1627 M.

4..Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518 M)
Naskah ini ditulis pada tahun 1440 saka atau 1518 M, dalam bahasa Sunda kuno, yang ditulis dalam daun nipah. Naskah ini oleh sebagaian ahli  dianggap sebagai pustaka ensiklopedik, yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional,  kropak 630).
Isi naskah ini dibagi 2 bagian. Yang pertama disebut dasakreta selaku ”kundangeun urang rea” (ajaran akhlak untuk semua orang). Sedang yang kedua  disebut darma pitutur, yang berisi ilmu pengetahuan (bahasa sunda = pangaweruh) yang harus dimiliki oleh setiap manusia agar hidup berguna di dunia.
Meskipun  dalam naskah ini berjudul karesian, isinya tidak hanya berkenaan dengan kaum agama, tetapi banyak bertalian dengan kehidupan menurut ajaran darma. Dan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan ada dalam darma pitutur, seperti apa yang diungkapkan dalam pengantarnya:
” Kitu keh urang janma ini lamun dek nyaho dipuhun suka lawan enak ma ingetkeun saur sang darma pitutur...., kalinganya, kita jarang dek ceta, ulah salah geusan nanya.”

5.. Karya Karya Penulis yang Bernama Kai Raga
Kai Raga merupakan salah seorang penulis dalam peradaban Sunda Klasik. Ia setidaknya menulis 5 buah naskah Sunda klasik yang sudah diungkap.
Tentang Kairaga ini berdasar Naskah Ratu Pakuan (1970) karya Atja dan Tiga Pesona Sunda Kuna (2009) susunan J Noorduyn dan A. Teeuw, dapat disimpulkan bahwa Kairaga adalah seorang petapa yang tinggal di sekitar Sutanangtung, Gunung Larang Srimanganti. Gunung ini merupakan nama kuno untuk Gunung Cikuray kabupaten Garut sekarang.
Melalui penelusuran dan penafsiran Pleyte yang ada pada Naskah ratu Pakuan dan Tiga Pesona Sunda Kuno , Kairaga diperkirakan hidup pada awa abad ke-18 M. Penelusuran dan penafsiran Plyte ini didasarkan atas perbandingan naskah naskah yang ditulisnya dengan Naskah Carita Waruga Guru yang menunjukan kesamaan corak huruf. Tetapi secara isi diperkirakan ditulis pada abad ke-15 M.
Hingga kini setidaknya ada 5 naskah sunda klasik yang dinisbahkan kepada Kairaga. Kelima naskah tersebut adala: Carita Ratu Pakuan (Kropak 410), Kropak 411, Carita Purnawijaya (Kropak 416), Kawih Paningkes (Kropak 419), Gambaran Kosmologi Sunda (kropak 420) dan Darmajati (Kropak 423).

a.. Carita Ratu Pakuan (Kropak 410)
Carita Ratu Pakuan, sebagaimana catatan Atja (1970), dibagi dua bagian. Pertama, me-ngenai gunung-gunung pertapaan para pohaci yang akan menitis kepada para putri pejabat calon istri Ratu Pakuan atau Prabu Siliwangi. Kedua, mengenai kisah Putri Ngambetkasih diperistri Ratu Pakuan.

b.. Carita Purnawijaya (Kropak 416),
Carita Purnawijaya (Poernawidjaja’s Hellevaart) merupakan adaptasi naskah Jawa kuno yang bernapaskan agama Buddha, Kunjarakarna. Isinya menerangkan Purnawijaya yang mendapatkan pencerahan dari Dewa Utama, perjalanannya ke neraka, dan serta uraian masalah-masalah filosofis yang dia dapatkan. Naskah ini mirip sekali isinya dengan Darmajati, meski di beberapa bagian ada yang berbeda.

c.. Kawih Paningkes (Kropak 419),
Naskah Kawih Paningkes dan Gambaran Kosmologi Sunda pada dasarnya berisi tentang segala macam renungan mengenai masalah-masalah keagamaan. Gambaran Kosmologi Sunda berisi dialog antara Pendeta Utama
Kawih Paningkes, menurut Ayatrohaedi, dkk. (1987), berisi lembaran mengenai ajaran agama yang bercampur antara kepercayaan Hindu dengan kepercayaan pribumi. Hal tersebut terbukti dengan disebutkannya nama dewa dan dewi agama Hindu dengan nama-nama pohaci dan apsari yang khas Pasundan.

d.. Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420),
Gambaran Kosmologi Sunda pada dasarnya berisi tentang segala macam renungan mengenai masalah-masalah keagamaan. Gambaran Kosmologi Sunda berisi dialog antara Pendeta Utama dengan Pwah Batari Sri me-ngenai bagaimana semua mahluk menjalankan tugasnya masing-masing sesuai bayu, sabda, dan hedap anugerah dari Sang Pencipta. Selain itu, juga ada disebutkan me-ngenai tuntunan peribadatan yang harus dilakukan.

e.. Darmajati (Kropak 423).

5.. Karya Penulis yang Bernama Buyut Ni Dawit
Salah seorang penulis dalam peradaban Sunda Klasik. Buyut Ni Dawit merupakan seorang pertapa perempuan, penulis Naskah Sewaka Darma. Berdasar Naskah Sewaka Darma (Kropak 408), ia `berasal dari kuta Wawatan dan pernah bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana.
Kuta Wawatan, menurut para sejarawan terletak di Priangan sebelah timur, karena penulis naskah Sewaka Darma menyebutkan nama Kendan, Medang, dan Menir yang masing-masing merupakan tempat kediaman Resi Guru Manikmaya, Kandiawan, dan Wretikandayun di daerah Priangan timur.
Pertapaan Ni Teja Puru Bancana berada di Gunung Kumbang (1216 m  dpl). Gunung ini terletak di Kabupaten Brebes sekarang (jawa tengah) atau tepatnya mungkin di suatu tempat yang dunamakan gunung Sagara (800 dpl). Yang letaknya di lereng selatan Gunung Kumbang tempat dimana naskah naskah kuno di temukan.
Meskipun penduduk kampungnya sekarang telah tiada setelah peristiwa pengambilan naskah oleh bupat Brebes Rd. Aria Tjandranegara. Tempat tersebut sejak dulu hingga sekarang dianggap mempunyai nilai spiritual tretentu bagi masyarakatmya., dimana penduduk sekitarnya hingga kini merupakaan masyarakat sunda, dan dalam beberapa aspek  kehidupanya masih cukup memegang teguh  tradisi leluhurnya. Tempat Gunung Sagara sampai saat ini masih ada dan dikeramatkan.
Karya yang ditulis oleh Buyut Ni Dawit sekaramg ini dkenal demgan nama  Naskah Sewaka Darma atau Kropak 408. Dan naskah aslinya masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Yang pertama mengumumkan naskah ini adalah Saleh Danasasmita dan kawan kawan tahun 1987.
Naskah ini ditulis  pada daun lontar . Huruf dan bahasa yang dipakai adalah Sunda Kuno. Bentuknya puisi. Naskah ini terdiri darin37 helai daun rontal, 74 halaman, dan hanya 67 halaman yang terisi.
Tentang kapan naskah ini ditulis, tetapi para ahli menilai naskah ini dibuat pada abad ke-15 M. Berdasarkan isinya, usia naskah jauh lebih tua dari tipe hurufnya yang berasal dari abad ke-18 Masehi. Karena ajaran yang tersurat di dalamnya mengenai kelepasan jiwa (moksa) dengan gaya penuh kesungguhan, sulitlah diterima bila hal itu dikerjakan dalam suasana abad ke-18, bahkan abad ke-17 sekalipun. Pekerjaan itu hanya mungkin dilakukan pada saat agama Islam belum merupakan anutan umum di tatar Sunda. Sehingga diduga naskah ini merupakan salinan dari naskah yang lebih tua. Mungkin sekali naskah aslinya disusun paling tidak dalam abad ke-15 Masehi ketika anasir Hindu dalam kehidupan religi masyarakat Sunda belum merosot terlalu jauh

Isi naskah Sewaka Darma secara umum berbicara mengenai ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib. Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa dengan agama Buda Mahayana.


6.. Karya Karya lainnya


BAB II TRADISI TULIS MENULIS DAN PERBUKUAN DI KESULTANAN BANTEN, CIREBON, SUMEDANG LARANG DAN ERA KOLONIAL
Setelah buraknya kerajaan Pajajaran, wilayah eks. Kerajaan Pajajaran menjadi 3 kerajaan berbasis agama Islam, yaitu: Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten dan kerajaan Sumedang Larang. Kesultanan Cirebon menguasai wilayah timur di eks kerajaan Pajajaran, sedang Banten menguasai sebelah baratnya. Dan Sumedang Larang menguasai wilayah tengah, mewarisi sisa kerajaan Pajajaran yang tidak dikuasai cirebon dan Banten.
Dari ketiga kerajaaan bekas kerajaan tersebut, kerajaan Cirebon relatif banyak meninggalkan karya tulisan, meskipun sedikit. Tetapi dilihat dari kegairahan terhadap ilmu, terutama sejarah relatif ada. Apalagi munculnya gagasan gotrasawala yang digagas oleh Pangeran Wangsakerta di abad ke-17 menandakan, bahwa gairah keilmuwan dan tulis menulis di istana Cirebon reltif berkembang.
Di kerajaan Banten, jika ditinjau dari perkembanganya yang relatif lebih cepat, tetapi hal ini tidak diimbangi oleh kegairahan intelektual terhadap tradisi tulis menulis atau gairah terhadap perbukuan di lingkungan istananya. Sehingga banyak momen momen yang mereka bisa catat dalam sejarah, tetapi justru luput. Karena tidak ada atau jarangnya penulis di lingkungan istana. Sehingga momen penaklukan ibukota kerajaan Pajajaran pun luput dari penulisan sejarah.
Banten bagai sejarah yang terulang, kerajaan yang begitu dominan dan agresif, justru tidak bersisa dalam peradabannya. Seperti Pakuan Pajajaran. Kerajan Bantenpun hancur tidak berbekas, karena kalah bersaingnya dengan kolonial belanda di Batavia. Kekuasaannya tergerus sedikit demi sedikit.
Sedang di kerajaan Sumedang Larang, yang baru tahap embrio di era Prabu Geusan Ulun, justru terjadi malapetaka di era anaknya, Rangga Gempol. Kekurang percayan diri dan keterikatan darah yang masih sama dengan ibunya, bukannya membuat Sumedang Larang menjadi harapan dari penerus Pakuan Pajajaran yang telah hilang, tetapi justru hilang segalanya di era kekuasaan Rangga Gempol. Kehilangan kemandirian, kehilangan harga diri, dan kehilangan jati diri. Hanya dengan ingin menyelamatkan dari saudaranya seturunan (Cirebon) dan juga Banten, malah mengabdi dan minta bantuan terhadap Mataram. Bukan kebanggaan yang didapat. Harusnya dengan gagahnya menjadi suatu simbol kebesaran malah menjadi budak. Hal itu menjerumuskan bangsanya ke era kolonial bangsa lain.
Hal ini tidak hanya dirasakan rakyatnya, tetapi dia sendiri harus rela berbakti, menjadi panglima dan juga membawa ratusn tentaranya dalam penaklukan Madura. Upaya perlawanan oleh penggantinya Rangga gede, dan juga Dipati Ukur menandai, bahwa ketika suatu bangsa sudah menjadi budak bangsa lain. Maka sangat sulit untuk mengembalikannya. Dan ketika mulai ada gerakan untuk membangkitkannya, maka lawan berikutnya adalah bangsanya sendiri yang menjadi kacung kacung bangsa kolonial.
Jadi di Sumedang Larang, tradisi intelektual belum berkembang di tahap embrio. Penerus yang jadi harapan, malah hilang bersama dengan tiada keinginan untuk menjadikan suatu bangsa yang dominan dan kuat, malah terjebak menjadi bangsa yang epes meer. Meskipun tidak dominan seperti sebleumnya, Sumedang mulai bangkit lagi di era Pangeran Kornel menjadi bupatainya, di era kolonial Belanda. Pada era sang pangeran ini, pembukuan sejarah sunda mulai dibangkitkan lagi.

A.. TRADISI TULIS MENULIS DI ERA KERAJAAN CIREBON
Kelemahan dari bangsa kita adalah kurangnya tradisi intelektual baik di lingkungan istana dan rakyatnya. Bangsa kita adalah bangsa yang terlalu cepat puas terhadap pencapaian pencapaian dirinya, meskpun tidak melakukan apa apa.
Cirebon dapat dikatakan merupakan pusat islamisasi di tanah sunda. Meskipun dominasi pangeran pangeran sunda begitu besar di kesultanan cirebon. Tetapi mereka  juga mempunyai ketergantungan terhadap Demak, yang waktu itu bagaikan kiblat dalam islamisasi di Jawa.
Sebagaimana kerajaan kerajaan di tanah Jawa, cepat berkembang dan cepat pula hilangnya. Bagai Majapahit, begitu melesat, tetapi begitu cepat padamnya (hilangnya) dalam peradaban  di tanah Jawa. Demak juga mengalami hal yang sama dengan Majapahit. Cepat melesat dan cepat hancur. Demak hanya mengalami 3 raja di era kejayaannya, dan setelah itu seolah hilang di telan bumi.
Dengan hilangnya Demak, menjadikan negeri Cirebon menjadi negeri yang indepeden, meskipun keterikatan masih terjali erat dengan kerajaan penggantinya (Pajang). Karena pengaruh Cirebon terhada kerajaan setelah Demak cukup berpengaruh.

1.. Tradisi Intelektual di era Cirebon Awal.
Sebagaimana masyarakat kita secara keseluruhan. Meskipun tradisi tulis menulis telah berkembang, ...  (lanjut)

2.. Pangeran Wangsa Kerta
Pangeran Wangsakerta memenuhi permintaan ayahnya, Panembahan Girilaya, dari kesultanan Cirebon,  agar sang pangeran menulis kisahkisah kerajaan Nusantara. Kemudian panitia dibentuk untuk  mengadakan suatu gotrasawala (symposium / seminar) diantara para ahli  sejarah di Nusantara, yang hasilnya kemudian ditulis  menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal dengan Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini berlangsung tahun 1599 saka (atau 1677 M), dan penyusunan naskah ini menghabiskan waktu 21 tahun (selesai pada 1620 saka / 1698 M).
Naskah Wangsakerta merupakan hasil pertemuan para ahli sejarah dari hampir 90 daerah di Nusantara yang berlangsung pada tahun 1677 sampai dengan 1698 M di keraton Kasepuhan Cirebon.
Naskah Wangsakerta adalah suatu istilah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta secara pribadi atau oleh timnya.  Naskah ini ditemukan awal tahun 1970 M, selain menimbulkan kekaguman  karena kelengkapannya, juga menimbulkan kontroversi dan keraguan. Para ahli sejarah banyak yang meragukan karena alasan: isinya terlalu histories (tidak umum sebagaimana naskah-naskah  sezamannya), dan isinya cocok dengan naskah-naskah barat, dan mungkin tidak dibuat pada abad ke-17 M, disamping keadaan fisik naskah (kertas, tinta dan bangun aksara / huruf) yang kasar, tidak seperti naskah lama pada umumnya.
Hurup yang digunakan dalam naskah ini adalah hurup kawi dengan bahasa yang disebut jawa tengahan, tetapi menurut wangsakereta sendiri disebut Purwa Jawa (Jawa Kuno). Naskah Wangsakerta  kini tersimpan di Museum Sribaduga Maharaja, Bandung.
Di Perpustakaan kesultanan Cirebon mengoleksi 1703 judul naskah dan 1213 diantaranya berupa karya pangeran Wangsakerta dan timnya, mengenai kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ada 47 jilid yang merupakan gabungan dari sejarah berbagai daerah, yaitu:

a.. Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara ini terdiri dari 25 jilid (sarga) dan  dibagi dalam 5 parwa (bab) yang masing-masing mempunyai judul tersendiri:
.. Pustaka Kathosana Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
.. Pustaka Rajyawarnana Rajya Rajya I Bhumi Nusantar
.. Pustaka Kertajaya Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
.. Pustaka Rajakawasa Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
.. Pustaka Nanaprakara Rajya Rajya I Bhumi Nusantara

b.. Pustaka Pararatwan, 10 jilid.

c.. Pustaka Nagara Kretabhumi, 12 jilid.

3. Setelah Era Pangeran Wangsakerta
Setelah pangeran Wangsakerta ada juga penulis di lingkungan kerajaan Cirebon, yaitu Pangeran Arya dan lainnya. Pangeran Arya pada tahun 1720-an menulis buku yang berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari.

B. ERA KESULTANAN  BANTEN

C. ERA KERAJAAN SUMEDANG LARANG DAN WILAYAH LAINNYA
1.. Babad Pajajaran
Babad Pajajaran ditulis di Sumedang pada tahun 1816 M, pada masa  Pangeran Kornel.
2.. Carita Waruga Guru
Carita Waruga guru adalah suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada tahun 1750-an.
3.. Kitab Waruga jagat
 Suatu naskah yang berasal dari Sumedang
4.. Pancakaki Masalah  Karuhun Kabeh,
Berasal dari Ciamis yang ditulis pada abad ke 18 M,  dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon.

BAB III MASYARAKAT SUNDA KINI DAN PERBUKUAN
Meskipun di era modern dan presentasi melek huruf telah meningkat, tetapi tradisi tulis  menulis dan perbukuan di tanah sunda belum begitu berkembang. Meskipun secara pemikiran lebih rasional, seolah masyarakat sunda masih terjbak pada upaya upaya untuk mepertahankan tradisonalisme nya dalam hal tulis menulis. Trdisi ini hanya ada di lingkunan akademik itupun masih sedikit. Sedang masyarakat luas belum begitu peduli pada tradisi tulis menulis ini, meskipun termasuk kaum yang terdidik.

Suatu masyarakat yang sedang berkembang biasanya adalah satu masyarakat yang energik terhadap hal hal yang baru, dan keinginan terhadap daya seni dan imajinasinya juga tinggi, sehingga ada kegairahan dalam mengembangkan ilmu dan juga diri. Berbeda dengan masyarakat yang stagnan. Meskipun berada di lingkungan masyarakat modern atau dunia yang modern, tetapi dia merasa puas dengan suatu pencapaian dirinya dan ilmunya, sehingga keilmuan tidak berkembang dengan signifikan dan intelktualitas hanya ada di lingkungan akademik saja. Itupun hanya terbatas pada simbol simbol gelar kesarjanaan, bukan tradisi keilmuan. Sehingga meskipunbanyak sarjana yang dihasilkan, tetapi tardisi pembukuan seolah berjalan di tempat. Karena tidak ada take and gave antara penulis dan pembaca. Pembacanya sedikit apalagi yang menjadi penuls, sehingga pembukuan juga tidak bergairah. Dengan demikian meskipun hidup di era modern, tetapi sebenarnya kebanyakan dari bangsa yang demikian adalah bangsa tradisional.

(.......... Lanjut)

By Adeng Lukmantara
Sumber: Dari Berbagai Sumber di Internet