Oleh
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang
Pengantar
Dalam naskah Carita Parahiyangan, raja yang mendapat pujian di era Pajajaran setelah Sribaduga maharaja Prabu Jayadewata ( mp. 1482-1521M), adalah Prabu Surawisesa, yang berkuasa dari tahun 1521-1535 M.
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang
Pengantar
Dalam naskah Carita Parahiyangan, raja yang mendapat pujian di era Pajajaran setelah Sribaduga maharaja Prabu Jayadewata ( mp. 1482-1521M), adalah Prabu Surawisesa, yang berkuasa dari tahun 1521-1535 M.
Mungkin banyak orang yang belum mengenal sejarah Prabu
Surawisesa itu? Naskah Carita Parahiyangan dan juga Naskah
Wangsakerta telah berbicara tentang Prabu Surawisesa ini. Bahkan dalam Naskah
carita parahiyangan ia dipuji dengan sebutan kasuran (perwira), kadiran
(perkasa), dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah
melakukan 15 kali pertempuran.
Pujian Surawisesa dalam Naskah Carita
Parahiyangan disebutkan sebagai berikut:
....Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang
di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen
.....Perang limawelas kali henteu eleh. Dina
ngajalankeun peperangan teh kakuatan baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung.
Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka
Gunungbatu. Perang ka Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka
Padang. Perang ka Pagoakan. Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka
Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui.
Ratu tilar dunya. Lawasna jadi ratu opatwelas taun.
Tulisan tentang Surawisesa ini banyak tokoh telah menulis tentang riwayatnya, diantaranya Pilolog Saleh Danasasmita dalam bukunya, "Melaacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi".
Tulisan tentang Surawisesa ini banyak tokoh telah menulis tentang riwayatnya, diantaranya Pilolog Saleh Danasasmita dalam bukunya, "Melaacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi".
NASKAH
BAB 1. KONSTALASI POLITIK TAHUN 1500 M
Setelah Tahun 1500 M, di Pulau Jawa ada perubahan
konstalasi politik yang cukup signifikan. Dominasi Kerajaan Majapahit yang
meliputi kekuasaan di jawa timur dan Jawa tengah mulai meredup. Dan mulai
digantikan dengan kemunculannya kerajaan Demak, yang berlatar belakang Islam.
1.. Kerajaan Demak dan
Gairah Islamisasi di Eks Kerajaan Majapahit
Pada tahun 1500-an M, Demak telah resmi menjadi
kerajaan Islam di Pulau Jawa. Karena ia lahir dari bekas kerajaan Majapahit,
maka mulai saat itu kerajaan yang baru tersebut lambat laun mengembangkan sayapnya dengan menaklukan
daerah daerah yang dikuasai oleh Majapahit, termasuk ibukota Majapahit itu
sendiri (daerah Mojokerto sekarang).
Kerajaan Demak seolah merupakan dampak dari
perkembangan Islam yang waktu itu di Jawa setelah mencapai momennya.
Perkembangannya begitu pesat, dan mulai mendapat dukungan dari tokoh tokoh
Islam muda yang enerjik. Sehingga dari tahun ke tahun kekuasaan Demak mengalami
perkembangan yang signifikan.
Tetapi hingga tahun 1500 M, Demak masih belum menjadi kerajaan yang
dominan di Pulau jawa.
Kerajaan Demak diperkirakan berdiri tahun 1475 M. Raja
pertamanya daalah Raden Fatah, yang berkuasa dari tahun 1475 M hingga 1518 M.
Kekuasaan kemudian diteruskan oleh anak pertamanya yang bernama Pati Unus yang
berkuasa dari tahun 1518 M sampai dengan 1521 M, dan setelah itu diteruskan
oleh anak keduanya yang bernama Sultan Trenggono yang berkuasa dari tahun
1521-1548 M.
Berdirinya kerajaan Demak jika dikaitkan dengan
kerajaan Sunda Pajajaran, sudah berdiri di era kekuasaan Prabu Susuk Tunggal,
dan mulai berkembang di era Sri Baduga Maharaja (mp. 1482-1521 M). Dan mulai
gencar ada peperangan antara pihak kerajaan Demak dengan kerajaan Pajajaran, di
era pemerintahan Prabu Surawisesa (mp. 1521-1535 M) dan seterusnya. Dengan
demikian kerajaan Demak di era Sultan Trenggana dan Pajajaran di era Prabu
Surawisesa-lah mulai ada peperangan antara kerajaan Demak-Cirebon dengan
kerajaan Sunda Pajajaran.
Dimasa Raja Sribaduga Maharaja masih hidup,
putra-putranya, yang menjadi penguasa di Cirebon belum berani berkomplik Pajajaran. Karena mungkin masih segan terhadap orang tuanya. Tetapi setelah Sri
Baduga Maharaja meninggal, barulah Pangeran pangeran turunan Sri Baduga
Maharaja ikut menyerang wilayah wilayah pajajaran dengan bantuan pihak Demak. Dan penyerangan terhadap
pelabuhan pelabuhan kerajaan Pajajaran mulai agresifitasnya di era cucu
Sribaduga, yaitu Syarif Hidayatullah ketika memegang kekuasaan Cirebon.
Kaum muda islam yang energik di berbagai wilayah mulai
mencari identitas diri. Mereka tidak memandang dari mana mereka berasal, tetapi
mereka hanya ingin bersatu dan punya identitas. Dan Fenomena kerajaan Demak ini
seolah menjadi ikon dalam keinginan mereka untuk membangun ikon islam di Jawa.
Kerajaan Demak di era Raden Fatah masih belum begitu
pesat dalam peperangan dengan pihak Majapahit. Raden fatah masih enggan untuk
menyerang wilayah wilayah yang dikuasai oleh Majapahit dimana Sang raja, Prabu
Brawijaya V, yang merupakan ayahnya sendiri masih hidup. Ia masih memamfaatkan
peran para wali unuk menyebarkan islam dan pengaruhnya.
Pada awalnya Demak hanya merupakan pemerintahan
kabupatian dengan ibukota di Bintara. Dan Raden fatah diangkat jadi bupati
Demak. Pada tahun 1475 M ia kembali dari Surabaya, dan pada tahun 1477 M, ia
menaklukan Semarang di bawah kekuasaanya. Ia masih mengikuti saran Sunan Ampel
untuk tidak menyerang Ibukota majapahit. Tetapi pada tahun 1478
M, speninggal Sunan Ampel dan setelah Majapahit menyerang Giri
Kedaton, sekutu demak di gresik, Raden Fatah kemudian menyerang ibukota
Majapahit. Rajanya, Bhre Kertabuhumi, ditangkap dan Majapahit dijadikan bawahan
Demak. Pada tahun 1489 M, Raden fatah meresmikan Masjid Agung Demak.
Setelah Raden fatah meninggal, ia digantikan
oleh anak pertamanya, Dipati Unus, yang bergelar Pangeran Sebrang Lor. Di era
Dipati Unus, tidak terlalu banyak meluaskan sayapnya di jawa, tetapi ia mulai
menyerang Portugis di Malaka. Tetapi ia mengalami kekalahan yang telak. Pada
masa Sultan Trenggana, mulailah meluaskan pengaruhnya di pulau Jawa. Pada
masanya banyak daerah daerah di pulau Jawa yang dikuasainya. Pada tahun
1527 M, ia merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran, Tuban (1527 M), Madiun (1529
M), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545 M), Balambangan (1527 M dan 1546
M). trenggana meningal pada tahun 1546 M, dan setelah itu kerajaan Demak mengalami
kemunduran.
2.. Gairah Islam di
Tanah Sunda
Perkembangan kerajaan Demak berpengaruh besar terhadap
perkembangan Islam di tanah Sunda. Seolah belajar dari kerajaan Demak, yang
notabene mereka merupakan turunan raja majapahit. Para pangeran Raja Pajajaran yang beragama Islam yang ada di Cirebon
seolah mulai mencari identitas dirinya. Beberapa orang pangeran anak Raja
Sunda yang terkenal, Sri baduga Maharaja Jaya Dewata, dari istrinya Nyi Subang
Larang, mulai mencari identitas keislamannya, menyangkut wilayah dan
pandangannya ke depan. Seolah mengalami nasib yang sama dengan Demak. Jika di
Demak dikaitkan dengan Majapahit, maka di Cirebon dikaitkan dengan kerajaan
Sunda Pajajaran.
Karena itu para pangeran dari cirebon kemudian mulai
mengeksiskan kekuasaannya, dan mulai mencari partner. Dan hal ini seolah
mendapat tempat yang sama di kerajaan Demak. Karena Demak waktu itu seolah
menjadi tren, yang mulai membangun eksistensi dan berusaha untuk memisahkan
diri dari mainstream kekuasaan Majapahit.
Cirebon dalam peradaban sunda pada awalnya merupakan
suatu kerajaan yang dinamakan dan indraprahasta dan Wanagiri. Suatu kerajaan
lokal yang sudah dikenal dan menjadi bawahan kerajaan Taruma Negara. Karena
dianggap sebagai pendukung dari Prabu Purbasora, maka oleh Sonjaya, kerajaan
ini kemudian dihilangkan. Dan kemudian sekitar abad 15-an berubah menjadi
Cirebon Girang. Tetapi Keraton Cirebon Girang ini diperkirakan berakhir di
tahun 1445 M. Dan Cirebon ini mulai ramai lagi di era Pangeran Cakrabuana
(Pangeran Walangsungsang), putra dari Sri baduga maharaja Jayadewata, mulai
membuka lahan baru yang di kemudian hari terkenal dengan nama Cirebon.
Cirebon merupakan basis dari pangeran-pangeran anak Raja Sunda yang beragama Islam, seolah mendapat partner
yang pas dengan kerajaan Demak. Dan selanjutnya seolah menjadi 2 mata uang.
Karena nantinya salah seorang turunan Raja Sunda (cucu sang Raja) akan menjadi
seorang tokoh terbesar dari kerajaan Demak, yaitu Syarif Hidayatullah
atau dikemudian hari namanya terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan Sunan
Gunung Jati inilah akan menjadi cikal bakal berdirinya 2 kesultanan di
tanah Sunda, yaitu Cirebon dan juga
Banten.
a.. Sejarah Keberadaan
Masyarakat Islam di Tanah Sunda
Keberadaan masayarakat Islam di negeri Sunda pajajaran
diperkirakan mulai berkembang di era kekuasaan Prabu Bunisora atau nama
lengkapnya Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata, yang menguasai kerajaan
Sunda pada tahun 1357-1371 M. Ia merupakan pengganti kakaknya, Prabu
Lingga Buana atau Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Prabu Bunisora
dikenal sebagai pandhita ratu yang memiiki sikap toleran terhadap agama
lain. Salah satu anaknya yang bernama Sang Bratalagawa, putra kedua
Prabu Bunisora telah beragama islam dan disebut sebut sebagai Haji Galuh Purwa
atau Haji Galuh pertama. Sang Bratalegawa ini usianya 2 tahun lebih muda dari
penguasa Sunda berikutnya, dan merupakan kakak iparnya, Prabu Wastukancana.
Dan Sang Prabu Bunisora ini juga mempunyai anak yang
bernama Giridewata atau Ki gedeng Kasmaya, yang diangkat menjadi penguasa di
Wanagairi (cirebon sekarang). Dan Ki Gedeng kasmaya (hasil perkawinannya
dengan Ratna kirana putri Prabu gangga Permana) ini memiliki anak yang
benama Ki Gedeng Cirebon Girang, sehingga Wanagiri berubah nama dengan Cirebon
Girang. (tetapi diperkirakan keraton Cirebon Girang ini berakhir tahun 1445 M).
b.. Pajajaran di Era
tahun 1500 M
Di era tahun 1500 M
Pajajaran diperintah oleh seorang raja yang terkenal cakap dan bijaksana, Sri
Baduga Maharaja Jaya Dewata. Sri Baduga Maharaja merupakan salah satu
raja terbesar Sunda yang terakhir. Ia mempunyai 3 orang istri. Istri
pertama yang bernama Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindangkasih. Ia
kemudian memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedeng Tapa. Dan ia kemudian
memperistri Putri Raja sunda, Prabu Susuk Tunggal yang bernama Putri Kentrik
Manik Mayang Sunda.
Subang Larang adalah seorang muslimah. Ayahnya Ki Gedeng Tapa salah satu tokoh Islam di lingkungan kerajaan Sunda. Ki gedeng Tapa adalah salah seorang anak dari Raja sebelumnya, Prabu Wastukencana. Yang mewarisi wilayah kekuasaan di sekitar Cirebon sekarang. Dari Subang Larang inilah Sang Raja sunda, Sri Baduga maharaja, mempunyai 3 orang anak yang beragama Islam. Anak yang pertama bernama Cakrabuana tetapi kemudian terkenal dengan nama Walangsungsang dan terakhir namanya menjadi Abdullah Iman. Yang kedua bernama Lara santang, seorang wanita, yang menikah dengan bangsawan Arab, dan nantinya mempunyai anak yang bernama Syarif Hidayatullah atau dikemudian hari terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan yang ketiga bernama Sangara. Sangara ini kadang orang mengaitkannya dengan nama Kian santang (atau ada yang mengaitkan bahwa Kiansantang adalah Walangsungsang). Oleh ayahnya, Sri Baduga Maharaja, mereka diberi kekuasaan di tanah sekitar Cirebon sekarang.
Dari istrinya putri Kentrik Mayang Sunda, putri dari Raja Sunda sebelumnya, Prabu Susuk Tunggal, ia mempunyai anak laki-laki yang bernama Surawisesa, yang kemudian menjadi putra mahkota kerajaan Sunda Pajajaran.
Subang Larang adalah seorang muslimah. Ayahnya Ki Gedeng Tapa salah satu tokoh Islam di lingkungan kerajaan Sunda. Ki gedeng Tapa adalah salah seorang anak dari Raja sebelumnya, Prabu Wastukencana. Yang mewarisi wilayah kekuasaan di sekitar Cirebon sekarang. Dari Subang Larang inilah Sang Raja sunda, Sri Baduga maharaja, mempunyai 3 orang anak yang beragama Islam. Anak yang pertama bernama Cakrabuana tetapi kemudian terkenal dengan nama Walangsungsang dan terakhir namanya menjadi Abdullah Iman. Yang kedua bernama Lara santang, seorang wanita, yang menikah dengan bangsawan Arab, dan nantinya mempunyai anak yang bernama Syarif Hidayatullah atau dikemudian hari terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan yang ketiga bernama Sangara. Sangara ini kadang orang mengaitkannya dengan nama Kian santang (atau ada yang mengaitkan bahwa Kiansantang adalah Walangsungsang). Oleh ayahnya, Sri Baduga Maharaja, mereka diberi kekuasaan di tanah sekitar Cirebon sekarang.
Dari istrinya putri Kentrik Mayang Sunda, putri dari Raja Sunda sebelumnya, Prabu Susuk Tunggal, ia mempunyai anak laki-laki yang bernama Surawisesa, yang kemudian menjadi putra mahkota kerajaan Sunda Pajajaran.
Sri baduga Maharaja, yang seolah mendapat gelagat dari
anak-anaknya dari istrinya Subang Larang yang beragama Islam di Cirebon. Mereka
seolah lagi mencari identitas dan eksistensi dari anak anaknya yang muslim
tersebut.
Pada awalnya Sang Raja membiarkan saja, tetapi
setelah Demak melakukan serangan kepada Portugis di Malaka, seolah menjadi
warning. Bahwa kerjasama anak-anaknya dengan Demak nantinya akan menjadi suatu
ancaman bagi generasi berikutnya. Apalagi melihat perkembangan dari cucunya,
Syarif hidayatullah, yang konon telah menjadi tokoh utama dalam kerajaan Demak.
Melihat perkembangan Demak dan juga kerjasamanya
dengan anak-anaknya di Cirebon. Membuat Sang raja, Sribaduga maharaja gusar. Pada
awalnya Cirebon akan diserang, Tetapi hal ini dicegah oleh pendeta kerajaan.
Karena hal tersebut akan menjatuhkan pamor sang maharaja, tidak etis sang ayah
menyerang anaknya sendiri. Disamping memang daerah Cirebon sudah diserahkan
kepada anak sulung sang Raja dari istrinya Subang Larang, yaitu Walangsungsang.
Dan akhirnya Sang Maharaja mengambil jalan kebijakan
yang lain, yaitu mencari sekutu dari daerah lain. Dan sekutu yang dianggap
cocok adalah dengan Portugis. Hal ini dimungkinkan disamping untuk mengamankan
daerah kekuasannya, juga kemungkinan akan memodernisasi angkatan perangnya.
Karena di zamannya, dalam berperang Demak sudah menggunakan meriam dalam
menyerang lawan lawannya. Sedang tentara pajajaran masih menggunakan senjata
tradisonal, seperti panah, tumbak, pedang dan lainnya.
Pada tahun 1512 M, Sang Raja mengutus anaknya Pangeran
Sangiang (atau orang Portugis menyeebut Ratu Samiam), yang nantinya setelah
menjadi raja bergelar Prabu Surawisesa untuk menghubungi Alfonso
d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka. Maka Surawisesa-pun berangkat untuk berlayar ke Malaka.
BAB II SURAWISESA MUDA
Prabu Surawisesa sebelum menjadi raja bernama Pangeran
Sangiang, atau orang Portugis menyebutnya dengan Ratu Samiam. Ia merupakan
putra dari Sri Baduga Maharaja dengan istrinya Kentrik Manik Mayang Sunda, yang
merupakan putri dari Prabu Susuk Tunggal.
Dalam kisah kisah pantun, Surawisesa ini sering
disamakan dengan dengan tokoh Mundinglaya dikusumah atau ada juga yang
mengatakan tokoh Guru Gantangan. Sangat sulit memang menyambungkan kisah dalam
cerita pantun dengan konteks sejarah. Demikian juga Cerita Mundinglaya dan Guru
gantangan. Seolah sulit menghubungkannya.
Ia menikah dengan Kinawati putri dari kerajaan Tanjung
barat, putri dari Mental Buana, dan merupakan cucu dari Munding Kawati, penguasa
Tanjung Barat. Kerajaan Tanjung Barat merupakan kerajaan bawahan kerajaan
Pajajaran. Kerajaan ini terletak disungai Ciliwung, daerah pasar minggu jakarta
sekarang.
Menurut Pilolog Saleh Danasasmita, ketika menjadi putra mahkota, Surawisesa menjadi ratu di Sangiang, yang wilayahnya meliputi jatinegara hingga sungai Marunda. Dengan demikian ia merupakan penguasa dari Pelabuhan Kalapa (Nusa kalapa). Karena itu kemudian Ayahhnya, Sri Baduga Maharaja, mengutusnya dalam suatu misi kerjasama dengan
Portugis di Malaka.
Menurut Pilolog Saleh Danasasmita, ketika menjadi putra mahkota, Surawisesa menjadi ratu di Sangiang, yang wilayahnya meliputi jatinegara hingga sungai Marunda. Dengan demikian ia merupakan penguasa dari Pelabuhan Kalapa (Nusa kalapa). Karena itu kemudian Ayahhnya, Sri Baduga Maharaja, mengutusnya dalam suatu misi kerjasama dengan
Portugis di Malaka.
1.. Perkembangan
Politik dimasanya
Surawisesa hidup ditengah proses perubahan politik di
pulau jawa sangat berubah drastis. Kerajaan Demak yang baru berdiri seolah
berubah menjadi kekuatan politik yang dominan di bekas kerajaan majapahit, yang
justru mulai bekerja sama dengan para kerabatnya di Cirebon, yang tiada lain
adalah saudara saudara satu ayah.
Melihat perkembangan Demikian, kemudian sang ayah pada
tahun 1512 M memerintahkannya untuk menghubungi Alfonso
d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka. Kemungkinan Sang Pangeran tidak sendirian
pergi ke Malaka, tetapi rombongan. Dan kemungkinan keberangkatannya juga di
rahasiakan atau dengan memakai kode kode tertentu. Karena untuk menghndari mata
mata dari demak atau Cirebon. Apalagi
perjalanannya tidak bisa ditempuh dalam 1 atau 2 hari.
Perjalanan dari ibukota Pakuan ke Malaka memerlukan
perjalanan darat ke pelabuhan Nusa kalapa, setelah itu melakukan perjalanan
laut dari Nusa Kalapa (jakarta) ke Malaka di semenanjung Malayasia.
2.. Kemiripan Cerita
Pantun Tentang Mundinglayadikusumah
Seperti diungkapkan diatas bahwa Surawisesa kadang
diidentikan dengan Mundinglaya dikusumah atau Guru Gantangan dalam Cerita
Pantun. Tetapi yang kemungkinan mirip dengan misi Surawisesa adalah cerita
tentang Mundinglayadikusumah, yang mendapat tugas untuk mencari Salaka Domas.
Cerita tentang Mundinglaya sepertinya ada kaitannya
dengan perintah sang raja untuk menemui laksamana Portugis di Malaka.
Sang Pangeran agar mencari Pusaka Salaka Domas (dan suatu cerita
menggunakan nama Lalayang Kancana), mungkin adalah suatu kata sandi untuk
suatu misi ke Malaka. Perjalanan ke Malaka adalah perjalanan yang penuh resiko.
Karena letaknya begitu jauh dari ibukota Pajajaran dan harus Melalui lautan
yang jauh dan kadang ombaknya tidak menentu. Dan konon di perjalanan ini
banyak bajak laut, yang kadang setiap waktu siap untuk menggagalkan
rencana. Disamping itu mata mata dari Demak seolah selalu memonitor
perkembangan yang ada di istana Pakuan dan juga kapal kapal yang menuju Malaka.
Dan dimungkinkan juga dikalangan istana di Pakuan sudah ada yang mulai memihak
pangeran pangeran Pajajaran yang ada di Cirebon.
Jadi kemungkinan Sri Baduga Maharaja, seolah menutupi
maksud dan tujuan di depan masyarakatnya, dan mungkin ia menggunakan kata sandi
salaka Domas. Karena demi keamanan sang pangeran juga untuk berlayar ke Malaka.
Karena bagi kerajaan Demak yang berhubungan dengan Malaka yang sudah dikuasai
oleh Portugis dianggap sebagai sahabatnya, yang harus dihancurkan.
Dalam cerita Mundinglayadikusumah, Keberangkatan Sang
pangeran ditemani oleh patih dan mentri kerajaan yang terdiri dari: Jaksa seda
Kawasa, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung Patih ratna jaya dan Prabu Liman
sanjaya, pamuk dari Gunung Gumuruh, dan tidak lupa paman lengser yang juga
menemaninya. Ia menaiki perahu yang dibuat oleh Kidang Pananjung.
Ia berlayar melalui Leuwi Sipatahunan, sungai
Ciliwung, dan berlayar hingga di Muara Beres., tempat dimana calon istrinya,
yang sudah dijodohkan ketika masih dalam kandungan itu berada. Disana Sang
pangeran berhenti untuk bertemu dengan sang calon istrinya. Dan menceritakan
apa yang menjadi tujuannya. Bahwa ia akan ke negeri sebrang yang jauh ke negeri
Malaka. Seolah cinta lama berkembang lagi, sejak kecil sudah dijodohkan, dan
sudah besar bertemu dalam perjalanan jauh, entah kapan mereka akan kembali.
Pertemuannya seolah mengingatkan kepada cerita cerita anak muda yang lagi
kasmaran.
Perjalanan kemudian dilanjutkan, Para pengiring
kerajaan sebagaian hanya menemaninya hingga Sanghiyang cadas Patenggang
(kemungkinan muara menuju laut)/ pelabuhan dan ia sendiri dengan ditemani para
kstaria / punggawa, termasuk penterjemah dan pasukan lainnya yang bertugas
mendayung, dan lainnya, meneruskan perjalanannya.
Dalam perjalanan Ia bertemu dengan Yaksa Mayuta
(kemungkinan bajak laut), atau semacam ikan paus / ikan Hiu, tetapi mereka
dapat dikalahkan. Dan Surawisesa meneruskan perjalanannya ke langit (ada
kemungkinan melalui lautan yang luas, sehingga yang kelihatan hanyalah langit).
Disamping diiring oleh pendayung, ia juga menggunakan lalayang kencana
(layar), dengan menggunakan tenaga angin ( layar) dalam perjalanannya.
Setelah melakukan perjalanan yang begitu jauh akhirnya
sampai lah ke negeri Malaka untuk menemui Sang marsekal, yang dikenal sebagai
orang kulit putih berperawakan besar. Dan kemumgkinan istilah Guriang dalam
Carita mundinglayadikusuma adalah orang Portugis ini, untuk menyebut orang
asing berwajah putih dan berperawakan besar.
Di perjalanan kembali, kapalnya mengalami kerusakan,
kapalnya diserang taupan, tiangnya patah, kapalnyapun pecah dan karam, sehingga
ia dikabarkan sudah meninggal. Tetapi ia kemudian memamfaatkan reruntuhan
kapal, dan menggunakan layar (lalayang kencana) untuk perjalanan
pulangnya.
Dalam perjalanan pulang dari pelabuhan Sunda Kalapa ke
ibukota Pakuan dalam cerita ini tidaklah
mulus. Karena ada penghadangan di Leuwi Langgong, maka ketika sampai di Batu
Tulis, prajurit prajurit yang menghadangnya di muara
beres dapat dikalahkan hingga kocar kacir.
Tentang ada hubungan atau tidak dari kisah munding laya ini, seolah mengungkapkan kepada kita bahwa sangat sulit menterjemahkan atau menceritakan perjalanan di lautan lepas kepada masyarakat tatar sunda yang kebanyakan tinggal di daratana atau dataran tinggi atau gunung.
Tentang ada hubungan atau tidak dari kisah munding laya ini, seolah mengungkapkan kepada kita bahwa sangat sulit menterjemahkan atau menceritakan perjalanan di lautan lepas kepada masyarakat tatar sunda yang kebanyakan tinggal di daratana atau dataran tinggi atau gunung.
3. Perjalanan Pertama ke Malaka pada tahun 1512 M.
Setelah Portugis menguasai
Malaka pada tahun 1511 M, seolah Sri Baduga Maharaja terispirasi oleh kekalahan
kesultanan Malaka oleh Portugis tersebut. Seolah hal in mengisnpirsikannya untuk
hal yang sama dalam menghadapi sekutu Demak dan Cirebon. Karena itu setahun
kemudian (1512 M ), Sri Baduga Maharaja mengutus Sang Putra mahkota, Pangeran
Sangiang atau Prabu Surawisesa menjadi dutanya dalam upaya kerjasama bilateral
dalam bidang ekonomi dan pertahanan.
Saleh Damnasasmita dengan
mengutip Hageman, menulis bahwa kedatangan Prabu Surawisesa ini diungkapkan:
In het jaar 1512, kwam er
een heidensche koning van Zunda, genaamd Samiam, Zijne huldebij Alfonso
d’Albouquerque aanbieden. Deze koning Samlam kwam andermal te Malaka in 1512,
toen Jorge d’Albouquerque aldaar gezaghebber was, uit de opgaven van deze “Re
de Zunda” vernam Dom Jorge veel van den hendel van Zunda, en wilde darromeen
proef nemenen zomd in 1522 zijn zwagerHenriquez de Leme met cen schip van
Malaka naar Zunda, met geschenken voor de koning samiam die daar heer van het
land was.
(dalam tahun 1512 datang (ke
Malaka) seorang raja Sunda yang mash “kafir” bernama Sangiang menyampaikan
hormatnya kepada Alfonso d’Albouquerque. Raja Sangiang ini datang sekali lagi di
Malaka tahun 1521 ketika Jorge d’Albourquerque menjadi pemegang kekuasan
disana. Dari keterangan keterangan yang diberikan raja Sundaini Dom Jorge
menjadi sangat tertarik oleh perdagangan Sunda, dan oleh karena itu ingin
mencobanya, lalu dalam tahun 1522 mengirimkan iparnya, Henriquez de Leme dengan
sebuah kapal dari Malaka ke Sunda. Sambil membawa hadiah untuk ratu Sangiang
yang (telah) menjadi raja).
Setelah kunjungan pertama
ini, setahun kemudian sebagai balasan pihak Portugis dengan mengirim 4 buah
kapal yang dipimpin oleh Joao Lopes de Alvin berlabuh di Sunda Kalapa pada
tahun 1513 M sebagai kunjungan penjajagan, yang
diikuti oleh Tome Pires. Dan Tome Pires ini kemudian menulis kunjungan ke Pakuan ini dalam bukunya.
4.. Perjalanan kedua ke Malaka pada tahun 1521 M
Sembilan tahun setelah kunjungan pertama (1512 M), pada tahun 1521 M Pangeran Surawisesa diutus
kembali oleh ayahnya ke Malaka.
Hasil kunjungan kedua adalah
kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik De Leme (ipar
Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati
persetujuan antara kerajaan Pajajaran (Sunda) dengan Portugis mengenai
perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522
Pajajaran yang sejak tahun 1522 telah menjalin
persekutuan dengan Portugis, yang merupakan musuh besar Demak. Kepentingan
antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran itu, kemudian dituangkan dalam bentuk
perjanjian persahabatan militer dan ekonomi, yang selanjutnya dikenal sebagai
Perjanjian Padrao (Padrong).
Dalam perjanjian itu
disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa.
Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus
ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian
saat itu benteng mulai dibangun, pihak sunda akan menyerahkan 1000
karung lada tiap tahun untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua
custumodos (kurang lebih 351 kwintal).
BAB III SUKSESI DI PAJAJARAN
Setelah kepergiannya yang kedua ke Malaka, pada tahun
1521 M, ayahnya, Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata meninggal dunia pada
tahun itu juga (1521 M). Karena itu kemudian ia diangkat menjadi raja di
kerajaan sunda pada tahun itu juga, menggantikan ayahnya, dengan gelar Prabu
Surawisesa Jayaperkosa.
Sri Baduga maharaja meninggal pada tahun 1521 M dan
dimakamkan di Rancamaya. Dalam Naskah carita parahiyangan dikatakan nu hilang
di Rancamaya. Sri Baduga Maharaja berkuasa selama 39 tahun. Dalam Naskah
Carita parahiyangan mengatakan bahwa pada zaman Sri Baduga, karena menjalankan
kekuasaannya "ngukuhan purbatisti purbajati" pada zamannya tidak ada
musuh yang menyerang baik musuh besar maupun musuh kecil. Tentram
ayem baik di sebelah timur, barat, utara dan selatan karena mereka merasa aman.
Dalam naskah Carita Parahiyangan, raja yang mendapat
pujian raja raja di era Pajajaran setelah Sribaduga maharaja Prabu
Jayadewata ( mp. 1482-1521M), adalah Prabu
Surawisesa, yang berkuasa dari tahun 1521-1535 M.
Prabu Surawisesa Jaya Perkosa, demikian gelar untuk
Pangeran Sangiang ketika sudah menjadi raja. Orang Portugid menyebutnya dengan
nama Ratu Samiam, penyebutan orang Portugis untuk nama Sangiang.
Tokoh ini dalam naskah Carita Parahiyangan bekuasa di
tanah sunda selama 14 tahun berkuasa, ia melakukan peperangan 15 kali untuk
mempertahankan kekuasaan pajajaran di wilayah tataran sunda, dari serangan
Demak-Cirebon.
1.. Berselisihnya Para
Pangeran Sunda
Menjadi raja, bukan berarti bisa bertindak sesukanya,
karena justru disinilah mulai terjadi keretakan diantara para pangeran,
terutama anak anak dari Sri Baduga Maharaja. Karena setelah mereka dewasa
justru mempunyai padangan yang berbeda tentang kerajaan Sunda ke depan. Jika
Prabu Surawisesa ingin tetap mempertahankan tradisi nenek moyangnya, maka para
Pangeran yang ada di Cirebon menginginkan hal yang berbeda. Karena mereka
bergama Islam, mereka menginginkan agar negeri Pajajaran mulai menerima agama
tersebut di lingkungan istana.
Dan satu lagi yang ditentang oleh para pangeran
Cirebon dan juga ada sebagian pangeran lainnya, yang tidak menyetujui
kerjasamanya dengan Portugis. Seolah harga mati, tidak boleh kerjasama dengan
portugis. Karena sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, seolah tidak ada ruang
untuk bebas dalam menjalankan usaha antar negara. Padahal Sang Raja justru
ingin melakukan kerjasama ini.
Pembahasan tentang kerajaan Pajajaran yang bersatu
masih dalam koridor yang biasanya, hanya panas waktu berdebat. Tetapi ketika
kembali seolah biasa biasa saja. Tetapi hal ini menjadi lain ketika Portugis
datang ke tanah Sunda pada tahun 1522 M, sebagai balasan dari kunjungan Sang
raja Sunda Surawisesa ke Malaka. Kedatangan wakil Portugis, Hendrik
De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran Meninbulkan gunjangan
yang dasyat di lingkungan istana pajajaran. Para penentang mulai tidak
memepercayai lagi sang raja. Apalagi dalam kunjungan
kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran (Sunda) dengan
Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus
1522 M.
Dalam perjanjian itu
disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa.
Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus
ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian
saat itu benteng mulai dibangun, pihak sunda akan menyerahkan 1000
karung lada tiap tahun untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua
custumodos (kurang lebih 351 kwintal).
Perjanjian antara
kerajaan Sunda dan Portugis sangat mencemaskan Sultan trenggono,
sultan Demak III. Setelah selat Malaka yang merupakan pintu masuk
perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan
di Malaka dan Samudra Pasai. Jika selat Sunda yang menjadi pintu
masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis. Maka jalur
perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan negara-negara Islam diwilayah
timur, termasuk Demak, terancam putus.
Para Pangeran yang menentang seolah sudah demikian
kesalnya terhadap isi perjanjian dengan Portugis tersebut. Dan akhirnya di
bawah pimpinan cucu dari Sribaduga Maharaja, yaitu Syarif Hidayatullah
mengultimatum untuk membantu Demak dalam upayanya dalam menghalau kekuasaan
portugis di tanah Sunda. Dan mulai saat itu para pangeran sudah memutuskan
untuk membantu Demak dalam menghalau kekuasaan Portugis di tanah Sunda.
Meskipun mereka akan membantu Demak untuk menghalau
Portugis di tanah Sunda, mereka masih enggan untuk menyerang daerah daerah yang
dikuasai oleh Raja Sunda tersebut. Seolah ikatan darah masih membuat mereka
saling sungkan untuk menyerang satu sama lain. Prabu Surawisesa enggan
menyerang Cirebon, dan Para Pangeran Cirebon enggan untuk menyerang kekuasaan
kerajaan Sunda pajajaran, hingga desas desus kedatangan pasukan Portugis pada
tahun 1526 M.
2.. Bergabungnya Para Pangeran Cirebon dengan Demak
Kedatangan wakil Portugis, Hendrik
De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan dan kesepakatan kerajaan
Pajajaran (Sunda) dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang
ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M. Menimbulkan keteguhan bagi para pangeran yang
ada di Cirebon untuk melakukan perlawanan terhadap kekuaaan Raja. Karena itu,
ia mulai memantapkan kerjasama dengan pihak Demak.
Awalnya kerjasama setengah hati, tetapi kemudian
menjadi suatu tekad untuk membebaskan kerajaan Pajajaran dari Portugis. Karena
mulai mendapat dukungan dari para pangeran sunda dari Cirebon, Sultan Trenggono
dari Demak mulai memfokuskan untuk menyerang pelabuhan utama di kerajaan
Pajajaran, yaitu Banten dan Kalapa (sunda Kalapa). Dimana dalam perjanjian
antara kerajaan pajajaran dan Portugis, portugis akan membangun benteng di
kedua pelabuhan tersebut.
Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan yang terkenal kuat. Dan
daya tahan yang sangat luar biasa. Karena itu kerajaan Pajajaran merupakan
kerajaan yang paling stabil di nusantara, karena tidak ada yang bisa pernah menguasai
tanah sunda ini, termasuk Sriwijaya dan Majapahit.
Karena itu dengan dukungan para pangeran turunan Raja
Sunda ini, maka dimungkinkan Demak akan bisa menguasai daerah-daerah yang
dikuasai oleh Pajajaran ini.
Demak sangat mengharap bisa menguasai tanah sunda
dengan cepat, tetapi realitasnya tidaklah demikian. Demak meskipun bisa
menguasai beberapa wilayah di wilayah sunda dengan bantuan Cirebon. Tetapi
dalam sejarahnya malah Demak yang lebih cepat musnah dari sejarah, karena
perebutan kekuasaan diantara para keturunan Raden fatah tersebut.
3.. Reaksi Prabu Surawisesa
Mengetahui saudara-saudaranya dari Cirebon melakukan
kerjasama dengan Demak. Maka Prabu Surawisesa mulai membangun angkatan
perangnya. Konon pasukannya seribu orang. Pasukannya disamping disebar
diperbatasan dengan Cirebon, dan wilayah wilayah lainnya yang berbatasan dengan
kekuasaan Demak, juga memprioritaskan pada dua pelabuhan utamanya, terutama
pelabuhan Kalapa, yang merupakan urat nadi perekonomian Pajajaran, karena
pelabuhan ini adalah yang terdekat dengan ibukota dan yang terpenting. Demikian
juga pelabuhan Banten, yang waktu itu menjadi pelabuhan interntional, karena
selat sunda waktu itu merupakan jalur utama perdagaangan, setelah selat
malaka dikuasai oleh Portugis.
Untuk pertahanan Banten, karena letaknya yang begitu
jauh dari ibukota, maka penjagaannya lebih dibebankan kepada penguasa kerajaan
Banten Girang, yang merupakan negara bagian kerajaan Pajajaran.
Dan pada tahun 1526 M, kerjasamanya dengan Portugis
mulai direalisasikan. Pada tahun tersebut, gubernur jendral Portugis di Malaka,
Alfonso d’Albuquerque mengirim enam kapal perang dibawah pimpinan
Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa. Kapal yang dikirim adalah jenis galleon
yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada itu
diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang.
4.. Serangan Cirebon - Demak pada tahun 1526 M
Mendengar akan kedatangan pasukan Portugis yang mulai
berangkat dari Malaka pada tahun 1526 M dengan membawa persenjataan. Pasukan
Demak dan juga pasukan Cirebon mulai bergerak untuk menguasai 2 pelabuhan
utama, yang nantinya akan dijadikan benteng Portugis.
Sultan Trenggono mengirimkan 20 kapal perang bersama
1.500 prajurit dibawah pimpinan Fatahillah menuju Sunda Kelapa. Armada perang
Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang
ukurannya jauh lebih kecil dari galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar
dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal
yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis.
Yang menjadi target pertama Cirebon dan Demak adalah
menguasai Kalapa (Jakarta). Sehingga terjadi peperangan. Tetapi karena
penjagaan dari pasukan Pajajaran sangat ketat, sehingga pasukan Cirebon-Demak
mulai terdesak. Sehingga kemudian mereka mengarahkan serangannya ke wilayah
banten, yang dianggapnya secara pertahanan sangat rapuh. Disamping itu salah
istri dari Syarif Hidayatullah berasal dari penguasa di Banten. Dan anaknya
yang bernama Maulana Hasanuddin telah membuat pasukan disana dan telah siap
membantunya.
Jadi terjadilah peperangan di Banten, penguasa Banten
yang merupakan kakak ipar Syarif Hidayatullah atau ua dari Maulana Hasanuddin
harus berhadapan dengan keponakannya sendiri. Dan akhirnya sang Ua- dapat
dikalahkannya.
Tidak hanya itu, untuk memudarkan konsentrasi raja Surawisesa,
pihak Cirebon juga mulai menyerang wilayah wilayah di timur Pajajaran. Sehingga
Banten dan Kalapa (jakarta) dengan mudah dapat dikuasai oleh Cirebon yang
dibantu Demak.
Dan setidaknya dalam 14 tahun berkuasa dari sang raja Surawisesa
ada 15 pront peperangan, seperti yang diungkap dalam naskah Carita
parahiyangan:
.....Perang limawelas kali henteu eleh. Dina
ngajalankeun peperangan teh kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung.
Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka
Gunungbatu. Perang ka Saungagung. Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar.
Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan. Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang
ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui.
Ratu tilar dunya. Lawasna jadi ratu opatwelas taun.
Di wilayah pelabuhan Sunda kelapa (jakarta sekarang),
Prabu Surawisesa menghadapi 3 pront peperangan, yaitu diarea pelabuhan itu
sendiri (di kalapa), Tanjung dan Ancol Kiyi. Karena mulai terdesak kemudian
pasukan Cirebon Demak mulai memfokuskan untuk menguasai pelabuhan kedua
kerajaan Pajajaran, yaitu Banten. Maka terjadilah perang di Banten (wahanten
Girang), Simpang dan juga Gunung Batu.
Di wilyah timur juga, Prabu Surawisesa harus
menghadapi pasukan Cirebon yang mulai menyerang Saung agung, Rumbut, Gunung
Banjar, Padang, Pagaokan, MUNtur, Hanum, pagerwesi dan medang Kahiyangan
(Sumedang sekarang).
a.. Pertempuran di Sunda kalapa, Tanjung dan Ancol
Kiyi
Pertempuran di sunda kalapa (Jakarta) dan sekitarnya terdiri dari 3 pront
pertempuran, yaitu Kalapa, Pront Tanjung dan Front Ancol Kiyi. Kalapa merupakan
pelabuhan utama Pajajaran, sedang Tanjung adalah sebuah kerajaan bawahan
kerajaan Pajajaran yang berada di aliran sungai CiLiwung. Dan Ancol Kiyi
adalah wilayah yang disebut ancol sekarang.
Sampai dengan dekade kedua abad ke-16, Sunda Kelapa
dan banten merupakan pelabuhan yang memiliki nilai strategis secara ekonomi dan
politik dari Kerajaan Hindu Pajajaran. Bandar ini menjadi pelabuhan perantara
paling ramai dikunjungi para pedagang Arab, India, Cina, dan para pedagang
Nusantara setelah Malaka.
Pada pertempuran di Kalapa pada awalnya pasukan
gabungan terdesak. Karena itu pasukannya kemudian dialihkan untuk menaklukan
Banten. Dan di tahun itu (1526 M) Banten dapat dikuasai, barulah Kalapa
diserang lagi dari 3 arah, dari Laut, dari sebelah barat diserang dari banten,
dan disebelah timur diserang dari Cirebon. Dan Kalapa ditaklukan oleh pasukan
Cirebon-Demak pada tanggal 22 Juni 1527 M, dibawah pimpinan Fatahillah, dan
dalam naskah carita parahiyangan disebut sebagai Arya Burah. Kemenangan ini
kemudian dijadikan sebagai hari kelahiran jakarta hingga kini.
b.. Pertempuran di Banten
Serangan yang dilakukan oleh Demak dan juga Cirebon,
pada awalnya menyerang kalapa, tetapi karena pertahanan militer dari pasukan
Raja Surawisesa sangat kuat, sehingga akhirnya pasukan ditarik untuk merebut
Banten (wahanten Girang). Dan pada tahun itu juga (1526 M) Banten dengan mudah
dapat dikuasai oleh pasukan gabungan Demak-Cirebon.
Setelah dapat menguasai Banten ini maka Pasukan
gabungan menggunakan Banten menjadi markas utamanya penyerangan terhadap
wilayah Pajajaran di bagian barat, termasuk penyerangan terhadap Kalapa. dan
dalam perkembangannya Banten kemudian menjadi negara yang independen.
Menurut berita Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di
antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, Pelabuhan Sunda
Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi
pedagang-pedagang dalam dan luar negri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil
negri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret
sebuah kota metropolitan
c.. Pertempuran Di Saung Agung
Saung Agung merupakan suatu kerajaan bagian pajajaran
yang terletak di kaki gunung Burangrang, dan diperkirakan di daerah Wanayasa
sekarang. Bujangga Manik dalam naskahnya menjelaskan bahwa gunung Burangrang
merupakan tapal batas (pilar) Saung Agung. Kerajaan Saung Agung merupakan
daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon pada tahun 1530 M,
di bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai Citarum, dimana
sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon.
Dalam Naskah Bujangga Manik, Gunung Burangrang
merupakan pilar (tapal batas) dari Saung Agung. Jadi keberadaan wilayah Saung
Agung adalah dii kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang
diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan Saung Agung. . Nama
Saung Agung, kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari
nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya
kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk
Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan,
Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih,
Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan,
Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan),
Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan
banyak lagi yang lainnya.
Wanayasa berasal dari kata “wana” dan “yasa” yang
berarti hutan yang sangat lebat. Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran),
tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain Carita Parahiyangan di
Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya
Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan,
Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu (perlu penyelidikan)
Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi
kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur
di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei
Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur
Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya
di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah
Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.
d.. Pertempuran di Medang kahiyangan
Medang kahiyangan merupakan nama sebuah kerajaan yang
nantinya bernama Sumedang Larang. Tentang nama Medang kahiyangan ini juga
diceritakan dalam naskah Bujangga Manik, dimana ia melewati daerah ini ketika
perjalanannya ke timur dan bali..
5.. Wilayah Wilayah Yang Mulai Takluk ke Cirebon
Disamping Banten, Kalapa mulai bisa ditaklukan secara
berurutan. Banyak raja raja daerah di bawah kerajaan Pajajaran, mulai
menyerahkan diri pada penguasa Cirebon. Diantaranya: Raja Talaga, Sunan
Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu
Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk
Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada
pasukan Cirebon. Salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat
sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian
diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan, karena
kuningan menjadi bagian Cirebon.
6.. Akhir Kisah Prabu Surawisesa
(Lanjut)
Meskipun dipertahankan dengan gagah berani, tetapi
akhirnya beberapa daerahnya dapat dikuasai oleh pasukan gabungan
Cirebon-Banten-Demak. Yang pertama kali jatuh ke tangan lawan adalah Banten,
diikuti oleh Kalapa (Jakarta), dan diikuti oleh beberapa daerah di sebelah
timur, seperti Talaga, Kuningan.
Banten merupakan salah satu pelabuhan utama dari
kerajaan pajajaran. Setelah Malaka dikuasai oleh Portugis, Banten menjelma
sebagai pelabuhan terpenting dalam perdagangan di Nusantara. Karena itu dengan
dikuasainya Banten, yang dikuti oleh jatuhnya Kalapa (Jakarta). Maka
perekonomian dan sumber pendapatan kerajaan Pajajaran lumpuh total.
Dengan jatuhnya banten, seolah menjadi pukulan
terberat dari Prabu Surawisesa, karena sebagai pelabuhan utama, banten justru
digunakan sebagai basis penyerangan ke wilayahnya di bagian barat. Dan tentu
bantuan dari masyarakat muslim terhadap banten ini semakin meningkat.
Seolah menjadi efek domino, dengan keberhasilannya
Banten ditaklukan lawan (1526 M), Pasukan gabungan kemudian dapat menguasai
Sunda kalapa, yang kenudian dinamakan jakarta (1527 M), Talaga (1529), Saung
agung (1530 M) dan yang lainnya.
a.. Melakukan
Perjanjian dengan Cirebon
Meskipun Cirebon yang dibantu Demak dapat menguasai beberpa pelabuhan penting
seperti Banten dan Kalapa (jakarta), tetapi Cirebon tidak dapat berbuat banyak
terhadap wlayah wilayah Pajajaran di Pedalaman. Kekuatan tentara Pajajaran di
pedalaman masih tangguh untuk ditaklukan. Hal ini misalnya dalam perang
Cirebon-Galuh di Bukit Gempol pada tahun 1528 M. Pasukan Cirebon dapat
dikalahkan. Hanyalah dapat selamat karena bantuan pasukan Demak datang tepat
pada waktunya. Sehingga dengan persenjataan meriam pasukan Cirebon-Demak dapat
menceraiberaikan pasukan pajajaran.
Suasana berperang antara Pajajaran dan pasukan
gabungan Cirebon Deemak telah berlangsung selama 5 tahun, dan akhirnya pada
tahun 1531 M diadakan perjanjian perdamaian antara Cirebon dan raja Surawisesa.
Kisah perjanjian ini dkisahkan dalam Naskah Wangsakerta kitab Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara.
Surawisesa adalah saudara seayah Lara santang yang
merupakan ibu Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) . Dengan dasar persaudaraan diantara kedua raja, maka pajajaran dan
Cirebon berjanji tidak akan saling menyerang dan masing masing berdiri sebagai
negara merdeka yang berdaulat.
Naskah perjanjian dibuat di Cirebon dan ditandatangani
oleh Syarif Hidayatullah dan Surawisesa. Dari pihak cirebon ikut menandatangani
bupati Banten (Maulana Hasanuddin), bupati Sunda kelapa (Fatahillah), dan putra
mahkota cirebon (Abdul Arifin, Pangeran Pasarean). Oleh karena itulah menurut
naskah sampai Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) meninggal (1568 M), dan
Fatahillah wafat (1570 M) tidak terjadi peperangan dengan Pakuan.
b.. Membuat Sasakala
(Prasasti Batutulis)
Setelah perjanjian dengan Cirebon pada tahun 1531 M,
seolah Surawisesa dapat menghela nafas untuk memperbaiki keadaan negara dan
urusan dalam negerinya.
Dan pada tahun 1533 M, pada upacara kematian ayahnya
yang ke-12 tahun atau dalam upacara Srada, yang dimaksudkan untuk menyempurnakan
sukma seseorang yang telah meninggal dunia. Upacara ini bisanya dlakukan 12
tahun setelah seseorang meninggal dunia.
Dan pada saat itu pula Prabu Surawisesa membuat
prasasti untuk mengenang kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Prasasti itu
dikemudian hari dikenal dengan Prasasti Batutulis (di bogor sekarang).
c.. Meninggalnya Sang
Raja
Pada tahun 1535 M, Prabu Surawisesa meninggal dunia,
dan digantikan oleh putranya yang bernama Ratu Dewata. Ia dimakamkan di
Padaren.
(Lanjut)
By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang
Sumber :
Sumber :
Danasasmita, Saleh, Menelusuri Situs Prasasti batutulis, Kiblat, Bandung,
2014
Danasasmita, Saleh, Mencari Gerbang Pakuan, Kiblat, Bandung, 2014
Ekadjati, Edi S., Dari Pentas Sejarah Sunda , Kiblat, Bandung, 2014
Internet: Wikipedia dan lain lain