Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang
Dalam sejarah kita mengenal beberapa pengembara / petualang dunia yang informasinya sangat membantu dalam mengungkap keberadaan peradaban di daerah yang dikunjunginya dimasanya. Karyanya seolah abadi, dan sering dijadikan sumber sejarah yang akurat, dalam mengungkap peradaban suatu daerah / bangsa
Jika di Eropa
kita mengenal Marcopolo sang pengembara / penjelajah yang sangat terkenal
karena informasinya yang bermamfaat, Marcopolo lahir 15 September 1254 di Venesia,
Italia, dia merupakan seorang penjelajah dan pedagang berkebangsaan Eropa yang
memiliki kisah petualangan yang mengesankan. Kisah petualangan Marco Polo
begitu terkenal karena gambaran Marco Polo akan daerah / tempat yang ia
singgahi.
Marcopolo memulai perjalanannya ketika ia berusia 17
tahun dan merupakan orang barat pertama yang melakukan perjalanan ke Jalur
Sutera ke Cina dan mengunjungi Kublai Khan. Ia mencatat perjalanannya dalam
sebuah buku Il Milione. Buku ini
menceritaan perjalanan dari Venesia
ke Irak, Iran, Afghanistan, menyusuri Jalur Sutera ke China, dan kembali
ke Venesia melalui Indonesia, Sri Lanka, dan India. Semua tempat yang ia
kunjungi berikut masyarakat dan budayanya diabadikan oleh Marco Polo.
Dalam peradaban
Islam di Maghribi kita juga mengenal Ibnu Batutah, sang pengembara yang informasinya juga sangat bermamfaat
dalam mengungkap sejarah negeri-negeri yang dikunjunginya, termasuk negeri
negri di indonesia. Nama sebenarnya Abu
Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati dan kemudian lebih dikenal dengan nama Ibnu Battutah.
Ibn Batutah lahir
tahun 1304 M (723 H) di Tangier Maroko.
ia dikenal karena petualangannya mengelilingi dunia. Hampir 120.000
kilometer telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 M atau tiga kali
lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo. Karya
perjalananya kemudian diberi judul
"Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa-’Aja’ib al-Asfar" atau
lebih dikenal dengan "Rihla Ibnu Battuta". Kisah perjalanannya ini
juga menceritakan tentang kerajaan di Indonesia.
Di negeri Cina
juga kita mengenal Laksamana Cheng Ho dengan beberapa penulisnya seperti Ma
Huan, yang juga begitu banyak mengungkap sejarah negeri yang dikunjunginya,
termasuk indonesia, yang banyak mengambil mamfaat dari tulisan-tulisannya..
Cheng Ho atau Zheng He atau lebih terkenal lagi dengan nama Laksamana Cheng Ho
adalah petualang bahari (lautan) muslim yang berasal dari Cina pada masa
dinasti Ming. Ia telah melakukan petualangan antar benua selama 7 kali
berturut-turut dalam kurun 28 tahun (1405-1433 M). Tidak lebih dari 30 negara di
Asia, Timur Tengah dan Afrika yang pernah ia singgahi. Cheng Ho mendahului
petualang-petualang Eropa : Columbus (87 tahun kemudian), Vasco Da Gama (1497
M) dan Ferdinand Magellan (114 tahun kemudian).
Di Indonesia
meskipun dalam skala kecil, juga ada seorang pengembara asal tanah sunda yang
bernama bujangga Manik. Bujangga manik
adalah seorang Pangeran dari kerajaan Pajajaran, yang bernama Prabu Jaya
pakuan, yang mengambil jalan hidup sebagai pendeta. Ia melakukan perjalanan 2
kali ke wilayah timur (jawa dan bali). Ia menulis kisah perjalanannya yang
kemudian dinamai Naskah Bujangga Manik. Kisah perjalanannya dari tanah Sunda ke
Bali telah begitu banyak menceritakan nama tempat, nama sungai dan keadaan
masyarakat dizamannya. Meskipun tidak terlalu detail, tetapi kisah
perjalanannya ini banyak memberikan keterangan yang bermamfaat dalam
hubungannya dengan upaya mengungkap peradaban di indonesia di zamannya,
Naskah
bujangga Manik merupakan salah satu naskah primer peradaban Sunda yang ada hingga
kini. Naskah ini ditulis pada daun palma (lontar) dalam aksara dan bahasa Sunda
Kuno, dan dipekiraan ditulis pada abad ke-15 M. Manuskrip itu kini disimpan di
Perpustakaan Bodleian, Oxford, England.
Sejak tahun 1627, naskah tersebut menjadi koleksi Perpustakaan Bodlelan,
Oxford University. tersebut.
A. Keilmuan Sang
Bujangga
Bujangga Manik atau nama aslinya Prabu Jaya
Pakuan adalah seorang pangeran kerajaan
Sunda (bergelar Prabu karena masih kerabat raja) yang kemudian mengambil jalan
hidup sebagai pendeta. Dalam tulisannya ia mengambil nama Bujangga Manik. Dan
ia juga menamakan dirinya dengan nama "Ameng Layaran" (petualang yang
berlayar) setelah kisah perjalanan pertamanya.
Ia melakukan
pengembaraan dalam upaya untuk mempelajari
dan memperdalam agama yang diyakininya, sehingga ia hidup membujang
hingga akhir hayatnya.
Bujangga Manik
merupakan seorang intelektual mumpuni dizamannya, ia mengetahui isi kitab-kitab, mengenal susunan buku buku, mengetahuai hukum dan
nasehat-nasehat, dan mengenal sanghyang darma, serta menguasai bahasa jawa. Ia
juga dikenal sebagai pemahat patung dan ahli bangunan. Di beberapa tempat ia
memahat patung, dan merenovasi kembali kabuyutan / tempat suci yang sudah
terbengkalai, dan membangun beberapa bangunan baik untuk tempat tinggalnya
maupun tempat pertapaanya.
Ia juga terkenal
sebagai ahli geografi yang mumpuni di zamannya. Ia telah menyajikan catatan perjalanan yang mengandung
data topografis yang terperinci dan akurat. Dalam tulisannya, “Bujangga Manik’s
Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source
(Perjalanan Bujangga Manik menyusuri Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda
Kuna)” Noordyn, seorang peneliti asal Belanda menemukan sedikitnya 450 nama
tempat (termasuk nama gunung dan sungai) dalam naskah Bujangga Manik, yang
sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa.
Dalam sastra
tulisannya menunjukan bahwa dia merupakan seorang sastrawan yang hebat. Naskah
Bujangga Manik, berstruktur puisi dengan delapan suku kata, berbahasa Sunda
Kuna, dan panjangnya mencapai sekitar 1.758 baris. Bujangga Manik
mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa
puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis. Sebagaimana
yang diteliti oleh Teeuw, seorang penelitti asal belanda, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom,
metafora, dan pola persajakan yang menawan.
Tekadnya untuk mengembara begitu kuat,
disamping menolak terhadap pinangan putri raja, ia juga dengan tegas mengatakan
kepada ibunya diawal keinginan keberangkatannya:
“Bunda, tetaplah
terjaga ketika berada di belakang, walau Bunda menarikku sekuat buaya,
pertemuan ini akan menjadi saat terakhir kita bertatap muka, kau, Bunda, dan
diriku, masih ada satu hari lagi, hari ini. Aku akan pergi ke Timur.”
B. Ketampanan
Sang Bujangga
Disamping ilmunya
yang mumpuni. Bujangga manik terkenal karena ketampanannya, Tentang
ketampanannya, sangat mempesonakan pembantu putri raja, yang bernama Jompong
Larang. karena itu Jompong Larang kemudian berkeinginan untuk menjodohkan
Bujangga Manik dengan putri raja, yang bernama Putri Ajung Larang Sakean Kilat
Bancana” .
Jompong larang
berkata kepada putri raja sebagai
berikut:
“......nama
laki-laki itu Ameng Layaran,
seorang laki-laki
yang sangat tampan,
lebih tampan dari
Banyak Catra,
lebih tampan dari
Silih Wangi,
bahkan lebih
tampan dari keponakan Putri.
Ia tinggi dan
sangat diidam-idamkan,
laki-laki untuk
dipeluk dan dibelai di beranda,
untuk
ditimang-timang di ranjang,
ditimbang oleh
peraturan,
untuk dirangkul
di ruang tidur.
Selain itu ia
bisa bahasa Jawa,
mengetahui isi
dari kitab-kitab,
mengenal susunan
buku-buku,
mengetahui hukum
dan nasihat-nasihat,
mengenal
sanghyang darma........”
Dari ungkapan
tersebut diatas, bahwa Bujangga Manik
terkenal sangat tampan (ganteng). Sehingga Jompong Larang
membandingkannya dengan orang yang tampan ditanah sunda baik sebelum dan
sesudahnya. Jompong larang membandingkan dengan ketampanan Banyak Catra, dan
Siliwangi. Dan ia juga membandingkan ketampanan keponakan putri raja, yang juga
terkenal tampan.
Dari kisah ini
sangat jelas bahwa Siliwangi merupakan raja yang telah berkuasa sebelum
Bujangga Manik. Jadi jelas bahwa
Siliwangi merupakan raja, bukan gelar raja-raja pajajaran, tetapi gelar raja,
yang kemungkinan besar nama gelar bagi maharaja Angalarang (Wastukancana) anak
dari Prabu Wangi yang gugur di Bubat, tentang ketampanan “Banyak Catra”, belum
ada sejarah yang mengungkap siapa dia sebenarnya? Dan siapa juga keponakan sang
putri yang terkenal tampan juga?
C. Masa kekuasaan
Di Kerajaan Sunda
Dari tulisannya,
karya Bujangga Manik ini diyakini ditulis pada abad ke-15 Masehi., dan sebelum
Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M. Pada masanya
sudah dikenal Demak, kemungkinan baru berdiri, dan Majapahit masih tetap berdiri.. Cirebon tidak
diceritakan sama sekali, kemungkinan belum begitu dikenal waktu itul, dan
Sumedang Larang masih dikenal dengan
nama Medang Kahiyangan.
Tentang penguasa
atau raja sunda yang berkuasa dizamannya tidak diceritakan dalam tulisannya,
tetapi ia sezaman dengan putri raja yang bernama “ Putri Ajung Larang Sakean
Kilat Bancana”, yang akan dijodohkan dengannya, tetapi ia menolak karena mau
mengambil jalan hidup sebagai seorang pendeta.
Putri Ajung
Larang Sakean Kilat Bancana terkenal sangat cantik sekali seperti diungkapkan
oleh ibunya dalam membujuknya supaya Bujangga manik mau menikah dengan sang
putri:
"......Mungkin
kau tidak tahu,
Sang Putri
rupawan berkulit indah bercahaya,
tubuh molek dan
perilaku baik,
selain cantik
juga mempunyai keahlian,
terlindungi
dengan baik dan tak dapat dikalahkan,
rambut bewarna
hitam kebiru-biruan,
berilmu tanpa
diajarkan,
cantik dari sejak
lahir,
adil sejak
dikeluarkan dari kandungan,
dia tidak ada
tandingannya.”
Dan dalam
kritiknyaa terhadap jompong larang terhadap
kecerobohannya. Ia menulis juga tentang kecantikan sang putri.
“.......Pahanya
padat, pergelangan tangannya molek,
jari tangannya
runcing,
kukunya panjang,
alisnya
melengkung, pelipisnya menyatu,
susunan giginya
yang indah, ........”
Bujangga manik
hidup setelah era raja Siliwangi. karena dalam tulisanna menunjukan
perbandingan dengan Siliwangi, karena itu ia hidup bukan di era Raja Siliwangi.
Dan kemungkinan raja Siliwangi merupakan gelar dari Prabu Anggalarang (Prabu Wastukanana).
Karena ia merupakan pengganti (silih) prabu Wangi yang meninggal di medan
pertempuran Bubat.
Dari tulisannya
juga menandai bahwa Pajajaran waktu itu sangat tenang dan tentram, karena tidak
ada perselisihan, sehingga Bujangga Manik tidak pernah menulis tentang
ketidaknyamanan di pajajaran (kerajaan sunda).
D. Kisah
Perjalanannya
1. Perjalanan Pertama
Pangeran Jaya
Pakuan merencanakan akan pergi ke timur. Ia berangkat dari Pakancilan. ia berdiri dan berangkat, meregangkan kakinya
dan berjalan. Setelah ia meninggalkan pintu masuk aula, dan dari mimbar yang
paling ujung. Ia menapakkan kakinya di tanah, dan ia membuka pintu gerbang.
Setelah melewati Umbul. setelah pergi dari Pakancilan, ia kemudian sampai
di Windu Cinta, aku tiba di halaman
paling luar, melewati Pancawara, untuk terus pergi ke alun-alun besar, berjalan
dengan mengenakan sehelai pakaian sebagai hiasan kepala.
Pergi ke Pakeun
Caringin, aku melewatinya dengan segera. Aku pergi melewati Nangka Anak, dan
datang ke Tajur Mandiri. Setelah aku tiba di Suka Beureus (sekarang
Sukabirus),, aku pergi ke Tajur
Nyanghalang (sekarang Tajur), turun menuju Engkih, dan menyeberangi Sungai Cihaliwung (sekarang
Sungai Ciliwung). Setelah naik menuju ke Banggis,aku melewatinya, dan sampai di
Telaga Hening, aku meneruskan perjalanan ke Peusing.Berjalan lurus ke depan,
Aku menyeberangi Sungai Cilingga.
Setelah tiba di
Putih Birit, aku harus melakukan sebuah pendakian yang panjang, (yang aku
lakukan sedikit demi sedikit.) Setelah tiba di Puncak, aku duduk di atas sebuah
batu pipih, dan mengipasi diriku sendiri. Di sana ia melihat pegunungan:
Terdapat Bukit Ageung (sekarang Gunung
Gede) , tempat tertinggi dalam kekuasaan Pakuan.
Setelah pergi
dari sana, aku pergi ke daerah Eronan. Aku sampai di Cinangsi, menyeberangi
Sungai Citarum. Setelah berjalan melewati daerah ini, aku menyeberangi Sungai
Cipunagara, bagian dari daerah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tompo
Omas (sekarang nama Gunung Tampomas , menyeberangi Sungai Cimanuk, berjalan
melewati Pada Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk Manis, aku berjalan
melewati Conam, meninggalkan Gunung Ceremay. Setelah aku tiba di Luhur Agung
(sekarang Luragung di daerah Kabupaten Kuningan), , menyeberangi Sungai
Cisinggarung. (Cisanggarung)
Setelah mencapai
ujung dari Sunda, menyeberangi Sungai Cipamali, tibalah di daerah Jawa. Aku
berkelana melewati wilayah-wilayah berbeda di Majapahit, dan daerah dataran
Demak. Setiba di Jati Sari, aku datang ke Pamalang. Di sana aku tidak singgah
terlalu lama. Aku merindukan ibuku, yang telah ditinggalkan terlalu lama. Aku
harus segera pulang. Tak ingin melalui jalan yang telah kulewati.
Ada kapal dari
Malaka., ia kemdian pergi dari Pamalang
lalu menumpang berlayar. Tiba aku di muara, senapan ditembakkan tujuh kali,
gong ditabuh, simbal dibunyikan, genderang dan gendang dimainkan, suara yang
keras datang dari gubuk-gubuk, bernyanyi dengan teriakan keras.
Ia Berlayar
setengah bulan, kami berlabuh di Kalapa. Namaku Ameng Layaran. Aku meninggalkan
kapal. Sesampai di Pabeyan, (pelabuhan), aku berjalan melewatinya, berjalan
melalui Mandi Rancan, sampai di Ancol Tamiang, (sekarang Ancol), dan melewati
Samprok. (Semprug sekarang?), Setiba di hutan yang luas, aku menyeberangi
Sungai Cipanas, berjalan melewati Suka Kandang.Telah terlewati olehku Suka
Kandang, aku menyeberangi Sungai Cikencal.Sesampai di Luwuk, aku menyeberangi
Sungai Ciluwer. (Sungai Ciluar), Sesampai di Peteuy Kuru, aku berjalan lewat
Kandang Serang. Setelah mencapai Batur, yang telah kulewati, aku menyeberangi
Sungai Ciliwung. Sesampai di Pakuen Tubuy, aku melewati Pakuen Tayeum.) (Tayem
sekarang) Setelah sampai di Batur, setiba di Pakancilan, aku membuka pintu
gerbang, dan pergi menuju rumah tamu yang dihias dengan baik. Paviliun yang
dihiasi dengan indah.
1.a. Pelajaran Yang Didapat dari Kisah Perjalanan Pertama
Dalam kisah perjalanan pertama, dapat diketahui lokasi sekitar istanan dari kerajaan sunda ini.
1.a. Pelajaran Yang Didapat dari Kisah Perjalanan Pertama
Dalam kisah perjalanan pertama, dapat diketahui lokasi sekitar istanan dari kerajaan sunda ini.
2. Perjalanan
Kedua
Keinginan untuk
merantau lagi yang kedua kalinya begitu kuat pendiriannya, seperrti
ddiungkapkan dalam tulisannya;
“Bunda, tetaplah
terjaga saat ditinggal,
meski Bunda
menarikku sekuat buaya,
aku akan pergi ke
Balumbungan,
ke arah timur
Talaga Wurung,
di atas puncak
pulau ini,
pada puncak
paling timur,
mencari tanah
untuk makamku,
mencari lautan
untuk hanyut,
tempat matiku
kelak,
tempat
membaringkan tubuhku.”
Ia berdiri dan berangkat, meregangkan kakinya
dan pergi.Meninggalkan tempat di mana mereka duduk,turun dari ujung
mimbar,berjalan turun pelan-pelan. Setelah meninggalkan aula-masuk, dan
melewati alun-alun istana, membukakan pintu gerbang.
Sepeninggal
Pakancilan, dan Umbul Medang ada di belakang, pergi ke Gonggong, ke Umbul
Songgol. Setelah melewati Leuwi Nutug, dan pergi dari Mulah Malik, itulah jalan
ke Pasagi, jalan menuju Bala Indra, aku meninggalkan Paniis. Setelah melewati Tubuy, aku menyeberangi
Sungai Cihaliwung, naik menuju Sanghiang Darah, dan sampai di Caringin
Bentik. Setelah naik menuju Bala
Gajah,aku berjalan melewatinya, bergerak turun ke Kandang Serang, dalam perjalanan
menuju Ratu Jaya. Ketika aku berjalan melalui tempat itu, aku sampai di Kadu
Kanaka, menyeberangi Sungai Cileungsi, memutar ke arah selatan menuju Gunung
Gajah.
Setelah tiba di Bukit Caru, tanda peringatan
dari Raja Cupak, menuju arah timur ke Citeureup, aku sampai di Tandangan,
menyeberangi Sungai Cihoe, menyeberangi sungai Ciwinten, dan sampai di
Cigeuntis.
Setelah naik ke
Goha, setiba di Timbun, pergi menuju Bukit Timbun, aku tiba di Mandata,
menyeberangi Sungai Citarum, berjalan melewati Ramanea. Setiba di Gunung Sempil, berada di belakang
Gunung Bongkok, dan tiba di Gunung Cungcung, dalam wilayah Saung Agung.
Telah aku
lalui,lalu berbelok menuju timur,menyeberangi Sungai Cilamaya, menyeberangi
Sungai Cipunagara, dalam wilayah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung
Tompo Omas, menyeberangi Sungai Cimanuk, pergi melalui Pada Beunghar,
menyeberangi Sungai Cijeruk-Manis. Aku
berjalan melewati Conam, Gunung Ceremay telah kutinggalkan, Timbang dan Hujung
Barang, Kuningan Darma Pakuan, semua tempat itu telah kulalui.
Setelah tiba di Luhur Agung, aku menyeberangi
Sungai Cisinggarung. Setelah tiba di
ujung Sunda, sampailah di Arga Jati, dan tiba di Jalatunta, yang menyimpan
kenangan Silih Wangi.
Setelah pergi dari tempat itu,aku menyeberangi
Sungai Cipamali, menuju selatan Gunung Agung, ke bagian sebelah kiri wilayah
Brebes. Berjalan melewati Medang Agung,
menyeberangi Sungai Cibulangrang, berjalan melewati Gunung Larang, pedalaman di
wilayah Gebuhan, aku berjalan melewati Sangka, melewati Suci, ke Agi-Agi,
melewati Moga Dana Kreta. Setelah pergi dari tempat itu, aku menyeberangi
Sungai Cicomal, menyeberangi Sungai Cipakujati, berjalan melewati Sagara,
sampai di Balingbing, kekuasaan Arga Sela, dari Kupang dan Batang.
Ke arah kiri ke Pakalongan. Setelah tiba di
Gerus, di Tinep dan Tumerep, aku telah melaluinya, tiba di wilayah Tabuhan,
tiba di Darma Tumulus, berjalan melewati
Kali Gondang.
Setiba di Mano Hayu, berjalan melewati
Panjinaran, sampailah aku di Panjalin.
Setiba aku di Sembung, berjalan melewati Pakandangan. Sedatang aku ke
Padanara, menunjuk pegunungan di arah selatan: terdapat Gunung Rahung, dari
arah barat Gunung Dieng, ada Gunung Sundara, ada Gunung Kedu, di selatan ada
Gunung Damalung, tempat-tempat itu adalah wilayah Pantaran, itulah Gunung
Karungrungan, di mana terdapat peninggalan dewa-dewa, ketika merindukan
dewi-dewi.
Di arah timur terdapat Gunung Merapi, menjaga
peninggalan Darmadewa, yang merupakan wilayah Karangian. Aku meninggalkan
Danara, datang ke Pidada. Setelah aku tiba di Jemas, di sebelah kiriku adalah
wilayah Demak,ke arah timur Gunung Welahulu. Aku berjalan melalui Pulutan,
pergi ke Medang Kamulan.
Setelah tiba di
Rabut Jalu, aku berjalan melewati Larangan. Setelah tiba di Jempar, aku
menyeberangi Sungai Ciwuluyu, tiba di wilayah Gegelang,ke arah selatan Medang
Kamulan, lalu tiba di Bangbarung Gunung.
Setiba di Jero Alas, aku menyeberangi Sungai
Cangku, berjalan melewati Daha. Setelah
meninggalkan tempat itu, tibalah aku di Pujut, menyeberangi Sungai Cironabaya,
berjalan melewati Rambut Merem. setiba
di Wakul, sampai di Pacelengan, aku berjalan melewati Bubat, dan tiba di
Maguntur, alun-alun Majapahit, pergi melewati Darma Anyar, dan Karang
Kajramanaan, sebelah selatan Karang Jaka.
Setiba di Palintahan, setelah meninggalkan
Majapahit, aku mendaki Gunung Pawitra, gunung suci Gajah Mungkur. Ke arah timur
adalah wilayah Gresik, ke arah selatan Gunung Rajuna.
Telah kulalui,
aku berjalan melewati Patukangan, dan tiba di Rabut Wahangan, berjalan ke arah
timur. Lereng Gunung Mahameru, Aku
melewatinya di sisi sebelah utara. Sampai di Gunung Brahma, tibalah aku di
Kadiran, di Tandes, di Ranobawa.
Berjalan aku ke timur-laut. Tiba aku di Dingding, pusat kedudukan
dewaguru. Sepergi dari tempat itu,tibalah di Panca Nagara.
Setelah aku tiba
di Sampang, sesampai di Gending, aku menyeberangi Sungai Cirabut-Wahangan.
Setelah aku tiba di Lesan, yang
merupakan wilayah Panjarakan, kuberjalan ke arah tenggara, berjalan melewati
Kaman Kuning, melewati Gunung Hiang,yang aku lewati dari sisi utara.
Ketika aku tiba
di Gunung Arum, yang merupakan wilayah Talaga Wurung, ke arah utara adalah
Panarukan, ke arah kiri adalah Patukangan.
Sesampai di
Balangbungan, di sana aku bertapa, Sementara melepas lelah. Kemudian aku bercocok tanam, lalu mendirikan
lingga,menyembah ... memuja ...,berdoa untuk kekuatan diri. Di sana aku tidak
tinggal lama,Selama satu tahun lebih.
(lanjut)
E. Mengenal
Tempat Tempat Yang Pernah di Kunjungi oleh Bujangga Manik
1. Letak Ibukota
Pajajaran
Dari kisah
perjalanan Bujangga Manik yang paling berharga adalah kita bisa memperkirakan
dengan jelas dimana lokasi Ibukota Pajajaran itu berada, dan juga jalan-jalan
utama menuju ibukota, baik ke wilayah timur atau ke pelabuhan (pabeyan) kelapa
(jakarta sekarang).
Dalam perjalanan
pertama, setelah sang pangeran meninggalkan rumahnya di pakancilan, setelah
melewati Umbul, ia kemudian sampai
di Windu Cinta, aku tiba di halaman
paling luar, melewati Pancawara, untuk terus pergi ke alun-alun besar, pergi ke Pakeun Caringin, aku melewatinya
dengan segera. Aku pergi melewati Nangka Anak, dan datang ke Tajur Mandiri.
Setelah aku tiba di Suka Beureus (sekarang Sukabirus),, aku pergi ke Tajur Nyanghalang (sekarang Tajur), turun menuju Engkih, dan menyeberangi Sungai Cihaliwung (sekarang
Sungai Ciliwung).
Dan perjalanan
kembalinya yang pertama, setelah dari kalapa (jakarta sekarang), ia berjalan melalui Mandi Rancan, Ancol Tamiang, (sekarang Ancol), Samprok.
menyeberangi Sungai Cipanas, melewati Suka Kandang, menyeberangi Sungai
Cikencal, lewat Luwuk, menyeberangi
Sungai Ciluwer (Sungai Ciluar), sampai di Peteuy Kuru, berjalan lewat Kandang Serang., Batur, menyeberangi Sungai Ciliwung. Sesampai
di Pakuen Tubuy, melewati Pakuen Tayeum.) (Tayem sekarang) Setelah sampai di
Batur, setiba di Pakancilan,.
Pada perjalanan
kedua, Bujangga manik mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang pertama.
Dari Pakancilan, dan Umbul Medang, ia pergi ke Gonggong, ke Umbul Songgol.
Setelah melewati Leuwi Nutug, dan pergi dari Mulah Malik, itulah jalan ke
Pasagi, jalan menuju Bala Indra, aku meninggalkan Paniis. Setelah melewati Tubuy, aku menyeberangi
Sungai Cihaliwung, naik menuju Sanghiang Darah, dan sampai di Caringin
Bentik.
Pada perjalanan
kedua, ia tidak pulang ke rumahnya di Pakancilan, tetapi ia memilih menjadi
pertapa di tempat suci Karagcarencang
Hulu Sungai Cisokan Gunung Patuha.
Jadi jelaslah
kita bisa menentukan lokasi dimana ibukota pajajaran berada, yaitu sekitar
pakancilan, sebelah barat sungai Ciliwung, sebelah barat Nangka anak dan Tajur.
atau sebelah seatan Tayeum atau Batur.
2. Nama Nama
Negara Bagian / wilayah di Kerajaan Sunda
Dalam
kepulangannya ke tanah sunda, Bujangga Manik banyak membicarakan tempat, batas
batas wilayah suatu daeah dann nama kerajaan bawahan kerajaan sunda/ kerajaan
pajajaran diataranya:
a. Wilayah Ujung
Galuh
Sesampai di
Hujung Galuh
melewari Geger
Gadung
aku menyeberangi
Sungai Ciliwung
berjalan terus ke
utara
b. Wilayah Saung
Galah
Sesampai di Saung Galah
berangkatlah aku
dari sana
ditelusuri Saung
Galah
Gunung Galunggung
di belakang saya
melewati
Panggarangan
melalui Pada
Beunghar
Pamipiran ada di
belakangku.
c. Wilayah Mandala Dipuntang
Berjalan melewati
Timbang Jaya,
pergi ke Gunung
Cikuray,
seturunku dari
sana,
pergi ke Mandala
Puntang.
Dari Timbang
jaya, Bujangga Manik melewati Gunung CiKuray. Gunung Cikuray adalah sebuah
gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Gunung Cikurai mempunyai ketinggian
2.841 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi keempat di
Jawa Barat setelah Gunung Gede. Gunung ini berada di perbatasan kecamatan
Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggun.
Bujangga Manik
ketika trun dari gunung Cikuray, ia pergi ke Mandala Puntang, Kerajaan Mandala
puntang berada di Panembong Bayongbong Garut, dan nantinya menjadi cikal bakal
kerajaan Timbanganten. Raja terakhir
Kerajaan Mandala Dipuntang, Prabu Derma Kingkin memindahkan pusat kerajaan dari
Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong). Timbanganten
merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin mengganti nama
kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten.
Sunan Derma
Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama
Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem
Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem
Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten
nantinya termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah
Bandung, daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar. Kerajaan
itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Sejak pertengahan
Abad ke-15 M, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu
Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati
Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian
besar tatar sunda, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan
Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha
menyearkan Agama Islam, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan
Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan
d. Wilayah Danuh
Setelah menanjak
ke Gunung Papandayan,
yang juga
dipanggil Panenjoan,
aku melihat pegunungan
dari sana,
jajaran (?)
pemukiman di mana-mana,
semua desa, semua
pemukiman,
peninggalan Nusia
Larang yang mulia.
Aku melihat
mereka satu per satu.
Di arah selatan
adalah wilayah Danuh,
di timur Karang
Papak,
Setelah Bujangga
Manik naik ke Gunung Papandayan, yang ia sebut dengan Panenjoan (tempat
penglihatan). Ia melihat satu persatu wilayah kekuasaan Pajajaran, Ke aeah Selatan wilayah Danuh,di timur karang
papak, dan di barat balawong yang merupakan wilayah Pager Wesi.
.Gunung
Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut,, tepatnya
di Kecamatan Cisurupan. Gunung mempunyai
ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah
tenggara Kota Bandung.Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung
serta terdapat tebing yang terjal.
Di Gunung
Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas,
Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan
uap dari sisi dalamnya.
e. Wilayah Pager
Wesi
di barat tanah
Balawong,
merupakan Gunung
Agung,
pilarnya Pager
Wesi.
f. Majapura
Itu Gunung
Patuha,
penopang
Majapura.
Bujangga manik
mengungkapkan bahwa Gunung Patuha merupakan pilar/ perbatasan wilayah Majapura.
Gunung Patuha
merupakan sebuah gunung yang terdapat di sekitar Bandung Selatan. Tingginya 2.386 meter. Gunung patuha memiliki
kawah yang sangat eksotik, yaitu kawah putih. Kawah yang terbentuk dari letusan
gunung patuha itu memiliki dinding kawah dan air yang berwarna putih, .yang
sekarang dijadikan obyek wisata.
g. Pasir Batang
Itu Gunung
Pamrehan,
penopang Pasir
Batang.
h. Wilayah
Maruyung dan Wilayah Losari
Itu Gunung
Kumbang,
pilarnya
Maruyung,
ke arah utara
wilayah Losari.
Bujangga Manik
mengatakan bahwa Gunung Kumbang merupakan tapal batas Maruyung, ke arah
utaranya wilayah Losari.
i. Pada Beunghar,
Wilayah Kuningan, Wilayah Talaga
Itu Gunung
Ceremay,
pilarnya Pada
Beunghar,
di selatan
wilayah Kuningan,
ke baratnya
Walang Suji,
di situlah
wilayah Talaga.
Menurut Bujangga
manik, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya
merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah
Talaga.
Gunung
Ceremai adalah gunung berapi kerucut
yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni
Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini
merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan
ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah
ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius
600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas
titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Nama gunung ini berasal dari kata cereme
(Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam),
Jad menurut
Bujangga manik di sekitar Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar,
Kuningan dan Talaga. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang
mungkin waktu itu belum begitu dikenal.
i.i. Kerajaan
Pada beunghar
Belum ada yang
mencatat tentang sejarah Padabeunghar ini. Padahal Bujangga manik telah
mengatakan bahwa Gunung Ciremay merupakan pilar (tapal batas) Padabeunghar.
Kemungkinan Padabeunghar ini terletak di desa Padabeunghar yang merupakan nama
sebuah desa yang terletak di kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan. Nama
Padabeunghar ini juga sekarang dapat ditemui di suatu desa di Sukabumi, yaitu
desa Padabeunghar, sebuah desa yang terletak di kecamatan Jampang Tengah,
Kabupaten Sukabumi.
Para peneliti
masih kebingungan dengan Padabeunghar ini, apakah hanya merupakan ibukota atau
nama keerajaannya juga. Ada yang mengaitkan bahwa Padabeunghar di era Bujangga
Manik sama dengan Rajagaluh sekarang. Mengingat pada arti pada artinya kaki
gunung, dan beunghar artinya kaya atau sugih-mukti. hal itu mirip dengan loh jinawi (loh = tanah, jinawi =
subur-makmur). Dengan demikian Raja artinya yang menguasai, galuh artinya permata; rajagaluh sama artinya
dengan yang banyak mempunyai permata, alias kaya.
Seidaknya ada 2
kali Bujaangga Manik berbicara tentang Padabeunghar ini, sebelumnya ketika setelah dari Saunggalah perjalananya
ke barat ia melewati Padabeunghar.
Sesampai di Saung
Galah
berangkatlah aku
dari sana
ditelusuri Saung
Galah
Gunung Galunggung
di belakang saya
melewati
Panggarangan
melalui Pada
Beunghar
Pamipiran ada di
belakangku.
i.ii. Kerajaan
Kuningan
Kerajaan Kuningan
merupakan salah satu kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui kapan kerajaan ini didirikan, yang pasti
awalnya kerajaan ini merupakan bawahan
keresian Galunggung, Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai
putri yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari
Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari Galunggung, putra dari pendiri galuh,
Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang atas permntaan
Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke menantunya, Demunawan.
Masa
Demunawan (723 - 774)
Resi Demunawan
mendirikan ibukota baru Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile atau Saung Galah. Dengan demikian pada
periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung
Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian
selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten
Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung),
menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada
Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga
dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku /
Sang Kuku. Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang
luas dan dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi
Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah,
Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan
melakukan ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut
ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (ajaran Kitab
Suci), serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup).
Dibawah
pimpinannya masyarakat Kuningan merasa
hidup aman dan tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di
Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan
Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara
antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali pada tahun 739 M. Antara Sonjaya yang
membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara). Perang menelan banyak korban jiwa.. Dalam keadaan
demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan
wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan
berhasil menghentikan pertempuran dengan
jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh
pada tahun 739 M.
Resi Demunawan
pada tahun 774 M, Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun. Setelahnya seolah kerajaan Kuningan hilang
ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru
mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan ibukota pemerintahan
Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa
pada tahun 1019.
Mulai periode
tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat,
Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
Rakeyan
Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163
riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah.
Adalah Raja Sunda, Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja
sunda ke-24, Prabu Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya
itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang
lahir pada tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan
berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta
di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.
Prabu Ragasuci
(1175 –1297)
Prabu Ragasuci
merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya
menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di
Saung Galah sambil menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat
menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara
Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya
menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda.
Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan
wilayah ini secara otonom.
Ratu
Selawati (sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati
adalah cucu dari Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu
Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam.
Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain
itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok
pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin
pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah
menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari
Syekh Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan
mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota
Kuningan.
i.ii. Kerajaan
Talaga
Bujangga Manik
mengatakan Walangsuji merupakan wilayah Kerajaan Talaga. Walangsuji diyakini
merupakan ibukota dari kerajaan Talaga.
Kerajaan Talaga
didirikan oleh Prabu Talaga manggung. Setelahnya, anaknya yang menggantikannya,
yang bernama Ratu Simbarkancana, kemudian
Kerajaan Talaga dipegang oleh putera pertamanya yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M).
Setelah Sunan Parung meninggal, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya
puterinya yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari
mendapat julukan Ratu Parung.. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan
Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden
Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu
Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi
Sunyalarang inilah pusat kerajaan tidak lagi di walangsuji, tetapi dipindahkan ke Parung.
j. Medang
Kahiangan (Sumedang sekarang)
Itu Gunung Tampo
Omas,
di wilayah Medang
Kahiangan.
Setidaknya
Bujangga manik melewati Medang kahiyangan 3 kali dalam perjalananya ke wilayah
timur, yaitu pada keberangkatan perjalanan pertama, keberangkatan perjalanan
kedua dan sekmbali dari perlanan yang kedua, Medang Kahiangan adalah wilayah
sumedang sekarang ini, atau dikemudian hari terkenal dengan kerajaan Sumedang
Larang. yang mewarisi kekuasaan wilayah Pajajaran, ketika pajajjarann burak /
runtuh. Bujangga Manik belum menyebut nama Sumedang Larang tetapi masih nama
Medang Kahiyangan.
Satu-satunya
gunung besar yang ada di Medang kahiyangan adalah Gunung Tampomas (gunung Tompo
Emas) yang mempunyai ketinggian 1.684 diatas permukaan laut.
k. Wilayah Gunung
Wangi
Itu Gunung
Tangkuban Parahu,
pilarnya Gunung
Wangi.
Menurut Bujangga
Manik, Gunung Tangkuban Parahu merupakan pilar atau perbatasannya wilayah
Gunung Wangi.
Gunung Tangkuban
Perahu berada di kabupaten bandung dan juga Subang. Gunung Tangkuban Parahu
mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter dan termasuk gunung api aktif..
Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang
dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat
anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat
perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang
perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang
kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
l. Wilayah Sri Manggala
Itu Gunung
Marucung,
pilarnya Sri
Manggala.
m. Wilayah Saung
Agung
itu Gunung
Burangrang,
pilar dari Saung
Agung.
Gunung Burangrang
merupakan sebuah gunung api mati, ditataran Sunda yang mempunyai ketinggian setinggi 2.064 meter.
Gunung ini merupakan salah-satu sisa dari hasil letusan besar Gunung Sunda di
Zaman Prasejarah. Gunung Burangrang bersebelahan dengan Gunung Sunda.
Dikatakan oleh
Bujangga Manik bahwa Gunung Burangrang, merupakan pilar perbatasan/ tapal batas
wilayah Saung Agung. Di kaki Gunung
Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah
kerajaan yang dinamakan Saung Agung.
Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung
Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda. Ketika
Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan tanah yang subur di daerah
sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu juga, melahirkan cekungan-cekungan
dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian selatan Gunung Sunda dikenal
dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di bagian utara, diduga cekungan
tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama Situ Wanayasa
dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai pangparatan Situ
Wanayasa.
Wanayasa berasal
dari kata “wana” dan “yasa” yang berarti hutan yang sangat lebat. Pada zaman
Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain
Carita Parahiyangan di Wanayasa terdapat
sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang
Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan
Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu (perlu penyelidikan)
.
Kerajaan Saung
Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh
Kerajaan Cirebon .Pada tahun 1530, bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan
dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan
Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, kemudian
diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari
Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat
yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang
terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu).
Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas,
sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur,
Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon
(di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.
Di bidang
pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan
ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama
Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang
dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur
Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah
menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon
termasuk di dalamnya.
Wilayah Hujung
Barat
Itu Gunung Burung
Jawa,
pilarnya Hujung
Barat.
Wilayah Gunung
Anten
Itu Gunung
Bulistir,
pilarnya Gunung
Anten.
Wilayah Batu Hiang
Itu Gunung
Nagarati,
pilarnya Batu
Hiang.
Wilayah Kurung
Batu
Itu Gunung
Barang,
pilarnya wilayah
Kurung Batu.
Wilayah Sajra
Itu Gunung
Banasraya,
pilarnya wilayah
Sajra,
ke barat Gunung
Kosala
Itu Gunung Catih,
pilarnya Catih
Hiang.
Itu Gunung Hulu
Munding,
pilarnya
Demaraja,
ke barat Gunung
Parasi,
pilarnya Tegal
Lubu,
ke timurnya
Sedanura,
yang menghadap
wilayah Sinday.
Ini Gunung
Kembang,
tempat segala
macam pertapa,
ti kidulna alas Maja,
eta na alas
Rumbia.
(ke selatannya
wilayah Maja,
yang merupakan wilayah
Rumbia.
Ke baratnya batas
Mener,
pilarnya Bojong
Wangi.
Itu Gunung Hijur,
pilarnya Kujang
Jaya.
Itu Gunung Sunda,
pilarnya
Karangiang
Itu Gunung
Karang,
pilarnya wilayah
Karang.
Itu Gunung Cinta
Manik,
pilarnya wilayah
Rawa.
Itu Gunung
Kembang,
pilarnya Labuhan
Batu.
Ke arah utara
wilayah Panyawung,
pilar dari
wilayah Wanten.
3. Tempat
Suci yang pernah disinggahi
Dalam
perjalanannya ke tempat suci yang berada di tataran sunda, dan jawa serta Bali,
ia setidaknya telah singgah dibeberapa tempat penting untuk ziarah, yaitu:
a. Perjalanan
pulang di sekitar Gunung bromo dn gunung semeru
Setelah pergi
dari sana,
aku datang ke
Sarampon.
Setelah aku tiba di Cakru,
beranjak dari
tempat itu,
aku berjalan ke
baratdaya,
pergi ke wilayah
Kenep,
tiba di Lamajang
Kidul,
melewati Gunung
Hiang,
datang ke Padra.
Lereng Gunung
Mahameru,
aku lewati dari
sisi selatan.
Setelah datang ke Ranobawa,
berjalan melewati
Kayu Taji.
Setelah berangkat dari sana,
tibalah aku di
Kukub,
aku pergi ke
Kasturi,
tiba di Sagara
Dalem,
berjalan melalui
Kagenengan,
mendaki Gunung
Kawi,
yang kulewati
dari sisi selatan.
Setiba ke Pamijahan,
aku berjalan ke
arah barat,
melewati Gunung
Anyar,
tibalah aku di
Daliring.
Dalam perjalanan
pulang ke tanah sunda dar Bambangan, Bujangga Manik melewati banyak tempat di sekitar gunung Bromo dan Semeru. Beberapa nama tempat masih
dapat dikenali hingga sekarang seperti Kagenengan, Sagara Dalem, Gajah Mungkur,
Mahameru, Brahma. Dan beberapa nama tempat lainnya sudah tidak dikenali lagi
sekarang, seperti Kayu Taji, Kukub dan Kasturi. Beberapa nama tempat lainnya
dapat ditelusuri dengan membuat perbandingan dengan naskah-naskah lain seperti
Nagarakretagama, Tantu Panggelaran, Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Aji Saka,
dan lain-lainnya.
Sebelumnya juga
ia melewati Sarampon, Cakru,
wilayah Kenep, Lamajang Kidul, Gunung
Hiang, dan .Padra.Bujangga Manik menyebut nama Cakru. Sekarang daerah itu
menjadi nama des di kecamata Kencong kabupaten jember. Dan sekarang desa
tersebut sudah dimekarkan menjadi desa cakru dan desa Paseban. Bujangga Manik
sempat mampir didesa ini, yang letaknya sebelah selatan Lumajang. Selain desa
cakru, Bujangga manik juga menyebut nama Gunung Watangan dan melihat Nusabarong.
Nama Sagara Dalem
dalam uraian kisah perjalanan Bujangga Manik ini terletak di antara Gunung
mahameru (sekarang semeru) dan Kagenengan yang berada di sebelah barat Gunung
Semeru. nama Sagara Dalem mungkin sekarang nama sebuah kampung Segaran yang
terletak di Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Di kampung
ini pernah ditemukan benda arkeologi yang berupa batu bata kuno di Punden Mbah
Cengkaruk.
Setelah melewati
Sagara Dalem, Bujangga Manik melanjutkan perjalanan menuju Kagenengan. Nama
Kagenengan pada saat ini diduga merupakan nama Desa Genengan yang terletak di
sebelah barat Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. atau Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo,
Kecamatan Wagir. Kagenengan pada masa lampau merupakan tempat suatu kelompok
komunitas keagamaan. Dalam uraian Kitab Nagarakrtagama disebutkan bahwa
Kagenengan merupakan sebuah pendharmaan dari Raja Rajasa (Ken Angrok).
Pacira adalah
sebuah kategan (Tantu Panggelaran) atau katyagan (Nagarakertagama ), yang dalam
pandangan Bujangga Manik rute itu mungkin terletak di sebelah timur Gunung
Mahameru, mungkin sekarang tidak jauh dari Candipura dekat Pasirian.
Kayu Taji adalah
sebuah patapan (TP) dan Kukub adalah sebuah mandala (TP,. Nag). Keduanya
terletak di dekat Gunung Mahameru. Jika merunut rute yang dilalui Bujangga
Manik mungkin di sisi selatan atau barat dari Gunung Semeru. Hal itu berarti
bahwa pusat keagamaan Kukub yang memainkan peran dalam Kidung Panji Margasmara
terletak di selatan agak timur dari Singosari dan tidak di wilayah Gunung
Hyang.
Kasturi terdaftar
sebagai sebuah mandala di Nagarakertagama, dan di bagian lain disebutkan
bersama-sama dengan Kukub dan Sagara sebagai kelompok tiga mandala dekat Gunung
Mahameru. Sagara dalam Nagarakertagama mungkin dapat disamakan dengan Sagara
Dalem menurut Bujangga Manik, yang harus ditempatkan di antara Gunung Mahameru
dan Kagƫnƫngan. Sagara adalah sebuah dharma (Nag) yang letaknya tidak jauh di
selatan Kota Malang. Sagara Dalem ini berbeda dengan mandala terkenal Sagara di
Gunung Hyang, yang pernah dikunjungi oleh Hayam Wuruk (Nag) dan disebutkan juga
di Prasasti Batur dan Tantu Panggelaran (TP).
Di antara Gunung
Kawi dan Gunung Kampud (sekarang: Kelud) Bujangga Manik melewati Gunung Anar,
yang mengingatkan kita pada catatan Pararaton bahwa pada tahun 1376 “hana
gunung Anar“, ada (munculnya) sebuah gunung baru (Par). Gunung Kelud merupakan
vulkanik, sangat mungkin bahwa bukit baru yang telah terwujud itu adalah Gunung
Anar yang dimaksud dalam catatan Pararaton.
b. Singgah dan
Tinggal di Tempat Suci Rabut Palah di Gunung Kelud
Sesampai di
Gunung Kampud,
aku datang ke
Rabut Pasajen.
Tempat ini
dataran tinggi Rabut Palah,
tempat suci
Majapahit,
yang dimuliakan
oleh orang Jawa.
Aku membaca Darmaweya,
juga Pandawa
Jaya.
Setelah itu
keingintahuanku terpuaskan,
aku dapat bicara
bahasa Jawa,
juga mampu
menerjemahkannya.
Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
selama satu tahun
lebih.
Aku tidak tahan
suara yang terus bunyi,
yang datang untuk
beribadah dan mempersembahkan emas,
yang beribadah
tanpa henti,
berkelana di
sekitar ibukota
Dalam upayanya
mengunjungi beberapa tempat suci Hindu-Buddha baik di wilayah Jawa bagian
tengah ataupun Jawa bagian timur,
Bujangga Manik menceritakan bahwa
ia sempat singgal di Rabut Palah di gunung kampud (sekarang gunung kelud), dan tinggal di kompleks bangunan suci itu
sekitar satu tahun. Disana ia tidak hanya melakukan pemujaan, tetapi juga
meningkatkan pengetahuannya dalam bidang kesusastraan dan memperdalam bahasa Jawa.
Nama Palah
merupakan nama sebuah tempat suci yang termuat dalam prasasti di Komplek Candi
Penataran. Dalam prasasti yang berangka tahun 1119 Saka atau 1197 Masehi yang
dikeluarkan oleh Raja Crengga dari kerajaan Kadiri, menyebutkan tentang
peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah. Menurut
para sarjana yang dimaksud Palah adalah Panataran. Candi Panataran ditemukan
pada tahun 1815, oeh gubernur jendral inggris di indonesia Sir Thomas Stamford
Raffles (1781-1826)
Rabut Palah bukan
merupakan candi pendharmaan, karena merupakan kompleks yang relatif luas. Rabut
Palah adalah candi kerajaan yang telah disucikan sejak zaman Kadiri hingga
periode akhir Majapahit, jadi masa berfungsinya percandian itu membentang sejak
temuan prasasti tahun 1197 Masehi (jaman Kadiri) hingga tahun 1454 Masehi dari
zaman kemunduran Majapahit.
Sebelum
mengunjungi Rabut Palah Bujangga Manik terlebih dahulu mendatangi Rabut Pasajen
yang merupakan bangunan suci yang juga disakralkan oleh orang Jawa. Lokasi bangunan
Rabut Pasajen itu letaknya di lereng yang lebih tinggi dari lokasi Rabut Palah
pada lereng Gunung Kelud yang sekarang menjadi Candi Gambarwetan.
Ia kemudian
meninggalkan tempat itu karena tidak tahan terhadap kegaduhan pendatang yang
melakukan ritual keagamaan dan persembahan.
c. Tinggal Di
kabuyutan (tempat Suci) Gunung Sembung, di Hulu Sungai Citarum
Setelah mengagumi
semua hal itu,
setelah melihat
pegunungan,
setelah
meninggalkan Panenjoan,
setiba di Gunung
Sembung,
yang merupakan
hulu Sungai Citarum,
di sana aku
singgah bertapa,
sambil melepas
lelah.
Setelah mengagumi
semua hal dari perjalanannya, ia kemudian pergi untuk bertapa di Gunung
sembung, d hulu sungai citarum, selama 1 tahun.
Disana ia beribadah dan mendirikan
Lingga dan memahat patung serta membuat tugu, yang ia katakan akan menjadi
bukti bagi generasi mendatang, bahwa ia pernah pergi ke sana, seperti yang ia
ungkapkan:
Beribadahlah aku
melakukan persembahan,
memuja dengan
penuh keyakinan.
Kemudian aku
mendirikan lingga,
lalu memahat
patung,
selanjutnya
membuat tugu.
Benda-benda ini
menunjukkan pada semua orang,
bukti untuk
orang-orang mendatang,
bahwa aku sudah
menyelesaikan tugasku.
Setelah aku
beribadah dengan menyapu,
menyapu sampai
bersih (?),
pekarangan di
sekitar,
aku mendatangi
bangunan-bangunan dan memasukinya,
duduk dalam
kesunyian,
memberika
penghormatan (?) dan bermeditasi.
Olehku diresapi,
olehku
dinanti-nanti,
apa hasil dari
tujuanku,
apa yang
menyebabkan penantianku.
Aku menyebutnya
keabadian, kekal
bersama zat teragung,
yang memenuhi
maksud penantianku.
Karena sebelum
adanya diriku,
kebaikan dari
orang bijak,
yang mampu
menyadari pertapaan tertinggi,
memilih
berkonsentrasi pada diri sendiri,
untuk memahami
pengindraan tertinggi,
dengan mengikuti
penciptaan diri yang sesungguhnya,
tidak dapat
terbawa oleh warna [penampilan fisik],
penuh dengan
keberanian, hati yang kuat,
seperti manusia
suci yang agung,
yang menunjukkan
bukti jelas dari itu.
Setelah exerting
dirinya sendiri,
Bujangga Manik
yang terhormat
menuju utara,
selatan, barat, dan timur,
di pusat dari
titik puncak,
mencari tempat
untuk tinggal,
mencari tempat
untuk bertapa,
mencari air untuk
tenggelam,
tempat untuk mati
bagiku kelak,
tempat
membaringkan tubuh.
Di sana aku tidak
tinggal terlalu lama,
selama setahun
lebih.
Terlalu sering
aku dikunjungi orang asing,
oleh orang-orang
yang datang dari bawah,
terlalu banyak
godaan.
d. Tempat Suci
(kabuyutan) Paling Disucikan Orang Pakuan
Sepergiku dari
sana,
berjalanlah aku
ke utara-barat,
melihat
pegunungan:
itulah Gunung
Karesi,
itulah Gunung
Langlayang,
di baratnya
Gunung Palasari.
Berjalan melewati
Gunung Pala.
Setiba ke tempat
suci,
menyeberangi
Sungai Cisaunggalah,
aku berjalan ke
barat,
tiba di Gunung Pategeng,
peninggalan Sang
Kuriang,
ketika akan
membendung Citarum,
tetapi gagal
karena matahari keburu terbit.
Telah kulalui
daerah itu,
aku menyeberangi
Sungai Cihea,
aku menyeberangi
Sungai Cisokan,
pergi ke daerah
Pamengker.
Tibalah aku di
Mananggul,
berjalan melewati
Lingga Lemah.
lalu aku pergi ke
daerah Eronan,
mendaki [Gunung]
Lembu Hambalang.
Setiba di Gunung
Ageung,
itu hulu Sungai
Cihaliwung,
tempat suci dari
Pakuan,
danau suci
Sanghiang Talaga Warna:
“Oh, bagaimana nasibku!
Aku tidak akan
dapat melanjutkan perjalanan,
mengunjungi ibu
dan ayahku,
mengunjungi
tempat guruku!”
Setelah tinggal
di Hulu sungai citarum di gunung sembung setahun. Bujangga Manik kemudian
merencanakan ke tempat suci yang paling disucikan oleh orang di Pakuan, dan
danau suci Sanghiyang Talaga Warna, di gunung gede (dulu gunung ageung). Untuk
itu ia kemudian berjalan ke arah utara
barat, berjalan melewati gunung Pala, dengan menyebrangi sungai Cisaunggalah,
dan berjalaan ke arah barat hingga tiba di kabuyutan di gunung Pategeng, yang
oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang, ketika akan
membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit. Kemudian ia
menyebrang sungai Cihea, sungai Cisokan, daeah pamengker. Manunggal, berjalan
melewati Lingga Lemah. Lalu pergi ke Eronan, mendaki gunung Lembu Hambalang.
Setiba di gunung Ageung, hulu sungai ciliwung,
Dalam
perjalanannya menuju kabuyutan di hul sngai ciliwung, yang disucikan oleh orang
pakuan. Ia melewati kabuyutan di gunung
Pategeng, yang oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang,
ketika akan membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit.
(tentang hal ini masih dalam pencarian).
Disni diceritakan
tentang tempat suci Pakuan, di Hulu Sungai Ciliwung di Gunung Gede (Gunung
Ageung).. Ada yang menganggap tempat suci orang pakuan ini adalah situs gunung
Padang di cianjur. Dan ada yang menganggap bahwa Situs gunung padang adalah
tempat pertapaan Bujangga Manik, di huu sungai cisokan.
Gbr. Situs Gunung
Padang (kanan diperkirakan seperti ini, jika sudah digali)
e. Kabuyutan
(tempat suci)di hulu sungai Cimarinjung Gunung Bulistir Ujung Kulon
Aku pergi ke
Hujung Kulan,
karena di sana
banyak hal yang menunggu.
Aku berjalan
menyelatan,
melanjutkan
perjalananku ke Gunung Bulistir.
Itu hulu Sungai
Cimarinjung,
peninggalan
Patanjala,
ketika ia gagal
menjadi raja.
Di sana aku tidak
tinggal lama,
selama satu tahun
lebih.
Terlalu sering
aku didatangi orang asing,
oleh orang-orang
yang datang dari bawah,
terlalu banyak
godaan datang.
Bujangga Manik
pernah tinggal di kabuyutan yang ada di
Ujung Kulon, di Gunung Bulistir, di hulu sungai Cimarinjung. Kabuyutan ini dikatakannya sebagai peninggalan Pantajala, seorang
pangeran yang gagal menjadi raja. Ia tinggal disana selama 1 tahun lebih,
dikarenakan terlalu banyak orang asing yang mendatanginya, yang dianggapnyaa
terlalu banyak godaan. (Tentang siapa Pantajala, masih dalam pencarian
sumbernya)
f. Kabuyutan
Ranca Goda di Gunung Patuha (Daerah Ciwidey sekarang)
Setiba di Mulah
Mada,
melewati Tapak
Ratu,
pergi ke Gunung
Patuha,
ke tempat suci
Ranca Goda.
Aku membangunnya
kembali
dan menjadikannya
tempat pertapaan,
yang disari oleh
mandala
Di sana aku tidak
tinggal terlalu lama,
hanya setahun
lebih.
Bujangga Manik pernah tinggal di kabuyutan
(tempat suci) Randa Goda di Gunung Patuha (gunung Patuha Ciwidey Bandung
selatan, Ia bahkan membangunnya kembali
sebagai tempat pertapaan. Kemungkinan sebelum kedatangan Bujangga Manik kabuyutan
ini terbengkalai, karena itu ia membangun kembali situs ini sebagai tempat
pertapaan). Bujangga Manik bertapa dan melakukan ibadah disini setahun lebih.
Gunung Patuha
merupakan sebuah gunung yang terdapatdi wilayah Bandung Selatan, Tingginya
2.386 meter diatas permukaan laut. Gunung patuha memiliki kawah yang sangat
eksotik, yaitu kawah putih
Sebelumnya ia
bertapa di Ujung Kulon, di kabuyutan yang ada di Ujung Kulon, di Gunung
Bulistir, di hulu sungai Cimarinjung. Perjalanannya dari Ujung Kulon, menuju
kabuyutan di Randa goda (daerah ciwidey sekarang), ia telah melewati beberapa
sungai, gunung dan kampung, seperti yang diungkapkan olehnya;
Sepergi aku dari
sana,
aku pergi ke
baratdaya,
menyeberangi
Sungai Cimarinjung,
menyeberangi
Sungai Cihadea,
menyeberangi
Sungai Carengcang,
menyeberangi
Sungai Cisanti.
Seturun dari
Gunung Wayang,
dan pergi dari
sana,
aku sampai di
Mandala Beutung,
berjalan melewati
Mulah Beunghar,
turun ke Tigal
Luar,
dibelakang Gunung
Malabar,
yang diapit oleh
Gunung Bojage.
Sesampai di
Gunung Guntur,
di timur Mandala
Wangi,
yang menghadap
Gunung Kendan,
aku pergi
melewati Jampang Manggung.
Dalam
perjalanannya, ia telah menyebrangi sungai menyeberangi Sungai
Cimarinjung, Sungai Cihadea,, Sungai
Carengcang. Sungai Cisanti, dan ada beberapa gunung yang disebut olehnya,
yaitu: Gunung Wayang,, Gunung Malabar, Gunung Bojage.Gunung Guntur, dan Gunung Kendan.
Sungai Cisanti
merupakan hulu sungai citarum, yang mengalir dari selatan Bandung. Di hulu
sungai Cisanti ada danau Cisanti. Dan danau ini terletak di kaki gunung
Wayang. Danau ini terletak di Desa
Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Letaknya yang tersembunyi
di pegunungan, serta keindahan alam yang masih asri menjadi alternatif wisata
bagi beberapa orang. Selain itu, danau ini juga menyimpan peninggalan sejarah
berupa petilasan Adipati Ukur, ksatria Sunda yang memimpin pemberontakan
melawan Mataram.
Hulu sungai
cisanti ini berada di gunung Wayang, yang berada di selatan bandung. Kata wayang dalam Gunung Wayang bukan berasal dari kata wayang (golek)
seperti yang kita kenal saat ini. Wayang di sini berasal dari kata wa, yang berarti
angin atau berangin lembut, dan yang atau hyang artinya dewata. Jadi, kata
wayang yang menjadi nama gunung ini berarti angin yang berembus dari Dewata,
atau angin surgawi atau angin dewata yang lembut, yang mencirikan gambaran
keindah-permaian alam yang abadi.
Berdasar sejarah
sasakala Gunung Wayang, puncak gunung tersebut menjadi tempat bersemedi
Pangeran Jaga Lawang. Gunung Wayang
mempunyai ketinggian 2.181 meter diatas
permukaan laut.
Gunung
Malabar terletak di bagian selatan
Kabupaten Bandung dengan titik tertinggi 2.343 meter di atas permukaan laut.
Malabar merupakan salah satu puncak yang dimiliki Pegunungan Malabar. Beberapa
puncak yang lain adalah Puncak Mega, Puncak Puntang, dan Puncak Haruman.
Kawasan Gunung
Wayang Windu-Gunung Malabar-Gunung Patuha, kini terbentang hamparan perkebunan
teh yang telah dibangun sejak zaman Belanda atas jasa Karel Albert Rudolf
Boscha, astronom Belanda yang mendirikan perkebunan Teh Malabar, sekitar 300
tahun lebih setelah kunjungan Bujangga Manik.
Bujangga Manik
juga menyebut Gunung Guntur, gunung ini terdapat di wilayah barat Garut, Jawa
Barat, yang mempunyai ketinggian 2.249 meter. Gunung Guntur merupakan salah
satu gunung berapi paling aktif pada dekade 1800-an. Tapi sejak itu
aktivitasnya kembali menurun.
. Pertapaan
Terakhir Di Hulu Sungai Cisokan, di gunung Patuha
Setelah
kuberangkat dari sana,
sesampai di
Gunung Ratu,
di Karang
Carengcang yang suci.
yang merupakan
hulu sungai Cisokan,
berjalan menuruni
Gunung Patuha,
setengah jalan
menuju Lingga Payung,
yang menghadap ke
Kreti Haji.
Diakhir
perjalanannya akhirnya Bujangga manik menemukan tempat bertapanya yang ideal,
di kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda)Karang Carencang
yang suci, di hulu Sungai Cisokan di
Gunung Patuha. Di kabuyutan ini sudah
ada Lingga Payung yang menghadap ke Kreti haji. Dikatakannya Lingga itu
bertahta intan permata, yang kilapnya menutupi lingga tersebut, yang menjadi
lingga payung yang menghadap ke Bahu Mitra. Kabuyutan ini diyakini sebagai situs
gunung padang, yang ditemukan sekarang, karena berhulu pada sungai Cisokan.
Menurut legenda, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala
(kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna.
Disana Ia tinggal
selama 10 tahun, yang ia katakan 9 tahun untuk pertapaan, sedang di tahun ke-10
nya, ia melakukan tugas-tugasnya. Tubuhnya dikatakan mulai berat. Dan di hari
itulah ia menggubah puisi /prosanya yang sangat menarik.
Sungguh di sana:
aku menemukan
tempat suci,
tempat dengan
lingga bertakhta intan permata,
kilapnya menutupi
lingga itu (?),
rising upwards,
menjadi lingga payung,
menghadap Bahu
Mitra.
Olehku telah
dibangun tempat tinggal baru,
direkatkan dalam
beberapa tingkat,
disambung
sekelilingnya,
bagian bawah
beralaskan batu pipih,
menghadap ke atas
dari arah batu yang berdiri ,
bagian teratas
oleh marmer,
bertaburkan intan
permata.
berkilauan di
antara mereka,
tujuh bangunan
untuk keperluanku,
sebuah dapur dan
tempat kayu bakar,
dan juga tempat
untuk menebah,
dua bangunan
berdiri di jalan
Lumbung dua
berjajar
taman di
kiri-kanan gerbang,
dengan tanaman
yang melambai,
yang akan segera
berbuah,
bunga-bunga
sedang mekar penuh.
bangunan-bangunan
tersebut masih utuh
paviliun tersebut
masih bagus.
Ketika waktunya
tiba,
telah sampai pada
waktu yang tepat
setelah sembilan
tahun melaksanakan pertapaan,
pada tahun
kesepuluh tugas-tugas telah terpenuhi,
tubuh ini berat,
dalam bentuk yang
sempurna.
Ketika bulan segera terbenam,
matahari muncul
pada waktunya,
siang digantikan
malam,
tahun berakhir,
tugas terpenuhi,
yang sudah mati
di-walang suji,
yang membusuk
di-walang sanga,
tubuh
beristirahat kembali di atas dipan,
dengan gegendis
sebagai bantal,
meninggal,
menghadap kepada hal yang sebaliknya.
Aku mati tanpa
penyakit,
meninggal bukan
karena penderitaan,
aku telah
dilepaskan melalui pembebasan terakhir.
Roh pergi,
kepribadian
pergi,
apa yang bebas
dilepaskan.
Jiwa dilepaskan
dari ikatannya,
sari pati
kehidupan dilepaskan dari jiwa,
sama-sama
terpisahkan dan hilang.
Tubuhku memasuki
dunia yang mati,
berharap (?)
menjadi dewa,
ikatan penghubung
memasuki kehampaan.
Jiwaku buyar
menjadi tak terlihat,
sama dengan
dewata.
Kemudian aku
berjalan di atas jalan luas,
menemukan jalan
yang terbuka luas.
Setiap
persimpangan dilengkapi dengan bangunan,
semua jurang
memiliki jembatan,
lereng dengan
anak tangga,
turunan dengan
pijakan tersusun.
Jejak-jejak dari
sapu masih bisa terlihat,
melengkung ke
arah timur dan barat.
paviliun,
bendungan dan bebatuan,
terhubung dalam
deretan yang panjang.
Bunga patah
tumbuh berdekatan,
bersinar (?)
seperti kembang api.
Pohon pinang
tumbuh seperti paras,
pinang tiwi dan
pinang gading,
pinang tiwi yang
sedang mekar penuh,
pinang gading bersinar
kekuning-kuningan.
Di tengah-tengah
pinggiran sungai terulur,
hanjuang tumbuh
sampai mata manusia,
handeuleum tumbuh
setinggi manusia,
handong merah dan
handong,
“...apakah kau mencintai semua manusia di
dunia,
ketika kau masih
hidup,
saat ada di
dunia?”
Bujangga Manik
yang terhormat
merasa seperti
sedang ditanyai.
Dengan penuh
hormat ia berbicara,
menjawab dengan
sopan,
berbicara menurut
kata hatinya,
menjawab
Dorakala:
“Aku tidak ingin membicarakannya,
agar yang benar
tidak menjadi salah,
agar yang baik
tidak menjadi buruk,
agar surga tidak
menjadi neraka.
Agar kesimpulan
mudah dipahami,
Agar kesimpulan
tidak datang dari awal.
Aku menolak untuk
memanggil saksi dari manusia,
penghuni dunia
ini,
semua orang di
tengah-tengah dunia.
Di antara seribu
seratus satu,
bahkan tidak ada
satu pun,
manusia yang
perkataannya dapat dipercaya.
Terdapat banyak
penjahat,
bahkan dewa
diperangi (oleh mereka),
aku menganggap
mereka tidak dapat diandalkan,
karena ingin ikut
dalam api yang membakar,
karena mereka
akan tersesatkan,
oleh mereka yang
jahat.
Hanya ada satu
pengecualian:
siang hari yang
suci adalah saksiku,
malam yang suci
adalah saksiku,
bulan dan
bintang,
dan bumi pertiwi
yang suci.
Mereka yang
memelihara dan melihat:
bumilah yang lebih
mengamati,
langitlah yang
lebih memerhatikan,
kamulah yang tahu
mana yang benar.
Mereka yang
mengingat rasa,
mereka yang
menjaga kekuatan utama,
mereka yang
memerhatikan kata-kata,
mereka yang
mengamati pikiran,
menjaga sifat
asli manusia,
mengerti salah
dan benar,
mengetahui buruk
dan baik
mereka itulah
saksiku.”
Dorokala yang
mulia berkata:
“Dengan segala
hormat, jiwa yang suci.
Aku tidak akan
mendebat,
karena wujudmu
tidaklah kabur.
Tubuhmu bersih
dan bercahaya,
terlihat seperti
dewa,
seperti intan,
seperti permata.
Tubuhmu lebih wangi dari opium,
lebih berarti
dari kayu cendana,
lebih manis dari
kulit kayu masui.
Benar-benar wujud seorang yang benar,
yang menunjukkan
makhluk surga.
Dengan segala
hormat, jiwa yang suci,
yang terhormat
Bujangga Manik,
pergilah seperti
yang kau mau,
kamu boleh pergi
ke surga.
Setelah meninggalkan tempat itu,
pergilah mendaki,
menanjak,
menuju taman yang
bening,
beralaskan
permata.
Pancuran dari
perunggu bercahaya,
dengan kolam dari
perak,
berakhir pada
sebuah cerat,
tempat cuci
dilapisi emas,
dengan gayung
dari bejana perak.
Mandi dan
membersihkan diri,
yang mandi
membersihkan keringat.
Setelah kau selesai mandi,
jangan berkelana
terlalu jauh,
kau di dalam
taman bercahaya itu.
Ada sebuah tempat indah yang dituju:
pergilah menuju
bangunan yang dekat dengan jalan,
terbuat dari besi
hitam,
dipadukan dengan
besi magnet,
dipasak besi yang
tahan lama,
tiang gading
ukiran,
disangga oleh
gong jawa,
bertatahkan kaca
cina,
dipadu dengan batu
kresna,
....dipadukan
dengan permata,
dengan bendul
perak seperti batu kapur,
dengan kasok
terbuat dari .....
beratapkan
ubin-ubin perunggu,
yang berpasak
emas,
dengan lantai
yang dilapisi
dengan rumbai
emas hitam,
dipadukan dengan
perak putih seperti batu kapur,
yang diikat
dengan emas cina,
bergantian dengan
kawat jawa.
Cermin jawa dipasangkan,
di setiap tiang
bangunan.
Di situ perabot dihias,
sebelum pergi ke
surga,
di sanalah tempat
berhias,
apa yang tidak
tersedia di sana?
cemin jawa
bersepuh emas
sisir dari gading
berukir,
satu gelas minyak
cina
isinya ....
kapur barus dalam guci,
bunga resa di
jambangan,
zat kelenjar rusa
jantan dalam belanga dari gading,
guci penuh
wewangian kayu cendana,
sepucuk ....
... cinta.
Bujangga Manik
yang terhormat
lalu diangkat
dipangku,
dibawa dari
lengan satu ke lengan lainnya,
dibawa ke atas
panggung (?),
dari panggung ke
tandu,
tandu yang
dihiasi gading,
berkendara di
atas sapi putih,
dengan kipas
bergagang emas,
berkelap kelip
oleh batu rubi,
bertakhtakan
emas,
dengan batu mirah
dan permata di atasnya,
bertatahkan
mutiara,
berpadu dengan
permata dan batu rubi, batu mirah,
batu-batu beharga
dan intan,
semuanya serba
indah.
Cerita Darma Kancana,
di atas tirai
yang bercahaya,
di bawah tirai
yang tembus pandang,
terpasang pada
mereka naga yang berhadapan satu sama lain,
di tengah-tengah
naga-naga yang ...,
di bawah
naga-naga yang bertemu,
seekor merak yang
menari di atasnya,
semua serba
indah,
semua benar-benar
tidak ternilai,
luar biasa,
sangat baik dan
hebat untuk dilihat,
bersinar dengan
segala jenis warna,
berkelap-kelip
dan bercahaya.
Seperti bunga
pamaja
wujud dari jiwa
suci,
diramaikan oleh
tetabuhan,
goong dan gending
yang dipedengarkan,
simbal perunggu
dicampur dengan caning,
semuanya
tetabuhan
alat-alat musik suci,
Alat musik suci
paburancaheun,
simbal rari
dimainkan,
gong ditabuh,
payung-payung
dengan sutra keling [India],
bendera bambu
kiri dan kanan,
barisan panjang
sutra putih,
unyut yang
berlimpah,
seperti burung
kuntul yang terbang indah.
Payung sutra, gading di atasnya,
payung kertas,
emas di atasnya,
payung hateup
dari sutra keling,
gorden dengan
sepuhan Cina,
dihiasi permata
yang bergantungan,
satin dengan
permata dan emas,
kipas dengan
gagang emas,
cahaya keemasan
kelopak terong,
di atasnya batu
rubi, naga-naga yang merantai,
pajale permata,
sangat bermanfaat,
petir berteman
cahaya surgawi,
dikelilingi
pelangi,
di sana ...).
(lanjut...)
(By Adeng
Lukmantara)
Sumber : dari
berbagai sumber internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar