Sabtu, 07 April 2018

SERIAL TENTANG BUJANGGA MANIK, SANG PENGEMBARA SUNDA ABAD 15 M (4)


Oleh
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Islam dan Sunda
Asal Hariang Sumedang


Kata Pengantar

Kaum intelektual Sunda masih kebingunan tentang corak kenegaraan di tanah sunda. Karena disamping sumber nya yang sangat sedikit, kebanyakan dari masyarakat pecinta sejarah malah terjebak pada sifat prustasi dan mengembangkan cerita tahayul dibalik konsep ngahiyang  yang dipegang terus menerus hingga kini.  

Naskah Bujangga Manik termasuk naskah primer yang ditulis di era kerajaan Sunda yang ada hingga kini. Meskipun hanya sedikit, tetapi naskah Bujangga Manik cukup membuka jalan yang luas juga untuk mengembangkan kesejarahan di tanah sunda. Seperti kita ketahui hampir semua raja daerah di tatar sunda klasik bergelar Prabu yang hampir sama dengan raja induknya di Pakuan. Karena itu corak sistem kenegaraan di tanah sunda mengindikasikan bercorak federal. Indenpendensi daerah sangat terjaga.

Bujangga Manik seolah memberikan contoh yang real tentang pentingnye budaya menulis. Disamping pengalamanannya yang begitu luas. Dia juga mempunyai daya puitis yang sangat bagus. Meskipun tujuannya hanya tempat tempat suci sehingga sangat sedikit yang diceritakn tentang daerah daerah yang dilaluinya. Tetapi itupun cukup berharga bagi pencari sejarah sejati meskipun bayangan kabut masih begitu tebal. Dan mungkin banyak daerah daerah lainnya yang tidak dilewati oleh Bujangga Manik, sehingga tidak diceritakan olehnya dalam naskahnya tersebut.

Kelemahan dari masyarakat kita hingga kini adalah kurangnya mengembangkan budaya tulis menulis. Jika melihat kepada teori peradaban, bangsa yang kurang menyenangi budaya tulis menulis dikategorikan sebagai bangsa yang tertinggal, atau bangsa yang tidak modern. Karena pemikiran tidak akan berkembang. Budaya membaca biasanya berbanding lurus dengan melek hurup dari suatu bangsa. Tetapi hal ini berbeda di negeri kita, sudah Melek hurup-pun  tidak menjamin suatu bangsa sering membaca. Jika jarang yang dibaca berarti proses yang ditulis juga sedikit.

Ketika bangsa timur tengah dalam peradaban Islam mengalami masa keemasannya. Karena telah mengembangkan budaya tulis mneulis yang begitu  mengagumkan. Demikian juga bangsa Eropa, mengalami kemajuan yang signifikan ketika budaya tulis menulis begitu pesat.

Nah kita harus bersyukur juga terhadap bujangga Manik yang telah sedikitnya memberikan info, meskipun haanya sedikit. Tapi bagaikan arah jalan, sedikit info pun cukup memberi cahaya untuk menentukan arah ke mana  kita harus berjalan. Bujangga adalah  seorang pengembara , yang mengembara begitu jauh meninggalkan keduniawiaan untuk suatu idealisme dan keyakinan. Dia seorang pangeran bergelar Prabu, anak seorang raja. Tapi ia rela hidup dalam penderitaan karena keyakinannya.

Memang sulit untuk mengungkapkan semua pengalaman hidupnya dalam suatu tulisan, apalagi keterbatasan media untuk menulis, seperti ketersediaan alat tulis dan bahan untuk menulis. Jadi disnilah mungkin kita harus melihat efektifitas dalam menulis. Zaman dulu sangat berbeda dengan zaman modern. Tetapi meskipun zaman modern ini media tulis gampang didapat, tetapi kreatifitas tulisan pun masih bisa dihitung jari. Disinilah kehebatan Bujangga Manik. Dia menulis begitu efektif dengan mengungkap banyak tempat baik gunung, sungai  atau daerah yang di lalui  nya. 

Daerah daerah yang ia lalui juga namanya masih ada hingga sekarang, jadi kisah bujangga manik bukanlah buku cerita. Tidak mungkin orangbisa bercerita tanpa mengalami.  Bujangga Manik adalah intelektual Sunda yang tersisa di tengah musnahnya peradaban Kerajaan Sunda disamping penulis Naskah Carita parahiyangan. Dan mungkin namanya harus banyak digunakan pada nama jalan atau nama tempat. Biar nanti oleh masyarakat sunda dikenal sebagai tokoh intelek masyarakat sunda. Meskipun keyakinan berbeda, tetapi Bujangga Manik memang layak untuk dianggap sebagai mutiara peradaban sunda klasik yang bisa membangkitkan budaya tulis menulis di tanah Sunda di zaman sekarang.

Dan saya meyakini jangankan orang luar Sunda yang mengetahui Bujangga Manik ini, orang sunda pun banyak yang tidak mengetahui nya, termasuk di kalangan intelektual, dan juga orang yang menekuni sejarah sunda itu sendiri. Karena itu, meskipun baru upaya mengumpulkan wacan yang berkaitan dengan Bujangga Manik, mudah mudahan banyak menginspirasi kalangan muda sunda untuk mempelajari sejarahnya dan menelusri sejarah yang sebenarnya. Bukan hanya dongeng yang hanya berguna untuk mnemani atau mepene orang yang hendak tidur.

Tulisan yang berjudul " Negara Bagian Kerajaan Sunda Menurut Bujangga Manik" ini sebenarnya mengembangkan dari tulisan yang sudah ada sebelumnya tentang bujangga Manik dan negeri negeri di bawah kekuasaan kerajaan Sunda. Jadi intinya tulisan ini sedikit demi sedikit ditulis, dikupas dan diperbaiki. Karena keterbatasan sumber, dan sumber ini sendiri mulai dicicil dicari dan dibeli. Karena mungkin kita tidak akan menemui buku bertema sejarah sunda seperti di toko buku gramedia atau gunung agung. Bagai mencari jarum di padang pasir, itulah mungkin sama halnya dengan mencari buku sejarah sunda di zaman peradaban sunda modern sekarang ini. Sudah terlalu jauh dan lama terputus, disamping terjebak pada paham nihilisme. Paham dunia sudah berakhir dengan konsep ngahiyang, yang dipegang hingga kini.

Harapan munculnya suatu generasi yang cerdas dalam mengungkap sejarah sunda mungkin kita harus tetap harapkan. Semoga..

Penyusun
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Islam dan Sunda
Asal Hariang Sumedang


NEGARA BAGIAN DAN WILAYAH DIBAWAH KEKUASAAN KERAJAAN SUNDA 

Seperti dibicarakan dalam tulisan tulisan sebelumnya, kita mengenal Bujangga Manik merupakan seorang Pangeran kerajaan Sunda yang melakukan perjalanan/ pengembaraan ke tanah Jawa dan Bali, untuk melakukan pendalaman spritualnya. Kisah perjalaannya ia tulis  dan ada hingga kini. Sekarang tulisannya dikenal dengan nama Naskah Bujangga Manik.

Banyak tempat, gunung , sungai dan negeri yang ia lewati, dan kemudian diungkapkan dalam tulisanya, terutama dalam hubungannya dengan atau melewati  daerah daaerah yang dianggap suci, sebagai tempat tujuan pencariannya. Tetapi menarik juga nantinya membahas jugaa tentang daerah daerah yang dilewatinya, termasuk wilayah yang merupakan bagian dari kerajaan Sunda waktu itu. 

Meskipun tidak terlalu detail, Bujangga Manik setidaknya telah menunjukan sebercak titiK terang tentang negeri negeri bagian dalam kerajaan Sunda. Dalam kepulangannya ke tanah sunda dari perjalannnya di tanah Jawa dan juga Bali, Bujangga Manik banyak membicarakan tempat, batas batas wilayah suatu daerah dan nama kerajaan bawahan kerajaan sunda atau istilah sekarang negara bagian. 

Istilah istilah negeri yang menjadi bagian dari kerajaan sunda didappati dengan istilah lurah, alas, tenggeran (batas/ pilar) dan lain sebagainya. 

A. Istilah Istlah
Dalam buku "Tiga Pesona Sunda Kuna" yang ditulis oleh J. Noorduyn dan A. Teeuw, yang salah satunya membahas tentang Naskah Bujangga Manik,  yang diterjemahkan oleh Tien Wartini dan Undang Ahmad darsa, terdapat istilah istilah untuk suatu daerah yang digunakan untuk status wlayah di bawah kerajaan Sunda. Bujangga Manik menggunakan kata lurah, alas dan tenggeran (pilar/ poros/ perbatasan).

B. Negeri Negeri yang ada di Wilayah Kerajaan sunda

Berikut ini adalah negeri negeri yang diugkap oleh Bujangga Manik dalam tulisannya, yaitu:

1.. GALUH


Sacu(n)duk ka Hujung Galuh,
 ngalalar ka Geger Gadung,
meu(n)tas aing di Ciwulan,

leu(m)pang aing marat ngaler

(Sesampai di Hujung Galuh
melewari Geger Gadung
aku menyeberangi Sungai Ciliwung
berjalan terus ke utara)

Pembahasan pertama yang dibahas adalah Galuh, suatu kerajaan yang merupakan nenek moyang dari raja raja kerajaan Sunda. Nuoordyun dan A Teeuw menganggap Hujung Galuh yang diungkapkan oleh Bujangga Manika adala merupakan ibukotanya Kerajaan Galuh.

Sebelum sampai di Hujung Galuh, Bujangga Manik melewati Mandala Ayah, daerah Kebumen sekarang, yang dulunya juga merupakan wilayah kerajaan Sunda. Tapi mungkin  pembahasannya akan dibahas diakhir.

Daerah Galuh  merupakan daerah kabupaten Ciamis (termasuk Banjar dan Pangandaran) sekarang. Tentang kerajaan Galuh tidak akan banyak diceritakan dalam tulisan ini, karena telah ditulis banyak tentang sejarah Galuh ini. Tetapi cuckup menarik disini, ketika ibukota pindah dari wilayah Galuh ke Pakuan, dan di masa Bujangga Manik seolah Galuh  kehilangan dominasinya.  

2. MEDANG KAHIYANGAN (SUMEDANG LARANG)

Setidaknya Bujangga manik melewati Medang kahiyangan 3 kali dalam perjalananya ke wilayah timur, yaitu pada keberangkatan perjalanan pertama, keberangkatan perjalanan kedua dan sekembali dari perlanan yang kedua, 

Medang Kahiangan adalah wilayah sumedang sekarang ini, atau dikemudian hari terkenal dengan kerajaan Sumedang Larang. yang mewarisi kekuasaan wilayah Pajajaran, ketika pajajaran runtuh. Bujangga Manik belum menyebut nama Sumedang Larang tetapi masih nama Medang Kahiyangan.

Satu-satunya gunung besar yang ada di Medang kahiyangan adalah Gunung Tampomas (gunung Tompo Emas) yang mempunyai ketinggian 1.684 diatas permukaan laut, juga disebut oleh Bujangga Manik dengan nama Tompo Omas. Dan sungai besar yang jadi wilayahnya adalah Cipunagara dan Cimanuk


Pada perjalanan pertama, Bujangga manik pergi dari Pakuan ke Jawa  melewati Medang kahiyangan  disebut sebagai berikut:

“...........Sadiri aing ti inya, datang ka alas Eronan, nepi aing ka Cinangsi, meuntasing aing di citarum, ku aing geus kalampangan, meuntas Cipunagara, lurah Medang Kahiyangan, ngalalar Tompo Omas, meuntas aing ka Cimanuk, ngalalar ka Padabeunghar....... “

3. SAUNG GALAH

 Sesampai di Saung Galah
berangkatlah aku dari sana
ditelusuri Saung Galah
Gunung Galunggung di belakang saya
melewati Panggarangan
melalui Pada Beunghar
Pamipiran ada di belakangku.

Saunggalah merupakan salah satu dari kota atau wilayah administrasi yang cukup tua / kuno dalam peradaban sunda, selain Kuningan. Setidaknya kedua wilayah ini sudah tercatat sejak awal abad ke-8 M.

Saunggalah dalam beberapa periode pernah menjadi suatu kerajaan bagian sunda, atau wilayah atau huyut haden, tetapi pernah juga menjadi pusat pemerintahan / ibukota kerajaan Sunda.

Nama Saunggalah disebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan yang ditulis pada abad ke-16 M. 


3. TIMBANG JAYA

Berjalan melewati Timbang Jaya,
pergi ke Gunung Cikuray,

4. MANDALA PUNTANG

seturunku dari sana,
pergi ke Mandala Puntang.
Setelah menanjak ke Gunung Papandayan,
yang juga dipanggil Panenjoan,
aku melihat pegunungan dari sana,
jajaran (?) pemukiman di mana-mana,
semua desa, semua pemukiman,

peninggalan Nusia Larang yang mulia.

Dari Timbang jaya, Bujangga Manik melewati Gunung CiKuray. Gunung Cikuray adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Gunung Cikurai mempunyai ketinggian 2.841 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi keempat di Jawa Barat setelah Gunung Gede. Gunung ini berada di perbatasan kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggun.
Bujangga Manik ketika turun dari gunung Cikuray, ia pergi ke Mandala Puntang, Dalam kisah rakyat diceritakan tentang negeri Mandala Puntang ini. Negeri Mandala Puntang diperkirakan  berada di Panembong Bayongbong Garut, dan nantinya menjadi cikal bakal kerajaan   Timbanganten.

Raja terakhir Kerajaan Mandala Dipuntang, Prabu Derma Kingkin memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong).

Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten.

Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.

Timbanganten nantinya termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung, daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar. Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.

Sejak pertengahan Abad ke-15 M, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar tatar sunda, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedang Larang didirikan 
5..  DANUH DAN KARANG PAPAK


Aingmilang-melangi/nya,
Ti kidul na alas Danuh,
ti wetan na' Karang Papak,

(Aku melihat mereka satu per satu.
Di arah selatan adalah wilayah Danuh,
di timur Karang Papak)

Setelah Bujangga Manik naik ke Gunung Papandayan, yang ia sebut dengan Panenjoan (tempat penglihatan). Ia melihat satu persatu wilayah kekuasaan Pajajaran,  Ke arah Selatan wilayah Danuh,di timur karang papak, dan di barat balawong yang merupakan wilayah Pager Wesi.

.Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut,, tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung  mempunyai ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung.Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal.

Di Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.

6. PAGER WESI

ti kulon Tanah Balawong,
Itu ta na gunung Agung,

 ta(ng)geran na Pager Wesi.

(di barat tanah Balawong,
merupakan Gunung Agung,
pilarnya Pager Wesi)

Wilayah Pager Wesi dalam peraaaban sunda sudah dikenal sejak abad ke 7 M atau  awal abad ke-8 Masehi. Wilayah ini telah diceritakan dalaam naskah Carita Parahiyangaan.

Diungkapkan setelah terjadi ketika Raja Sonjaya dikalahkan oleh tri tunggal penguasa Kuningan yang merupakan bawahan Galunggung, dibawah kekuasaan Dangiang Guru Sempak Waja.  Karena itu kemudian Dangiang Guru melakukan perombakan penguasa diwilayahnya, salah satunya adalah dengan mengangkat Sang Puki sebagai guruhaji di Pagerwesi.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah yang diungkapkan oleh Bujangga Manik itu sama dengan apa yang diungkapkan oleh Naskah Carita Parahiyangan. Dan untuk hiipotesa awal bahwa hal itu kemungkinan besar nama yang sama.


7. MAJAPURA


Eta na bukit Patuha,
ta(ng)geran na Majapura.

(Itu Gunung Patuha,
penopang Majapura.)

Bujangga manik mengungkapkan bahwa Gunung Patuha merupakan pilar/ perbatasan wilayah Majapura. 

Gunung Patuha merupakan sebuah gunung yang terdapat di sekitar Bandung Selatan.  Tingginya 2.386 meter. Gunung patuha memiliki kawah yang sangat eksotik, yaitu kawah putih. Kawah yang terbentuk dari letusan gunung patuha itu memiliki dinding kawah dan air yang berwarna putih, .yang sekarang dijadikan obyek wisata.


8. NEGERI PASIR BATANG

Itu bukit Pam(e)rehan,
ta(ng)geran na Pasir Batang.

Itu Gunung Pamrehan,
penopang Pasir Batang.

Bujangga Manik menceritakan bahwa Gunung Pamrehan merupakan penopang atau perbatasan dari negeri Pasir batang. Bujangga Manik sebenarnya memberi suatu info yang sangat menarik yang tidak banyak dikaji oleh sejarawan sunda sekalipun.

Tentang negeri Pasir batang sendiri banyak diceritakan dalam cerita Rakyat dan juga cerita Pantun, yang mungkin ada hubungannya dengan Negeri Pasir Batang yang diungkapkan oleh bujangga Manik.

 Bujangga Manik telah memberi keterangan yang jelas tentang batasan negeri ini, yaitu Gunung Pamrehan. Tentang gunung ini masih dalam pencarian penulis di mana sebenarnya lokasi nya. J Noordyun dan A Teeuw dalam buku "Tiga Pesona Sunda Kuna" pun tidak menerangkan tentang Gunung Pamrehan ini.

Meskipun kisah dalam cerita pantun tentang Pasir Batang itu hanya sepengggal penggal, yang sebenarnya tidak mencerminkan secara jelas dari suatu negeri yang mungkin  berdiri ratusan tahun. Tetapi setidaknya,  terdapat benang merah meskipun hanya sedikit, yang menyatakan bahwa negeri ini sebenarnya ada dalam peradaban sunda, bukan hanya cerita dongeng belaka. Meskipun mungkin kebenaran dari kisah kisah patun tersebut masih perlu dikaji.

Kisah Bima Wayang, Kisah Kuda wangi dan  kisah  Langgasari merupakan contoh dari cerita atau kisah berlatar belakang dari Negeri Pasir Batang. Bahkan kisah Guruminda dan Purbasari dalam kisah Lutung Kasarung yang terkenalpun juga berlatar kisah negeri Pasir Batang. 

Meskipun mungkin kisah itu hanya sepenggal episode dari perjalanan selama ratusan tahun.  Karena kisah lisan biasanya berhubungan hal yang terjadi kalau ada masalah atau malepetaka menjadi pembicaraan banyak orang. Karena kelemahan dari budaya lisan yaitu hanya menceritakan yang dianggap menarik, dan cenderung sangat personal.

Negeri Pasir Batang ini mungkin paling banyak dikisahkan dallam pantun dan cerita rakyat dibanding dengan daerah lainnya, misalkan Saung Agung, Majapura, Pagerwesi dan lainnya. Saung Agung meskipun diungkap pula dalam Naskah carita Parahiyangan di era Prabu Surawisesa juga hanya diceritakan nama tempat saja, tempat peperangan. Sama halnya dengan nama Medang Kahiyangan (Sumedang).

Dalam kisah Pantun atau cerita rakyat, negeri Pasir Batang sendiri terdiri dari beberapa bagian, yaitu: Negeri Pasir Batang Leumbur Girang (dalam kisah Bima Wayang), Pasir batang Umbul tengah (mungkin sama dengan Pasir batang Karang Tengah,),  Pasir batang Lembur Hilir. Dikisahkan bahwa Negeri Pasir Batang itu disatukan oleh Kudawangi. Kudawangi berasal yang berasal dari Pasir Batang Leumbur Girang, meskipun cerita itu terkesan pabaliut (tidak berujung), karena Kuda Wangi ini diceritakan sebelumnya merupakan raja Gunung Wangi. 

Dalam kisah Kudawangi, dikisahkan bahwa Pasir Batang diperintah oleh Putra Raja Sunda dari Pakuan yang bernama Prabu Munding Liman  dan prameswarinya bernama Lenggang Kancana. Prabu Munding Liman dibantu oleh punggawanya yang bernama Kuda Kancana.

Prabu Munding Liman ingin mempunyai istri lagi yang berasal dari Gunung Wangi, Nyi Lenggang sari, adik dari raja Gunung Wangi yang bernama  KudaWangi.

a. Negeri Pasir Batang Leumbur Girang 
Negeri Pasir Batang Leumbur Girang Diceritakan dalam kisah Bima Wayang. Dalam kisah Bima Wayang yang merupakan Raja Pakuan sebelah barat, yang berniat untu  meminang Ratu Manik Nanding Leuwi adik Lambang Sari, yang merupakan raja dari negeri Pasir Batang Leumbur Girang. 


Dalam kisah Kuda Gandar diungkapkan bahwa Prabu Sutra Mantri, raja di negara Pakuan Barat ingin mempunyai permaisuri. Ia berangkat ke negara Pasir Batang Lembur Girang untuk meminang putri Mirah Kancana adik Pangeran Naga Kancana, raja di negara Pasir Batang Lembur Girang. Juga dipinangnya Lenggang Kancana, adik Kalang Kancana, patih di negara Pasir Batang Lembur Girang.

Dalam kisah demang kumintir diceritakan Raja di Pasir Batang Lembur Girang adalah keturunan ratu Pakuan, raja di Pajajaran, nama rajanya adalah Prabu Banday mempunyai permaisuri bernama Ratu Manik Nimbang Leuwi Ratu Emas Kalengleman.

b. Pasir batang Umbul tengah 

Negeri Pasir batang Umbul tengah dalam cerita lain mungkin sama dengan Negeri Pasir batang Karang Tengah.  

Gajah Lumantung adalah raja di negara Pasir Batang Lembur Tengah. Ia mempunyai adik seorang putri bernama Nyai Nimbang Manik yang telah bersuami, nama suaminya Sangiang Guru Gantang


dalam cerita Paksi keling dikisahkan Prabu Sutra Kamasan, raja di negara Pasir Batang Umbul Tengah, mempunyai permaisuri dua orang, yang tua bernama Limar Kancana, yang muda bernama Aci Keling. Limar kancana mempunyai kakak bernama Boma Janggala, sedang Aci keling mempunyai kakak pula, bernama Paksi Keling.

Karena gembira adiknya menjadi permaisuri prabu Sutra kamasan, raja keturunan ratu pakuan pajajaran, Boma janggala mengadakan pesta besar-besran.

c. Pasir batang Lembur Hilir. 
Di negara Pasir Batang Lembur Hilir memerintah seorang raja keturunan Ratu Pakuan Pajajaran, Prabu Rangga Malati namanya. Permaisurinya bernama Ratu Manik Raga Geulis Nimbang Leuwi Emas Pagencayan. Prabu Rangga malati mempunyai hulubalang bernama Kidang Panandri, juga mempunyai ponggawa suruhan bernama Kuda lengser, Mama Lurah dan Hatut Gugur Busiyat Hujan Gelap Nyawang.

Suatu ketika Prabu Rangga Malati menginginkan putri dari negara Pasir Batang Karang Tengah yang bernama Dewi Tulis untuk dijadikan permaisurinya.

9. ALAS MARUYUNG DAN  ALAS LOSARI

Itu ta na gunung Kumbang,
ta(ng)geran alas Maruyung,
ti kaler alas Losari,

10. PADA BEUNGHAR

Itu ta bukit Caremay,
tanggeran na Pada Beunghar,
 ti kidul alas Kuningan,
ti barat na Walangg Suji,
inya na lurah Talaga.

Menurut Bujangga manik, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah Talaga.

Gunung Ceremai  adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan  ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam), 
Jad menurut Bujangga manik di sekitar Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan dan Talaga. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin waktu itu belum begitu dikenal.

Belum ada yang mencatat tentang sejarah Padabeunghar ini. Padahal Bujangga manik telah mengatakan bahwa Gunung Ciremay merupakan pilar (tapal batas) Padabeunghar. Kemungkinan Padabeunghar ini terletak di desa Padabeunghar yang merupakan nama sebuah desa yang terletak di kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan.
Nama Padabeunghar ini juga sekarang dapat ditemui di suatu desa di Sukabumi, yaitu desa Padabeunghar, sebuah desa yang terletak di kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi.

Para peneliti masih kebingungan dengan Padabeunghar ini, apakah hanya merupakan ibukota atau nama kerajaannya juga. Ada yang mengaitkan bahwa Padabeunghar di era Bujangga Manik sama dengan Rajagaluh sekarang. Mengingat pada arti pada artinya kaki gunung, dan beunghar artinya kaya atau sugih-mukti. hal itu mirip dengan  loh jinawi (loh = tanah, jinawi = subur-makmur). Dengan demikian Raja artinya yang menguasai, galuh  artinya permata; rajagaluh sama artinya dengan yang banyak mempunyai permata, alias kaya.

Seidaknya ada 2 kali Bujaangga Manik berbicara tentang Padabeunghar ini, sebelumnya  ketika setelah dari Saunggalah perjalananya ke barat ia melewati Padabeunghar.

Sesampai di Saung Galah
berangkatlah aku dari sana
ditelusuri Saung Galah
Gunung Galunggung di belakang saya
melewati Panggarangan
melalui Pada Beunghar
Pamipiran ada di belakangku.



11. KUNINGAN

ti kidul alas Kuningan,
ti barat na Walangg Suji,
inya na lurah Talaga.


Kuningan termasuk kota tua / kuno dalam peradaban Sunda yang eksis hingga kini. Kuningan sudah ada sejak abad ke-7 Masehi, sebagaimana telah diungkapkan dalam Naskah Carita Parahiyangan. Setidaknya lebih tua dari Saunggalah, yang mulai eksis di abad berikutnya (awal abad ke-8 M).

Kuningan merupakan salah satu wilayah dalam peradaban Sunda, kemungkinan setingkat dengan propinsi atau negara bagian. Tidak diketahui  kapan daerah /kerajaan ini didirikan, yang pasti awalnya kerajaan ini merupakan  bawahan keresian Galunggung, 

Dalam naskah Carita parahiyangan, Kuningan diperintah atau dipimpin oleh 3 penguasa (triumvirate), yaitu: Sang Wulan, Sang Tumanggal dan Sang Pandawa.

Sang Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai putri yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari  Galunggung, putra dari pendiri galuh, Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang atas permintaan Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan kuningan  jatuh ke menantunya, Demunawan.

Masa Demunawan  (723 - 774)
Resi Demunawan mendirikan ibukota baru Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile  atau Saung Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku. Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma(ajaran Kitab Suci), serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya  masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali  pada tahun 739 M. Antara Sonjaya yang membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara). Perang  menelan banyak korban jiwa.. Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran  dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739 M.
Resi Demunawan pada tahun 774 M, Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun.  Setelahnya seolah kerajaan Kuningan hilang ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan ibukota pemerintahan Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019.
Mulai periode tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.

Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah. Adalah Raja Sunda, Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja sunda ke-24, Prabu Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.

Prabu Ragasuci (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda. Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara otonom.

Ratu Selawati  (sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.



12. TALAGA

ti kidul alas Kuningan,
ti barat na Walangg Suji,
inya na lurah Talaga.

Bujangga Manik mengatakan Walangsuji merupakan wilayah Kerajaan Talaga. Walangsuji diyakini merupakan ibukota dari kerajaan Talaga. 

Kerajaan Talaga didirikan oleh Prabu Talaga manggung. Setelahnya, anaknya yang menggantikannya, yang bernama Ratu Simbarkancana, kemudian  Kerajaan Talaga dipegang oleh putera pertamanya yang  mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung meninggal, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puterinya yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan tidak lagi di walangsuji, tetapi  dipindahkan ke Parung.


14. GUNUNG WANGI

Itu Tangkuban Parahu,
tanggeran na Gunung Wangi.


Menurut Bujangga Manik, Gunung Tangkuban Parahu merupakan pilar atau perbatasannya wilayah Gunung Wangi.

Gunung Tangkuban Perahu berada di kabupaten bandung dan juga Subang. Gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter dan termasuk gunung api aktif.. Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.


Dalam cerita Rakyat atau Pantun, Kerajaan Gunung Wangi ini pernah di pimpin oleh raja yang bernama Kudawangi (dalam kisah Kuda wangi). Dalam kisah tersebut Prabu Munding Liman yang berasal dari Negeri Pasir Batang ingin mengawini secara diam diam putri kerajaan Gunung Wangi yang beranama, Nyi Lenggang sari, adik dari raja Gunung Wangi yang bernama  KudaWangi.

15. SRI MANGGALA

Itu ta gunung Marucung,
 ta(ng)geran na Sri Manggala.

16. SAUNG AGUNG

 Itu ta bukit Burangrang,
ta(ng)geran na Saung Agung.


Gunung Burangrang merupakan sebuah gunung api mati, ditataran Sunda yang  mempunyai ketinggian setinggi 2.064 meter. Gunung ini merupakan salah-satu sisa dari hasil letusan besar Gunung Sunda di Zaman Prasejarah. Gunung Burangrang bersebelahan dengan Gunung Sunda.
Dikatakan oleh Bujangga Manik bahwa Gunung Burangrang, merupakan pilar perbatasan/ tapal batas wilayah Saung Agung.  Di kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan Saung Agung.
 Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda. Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai pangparatan Situ Wanayasa.
Wanayasa berasal dari kata “wana” dan “yasa” yang berarti hutan yang sangat lebat. Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain Carita Parahiyangan  di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu (perlu penyelidikan)
.Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon .Pada tahun 1530, bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.
Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.



17. HUJUNG BARAT

Itu (ta na) bukit Burung Jawa,
ta(ng)geran na Hujung Barat.

18. GUNUNG ANTEN

Itu ta bukit Bulistir,
 ta(ng)geran na Gu/nung A(n)ten.

19. BATU HIANG

Itu bukit Naragati,
ta(ng)geran na Batu Hiang.

20. KURUNG BATU

Itu ta na bukit Barang,
 ta(ng)geran na [alas] Kurung Batu.

21. ALAS SAJRA
Itu bukit Banasraya,
ta(ng)geran na alas Sajra,
ti barat bukit Kosala.


22. CATIH HIANG
 Itu ta na bukit Catih,
ta(ng)geran na Catih Hiang.


23. DEMARAJA
Itu bukit Hulu Mu(n)ding,
ta(ng)geran na Demaraja,


24. TEGAL LUBU
ti barat bukit Parasi,
ta(ng)geran na Tegal Lubu,


25. SEDUNARA
ti wetan na Sedanura,
nu awas ka alas Si(n?)day.
Eta ta na gunung Kembang,
geusan tiagi sagala,
ti kidul na alas Maja,


26.. BOJONG WANGI
eta na alas Rumbia.
Ti barat na wates Mener,
 ta(ng)geran na Bojong Wangi.


27. KUJAR JAYA
Itu ta na gunung Hijur,
ta(ng)geran na Kujar Jaya.


29. KARANG KIANG
Itu ta na gunung Su(n)da,
ta(ng)geran na Karangkiang.


30. ALAS KARANG
Itu ta na bukit Karang,
 ta(ng)geran na alas Karang.


31. ALAS RAWA
 Itu gunung Cinta Manik,
ta(ng)geran na alas Rawa.

32. LABUHAN RATU
itu ta / na gunung Kembang,
ta(ng)geran Labuhan Ratu.

33. ALAS WANTEN
Ti kaler alas Panyawung,
 ta(ng)geran na alas Wa(n)ten.

34. ALAS PAMEKSER
Itu ta na gunung (.. .)ler,
ta(ng)geran alas Pamekser,
nu awas ka Ta(n)jak Barat.
Itu ta pulo Sanghiang,
heuleut-heuleut nusa Lampung,

35. ALAS MIRAH

Ti timur pulo Tampurung,
ti barat pulo Rakata,
gunung di tengah sagara.
Itu ta gunung J(e)reding,
ta(ng)geran na alas Mirah,


36. HUJUNG KULON
ti barat na lengkong Gowong.
Itu ta gunung Sudara,
 na gunung Guha Ba(n)tayan,
tanggeran na Hujung Kulan,
ti barat bukit Cawiri.

37. PANAHITAN
Itu ta na gunung Raksa,
gunung Sri Mahapawitra,
ta(ng)geran na Panahitan,
ti wetan na Suka Darma,
ti barat na gunung Manik.
..................

38. DAERAH LAINNYA 

a. Mandala Beutung

meu(n)tasing di Cicarengcang,
 meu(n)tas aing di Cisanti.
Sana(n)jak ka gunung Wayang,
sadiri aing ti inya, cu(n)duk ka Mandala Beutung


b. Mulah Beunghar dan Tigal Luar
ngalalar ka Mulah Beunghar,
nyanglandeuh ka Tigal Luar,
katukang bukit Malabar,
kagedeng bukit Bajoge.

c. Mandala Wangi
Sacu(n)duk ka gunung Gu(n)tur,
ti wetan Mandala Wangi,


d. Jampang Manggung

nu awas ka gunung Ke(n)dan,
ngalalar ka Jampang Manggung.

e. Mulah Mada dan Tapak Ratu
Sadatang ka Mulah Mada,
ngalalar ka Tapak Ratu


f. Mandala Ayah

(LANJUT......)


By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Islam dan Sunda
Asal Hariang Sumedang

Sumber
-  J. Noordyun, A.Teeuw, Three Old Sundanese Poems (Tiga Pesona Sunda Kuna, terj. Tien Wartini dan Undang Ahmad Darsa), Bogor, Mei 2009
-  Berbagai Sumber di Internet




Tulisan sebelumnya di blog yang sama


Dalam Naskah perjalanannya  ke tanah Jawa dan Bali, Bujangga Manik banyak membicarakan tempat, batas batas wilayah suatu daeah dann nama kerajaan bawahan kerajaan sunda  diataranya:
·         Galuh
·         Saunggalah
·         Karangpapak
·         Pager Wesi.
·         Danuh,
·         Majapura.
·         Pasir Batang
·         Maruyung,
·         Losari.
·         Pada Beunghar,
·         Kuningan,
·         Talaga.
·         Gunung Wangi.
·         Mandala Dipuntang
·         Sri Manggala,
·         Saung Agung.
·         Medang Kahiangan.
·         Gunung Wangi,
·         Sri Manggala.
·         Saung Agung.,
·         Hujung Barat.
·         Gunung Anten.
·         Batu Hiang.
·         Kurung Batu.
·         Sajra,
·         Catih Hiang.
·         Demaraja, ,
·         Tegal Lubu,,
·         Bojong Wangi.
·         Kujang Jaya.
·         Karangiang, 
·         Karang.
·         Rawa.
·         Labuhan Batu.
·         Wanten.
Dalam naskah  Bujangga Manik tersebut diterangkan juga pebatasannya atau pilar atau penopangnya  dari setiap wilayah itu.
·         Pager Wesi  (penopangnya:   Gunung Agung),
·         Majapura. (penopangnya Gunung Patuha,
·         Pasir Batang. ( penopangnya Gunung Pamrehan
·         Maruyung, ( penopangnya Gunung Kumbang)
·         Losari
·         Pada Beunghar, (penopangnya: Gunung Ceremay)
·         Kuningan,
·         Talaga (Walang Suji)
·         Medang Kahiangan. (penopangnya:  Gunung Tampo Omas
·         Gunung Wangi, (penopangnya: Gunung Tangkuban Parahu,
·         Sri Manggala. (penopangnya: Gunung Marucung,
·         Saung Agung. (penopangnya: Gunung Burangrang,
·         Hujung Barat. (penopangnya: Gunung Burung Jawa,
·         Gunung Anten. (penopangnya: Gunung Bulistir,
·         Batu Hiang. (penopangnya: Gunung Nagarati,
·         Kurung Batu. (penopangnya: Gunung Barang,
·         Sajra, (penopangnya: Gunung Banasraya,
·         Catih Hiang. (penopangnya: Gunung Catih,
·         Demaraja, (penopangnya: Gunung Hulu Munding,
·         Tegal Lubu,, (penopangnya:  Gunung Parasi,
·         Bojong Wangi. (penopangnya:  batas Mener
·         Kujang Jaya. (penopangnya: Gunung Hijur,
·         Karangiang, (penopangnya:  Gunung Sunda,
·         Karang. (penopangnya: Gunung Karang,
·         Rawa. (penopangnya: Gunung Cinta Manik,
·         Labuhan Batu. (penopangnya:  Gunung Kembang,
·         Wanten(penopangnya:. Panyawung,
Dengan demikian Bujangga Manik cukup akurat menceritaan wilayah wilayah yang ada di kerajaan Sunda secara global.

IV.C.3.a. Profil Kerajaan bagian  atau wilayah Kerajaan Sunda
Telah dibahas sebelumnya, bahwa Bujangga manik telah memberikan info awal tentang wilayah wilayah yang ada di kerajaan Sunda. Meskipun tidak terlalu mendetail, tetapi infonya begitu berharga untuk penelusuaran sejarah sunda ke depan. Karena hingga kini belum ada data yang detail tentang penguasa pada wilayah wilayah tersebut. Jadi suatu kesempatan emas kaum muda sunda untuk menyelidikinya.

IV.C.3.a.1. Mandala Puntang
Ngalalar ka Timbang Jaya,
datang ka Bukit Cikuray,
nyanglandeuh aing ti inya,
datang ka Mandala Puntang.

(Berjalan melewati Timbang Jaya,
pergi ke Gunung Cikuray,
seturunku dari sana,
pergi ke Mandala Puntang)
Dari kisah perjalanannya, Bujangga Manik berjalan dari Timbang jaya, melewati Gunung CiKuray. Gunung Cikuray adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Gunung Cikurai mempunyai ketinggian 2.841 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi keempat di tatar Sunda setelah Gunung Gede. (Gunung ini sekarang berada di perbatasan kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggun).
Bujangga Manik ketika turun dari gunung Cikuray, ia pergi ke Mandala Puntang. Mandala Puntang adalah suatu kerajaan bagian dari kerajaan Sunda yang diperkirakan sekarang ada di Panembong Bayongbong Garut. Dan nantinya diperkirakan menjadi cikal bakal kerajaan   Timbanganten.
Raja terakhir Kerajaan Mandala Dipuntang, Prabu Derma Kingkin memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong). Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, kemudian Derma Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten.
Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten nantinya termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, dengan ibukota di Tegal luar. Sejak pertengahan Abad ke-15 M, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar tatar sunda, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran.

IV.C.3.a.2. Wilayah Danuh
Setelah menanjak ke Gunung Papandayan,
yang juga dipanggil Panenjoan,
aku melihat pegunungan dari sana,
jajaran (?) pemukiman di mana-mana,
semua desa, semua pemukiman,
peninggalan Nusia Larang yang mulia.
Aku melihat mereka satu per satu.
Di arah selatan adalah wilayah Danuh,
di timur Karang Papak,

Setelah Bujangga Manik naik ke Gunung Papandayan, yang ia sebut dengan Panenjoan (tempat penglihatan). Ia melihat satu persatu wilayah kekuasaan Pajajaran,  Ke aeah Selatan wilayah Danuh,di timur karang papak, dan di barat balawong yang merupakan wilayah Pager Wesi.
Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut,, tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung  mempunyai ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung.Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal.
Di Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.

e. Wilayah Pager Wesi

di barat tanah Balawong,
merupakan Gunung Agung,
pilarnya Pager Wesi.

f. Majapura
Itu Gunung Patuha,
penopang Majapura.

Bujangga manik mengungkapkan bahwa Gunung Patuha merupakan pilar/ perbatasan wilayah Majapura. 
Gunung Patuha merupakan sebuah gunung yang terdapat di sekitar Bandung Selatan.  Tingginya 2.386 meter. Gunung patuha memiliki kawah yang sangat eksotik, yaitu kawah putih. Kawah yang terbentuk dari letusan gunung patuha itu memiliki dinding kawah dan air yang berwarna putih, .yang sekarang dijadikan obyek wisata.

g. Pasir Batang
Itu Gunung Pamrehan,
penopang Pasir Batang.

h. Wilayah Maruyung dan Wilayah Losari
Itu Gunung Kumbang,
pilarnya Maruyung,
ke arah utara wilayah Losari.

Bujangga Manik mengatakan bahwa Gunung Kumbang merupakan tapal batas Maruyung, ke arah utaranya wilayah Losari.

i. Pada Beunghar, Wilayah Kuningan, Wilayah Talaga
Itu Gunung Ceremay,
pilarnya Pada Beunghar,
di selatan wilayah Kuningan,
ke baratnya Walang Suji,
di situlah wilayah Talaga.

Menurut Bujangga manik, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah Talaga.
Gunung Ceremai  adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan  ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam), 
Jad menurut Bujangga manik di sekitar Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan dan Talaga. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin waktu itu belum begitu dikenal.

j. Kerajaan Pada beunghar
Belum ada yang mencatat tentang sejarah Padabeunghar ini. Padahal Bujangga manik telah mengatakan bahwa Gunung Ciremay merupakan pilar (tapal batas) Padabeunghar. Kemungkinan Padabeunghar ini terletak di desa Padabeunghar yang merupakan nama sebuah desa yang terletak di kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan.
Nama Padabeunghar ini juga sekarang dapat ditemui di suatu desa di Sukabumi, yaitu desa Padabeunghar, sebuah desa yang terletak di kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi.
Para peneliti masih kebingungan dengan Padabeunghar ini, apakah hanya merupakan ibukota atau nama kerajaannya juga. Ada yang mengaitkan bahwa Padabeunghar di era Bujangga Manik sama dengan Rajagaluh sekarang. Mengingat pada arti pada artinya kaki gunung, dan beunghar artinya kaya atau sugih-mukti. hal itu mirip dengan  loh jinawi (loh = tanah, jinawi = subur-makmur). Dengan demikian Raja artinya yang menguasai, galuh  artinya permata; rajagaluh sama artinya dengan yang banyak mempunyai permata, alias kaya.
Seidaknya ada 2 kali Bujaangga Manik berbicara tentang Padabeunghar ini, sebelumnya  ketika setelah dari Saunggalah perjalananya ke barat ia melewati Padabeunghar.
Sesampai di Saung Galah
berangkatlah aku dari sana
ditelusuri Saung Galah
Gunung Galunggung di belakang saya
melewati Panggarangan
melalui Pada Beunghar
Pamipiran ada di belakangku.


k. Kerajaan Kuningan
Kerajaan Kuningan merupakan salah satu kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui  kapan kerajaan ini didirikan, yang pasti awalnya kerajaan ini merupakan  bawahan keresian Galunggung, Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai putri yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari  Galunggung, putra dari pendiri galuh, Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang atas permntaan Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke menantunya, Demunawan.
Masa Demunawan  (723 - 774)
Resi Demunawan mendirikan ibukota baru Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile  atau Saung Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku. Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma(ajaran Kitab Suci), serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya  masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara antara sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali  pada tahun 739 M. Antara Sonjaya yang membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara). Perang  menelan banyak korban jiwa.. Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran  dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739 M.
Resi Demunawan pada tahun 774 M, Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun.  Setelahnya seolah kerajaan Kuningan hilang ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan ibukota pemerintahan Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019.
Mulai periode tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah. Adalah Raja Sunda, Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja sunda ke-24, Prabu Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.
Prabu Ragasuci (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda. Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara otonom.
Ratu Selawati  (sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.

l. Kerajaan Talaga
Bujangga Manik mengatakan Walangsuji merupakan wilayah Kerajaan Talaga. Walangsuji diyakini merupakan ibukota dari kerajaan Talaga. 
Kerajaan Talaga didirikan oleh Prabu Talaga manggung. Setelahnya, anaknya yang menggantikannya, yang bernama Ratu Simbarkancana, kemudian  Kerajaan Talaga dipegang oleh putera pertamanya yang  mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung meninggal, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puterinya yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan tidak lagi di walangsuji, tetapi  dipindahkan ke Parung.

j. Medang Kahiangan (Sumedang sekarang)
Itu Gunung Tampo Omas,
di wilayah Medang Kahiangan.

Setidaknya Bujangga manik melewati Medang kahiyangan 3 kali dalam perjalananya ke wilayah timur, yaitu pada keberangkatan perjalanan pertama, keberangkatan perjalanan kedua dan sekmbali dari perlanan yang kedua, Medang Kahiangan adalah wilayah sumedang sekarang ini, atau dikemudian hari terkenal dengan kerajaan Sumedang Larang. yang mewarisi kekuasaan wilayah Pajajaran, ketika pajajjarann burak / runtuh. Bujangga Manik belum menyebut nama Sumedang Larang tetapi masih nama Medang Kahiyangan.

Satu-satunya gunung besar yang ada di Medang kahiyangan adalah Gunung Tampomas (gunung Tompo Emas) yang mempunyai ketinggian 1.684 diatas permukaan laut.


k. Wilayah Gunung Wangi
Itu Gunung Tangkuban Parahu,
pilarnya Gunung Wangi.

Menurut Bujangga Manik, Gunung Tangkuban Parahu merupakan pilar atau perbatasannya wilayah Gunung Wangi.
Gunung Tangkuban Perahu berada di kabupaten bandung dan juga Subang. Gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter dan termasuk gunung api aktif.. Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.

 l. Wilayah Sri Manggala
Itu Gunung Marucung,
pilarnya Sri Manggala.

m. Wilayah Saung Agung

itu Gunung Burangrang,
pilar dari Saung Agung.

Gunung Burangrang merupakan sebuah gunung api mati, ditataran Sunda yang  mempunyai ketinggian setinggi 2.064 meter. Gunung ini merupakan salah-satu sisa dari hasil letusan besar Gunung Sunda di Zaman Prasejarah. Gunung Burangrang bersebelahan dengan Gunung Sunda.
Dikatakan oleh Bujangga Manik bahwa Gunung Burangrang, merupakan pilar perbatasan/ tapal batas wilayah Saung Agung.  Di kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan Saung Agung.
 Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda. Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai pangparatan Situ Wanayasa.
Wanayasa berasal dari kata “wana” dan “yasa” yang berarti hutan yang sangat lebat. Pada zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain Carita Parahiyangan  di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu (perlu penyelidikan)
.Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon .Pada tahun 1530, bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.
Di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.

Wilayah Hujung Barat
Itu Gunung Burung Jawa,
pilarnya Hujung Barat.

Wilayah Gunung Anten
Itu Gunung Bulistir,
pilarnya Gunung Anten.

 Wilayah Batu Hiang
Itu Gunung Nagarati,
pilarnya Batu Hiang.

Wilayah Kurung Batu
Itu Gunung Barang,
pilarnya wilayah Kurung Batu.

Wilayah Sajra
Itu Gunung Banasraya,
pilarnya wilayah Sajra,
ke barat Gunung Kosala

Wilayah Catih Hiang.
Itu Gunung Catih,
pilarnya Catih Hiang.

Wilayah Demaraja, Tegal Lubu, Sinday.

Itu Gunung Hulu Munding,
pilarnya Demaraja,
ke barat Gunung Parasi,
pilarnya Tegal Lubu,
ke timurnya Sedanura,
yang menghadap wilayah Sinday.

Wilayah Rumbia.
Ini Gunung Kembang,
tempat segala macam pertapa,
 ti kidulna alas Maja,
eta na alas Rumbia.
(ke selatannya wilayah Maja,
yang merupakan wilayah Rumbia.
ti kidulna alas Maja,
eta na alas Rumbia.
(ke selatannya wilayah Maja,
yang merupakan wilayah Rumbia.)


Wilayah Bojong Wangi.
Ti baratna wates Mener,
ta(ng)geranna Bojong Wangi.
(Ke baratnya batas Mener,
pilarnya Bojong Wangi.)

Wilayah Kujang Jaya.
Itu ta na Gunung Hijur,
ta(ng)geranna Kujar Jaya.
(Itu Gunung Hijur,
pilarnya Kujang Jaya.)


Wilayah Karangiang
Itu ta na Gunung Su(n)da,
ta(ng)geran na Karangkiang.
(Itu Gunung Sunda,
pilarnya Karangiang)

Wilayah Karang.
Itu ta na bukit Karang,
ta(ng)geran na alas Karang.
(Itu Gunung Karang,
pilarnya wilayah Karang.)


Wilayah Rawa.
Itu Gunung Cinta Manik,
ta(ng)geran na alas Rawa.
(Itu Gunung Cinta Manik,
pilarnya wilayah Rawa.)


Wilayah Labuhan Batu.
itu ta na Gunung Kembang
ta(ng)geran Labuhan Ratu.

(Itu Gunung Kembang,
pilarnya Labuhan Batu.)

Wilayah Wanten
Ti kaler alas Panyawung,
ta(ng)geran na alas Wa(n)ten.

Ke arah utara wilayah Panyawung,

pilar dari wilayah Wanten.