Sabtu, 16 Mei 2015

PRABU SURAWISESA, SANG RAJA YANG DISANJUNG DALAM NASKAH CARITA PARAHIYANGAN.

Oleh 
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang



Pengantar
Dalam naskah Carita Parahiyangan, raja yang mendapat pujian  di era Pajajaran  setelah Sribaduga maharaja Prabu Jayadewata ( mp. 1482-1521M), adalah Prabu  Surawisesa, yang berkuasa dari tahun 1521-1535 M.
Mungkin banyak orang yang belum mengenal sejarah Prabu Surawisesa itu?  Naskah  Carita Parahiyangan dan juga Naskah Wangsakerta telah berbicara tentang Prabu Surawisesa ini. Bahkan dalam Naskah carita parahiyangan ia dipuji dengan sebutan kasuran (perwira), kadiran (perkasa), dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran.
Pujian Surawisesa dalam Naskah Carita Parahiyangan  disebutkan sebagai berikut:

....Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen
.....Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan. Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya. Lawasna jadi ratu opatwelas taun.

Tulisan tentang Surawisesa ini banyak tokoh telah menulis tentang riwayatnya, diantaranya Pilolog Saleh Danasasmita dalam bukunya, "Melaacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi".


NASKAH

BAB 1. KONSTALASI POLITIK TAHUN 1500 M

Setelah Tahun 1500 M, di Pulau Jawa ada perubahan konstalasi politik yang cukup signifikan. Dominasi Kerajaan Majapahit yang meliputi kekuasaan di jawa timur dan Jawa tengah mulai meredup. Dan mulai digantikan dengan kemunculannya kerajaan Demak, yang berlatar belakang Islam.

1.. Kerajaan Demak dan Gairah Islamisasi di Eks Kerajaan Majapahit

Pada tahun 1500-an M, Demak telah resmi menjadi kerajaan Islam di Pulau Jawa. Karena ia lahir dari bekas kerajaan Majapahit, maka mulai saat itu kerajaan yang baru tersebut lambat laun  mengembangkan sayapnya dengan menaklukan daerah daerah yang dikuasai oleh Majapahit, termasuk ibukota Majapahit itu sendiri (daerah Mojokerto sekarang).

Kerajaan Demak seolah merupakan dampak dari perkembangan Islam yang waktu itu di Jawa setelah mencapai momennya. Perkembangannya begitu pesat, dan mulai mendapat dukungan dari tokoh tokoh Islam muda yang enerjik. Sehingga dari tahun ke tahun kekuasaan Demak mengalami  perkembangan yang signifikan.  Tetapi hingga tahun 1500 M, Demak masih belum menjadi kerajaan yang dominan di Pulau jawa.

Kerajaan Demak diperkirakan berdiri tahun 1475 M. Raja pertamanya daalah Raden Fatah, yang berkuasa dari tahun 1475 M hingga 1518 M. Kekuasaan kemudian diteruskan oleh anak pertamanya yang bernama Pati Unus yang berkuasa dari tahun 1518 M sampai dengan 1521 M, dan setelah itu diteruskan oleh anak keduanya yang bernama Sultan Trenggono yang berkuasa dari tahun 1521-1548 M.

Berdirinya kerajaan Demak jika dikaitkan dengan kerajaan Sunda Pajajaran, sudah berdiri di era kekuasaan Prabu Susuk Tunggal, dan mulai berkembang di era Sri Baduga Maharaja (mp. 1482-1521 M). Dan mulai gencar ada peperangan antara pihak kerajaan Demak dengan kerajaan Pajajaran, di era pemerintahan Prabu Surawisesa (mp. 1521-1535 M) dan seterusnya. Dengan demikian kerajaan Demak di era Sultan Trenggana dan Pajajaran di era Prabu Surawisesa-lah mulai ada peperangan antara kerajaan Demak-Cirebon dengan kerajaan Sunda Pajajaran. 

Dimasa Raja Sribaduga Maharaja masih hidup, putra-putranya, yang menjadi penguasa di Cirebon belum berani berkomplik Pajajaran. Karena mungkin masih segan terhadap orang tuanya. Tetapi setelah Sri Baduga Maharaja meninggal, barulah Pangeran pangeran turunan Sri Baduga Maharaja ikut menyerang wilayah wilayah pajajaran dengan bantuan  pihak Demak. Dan penyerangan terhadap pelabuhan pelabuhan kerajaan Pajajaran mulai agresifitasnya di era cucu Sribaduga, yaitu Syarif Hidayatullah ketika memegang kekuasaan Cirebon.

Kaum muda islam yang energik di berbagai wilayah mulai mencari identitas diri. Mereka tidak memandang dari mana mereka berasal, tetapi mereka hanya ingin bersatu dan punya identitas. Dan Fenomena kerajaan Demak ini seolah menjadi ikon dalam keinginan mereka untuk membangun ikon islam di Jawa.

Kerajaan Demak di era Raden Fatah masih belum begitu pesat dalam peperangan dengan pihak Majapahit. Raden fatah masih enggan untuk menyerang wilayah wilayah yang dikuasai oleh Majapahit dimana Sang raja, Prabu Brawijaya V, yang merupakan ayahnya sendiri masih hidup. Ia masih memamfaatkan peran para wali unuk menyebarkan islam dan pengaruhnya. 

Pada awalnya Demak  hanya merupakan pemerintahan kabupatian dengan ibukota di Bintara. Dan Raden fatah diangkat jadi bupati Demak. Pada tahun 1475 M ia kembali dari Surabaya, dan pada tahun 1477 M, ia menaklukan Semarang di bawah kekuasaanya. Ia masih mengikuti saran Sunan Ampel untuk tidak menyerang Ibukota majapahit.  Tetapi pada tahun 1478 M, speninggal Sunan Ampel dan setelah Majapahit menyerang Giri Kedaton, sekutu demak di gresik, Raden Fatah kemudian menyerang ibukota Majapahit. Rajanya, Bhre Kertabuhumi, ditangkap dan Majapahit dijadikan bawahan Demak. Pada tahun 1489 M, Raden fatah meresmikan Masjid Agung Demak.

 Setelah Raden fatah meninggal, ia digantikan oleh anak pertamanya, Dipati Unus, yang bergelar Pangeran Sebrang Lor. Di era Dipati Unus, tidak terlalu banyak meluaskan sayapnya di jawa, tetapi ia mulai menyerang Portugis di Malaka. Tetapi ia mengalami kekalahan yang telak. Pada masa Sultan Trenggana, mulailah meluaskan pengaruhnya di pulau Jawa. Pada masanya banyak daerah daerah di pulau Jawa yang dikuasainya.  Pada tahun 1527 M, ia merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran, Tuban (1527 M), Madiun (1529 M), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545 M), Balambangan (1527 M dan 1546 M). trenggana meningal pada tahun 1546 M, dan setelah itu kerajaan Demak mengalami kemunduran.

2.. Gairah Islam di Tanah Sunda

Perkembangan kerajaan Demak berpengaruh besar terhadap perkembangan Islam di tanah Sunda. Seolah belajar dari kerajaan Demak, yang notabene mereka merupakan turunan raja majapahit. Para pangeran Raja Pajajaran  yang beragama Islam yang ada di Cirebon seolah mulai mencari identitas dirinya. Beberapa orang pangeran  anak Raja Sunda yang terkenal, Sri baduga Maharaja Jaya Dewata, dari istrinya Nyi Subang Larang, mulai mencari identitas keislamannya, menyangkut wilayah dan pandangannya ke depan. Seolah mengalami nasib yang sama dengan Demak. Jika di Demak dikaitkan dengan Majapahit, maka di Cirebon dikaitkan dengan kerajaan Sunda Pajajaran.

Karena itu para pangeran dari cirebon kemudian mulai mengeksiskan kekuasaannya, dan mulai mencari partner. Dan hal ini seolah mendapat tempat yang sama di kerajaan Demak. Karena Demak waktu itu seolah menjadi tren, yang mulai membangun eksistensi dan berusaha untuk memisahkan diri dari mainstream kekuasaan Majapahit.

Cirebon dalam peradaban sunda pada awalnya merupakan suatu kerajaan yang dinamakan dan indraprahasta dan Wanagiri. Suatu kerajaan lokal yang sudah dikenal dan menjadi bawahan kerajaan Taruma Negara. Karena dianggap sebagai pendukung dari Prabu Purbasora, maka oleh Sonjaya, kerajaan ini kemudian dihilangkan. Dan kemudian sekitar abad 15-an berubah menjadi Cirebon Girang. Tetapi Keraton Cirebon Girang ini diperkirakan berakhir di tahun 1445 M. Dan Cirebon ini mulai ramai lagi di era Pangeran Cakrabuana (Pangeran Walangsungsang), putra dari Sri baduga maharaja Jayadewata, mulai membuka lahan baru yang di kemudian hari terkenal dengan nama Cirebon.

Cirebon merupakan basis dari pangeran-pangeran anak Raja Sunda yang beragama Islam, seolah mendapat partner yang pas dengan kerajaan Demak. Dan selanjutnya seolah menjadi 2 mata uang. Karena nantinya salah seorang turunan Raja Sunda (cucu sang Raja) akan menjadi seorang tokoh terbesar dari kerajaan Demak, yaitu  Syarif Hidayatullah atau dikemudian hari namanya terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan Sunan Gunung Jati inilah akan menjadi cikal bakal berdirinya 2 kesultanan di tanah Sunda,  yaitu Cirebon dan juga Banten.

a.. Sejarah Keberadaan Masyarakat Islam di Tanah Sunda

Keberadaan masayarakat Islam di negeri Sunda pajajaran diperkirakan mulai berkembang di era kekuasaan Prabu Bunisora atau nama lengkapnya Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata, yang menguasai kerajaan Sunda pada tahun 1357-1371 M. Ia merupakan pengganti  kakaknya, Prabu Lingga Buana atau Prabu Wangi yang gugur di Bubat.  Prabu Bunisora dikenal sebagai pandhita ratu yang memiiki sikap toleran terhadap agama lain.  Salah satu anaknya yang bernama Sang Bratalagawa, putra kedua Prabu Bunisora telah beragama islam dan disebut sebut sebagai Haji Galuh Purwa atau Haji Galuh pertama. Sang Bratalegawa ini usianya 2 tahun lebih muda dari penguasa Sunda berikutnya, dan merupakan kakak iparnya, Prabu Wastukancana.

Dan Sang Prabu Bunisora ini juga mempunyai anak yang bernama Giridewata atau Ki gedeng Kasmaya, yang diangkat menjadi penguasa di Wanagairi (cirebon sekarang). Dan Ki Gedeng kasmaya (hasil perkawinannya  dengan Ratna kirana  putri Prabu gangga Permana) ini memiliki anak yang benama Ki Gedeng Cirebon Girang, sehingga Wanagiri berubah nama dengan Cirebon Girang. (tetapi diperkirakan keraton Cirebon Girang ini berakhir tahun 1445 M).

b.. Pajajaran di Era tahun 1500 M

Di era tahun 1500 M Pajajaran diperintah oleh seorang raja yang terkenal cakap dan bijaksana, Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata.  Sri Baduga Maharaja merupakan salah satu raja terbesar Sunda yang terakhir. Ia mempunyai 3 orang istri. Istri pertama yang bernama  Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindangkasih. Ia kemudian memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedeng Tapa. Dan ia kemudian memperistri Putri Raja sunda, Prabu Susuk Tunggal yang bernama Putri Kentrik Manik Mayang Sunda.

Subang Larang adalah seorang muslimah. Ayahnya Ki Gedeng Tapa salah satu tokoh Islam di lingkungan kerajaan Sunda. Ki gedeng Tapa adalah salah seorang anak dari Raja sebelumnya, Prabu Wastukencana. Yang mewarisi wilayah kekuasaan di sekitar Cirebon sekarang. Dari Subang Larang inilah Sang Raja sunda, Sri Baduga maharaja, mempunyai 3 orang anak yang beragama Islam. Anak yang pertama bernama Cakrabuana tetapi kemudian terkenal dengan nama Walangsungsang dan terakhir namanya menjadi Abdullah Iman. Yang kedua bernama Lara santang, seorang wanita, yang menikah dengan bangsawan Arab, dan nantinya mempunyai anak yang bernama Syarif Hidayatullah atau dikemudian hari terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan yang ketiga bernama Sangara. Sangara ini kadang orang mengaitkannya dengan nama Kian santang (atau ada yang mengaitkan bahwa Kiansantang adalah Walangsungsang). Oleh ayahnya, Sri Baduga Maharaja, mereka diberi kekuasaan di tanah sekitar Cirebon sekarang.


Dari istrinya putri Kentrik Mayang Sunda, putri dari Raja Sunda sebelumnya, Prabu Susuk Tunggal, ia mempunyai anak laki-laki yang  bernama Surawisesa, yang kemudian menjadi putra mahkota kerajaan  Sunda Pajajaran.

Sri baduga Maharaja, yang seolah mendapat gelagat dari anak-anaknya dari istrinya Subang Larang yang beragama Islam di Cirebon. Mereka seolah lagi mencari identitas dan eksistensi dari anak anaknya yang muslim tersebut.

Pada awalnya Sang Raja membiarkan  saja, tetapi setelah Demak melakukan serangan kepada Portugis di Malaka, seolah menjadi warning. Bahwa kerjasama anak-anaknya dengan Demak nantinya akan menjadi suatu ancaman bagi generasi berikutnya. Apalagi melihat perkembangan dari cucunya, Syarif hidayatullah, yang konon telah menjadi tokoh utama dalam kerajaan Demak.

Melihat perkembangan Demak dan juga kerjasamanya dengan anak-anaknya di Cirebon. Membuat Sang raja, Sribaduga maharaja gusar. Pada awalnya Cirebon akan diserang, Tetapi hal ini dicegah oleh pendeta kerajaan. Karena hal tersebut akan menjatuhkan pamor sang maharaja, tidak etis sang ayah menyerang anaknya sendiri. Disamping memang daerah Cirebon sudah diserahkan kepada anak sulung sang Raja dari istrinya Subang Larang, yaitu Walangsungsang.

Dan akhirnya Sang Maharaja mengambil jalan kebijakan yang lain, yaitu mencari sekutu dari daerah lain. Dan sekutu yang dianggap cocok adalah dengan Portugis. Hal ini dimungkinkan disamping untuk mengamankan daerah kekuasannya, juga kemungkinan akan memodernisasi angkatan perangnya. Karena di zamannya, dalam berperang Demak sudah menggunakan meriam dalam menyerang lawan lawannya. Sedang tentara pajajaran masih menggunakan senjata tradisonal, seperti panah, tumbak, pedang dan lainnya.

Pada tahun 1512 M, Sang Raja mengutus anaknya Pangeran Sangiang (atau orang Portugis menyeebut Ratu Samiam), yang nantinya setelah menjadi raja bergelar Prabu Surawisesa untuk  menghubungi Alfonso d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka.  Maka Surawisesa-pun  berangkat untuk berlayar ke Malaka.

BAB II SURAWISESA MUDA

Prabu Surawisesa sebelum menjadi raja bernama Pangeran Sangiang, atau orang Portugis menyebutnya dengan Ratu Samiam. Ia merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja dengan istrinya Kentrik Manik Mayang Sunda, yang merupakan putri dari Prabu Susuk Tunggal.

Dalam kisah kisah pantun, Surawisesa ini sering disamakan dengan dengan tokoh Mundinglaya dikusumah atau ada juga yang mengatakan tokoh Guru Gantangan. Sangat sulit memang menyambungkan kisah dalam cerita pantun dengan konteks sejarah. Demikian juga Cerita Mundinglaya dan Guru gantangan. Seolah sulit menghubungkannya.

Ia menikah dengan Kinawati putri dari kerajaan Tanjung barat, putri dari Mental Buana, dan merupakan cucu dari Munding Kawati, penguasa Tanjung Barat. Kerajaan Tanjung Barat merupakan kerajaan bawahan kerajaan Pajajaran. Kerajaan ini terletak disungai Ciliwung, daerah pasar minggu jakarta sekarang.

Menurut Pilolog Saleh Danasasmita, ketika menjadi putra mahkota, Surawisesa menjadi ratu di Sangiang, yang wilayahnya meliputi jatinegara hingga sungai Marunda. Dengan demikian ia merupakan penguasa dari Pelabuhan Kalapa (Nusa kalapa). Karena itu kemudian Ayahhnya, Sri Baduga Maharaja, mengutusnya dalam suatu misi kerjasama dengan 
Portugis di Malaka.

1.. Perkembangan Politik dimasanya

Surawisesa hidup ditengah proses perubahan politik di pulau jawa sangat berubah drastis. Kerajaan Demak yang baru berdiri seolah berubah menjadi kekuatan politik yang dominan di bekas kerajaan majapahit, yang justru mulai bekerja sama dengan para kerabatnya di Cirebon, yang tiada lain adalah saudara saudara satu ayah.

Melihat perkembangan Demikian, kemudian sang ayah pada tahun 1512 M memerintahkannya untuk  menghubungi Alfonso d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka.  Kemungkinan Sang Pangeran tidak sendirian pergi ke Malaka, tetapi rombongan. Dan kemungkinan keberangkatannya juga di rahasiakan atau dengan memakai kode kode tertentu. Karena untuk menghndari mata mata dari demak atau Cirebon.  Apalagi perjalanannya tidak bisa ditempuh dalam 1 atau 2 hari.

Perjalanan dari ibukota Pakuan ke Malaka memerlukan perjalanan darat ke pelabuhan Nusa kalapa, setelah itu melakukan perjalanan laut dari Nusa Kalapa (jakarta) ke Malaka di semenanjung Malayasia.

2.. Kemiripan Cerita Pantun Tentang Mundinglayadikusumah

Seperti diungkapkan diatas bahwa Surawisesa kadang diidentikan dengan Mundinglaya dikusumah atau Guru Gantangan dalam Cerita Pantun. Tetapi yang kemungkinan mirip dengan misi Surawisesa adalah cerita tentang Mundinglayadikusumah, yang mendapat tugas untuk mencari Salaka Domas.

Cerita tentang Mundinglaya sepertinya ada kaitannya dengan perintah sang raja  untuk menemui laksamana Portugis di Malaka. Sang Pangeran agar mencari Pusaka Salaka Domas (dan suatu cerita  menggunakan nama Lalayang Kancana),  mungkin adalah suatu kata sandi untuk suatu misi ke Malaka. Perjalanan ke Malaka adalah perjalanan yang penuh resiko. Karena letaknya begitu jauh dari ibukota Pajajaran dan harus Melalui lautan yang jauh dan kadang ombaknya tidak menentu.  Dan konon di perjalanan ini banyak bajak laut, yang kadang setiap waktu siap untuk  menggagalkan rencana. Disamping itu mata mata dari Demak seolah selalu memonitor perkembangan yang ada di istana Pakuan dan juga kapal kapal yang menuju Malaka. Dan dimungkinkan juga dikalangan istana di Pakuan sudah ada yang mulai memihak pangeran pangeran Pajajaran yang ada di Cirebon.

Jadi kemungkinan Sri Baduga Maharaja, seolah menutupi maksud dan tujuan di depan masyarakatnya, dan mungkin ia menggunakan kata sandi salaka Domas. Karena demi keamanan sang pangeran juga untuk berlayar ke Malaka. Karena bagi kerajaan Demak yang berhubungan dengan Malaka yang sudah dikuasai oleh Portugis dianggap sebagai sahabatnya, yang harus dihancurkan.

Dalam cerita Mundinglayadikusumah, Keberangkatan Sang pangeran ditemani oleh patih dan mentri kerajaan yang terdiri dari: Jaksa seda Kawasa, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung Patih ratna jaya dan Prabu Liman sanjaya, pamuk dari Gunung Gumuruh, dan tidak lupa paman lengser yang juga menemaninya. Ia menaiki perahu yang dibuat oleh Kidang Pananjung.

Ia berlayar melalui Leuwi Sipatahunan, sungai Ciliwung, dan berlayar hingga di Muara Beres., tempat dimana calon istrinya, yang sudah dijodohkan ketika masih dalam kandungan itu berada. Disana Sang pangeran berhenti untuk bertemu dengan sang calon istrinya. Dan menceritakan apa yang menjadi tujuannya. Bahwa ia akan ke negeri sebrang yang jauh ke negeri Malaka. Seolah cinta lama berkembang lagi, sejak kecil sudah dijodohkan, dan sudah besar bertemu dalam perjalanan jauh, entah kapan mereka akan kembali. Pertemuannya seolah mengingatkan kepada cerita cerita anak muda yang lagi kasmaran. 

Perjalanan kemudian dilanjutkan, Para pengiring kerajaan sebagaian hanya menemaninya hingga Sanghiyang cadas Patenggang (kemungkinan muara menuju laut)/ pelabuhan dan ia sendiri dengan ditemani para kstaria / punggawa, termasuk penterjemah dan pasukan lainnya yang bertugas mendayung, dan lainnya, meneruskan perjalanannya.

Dalam perjalanan Ia bertemu dengan Yaksa Mayuta (kemungkinan bajak laut), atau semacam ikan paus / ikan Hiu, tetapi mereka dapat dikalahkan. Dan  Surawisesa meneruskan perjalanannya ke langit (ada kemungkinan melalui lautan yang luas, sehingga yang kelihatan hanyalah langit). Disamping diiring oleh pendayung, ia juga menggunakan  lalayang kencana (layar), dengan menggunakan tenaga angin ( layar) dalam perjalanannya.

Setelah melakukan perjalanan yang begitu jauh akhirnya sampai lah ke negeri Malaka untuk menemui Sang marsekal, yang dikenal sebagai orang kulit putih berperawakan besar. Dan kemumgkinan istilah Guriang dalam Carita mundinglayadikusuma adalah orang Portugis ini, untuk menyebut orang asing berwajah putih dan berperawakan besar.

Di perjalanan kembali, kapalnya mengalami kerusakan, kapalnya diserang taupan, tiangnya patah, kapalnyapun pecah dan karam, sehingga ia dikabarkan sudah meninggal. Tetapi ia kemudian memamfaatkan reruntuhan  kapal, dan menggunakan  layar (lalayang kencana)  untuk perjalanan pulangnya.

Dalam perjalanan pulang dari pelabuhan Sunda Kalapa ke ibukota Pakuan  dalam cerita ini tidaklah mulus. Karena ada penghadangan di Leuwi Langgong, maka ketika sampai di Batu Tulis,   prajurit prajurit yang menghadangnya di muara beres dapat dikalahkan hingga kocar kacir.

Tentang ada hubungan atau tidak dari kisah munding laya ini, seolah mengungkapkan kepada kita bahwa sangat sulit menterjemahkan atau menceritakan perjalanan di lautan lepas kepada masyarakat tatar sunda yang kebanyakan tinggal di daratana atau dataran tinggi atau gunung.

3. Perjalanan Pertama ke Malaka pada tahun 1512 M.

Setelah Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511 M, seolah Sri Baduga Maharaja terispirasi oleh kekalahan kesultanan Malaka oleh Portugis tersebut. Seolah hal in mengisnpirsikannya untuk hal yang sama dalam menghadapi sekutu Demak dan Cirebon. Karena itu setahun kemudian (1512 M ), Sri Baduga Maharaja mengutus Sang Putra mahkota, Pangeran Sangiang atau Prabu Surawisesa menjadi dutanya dalam upaya kerjasama bilateral dalam bidang ekonomi dan pertahanan.

Saleh Damnasasmita dengan mengutip Hageman, menulis bahwa kedatangan Prabu Surawisesa ini diungkapkan:
In het jaar 1512, kwam er een heidensche koning van Zunda, genaamd Samiam, Zijne huldebij Alfonso d’Albouquerque aanbieden. Deze koning Samlam kwam andermal te Malaka in 1512, toen Jorge d’Albouquerque aldaar gezaghebber was, uit de opgaven van deze “Re de Zunda” vernam Dom Jorge veel van den hendel van Zunda, en wilde darromeen proef nemenen zomd in 1522 zijn zwagerHenriquez de Leme met cen schip van Malaka naar Zunda, met geschenken voor de koning samiam die daar heer van het land was.
(dalam tahun 1512 datang (ke Malaka) seorang raja Sunda yang mash “kafir” bernama Sangiang menyampaikan hormatnya kepada Alfonso d’Albouquerque. Raja Sangiang ini datang sekali lagi di Malaka tahun 1521 ketika Jorge d’Albourquerque menjadi pemegang kekuasan disana. Dari keterangan keterangan yang diberikan raja Sundaini Dom Jorge menjadi sangat tertarik oleh perdagangan Sunda, dan oleh karena itu ingin mencobanya, lalu dalam tahun 1522 mengirimkan iparnya, Henriquez de Leme dengan sebuah kapal dari Malaka ke Sunda. Sambil membawa hadiah untuk ratu Sangiang yang (telah) menjadi raja).

Setelah kunjungan pertama ini, setahun kemudian sebagai balasan pihak Portugis dengan mengirim 4 buah kapal yang dipimpin oleh Joao Lopes de Alvin berlabuh di Sunda Kalapa pada tahun 1513 M sebagai kunjungan penjajagan, yang diikuti oleh Tome Pires. Dan Tome Pires ini kemudian menulis kunjungan ke Pakuan ini dalam bukunya.

4.. Perjalanan kedua ke Malaka pada tahun 1521 M

Sembilan tahun setelah kunjungan pertama (1512 M),  pada tahun 1521 M Pangeran Surawisesa diutus kembali oleh ayahnya ke Malaka.  

Hasil kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis  yang dipimpin oleh Hendrik  De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran  (Sunda) dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522

Pajajaran yang sejak tahun 1522 telah menjalin persekutuan dengan Portugis, yang merupakan musuh besar Demak. Kepentingan antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran itu, kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian persahabatan militer dan ekonomi, yang selanjutnya dikenal sebagai Perjanjian Padrao (Padrong).

Dalam perjanjian itu disepakati bahwa  Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai  dibangun, pihak sunda akan menyerahkan  1000 karung lada tiap tahun  untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351 kwintal).

 BAB III SUKSESI DI PAJAJARAN

Setelah kepergiannya yang kedua ke Malaka, pada tahun 1521 M, ayahnya, Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata meninggal dunia pada tahun itu juga (1521 M). Karena itu kemudian ia diangkat menjadi raja di kerajaan sunda pada tahun itu juga, menggantikan ayahnya, dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa.

Sri Baduga maharaja meninggal pada tahun 1521 M dan dimakamkan di Rancamaya. Dalam Naskah carita parahiyangan dikatakan nu hilang di Rancamaya. Sri Baduga Maharaja  berkuasa selama 39 tahun. Dalam Naskah Carita parahiyangan mengatakan bahwa pada zaman Sri Baduga, karena menjalankan kekuasaannya "ngukuhan purbatisti purbajati" pada zamannya tidak ada musuh yang menyerang baik musuh besar  maupun musuh kecil.  Tentram ayem baik di sebelah timur, barat, utara dan selatan karena mereka merasa aman.

Dalam naskah Carita Parahiyangan, raja yang mendapat pujian raja raja di era Pajajaran  setelah Sribaduga maharaja Prabu Jayadewata ( mp. 1482-1521M), adalah Prabu  Surawisesa, yang berkuasa dari tahun 1521-1535 M.

Prabu Surawisesa Jaya Perkosa, demikian gelar untuk Pangeran Sangiang ketika sudah menjadi raja. Orang Portugid menyebutnya dengan nama Ratu Samiam, penyebutan orang Portugis untuk nama Sangiang.

Tokoh ini dalam naskah Carita Parahiyangan bekuasa di tanah sunda selama 14 tahun berkuasa, ia melakukan peperangan 15 kali untuk mempertahankan kekuasaan pajajaran di wilayah tataran sunda, dari serangan Demak-Cirebon.

1.. Berselisihnya Para Pangeran Sunda

Menjadi raja, bukan berarti bisa bertindak sesukanya, karena justru disinilah mulai terjadi keretakan diantara para pangeran, terutama anak anak dari Sri Baduga Maharaja. Karena setelah mereka dewasa justru mempunyai padangan yang berbeda tentang kerajaan Sunda ke depan. Jika Prabu Surawisesa ingin tetap mempertahankan tradisi nenek moyangnya, maka para Pangeran yang ada di Cirebon menginginkan hal yang berbeda. Karena mereka bergama Islam, mereka menginginkan agar negeri Pajajaran mulai menerima agama tersebut di lingkungan istana.

Dan satu lagi yang ditentang oleh para pangeran Cirebon dan juga ada sebagian pangeran lainnya, yang tidak menyetujui kerjasamanya dengan Portugis. Seolah harga mati, tidak boleh kerjasama dengan portugis. Karena sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, seolah tidak ada ruang untuk bebas dalam menjalankan usaha antar negara. Padahal Sang Raja justru ingin melakukan kerjasama ini.

Pembahasan tentang kerajaan Pajajaran yang bersatu masih dalam koridor yang biasanya, hanya panas waktu berdebat. Tetapi ketika kembali seolah biasa biasa saja. Tetapi hal ini menjadi lain ketika Portugis datang ke tanah Sunda pada tahun 1522 M, sebagai balasan dari kunjungan Sang raja Sunda Surawisesa ke Malaka. Kedatangan wakil Portugis, Hendrik  De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran Meninbulkan gunjangan yang dasyat di lingkungan istana pajajaran. Para penentang mulai tidak memepercayai lagi sang raja. Apalagi dalam  kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran  (Sunda) dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.

Dalam perjanjian itu disepakati bahwa  Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai  dibangun, pihak sunda akan menyerahkan  1000 karung lada tiap tahun  untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351 kwintal).

Perjanjian antara kerajaan Sunda  dan Portugis sangat  mencemaskan Sultan trenggono, sultan Demak III. Setelah selat Malaka yang merupakan pintu masuk  perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di  Malaka dan Samudra Pasai. Jika selat Sunda  yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis. Maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan negara-negara Islam diwilayah timur, termasuk Demak, terancam putus.

Para Pangeran yang menentang seolah sudah demikian kesalnya terhadap isi perjanjian dengan Portugis tersebut. Dan akhirnya di bawah pimpinan cucu dari Sribaduga Maharaja, yaitu Syarif Hidayatullah mengultimatum untuk membantu Demak dalam upayanya dalam menghalau kekuasaan portugis di tanah Sunda. Dan mulai saat itu para pangeran sudah memutuskan untuk membantu Demak dalam menghalau kekuasaan Portugis di tanah Sunda.

Meskipun mereka akan membantu Demak untuk menghalau Portugis di tanah Sunda, mereka masih enggan untuk menyerang daerah daerah yang dikuasai oleh Raja Sunda tersebut. Seolah ikatan darah masih membuat mereka saling sungkan untuk menyerang satu sama lain. Prabu Surawisesa enggan menyerang Cirebon, dan Para Pangeran Cirebon enggan untuk menyerang kekuasaan kerajaan Sunda pajajaran, hingga desas desus kedatangan pasukan Portugis pada tahun 1526 M.

2.. Bergabungnya Para Pangeran Cirebon dengan Demak

Kedatangan wakil Portugis, Hendrik  De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan dan kesepakatan kerajaan Pajajaran  (Sunda) dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M. Menimbulkan keteguhan bagi para pangeran yang ada di Cirebon untuk melakukan perlawanan terhadap kekuaaan Raja. Karena itu, ia mulai memantapkan kerjasama dengan pihak Demak.

Awalnya kerjasama setengah hati, tetapi kemudian menjadi suatu tekad untuk membebaskan kerajaan Pajajaran dari Portugis. Karena mulai mendapat dukungan dari para pangeran sunda dari Cirebon, Sultan Trenggono dari Demak mulai memfokuskan untuk menyerang pelabuhan utama di kerajaan Pajajaran, yaitu Banten dan Kalapa (sunda Kalapa). Dimana dalam perjanjian antara kerajaan pajajaran dan Portugis, portugis akan membangun benteng di kedua pelabuhan tersebut.

Kerajaan Pajajaran  adalah kerajaan yang terkenal  kuat. Dan daya tahan yang sangat luar biasa. Karena itu kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan yang paling stabil di nusantara, karena tidak ada yang bisa pernah menguasai tanah sunda ini, termasuk Sriwijaya dan Majapahit.

Karena itu dengan dukungan para pangeran turunan Raja Sunda ini, maka dimungkinkan Demak akan bisa menguasai daerah-daerah yang dikuasai oleh Pajajaran ini.

Demak sangat mengharap bisa menguasai tanah sunda dengan cepat, tetapi realitasnya tidaklah demikian. Demak meskipun bisa menguasai beberapa wilayah di wilayah sunda dengan bantuan Cirebon. Tetapi dalam sejarahnya malah Demak yang lebih cepat musnah dari sejarah, karena perebutan kekuasaan diantara para keturunan Raden fatah tersebut.

3.. Reaksi Prabu Surawisesa

Mengetahui saudara-saudaranya dari Cirebon melakukan kerjasama dengan Demak. Maka Prabu Surawisesa mulai membangun angkatan perangnya. Konon pasukannya seribu orang. Pasukannya disamping disebar diperbatasan dengan Cirebon, dan wilayah wilayah lainnya yang berbatasan dengan kekuasaan Demak, juga memprioritaskan pada dua pelabuhan utamanya, terutama pelabuhan Kalapa, yang merupakan urat nadi perekonomian Pajajaran, karena pelabuhan ini adalah yang terdekat dengan ibukota dan yang terpenting. Demikian juga pelabuhan Banten, yang waktu itu menjadi pelabuhan interntional, karena selat sunda waktu itu merupakan jalur  utama perdagaangan, setelah selat malaka dikuasai oleh Portugis.

Untuk pertahanan Banten, karena letaknya yang begitu jauh dari ibukota, maka penjagaannya lebih dibebankan kepada penguasa kerajaan Banten Girang, yang merupakan negara bagian kerajaan Pajajaran.

Dan pada tahun 1526 M, kerjasamanya dengan Portugis mulai direalisasikan. Pada tahun tersebut, gubernur jendral Portugis di Malaka,  Alfonso d’Albuquerque mengirim enam kapal perang dibawah pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa. Kapal yang dikirim adalah jenis galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada itu diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang.

4.. Serangan Cirebon - Demak pada tahun 1526 M

Mendengar akan kedatangan pasukan Portugis yang mulai berangkat dari Malaka pada tahun 1526 M dengan membawa persenjataan. Pasukan Demak dan juga pasukan Cirebon mulai bergerak untuk menguasai 2 pelabuhan utama, yang nantinya akan dijadikan benteng Portugis.

Sultan Trenggono mengirimkan 20 kapal perang bersama 1.500 prajurit dibawah pimpinan Fatahillah menuju Sunda Kelapa. Armada perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis.

Yang menjadi target pertama Cirebon dan Demak adalah menguasai Kalapa (Jakarta). Sehingga terjadi peperangan. Tetapi karena penjagaan dari pasukan Pajajaran sangat ketat, sehingga pasukan Cirebon-Demak mulai terdesak. Sehingga kemudian mereka mengarahkan serangannya ke wilayah banten, yang dianggapnya secara pertahanan sangat rapuh. Disamping itu salah istri dari Syarif Hidayatullah berasal dari penguasa di Banten. Dan anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin telah membuat pasukan disana dan telah siap membantunya.

Jadi terjadilah peperangan di Banten, penguasa Banten yang merupakan kakak ipar Syarif Hidayatullah atau ua dari Maulana Hasanuddin harus berhadapan dengan keponakannya sendiri. Dan akhirnya sang Ua- dapat dikalahkannya.

Tidak hanya itu, untuk memudarkan konsentrasi raja Surawisesa, pihak Cirebon juga mulai menyerang wilayah wilayah di timur Pajajaran. Sehingga Banten dan Kalapa (jakarta) dengan mudah dapat dikuasai oleh Cirebon yang dibantu Demak.

Dan setidaknya dalam  14 tahun berkuasa dari sang raja Surawisesa ada 15 pront peperangan, seperti yang diungkap dalam naskah Carita parahiyangan:

.....Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung. Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan. Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya. Lawasna jadi ratu opatwelas taun.

Di wilayah pelabuhan Sunda kelapa (jakarta sekarang), Prabu Surawisesa menghadapi 3 pront peperangan, yaitu diarea pelabuhan itu sendiri (di kalapa), Tanjung dan Ancol Kiyi. Karena mulai terdesak kemudian pasukan Cirebon Demak mulai memfokuskan untuk menguasai pelabuhan kedua kerajaan Pajajaran, yaitu Banten. Maka terjadilah perang di Banten (wahanten Girang), Simpang dan juga Gunung Batu.

Di wilyah timur juga, Prabu Surawisesa harus menghadapi pasukan Cirebon yang mulai menyerang Saung agung, Rumbut, Gunung Banjar, Padang,  Pagaokan, MUNtur, Hanum, pagerwesi dan medang Kahiyangan (Sumedang sekarang).

a.. Pertempuran di Sunda kalapa, Tanjung dan Ancol Kiyi
Pertempuran di sunda kalapa (Jakarta)  dan sekitarnya terdiri dari 3 pront pertempuran, yaitu Kalapa, Pront Tanjung dan Front Ancol Kiyi. Kalapa merupakan pelabuhan utama  Pajajaran, sedang Tanjung adalah sebuah kerajaan bawahan kerajaan Pajajaran yang berada di aliran sungai CiLiwung. Dan Ancol Kiyi  adalah wilayah yang disebut ancol sekarang.
Sampai dengan dekade kedua abad ke-16, Sunda Kelapa dan banten merupakan pelabuhan yang memiliki nilai strategis secara ekonomi dan politik dari Kerajaan Hindu Pajajaran. Bandar ini menjadi pelabuhan perantara paling ramai dikunjungi para pedagang Arab, India, Cina, dan para pedagang Nusantara setelah Malaka.
Pada pertempuran di Kalapa pada awalnya pasukan gabungan terdesak. Karena itu pasukannya kemudian dialihkan untuk menaklukan Banten. Dan di tahun itu (1526 M) Banten dapat dikuasai, barulah Kalapa diserang lagi dari 3 arah, dari Laut, dari sebelah barat diserang dari banten, dan disebelah timur diserang dari Cirebon. Dan Kalapa ditaklukan oleh pasukan Cirebon-Demak pada tanggal 22 Juni 1527 M, dibawah pimpinan Fatahillah, dan dalam naskah carita parahiyangan disebut sebagai Arya Burah. Kemenangan ini kemudian dijadikan sebagai hari kelahiran jakarta hingga kini.

b.. Pertempuran di Banten
Serangan yang dilakukan oleh Demak dan juga Cirebon, pada awalnya menyerang kalapa, tetapi karena pertahanan militer dari pasukan Raja Surawisesa sangat kuat, sehingga akhirnya pasukan ditarik untuk merebut Banten (wahanten Girang). Dan pada tahun itu juga (1526 M) Banten dengan mudah dapat dikuasai oleh pasukan gabungan Demak-Cirebon. 
Setelah dapat menguasai Banten ini maka Pasukan gabungan menggunakan Banten menjadi markas utamanya penyerangan terhadap wilayah Pajajaran di bagian barat, termasuk penyerangan terhadap Kalapa. dan dalam perkembangannya Banten kemudian menjadi negara yang independen.
Menurut berita Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil negri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan

c.. Pertempuran Di Saung Agung
Saung Agung merupakan suatu kerajaan bagian pajajaran yang terletak di kaki gunung Burangrang, dan diperkirakan di daerah Wanayasa sekarang. Bujangga Manik dalam naskahnya menjelaskan bahwa gunung Burangrang merupakan tapal batas (pilar) Saung Agung. Kerajaan Saung Agung merupakan daerah  terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon pada tahun 1530 M, di bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai Citarum, dimana sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon.
Dalam Naskah Bujangga Manik, Gunung Burangrang merupakan pilar (tapal batas) dari Saung Agung. Jadi keberadaan wilayah Saung Agung adalah dii kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan Saung Agung. . Nama Saung Agung, kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.
Wanayasa berasal dari kata “wana” dan “yasa” yang berarti hutan yang sangat lebat. Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain Carita Parahiyangan  di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu (perlu penyelidikan)
Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.

d.. Pertempuran di Medang kahiyangan
Medang kahiyangan merupakan nama sebuah kerajaan yang nantinya bernama Sumedang Larang. Tentang nama Medang kahiyangan ini juga diceritakan dalam naskah Bujangga Manik, dimana ia melewati daerah ini ketika perjalanannya ke timur dan bali..

5.. Wilayah Wilayah Yang Mulai Takluk ke Cirebon
Disamping Banten, Kalapa mulai bisa ditaklukan secara berurutan. Banyak raja raja daerah di bawah kerajaan Pajajaran, mulai menyerahkan diri pada penguasa Cirebon. Diantaranya: Raja Talaga, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon. Salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian  diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan, karena kuningan menjadi bagian Cirebon.

6.. Akhir Kisah Prabu Surawisesa
Meskipun dipertahankan dengan gagah berani, tetapi akhirnya beberapa daerahnya dapat dikuasai oleh pasukan gabungan Cirebon-Banten-Demak. Yang pertama kali jatuh ke tangan lawan adalah Banten, diikuti oleh Kalapa (Jakarta), dan diikuti oleh beberapa daerah di sebelah timur, seperti Talaga, Kuningan.
Banten merupakan salah satu pelabuhan utama dari kerajaan pajajaran. Setelah Malaka dikuasai oleh Portugis, Banten menjelma sebagai pelabuhan terpenting dalam perdagangan di Nusantara. Karena itu dengan dikuasainya Banten, yang dikuti oleh jatuhnya Kalapa (Jakarta). Maka perekonomian dan sumber pendapatan kerajaan Pajajaran lumpuh total.
Dengan jatuhnya banten, seolah menjadi pukulan terberat dari Prabu Surawisesa, karena sebagai pelabuhan utama, banten justru digunakan sebagai basis penyerangan ke wilayahnya di bagian barat. Dan tentu bantuan dari masyarakat muslim terhadap banten ini semakin meningkat.
Seolah menjadi efek domino, dengan keberhasilannya Banten ditaklukan lawan (1526 M), Pasukan gabungan kemudian dapat menguasai Sunda kalapa, yang kenudian dinamakan jakarta (1527 M), Talaga (1529), Saung agung (1530 M) dan yang lainnya.

a.. Melakukan Perjanjian dengan Cirebon
Meskipun Cirebon yang dibantu Demak  dapat menguasai beberpa pelabuhan penting seperti Banten dan Kalapa (jakarta), tetapi Cirebon tidak dapat berbuat banyak terhadap wlayah wilayah Pajajaran di Pedalaman. Kekuatan tentara Pajajaran di pedalaman masih tangguh untuk ditaklukan. Hal ini misalnya dalam perang Cirebon-Galuh di Bukit Gempol pada tahun 1528 M. Pasukan Cirebon dapat dikalahkan. Hanyalah dapat selamat karena bantuan pasukan Demak datang tepat pada waktunya. Sehingga dengan persenjataan meriam pasukan Cirebon-Demak dapat menceraiberaikan pasukan pajajaran.
Suasana berperang antara Pajajaran dan pasukan gabungan Cirebon Deemak telah berlangsung selama 5 tahun, dan akhirnya pada tahun 1531 M diadakan perjanjian perdamaian antara Cirebon dan raja Surawisesa. Kisah perjanjian ini dkisahkan dalam Naskah Wangsakerta kitab Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara.
Surawisesa adalah saudara seayah Lara santang yang merupakan ibu Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) . Dengan  dasar persaudaraan  diantara kedua raja, maka pajajaran dan Cirebon berjanji tidak akan saling menyerang dan masing masing berdiri sebagai negara merdeka yang berdaulat.
Naskah perjanjian dibuat di Cirebon dan ditandatangani oleh Syarif Hidayatullah dan Surawisesa. Dari pihak cirebon ikut menandatangani bupati Banten (Maulana Hasanuddin), bupati Sunda kelapa (Fatahillah), dan putra mahkota cirebon (Abdul Arifin, Pangeran Pasarean). Oleh karena itulah menurut naskah sampai Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) meninggal (1568 M), dan Fatahillah wafat (1570 M) tidak terjadi peperangan dengan Pakuan.

b.. Membuat Sasakala (Prasasti Batutulis)
Setelah perjanjian dengan Cirebon pada tahun 1531 M, seolah Surawisesa dapat menghela nafas untuk memperbaiki keadaan negara dan urusan dalam negerinya.
Dan pada tahun 1533 M, pada upacara kematian ayahnya yang ke-12 tahun atau dalam upacara Srada, yang dimaksudkan untuk menyempurnakan sukma seseorang yang telah meninggal dunia. Upacara ini bisanya dlakukan 12 tahun setelah seseorang meninggal dunia.
Dan pada saat itu pula Prabu Surawisesa membuat prasasti untuk mengenang kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Prasasti itu dikemudian hari dikenal dengan Prasasti Batutulis (di bogor sekarang).

c.. Meninggalnya Sang Raja

Pada tahun 1535 M, Prabu Surawisesa meninggal dunia, dan digantikan oleh putranya yang bernama Ratu Dewata. Ia dimakamkan di Padaren.

(Lanjut)

By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang

Sumber :
Danasasmita, Saleh, Menelusuri Situs Prasasti batutulis, Kiblat, Bandung, 2014
Danasasmita, Saleh, Mencari Gerbang Pakuan, Kiblat, Bandung, 2014
Ekadjati, Edi S., Dari Pentas Sejarah Sunda , Kiblat, Bandung, 2014
Internet: Wikipedia dan lain lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar