Pengantar
Orang
bijak berkata: “Jika ingin melihat intelektualitas suatu bangsa bisa dilihat
dari perbukuan bangsa itu sendiri.” Pembukuan atau perbukuan merupakan suatu hasil dari proses tradisi
membaca dan menulis. Jika seseorang atau dalam tatanan yang lebih luas
menyangkut suatu bangsa menyenangi budaya
membaca, maka dalam bangsa itu akan muncul kreatifitas menulis. Dan jika
kedua tradisi membaca menjadi suatu kebutuhan dan menulis menjadi suatu
keharusan maka akan timbul kesemarakan dalam pembukuan.
Kata
orang Bijak juga bahwa salah satu baromater untuk menjadi bangsa berperadaban
modern adalah adanya transformasi dari budaya lisan ke dalam budaya tulisan.
Tanpa transformasi tersebut maka selamanya bangsa itu akan terjebak pada bangsa
yang tertinggal, meskipun berada dalam zaman sekarang (zaman modern), Mereka
tidak akan menjadi bangsa pemain atau bangsa dominan di tengah peradaban modern, tetapi menjadi
bangsa buih di tengah lautan, yang gampang diombang ambing. Mereka akan menjadi bangsa penonton atau atau
bangsa konsumen yang selalu mengeluh dan kecewa.
Peradaban
Sunda klasik mungkin hanya dongengan belaka yang tidak bermutu, jika tidak ada
suatu tulisan yang sekarang dikenal dengan nama Naskah Carita Parahiyangan. Meskipun
penulisnya tidak disebutkan dan uraiannya cukup singkat, tetapi karya tulis ini
mempunyai suatu dentuman yang dasyat dalam pembahasan peradaban Sunda klasik.
Dan mungkin Naskah Carita Parahiyangan ini juga tidak akan bisa kita baca jika
tidak ada intelektual yang bisa membaca tulisan aslinya (aksara sunda). Maka
kita bersyukur kepada Drs. Atja yang mencoba menterjemahkan Naskah tersebut ke
dalam bahasa dan tulisan yang dikenal sekarang. Jadi disamping penulis, menjadi penterjemah juga merupakan hal yang
sngat bermamfaat. Jadi setidaknya kita harus bersyukur karena ada yang menulis
dan menterjemahkan, yang merupakan salah satu tradisi menuju suatu bangsa yang
berperadaban lebih maju (modern). Dan ditemukan Naskah Wangsakerta selanjutnya,
adalah penemuan yang sangat spektakuler, yang menambah penjelasan dari naskah
sebelumnya, meskipun banyak dikritik.
Sebenarnya
orang sunda telah memasuki era sejarah sejak ditemukannya prasasti tentang kerajaan
Tarumanagara di beberapa tempat. Dan Naskah Carita Parahiyangan, seolah
menyambungkan peradaban sunda selanjutnya setelah era Tarumanagara.
Jadi
hakekat manusia dalam hubungannya dengan peradaban hanya 3 profesi tambahan,
yaitu menjadi penulis (termasuk penterjemah atau panitia penulisan), atau
menjadi pembaca atau menjadi kolektor buku / tulisan. Jika menjadi ahli maka
biasakan menulis, jika belum ahli dalam menulis maka giatlah membaca atau
belajar. Kalau pandai menulis sudah pasti menjadi kolektor buku tentang profesi
atau materi yanga akan ditulisnya. Dalam kategori yang senang membacapun pasti
memburu buku buku yang akan dibacanya. Tapi biasanya karena keterbatasan dana,
koleksi keduanya si penulis dan pembaca biasanya juga terbatas. Jadi jika ada
keleluasaan kekayaan yang melimpah meskipun belum menyenangi membaca dan
menulis, maka jadilah kolektor buku buku atau membuat perpustakaan untuk umum.
Itupun jika kita berwawasan ke depan dan berawawasan peradaban.
Kata
orang bijak: “Memang kasihan melihat bangsa ini, disamping banyak yang jarang
membaca, apalagi menulis juga lebih jarang. Dan yang sangat jarang juga adalah
menjadi kolektor buku. Jadi hingga kini pengetahuan atau pendidikan kita
barulah pada tahap kebanggan bahkan
kesombongan, karena perbandingan hanya melihat pada tetangga sebelah yang
memang miskin dan tidak berdaya. Pendidikan hanya untuk memperkuat dalam posisi
dalam kariernya atau jabatan. Jadi ketika pensiun dari jabatan banyak yang
stress atau kehilangan kepercayaan diri, karena semasa
mudanya berfokus pada karier dan jabatan, bukan kepada pengetahuan. Dan keahlian dalam menulis tidak pernah dilatih ketika masih muda. Karena itu dimasa tuanya harusnya waktunya yang banyak untuk membuat karya tulis hasil pengalamannya hidup, malah terjebak menjadi manusia yang baru belajar.
Belajar
menulis meskipun kadang bingung apa yang harus ditulis, Tetapi hal itu harus
dimulai dari kebingungan. Seperti halnya membaca, menulispun demikian, jika
baru mulai. Untuk membangun tradisi baru memang hal yang sangat tidak mudah.
Tetapi hal ini tetap harus dimulai oleh masyarakt kita atau kita sendiri.
Karena tanpa memulai kita tidak akan pernah menghasilkan apa apa.
Hakekat
zaman, kemajuan ilmu atau kemajuan akal menurut
Imam Fakhrurazi (Fakhruddin ar Razi) hanya mengikat diri, hanya
mengumpulkan pendapat si fulan dan si anu (mengumpulkan pendapat dan pemikiran
orang), itupun tidak menjamin bahwa
pendapat itupun benar adanya.
Nihayatu iqdamil ‘uquli ‘iqalu
Waghaayatu sayil ‘alami dhalalu
Wa laam nastafid min bahtsinaa thuula ‘umrina
Siwa an jama’na fihi qila wa qalu
Kesudahan kemajuan akal itu hanyalah mengikat
diri
Akhir perhentian perjalanan alam hanyalah kesesatan
Tiada yang didapati dari penyelidikan sepanjang umur
Hanyalah mengumpul-ngumpulkan kata si fulan dan si
anu.
(Fakhruddin Ar Razi, dikutip dari Tasauf dari Abad ke
Abad Karya Hamka)
NASKAH
BAB
I TRADISI TULIS MENULIS DAN PERBUKUAN DALAM PERADABAN SUNDA KLASIK
A..
ABAD KE-5 MASEHI
Sejarah peradaban suatu bangsa mulai diakui dalam sejarah jika
ada bukti yang berkaitan dengan tulisan. Sebelum ada bukti bukti tertulis maka
era bangsa itu disebut dengan era-prasejarah. Dengan demikian tradisi menulis
seolah membatasi zaman suatu bangsa, dari zaman (era) prasejarah menuju era
sejarah.
Peradaban Sunda memasuki era
sejarah setelah ditemukan beberapa prasasti mengenai keberadaan kerajaan
Tarumanagara dan rajanya yang gagah perkasa yang bernama Purnawarman pada abad
ke-5 Masehi. Meskipun menurut naskah Wangsakerta, bahwa sejak abad ke-2 Masehi
telah ada nama kerajaan sebelum menjadi Tarumanagara yang bernama Salakangara
di daerah Pandeglang. Tetapi karena
bukti tertulis berupa prasasti mengenai kerajaan Salakanagara ini belum
ditemukan. Karena itu keberadaan mengenai kerajaan Salakanagara masih
diperdebatkan. Tetapi karena runtutan yang ditulis dalam naskah Wangsakerta
tersebut mengindikasikan tentang keberadaan kerajaan tersebut, sebelum berubah
menjadi kerajaan Tarumanagara.
Jadi disinilah pentingnya tulisan
dalam kajian sejarah. Semakin banyak bukti tertulis, maka semakin kuat
eksistensi keberadaan peradaban suatu
bangsa dalam sejarah.
Disamping tulisan dari subyeknya
itu sendiri, biasanya tulisan dari negeri negeri tetangga, atau pelancong negara lain juga sangat penting. Hal tersebut
semakin memperkokoh Keberadaan peradaban suatu negara.
1..
PRASASTI MENGENAI TARUMANAGARA
Keberadaan kerajaan Tarumanagara
dalam sejarah tidak pernah diragukan lagi, karena telah ditemukan beberapa
prasasti yang memberitakan tentang kerajaan ini. Karean kerajaan ini banyak
meninggalkan parasasti, suatu tulisan di batu. Disamping parasasti, kerajaan
ini juga banyak diceritakan oleh pelancong dan penulis Cina.
Setidaknya telah ditemukan 7
prasasti yang berkaitan dengan keberadaan kerajaan Tarumanagara. Lokasi tempat semua prasasti itu ditemukan berbentuk bukit
rendah berpermukaan datar dan diapit tiga sungai: cisadane,
cianteun, dan Ciaruteun. Sampai dengan abad ke-19 M, tempat itu
masih dilaporkan dengan nama pasir muara, sekarang masuk kecamatan
Cibungbulang.
Prasasti ini menggunakan aksara Sunda kuno
yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara pallawa, yang mengacu
pada model aksara kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada
zaman ini aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk
khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke16 M.
a.. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti kebon kopi dibuat sekitar 400 M. Ditemukan
diperkebunan kopi milik milik seorang Belanda yang bernama Jonathan
Rig, di Ciampea Bogor.
b.. Prasasti Tugu
Prasasti ini ditemukan di kampung
batuutumbu, desa tugu, kecamatan Tarumajaya,
kabupaten Bekasi. Sekarang disimpan di museum di Jakarta dengan nomor D.124.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian sungai
candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian sungai gomati
oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
Penggalian sungai tersebut merupakana gagasan untuk menghindari bencana alam
berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan purnawarman, dan
kekeringan yag terjadi pada musim kemarau.
Prasasti tugu ini memiliki keunikan yakni
terdapat pahatan hiasan tongkat yang pada ujung-ujungnya dilengkapi
semacam trisula. Gambar tongkat itu dipahatkan tegas memanjang ke
bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir
kalimat-kalimat pada prasastinya.
Dibandingkan dengan prasasti-prasasti
Tarumanagara lainnya, prasasti Tugu merupakan prasasti yang
terpanjang yang dikeluarkan Purnawarman. Prasasti tugu dipahatkan pada batu
berbentuk bulat telur berukuran kurang lebih 1 meter. Prasasti ini bertuliskan
aksara pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa sangsekerta dengan
metrum Anustubh yang terdiri dari 5 baris melingkari mengikuti bentuk permukaan
batu.
Teks (isi) prasasti ini adalah
sebagai berikut:
”Pura rajadhirajena guruna pina bahuna khata khyatam purim
prapya candrabhagarnnavam yayau // Pravarddhamane dvavingsad vatsare sri
gunau jasa nerendradhvajabhut ena srimata puurnavarmmana // Prarabhya phalguna
mase khata krsnastami tithane caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingkaih
ayata satsahasrena dehanusam sasatena ca dvavingsena nadi ramya
gomati nirmalodaka // pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim
brahmanair ggo sahasrenaprayati krtadaksina //
(Dahulu sungai
yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang
memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnawarman, untuk mengalirkanya ke
laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang
termasyhur, pada tahun ke22 dari tahta yang mulia Raja Purnawarman yang
berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaanya serta menjadi
panjipanji segala raja-raja (maka sekarang) beliaupu menitahkan pula menggali
kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih gomati namanya. Setelah
kali tersebut mengalir melintas di tengahtengah tanah kediaman yang mulia sang
pendeta nenekda (raja Purnawarman) pekerjaan ini dimulai pada hari baik,
tanggal 8 paro gelap bulan caitra, jadi hanya 21 hari lamanya, sedangkan
saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur selamatan baginya dilakukan oleh
para brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan)
c.. Prasasti Munjul atau Prasasti
Cidanghiyang
Prassati ini ditemukan dialiran sungai cidanghiyang
yang mengalir di desa lebak, kecamatan munjul kabupaten Pandeglang, banten,
yang berisi pujian kepada raja Purnawaraman.
d.. Prasasti Ciaruteun
Prasasti ini ditemukan di sungai Ciaruteun, Ciampea
Bogor.
Prasasti Cianteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris,
yang berbunyi:
”Kedua (jejak) telapak kaki yang
seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang
termasyhur Purnawarman penguasa tarumanagara.”
Pada prasasti Ciaruteun ini terdapat
Pandatala atau jejak kaki, yang berfungsi mirip tandatangan pada
zaman sekarang.
Di Ciaruteun juga ditemuka prasasti Telapak kaki
gajah, bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan sebaris
puisi berbunyi:
”Kedua jejak telapak kaki ini adalah jejak kaki gajah
yang cemerlang seperti airwata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan
berkuasa.”
Menurut mytologi Hindu, airwata adalah nama gajah
tunggangan dewa Indra, dewa perang dan dewa guntur. Gajah perang
Purnawarman juga dinamakan airwata. Bahkan bendera kerajaan
Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai diatas kepala gajah. Demikian
juga mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah. Ukiran bendera
dan sepasang lebah itu ditatahkan pada prasasti Ciaruten, yang oleh para ahli
hingga kini masih diperdebatkan tentang
maknanya.
e.. Prasasti Muara CianteuN
Prasasti ini ditemukan pada tahun 1864 M,
di muara sungai Cianten, ciampea bogor. Prasasti ini disebut juga dengan
prasasti Pasir Muara. Prasasti ini ditemukan di tepi
sungai Cisadane dekat Muara Cianten yang dahulu
dikenal dengan sebutan prasasti pasir muara, karena masuk ke wilayah
kampung Pasir Muara.
f.. Prasasti Jambu (Prasasti Pasir Koleangkak)
Prasasti ini, dipahat pada
batu dengan alami. Huruf yang digunakan adalah huruf Pallawa, dan bahasa
sangsekerta, yang disusun dalam bentuk seloka dengan metrum
sragdhara.
Pada prasasti ini terdapat pahatan sepasang
telapak kaki (tetapi telapak kaki kiri sudah hilang karena batu bagian ini
pecah). Prasasti ini tanpa tahun, tetapi menurut analisis paleografis
diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-5 M. Dan dalam prasasti ini
menyebut nama Purnawarman yang memerintah Tarumanagara.
Prasasti ini ditemukan pada tahun 1854 M, oleh
Jonathan Rigg, yang dilaporkan kepada dinas purbakala tahun 1948 M,
dan diteliti pertama kali tahun 1954, yang ditemukan di daerah
perkebunan Jambu yang terletak di pasir Koleangkak (pasir = bukit),
Pasir Gintung, desa Parakan Muncang, kecamatan Naggung, Bogor. Dulu, zaman
Belanda, lokasi ini termasuk perkebunan karet Sadeng djamboe (sekarang PT.
Perkebunan XI), sehingga kemudian dinamai prasasti Jambu atau pasir koleangkak.
Isi Prasasti
(terjemahan),
sebagai berikut:
” Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap
tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya yang termasyhur Sri
Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di taruma dan yang baju
zirnya (baju perisai) yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini
adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa menggempur kota-kota musuh,
hormat kepada para pengeran, tapi merupakan duri dalam daging bagi
musuh-musuhnya.”
g.. Prasasti Pasir Ciawi
Prasasti pasir awi atau terkenal juga dengan nama
prasasti Ciampea., merupakan salah satu dari 7 prasasti peninggalan
Tarumanagara.
Prasasti ini terletak di lereng selatan Pasir Awi
dikawasan hutan perbukitan di Cipamingkis, desa sukamakmur, Jonggol
Bogor. Prasasti ini telah diketahui tahun 1867 M, dan pertama kali
ditemukan oleh NW. Hoepermans tahun 1864 M.
Prasasti ini bergambar dahan dengan ranting
dan dedaunan serta buah-buahan, juga dipahatkan sepasang telapak kaki.
2.. Sumber Sumber Luar Negeri
Sumber sumber luar negeri tentang keberadaan kerajAan
tarumanagara adalah semuanya berasal dari Tiongkok (Cina), yaitu:
a.. Berita Fa-hsien
Fa shien adalah seorang pendeta budha Cina. Pada tahun
414 M, dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi, ia menceritakan bahwa
di Ye Po Ti (Jayadhipa) bagian barat, hanya sedikit yang dijumpai
orang-orang yang beragama budha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama
Hindu dan beragama kotor (maksudnya, Animisme). To lo mo adalah ucapan lidah
orang Cina bagi kata Taruma.
Menurut cerita, pada tahun 414 M (pada masa
Purnawarman berkuasa) Fa hsien berangkat dari Srilangka untuk kembali ke Kanton
Cina. Pendeta budha ini sebelumnya sudah bertahun-tahun belajar
tentang agama budha dari kerajaan-kerajaan yang bercorak budha.
Setelah berlayar, kapal yang ditumpanginya diterjang badai. Sang pendetapun terdampar
dan terpaksa mendarat di Ye Po ti, ejaan orang Cina untuk Jawadhipa (pulau
Jawa), yang kemungkinan besar, tanah yang didarati adalah tarumanagara, yang
memang terletak di barat pulau jawa.
b.. Berita dari Dinasti Sui
Dari dinasti Sui menceritakan bahwa pada tahun 528 dan
535 M, telah datang utusan (duta) dari To lo mo (Taruma) yang terletak di
sebelah selatan. To lo mo adalah ejaan lidah cina untuk nama taruma.
c.. Berita dari Dinasti Tang
Dari dinasti Tang menceritakan bahwa tahun 666 M dan
669 M, telah datang utusan dari Tolomo
Dari tiga berita diatas, para ahli menyimpulkan bahwa
istilah To Lo Mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan
Tarumanagara.
B. SETELAH ERA PURNAWARMAN (SETELAH ABAD KE-5 M)
Tradisi
tulis menulis dalam batu atau prasasti seolah terputus setelah era Purnawarman
berkuasa. Ada 3 kemungkinan mengapa hal ini terjadi, yang pertama kemungkinan
bahwa memang tardisi membuat prasasti tidak diteruskan karena tidak ada
prestasi dari penguasa selanjutnya. Yang kedua kemungkinan bahwa negara
tersebut menuju ke kemundurannya. Dan yang ketiga kemungkinan menulis juga
tetapi prasastinya belum ditemukan atau hilang tertimpa zaman.
Semua
prasasti tersebut diatas merupakan prasasti yang dibuat diera Maharaja
Purnawarman berkuasa di kerajaan Tarumanagara. Tentang prestasi Purnawarman ini
juga diceritakan dengan jelas dalam Naskah Wangsakerta. Jadi seolah ada
korelasi antara Prasasti di era Purnawarman dengan Naskah Wangsakerta yang
ditulis pada abad ke 17 M.
C. TRADISI TULIS MENULIS DI ERA KERAJAAN SUNDA
/PAJAJARAN
Dalam
naskah Wangsakerta diurai tentang transformasi dari kerajaan Tarumanagara menjadi
kerjaan sunda dan juga kerajaan Galuh. Bahwa
kerajaan Tarumanaga ibukotanya dpindahkan oleh menantu raja terakhir
Tarumanagara, yang bernama Prabu Tarusbawa. Disisi lain juga muncul kerajan
baru di sebelah timur kerajan sunda yang disebut Galuh oleh Wretikandayun.
Kemungkinan
tradisi tulis menulis juga berkembang di era kerajaan Sunda. Tetapi ketika ibukota kerajaan di Pakuan hancur, kemungkinan
memusnahkan khazanah perbukuan di istana kerajaan Pajajaran tersebut.
Jadi
dengan selang waktu hampir 900 tahun eksistensi kerajaan sunda seolah terputus
dengan hancurnya ibukota kerajaan Pajajaran. Hal itu masih beruntung ada salah
seorang intelektual sunda yang masih eksis yang mengungkap sejarah raja raja
sunda meskipun dengan singkat, yang ditulis dalam daun lontar yang sekarang
disebut dengan naskah Carita Parahiyangan. Dan naskah naskah lain yang masih
tersisa
Sebenanrnya
di era kerajaan Sunda tardisi tulis menulis sudah berkembang. Karena pada masa
kerajaan ini juga ditemukan beberapa prasasti di era raja raja yang berbeda.
Yang pertama di era kekuasaan Prabu Sri Jayabhupati, yang kedua di era Prabu
Wastukancana, dan yang ketiga di era Prabu Surawisesa untuk mengenang ayahnya
Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi.
Disamping
itu terdapat beerapa naskah naskah yang sudah di terjemahkan, yang menandakan
bahwa tradisi tulis menulis di kerjaan Sunda telah berkembang dengan pesat.
Meskipun belum menjaditradisi yang
dominan.
A.. PRASASTI DI ERA KERAJAAN SUNDA
1.. Prasasti di Era Prabu Sri Jayabhupati
Prasasti peninggalan Sri
Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini
dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.
Prasasti ini terdiri dari 40
baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis
dalam bahasa dan huruf Jawa kuno, yang sekarang disimpan di museum
pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
Isi ketiga batu pertama (menurut
Pleyte):
D73
//0// Swasti shakawarsatita 952
Karttikamasatithi dwadashi shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka
diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu
murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra
mottunggadewa, ma-
D96
Gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway
denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang tan hanani baryya baryya shila. Irikang
iwah tan pangalapa ikan sesini iwah. Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan I
hulu, I sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong
kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha.
D 97:
Sumpah denira prahajyan
sunda. Iwirnya nihan.
Terjemahan:
Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal 12
bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja Sunda
Maharaja Sri Jayabupati Jayamahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana
mandaleswara nindita haro gonawardhana wikramottung gadewa, membuat
tanda disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat oleh Srijayabhupati
Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Disungai ini
jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas
daerah pemujaan sanghiyang tapak di sebelah hulu. Disebelah hilir
dalam batas daerah pemujaan sanghiyang tapak pada dua batang pohon
besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh raja
Sunda lengkapnya tertera pada prasasti ke-4 (D 98). Terdiri dari
20 baris, yang intinya menyeru semua kekuatan gaib didunia dan di
surga agar ikut melindungi keputusabn raja.. Siapapun yang
menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua
kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakan ususnya dan membelah dadanya. Sumauh itu ditutup
dengan kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” ( Ketahuilah olehmu
parahiyang semuanya).
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati
ini bertepatan dengan 11 Oktober 1030 M.
2.. Prasasti di Era Prabu Wastukancana
Prabu Niskala
wastukancana adalah salah seorang raja sunda yang banyak meninggalkan prasasti,
diantaranya ditemukan di situs Astana Gede kawali. Situs ini terletak di dusun
Indrayasa desa kawali. Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh seorang letnan
gubernur jendral Inggris, Thomas Stamford Raffles pada tahun 1817 M.
Bunyi dari
prasasti tersebuat, sebagai berikut:
“Nihan tanpa
Kawali ma siya mulia tanpa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu
mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi saliling dayeuh nu najur sagala desa
aya ma nu pandeuri pakena gawe rahhayu pakeun heubeul jaya dina buana.”
(Yang bertapa di kawali ini adalah
yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Wastu yang bertahta di kota
Kawali, yang memperindah Keraton Surawisesa yang membuat parit (pertahanan)
sekeliling ibukota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri .
Semoga mereka yang dikemudian, membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati
agar tetap unggul dalam perang.”)
3.. Prasasti di Era Prabu Surawisesa
Setelah perjanjian dengan Cirebon pada tahun 1531 M,
seolah Prabu Surawisesa dapat menghela nafas untuk memperbaiki keadaan negara
dan urusan dalam negerinya.
Dan pada tahun 1533 M, pada upacara kematian ayahnya
yang ke-12 tahun atau dalam upacara Srada, yang dimaksudkan untuk
menyempurnakan sukma seseorang yang telah meninggal dunia. Upacara ini bisanya
dlakukan 12 tahun setelah seseorang meninggal dunia.
Dan pada saat itu pula Prabu Surawisesa membuat
prasasti untuk mengenang kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Prasasti itu
dikemudian hari dikenal dengan Prasasti Batutulis (di bogor sekarang).
Dan dalam prasasti itu sendiri diungkapkan bahwa pembuatan prasasti ini ada
dalam sangkala diakhir tulisan prasasti, yaitu: "Panca Pandawa mengemban bumi"
berarti 5541, jika dibalik menjadi 1455 saka
atau pada tahun 1533 Masehi.
Dalam Prasasti itu dituliskan sebagai berikut:
Wangna pun ini sakakala, Prebu ratu
purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru
dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga
maharaja ratu haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diya anak rahyang dewa niskala sang)
sida mokta ka nusalarang
ya isya ni nyiyan sakakala gugunungan
ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa (ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Semoga Selamat, ini tanda peringatan
Prabu ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prau
Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri
baduga maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata
dialah yang mebuat parit (pertahanan)
pakuan
dia putera rahiyang dewa niskala yang
dipusarakan di gunatiga, cucu rahiyang
niskala wastukancana yangdipusarakan
di nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan
berupa gunung gunungan, membuat
undakan untuk hutan samida, membuat
sanghiyang talaga rena mahawijaya (dibuat) dalam (tahn) saka "panca pandawa mengemban bumi"
Dalam prasasti ini diungkapkan bahwa Sri Baduga Maharaja ketika ia berkuasa,
telah membuat beberapa karya, diantaranya yaitu: yang membuat parit pertahanan
Pakuan (Nu Nyusuk nan Pakuan), yang membuat tanda peringatan berupa gunung
gunungan, yang membuat undakan untuk hutan samida, dan yang membuat Sanghiyang
Talaga Rena Mahawijaya.
B.. KARYA KARYA TULIS ERA PERADABAN SUNDA KLASIK
Tentang karya
tulis orang sunda tempo dulu banyakyang belum terugkap. Naskah naskah kuno
hasil peradaban sunda tersebar di berbagai perpustakaan di Belanda dan di
Inggris. Dan hinga kini ada sekitar 50-an naskah sunda yang ada di Perpustakaan
Nasional dan Kabuyuta Ciburuy Garut yang masih belum diungkap.
Berikut ini
adalah hasil karya tulis dala peradaban sunda klasik yang sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa sekarang, baik dalam bahasa sunda kiwari dan indonesia.
1.. Naskah Carita parahiyangan
Naskah Carita Parahiyangan merupakan
suatu naskah Sunda kuno yang berbahasa Sunda kuno, yang dibuat pada akhir abad
ke-16 M, yang menceritakan sejarah tanah sunda, mengenai kerajaan Sunda, istana
(keraton) galuh dan istana (keraton) pakuan. Naskah ini tersimpan di Museum
Nasional Jakarta.
Naskah Carita Parahiyangan
terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang tiap
lembarnya berisi 4 baris. Huruf yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda kuno. Tentang pengarangnya tidak disebutkan. Dari analisisnya
menunjukan bahwa ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang sosiologi.
Naskah ini pertama kali diteliti oleh K.F. Holle,
kemudian C.M Pleyte. Naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Purbacaraka sebagai tambahan laporan mengenai u Tulis dibogor, dan
selanjutnya oleh beberapa sarjana sunda.
Naskah Carita Parahiyangan ini menceritakan
sejarah sunda dari awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai
runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota kerajaan Sunda) akibat serangan kesultanan
Banten, Cirebon dan Demak.
2.. Amanat Galunggung
Amanat Galunggung adalah
nama yang diberikan untuk sekumpulan naskah yang ditemukan di kabuyutan
ciburuy, kabupaten Garut, dan merupakan salah satu naskah tertua di
Nusantara. Nama “Amanat Galunggung” berasal
dari filolog Saleh Danasasmita, yang turut mengjkaji naskah
tersebut,
Naskah ini ditulis pada abad
15 M pada daun lontar dan daun nipah, menggunakan bahasa dan aksara Sunda
kuno. Naskah ini berisi nasehat mengenai etika dan budi pekerti Sunda, yang disampaikan Rakeyan
Darmasiksa, raja Sunda ke-25, penguasa Galunggung, kepada putranya,
Ragasuci (sang Lumahing Taman).
Diantara isi dari naskah Amanat galunggung, adalah:
‘- Harus dijaga kemungkinan
orang asing dapat merebut tanah kabuyutan (tanah yang disakralkan).
‘- Barangsiapa
yang dapat mendudukan Galunggung sebagai tanah yang disakralkan
akan memperoleh kesaktian, unggul perangt, berjaya dan
mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
‘- Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah daripada
putra raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya.
‘- Jangan memarahi orang yang
tidak bersalah.
‘- Jangan tidak berbakti kepada
leluhur yang telah mampu mempertahankan tanah air pada zamannya.
3.. Naskah Bujangga Manik
Naskah Bujangga Manik adalah
naskah primer, yang merupakan peninggalan dari naskah berbahasa Sunda yang
sangat berharga. Naskah ini ditulis dalam daun nipah, dalam puisi naratif
berupa lirik yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini seluruhnya terdiri
dari 29 daun nipah, yang masing-masing berisi 56 baris
kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Yang menjadi tokoh dan yang
menulis naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga
Manik, seorang resi Hindu dari kerajaan Sunda. Walaupaun ia seorang prabu
(keluarga raja/ bangsawan) dari keraton Pakuan Pajajaran, ia lebih suka
menjalani hidup sebagai seorang resi.
Bujangga Manik melakukan perjalanan 2 kali ke negeri
Jawa. Pada perjalanan kedua, ia singgah di Bali untuk beberapa lama serta
ke pulau Sumatra dan akhirnya ia bertapa di sekitar gunung Patuha sampai ia
meninggal.
Bujangga Manik dalam naskah ini menyebut negri
Majapahit, Malaka, dan Demak, hal ini dapat diperkirakan bahwa naskah ini
ditulis pada akhir abad ke14 M, atau awal abad ke15 M.
Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan
topografi pulau jawa pada awal abad ke15 M. Lebih dari 400 nama tempat tinggal
dan sungai disebut dalam naskah ini dan berbagai nama tempat yang masih
digunakan hingga kini.
Naskah ini sekarang tersimpan di perpustakaan
Bodleian, di Oxford sejak tahun 1627 M.
4..Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518 M)
Naskah ini ditulis pada tahun 1440 saka atau 1518 M,
dalam bahasa Sunda kuno, yang ditulis dalam daun nipah. Naskah ini oleh
sebagaian ahli dianggap sebagai pustaka ensiklopedik, yang sekarang
tersimpan di Perpustakaan Nasional, kropak 630).
Isi naskah ini dibagi 2 bagian. Yang pertama disebut
dasakreta selaku ”kundangeun urang rea” (ajaran akhlak untuk semua orang).
Sedang yang kedua disebut darma pitutur, yang berisi ilmu pengetahuan
(bahasa sunda = pangaweruh) yang harus dimiliki oleh setiap manusia agar hidup
berguna di dunia.
Meskipun dalam naskah ini berjudul karesian,
isinya tidak hanya berkenaan dengan kaum agama, tetapi banyak bertalian dengan
kehidupan menurut ajaran darma. Dan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
ada dalam darma pitutur, seperti apa yang diungkapkan dalam pengantarnya:
” Kitu keh urang janma ini lamun dek nyaho
dipuhun suka lawan enak ma ingetkeun saur sang darma pitutur...., kalinganya,
kita jarang dek ceta, ulah salah geusan nanya.”
5.. Karya Karya Penulis yang Bernama Kai Raga
Kai Raga
merupakan salah seorang penulis dalam peradaban Sunda Klasik. Ia setidaknya
menulis 5 buah naskah Sunda klasik yang sudah diungkap.
Tentang
Kairaga ini berdasar Naskah Ratu Pakuan (1970) karya Atja dan Tiga Pesona Sunda
Kuna (2009) susunan J Noorduyn dan A. Teeuw, dapat disimpulkan bahwa Kairaga
adalah seorang petapa yang tinggal di sekitar Sutanangtung, Gunung Larang
Srimanganti. Gunung ini merupakan nama kuno untuk Gunung Cikuray kabupaten
Garut sekarang.
Melalui
penelusuran dan penafsiran Pleyte yang ada pada Naskah ratu Pakuan dan Tiga
Pesona Sunda Kuno , Kairaga diperkirakan hidup pada awa abad ke-18 M.
Penelusuran dan penafsiran Plyte ini didasarkan atas perbandingan naskah naskah
yang ditulisnya dengan Naskah Carita Waruga Guru yang menunjukan kesamaan corak
huruf. Tetapi secara isi diperkirakan ditulis pada abad ke-15 M.
Hingga kini
setidaknya ada 5 naskah sunda klasik yang dinisbahkan kepada Kairaga. Kelima
naskah tersebut adala: Carita Ratu Pakuan (Kropak 410), Kropak 411, Carita
Purnawijaya (Kropak 416), Kawih Paningkes (Kropak 419), Gambaran Kosmologi
Sunda (kropak 420) dan Darmajati (Kropak 423).
a.. Carita Ratu Pakuan (Kropak 410)
Carita Ratu
Pakuan, sebagaimana catatan Atja (1970), dibagi dua bagian. Pertama, me-ngenai
gunung-gunung pertapaan para pohaci yang akan menitis kepada para putri pejabat
calon istri Ratu Pakuan atau Prabu Siliwangi. Kedua, mengenai kisah Putri
Ngambetkasih diperistri Ratu Pakuan.
b.. Carita Purnawijaya (Kropak 416),
Carita
Purnawijaya (Poernawidjaja’s Hellevaart) merupakan adaptasi naskah Jawa kuno
yang bernapaskan agama Buddha, Kunjarakarna. Isinya menerangkan Purnawijaya
yang mendapatkan pencerahan dari Dewa Utama, perjalanannya ke neraka, dan serta
uraian masalah-masalah filosofis yang dia dapatkan. Naskah ini mirip sekali
isinya dengan Darmajati, meski di beberapa bagian ada yang berbeda.
c.. Kawih Paningkes (Kropak 419),
Naskah Kawih
Paningkes dan Gambaran Kosmologi Sunda pada dasarnya berisi tentang segala
macam renungan mengenai masalah-masalah keagamaan. Gambaran Kosmologi Sunda
berisi dialog antara Pendeta Utama
Kawih
Paningkes, menurut Ayatrohaedi, dkk. (1987), berisi lembaran mengenai ajaran
agama yang bercampur antara kepercayaan Hindu dengan kepercayaan pribumi. Hal
tersebut terbukti dengan disebutkannya nama dewa dan dewi agama Hindu dengan
nama-nama pohaci dan apsari yang khas Pasundan.
d.. Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420),
Gambaran
Kosmologi Sunda pada dasarnya berisi tentang segala macam renungan mengenai
masalah-masalah keagamaan. Gambaran Kosmologi Sunda berisi dialog antara
Pendeta Utama dengan Pwah Batari Sri me-ngenai bagaimana semua mahluk
menjalankan tugasnya masing-masing sesuai bayu, sabda, dan hedap anugerah dari
Sang Pencipta. Selain itu, juga ada disebutkan me-ngenai tuntunan peribadatan
yang harus dilakukan.
e.. Darmajati (Kropak 423).
5.. Karya Penulis yang Bernama Buyut Ni Dawit
Salah seorang
penulis dalam peradaban Sunda Klasik. Buyut Ni Dawit merupakan seorang pertapa
perempuan, penulis Naskah Sewaka Darma. Berdasar
Naskah Sewaka Darma (Kropak 408), ia `berasal dari kuta Wawatan dan pernah
bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana.
Kuta Wawatan,
menurut para sejarawan terletak di Priangan sebelah timur, karena penulis
naskah Sewaka Darma menyebutkan nama Kendan, Medang, dan Menir yang
masing-masing merupakan tempat kediaman Resi Guru Manikmaya, Kandiawan, dan
Wretikandayun di daerah Priangan timur.
Pertapaan Ni
Teja Puru Bancana berada di Gunung Kumbang (1216 m dpl). Gunung ini
terletak di Kabupaten Brebes sekarang (jawa tengah) atau tepatnya mungkin di
suatu tempat yang dunamakan gunung Sagara (800 dpl). Yang letaknya di lereng selatan
Gunung Kumbang tempat dimana naskah naskah kuno di temukan.
Meskipun
penduduk kampungnya sekarang telah tiada setelah peristiwa pengambilan naskah
oleh bupat Brebes Rd. Aria Tjandranegara. Tempat tersebut sejak dulu hingga
sekarang dianggap mempunyai nilai spiritual tretentu bagi masyarakatmya.,
dimana penduduk sekitarnya hingga kini merupakaan masyarakat sunda, dan dalam
beberapa aspek kehidupanya masih cukup memegang teguh tradisi
leluhurnya. Tempat Gunung
Sagara sampai saat ini masih ada dan dikeramatkan.
Karya yang
ditulis oleh Buyut Ni Dawit sekaramg ini dkenal demgan nama Naskah Sewaka
Darma atau Kropak 408. Dan naskah aslinya masih tersimpan di Museum Nasional
Jakarta. Yang pertama mengumumkan naskah ini adalah Saleh Danasasmita dan kawan
kawan tahun 1987.
Naskah ini ditulis
pada daun lontar . Huruf dan bahasa yang
dipakai adalah Sunda Kuno. Bentuknya puisi. Naskah ini terdiri darin37 helai
daun rontal, 74 halaman, dan hanya 67 halaman yang terisi.
Tentang kapan
naskah ini ditulis, tetapi para ahli menilai naskah ini dibuat pada abad ke-15
M. Berdasarkan isinya, usia naskah jauh lebih tua dari tipe hurufnya yang
berasal dari abad ke-18 Masehi. Karena ajaran yang tersurat di dalamnya
mengenai kelepasan jiwa (moksa) dengan gaya penuh kesungguhan, sulitlah
diterima bila hal itu dikerjakan dalam suasana abad ke-18, bahkan abad ke-17
sekalipun. Pekerjaan itu hanya mungkin dilakukan pada saat agama Islam belum
merupakan anutan umum di tatar Sunda. Sehingga diduga naskah ini merupakan
salinan dari naskah yang lebih tua. Mungkin sekali naskah aslinya disusun
paling tidak dalam abad ke-15 Masehi ketika anasir Hindu dalam kehidupan religi
masyarakat Sunda belum merosot terlalu jauh
Isi naskah
Sewaka Darma secara umum berbicara mengenai ajaran yang menguraikan cara
persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib.
Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidanta yang menganggap semua dewa
sebagai penjelmaan Siwa dengan agama Buda Mahayana.
(.......... Lanjut)
6.. Karya Karya lainnya
BAB II TRADISI TULIS MENULIS DAN PERBUKUAN DI
KESULTANAN BANTEN, CIREBON, SUMEDANG LARANG DAN ERA KOLONIAL
Setelah
buraknya kerajaan Pajajaran, wilayah eks. Kerajaan Pajajaran menjadi 3 kerajaan
berbasis agama Islam, yaitu: Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten dan kerajaan
Sumedang Larang. Kesultanan Cirebon menguasai wilayah timur di eks kerajaan
Pajajaran, sedang Banten menguasai sebelah baratnya. Dan Sumedang Larang
menguasai wilayah tengah, mewarisi sisa kerajaan Pajajaran yang tidak dikuasai
cirebon dan Banten.
Dari
ketiga kerajaaan bekas kerajaan tersebut, kerajaan Cirebon relatif banyak
meninggalkan karya tulisan, meskipun sedikit. Tetapi dilihat dari kegairahan
terhadap ilmu, terutama sejarah relatif ada. Apalagi munculnya gagasan
gotrasawala yang digagas oleh Pangeran Wangsakerta di abad ke-17 menandakan,
bahwa gairah keilmuwan dan tulis menulis di istana Cirebon reltif berkembang.
Di
kerajaan Banten, jika ditinjau dari perkembanganya yang relatif lebih cepat,
tetapi hal ini tidak diimbangi oleh kegairahan intelektual terhadap tradisi
tulis menulis atau gairah terhadap perbukuan di lingkungan istananya. Sehingga
banyak momen momen yang mereka bisa catat dalam sejarah, tetapi justru luput.
Karena tidak ada atau jarangnya penulis di lingkungan istana. Sehingga momen
penaklukan ibukota kerajaan Pajajaran pun luput dari penulisan sejarah.
Banten
bagai sejarah yang terulang, kerajaan yang begitu dominan dan agresif, justru
tidak bersisa dalam peradabannya. Seperti Pakuan Pajajaran. Kerajan Bantenpun
hancur tidak berbekas, karena kalah bersaingnya dengan kolonial belanda di
Batavia. Kekuasaannya tergerus sedikit demi sedikit.
Sedang di
kerajaan Sumedang Larang, yang baru tahap embrio di era Prabu Geusan Ulun,
justru terjadi malapetaka di era anaknya, Rangga Gempol. Kekurang percayan diri
dan keterikatan darah yang masih sama dengan ibunya, bukannya membuat Sumedang
Larang menjadi harapan dari penerus Pakuan Pajajaran yang telah hilang, tetapi
justru hilang segalanya di era kekuasaan Rangga Gempol. Kehilangan kemandirian,
kehilangan harga diri, dan kehilangan jati diri. Hanya dengan ingin menyelamatkan
dari saudaranya seturunan (Cirebon) dan juga Banten, malah mengabdi dan minta
bantuan terhadap Mataram. Bukan kebanggaan yang didapat. Harusnya dengan
gagahnya menjadi suatu simbol kebesaran malah menjadi budak. Hal itu
menjerumuskan bangsanya ke era kolonial bangsa lain.
Hal ini
tidak hanya dirasakan rakyatnya, tetapi dia sendiri harus rela berbakti,
menjadi panglima dan juga membawa ratusn tentaranya dalam penaklukan Madura.
Upaya perlawanan oleh penggantinya Rangga gede, dan juga Dipati Ukur menandai,
bahwa ketika suatu bangsa sudah menjadi budak bangsa lain. Maka sangat sulit
untuk mengembalikannya. Dan ketika mulai ada gerakan untuk membangkitkannya,
maka lawan berikutnya adalah bangsanya sendiri yang menjadi kacung kacung
bangsa kolonial.
Jadi di
Sumedang Larang, tradisi intelektual belum berkembang di tahap embrio. Penerus
yang jadi harapan, malah hilang bersama dengan tiada keinginan untuk menjadikan
suatu bangsa yang dominan dan kuat, malah terjebak menjadi bangsa yang epes
meer. Meskipun tidak dominan seperti sebleumnya, Sumedang mulai bangkit lagi di
era Pangeran Kornel menjadi bupatainya, di era kolonial Belanda. Pada era sang
pangeran ini, pembukuan sejarah sunda mulai dibangkitkan lagi.
A.. TRADISI TULIS MENULIS DI ERA KERAJAAN CIREBON
Kelemahan
dari bangsa kita adalah kurangnya tradisi intelektual baik di lingkungan istana
dan rakyatnya. Bangsa kita adalah bangsa yang terlalu cepat puas terhadap
pencapaian pencapaian dirinya, meskpun tidak melakukan apa apa.
Cirebon
dapat dikatakan merupakan pusat islamisasi di tanah sunda. Meskipun dominasi pangeran
pangeran sunda begitu besar di kesultanan cirebon. Tetapi mereka juga mempunyai ketergantungan terhadap Demak,
yang waktu itu bagaikan kiblat dalam islamisasi di Jawa.
Sebagaimana
kerajaan kerajaan di tanah Jawa, cepat berkembang dan cepat pula hilangnya.
Bagai Majapahit, begitu melesat, tetapi begitu cepat padamnya (hilangnya) dalam
peradaban di tanah Jawa. Demak juga
mengalami hal yang sama dengan Majapahit. Cepat melesat dan cepat hancur. Demak
hanya mengalami 3 raja di era kejayaannya, dan setelah itu seolah hilang di
telan bumi.
Dengan
hilangnya Demak, menjadikan negeri Cirebon menjadi negeri yang indepeden,
meskipun keterikatan masih terjali erat dengan kerajaan penggantinya (Pajang). Karena
pengaruh Cirebon terhada kerajaan setelah Demak cukup berpengaruh.
1..
Tradisi Intelektual di era Cirebon Awal.
Sebagaimana
masyarakat kita secara keseluruhan. Meskipun tradisi tulis menulis telah
berkembang, ... (lanjut)
2..
Pangeran Wangsa Kerta
Pangeran Wangsakerta memenuhi permintaan
ayahnya, Panembahan Girilaya, dari kesultanan Cirebon, agar sang pangeran
menulis kisahkisah kerajaan Nusantara. Kemudian panitia dibentuk untuk
mengadakan suatu gotrasawala (symposium / seminar) diantara para ahli
sejarah di Nusantara, yang hasilnya kemudian ditulis menjadi
naskah-naskah yang sekarang dikenal dengan Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini
berlangsung tahun 1599 saka (atau 1677 M), dan penyusunan naskah ini
menghabiskan waktu 21 tahun (selesai pada 1620 saka / 1698 M).
Naskah Wangsakerta merupakan
hasil pertemuan para ahli sejarah dari hampir 90 daerah di Nusantara yang
berlangsung pada tahun 1677 sampai dengan 1698 M di keraton Kasepuhan Cirebon.
Naskah Wangsakerta adalah
suatu istilah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta secara pribadi atau oleh
timnya. Naskah ini ditemukan awal tahun 1970 M, selain menimbulkan kekaguman
karena kelengkapannya, juga menimbulkan kontroversi dan keraguan. Para ahli
sejarah banyak yang meragukan karena alasan: isinya terlalu histories (tidak
umum sebagaimana naskah-naskah sezamannya), dan isinya cocok dengan
naskah-naskah barat, dan mungkin tidak dibuat pada abad ke-17 M, disamping
keadaan fisik naskah (kertas, tinta dan bangun aksara / huruf) yang kasar,
tidak seperti naskah lama pada umumnya.
Hurup yang digunakan dalam naskah ini adalah hurup
kawi dengan bahasa yang disebut jawa tengahan, tetapi menurut wangsakereta
sendiri disebut Purwa Jawa (Jawa Kuno). Naskah Wangsakerta
kini tersimpan di Museum Sribaduga Maharaja, Bandung.
Di Perpustakaan kesultanan Cirebon mengoleksi 1703
judul naskah dan 1213 diantaranya berupa karya pangeran Wangsakerta dan timnya,
mengenai kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ada 47 jilid yang merupakan gabungan
dari sejarah berbagai daerah, yaitu:
a.. Pustaka Rajya Rajya I Bhumi
Nusantara
Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara ini terdiri dari 25 jilid (sarga) dan dibagi
dalam 5 parwa (bab) yang masing-masing mempunyai judul tersendiri:
.. Pustaka Kathosana Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
.. Pustaka Rajyawarnana Rajya Rajya I Bhumi Nusantar
.. Pustaka Kertajaya Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
.. Pustaka Rajakawasa Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
.. Pustaka Nanaprakara Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
b.. Pustaka Pararatwan, 10 jilid.
c.. Pustaka Nagara Kretabhumi, 12
jilid.
3. Setelah Era Pangeran Wangsakerta
Setelah pangeran Wangsakerta ada juga penulis di
lingkungan kerajaan Cirebon, yaitu Pangeran Arya dan lainnya. Pangeran Arya
pada tahun 1720-an menulis buku yang berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari.
B. ERA KESULTANAN BANTEN
C. ERA KERAJAAN SUMEDANG LARANG DAN WILAYAH LAINNYA
1.. Babad Pajajaran
Babad Pajajaran ditulis di Sumedang pada
tahun 1816 M, pada masa Pangeran Kornel.
2.. Carita Waruga Guru
Carita Waruga guru adalah
suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada tahun 1750-an.
3.. Kitab Waruga jagat
Suatu naskah yang berasal dari Sumedang
4.. Pancakaki Masalah
Karuhun Kabeh,
Berasal dari Ciamis yang
ditulis pada abad ke 18 M, dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon.
BAB III MASYARAKAT SUNDA KINI DAN PERBUKUAN
Meskipun
di era modern dan presentasi melek huruf telah meningkat, tetapi tradisi
tulis menulis dan perbukuan di tanah
sunda belum begitu berkembang. Meskipun secara pemikiran lebih rasional, seolah
masyarakat sunda masih terjbak pada upaya upaya untuk mepertahankan
tradisonalisme nya dalam hal tulis menulis. Trdisi ini hanya ada di lingkunan
akademik itupun masih sedikit. Sedang masyarakat luas belum begitu peduli pada
tradisi tulis menulis ini, meskipun termasuk kaum yang terdidik.
Suatu
masyarakat yang sedang berkembang biasanya adalah satu masyarakat yang energik
terhadap hal hal yang baru, dan keinginan terhadap daya seni dan imajinasinya
juga tinggi, sehingga ada kegairahan dalam mengembangkan ilmu dan juga diri.
Berbeda dengan masyarakat yang stagnan. Meskipun berada di lingkungan
masyarakat modern atau dunia yang modern, tetapi dia merasa puas dengan suatu
pencapaian dirinya dan ilmunya, sehingga keilmuan tidak berkembang dengan
signifikan dan intelktualitas hanya ada di lingkungan akademik saja. Itupun
hanya terbatas pada simbol simbol gelar kesarjanaan, bukan tradisi keilmuan.
Sehingga meskipunbanyak sarjana yang dihasilkan, tetapi tardisi pembukuan
seolah berjalan di tempat. Karena tidak ada take and gave antara penulis dan
pembaca. Pembacanya sedikit apalagi yang menjadi penuls, sehingga pembukuan
juga tidak bergairah. Dengan demikian meskipun hidup di era modern, tetapi
sebenarnya kebanyakan dari bangsa yang demikian adalah bangsa tradisional.
(.......... Lanjut)
By
Adeng Lukmantara
Sumber: Dari Berbagai Sumber di Internet
Sumber: Dari Berbagai Sumber di Internet