Meskipun ke-4
naskah sebelumnya belum selesai, yaitu: Ciung Wanara, Rakeyan Jamri (Maharaja
Sanjaya) raja kedua Sunda-Galuh yang kemudian menjadi Pendiri kerajaan Mataram
kuno (medang bumi mataram), Raden Wijaya, Jaka Susuruh Sunda, yang menjadi
pendiri Majapahit, yang ke-4 Prabu Surawisesa. Dan yang ke-5, naskah yang
dipersiapkan untuk cerita dalam film kolosal atau drama adalah tentang Prabu
Lingga Buana, atau di kemudian hari terkenal dengan nama Prabu Wangi, karena ia telah menebarkan keharuman harga diri sebagai manusia dan bangsa. Maka dari pada itu selanjutnya di kerajaan Sunda ada nama raja terkenal dengan nama Prabu
Siliwangi, yang artinya adalah Silih (pengganti) wangi (Prabu Wangi). Meskipun
nantinya siapa sebenarnya yang mendapat gelar Prabu Siliwangi ((pengganti prabu
Wangi yang membuat nama harum sunda).
Mungkin banyak
yang belum begitu mengenal siapa sebenarnya Maharaja Prabu Lingga Buana
tersebut termasuk orang sunda sendiri, padahal kita sering mendengar raja sunda yang gugur di Bubat, waktu
perang melawan Patih gajah Mada dari Majapahit. Dengan demikian yang akan
dibahas selanjutnya adalah Raja yang gugur di medan Bubat.
Banyak sejarah
tentang Prabu Wangi ini yang belum diungkap ke publik, terutama dari sumber
kuno yang hingga kinipun tidak pernah dipakai, karena masalah politik dan
dominasi di negara kita ini. Tetapi dalam kisah Prabu Lingga Buana disini akan
banyak menampilkan sejarah atau kisah yang diungkapkan oleh naskah kuno yang
bernama Kidung sunda atau kidung sundayana, yang ditulis oleh sejarawan Bali,
yang waktu itu ada di majapahit, ketika sama sama akan menghadiri acara
pernikahan Hayam Wuruk, Raja dari majapahit dan Dyah Pitaloka putri dari
kerjaan Sunda.
Prabu Linggabuana terkenal sebagai seorang yang perkasa. Naskah Wangsakerta
melukiskan dirinya sebagai berikut: ” Di medan perang bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu
Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau
negaranya diperintah dan dijajah orang lain.” Ia tidak merasa
takut berhadapan dengan pasukan majapahit meskipun berada dikandang lawan
(di daerah majapahit). Ia juga tidak merasa gentar meskipun pasukannya tidak
dipersiapkan untuk berperang (ia membawa pasukan hanya untuk mengantar
penganten), dan dalam jumlah yang sedikit, melawan pasukan Majapahit yang
memang sudah dipersiapkan untuk berperang. Ia tidak gentar mengahadapi pasukan majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada yang jumlahmya tidak terhitung.
Berbicara
sejarah, di negeri ini dikembangkan suatu sistem sejarah yang dinamakan sejarah
kekuasaan. Yang berarti bahwa sejarah yang dipelajari dan dikembangkan adalah
sejarah yang sesuai dengan dokrin dokrin rezim kekuasaan. Jadi kebanyakan
para ahli dan analis sejarah berawal dari dokrin dulu, baru dibuat wacana
seolah olah bahwa yang benar adalah dokrin dokrin yang dikembangkan oleh rezim. Bagi kaum sejarawan murni sebenarnya hal ini dianggap sebagai
“korupsi” dalam urusan sejarah. Karena sejarah dimanipulasi untuk kepentingan
rezim kekuasaan. Bagi sejarawan yang terdokrinasi, bukti bukti
sejarah atau sumber sumber sejarah lain seolah bukan merupakan hal yang
terpenting dan harus dilindungi serta harus dilestarikan. Seolah masyarakat tidak pernah diberi tahu sejarah yang
sebenarnya.
Harusnya
masyarakat sejarah negeri ini mengembangkan suatu sikap yang berawal dari
ungkapan informasi sedikit awal dari pencarian. Dengan logika sederhana, tidak
mungkin bangsa ini selama ratusan tahun, tidak punya sejarah sama sekali.
Apalagi dalam lingkupan ratusan tahun, seolah naif adanya. Dan penghargaan
terhadap nenek moyang sepertinya tidak pernah ada sama sekali, karena itu segala sesuatu kalau perlu dimanipulasi, termasuk
sejarah itu sendiri.
Sayang memang kita mempunyai Naskah Naskah kiuno yang tersisa, tidak pernah dikaji di sekolah-sekolah. Tidak ada keseriusan dalam menterjemahkan. Padahal naskah-naskah tersebut merupakan warisan nenek moyang yang tersisa. Untuk mengetahui pun harus mencari sendiri, yang dialami oleh penulis pun demikian. Sebagai orang sunda di sekolah dari SD, SMP dan SMA, dan kuliah, tidak pernah sedikitpun diajarari tentang ada naskah yang bernama Carita parahiyangan, Naskhah Bujangga manik, apalagi naskah Kidung Sunda atau Kidung Sndayana, termasuk kitab sejarah yang kumplit seperti Naskah Wangsakerta. Kalau pararaton dan negarakertagama, mungkin pernah dengar, karena hubungannya dengan dokrin sejarah kekuasaan. Seolah bangsa tidak pernah menghargai hasil karya nenek moyang. Sangat beruntung memang bahwa naskah naskah yang asli ada di negeri orang ((belanda, inggris dan lain lain). Karena di negerinya sendiri tidak pernah ada penghargaan. Setidaknya dalam penterjemahann juga masih dilakukan perorangan, bukan melalui kebijakan negara.
Naskah Kidung Sunda atau naskah Kidung Sundayana, terjemahananya juga sangat sulit dicari, termasuk di internet, hanya penggalan-penggalan dan harus mengikuti analisis para sejarawan dokriner yang sudah disetting sebelumnya. Seolah tidak pernah ada kemauan untuk menterjemahkan kepada bahasa indonesia secara utuh. Termasuk kitab atau naskah naskah yang lainnya, seperti Naskah wangsakerta, Pararaton, negara kertagama dan lainnya.
Dan sangat disayangkan juga mengapa naskah wangsakerta tidak pernah diterjemahkan secara resmi dan menjadi kajian dalam sejarah. Padahal sudah begitu komplit dalam penyajian, dan lebih bergaya intelektual kini. Para pelajar negeri ini jangankan tahu isinya, namanya juga mungkin tidak pernah dengar (seperti yang dialami dulu). Sayang memang padahal jika dikaji setidaknya negeri ini tidak akan pernah berangkat dari nol terus menerus. Jadi aalangkah disayangkan seperti naskah Kidung Sundayana langsung dikatakan tidak masuk akal, karena tidak sesuai dengan pararaton dan negarakertagama yang lebih subyektif. Setidaknya Kidung Sundayana ditulis oleh sejarawann Bali yang tidak ada kedekatan dengan kerajaan Sunda seperti kerajaan Bali dengan Majapahit, yang begitu akrab. Jadi kemungkinan analisanya lebih obyektif, meskipun ada hal hal yang perlu diperdebatkan.
Tentang analisis yang berbeda dari para sejarawan, disanalah kelebihan penulisan sejarah. Karena sejarah jika ditulis oleh bangsa yang berbeda akan berbeda pula analisisnya.
Sayang memang kita mempunyai Naskah Naskah kiuno yang tersisa, tidak pernah dikaji di sekolah-sekolah. Tidak ada keseriusan dalam menterjemahkan. Padahal naskah-naskah tersebut merupakan warisan nenek moyang yang tersisa. Untuk mengetahui pun harus mencari sendiri, yang dialami oleh penulis pun demikian. Sebagai orang sunda di sekolah dari SD, SMP dan SMA, dan kuliah, tidak pernah sedikitpun diajarari tentang ada naskah yang bernama Carita parahiyangan, Naskhah Bujangga manik, apalagi naskah Kidung Sunda atau Kidung Sndayana, termasuk kitab sejarah yang kumplit seperti Naskah Wangsakerta. Kalau pararaton dan negarakertagama, mungkin pernah dengar, karena hubungannya dengan dokrin sejarah kekuasaan. Seolah bangsa tidak pernah menghargai hasil karya nenek moyang. Sangat beruntung memang bahwa naskah naskah yang asli ada di negeri orang ((belanda, inggris dan lain lain). Karena di negerinya sendiri tidak pernah ada penghargaan. Setidaknya dalam penterjemahann juga masih dilakukan perorangan, bukan melalui kebijakan negara.
Naskah Kidung Sunda atau naskah Kidung Sundayana, terjemahananya juga sangat sulit dicari, termasuk di internet, hanya penggalan-penggalan dan harus mengikuti analisis para sejarawan dokriner yang sudah disetting sebelumnya. Seolah tidak pernah ada kemauan untuk menterjemahkan kepada bahasa indonesia secara utuh. Termasuk kitab atau naskah naskah yang lainnya, seperti Naskah wangsakerta, Pararaton, negara kertagama dan lainnya.
Dan sangat disayangkan juga mengapa naskah wangsakerta tidak pernah diterjemahkan secara resmi dan menjadi kajian dalam sejarah. Padahal sudah begitu komplit dalam penyajian, dan lebih bergaya intelektual kini. Para pelajar negeri ini jangankan tahu isinya, namanya juga mungkin tidak pernah dengar (seperti yang dialami dulu). Sayang memang padahal jika dikaji setidaknya negeri ini tidak akan pernah berangkat dari nol terus menerus. Jadi aalangkah disayangkan seperti naskah Kidung Sundayana langsung dikatakan tidak masuk akal, karena tidak sesuai dengan pararaton dan negarakertagama yang lebih subyektif. Setidaknya Kidung Sundayana ditulis oleh sejarawann Bali yang tidak ada kedekatan dengan kerajaan Sunda seperti kerajaan Bali dengan Majapahit, yang begitu akrab. Jadi kemungkinan analisanya lebih obyektif, meskipun ada hal hal yang perlu diperdebatkan.
Tentang analisis yang berbeda dari para sejarawan, disanalah kelebihan penulisan sejarah. Karena sejarah jika ditulis oleh bangsa yang berbeda akan berbeda pula analisisnya.
NASKAH
BAB I PAKUAN
PAJAJARAN TAHUN 1339 MASEHI
Pada tahun 1339 M
Sang Raja Sunda sangat bahagia ketika menyaksikan kelahiran sang bayi
wanita, cucunya yang sangat cantik. Sang raja tersebut tersebut kemudian memberi nama bayi tersebut dengan nama Citraresmi.
Sang Raja yang berbahagia tersebut diatas bernama Maharaja Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa. Ia merupakan raja Kerajaan Sunda yang berkuasa dari tahun 1340 hingga tahun 1350 M. Dan anak wanita tersebut merupakan putri
dari putra Mahkota, Pangeran Linggabuana.
Maharaja Prabu Raga
Mulya Luhur Prabawa, dalam naskah Carita parahiyangan di sebut Sang Aki Kolot.
Ia berkuasa di tanah Sunda dan galuh selama 10 tahun. Ia menggantikan menjadi
raja menggantikan ayahnya Prabu Ajiguna Wisesa atau Sang Mokteng Kidding (yang
hilang di kidding) yang berkuasa dari tahun 1333-1340 M. Sang Aki Kolot atau Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari
Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati. Setelah
meninggal, ia dikenal dengan Salumah Ing Taman, karena ia meninggal
di Taman.
RagamulyaLuhur
Prabawa atau sang aki kolot mempunyai adik yang bernama Prabu Suryadewata, yang diangkat
menjadi raja Galuh. sang adik raja atau Prabu Suryadewata inilah di kemudian hari yang menurunkan raja
raja kerajaan Talaga. Dan Prabu Suryadewata ini juga yang merupakan cikal bakal
dari kerajaan Sumedang larang. Prabu Suryadewata sebelum kepindahan keraton
Galuh ke Pakuan, menginstruksikan kepada Prabu Aji Putih untuk membangun
kabuyutan di Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal kerajaan Sumedang
larang.
Pada tahun 1350 M,
Sang raja Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa meninggal dunia. Dan ia kemudian
digantikan oleh anaknya pangeran Linggabuana. Sang Pangeran dinobatkan menjadi raja pada tanggal 14 bagian terang bulan palguna tahun
1272 Saka (22 Februari 1350 M), dengan nama penobatan Prabu Linggabuana Wisesa.
Dalam melaksanakan pemerintahannya sehari hari Sang Raja baru tersebut di bantu oleh adik iparnya,
yang menjadi mangkubumi, yaitu Sang Bunisora yang bergelar Mangkubumi
Saradipati.
Dalam naskah carita
Parahiyangan Prabu Linggabuana hanya disebut Prabu Maharaja saja.
Sebagai berikut: “....Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun,
lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan,
menta gede pameulina. Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung
boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit....... “
Prabu Maharaja Linggabuana berprameswarikan Dewi Lara Linsing, darinya ia mempunyai
4 orang anak, tetapi anak kedua dan ketiganya meninggal pada usia 1 tahun. Anak
pertamanya seorang wanita yang terkenal dalam sejarah, yaitu Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 M, oleh kakeknya
diberi nama Citraresmi, dan anak terakhirnya ( yang ke-empat) seorang laki-laki yang
dikemudian hari menjadi raja yang sangat terkenal, yaitu Wastukencana yang
lahir tahun 1348 M.
BAB
II BEREDARNYA LUKISAN WANITA CANTIK DI MAJAPAHIT
Di ibukota majapahit, telah beredar
lukisan seorang wanita cantik. Masyarakat ibukota Majapahit merasa kagum
terhadap kecantikan wanita dalam lukisan yang begitu sempurnanya. Seolah
di seluruh negeri Majapahit tidak ada yang menandinginya. Lukisan tersebut adalah karya maestro waktu itu yang bernama Sungging Prabangkara, yang secara diam diam ia melukis Sang Putri Sunda ketika berkunjung ke Pakuan, ibukota kerajaan Sunda.
Sungging Prabangkara adalah Seorang
seniman dan pelukis profesional, yang senang mengembara ke berbagai negeri untuk melukis berbagai hal yang menarik dari negeri negeri yang dikunjunginya. Ia tidak hanya melukis kecantikan putri sunda saja, tetapi banyak juga koleksinya tentang putri putri raja atau bangsawan di berbagai negeri yang ia kunjungi. Dan yang mendapat respon yang paling besar dari lukisannya adalah lukisan tentang putri sunda tersebut.
Tentang lukisan wanita cantik begitu terkenalnya. Banyak orang yang memperbicangkan bahwa wanita itu cocok untuk Sang Raja yang baru dilantik menjadi raja. Apalagi sang raja belum punya pasangan. Tidak hanya di masyarakat banyak, ternyata lukisan tersebut juga menjadi perbincangan yang hangat di kalangan istana majapahit. Sejumlah pangeran banyak yang begitu mengaguminya, termasuk Sang raja Muda Majapahit, yaitu Hayam Wuruk, yang waktu itu masih bujangan.
Melihat lukisan tersebut seolah memberikan jawaban tentang angan angan sang raja untuk mempersunting seorang wanita yang cantik, yang ia rasakan belum ada yang cocok di lingkungan kerajaan Majapahit. Padahal banyak bangsawan dan raja bawahan majapahit yang mengidolakan sang raja untuk menjadi menantu mereka. Dan hal ini juga sangat diharap oleh kaum mudi Majapahit dan putri putri bangsawan serta raja bawahan Majapahit. Tetapi seolah semua putri bangsawan dan raja bawahan tidak membuat Sang raja tertarik. Justru Sang Raja sangat mengidolakan lukisan karya maestro, Sungging Prabangkara tersebut.
Tentang lukisan wanita cantik begitu terkenalnya. Banyak orang yang memperbicangkan bahwa wanita itu cocok untuk Sang Raja yang baru dilantik menjadi raja. Apalagi sang raja belum punya pasangan. Tidak hanya di masyarakat banyak, ternyata lukisan tersebut juga menjadi perbincangan yang hangat di kalangan istana majapahit. Sejumlah pangeran banyak yang begitu mengaguminya, termasuk Sang raja Muda Majapahit, yaitu Hayam Wuruk, yang waktu itu masih bujangan.
Melihat lukisan tersebut seolah memberikan jawaban tentang angan angan sang raja untuk mempersunting seorang wanita yang cantik, yang ia rasakan belum ada yang cocok di lingkungan kerajaan Majapahit. Padahal banyak bangsawan dan raja bawahan majapahit yang mengidolakan sang raja untuk menjadi menantu mereka. Dan hal ini juga sangat diharap oleh kaum mudi Majapahit dan putri putri bangsawan serta raja bawahan Majapahit. Tetapi seolah semua putri bangsawan dan raja bawahan tidak membuat Sang raja tertarik. Justru Sang Raja sangat mengidolakan lukisan karya maestro, Sungging Prabangkara tersebut.
Setelah menjadi raja, seolah Hayam
Wuruk merasa ada yang kurang dalam dirinya. Ia begitu merindukan sosok
pendamping yang ia idolakan. Seolah tidak ada yang menarik hatinya di sekitar
istana Majapahit. Dan hal ini seolah mendapat jawaban dari karya sang pelukis
tersebut.
Karena itu ia mengutus para mentrinya
untuk mendatangkan sang pelukis ke istana. Apakah memang benar benar lukisannya
itu nyata, atau hanya khayalan sang pelukis belaka. Sang pelukis meyakinkan
bahwa memang benar adanya. Menurutnya, ia telah mengembara ke berbagai negeri,
dan ia begitu terpesona tentang kecantikan Diah Pitaloka, putri Sang Raja Sunda
yang begitu cantiknya, sehingga ia melukisnya.
Mendengar penjelasan dari sang pelukis,
sang raja seolah ingin meyakinkan tentang kebenaran lukisan wanita tersebut.
Maka sang raja kemudian mengutus pelukis istana, dan orang orang kepercayaannya
sang raja untuk meyakinkannya. Disamping pelukis, orang kepercayaan yang
diustus oleh sang raja terdiri dari 5 orang, yaitu:Gajah Enggon yang menjabat
sbagai pimpinan utusan, Ma Panji Elam (sang Arya Rajapakrama), Pu Kapasa (stys
suradhiraja), Pu Menur (sang Arya Wangsaprana), Pu Kapat (Sng arya Patipati).
Setelah utusan kembali ke Majapahit dan meaporkan tentang kebenaran Sang Putri Sunda yang cantik tiada taranya. Maka dengan persetujuan keluarganya, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada maharaja Linggabuan untuk meminang putri Sunda melalui perantara tuan Anepaken. Dan rombongan utusan kedua dipimpin oleh Patih Madu yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan dimana pesta perkawinan antara raja Hayam Wuruk dan putri akan dilangsungkan.
Setelah pinangan dari Haayam Wuruk diterima, akhirnya disepakati bersama bahwa Raja Linggabuana, permaisuri dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan Putri, sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibukota Majapahit.
Raja Sunda, Prabu Linggabuana adalah seorang ksatria, yang sangat menjunjung tinggi moral. Ia sangat mempercayai maksud dan tujuan Raja Majapahit untuk menjadikan putrinya menjadi istri raja majapahit tersebut. Tidak ada rasa takut, karena kelurusan hatinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa nantinya akan dikhianati justru sudah nyampai tujuan.
Dan Sang Raja juga menerima pinangan karena untuk mempererat tali persaudaraan, karena pendiri Majapahit, atau kakek sang Raja Majapit tersebut adalah merupakan keturunan dari Raja Sunda. Dengan demikian dengan jauh dari rasa prasangka seolah persaudaraan turunan sedarah seolah akan dieratkan lagi dengan acara perkawinan di antara kedua negara.
Seperti telah diceritakan sebelumnya, bahwa Raden Wijaya adalah ketrunan dari Raja Sunda. Ayahnya Pangeran Jayadarma, yang merupakan putra mahkota dari kerajaan Sunda meninggal akibat di racun, ketika Rade Wijaya masih kecil. Karena itu, ibunya yang berasal dari Singasari, meminta kembali pulang ke daerah asalnya, Singasari. pangeran jayadarma merupakan putra dari raja Prabu Darmasiksa.
Setelah utusan kembali ke Majapahit dan meaporkan tentang kebenaran Sang Putri Sunda yang cantik tiada taranya. Maka dengan persetujuan keluarganya, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada maharaja Linggabuan untuk meminang putri Sunda melalui perantara tuan Anepaken. Dan rombongan utusan kedua dipimpin oleh Patih Madu yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan dimana pesta perkawinan antara raja Hayam Wuruk dan putri akan dilangsungkan.
Setelah pinangan dari Haayam Wuruk diterima, akhirnya disepakati bersama bahwa Raja Linggabuana, permaisuri dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan Putri, sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibukota Majapahit.
Raja Sunda, Prabu Linggabuana adalah seorang ksatria, yang sangat menjunjung tinggi moral. Ia sangat mempercayai maksud dan tujuan Raja Majapahit untuk menjadikan putrinya menjadi istri raja majapahit tersebut. Tidak ada rasa takut, karena kelurusan hatinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa nantinya akan dikhianati justru sudah nyampai tujuan.
Dan Sang Raja juga menerima pinangan karena untuk mempererat tali persaudaraan, karena pendiri Majapahit, atau kakek sang Raja Majapit tersebut adalah merupakan keturunan dari Raja Sunda. Dengan demikian dengan jauh dari rasa prasangka seolah persaudaraan turunan sedarah seolah akan dieratkan lagi dengan acara perkawinan di antara kedua negara.
Seperti telah diceritakan sebelumnya, bahwa Raden Wijaya adalah ketrunan dari Raja Sunda. Ayahnya Pangeran Jayadarma, yang merupakan putra mahkota dari kerajaan Sunda meninggal akibat di racun, ketika Rade Wijaya masih kecil. Karena itu, ibunya yang berasal dari Singasari, meminta kembali pulang ke daerah asalnya, Singasari. pangeran jayadarma merupakan putra dari raja Prabu Darmasiksa.
Keberangkatan Rombongan Penganten ke Majapahit
Tentang rencana keberangkatan Sang raja
ke Majapahit, pada awalnya ditentang oleh piak dewan kerajaan Sunda, terutama
Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Kaarena menurut adat yang berlaku, tidak
lazim pihak pengantin wanita datang ke pengantin laki-laki. Menurut mereka
kemungkinan hal itu merupakan jebakan dari pihak majapahit yang saat itu ingin
menguasai tanah sunda, karena dari beberapa peperangan seblumnya Majapahit
pernah dikalahkan.
Tetapi Sang Raja Linggabuana sangatlah
berjiwa besar, apalagi bahwa pendiri Majapahit masih merupakan bangsawan Sunda.
Dengan alasan silaturahmi untuk mempererat persaudaraan. Sebagai bangsa besar
yang tidak pernah dikalahkan, seolah Sang Raja terlalu percaya diri akan
kebaikan orang lain. Apalagi masih keturunan yang sama. Dan akhirnya iia
memutuskan untuk berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah
ada dari garis leluhur kedua negara tersebut.
Prabu Lingga Buana berangkat bersama
rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima dan ditempatkan dipasanggrahan Bubat.
Rombongan Sang raja disamping diikuti oleh oleh Prameswarinya, juga diikuti
oleh pembesar Sunda lainnya.
Ajimumpung
Gajah Mada
Mengetahui bahwa Raja sunda beserta
rombongan tidak membawa senjata lengkap, karena bertujuan untuk mengantar sang
penganten. Timbullah niatnya untuk untuk memamfaatkan kesempatan. Karena waktu
itu kerajaan Sunda adalah salah satu negara terkuat di Jawa, untuk menyerang ke
negaranya kemungkinan akan kalah seperti yang dialami sebelumnya (Kisah
peperangan antara majapahit dengan Sunda, pernah terjadi seperti yang
diungkapkan oleh salah seorang patih Sunda yang memaki Gajahmada (lihat Naskah
Kidung Sundayana yang ditulis oleh orang Bali)).
Karena itu seolah kesempatan yang
ditunggu tunggu justru datang sendiri. Karena itu seolah sudah disetting
sbelumnya, bahwa kerajaan Sunda ditempatkan di pasanggarahan Bubat, karena jika
terjadi peperangan akan mudah diserang di berbagai penjuru.
Gajah Mada juga memamfaatkan keberadaan
raja sunda yang ada dekat pusat kerajaan Majapahit. Dengan demikian, jika
terjadi pertempuranpun akan mudah mendatangkan seluruh pasukan Majapahit ke
medan perang.
Etika dalam perang bukanlah budaya yang
dikembangkan oleh Gajah Mada, menjunjung sikap ksatria juga bukanlah jiwa dari
sang patih ini. Justru mengembangkan sikap Ajimumpung. Sikap mumpung Sang raja
Sunda tidak bersenjata untuk perang. Karena itu ia dengan gagah beraninya
membuat suatu kepustusan bahwa kedatangan sang Raja sunda ke tanah majapahit
sebagai suatu tanda takluk kepada Majapahit.
Tentu sikap Patih Gajah mada ini
membuat Sang Raja Marah, dan karen itu ia mengutus sang Patih untuk menemui
Patih Gajah Mada. Patih Sunda dengan gagah berani tanpa sedikitpun takut meski
di negeri orang memaki maki Gajah Mada yang tidak mengembangkan sikap seorang
ksatria, seperti yang diungkapkan dalam Naskah Kidung Sundayana.
Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i
kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti,
mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki,
durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit,
amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda
kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar
wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak
setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir
ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan
pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang
sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.
“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau
bermulut besar terhadap kami? Kami ini sekarang ingin membawa Tuan Putri,
sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti sama seperti dari
Nusantara. Kami lain, kami orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala,
ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat
peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan
bala tentaramu mundur.
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng
diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang
dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di
mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau
mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak
sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi
guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan
jatuh ke neraka, jika mati!”
Dari perkataan sang Patih Sunda
ini, (yang terdapat dalam Kidung
Sundayana ini) kita jadi mengetahui, bahwa telah terjadi peperangan antara
Majapahit dan kerajaan Sunda sebelumnya. Dimana pasukan Majapahit dikejar kejar
dan diburu orang Jipang. Dan kemudian pasukan sunda kembali dan balatentara
Majapahit Mundur. Kedua mentriMajapahit yang bernama Les dan Beleteng diparang
dan mati. Pasukan Majapahit bubar dan melarikan diri, ada yang masuk ke jurang
dan kena duri. Dimana mana pasukan majapahit merengek rengek minta dkasihani
untuk hidup.
Sang Patih Sunda seolah tidak takut
terhadap Gajah Mada meskipun mereka di daerah Majapahit. Cuma Dia
menyayangkan sikap Gajah Mada yang
hianat, tidak sopan. Sehingga sang Patih mempertanyakan tentang ajaran yang
dianut oleh sang patih, seolah tidak beragama dan tidak punya etika sebagai
ksatria, yang senang menipu orang yang berbudi sahdu.
BAB II PERANG BUBAT
Sumber yang paling banyak
menceritakan tentang perang Bubat adalah naskah Kidung Sunda dan Kidung
Sundayana yang berasal dari Bali. Dalam Kitab pararthon dikisahkan peristiwa
Bubat terjadi padaa tahun saka 1257 atau 1357 M.
Dalam naskah-naskah kuno, yang dibuat pada masa
majapahit, baik oleh para pujangga, tidak memasukan kerajaan sunda pada
negara-negara nusantara. Kerajaan Sunda tidak pernah kalah perang melawan
majapahit, bahkan dimungkinkan Majapahit pernah mengalami kekalahan yang
tragis, seperti apa yang diungkapkan oleh Patih Anepaken kepada Gajah Mada,
naskah Kidung Sunda dari Bali menceritakan dengan jelas tentang itu.
Patih anepaken merupahan mahapatih Sunda yang
mengikuti rombongan maharaja Linggabuana untuk mengantar putri ke Majapahit. Ia tidak merasa takut meskipun hanya diiringi oleh 300 pasukan untuk
melawan ribuan yang dipersiapkan oleh Gajah Mada.
Dari perkataan yang dikutip dalam kidung Sunda tersebut, maka ada beberapa
kesimpulan:
Pertama Patih Anepaken
ingin mengatakan bahwa kerajaan Sunda adalah kerajaan besar, yang tidak ada
satu negarapun yang dapat menguasai Sunda, demikian juga Majapahit.
Kedua: Kritikannya
terhadap moralitas Majapahit yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Menantang perang kepada lawan yang tidak membawa senjata perang, dan dengan
harapan persaudaraan (perkawinan).
Ketiga. Ingin
mengingatkan bahwa tempo dulu ketika majapahit berperang dengan kerajaan Sunda,
dengan kekalahan yang telak, dimana para mantrinya dengan meminta belas kasihan
dari para prajurit Sunda.
Keempat: Gajah mada
sangat mengetahui kehebatan kerajaan Sunda, karena tidak mungkin mengalahkan
mereka, bahkan pernah kalah sebelumnya. Karena itu ia bagaikan mendapat durian
runtuh ketika rombongan raja Sunda datang ke kandangnya dengan tidak bersenjata
lengkap, karena hendak mengantar penganten, suatu kesempatan untuk balas
dendam.
Pahlawan Sunda Yang
Gugur Dalam Perang Bubat
Dalam naskah
Wangsakerta diceritakan bahwa para pembesar
dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, yaitu:
Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda,
Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya.
Rakeyan Tumenggung Larang Ageng
Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda)
Gempong Lotong
Sang Panji Melong Sakti
Ki Panghulu Sura
Rakeyan Mantri Saya
Rakeyan Rangga Kaweni
Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu)
Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali
Rakeyan Juru Siring
Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul)
Sang Mantri Patih Wirayuda
Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda)
Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang
kerajaan)
Ki Juru Wastra
Ki Mantri Sebrang Keling
Ki Mantri Supit Kelingking
Pengaruh Perang Bubat Terhadap Majapahit dan Gajah Mada
Perang bubat diyakini mengakibatkan akhir dari
karir patih Gajah Mada. Ia dipersalahkan karena peristiwa itu. Meskipun masih menjabat patih
hingga beberapa tahun berikutnya, tetapi pamornya sangat menurun.
Dan perang Bubat
ini membuat pamor dari Majapahit menurun drastis, dan dalam perkembangannya
tidak terlalu lama majapahit hancur dan hilang seolah ditelan Bumi.
Hayam Wuruk
meninggal pada tahun 1389 M, dan dimakamkan di Tayung (daerah Brebek Kediri
sekarang). Ia digantikan oleh menantunya dan juga keponakannnya, Wikrawardhana,
(suami dari anak perempuannya). Dan anaknya dari selirnya, Bhre Wirabhumi,
diber kekuasaan di ujung Jawa timur. Dan dalam perkembangannya sering terjadi
perang antara kedaton kulon (Wikramardhana) dan kedaton wetan (Bhre Wirabhumi),
untuk memperebutkan keekuasaannya. Dengan demikian Setelah hayam Wuruk wilayah
Majapahit hanyalah kekuasaan yang meliputi jawa tengah dan jawa timur.
Patih Gajah
Mada meninggal pada tahun 1364 M (7 tahun setelah perang bubat).
Gelar Sang Prabu Wangi
Prabu wangi adalah
nama gelar dari Prabu Linggabuana Wisesa. Karena ia telah berjasa dalam memelihara
kehormatan kerajaan Sunda, yang tidak pernah ditaklukan.
Dalam cerita cerita
lisan dalam tradisi sunda, sering banyak dibicarakan tentang raja yang bernama
Siliwangi, yang berasal dari kata Silih (artinya pengganti) dan Wangi (yang
artinya Harum , yang berasal dari Prabu Wangi). Jadi siliwangi adalah suatu
gelar untuk raja setelah Prabu Wangi. Ada perselisihan tentang siapa sebenarnya
Prabu Siliwangi tersebut. Ada yang mengatakan Prabu Wastukancana (anaknya) yang
dianggap sebagai Prabu Siliwangi ini, karena dialah yang menggantikan ayahnya,
ke-harum-annya dalam memerintah tanah sunda karena kecakapan dan prestasinya.
Dan ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri baduga Maharaja Prabu
jayadewata, karena mempersatukan kembali sunda galuh dalam satu kerajaan
disamping kecakapannya dalam memerintah dan membuat rakyatnya makmur. Makanya
ia sangat dikenang oleh rakyatnya, sehingga ia juga dikatakan Prabu Siliwangi.
Entah mana yang benar, tetapi para sejarawan, kadang menulis Siliwangi I
berarti itu Prabu Wastukancana. Dan jika menyebut nama Siliwangi II berarti Sri
Baduga maharaja. Tentang siapa itu Prabu Siliwangi, tetapi yang jelas adalah
bahwa nama nama raja yang berprestasi setelah Prabu wangi ini, kadang disebut
sebagai Prabu Siliwangi.
BAB III SUKSESI DI TANAH SUNDA (1357 M)
Mengetahui bahwa sang Raja Linggabuana gugur
dalam peperangan, maka terjadi suksesi
di tanah Sunda. Karena Sang Pangeran Mahkota, yang bernama Wastukancana
masih berusia 9 tahun, maka diangkatlah
raja pendamping, yang merupakan adik ipar sang raja, yang waktu itu menjabat
sebagai mangkubumi, yaitu mangkubumi Suradipati, atau kemudian terkenal dengan
nama Prabu Bunisora, dengan gelar
penobatan Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.
Prabu Bunisora pada masa Prabu Linggabuana menjabat
sebagai mangkubumi. Setelah menjadi raja dalam menjalankan
pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung mengambil jalan hidupnya sebagai raja
pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan,
Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang
Bataraguru di Jampang. Karena setelah ia menyerahkan kekuasaan pada
wastukancana, ia menjadi pertapa dan resi di jampang. Ia juga dikenal dengan nama Prabu Kuda lalean. Dan dalam babad Panjalu disebut dengan
nama Prabu Borosngora. Dan setelah meninggal ia dikenal juga dengan nama
Sang Mokteng Gegeromas, karena ia meninggal di Geger Omas.
Prabu Bunisora memerintah
tanah sunda selam 14 tahun, dari tahun 1357 hingga tahun 1371 M. Setelah meninggal, tahta jatuh ke keponakannya dan sekaligus menantunya, yaitu Prabu Wastukencana atau Prabu Anggalarang, atau ada yang menyebut
dengan nama Prabu Siliwangi 1.
Prabu Bunisora menikah
dengan laksmiwati, dan mempunyai anak:
Yang pertama: Giridewata atau
Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang, yang kedua: Bratalegawa,
kelak memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di tatar sunda, sehingga ia
terkenal dengan julukan Haji Purwa Galuh, yang ketiga: Banawati, kelak
menjadi Ratu di wilayah Galuh., dan yang ke-4: Mayangsari, kelak berjodoh
dengan Sang Niskala Wastu Kancana.
Permintaan
Maaf Dari hayam Wuruk
Kekalahan
sang raja Linggabuana dalam perang Bubat bukan berarti kerajaan Sunda
takluk. Raja Sunda yang baru, Bunisora menerima permintaan maaf dari
penguasa Majapahit, hayam Wuruk, yang mengutus utusan yang berasal dari Bali, seperti yang diungkapkan dalam naskah
kidung sunda.
Undang
Undang ” Larangan Estri ti Kaluaran”
Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, maka Prabu Bunisora
mengeluarkan peraturan yang kemudian dinamakan dengan Larangan estri ti
kaluaran, yang melarang mengawinkan seluruh anggota kerajaan dengan
majapahit.
(Lanjut, kisah diatas belum selesai)
By Adeng Lukmantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar