Jika di Eropa kita mengenal Marcopolo sang pengembara / penjelajah yang sangat terkenal karena informasinya yang bermamfaat, Marcopolo lahir 15 September 1254 di Venesia, Italia, dia merupakan seorang penjelajah dan pedagang berkebangsaan Eropa yang memiliki kisah petualangan yang mengesankan. Kisah petualangan Marco Polo begitu terkenal karena gambaran Marco Polo akan daerah / tempat yang ia singgahi.
Marcopolo memulai perjalanannya ketika ia berusia 17 tahun dan merupakan orang barat pertama yang melakukan perjalanan ke Jalur Sutera ke Cina dan mengunjungi Kublai Khan. Ia mencatat perjalanannya dalam sebuah buku Il Milione. Buku ini menceritaan perjalanan dari Venesia ke Irak, Iran, Afghanistan, menyusuri Jalur Sutera ke China, dan kembali ke Venesia melalui Indonesia, Sri Lanka, dan India. Semua tempat yang ia kunjungi berikut masyarakat dan budayanya diabadikan oleh Marco Polo.
Dalam peradaban Islam di Maghribi kita juga mengenal Ibnu Batutah, sang pengembara yang informasinya juga sangat bermamfaat dalam mengungkap sejarah negeri-negeri yang dikunjunginya, termasuk negeri negri di indonesia. Nama sebenarnya Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati dan kemudian lebih dikenal dengan nama Ibnu Battutah.
Ibn Batutah lahir tahun 1304 M (723 H) di Tangier Maroko. ia dikenal karena petualangannya mengelilingi dunia. Hampir 120.000 kilometer telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 M atau tiga kali lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo. Karya perjalananya kemudian diberi judul "Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa-’Aja’ib al-Asfar" atau lebih dikenal dengan "Rihla Ibnu Battuta". Kisah perjalanannya ini juga menceritakan tentang kerajaan di Indonesia.
Di negeri Cina juga kita mengenal Laksamana Cheng Ho dengan beberapa penulisnya seperti Ma Huan, yang juga begitu banyak mengungkap sejarah negeri yang dikunjunginya, termasuk indonesia, yang banyak mengambil mamfaat dari tulisan-tulisannya.. Cheng Ho atau Zheng He atau lebih terkenal lagi dengan nama
Laksamana Cheng Ho adalah petualang bahari (lautan) muslim yang berasal dari
Cina pada masa dinasti Ming. Ia telah melakukan petualangan antar benua selama
7 kali berturut-turut dalam kurun 28 tahun (1405-1433 M). Tidak lebih dari 30
negara di Asia, Timur Tengah dan Afrika yang pernah ia singgahi. Cheng Ho
mendahului petualang-petualang Eropa : Cuolumbus (87 tahun kemudian), Vasco Da
Gama (1497 M) dan Ferdinand Magellan (114 tahun kemudian).
Di Indonesia meskipun dalam skala kecil, juga ada seorang pengembara asal tanah sunda yang bernama bujangga Manik. Bujangga manik adalah seorang Pangeran dari kerajaan Pajajaran, yang bernama Prabu Jaya pakuan, yang mengambil jalan hidup sebagai pendeta. Ia melakukan perjalanan 2 kali ke wilayah timur (jawa dan bali). Ia menulis kisah perjalanannya yang kemudian dinamai Naskah Bujangga Manik. Kisah perjalanannya dari tanah Sunda ke Bali telah begitu banyak menceritakan nama tempat, nama sungai dan keadaan masyarakat dizamannya. Meskipun tidak terlalu detail, tetapi kisah perjalanannya ini banyak memberikan keterangan yang bermamfaat dalam hubungannya dengan upaya mengungkap peradaban di indonesia di zamannya,
Naskah bujangga Manik
merupakan salah satu naskah primer peradaban
Sunda yang ada hingga kini. Naskah ini ditulis pada daun palma (lontar) dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno, dan dipekiraan ditulis pada abad ke-15 M. Manuskrip itu kini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, England. Sejak tahun 1627, naskah tersebut menjadi koleksi Perpustakaan Bodlelan, Oxford University. tersebut.
A. Keilmuan Sang Bujangga
Bujangga Manik atau nama aslinya Prabu Jaya Pakuan adalah
seorang pangeran kerajaan Sunda (bergelar Prabu karena masih kerabat raja) yang kemudian mengambil jalan hidup sebagai
pendeta. Dalam tulisannya ia mengambil nama Bujangga Manik. Dan ia juga menamakan dirinya dengan nama "Ameng Layaran" (petualang yang berlayar) setelah kisah perjalanan pertamanya.
Ia melakukan pengembaraan dalam upaya untuk mempelajari dan memperdalam agama yang diyakininya, sehingga ia hidup membujang hingga akhir hayatnya.
Ia melakukan pengembaraan dalam upaya untuk mempelajari dan memperdalam agama yang diyakininya, sehingga ia hidup membujang hingga akhir hayatnya.
Bujangga Manik merupakan seorang intelektual mumpuni dizamannya, ia mengetahui isi kitab-kitab, mengenal susunan buku buku, mengetahuai hukum dan nasehat-nasehat, dan mengenal sanghyang darma, serta menguasai bahasa jawa. Ia juga dikenal sebagai pemahat patung dan ahli bangunan. Di beberapa tempat ia memahat patung, dan merenovasi kembali kabuyutan / tempat suci yang sudah terbengkalai, dan membangun beberapa bangunan baik untuk tempat tinggalnya maupun tempat pertapaanya.
Ia juga terkenal sebagai ahli geografi yang mumpuni di zamannya. Ia telah menyajikan catatan perjalanan yang mengandung data topografis yang terperinci dan akurat. Dalam tulisannya, “Bujangga Manik’s Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source (Perjalanan Bujangga Manik menyusuri Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuna)” Noordyn, seorang peneliti asal Belanda menemukan sedikitnya 450 nama tempat (termasuk nama gunung dan sungai) dalam naskah Bujangga Manik, yang sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa.
Dalam sastra tulisannya menunjukan bahwa dia merupakan seorang sastrawan yang hebat. Naskah Bujangga Manik, berstruktur puisi dengan delapan suku kata, berbahasa Sunda Kuna, dan panjangnya mencapai sekitar 1.758 baris. Bujangga Manik mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis. Sebagaimana yang diteliti oleh Teeuw, seorang penelitti asal belanda, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan pola persajakan yang menawan.
Tekadnya untuk mengembara begitu kuat, disamping menolak terhadap pinangan putri raja, ia juga dengan tegas mengatakan kepada ibunya diawal keinginan keberangkatannya:
Ia juga terkenal sebagai ahli geografi yang mumpuni di zamannya. Ia telah menyajikan catatan perjalanan yang mengandung data topografis yang terperinci dan akurat. Dalam tulisannya, “Bujangga Manik’s Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source (Perjalanan Bujangga Manik menyusuri Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuna)” Noordyn, seorang peneliti asal Belanda menemukan sedikitnya 450 nama tempat (termasuk nama gunung dan sungai) dalam naskah Bujangga Manik, yang sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa.
Dalam sastra tulisannya menunjukan bahwa dia merupakan seorang sastrawan yang hebat. Naskah Bujangga Manik, berstruktur puisi dengan delapan suku kata, berbahasa Sunda Kuna, dan panjangnya mencapai sekitar 1.758 baris. Bujangga Manik mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis. Sebagaimana yang diteliti oleh Teeuw, seorang penelitti asal belanda, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan pola persajakan yang menawan.
“Bunda, tetaplah terjaga ketika berada di belakang, walau Bunda menarikku sekuat buaya, pertemuan ini akan menjadi saat terakhir kita bertatap muka, kau, Bunda, dan diriku, masih ada satu hari lagi, hari ini. Aku akan pergi ke Timur.”
B. Ketampanan Sang Bujangga
Disamping ilmunya yang mumpuni. Bujangga manik terkenal karena ketampanannya, Tentang ketampanannya, sangat mempesonakan pembantu putri raja, yang bernama Jompong Larang. karena itu Jompong Larang kemudian berkeinginan untuk menjodohkan Bujangga Manik dengan putri raja, yang bernama Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana” .
Jompong larang berkata kepada putri raja sebagai berikut:
“......nama laki-laki itu Ameng Layaran,
seorang laki-laki yang sangat tampan,
lebih tampan dari Banyak Catra,
lebih tampan dari Silih Wangi,
bahkan lebih tampan dari keponakan Putri.
Ia tinggi dan sangat diidam-idamkan,
laki-laki untuk dipeluk dan dibelai di beranda,
untuk ditimang-timang di ranjang,
ditimbang oleh peraturan,
untuk dirangkul di ruang tidur.
Selain itu ia bisa bahasa Jawa,
mengetahui isi dari kitab-kitab,
mengenal susunan buku-buku,
mengetahui hukum dan nasihat-nasihat,
mengenal sanghyang darma........”
Dari
ungkapan tersebut diatas, bahwa Bujangga Manik
terkenal sangat tampan (ganteng). Sehingga Jompong Larang
membandingkannya dengan orang yang tampan ditanah sunda baik sebelum dan
sesudahnya. Jompong larang membandingkan dengan ketampanan Banyak Catra, dan
Siliwangi. Dan ia juga membandingkan ketampanan keponakan putri raja, yang juga
terkenal tampan.
Dari
kisah ini sangat jelas bahwa Siliwangi merupakan raja yang telah berkuasa sebelum Bujangga
Manik. Jadi jelas bahwa Siliwangi
merupakan raja, bukan gelar raja-raja pajajaran, tetapi gelar raja, yang
kemungkinan besar nama gelar bagi maharaja Angalarang (Wastukancana) anak dari Prabu Wangi yang gugur di Bubat, tentang ketampanan “Banyak Catra”, belum ada
sejarah yang mengungkap siapa dia sebenarnya? Dan siapa juga keponakan sang
putri yang terkenal tampan juga?
C. Masa kekuasaan Di Pajajaran
Dari
tulisannya, karya Bujangga Manik ini diyakini ditulis pada abad ke-15
Masehi., dan sebelum Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511
M. Pada masanya sudah dikenal Demak, kemungkinan baru berdiri, dan Majapahit masih tetap berdiri.. Cirebon tidak diceritakan sama sekali, kemungkinan belum begitu dikenal waktu itul, dan Sumedang Larang masih dikenal dengan nama Medang Kahiyangan.
Tentang
penguasa atau raja sunda yang berkuasa dizamannya tidak diceritakan dalam
tulisannya, tetapi ia sezaman dengan putri raja yang bernama “ Putri Ajung
Larang Sakean Kilat Bancana”, yang
akan dijodohkan dengannya, tetapi ia menolak karena mau mengambil jalan hidup
sebagai seorang pendeta.
Putri
Ajung Larang Sakean Kilat Bancana terkenal sangat cantik sekali seperti diungkapkan
oleh ibunya dalam membujuknya supaya Bujangga manik mau menikah dengan sang
putri:
"......Mungkin kau tidak
tahu,
Sang Putri rupawan berkulit
indah bercahaya,
tubuh molek dan perilaku baik,
selain cantik juga mempunyai
keahlian,
terlindungi dengan baik dan
tak dapat dikalahkan,
rambut bewarna hitam
kebiru-biruan,
berilmu tanpa diajarkan,
cantik dari sejak lahir,
adil sejak dikeluarkan dari
kandungan,
dia tidak ada tandingannya.”
Dan dalam kritiknyaa terhadap
jompong larang terhadap kecerobohannya.
Ia menulis juga tentang kecantikan sang putri.
“.......Pahanya padat,
pergelangan tangannya molek,
jari tangannya runcing,
kukunya panjang,
alisnya melengkung, pelipisnya
menyatu,
susunan giginya yang indah,
........”
Bujangga manik hidup setelah era raja Siliwangi. karena dalam tulisanna menunjukan perbandingan dengan Siliwangi, karena itu ia hidup bukan di era Raja Siliwangi. Dan kemungkinan raja Siliwangi merupakan gelar dari Prabu Anggalarang (Prabu Wastukanana). Karena ia merupakan pengganti (silih) prabu Wangi yang meninggal di medan pertempuran Bubat.
Dari tulisannya juga menandai bahwa Pajajaran waktu itu sangat tenang dan tentram, karena tidak ada perselisihan, sehingga Bujangga Manik tidak pernah menulis tentang ketidaknyamanan di pajajaran (kerajaan sunda).
D. Kisah Perjalanannya
1. Perjalanan Pertama
Pangeran Jaya Pakuan merencanakan akan pergi ke timur. Ia
berangkat dari Pakancilan. ia berdiri dan berangkat, meregangkan kakinya
dan berjalan. Setelah ia meninggalkan pintu masuk aula, dan dari mimbar yang
paling ujung. Ia menapakkan kakinya di tanah, dan ia membuka pintu gerbang. Setelah
melewati Umbul. setelah pergi dari Pakancilan, ia kemudian sampai di Windu
Cinta, aku tiba di halaman paling luar, melewati Pancawara, untuk terus
pergi ke alun-alun besar, berjalan dengan mengenakan sehelai pakaian sebagai
hiasan kepala.
Sepeninggal Pakancilan, dan Umbul Medang ada di belakang, pergi ke Gonggong, ke Umbul Songgol.
Setelah melewati Leuwi Nutug, dan
pergi dari Mulah Malik, itulah jalan
ke Pasagi, jalan menuju Bala Indra, aku meninggalkan Paniis.
Setelah melewati Tubuy, aku
menyeberangi Sungai Cihaliwung, naik
menuju Sanghiang Darah, dan sampai
di Caringin Bentik. Setelah naik menuju Bala Gajah,aku berjalan melewatinya, bergerak turun ke Kandang Serang, dalam perjalanan menuju
Ratu Jaya. Ketika aku berjalan
melalui tempat itu, aku sampai di Kadu
Kanaka, menyeberangi Sungai
Cileungsi, memutar ke arah selatan menuju Gunung Gajah.
Pergi ke Pakeun
Caringin, aku melewatinya dengan segera. Aku pergi melewati Nangka Anak, dan datang ke Tajur Mandiri. Setelah aku tiba di Suka Beureus (sekarang
Sukabirus),, aku pergi ke Tajur Nyanghalang (sekarang Tajur), turun menuju Engkih, dan menyeberangi Sungai Cihaliwung (sekarang Sungai
Ciliwung). Setelah naik
menuju ke Banggis,aku melewatinya,
dan sampai di Telaga Hening, aku
meneruskan perjalanan ke Peusing.Berjalan
lurus ke depan, Aku menyeberangi Sungai
Cilingga.
Setelah tiba di Putih
Birit, aku harus melakukan sebuah pendakian yang panjang, (yang aku lakukan
sedikit demi sedikit.) Setelah tiba di Puncak,
aku duduk di atas sebuah batu pipih, dan mengipasi diriku sendiri. Di sana ia
melihat pegunungan: Terdapat Bukit
Ageung (sekarang Gunung Gede) , tempat tertinggi dalam kekuasaan Pakuan.
Setelah
pergi dari sana, aku pergi ke daerah Eronan.
Aku sampai di Cinangsi, menyeberangi
Sungai Citarum. Setelah berjalan
melewati daerah ini, aku menyeberangi Sungai Cipunagara, bagian dari daerah Medang
Kahiangan, berjalan melewati Gunung
Tompo Omas (sekarang nama Gunung
Tampomas , menyeberangi Sungai Cimanuk, berjalan melewati Pada Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk Manis, aku berjalan
melewati Conam, meninggalkan Gunung Ceremay. Setelah aku tiba di Luhur Agung (sekarang Luragung di daerah
Kabupaten Kuningan), , menyeberangi Sungai
Cisinggarung. (Cisanggarung)
Setelah
mencapai ujung dari Sunda, menyeberangi Sungai Cipamali, tibalah di daerah Jawa. Aku berkelana melewati wilayah-wilayah
berbeda di Majapahit, dan daerah
dataran Demak. Setiba di Jati Sari, aku datang ke Pamalang. Di sana aku tidak singgah
terlalu lama. Aku merindukan ibuku, yang telah ditinggalkan terlalu lama. Aku harus segera pulang. Tak ingin melalui jalan yang telah
kulewati.
Ada
kapal dari Malaka., ia kemdian pergi
dari Pamalang lalu menumpang berlayar. Tiba aku di muara, senapan ditembakkan tujuh kali, gong ditabuh, simbal
dibunyikan, genderang dan gendang dimainkan, suara yang keras datang dari
gubuk-gubuk, bernyanyi dengan teriakan keras.
Ia Berlayar
setengah bulan, kami berlabuh di Kalapa.
Namaku Ameng Layaran. Aku meninggalkan kapal. Sesampai di Pabeyan, (pelabuhan), aku
berjalan melewatinya, berjalan melalui Mandi
Rancan, sampai di Ancol Tamiang,
(sekarang Ancol), dan melewati Samprok.
(Semprug sekarang?), Setiba di hutan
yang luas, aku menyeberangi Sungai
Cipanas, berjalan melewati Suka
Kandang.Telah terlewati olehku Suka
Kandang, aku menyeberangi Sungai
Cikencal.Sesampai di Luwuk, aku
menyeberangi Sungai Ciluwer. (Sungai Ciluar), Sesampai di Peteuy Kuru, aku berjalan lewat Kandang Serang. Setelah mencapai Batur, yang telah kulewati, aku
menyeberangi Sungai Ciliwung. Sesampai
di Pakuen Tubuy, aku melewati Pakuen Tayeum.) (Tayem sekarang) Setelah
sampai di Batur, setiba di Pakancilan, aku membuka pintu gerbang, dan
pergi menuju rumah tamu yang dihias dengan baik. Paviliun yang dihiasi dengan
indah.
2. Perjalanan Kedua
Keinginan untuk merantau lagi yang kedua kalinya begitu kuat
pendiriannya, seperrti ddiungkapkan dalam tulisannya;
“Bunda, tetaplah terjaga saat ditinggal,
meski Bunda menarikku sekuat buaya,
aku akan pergi ke Balumbungan,
ke arah timur Talaga Wurung,
di atas puncak pulau ini,
pada puncak paling timur,
mencari tanah untuk makamku,
mencari lautan untuk hanyut,
tempat matiku kelak,
tempat membaringkan tubuhku.”
Ia berdiri dan
berangkat, meregangkan kakinya dan pergi.Meninggalkan tempat di mana mereka
duduk,turun dari ujung mimbar,berjalan turun pelan-pelan. Setelah meninggalkan
aula-masuk, dan melewati alun-alun istana, membukakan pintu gerbang.
Setelah tiba di Bukit Caru, tanda peringatan dari Raja Cupak, menuju arah timur ke Citeureup, aku sampai di Tandangan, menyeberangi Sungai Cihoe, menyeberangi sungai Ciwinten, dan sampai di Cigeuntis.
Setelah naik ke Goha,
setiba di Timbun, pergi menuju Bukit Timbun, aku tiba di Mandata, menyeberangi Sungai Citarum, berjalan melewati Ramanea. Setiba di Gunung
Sempil, berada di belakang Gunung
Bongkok, dan tiba di Gunung Cungcung,
dalam wilayah Saung Agung.
Telah aku lalui,lalu berbelok menuju timur,menyeberangi Sungai Cilamaya, menyeberangi Sungai Cipunagara, dalam wilayah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tompo Omas, menyeberangi Sungai Cimanuk, pergi melalui Pada Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk-Manis. Aku berjalan melewati Conam, Gunung Ceremay
telah kutinggalkan, Timbang dan Hujung Barang, Kuningan Darma Pakuan, semua
tempat itu telah kulalui.
Setelah tiba di Luhur Agung, aku menyeberangi Sungai Cisinggarung. Setelah tiba di ujung Sunda, sampailah di Arga
Jati, dan tiba di Jalatunta, yang menyimpan kenangan Silih Wangi.
Setelah pergi dari
tempat itu,aku menyeberangi Sungai
Cipamali, menuju selatan Gunung
Agung, ke bagian sebelah kiri wilayah Brebes.
Berjalan melewati Medang Agung, menyeberangi Sungai
Cibulangrang, berjalan melewati Gunung
Larang, pedalaman di wilayah Gebuhan,
aku berjalan melewati Sangka,
melewati Suci, ke Agi-Agi, melewati Moga Dana Kreta. Setelah pergi dari tempat itu, aku menyeberangi Sungai Cicomal, menyeberangi Sungai Cipakujati, berjalan melewati Sagara, sampai di Balingbing, kekuasaan Arga
Sela, dari Kupang dan Batang.
Ke arah kiri ke Pakalongan. Setelah tiba di Gerus, di Tinep dan Tumerep, aku
telah melaluinya, tiba di wilayah Tabuhan,
tiba di Darma Tumulus, berjalan melewati Kali Gondang.
Setiba di Mano Hayu, berjalan melewati Panjinaran, sampailah aku di Panjalin. Setiba aku di Sembung, berjalan melewati Pakandangan.
Sedatang aku ke Padanara, menunjuk
pegunungan di arah selatan: terdapat Gunung
Rahung, dari arah barat Gunung
Dieng, ada Gunung Sundara, ada Gunung Kedu, di selatan ada Gunung Damalung, tempat-tempat itu
adalah wilayah Pantaran, itulah Gunung Karungrungan, di mana terdapat peninggalan dewa-dewa, ketika merindukan
dewi-dewi.
Di arah timur terdapat
Gunung Merapi, menjaga peninggalan Darmadewa, yang merupakan wilayah Karangian. Aku meninggalkan Danara, datang ke Pidada. Setelah aku tiba di
Jemas, di sebelah kiriku adalah wilayah
Demak,ke arah timur Gunung Welahulu.
Aku berjalan melalui Pulutan, pergi
ke Medang Kamulan.
Setelah tiba di Rabut
Jalu, aku berjalan melewati Larangan. Setelah tiba di Jempar, aku menyeberangi Sungai
Ciwuluyu, tiba di wilayah Gegelang,ke
arah selatan Medang Kamulan, lalu
tiba di Bangbarung Gunung.
Setiba di Jero Alas, aku menyeberangi Sungai Cangku, berjalan melewati Daha. Setelah meninggalkan tempat itu, tibalah aku
di Pujut, menyeberangi Sungai Cironabaya, berjalan melewati Rambut Merem. setiba di Wakul, sampai di Pacelengan,
aku berjalan melewati Bubat, dan
tiba di Maguntur, alun-alun Majapahit, pergi melewati Darma Anyar, dan Karang Kajramanaan, sebelah
selatan Karang Jaka.
Setiba di Palintahan, setelah meninggalkan Majapahit, aku mendaki Gunung Pawitra, gunung suci Gajah Mungkur. Ke arah timur adalah wilayah Gresik, ke arah selatan Gunung Rajuna.
Telah kulalui, aku berjalan melewati Patukangan, dan tiba di Rabut
Wahangan, berjalan ke arah timur.
Lereng Gunung Mahameru, Aku
melewatinya di sisi sebelah utara. Sampai di Gunung Brahma, tibalah aku di Kadiran,
di Tandes, di Ranobawa. Berjalan aku ke
timur-laut. Tiba aku di Dingding,
pusat kedudukan dewaguru. Sepergi dari tempat itu,tibalah di Panca Nagara.
Setelah aku tiba di Sampang,
sesampai di Gending, aku menyeberangi
Sungai Cirabut-Wahangan. Setelah aku
tiba di Lesan, yang merupakan wilayah Panjarakan, kuberjalan ke arah tenggara,
berjalan melewati Kaman Kuning,
melewati Gunung Hiang,yang aku lewati dari sisi utara.
Ketika aku tiba di Gunung
Arum, yang merupakan wilayah Talaga
Wurung, ke arah utara adalah Panarukan,
ke arah kiri adalah Patukangan.
Sesampai di
Balangbungan, di sana aku bertapa, Sementara melepas lelah. Kemudian aku bercocok tanam, lalu mendirikan
lingga,menyembah ... memuja ...,berdoa untuk kekuatan diri. Di sana aku tidak
tinggal lama,Selama satu tahun lebih.
(lanjut)
E. Mengenal Tempat Tempat Yang Pernah di Kunjungi oleh Bujangga Manik
1. Letak Ibukota Pajajaran
(lanjut)
E. Mengenal Tempat Tempat Yang Pernah di Kunjungi oleh Bujangga Manik
1. Letak Ibukota Pajajaran
Dari kisah perjalanan Bujangga Manik yang paling berharga adalah kita bisa memperkirakan dengan jelas dimana lokasi Ibukota Pajajaran itu berada, dan juga jalan-jalan utama menuju ibukota, baik ke wilayah timur atau ke pelabuhan (pabeyan) kelapa (jakarta sekarang).
Dalam perjalanan pertama, setelah sang pangeran meninggalkan rumahnya di pakancilan, setelah melewati Umbul, ia kemudian sampai di Windu Cinta, aku tiba di halaman paling luar, melewati Pancawara, untuk terus pergi ke alun-alun besar, pergi ke Pakeun Caringin, aku melewatinya dengan segera. Aku pergi melewati Nangka Anak, dan datang ke Tajur Mandiri. Setelah aku tiba di Suka Beureus (sekarang Sukabirus),, aku pergi ke Tajur Nyanghalang (sekarang Tajur), turun menuju Engkih, dan menyeberangi Sungai Cihaliwung (sekarang Sungai Ciliwung).
Dan perjalanan kembalinya yang pertama, setelah dari kalapa (jakarta sekarang), ia berjalan melalui Mandi Rancan, Ancol Tamiang, (sekarang Ancol), Samprok. menyeberangi Sungai Cipanas, melewati Suka Kandang, menyeberangi Sungai Cikencal, lewat Luwuk, menyeberangi Sungai Ciluwer (Sungai Ciluar), sampai di Peteuy Kuru, berjalan lewat Kandang Serang., Batur, menyeberangi Sungai Ciliwung. Sesampai di Pakuen Tubuy, melewati Pakuen Tayeum.) (Tayem sekarang) Setelah sampai di Batur, setiba di Pakancilan,.
Pada perjalanan kedua, Bujangga manik mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang pertama. Dari Pakancilan, dan Umbul Medang, ia pergi ke Gonggong, ke Umbul Songgol. Setelah melewati Leuwi Nutug, dan pergi dari Mulah Malik, itulah jalan ke Pasagi, jalan menuju Bala Indra, aku meninggalkan Paniis. Setelah melewati Tubuy, aku menyeberangi Sungai Cihaliwung, naik menuju Sanghiang Darah, dan sampai di Caringin Bentik.
Pada perjalanan kedua, ia tidak pulang ke rumahnya di Pakancilan, tetapi ia memilih menjadi pertapa di tempat suci Karagcarencang Hulu Sungai Cisokan Gunung Patuha.
Jadi jelaslah kita bisa menentukan lokasi dimana ibukota pajajaran berada, yaitu sekitar pakancilan, sebelah barat sungai Ciliwung, sebelah barat Nangka anak dan Tajur. atau sebelah seatan Tayeum atau Batur.
2. Nama Nama Negara Bagian / wilayah di Kerajaan Sunda
Dalam kepulangannya ke tanah sunda, Bujangga Manik banyak membicarakan tempat, batas batas wilayah suatu daeah dann nama kerajaan bawahan kerajaan sunda/ kerajaan pajajaran diataranya:
a. Wilayah Ujung Galuh
Sesampai di Hujung Galuh
melewari Geger Gadung
aku menyeberangi Sungai Ciliwung
berjalan terus ke utara
b. Wilayah Saung Galah
Sesampai di Saung
Galah
berangkatlah aku dari sana
ditelusuri Saung Galah
Gunung Galunggung di belakang saya
melewati Panggarangan
melalui Pada Beunghar
Pamipiran ada di belakangku.
Berjalan melewati Timbang
Jaya,
pergi ke Gunung Cikuray,
seturunku dari sana,
pergi ke Mandala Puntang.
Dari Timbang jaya, Bujangga Manik melewati Gunung CiKuray. Gunung Cikuray adalah sebuah gunung yang terletak di
Kabupaten Garut, Gunung Cikurai mempunyai ketinggian
2.841 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi keempat di
Jawa Barat setelah Gunung Gede. Gunung ini berada di perbatasan kecamatan
Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggun.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan
Bujangga Manik ketika trun dari gunung Cikuray, ia pergi ke Mandala Puntang, Kerajaan Mandala puntang berada di Panembong Bayongbong Garut, dan nantinya menjadi cikal bakal kerajaan Timbanganten. Raja terakhir Kerajaan Mandala Dipuntang, Prabu Derma Kingkin memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong). Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten.
Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten nantinya termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung, daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar. Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Sejak pertengahan Abad ke-15 M, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar tatar sunda, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
d. Wilayah Danuh
Setelah menanjak ke Gunung
Papandayan,
yang juga dipanggil Panenjoan,
aku melihat pegunungan dari sana,
jajaran (?) pemukiman di mana-mana,
semua desa, semua pemukiman,
peninggalan Nusia
Larang yang mulia.
Aku melihat mereka satu per satu.
Di arah selatan adalah wilayah Danuh,
di timur Karang
Papak,
Setelah Bujangga Manik naik ke Gunung Papandayan, yang ia sebut dengan Panenjoan (tempat penglihatan). Ia melihat satu persatu wilayah kekuasaan Pajajaran, Ke aeah Selatan wilayah Danuh,di timur karang papak, dan di barat balawong yang merupakan wilayah Pager Wesi.
.Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang
terletak di Kabupaten Garut,, tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung mempunyai ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km
sebelah tenggara Kota Bandung.Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal.
Di Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang
terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk.
Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.
e. Wilayah Pager Wesi
di barat tanah Balawong,
merupakan Gunung
Agung,
pilarnya Pager Wesi.
Itu Gunung Patuha,
penopang Majapura.
Bujangga manik mengungkapkan bahwa Gunung Patuha merupakan pilar/ perbatasan wilayah Majapura.
Gunung Patuha merupakan sebuah gunung yang terdapat di sekitar Bandung Selatan. Tingginya 2.386 meter. Gunung patuha memiliki kawah yang sangat eksotik, yaitu kawah putih. Kawah yang terbentuk dari letusan gunung patuha itu memiliki dinding kawah dan air yang berwarna putih, . yang sekarang dijadikan obyek wisata.
g. Pasir Batang
Itu Gunung Pamrehan,
penopang Pasir
Batang.
h. Wilayah Maruyung dan Wilayah Losari
Itu Gunung Kumbang,
pilarnya Maruyung,
ke arah utara wilayah
Losari.
Bujangga Manik mengatakan bahwa Gunung Kumbang merupakan tapal batas Maruyung, ke arah utaranya wilayah Losari.
i. Pada Beunghar, Wilayah Kuningan, Wilayah Talaga
Bujangga Manik mengatakan bahwa Gunung Kumbang merupakan tapal batas Maruyung, ke arah utaranya wilayah Losari.
i. Pada Beunghar, Wilayah Kuningan, Wilayah Talaga
Itu Gunung Ceremay,
pilarnya Pada Beunghar,
di selatan wilayah Kuningan,
ke baratnya Walang Suji,
di situlah wilayah Talaga.
Menurut Bujangga manik, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah Talaga.
Gunung Ceremai adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam),
Gunung Ceremai adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam),
Jad menurut Bujangga manik di sekitar Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan dan Talaga. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin waktu itu belum begitu dikenal.
i.i. Kerajaan Pada beunghar
Belum ada yang mencatat tentang sejarah Padabeunghar ini. Padahal Bujangga manik telah mengatakan bahwa Gunung Ciremay merupakan pilar (tapal batas) Padabeunghar. Kemungkinan Padabeunghar ini terletak di desa Padabeunghar yang merupakan nama sebuah desa yang terletak di kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan. Nama Padabeunghar ini juga sekarang dapat ditemui di suatu desa di Sukabumi, yaitu desa Padabeunghar, sebuah desa yang terletak di kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi.
i.ii. Kerajaan Kuningan
i.ii. Kerajaan Talaga
Bujangga Manik mengatakan Walangsuji merupakan wilayah Kerajaan Talaga. Walangsuji diyakini merupakan ibukota dari kerajaan Talaga.
Kerajaan Talaga didirikan oleh Prabu Talaga manggung. Setelahnya, anaknya yang menggantikannya, yang bernama Ratu Simbarkancana, kemudian Kerajaan Talaga dipegang oleh putera pertamanya yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung meninggal, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puterinya yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan tidak lagi di walangsuji, tetapi dipindahkan ke Parung.
i.i. Kerajaan Pada beunghar
Belum ada yang mencatat tentang sejarah Padabeunghar ini. Padahal Bujangga manik telah mengatakan bahwa Gunung Ciremay merupakan pilar (tapal batas) Padabeunghar. Kemungkinan Padabeunghar ini terletak di desa Padabeunghar yang merupakan nama sebuah desa yang terletak di kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan. Nama Padabeunghar ini juga sekarang dapat ditemui di suatu desa di Sukabumi, yaitu desa Padabeunghar, sebuah desa yang terletak di kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi.
Para peneliti masih kebingungan dengan Padabeunghar ini, apakah hanya merupakan ibukota atau nama keerajaannya juga. Ada yang mengaitkan bahwa Padabeunghar di era Bujangga Manik sama dengan Rajagaluh sekarang. Mengingat pada arti pada artinya kaki
gunung, dan beunghar artinya kaya atau sugih-mukti. hal itu mirip dengan loh jinawi
(loh = tanah, jinawi = subur-makmur). Dengan demikian Raja artinya yang menguasai, galuh artinya permata; rajagaluh sama artinya dengan yang banyak mempunyai permata,
alias kaya.
Seidaknya ada 2 kali Bujaangga Manik berbicara tentang Padabeunghar ini, sebelumnya ketika setelah dari Saunggalah perjalananya ke barat ia melewati Padabeunghar.
Sesampai di Saung Galah
Sesampai di Saung Galah
berangkatlah aku dari sana
ditelusuri Saung Galah
Gunung Galunggung di belakang saya
melewati Panggarangan
melalui Pada Beunghar
Pamipiran ada di belakangku.
Kerajaan Kuningan merupakan salah
satu kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui kapan kerajaan ini didirikan, yang pasti awalnya
kerajaan ini merupakan bawahan keresian
Galunggung, Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai putri
yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari Batara
Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari Galunggung, putra dari pendiri galuh,
Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang atas permntaan
Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke menantunya, Demunawan.
Masa Demunawan (723 - 774)
Resi Demunawan mendirikan
ibukota baru Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile atau Saung Galah. Dengan demikian pada
periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung
Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian
selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten
Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung),
menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada
Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan
beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku. Sebagai
seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat
dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang,
Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan,
Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan
ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (ajaran Kitab Suci),
serta Sanghiyang Riksa (sepuluh
pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan
tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah
menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat
itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara antara sesama
keturunan Wretikandayun terjadi kembali
pada tahun 739 M. Antara Sonjaya yang membantu Hariang Banga dan Manarah
(Ciung Wanara). Perang menelan banyak
korban jiwa.. Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk
meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai
seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang
bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739 M.
Resi Demunawan pada tahun 774
M, Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun. Setelahnya seolah kerajaan Kuningan hilang
ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru
mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan ibukota pemerintahan Kerajaan
Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun
1019.
Mulai periode tersebut,
hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang
memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163 riwayat
Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah. Adalah Raja
Sunda, Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja sunda ke-24,
Prabu Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya itu, Rakeyan
Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada
tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir,
dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan
menggantikan ayahnya yang wafat.
Prabu Ragasuci (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak
dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja
Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah
sambil menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi raja
Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan
Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya
menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda. Baru
pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan
wilayah ini secara otonom.
Ratu Selawati (sekitar abad
ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari
Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu Selawati,
penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini
merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di
wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren
Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin pesat
setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi
muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh
Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan
mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota
Kuningan.
i.ii. Kerajaan Talaga
Bujangga Manik mengatakan Walangsuji merupakan wilayah Kerajaan Talaga. Walangsuji diyakini merupakan ibukota dari kerajaan Talaga.
Kerajaan Talaga didirikan oleh Prabu Talaga manggung. Setelahnya, anaknya yang menggantikannya, yang bernama Ratu Simbarkancana, kemudian Kerajaan Talaga dipegang oleh putera pertamanya yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung meninggal, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puterinya yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan tidak lagi di walangsuji, tetapi dipindahkan ke Parung.
j. Medang Kahiangan (Sumedang sekarang)
Itu Gunung Tampo Omas,
Itu Gunung Tampo Omas,
di wilayah Medang Kahiangan.
Setidaknya Bujangga manik melewati Medang kahiyangan 3 kali dalam perjalananya ke wilayah timur, yaitu pada keberangkatan perjalanan pertama, keberangkatan perjalanan kedua dan sekmbali dari perlanan yang kedua, Medang Kahiangan adalah wilayah sumedang sekarang ini, atau dikemudian hari terkenal dengan kerajaan Sumedang Larang. yang mewarisi kekuasaan wilayah Pajajaran, ketika pajajjarann burak / runtuh. Bujangga Manik belum menyebut nama Sumedang Larang tetapi masih nama Medang Kahiyangan.
Satu-satunya gunung besar yang ada di Medang kahiyangan adalah Gunung Tampomas (gunung Tompo Emas) yang mempunyai ketinggian 1.684 diatas permukaan laut.
k. Wilayah Gunung Wangi
Itu Gunung Tangkuban Parahu,
pilarnya Gunung Wangi.
Menurut Bujangga Manik, Gunung Tangkuban Parahu merupakan pilar atau perbatasannya wilayah Gunung Wangi.
Gunung
Tangkuban Perahu berada di kabupaten bandung dan juga Subang. Gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter dan termasuk gunung api aktif.. Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Itu Gunung Marucung,
pilarnya Sri Manggala.
itu Gunung Burangrang,
pilar dari Saung Agung.
Gunung Burangrang merupakan
sebuah gunung api mati, ditataran Sunda yang
mempunyai ketinggian setinggi 2.064 meter. Gunung ini merupakan
salah-satu sisa dari hasil letusan besar Gunung Sunda di Zaman Prasejarah. Gunung
Burangrang bersebelahan dengan Gunung Sunda.
Dikatakan oleh Bujangga Manik bahwa Gunung Burangrang, merupakan pilar perbatasan/ tapal batas wilayah Saung Agung. Di kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan Saung Agung.
Wanayasa berasal dari kata
“wana” dan “yasa” yang berarti hutan yang sangat lebat. Pada zaman Kerajaan Sunda
(Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain Carita
Parahiyangan di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama
Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu
Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada
masa itu (perlu penyelidikan)
.
Kerajaan Saung Agung merupakan
kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon .Pada tahun 1530, bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan
Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon.
Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama
yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya
kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk
Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan,
Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih,
Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan,
Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan),
Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan
banyak lagi yang lainnya.
Di bidang pemerintahan,
Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika
merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur
Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan
Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur
Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah
menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon
termasuk di dalamnya.
Wilayah Hujung Barat
Itu Gunung Burung Jawa,
pilarnya Hujung Barat.
Wilayah Gunung Anten
Itu Gunung Bulistir,
pilarnya Gunung Anten.
Wilayah Batu Hiang
Itu Gunung Nagarati,
pilarnya Batu Hiang.
Wilayah Kurung Batu
Itu Gunung Barang,
pilarnya wilayah Kurung
Batu.
Wilayah Sajra
Itu Gunung Banasraya,
pilarnya wilayah Sajra,
ke barat Gunung Kosala
Itu Gunung Catih,
pilarnya Catih Hiang.
Itu Gunung Hulu Munding,
pilarnya Demaraja,
ke barat Gunung Parasi,
pilarnya Tegal Lubu,
ke timurnya Sedanura,
yang menghadap wilayah
Sinday.
Ini Gunung Kembang,
tempat segala macam
pertapa,
ti kidulna alas Maja,
eta na alas Rumbia.
(ke selatannya wilayah
Maja,
yang merupakan wilayah
Rumbia.
Ke baratnya batas Mener,
pilarnya Bojong Wangi.
Itu Gunung Hijur,
pilarnya Kujang Jaya.
Itu Gunung Sunda,
pilarnya Karangiang
Itu Gunung Karang,
pilarnya wilayah Karang.
Itu Gunung Cinta Manik,
pilarnya wilayah Rawa.
Itu Gunung Kembang,
pilarnya Labuhan Batu.
Ke arah utara wilayah
Panyawung,
pilar dari wilayah Wanten.
Dalam perjalanannya ke tempat suci yang berada di tataran sunda, dan jawa serta Bali, ia setidaknya telah singgah dibeberapa tempat penting untuk ziarah, yaitu:
a. Perjalanan pulang di sekitar Gunung bromo dn gunung semeru
Setelah pergi dari sana,
aku datang ke Sarampon.
Setelah aku tiba
di Cakru,
beranjak dari tempat itu,
aku berjalan ke baratdaya,
pergi ke wilayah Kenep,
tiba di Lamajang Kidul,
melewati Gunung Hiang,
datang ke Padra.
Lereng Gunung Mahameru,
aku lewati dari sisi selatan.
Setelah datang ke
Ranobawa,
berjalan melewati Kayu Taji.
Setelah berangkat
dari sana,
tibalah aku di Kukub,
aku pergi ke Kasturi,
tiba di Sagara Dalem,
berjalan melalui Kagenengan,
mendaki Gunung Kawi,
yang kulewati dari sisi selatan.
Setiba ke
Pamijahan,
aku berjalan ke arah barat,
melewati Gunung Anyar,
tibalah aku di Daliring.
Dalam perjalanan pulang ke tanah sunda dar Bambangan, Bujangga Manik melewati banyak tempat di sekitar gunung Bromo dan Semeru. Beberapa nama tempat masih
dapat dikenali hingga sekarang seperti Kagenengan,
Sagara Dalem, Gajah Mungkur, Mahameru, Brahma. Dan beberapa nama tempat
lainnya sudah tidak dikenali lagi sekarang, seperti Kayu Taji, Kukub dan Kasturi. Beberapa nama tempat lainnya dapat
ditelusuri dengan membuat perbandingan dengan naskah-naskah lain seperti
Nagarakretagama, Tantu Panggelaran, Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Aji Saka,
dan lain-lainnya.
Sebelumnya juga ia melewati Sarampon, Cakru, wilayah Kenep, Lamajang Kidul, Gunung Hiang, dan .Padra.Bujangga Manik menyebut nama Cakru. Sekarang daerah itu menjadi nama des di kecamata Kencong kabupaten jember. Dan sekarang desa tersebut sudah dimekarkan menjadi desa cakru dan desa Paseban. Bujangga Manik sempat mampir didesa ini, yang letaknya sebelah selatan Lumajang. Selain desa cakru, Bujangga manik juga menyebut nama Gunung Watangan dan melihat Nusabarong.
Sebelumnya juga ia melewati Sarampon, Cakru, wilayah Kenep, Lamajang Kidul, Gunung Hiang, dan .Padra.Bujangga Manik menyebut nama Cakru. Sekarang daerah itu menjadi nama des di kecamata Kencong kabupaten jember. Dan sekarang desa tersebut sudah dimekarkan menjadi desa cakru dan desa Paseban. Bujangga Manik sempat mampir didesa ini, yang letaknya sebelah selatan Lumajang. Selain desa cakru, Bujangga manik juga menyebut nama Gunung Watangan dan melihat Nusabarong.
Nama Sagara Dalem dalam uraian kisah perjalanan Bujangga Manik ini
terletak di antara Gunung mahameru (sekarang semeru) dan Kagenengan yang berada di sebelah barat Gunung Semeru. nama Sagara
Dalem mungkin sekarang nama sebuah kampung Segaran yang terletak di Desa
Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Di kampung ini pernah
ditemukan benda arkeologi yang berupa batu bata kuno di Punden Mbah Cengkaruk.
Setelah melewati Sagara Dalem,
Bujangga Manik melanjutkan perjalanan menuju Kagenengan. Nama Kagenengan pada
saat ini diduga merupakan nama Desa Genengan yang terletak di sebelah barat
Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. atau Dukuh Kagenengan di Desa Parangargo, Kecamatan Wagir. Kagenengan
pada masa lampau merupakan tempat suatu kelompok komunitas keagamaan. Dalam
uraian Kitab Nagarakrtagama disebutkan bahwa Kagenengan merupakan sebuah
pendharmaan dari Raja Rajasa (Ken Angrok).
Pacira adalah sebuah kategan
(Tantu Panggelaran) atau katyagan (Nagarakertagama ), yang dalam pandangan
Bujangga Manik rute itu mungkin terletak di sebelah timur Gunung Mahameru,
mungkin sekarang tidak jauh dari Candipura dekat Pasirian.
Kayu Taji adalah sebuah
patapan (TP) dan Kukub adalah sebuah mandala
(TP,. Nag). Keduanya terletak di dekat Gunung Mahameru. Jika merunut rute yang dilalui Bujangga Manik mungkin di sisi
selatan atau barat dari Gunung Semeru. Hal itu berarti bahwa pusat keagamaan
Kukub yang memainkan peran dalam Kidung Panji Margasmara terletak di selatan
agak timur dari Singosari dan tidak di wilayah Gunung Hyang.
Kasturi terdaftar sebagai
sebuah mandala di Nagarakertagama, dan di bagian lain disebutkan bersama-sama
dengan Kukub dan Sagara sebagai kelompok tiga mandala dekat Gunung Mahameru.
Sagara dalam Nagarakertagama mungkin dapat disamakan dengan Sagara Dalem
menurut Bujangga Manik, yang harus ditempatkan di antara Gunung Mahameru dan
Kagënëngan. Sagara adalah sebuah dharma (Nag) yang letaknya tidak jauh di
selatan Kota Malang. Sagara Dalem ini berbeda dengan mandala terkenal Sagara di
Gunung Hyang, yang pernah dikunjungi oleh Hayam Wuruk (Nag) dan disebutkan juga
di Prasasti Batur dan Tantu Panggelaran (TP).
Di antara Gunung Kawi dan
Gunung Kampud (sekarang: Kelud) Bujangga Manik melewati Gunung Anar, yang
mengingatkan kita pada catatan Pararaton bahwa pada tahun 1376 “hana gunung
Anar“, ada (munculnya) sebuah gunung baru (Par). Gunung Kelud merupakan
vulkanik, sangat mungkin bahwa bukit baru yang telah terwujud itu adalah Gunung
Anar yang dimaksud dalam catatan Pararaton.
b. Singgah dan Tinggal di Tempat Suci Rabut Palah di Gunung Kelud
Sesampai
di Gunung Kampud,
aku
datang ke Rabut Pasajen.
Tempat
ini dataran tinggi Rabut Palah,
tempat
suci Majapahit,
yang
dimuliakan oleh orang Jawa.
Aku membaca Darmaweya,
juga
Pandawa Jaya.
Setelah
itu keingintahuanku terpuaskan,
aku
dapat bicara bahasa Jawa,
juga
mampu menerjemahkannya.
Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
selama
satu tahun lebih.
Aku
tidak tahan suara yang terus bunyi,
yang
datang untuk beribadah dan mempersembahkan emas,
yang
beribadah tanpa henti,
berkelana
di sekitar ibukota
Dalam upayanya mengunjungi
beberapa tempat suci Hindu-Buddha baik di wilayah Jawa bagian tengah ataupun
Jawa bagian timur, Bujangga Manik
menceritakan bahwa ia sempat singgal di Rabut
Palah di gunung kampud (sekarang gunung kelud), dan tinggal di kompleks bangunan
suci itu sekitar satu tahun. Disana ia tidak hanya melakukan pemujaan, tetapi
juga meningkatkan pengetahuannya dalam bidang kesusastraan dan memperdalam
bahasa Jawa.
Nama Palah merupakan nama sebuah tempat suci yang termuat dalam prasasti di Komplek Candi Penataran. Dalam prasasti yang berangka tahun 1119 Saka atau 1197 Masehi yang dikeluarkan oleh Raja Crengga dari kerajaan Kadiri, menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah. Menurut para sarjana yang dimaksud Palah adalah Panataran. Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815, oeh gubernur jendral inggris di indonesia Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826)
Rabut Palah bukan merupakan
candi pendharmaan, karena merupakan kompleks yang relatif luas. Rabut Palah
adalah candi kerajaan yang telah disucikan sejak zaman Kadiri hingga periode
akhir Majapahit, jadi masa berfungsinya percandian itu membentang sejak temuan
prasasti tahun 1197 Masehi (jaman Kadiri) hingga tahun 1454 Masehi dari zaman
kemunduran Majapahit.
Sebelum mengunjungi Rabut
Palah Bujangga Manik terlebih dahulu mendatangi Rabut Pasajen yang merupakan
bangunan suci yang juga disakralkan oleh orang Jawa. Lokasi bangunan Rabut
Pasajen itu letaknya di lereng yang lebih tinggi dari lokasi Rabut Palah pada
lereng Gunung Kelud yang sekarang menjadi Candi Gambarwetan.
Ia kemudian meninggalkan
tempat itu karena tidak tahan terhadap kegaduhan pendatang yang melakukan ritual
keagamaan dan persembahan.
c. Tinggal Di kabuyutan (tempat Suci) Gunung Sembung, di Hulu Sungai Citarum
Bujangga Manik pernah tinggal di kabuyutan (tempat suci) Randa Goda di Gunung Patuha (gunung Patuha Ciwidey Bandung selatan, Ia bahkan membangunnya kembali sebagai tempat pertapaan. Kemungkinan sebelum kedatangan Bujangga Manik kabuyutan ini terbengkalai, karena itu ia membangun kembali situs ini sebagai tempat pertapaan). Bujangga Manik bertapa dan melakukan ibadah disini setahun lebih.
Sebelumnya ia bertapa di Ujung Kulon, di kabuyutan yang ada di Ujung Kulon, di Gunung Bulistir, di hulu sungai Cimarinjung. Perjalanannya dari Ujung Kulon, menuju kabuyutan di Randa goda (daerah ciwidey sekarang), ia telah melewati beberapa sungai, gunung dan kampung, seperti yang diungkapkan olehnya;
c. Tinggal Di kabuyutan (tempat Suci) Gunung Sembung, di Hulu Sungai Citarum
Setelah mengagumi semua hal itu,
setelah melihat pegunungan,
setelah meninggalkan Panenjoan,
setiba di Gunung Sembung,
yang merupakan hulu Sungai Citarum,
di sana aku singgah bertapa,
sambil melepas lelah.
Setelah mengagumi semua hal dari perjalanannya, ia kemudian
pergi untuk bertapa di Gunung sembung, d hulu sungai citarum, selama 1
tahun. Disana ia beribadah dan mendirikan Lingga dan memahat patung serta membuat
tugu, yang ia katakan akan menjadi bukti bagi generasi mendatang, bahwa ia
pernah pergi ke sana, seperti yang ia ungkapkan:
Beribadahlah aku melakukan
persembahan,
memuja dengan penuh
keyakinan.
Kemudian aku mendirikan
lingga,
lalu memahat patung,
selanjutnya membuat tugu.
Benda-benda ini menunjukkan
pada semua orang,
bukti untuk orang-orang
mendatang,
bahwa aku sudah
menyelesaikan tugasku.
Setelah aku beribadah
dengan menyapu,
menyapu sampai bersih (?),
pekarangan di sekitar,
aku mendatangi
bangunan-bangunan dan memasukinya,
duduk dalam kesunyian,
memberika penghormatan (?)
dan bermeditasi.
Olehku diresapi,
olehku dinanti-nanti,
apa hasil dari tujuanku,
apa yang menyebabkan
penantianku.
Aku menyebutnya
keabadian, kekal bersama
zat teragung,
yang memenuhi maksud
penantianku.
Karena sebelum adanya
diriku,
kebaikan dari orang bijak,
yang mampu menyadari
pertapaan tertinggi,
memilih berkonsentrasi pada
diri sendiri,
untuk memahami pengindraan
tertinggi,
dengan mengikuti penciptaan
diri yang sesungguhnya,
tidak dapat terbawa oleh
warna [penampilan fisik],
penuh dengan keberanian,
hati yang kuat,
seperti manusia suci yang
agung,
yang menunjukkan bukti
jelas dari itu.
Setelah exerting dirinya
sendiri,
Bujangga Manik yang
terhormat
menuju utara, selatan,
barat, dan timur,
di pusat dari titik puncak,
mencari tempat untuk
tinggal,
mencari tempat untuk
bertapa,
mencari air untuk
tenggelam,
tempat untuk mati bagiku
kelak,
tempat membaringkan tubuh.
Di sana aku tidak tinggal
terlalu lama,
selama setahun lebih.
Terlalu sering aku
dikunjungi orang asing,
oleh orang-orang yang
datang dari bawah,
terlalu banyak godaan.
d. Tempat Suci (kabuyutan) Paling Disucikan Orang Pakuan
Sepergiku dari sana,
berjalanlah aku ke utara-barat,
melihat pegunungan:
itulah Gunung Karesi,
itulah Gunung Langlayang,
di baratnya Gunung Palasari.
Berjalan melewati Gunung Pala.
Setiba ke tempat suci,
menyeberangi Sungai Cisaunggalah,
aku berjalan ke barat,
tiba di Gunung Pategeng,
peninggalan Sang Kuriang,
ketika akan membendung Citarum,
tetapi gagal karena matahari keburu terbit.
Telah kulalui daerah itu,
aku menyeberangi Sungai Cihea,
aku menyeberangi Sungai Cisokan,
pergi ke daerah Pamengker.
Tibalah aku di Mananggul,
berjalan melewati Lingga Lemah.
lalu aku pergi ke daerah Eronan,
mendaki [Gunung] Lembu Hambalang.
Setiba di Gunung Ageung,
itu hulu Sungai Cihaliwung,
tempat suci dari Pakuan,
danau suci Sanghiang Talaga Warna:
“Oh, bagaimana nasibku!
Aku tidak akan dapat melanjutkan perjalanan,
mengunjungi ibu dan ayahku,
mengunjungi tempat guruku!”
Setelah tinggal di Hulu sungai citarum di gunung sembung setahun. Bujangga Manik kemudian merencanakan ke tempat suci yang paling disucikan oleh orang di
Pakuan, dan danau suci Sanghiyang Talaga Warna, di gunung gede (dulu gunung
ageung). Untuk itu ia kemudian berjalan ke arah utara barat, berjalan melewati gunung Pala, dengan menyebrangi sungai Cisaunggalah, dan berjalaan ke arah barat hingga tiba di kabuyutan di gunung Pategeng, yang oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang, ketika akan membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit. Kemudian ia menyebrang sungai Cihea, sungai Cisokan, daeah
pamengker. Manunggal, berjalan melewati Lingga Lemah. Lalu pergi ke Eronan,
mendaki gunung Lembu Hambalang. Setiba di gunung Ageung, hulu sungai ciliwung,
Dalam perjalanannya menuju kabuyutan di hul sngai ciliwung, yang disucikan oleh orang pakuan. Ia melewati kabuyutan di gunung Pategeng, yang oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang, ketika akan membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit. (tentang hal ini masih dalam pencarian).
Disni diceritakan tentang tempat suci Pakuan, di Hulu Sungai Ciliwung di Gunung Gede (Gunung Ageung).. Ada yang menganggap tempat suci orang pakuan ini adalah situs gunung Padang di cianjur. Dan ada yang menganggap bahwa Situs gunung padang adalah tempat pertapaan Bujangga Manik, di huu sungai cisokan.
Gbr. Situs Gunung Padang (kanan diperkirakan seperti ini, jika sudah digali)
e. Kabuyutan (tempat suci)di hulu sungai Cimarinjung Gunung Bulistir Ujung Kulon
f. Kabuyutan Ranca Goda di Gunung Patuha (Daerah Ciwidey sekarang)
Aku pergi ke Hujung Kulan,
karena di sana banyak hal yang menunggu.
Aku berjalan menyelatan,
melanjutkan perjalananku ke Gunung Bulistir.
Itu hulu Sungai Cimarinjung,
peninggalan Patanjala,
ketika ia gagal menjadi raja.
Di sana aku tidak tinggal lama,
selama satu tahun lebih.
Terlalu sering aku didatangi orang asing,
oleh orang-orang yang datang dari bawah,
terlalu banyak godaan datang.
Bujangga Manik pernah tinggal di kabuyutan yang ada di Ujung Kulon, di Gunung Bulistir,
di hulu sungai Cimarinjung. Kabuyutan ini dikatakannya sebagai peninggalan Pantajala,
seorang pangeran yang gagal menjadi raja. Ia tinggal disana selama 1
tahun lebih, dikarenakan terlalu banyak orang asing yang mendatanginya, yang
dianggapnyaa terlalu banyak godaan. (Tentang siapa Pantajala, masih dalam pencarian sumbernya)
f. Kabuyutan Ranca Goda di Gunung Patuha (Daerah Ciwidey sekarang)
Setiba di Mulah Mada,
melewati Tapak Ratu,
pergi ke Gunung Patuha,
ke tempat suci Ranca Goda.
Aku membangunnya kembali
dan menjadikannya tempat
pertapaan,
yang disari oleh mandala
Di sana aku tidak tinggal
terlalu lama,
hanya setahun lebih.
Gunung Patuha merupakan
sebuah gunung yang terdapatdi wilayah
Bandung Selatan, Tingginya 2.386 meter diatas permukaan laut. Gunung patuha
memiliki kawah yang sangat eksotik, yaitu kawah putih
Sebelumnya ia bertapa di Ujung Kulon, di kabuyutan yang ada di Ujung Kulon, di Gunung Bulistir, di hulu sungai Cimarinjung. Perjalanannya dari Ujung Kulon, menuju kabuyutan di Randa goda (daerah ciwidey sekarang), ia telah melewati beberapa sungai, gunung dan kampung, seperti yang diungkapkan olehnya;
Sepergi aku dari sana,
aku pergi ke baratdaya,
menyeberangi Sungai
Cimarinjung,
menyeberangi Sungai
Cihadea,
menyeberangi Sungai
Carengcang,
menyeberangi Sungai
Cisanti.
Seturun dari Gunung
Wayang,
dan pergi dari sana,
aku sampai di Mandala
Beutung,
berjalan melewati Mulah
Beunghar,
turun ke Tigal Luar,
dibelakang Gunung Malabar,
yang diapit oleh Gunung
Bojage.
Sesampai di Gunung Guntur,
di timur Mandala Wangi,
yang menghadap Gunung
Kendan,
aku pergi melewati Jampang
Manggung.
Dalam perjalanannya, ia telah menyebrangi sungai menyeberangi Sungai Cimarinjung, Sungai Cihadea,, Sungai Carengcang. Sungai Cisanti, dan ada beberapa gunung yang disebut olehnya, yaitu: Gunung Wayang,, Gunung Malabar, Gunung Bojage.Gunung Guntur, dan Gunung Kendan.
Sungai Cisanti merupakan hulu
sungai citarum, yang mengalir dari selatan Bandung. Di hulu sungai Cisanti ada danau Cisanti. Dan danau ini terletak di kaki
gunung Wayang. Danau ini terletak di
Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Letaknya yang tersembunyi di pegunungan, serta keindahan
alam yang masih asri menjadi alternatif wisata bagi beberapa orang. Selain itu,
danau ini juga menyimpan peninggalan sejarah berupa petilasan Adipati Ukur,
ksatria Sunda yang memimpin pemberontakan melawan Mataram.
Hulu sungai cisanti ini berada di gunung Wayang, yang berada di selatan bandung. Kata wayang dalam Gunung
Wayang bukan berasal dari kata
wayang (golek) seperti yang kita kenal saat ini. Wayang di sini berasal dari
kata wa, yang berarti angin atau berangin lembut, dan yang atau hyang artinya
dewata. Jadi, kata wayang yang menjadi nama gunung ini berarti angin yang berembus dari Dewata, atau angin surgawi atau
angin dewata yang lembut, yang mencirikan gambaran keindah-permaian alam yang
abadi.
Berdasar sejarah sasakala Gunung Wayang, puncak gunung tersebut menjadi
tempat bersemedi Pangeran Jaga Lawang. Gunung Wayang mempunyai
ketinggian 2.181 meter diatas permukaan laut.
Gunung Malabar terletak di bagian selatan Kabupaten Bandung
dengan titik tertinggi 2.343 meter di atas permukaan laut. Malabar merupakan
salah satu puncak yang dimiliki Pegunungan Malabar. Beberapa puncak yang lain
adalah Puncak Mega, Puncak Puntang, dan Puncak Haruman.
Kawasan Gunung Wayang
Windu-Gunung Malabar-Gunung Patuha, kini terbentang hamparan perkebunan teh
yang telah dibangun sejak zaman Belanda atas jasa Karel Albert Rudolf Boscha,
astronom Belanda yang mendirikan perkebunan Teh Malabar, sekitar 300 tahun lebih setelah kunjungan Bujangga Manik.
Bujangga Manik juga menyebut Gunung Guntur, gunung ini terdapat di
wilayah barat Garut, Jawa Barat, yang mempunyai ketinggian 2.249 meter. Gunung Guntur merupakan salah satu gunung berapi paling
aktif pada dekade 1800-an. Tapi sejak itu aktivitasnya kembali menurun.
. Pertapaan Terakhir Di Hulu Sungai Cisokan, di gunung Patuha
Setelah kuberangkat dari sana,
sesampai di Gunung Ratu,
di Karang Carengcang yang suci.
yang merupakan hulu sungai Cisokan,
berjalan menuruni Gunung Patuha,
setengah jalan menuju Lingga Payung,
yang menghadap ke Kreti Haji.
Diakhir perjalanannya akhirnya Bujangga manik menemukan
tempat bertapanya yang ideal, di kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati oleh
orang Sunda)Karang Carencang yang suci, di
hulu Sungai Cisokan di Gunung Patuha.
Di kabuyutan ini sudah ada Lingga Payung yang menghadap ke Kreti haji.
Dikatakannya Lingga itu bertahta intan permata, yang kilapnya menutupi lingga
tersebut, yang menjadi lingga payung yang menghadap ke Bahu Mitra.Kabuyutan ini diyakini sebagai situs gunung padang, yang ditemukan sekarang, karena berhulu pada sungai Cisokan. Menurut legenda, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna.
Disana Ia tinggal selama 10 tahun, yang ia katakan 9
tahun untuk pertapaan, sedang di tahun ke-10 nya, ia melakukan tugas-tugasnya.
Tubuhnya dikatakan mulai berat. Dan di hari itulah ia menggubah puisi /prosanya
yang sngat menarik.
Sungguh di sana:
aku menemukan tempat suci,
tempat dengan lingga
bertakhta intan permata,
kilapnya menutupi lingga
itu (?),
rising upwards, menjadi
lingga payung,
menghadap Bahu Mitra.
Olehku telah dibangun
tempat tinggal baru,
direkatkan dalam beberapa
tingkat,
disambung sekelilingnya,
bagian bawah beralaskan
batu pipih,
menghadap ke atas dari
arah batu yang berdiri ,
bagian
teratas oleh marmer,
bertaburkan intan permata.
berkilauan di antara
mereka,
tujuh bangunan untuk
keperluanku,
sebuah dapur dan tempat
kayu bakar,
dan juga tempat untuk
menebah,
dua bangunan berdiri di
jalan
Lumbung dua berjajar
taman di kiri-kanan
gerbang,
dengan tanaman yang
melambai,
yang akan segera berbuah,
bunga-bunga sedang mekar
penuh.
bangunan-bangunan tersebut
masih utuh
paviliun tersebut masih
bagus.
Ketika waktunya tiba,
telah sampai pada waktu
yang tepat
setelah sembilan tahun
melaksanakan pertapaan,
pada tahun kesepuluh
tugas-tugas telah terpenuhi,
tubuh ini berat,
dalam bentuk yang
sempurna.
Ketika bulan segera terbenam,
matahari muncul pada
waktunya,
siang digantikan malam,
tahun berakhir, tugas
terpenuhi,
yang sudah mati di-walang suji,
yang membusuk di-walang sanga,
tubuh beristirahat kembali
di atas dipan,
dengan gegendis sebagai
bantal,
meninggal, menghadap
kepada hal yang sebaliknya.
Aku mati tanpa penyakit,
meninggal bukan karena
penderitaan,
aku telah dilepaskan
melalui pembebasan terakhir.
Roh pergi,
kepribadian pergi,
apa yang bebas dilepaskan.
Jiwa dilepaskan dari
ikatannya,
sari pati kehidupan
dilepaskan dari jiwa,
sama-sama terpisahkan dan
hilang.
Tubuhku memasuki dunia
yang mati,
berharap (?) menjadi dewa,
ikatan penghubung memasuki
kehampaan.
Jiwaku buyar menjadi tak
terlihat,
sama dengan dewata.
Kemudian aku berjalan di
atas jalan luas,
menemukan jalan yang
terbuka luas.
Setiap persimpangan
dilengkapi dengan bangunan,
semua jurang memiliki
jembatan,
lereng dengan anak tangga,
turunan dengan pijakan
tersusun.
Jejak-jejak dari sapu
masih bisa terlihat,
melengkung ke arah timur
dan barat.
paviliun, bendungan dan
bebatuan,
terhubung dalam deretan
yang panjang.
Bunga patah tumbuh
berdekatan,
bersinar (?) seperti
kembang api.
Pohon pinang tumbuh
seperti paras,
pinang tiwi dan pinang
gading,
pinang tiwi yang sedang
mekar penuh,
pinang gading bersinar
kekuning-kuningan.
Di tengah-tengah pinggiran
sungai terulur,
hanjuang tumbuh sampai
mata manusia,
handeuleum tumbuh setinggi
manusia,
handong merah dan handong,
“...apakah kau mencintai semua manusia di
dunia,
ketika kau masih hidup,
saat ada di dunia?”
Bujangga Manik yang
terhormat
merasa seperti sedang
ditanyai.
Dengan penuh hormat ia
berbicara,
menjawab dengan sopan,
berbicara menurut kata
hatinya,
menjawab Dorakala:
“Aku tidak ingin membicarakannya,
agar yang benar tidak
menjadi salah,
agar yang baik tidak
menjadi buruk,
agar surga tidak menjadi
neraka.
Agar kesimpulan mudah
dipahami,
Agar kesimpulan tidak
datang dari awal.
Aku menolak untuk
memanggil saksi dari manusia,
penghuni dunia ini,
semua orang di
tengah-tengah dunia.
Di antara seribu seratus
satu,
bahkan tidak ada satu pun,
manusia yang perkataannya
dapat dipercaya.
Terdapat banyak penjahat,
bahkan dewa diperangi
(oleh mereka),
aku menganggap mereka
tidak dapat diandalkan,
karena ingin ikut dalam
api yang membakar,
karena mereka akan
tersesatkan,
oleh mereka yang jahat.
Hanya ada satu
pengecualian:
siang hari yang suci
adalah saksiku,
malam yang suci adalah
saksiku,
bulan dan bintang,
dan bumi pertiwi yang
suci.
Mereka yang memelihara dan
melihat:
bumilah yang lebih
mengamati,
langitlah yang lebih
memerhatikan,
kamulah yang tahu mana
yang benar.
Mereka yang mengingat
rasa,
mereka yang menjaga
kekuatan utama,
mereka yang memerhatikan
kata-kata,
mereka yang mengamati
pikiran,
menjaga sifat asli
manusia,
mengerti salah dan benar,
mengetahui buruk dan baik
mereka itulah saksiku.”
Dorokala yang mulia
berkata:
“Dengan segala hormat,
jiwa yang suci.
Aku tidak akan mendebat,
karena wujudmu tidaklah
kabur.
Tubuhmu bersih dan
bercahaya,
terlihat seperti dewa,
seperti intan, seperti
permata.
Tubuhmu lebih wangi dari opium,
lebih berarti dari kayu
cendana,
lebih manis dari kulit
kayu masui.
Benar-benar wujud seorang yang benar,
yang menunjukkan makhluk
surga.
Dengan segala hormat, jiwa
yang suci,
yang terhormat Bujangga
Manik,
pergilah seperti yang kau
mau,
kamu boleh pergi ke surga.
Setelah meninggalkan tempat itu,
pergilah mendaki,
menanjak,
menuju taman yang bening,
beralaskan permata.
Pancuran dari perunggu
bercahaya,
dengan kolam dari perak,
berakhir pada sebuah
cerat,
tempat cuci dilapisi emas,
dengan gayung dari bejana
perak.
Mandi dan membersihkan
diri,
yang mandi membersihkan
keringat.
Setelah kau selesai mandi,
jangan berkelana terlalu
jauh,
kau di dalam taman
bercahaya itu.
Ada sebuah tempat indah yang dituju:
pergilah menuju bangunan
yang dekat dengan jalan,
terbuat dari besi hitam,
dipadukan dengan besi
magnet,
dipasak besi yang tahan
lama,
tiang gading ukiran,
disangga oleh gong jawa,
bertatahkan kaca cina,
dipadu dengan batu kresna,
....dipadukan dengan
permata,
dengan bendul perak
seperti batu kapur,
dengan kasok terbuat dari
.....
beratapkan ubin-ubin
perunggu,
yang berpasak emas,
dengan lantai yang
dilapisi
dengan rumbai emas hitam,
dipadukan dengan perak
putih seperti batu kapur,
yang diikat dengan emas
cina,
bergantian dengan kawat
jawa.
Cermin jawa dipasangkan,
di setiap tiang bangunan.
Di situ perabot dihias,
sebelum pergi ke surga,
di sanalah tempat berhias,
apa yang tidak tersedia di
sana?
cemin jawa bersepuh emas
sisir dari gading berukir,
satu gelas minyak cina
isinya ....
kapur barus dalam guci,
bunga resa di jambangan,
zat kelenjar rusa jantan
dalam belanga dari gading,
guci penuh wewangian kayu
cendana,
sepucuk ....
... cinta.
Bujangga Manik yang
terhormat
lalu diangkat dipangku,
dibawa dari lengan satu ke
lengan lainnya,
dibawa ke atas panggung
(?),
dari panggung ke tandu,
tandu yang dihiasi gading,
berkendara di atas sapi
putih,
dengan kipas bergagang
emas,
berkelap kelip oleh batu
rubi,
bertakhtakan emas,
dengan batu mirah dan
permata di atasnya,
bertatahkan mutiara,
berpadu dengan permata dan
batu rubi, batu mirah,
batu-batu beharga dan
intan,
semuanya serba indah.
Cerita Darma Kancana,
di atas tirai yang
bercahaya,
di bawah tirai yang tembus
pandang,
terpasang pada mereka naga
yang berhadapan satu sama lain,
di tengah-tengah naga-naga
yang ...,
di bawah naga-naga yang
bertemu,
seekor merak yang menari
di atasnya,
semua serba indah,
semua benar-benar tidak
ternilai,
luar biasa,
sangat baik dan hebat
untuk dilihat,
bersinar dengan segala
jenis warna,
berkelap-kelip dan
bercahaya.
Seperti bunga pamaja
wujud dari jiwa suci,
diramaikan oleh tetabuhan,
goong dan gending yang
dipedengarkan,
simbal perunggu dicampur
dengan caning,
semuanya tetabuhan
alat-alat musik suci,
Alat musik suci
paburancaheun,
simbal rari dimainkan,
gong ditabuh,
payung-payung dengan sutra
keling [India],
bendera bambu kiri dan
kanan,
barisan panjang sutra
putih,
unyut yang berlimpah,
seperti burung kuntul yang
terbang indah.
Payung sutra, gading di atasnya,
payung kertas, emas di
atasnya,
payung hateup dari sutra
keling,
gorden dengan sepuhan
Cina,
dihiasi permata yang
bergantungan,
satin dengan permata dan
emas,
kipas dengan gagang emas,
cahaya keemasan kelopak
terong,
di atasnya batu rubi,
naga-naga yang merantai,
pajale permata, sangat
bermanfaat,
petir berteman cahaya
surgawi,
dikelilingi pelangi,
di sana ...).
(lanjut...)
(By Adeng Lukmantara)
Sumber : dari berbagai sumber internet
Sumber : dari berbagai sumber internet