Minggu, 04 September 2016

KAIRAGA, PENULIS PRODUKTIF DALAM PERADABAN SUNDA KLASIK, PENULIS NASKAH CARITA RATU PAKUAN



PENGANTAR

Membaca tulisan Atep Kurnia, penulis lepas bergiat di Pusat Studi Sunda (PSS) diinternet, yang diposting oleh Aditia Gunawan,  dalam tulisannya yang berjudul  Kairaga dan Karya Karyanya. Sungguh tulisan yang sangat menakjubkan. Seolah menemukan mutiara, yang sedang dicari begitu tentang tokoh Kairaga ini. Dan seolah tidak ada celah untuk menambah dan mengolah isi tulisan ini, sehingga mengenai Kairaga ini merupakan Saduran atau kutipan dari tulisan Atep Kurnia ini.
Kekaguman terhadap karya Kairaga ketika membaca Naskah Carita Ratu Pakuan yang salah satunya adalah kisah perpindahan Keraton Surawisesa di Kawali (keraton Timur) di sekitar Ciamis sekarang ke Keraton Pakuan Pajajaran di bogor sekarang (keraton barat), iring iringan para ratu (Ratu Ambetkasih dan istri istri lainya) diceritakan dengan narasi yang mengagumkan.
Mungkin banyak orang sunda yang belum begitu mengetahui tentang Kairaga ini.  Kairaga merupakan mutiara dalam peradaban Sunda klasik, yang tulisannya hingga sekarang masih ditemui. Dan salah satu karyanya Naskah Carita Ratu Pakuan, sering dikutip banyak penulis ketika menceritakan iring iringan perpindahan keraton dari Kawali ke Pakuan di era Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi.
Seperti yang diceritakan dalam prasasti Batutulis, bahwa Sribaduga Maharaja dilantik menjadi raja di 2 tempat, pertama mendapat tahta dari ayahnya Prabu Dewa Niskala di istana Galuh di Kawali, karena itu ia kemudian menempati istana Kawali. Dan setelah itu ia kemudian diangkat menjadi raja di Pakuan mengantikan mertuanya, Prabu Susuk Tunggal, dan ia memilih istana Pakuan untuk memerintahnya. Karena itu terjadilah perpindahan dari keraton Kawali ke Pakuan. Dan iring iringan itu diceritakan dalam Naskah Carita Ratu Pakuan. Naskah ini telah dibahas dan diterjemahkan oleh Atja (1970).

NASKAH

BAB I SILSILAH KAIRAGA
Salah seorang penulis dalam peradaban Sunda Klasik. Ia setidaknya menulis 5 buah naskah Sunda klasik yang sudah diungkap. Dan kemungkinan banyak juga yang ia tulis yang belum diungkap, karena hinga kini ada sekitar 50-an naskah sunda yang ada di Perpustakaan Nasional dan Kabuyuta Ciburuy Garut yang masih belum diungkap. Hal itu juga belum naskah naskah sunda klasik yang ada di perpustakaan luar negeri (belanda dan inggris).
Tentang Kairaga ini berdasar Naskah Ratu Pakuan (1970) karya Atja dan Tiga Pesona Sunda Kuna (2009) susunan J Noorduyn dan A. Teeuw, dapat disimpulkan bahwa Kairaa adalah seorang petapa yang tinggal di sekitar Sutanangtung, Gunung Larang Srimanganti. Gunung ini merupakan nama kuno untuk Gunung Cikuray kabupaten Garut sekarang.
Melalui penelusuran dan penafsiran Pleyte yang ada pada Naskah ratu Pakuan dan Tiga Pesona Sunda Kuno , Kairaga diperkirakan hidup pada awa abad ke-18 M. Penelusuran dan penafsiran Plyte ini didasarkan atas perbandingan naskah naskah yang ditulisnya dengan Naskah Carita Waruga Guru yang menunjukan kesamaan corak huruf.
Kairaga tidak meninggalkan keturunan, karena itu karya karyanya yang ia tulis diturunkan kepada kerabat-kerabatnya. Dan ketika Raden saleh, seorang pelukis terkenal, pada tahun 1856 M mencari cari peninggalan purabakala atas inisiatif Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia (BGKW), naskah Kairaga ini diserahkan kepada pelukis tersebut.

BAB II KARYA KARYA YANG DINISBATKAN KEPADA KAIRAGA
Hingga kini setidaknya ada 5 naskah sunda klasik yang dinisbahkan kepada Kairaga. Kelima naskah tersebut adala: Carita Ratu Pakuan (Kropak 410), Kropak 411, Carita Purnawijaya (Kropak 416), Kawih Paningkes (Kropak 419), Gambaran Kosmologi Sunda (kropak 420) dan Darmajati (Kropak 423).
Bukti kepenulisan Kai Raga dinyatakannya dalam bentuk kolofon pada masing-masing naskah di atas dan posisinya biasanya berada di akhir teks. Pada Kropak 410 dan 411, ada keterangan: sadu pun, sugan aya sastra leuwih sudaan, kurang wuwuhan. Beunang diajar nulis di Gunung Larang Srimanganti dan beunang nganggeuskeun di sukra wage gununglarang srimanganti. Ini carik kai raga. (Maaflah, bila ada tulisan berlebih, mohon dikurangi, jika kurang tambahi. Hasil belajar menulis di Gunung Larang Srimanganti dan telah selesai dituliskan pada hari Jumat wage di Gununglarang Srimanganti. Ini juru tulis Kai Raga) (Atja, 1970 dan Undang A. Darsa, 2007).
Demikian pula Carita Purnawijaya (Kropak 416) dan Darmajati (Kropak 423), keduanya menunjukkan keterangan yang sama. Kata-kata yang dimaksud adalah: sugan aya sastra ala de ma, sugan salah gantian, sugan kurang wuwuhan. Beunang Kai Raga nulis, di gunung Larang Sri Manganti (kalaulah ada tulisan jelek dan sia-sia, jika keliru perbaikilah, apabila kurang harap dilengkapi. Tulisan hasil Kai Raga, di Gunung Larang Srimanganti) (Undang A. Darsa, dkk. 2004).
Sementara menurut Atja (1970), Kawih Paningkes (Kropak 419) diakhiri dengan kata-kata: ini kang nulis kai raga nu keur tapa di sutanangtung. Sedangkan Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420), menurut Undang A. Darsa dan Edi S. Ekadjati (2006) diakhiri dengan kata-kata: ini kang anulis Kai Raga, eukeur tapa di Sutanangtung. Sugan kurang wuwuhan, leuwih sudaan (inilah penulis bernama Kai Raga, tengah bertapa di Suta Nangtung. Bila ada kekurangan mohon ditambah, jika berlebihan mohon dikurangi)
.
BAB III ISI KARYA
Secara garis besar, karya tulis Kai Raga dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, yang masuk ke rumpun sejarah. Kedua, masuk ke rumpun keagaamaan. Naskah Sunda kuno karya Kai Raga yang mewakili rumpun sejarah adalah Carita Ratu Pakuan (Kropak 410). Sementara yang mewakili keagaamaan adalah Carita Purnawijaya (Kropak 416), Kawih Paningkes (Kropak 419), Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420), dan Darmajati (Kropak 423).
Sementara Kropak 411, sejauh ini belum diketahui keberadaannya. Karena dalam Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Katalog induk naskah-naskah Nusantara jilid 4 (1998), naskah tersebut tidak didapatkan lagi datanya. Akan tetapi, catatan Pleyte dalam Poernawidjaja’s Hellevaart, of de Volledigeverlossing, Vierde bijdrage tot de kennis van het oude Soenda (1914), jelas menyebutkan keberadaan naskah tersebut. Dengan demikian, besar kemungkinan naskah tersebut telah raib dari koleksi Perpustakaan Nasional.
Carita Ratu Pakuan, sebagaimana catatan Atja (1970), dibagi dua bagian. Pertama, me-ngenai gunung-gunung pertapaan para pohaci yang akan menitis kepada para putri pejabat calon istri Ratu Pakuan atau Prabu Siliwangi. Kedua, mengenai kisah Putri Ngambetkasih diperistri Ratu Pakuan.
Carita Purnawijaya (Poernawidjaja’s Hellevaart) merupakan adaptasi naskah Jawa kuno yang bernapaskan agama Buddha, Kunjarakarna. Isinya menerangkan Purnawijaya yang mendapatkan pencerahan dari Dewa Utama, perjalanannya ke neraka, dan serta uraian masalah-masalah filosofis yang dia dapatkan. Naskah ini mirip sekali isinya dengan Darmajati, meski di beberapa bagian ada yang berbeda.
Selanjutnya, naskah Kawih Paningkes dan Gambaran Kosmologi Sunda pada dasarnya berisi tentang segala macam renungan mengenai masalah-masalah keagamaan. Gambaran Kosmologi Sunda berisi dialog antara Pendeta Utama dengan Pwah Batari Sri me-ngenai bagaimana semua mahluk menjalankan tugasnya masing-masing sesuai bayu, sabda, dan hedap anugerah dari Sang Pencipta. Selain itu, juga ada disebutkan me-ngenai tuntunan peribadatan yang harus dilakukan.
Sementara, Kawih Paningkes, menurut Ayatrohaedi, dkk. (1987), berisi lembaran mengenai ajaran agama yang bercampur antara kepercayaan Hindu dengan kepercayaan pribumi. Hal tersebut terbukti dengan disebutkannya nama dewa dan dewi agama Hindu dengan nama-nama pohaci dan apsari yang khas Pasundan.

(lanjut.....)

(Sumber: Atep Kurnia, penulis lepas bergiat di Pusat Studi Sunda (PSS). Di internet postingan Aditia Gunawan,  dalam tulisannya yang berjudul  Kairaga dan Karya Karyanya.)
 










BUYUT NI DAWIT, PERTAPA DAN SEORANG PENULIS DI ERA SUNDA KLASIK

Pengantar
Politik bumi hangus dalam penghancuran ibukota Pakuan Pajajaran, menimbulkan permasalahan yang rumit hingga kini, yatu terputus peradaban Sunda klasik dengan generasi sekarang. Yang menyebabkan generasi sekarang harus bersusah payah untuk menemukan khazanah peradabannya yang hilang. Karena berbagai khazanah keilmuan  hilang dengan hilangnya pusat peradaban.
Ketika suatu istana dihancurkan maka isi dari istana itu sendiri akan dengan sendirinya hancur.  Padahal di istana itulah biasanya merupakan tempat  warisan peradaban beratus ratus tahun ditulis   juga akan  hilang. Di istana juga biasanya ada perpustkaan yang mencatat raja raja sebelumnya dan silsilah penguasanya. Bahan tulisan biasanya terbuat dari kertas atau daun lontar dan semacamnya adalah yang gampang atau rapuh terhadap kerusakan, apalagi kalau terjadi pembakaran. Dengan demikian seolah peradaban yang dibangun beratus ratus tahun, musnah seiring musnahnya tempat peradaban itu sendiri. Dan generasi selanjutnya hanya bisa “kokoreh” mencari sisa sisa peradaban, itupun harus dengan bersusah payah.
Dalam pengungkapan kembali sisa sisa peradaban Sunda di era modern  mungkin kita harus berterima kasih kepada ilmuwan atau sejarawan yang hebat semacam: Edi S Ekadjati, Saleh Danasasmita, Atja, Undang A darsa, Ayatrohaedi dan lain lain, dan juga sejarawan Belanda yang bersusah payah mengungkap berbagai naskah Sunda. Meskipun mungkin masih banyak yang belum diungkap atau belum dibahas atau yang harus diungkap. Mudah mudahan ke depannya muncul generasi generasi pengungkap sejarah yang cerdas dari kalangan sunda, sehingga kesinambungan sejarah untuk menemukan jatidiri bangsa terungkap.
Dan pada pembahasan dibawah ini, adalah tentang Buyut Ni Dawit, yang merupakan salah seorang penulis naskah dalam peradaban Sunda Klasik. Seperti kita ketahui bahwa dalam peradaban Sunda Klasik, ada beberapa penulis atau penyalin naskah, diantaranya: Penulis Naskah Carita Parahiyangan yang namanya masih belum diketahui, Bujangga Manik, Buyut Ni Dawit, Sang Bujangga Resi Laksha, Kairaga, Pangeran wangsakerta dan lain lain.
Meskipun data baru sedikit yang ditampilkan, dan masih merupakan saduran, tetapi sesuai dengan prinsip “data sedikit merupakan awal dari pencarian.”. Jadi sangat sayang jika data yang sangat bermamfaat ini tidak ditulis dulu dalam blog ini, Dan setelah itu berarti adalah awal dari pencarian data yang lebih banyak.

NASKAH

BAB I TENTANG BUYUT NI DAWIT

Salah seorang penulis dalam peradaban Sunda Klasik. Buyut Ni Dawit merupakan seorang pertapa perempuan, penulis Naskah Sewaka Darma.
Berdasar Naskah Sewaka Darma (Kropak 408), ia `berasal dari kuta Wawatan dan pernah bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana.
Kuta Wawatan, menurut para sejarawan terletak di Priangan sebelah timur, karena penulis naskah Sewaka Darma menyebutkan nama Kendan, Medang, dan Menir yang masing-masing merupakan tempat kediaman Resi Guru Manikmaya, Kandiawan, dan Wretikandayun di daerah Priangan timur.
Pertapaan Ni Teja Puru Bancana berada di Gunung Kumbang (1216 m  dpl). Gunung ini terletak di Kabupaten Brebes sekarang (jawa tengah) atau tepatnya mungkin di suatu tempat yang dunamakan gunung Sagara (800 dpl). Yang letaknya di lereng selatan Gunung Kumbang tempat dimana naskah naskah kuno di temukan.
Meskipun penduduk kampungnya sekarang telah tiada setelah peristiwa pengambilan naskah oleh bupat Brebes Rd. Aria Tjandranegara. Tempat tersebut sejak dulu hingga sekarang dianggap mempunyai nilai spiritual tretentu bagi masyarakatmya., dimana penduduk sekitarnya hingga kini merupakaan masyarakat sunda, dan dalam beberapa aspek  kehidupanya masih cukup memegang teguh  tradisi leluhurnya. Tempat Gunung Sagara sampai saat ini masih ada dan dikeramatkan.

BAB II KARYA

Karya yang ditulis oleh Buyut Ni Dawit sekaramg ini dkenal demgan nama  Naskah Sewaka Darma atau Kropak 408. Dan naskah aslinya masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Beberapa naskah kuno yang ada di gunung sagara lereng selatan gunung Kumbang diambil oleh Raden Aria Tjandranegara, Bupati Brebes (mp. 1880-1885 M), pada tanggal 14 November 1882, kemudian diserahkan ke K.F. Holle untuk diteliti, yang khabarnya kemudian dismpan di Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen.
Sebagai koleksi Museum Nasional Jakarta, naskah Sewaka Darma  diberi nama register Kropak 408. Orang yang pertama mengumumkan naskah ini adalah Saleh Danasasmita dan kawan kawan tahun 1987. Naskah ii tretra pada daun lontar yang ditoreh peso pangot,  pisau khusus untuk menulis pada daun, bambu, atau kayu. Huruf dan bahasa yang dipakai adalah Sunda Kuno. Bentuknya puisi. Naskah ini terdiri darin37 helai daun rontal, 74 halaman, dan hanya 67 halaman yang terisi.
Tentang kapan naskah ini ditulis, tetapi para ahli menilai naskah ini dibuat pada abad ke-15 M. Berdasarkan isinya, usia naskah jauh lebih tua dari tipe hurufnya yang berasal dari abad ke-18 Masehi. Karena ajaran yang tersurat di dalamnya mengenai kelepasan jiwa (moksa) dengan gaya penuh kesungguhan, sulitlah diterima bila hal itu dikerjakan dalam suasana abad ke-18, bahkan abad ke-17 sekalipun. Pekerjaan itu hanya mungkin dilakukan pada saat agama Islam belum merupakan anutan umum di tatar Sunda. Sehingga diduga naskah ini merupakan salinan dari naskah yang lebih tua. Mungkin sekali naskah aslinya disusun paling tidak dalam abad ke-15 Masehi ketika anasir Hindu dalam kehidupan religi masyarakat Sunda belum merosot terlalu jauh
Isi naskah Sewaka Darma secara umum berbicara mengenai ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib. Menurut Danasasmita, dkk. naskah ini merupakan salah satu bukti tentang berkembangnya aliran Tantrayana di kawasan Jawa Barat pada masa silam. Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa dengan agama Buda Mahayana.
Sewaka Darma dibuka dengan kalimat:

Ini kawih panyaraman, pikawi[h]eun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, [h]awa[k[aneun sang sisya, nu huning sewaka darma.

(Inilah kawih [kidung] nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, [untuk] membangun rasa pribadi, [untuk], diamalkan para siswa, yang paham sewaka darma).
Istilah “kawih” sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat Sunda dalam pengertian lagu atau nyanyian vokal. “Panyaraman” masih mempunyai kesamaan dengan bahasa Sunda sekarang, berasal dari kata “caram” (di Priangan barat umumnya menggunakan kata “carek” yang searti dengan kata ini), artinya “larang” atau “peringatan”. “Kawih
panyaraman” berarti “nyanyian (tentang) larangan” atau “nyanyian (tentang) peringatan”, yang bisa juga berarti “nyanyian (suatu) nasihat”.

Berdasarkan teks tersebut naskah ini ternyata bernama Kawih Panyaraman, dan merupakan teks yang cukup panjang, yaitu 37 lembar dengan tulisan sebanyak 67 halaman. Apakah teks Kawih Panyaraman ini bisa dan biasa dinyanyikan (dikawihkeun), hal ini tidak dapat dipastikan. Akan tetapi bila dipegang asumsi bahwa istilah “kawih” dalam naskah ini masih searti dengan istilah “kawih” zaman sekarang, maka ada kemungkinan bahwa teks ini bisa dan biasa dinyanyikan pada zamannya. Sampai abad ke-19, bahkan pertengahan abad ke-20, untuk membaca suatu teks yang panjang, orang Sunda biasanya akan membacanya sambil dinyanyikan. Tujuannya, seperti dikemukakan Moriyama (2005:66), bagi orang Sunda, mendaraskan dangding (ditembangkeun) adalah hiburan sekaligus pendidikan. Bisa dibandingkan pula dengan artefak hidup seni pertunjukan buhun yang masih hidup sekarang dan menonjolkan sisi isi teks lagu, yaitu pantun. Pantun yang teksnya sangat panjang disajikan dengan cara dikawihkeun (dinyanyikan) pula. Teks Kawih Panyaraman sangat “hidup” karena memberikan pesan isi, namun sebaliknya secara karawitan—bila teks ini pada zamannya bisa dan biasa dinyanyikan—maka naskah ini merupakan teks mati karena tidak bisa memberikan gambaran bagaimana teks ini seharusnya dinyanyikan seperti pada zamannya.


(lanjut……)

By Adeng Lukmantara
peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam

(Sumber: saduran dan ringkasan dari : Wikipedia, Facebook Salakanagara. Naskah-sunda.blogspot.com, wacana.com,  , sasananuswantara.wordpress.com dll)