Pengantar
Dalam naskah Carita Parahiyangan yang
banyak diceritakan selain dari sanjaya dan Resi Demunawan atau Sang Seuweu
Karma adalah Wretikandayun. Masyarakat Sunda kebanyakan mungkin tidak mengenal
nama Wretikandayun itu. Atau kebanyakan dari mereka juga tidak tahu siapa sih
yang mendirikan kerajaan galuh, yang kekuasaanya dari sungai citarum hingga
hujung Galuh atau Surabaya sekarang.
Jadi setelah cerita / naskah Ciung Wanara, Sanjaya sang Pediri kerajaan
Medang Bumi mataram, Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit, Surawisesa dan
Prabu Linggabuana, Sang Prabu Wangi. Meskipun belum selesai semua, karena dalam
proses pencarian data, maka kisah selanjutnya mungkin yang cocok untuk dibahas
yang ke-6, adalah pendiri kerajaan Galuh, yaitu Wretikandayun.
Di tengah sumber referensi yang
sedikit, memang sangat sulit bisa berbicara atau memberikan data cerita sesuai
aslinya. Dalam istilah sunda ada istilah “kokoreh”, seperti ayam ketika mencari
makan, harus terus “kokoreh” meskipun makanan kemungkinan tidak di dapat,
tetapi ada upaya untuk mencarinya. Meskipun ada sedikit informasi, alangkah
baiknya mencoba menulis apa yang di dapat, dari berbagai sumber baik buku
maupun internet. Karena dengan menulis akan ada proses menuju kesempurnaan
meskipun tidak akan sempurna, karena berbagai keterbatasan. Tetapi proses merupakan
sesuatu hal yang harus dilalui dan dijalani.
“Tidak ada istilah bejo atau beruntung”
hanya menunggu keberuntungan, yang mungkin hanya akan dirasakan oleh dirinya
sendiri. Tetapi proses “kokoreh” yang mulai harus dibangkitkan, atau mungkin
istilah yang lainya adalah kita harus tetap berusaha. Karena itu, naskah atau cerita yang
akan dibahas sekarang ini adalah pendiri kerajaan galuh, yaitu Wretikandayun.
Sebagai usaha kokoreh dalam mempelajari sejarah dari sumber yang sedikit, dan
ingin memperkenalkan pada generasi muda Sunda, untuk mencoba mengetahui atau
memperkenalkan siapa sih yang mendirikan kerajaan Galuh itu. Ada istilah jika
tidak kenal maka tidak akan sayang, maka kami mencoba memperkenalkan kembali
naskah Wretikandayun, untuk hanya ingin membuka gerbang, pengkajian sejarah
sunda kepada generasi muda sunda, meskipun tidak akan pernah sesuai dengan
kisah sebenarnya.
NASKAH
KERAJAAN KENDAN
TAHUN 600-AN MASEHI
Diceritakan di
kerajaan kendan pada tahun 600-an Masehi, suatu kerajaan bawahan Tarumanagara.
Yang berkuasa dari kerajaan itu adalah Sang kandiawan. Sang kandiawan naik
tahta di kerajaan kendan menngantikan ayahnya, Rajaputra Suraliman pada tahun
597 M. Sang kandiawan adalah seorang yang alim, yang sangat dekat
dengan nilai nilai keagamaan. Sehingga
ia mengarah sebagai seorang rajaresi.
Kerajaan Kendan
merupakan suatu kerajaan bawahan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan ini didirikan
Sang Resiguru Manikmaya pada tahun 536 M. Resiguru Manimaya berkuasa
selama 32 tahun, dari tahun 536-568 M.
Resiguru Manikmaya
diduga berasal dari Calangkayana atau India Selatan.
Manikmaya menikah dengan putri raja Tarumanagara ke7, maharaja Suryawarman (mp.
535-561 M) yang bernama Tirtakancana. Oleh Suryawarman ia dihadiahi daerah
Kendan (yaitu suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung sekarang).
Dan ia kemudian dinobatkan sebagai raja resi guru di daerah ini, yang
dilengkapi dengan mahkota raja dan mahkota prameswari. Semua raja daerah
taruumanagara, oleh Suryawarman harus menghormatinya, karena disamping sebagai
menantu raja juga karena sebagai seorang brahmana ulung yang dianggap banyak
berjasa terhadap agama.
Manikmaya memerintah Kendan selama 32 tahun , dari tahun 536 sampai 568 M. Dari perkawinannya dengan Tirtakusuma ia mempunyai seorang putra dan
seorang putri. Yang putra bernama Rajaputra Suraliman, yang kemudian
menggantikannya sebagai penguasa Kendan yang ke-2.
Sang Kandiawan
merupakan anak dari Rajaputra Suraliman dengan Dewi Mutyasari,
putri dari Bakulaputra (dari kerajaan Kutai di Kalimantan, keturunan Kudungga). Dari ayah dan ibunya
tersebut, ia juga mempunyai adik yang bernama Kandiawati, yang menikah
dengan saudagar asal Sumatra dan tinggal bersama suaminya.
Rajaputra merupakan
gelar untuk Suraliman, putra dari Sang Resi Guru Manimaya. Rajaputra Suraliman terkenal sebagai seorang yang mahir dalam perang. Ia terkenal
sangat tampan disamping kelebihannya dalam ilmu perang dan strategi. Pada usia 20 tahun Suraliman diangkat menjadi senopati Kendan, dan
akhirnya diangkat menjadi panglima balatentara (baladika) Tarumanagara.
Setelah ayahnya (Manikmaya) meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja
kendan yang ke-2.Penobatannya berlangsung pada tanggal
12 bagian gelap bulan asuji tahun 490 saka (5 Oktober 568 M). Pada masaa
pemerintahannya ia selalu unggul dalam peperangan.
Suraliman menikah dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari
kerajaan Kutai di Kalimantan, keturunan
Kudungga). Dari pernikahannya dengan Dewi Mutyasari tersebut, ia mempunyai
seorang putra yang bernama Kandiawan, dan seorang putri yang bernama Kandiawati.
Kandiawan yang kemudian bergelar Rahiyangta ri Medang Jati kemudian
menggantikannya, sedang adiknya, Kandiawati, menikah dengan saudagar asal
Sumatra dan tinggal bersama suaminya.
Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun (568-597 M), yang kemudian
digantikan oleh putra sulungnya, Sang Kandiawan.
Sebelum menjadi
Raja, ia pada awalnya menjadi rajamuda di Medang Jati. Karena itu setelah ia dinobatkan menjadi raja Kendan. Sang
Kandiawan tidak berkedudukan di Kendan, tetapi ia memindahkannya ke
Medang Jati.
Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan merupakan pemeluk agama Hindu Wisnu,
sedang daerah kendan waktu itu menjadi pemeluk Hindu Siwa.
Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M). Sang kandiawan meneyebut
dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika
menjalankan hidup sebagai rajaresi ia bergelar Rahiyangta di Medang jati atau terkenal juga
dengan nama Sang Layu Watang. Dialah yang
membuat sanghiyang Watang Ageung.
Sang Kandiawan menggantikan tahta ayahnya, Suraliman, menjadi raja Kendan yang ke-3.
Sebelum menjadi raja Kendan, ia telah menjadi raja daerah di Medang Jati
atau Medang Gana. Oleh karena itu Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta
Ri Medang Jati.
Setelah ia dinobatkan menjadi raja, ia tidak berkedudukan di
Kendan, tetapi di Medang Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan
pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang daerah kendan pemeluk Hindu Siwa.
Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M).
Sang Kandiawan mempunyai 5 orang putra, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah,
Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun. Kelima anak sang
Kandiawan dalam naskah Carita Parahiyangan dianggap sebagai
“titisan” Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang
Puntandjala,
Sayembara / Taruhan Antar Anak Anak Sang Kandiawan.
Setelah menginjak
dewasa, pangeran pangeran putra Sang kandiawan tersebut sangat menyenangi acara
berburu. Pada suatu acara, mereka berlima: Mangukuhan,
Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun mereka
merencanakan untuk berburu di suatu bukit dekat pertapaan Bagawat Resi
Makandria.
Rencana berburu itu
dipimpin oleh kakak tertuanya, yaitu Mangukuhan. Sang Mangukuhan berkata: “Mari
adik-adik kita berburu ke bukit (tegalan).” Dan ketika akan
berburu, diadakan dulu rapat antar para Pangeran tersebut, dan disepakati bahwa
yang pertama kali memenangkan buruannya akan dijadikan raja nantinya.
Maka berangkatlah
kelima pangeran tersebut ke suatu bukit / tegalan. Mereka dengan semangat
berlomba-lomba untuk mendapatkan yang pertama mendapat hasil buruannya, karena mereka telah disepakati
bersama bahwa yang pertama kali mendapatkan hasil buruan akan dijadikan raja,
pengganti ayahnya.
Sang Resi Bagawat Resi Makandria
Jauh sebelum rencana
para pangeran sedang berkompetisi di tegalan / bukit buruan para pangeran
tersebut. Terdapatlah seorang Resi yang bernama Bagawat Resi Makandria yang
sedang bertapa dengan hidmatnya. Ia nantinya menjadi mertua dari Wretikandayun.
Resi Makandria terkenal sebagai resi yang sangat alim,
ia sejak muda menjalani hidup sebagai resi dengan banyak bertapa. Karena
tingkat keilmuannya yang sangat tinggi, dalam naskah ini diceritakan bahwa ia
mengerti perbincangan sepasang burung yang higgap di atas pertapaannya.
Dari pembicaraan burung si Uwur Uwur atau Si Naragati
yang sedang berdebat dengan betinanya. Sang burung mengkritik habis Resi Makandria yang katanya,
alangkah hinanyya jika tidak mempunyai anak. Menuerutnyasang resi melakukan
pertapaan tersebut karena sengsara karena tidak punya anak. Dan dari perbincangan juga diungkapkan
bahwa jangankan dia punya akan punya anak, sedang kawin saja tidak. Karena
alangkah akan sengasaranya jika tidak punya anak.
Pada bab kedua dari Carita Parahiyangan
menceritakan kisah seorang resi, yang bernama Bagawat Resi Makandria, yang
kelak akan menjadi mertua dari Wretikandayun, sang pendiri kerajaan Galuh.
Pada suatu hari ada sepasang burung jantan dan betina
yang bersarang di atas pertapaannya. Burung tersebut dinamakan “Si Uwur Uwur”
atau “Si Naragati”. Si burung betina tersebut mempunyai anak, tetapi kemudian
dimakan oleh jantannya. Maka sag betina itu marah kepada burung jantannya:
“Alangkah hinannya jika kita tidak mempunyai anak itu. Lihatlah Bagawat Resi
Makndria, bertapa itu karena sengsara sebab tidak mempunyai anak”. Mendengar
percakapan burung si uwur uwur tersebut, maka berkatalah Bagawat Resi
Makandria:” Bagaimana akan punya anak, kawin juga tidak.”
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan sebagai berikut:
Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si
Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku
jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek bikangna: “Kacida hinana, lamun urang teu boga
anak teh. Bireungeuh tuh
Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara
da henteu boga anak.”
Carek Bagawat Resi Makandria: “Kumaha rek boga anak.
Da kawin oge henteu.”
Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: “Aing dek
indit ka Sang Resi Guru, ka
Kendan.”
Manehna datang ka Kendan.
Carek Sang resi Guru: “Na nahaon bejana, hidep Bagawat
Resi Makandria, nu matak datang ka dieu?” “Pangampura bae; saleresna aya
piwartoseun. Dek nyuhunkeun pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si
Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati.
Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak.”
Carek Sang resi Guru: “Jig hidep ti heula ka patapan
deui. Anaking Pwah Rababu
geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya
manehna pijodoeun hidep teh,
anaking.”
Mendengar dari percakapan tersebut, maka Bagawat Resi
Makandria kemudian menghentikan pertapaannya, dan bertekad menemui Sang Resi
Guru manikmaya di Kendan untuk meminta jodoh. Setelah menghadap Sang resi Guru,
ia kemudian menceritakan tentang perbincangan burung yang bernama Si Uwur Uwur,
bahwa alangkah hinanya jika tidak mempunyai anak. Maka Resi Makandria
menceritakan tentang maksud kedatangannya untuk minta jodoh ke Sang Resi Guru.
Sang Resi Guru kemudian menjodohkan Bagawat Resi Makandria dengan anaknya,
Pwah Rababu. Da menyuruh Bagawat Resi Makandrai untuk
kembali ke pertapaannya, dan calon istrinya, Pwah Rababu akan menyusu kemudian. Singkat cerita, Resi Makandria ini mempunyai
anak perempuan yang bernama Pwah Bungatak Mangalengale.
Dari kisah ini kemungkinan penulisnya ingin
menekankan tentang pentingnya regenerasi atau keturunan sebagai suatu upaya
untuk kesinambungan peradaban suatu bangsa. Dan hal ini seolah
menjadi dokrin sunda, bahwa kita jangan diam dalam arti bertapa saja tanpa
usaha apa apa.
Kemenangan Pangeran Wretikandayun
Sebelum berburu dimulai kelima saudara itu bersepakat
bahwa siapa yang pertama kali menumbak hewan buruannnya maka berhak menjadi
raja. Di Tegal (bukit) ada sepasang kerbau yang jantan bernama Kebowulan
sedang yang betina bernama Pwah Manjangandara, yang merupakan jelmaan dari Resi
Makandria dan istrinya, Pwah Rababu. Sepasang kerbau itu dikejar oleh kelima
orang tersebut, dan kebowulan tertembak oleh Wretikandayun, kemudian dikejar
hingga tempat pertapaan. Disana ditemukan Pwah Bungatak mangalengale sedang
sedang menyusu kepada Pwah Manjangandara.
Pwah Bungatak Mangalengale kemudian dibawa
Wretikandayun ke Galuh kepada ayahnya Sang Kandiawan atau Rahiyangta Medang
Jati. Setelah dewasa Pwah Bungatak Mangale-ngale ini kemudian dijadikan istri
oleh Wretikandayun.
Setelah itu keempat saudaranya menyepakati bahwa yang
berhak menjadi putra mahkota adalah putra bungsu sang raja, yaitu
Wretikandayun. Dan ia diangkat menjadi rajamuda di Menir.
BAB II RAJA
WRETIKANDAYUN
Setelah berkuasa selam 15 tahun, Sang kandiawan
kemudian mengundurkan diri menjadi raja, untuk lebih berkonsentrasi dalam
bidang keagamaan sebagai raja resi. Karena kesepakan antar anak anaknya, maka
yang naik tahta menjadi raja adalah Wretikandayun, putra bungsunya.
Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M). Sang kandiawan meneyebut
dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika
menjalankan hidup sebagai rajaresi ia bergelar Rahiyangta di Medang jati atau terkenal juga
dengan nama Sang Layu Watang. Dialah yang
membuat sanghiyang Watang Ageung.
Wretikandayun
dinobatkan menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya pada 23 Maret 612 M, pada
usia 21 tahun. Dan setelah menjadi raja Wretikandayun tidak berkedudukan di di
Kendan atau di Medang Jati, tidak juga di Menir. Tetapi ia mendirikan pusat
pemerintahan (ibukota) baru, yang kemudian diberi nama Galuh (permata).
Kendan pada masa
Wretikandayun lebih dikenal dengan nama kerajaaan Galuh, dan kerajaan ini
kemudian memegang peranan penting dan merdeka ketika Tarumanagara berubah
menjadi bawahan Sundasambawa. Dengan demikian Kendan di era Wretikandayun lebih
di kenal dengan nama kerajaan Galuh, yang mandiri.
Menjadi Kerajaan Galuh
Yang Merdeka
Ketika Wretikandayun dinobatkan sebagai
raja Kendan, penguasa Tarumanagara saat itu adalah Srimaharaja
Kertawarman (mp. 561-628 M). Ia berturut-turut menjadi raja daerah
(bawahan Tarumanagara) pada masa udawarman (628-639 M), Dewamurti
(639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (mp. 666-669 M).
Dan ketika tahta
tarumanagara jatuh kepada Tarusbawa pada tahun 669 M, menantu Linggawarman dari
Sundasambawa, yang kemudian mendirikan kerajaan Sunda, Wretikandayun yang waktu
itu berumur 78 tahun kemudian memerdekakan diri (merdeka), dan wilayah Tarumanagara
di bagi 2, dengan perbatasan Sungai Citarum. Tarusbawa berkuasa di barat Sungai
Citarum, sedang Wretikandayun sebelah timurnya.
Dengan demikian tahun 669 M, dianggap sebagai awal
dari kerajaan Galuh yang mandiri.
Mengangkat Saudara
saudaranya Menjadi Pejabat Negara
Nasib keempat saudara Wretikandayun pada awalnya
memilih jalan kehidupan yang berlainan. Kakak tertuanya, Sang Mangukuhan
memilih jadi petani (tukang ngahuma). Kakak keduanya, Sang Karungkalah memilih
menjadi tukang moro (Tukang berburu), Kakak ketiganya, Sang Katungmaralah
memilih menjadi tukang nyadap (pengambil air nira untuk membuat gula),
dan kakak ke-empatnya memilih menjadi pedagang (saudagar).
Dan ketika Wretikandayun menjadi Raja Galuh, keempat saudaranya
tersebut diangkat derajatnya (dijunjung) menjadi penguasa didaerah
kekuasaannya: Sang Mangukuhan diangkat menjadi
penguasa di Kuli Kuli (Rahiyangtang Kuli-Kuli), dan berkuasa selama 80
tahun. Sang Karungkalah diangkat menjadi penguasa di Sarawulan
(Rahiyangtang Sarawulan), dan berkuasa hanya 6 tahun, karena kelakuannya yang
kurang bagus. Sang Katung Maralah diangkat menjadi penguasa di Pelesawi
(rahiyangtang Pelesawi), dan berkuasa selama 122 tahun karena kelakuannya yang
terpuji / baik.
Sang Sandanggreba diangkat menjadi penguasa di
Rawunglangit (Rahiangtang Rawunglangit), dan berkuasa selama 60 tahun
BAB III PUTRA PUTRA
SANG RAJA
Wretikandayun beristrikan Pwah Bungatak
Mangalengale atau Manawati, dan setelah menjadi prameswari terkenal dengan nama
Candraresmi. Dari perkawinannya ia kemudian mempunyai 3
putra, yang bernama: Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara
(mandiminyak) (l. 624 M).
Rahiyang Sempak Waja
Rahiyang Semplak
Waja, merupakan anak tertua Wretikandayun yang lahir tahun 620 M. Ia memilih
menjadi
resiguru (batara dangiang
guru) di Galunggung.
Kisah Rahiyang Sempak Waja dimasa muda
diceritakan agak romantis. Berawal dari rasa iba (kasihan) Sang Resiguru
dari Kendan terhadap Sempak Waja yang tidak punya istri. Sang Resi guru
memerintahkan anaknya, Pwah Rababu yang terkenal sangat cantik, untuk menemui
Sempak waja, karena dianggap sangat cocok untuk menjadi suaminya.
Konon karena kesaktiannya, Sang Resiguru ini mengubah
ikat kepalanya (totopong) menjadi Jaralang Bodas. Dan jaralang Bodas itu
mendekati Sempakwaja. Dalam hatinya Sempak Waja bertanya: “ Mengapa ada
Jaralang Bodas?” Karena itu Sempak Waja kemudian mengambil penyumpit, terus
mengejarnya untuk disumpit. Tetapi ketika ia terus mengejarnya malah menemukan
wanita cantik yang bernama Pwah Rababu, yang sedang mandi di telaga Cendana.
Kata Sempak Waja siapa yang sedang mandi itu. Ia kemudian samping (jarit) nya
dileled ku sumpit dan kena. Ada teman Pwah rababu, yang bernama Pwah Aksari
ketika melihat Sempak Waja kemudian melarikan diri ke hutan sekitarnya
(tegalan). Dan Pwah Rababu oleh Sempak Waja kemudian dibawa ke Galunggung dan
kemudian dijadikan istrinya.
Diceritakan bahwa Sempak Waja sangat mencintai
istrinya (dipikasih), dan dari istrinya tersebut mempunyai 2 putra, yaitu
Rahiyang Purbasora dan Rahiyang Demunawan.
Rahiyang Kidul
Jantaka atau Rahiyang Kidul yag lahir tahun 622
M, memilih menjadi rrajaresi (batara hiyang buyut) di Denuk (sekarangg sekitar
daerah Garut Selatan).
Rahiyang Mandiminyak
Amara atau Rahiyang Mandiminyak
merupakan anak bungsu Wretikandayun yang lahir tahun 624 M, Ia diangkat
menjadi putra mahkota, dan kemudian menjadi raja di Galuh menggantikan
Wretikandayun setelah wafat.
BAB IV. SKANDAL YANG MENGGEMPARKAN ISTANA GALUH
Suatu waktu Rahiyang Mandiminyak
yang merupakan putra mahkota Galuh, mengadakan pesta perjamuan (utsawakarma) di
istana. Ia juga mengundang saudara-sudaranya, termasuk Semplak waja dan Jantaka. Yang mengundang adalah ayahnya (Wretikandayun), yang merupakan raja Galuh
waktu itu. Sempakwaja tidak hadir karena sakit namun karena menganggap undangan
ayahnya tersebut penting, maka ia diwakili oleh isterinya Pwah Rababu.
Sementara Pwah Rababu pergi ke Galuh, keduan anaknyatinggal di
Galunggung merawat ayahnya (sempak Waja).
Kehadiran Pwah Rababu
yang cantik di Istana Galuh ternyata menerbitkan masalah. Pwah Rababu disamping parasnya yang
sangat cantik juga ia terkenal sangat pandai menari. Dan ketika ia ikut menari
di halaman istana (buruan ageung) sangat menggemparkan masyarakat,
berduyun-duyunlah orang ntuk melihatnya, sehingga buruan ageung (halaman
istana) sangat ramai. Hal ini membuat penasaran Sang Putra Mahkota. Dan ketika
ia melihat wanita yang sangat cantik sekali maka tertarik, padahal mengetahui
bahwa ia merupakan kakak iparnya.
Rahiyang Mandiminyak kemudian menyuruh patihnya untuk
memaksa Pwah rababu untuk dibawa ke istanannya. Rahiyang Mandiminyak sangat
mencintainya, hal ini mungkin juga sudah dipendam sejak dulu ketika kakaknya mendapatkan
Pwah rababu yang terkenal sangat cantik. Rahiyang mandiminyak terkenal sebagai
orang yang pandai merayu, Dan dengan paksaan maka dikhabarkan selama 4 hari terjadilah smarakarya (skandal asmara) antara Pwah Rababu,
yang cantik itu, dengan adik iparnya, Rahiyang Mandiminyak.
Hasil skandal
kedua manusia berlainan jenis itu adalah seorang anak laki-laki yang kemudian dinamakan Sena yang lahir pada tahun 661 M. Sena artinya sang salah, karena ia dilahirkan
dari hubungan yang salah.
Istana Gempar
Skandal percintaan antara rahiyang mandiminyak dan
Pwah rababu sangat menggemparkan istana galuH dan juga kerajaaN. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa tersebut, tetap akhirnya
dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pwah Rababu
dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung, dan setelah lahir Sena harus dirawat oleh Mandiminyak sebagai pertanggungjawabannya.
Menyingkirkan Putra Mahkota
Untuk meredam gejolak, dan juga reputasi istana yang
terkenal sebagai pusat keagamaan. Mandiminyak
selanjutnya disingkirkan secara halus dari keraton oleh ayahnya, Wretikandayun.
Ia dikawinkan dengan Parwati anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, raja
Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah Mandiminyak tinggal di
Kalingga.
Dari perkawinan
Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha. Kelak setelah Sanaha
(anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan
Sena (anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun
683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).
Pada tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya,
Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu
Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram)
diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M.
Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah
oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah sampai tahun 742 M.
BAB VI SUKSESI GALUH
Rahiyang Mandiminyak menjadi raja kedua kerajaan
Galuh, menggantikan ayahnya yang berkuasa selama 90 tahun. Rahiyang mandiminyak
menjadi raja galuh pada tahun 702 M. Karena itu Rahiyang Mandiminyak
berkuasa di atas 2 negara, yaitu Kalingga (Jawa Tengah dan
Jawa Timur) dan Galuh (di tataran Sunda). Sehingga posisi Rahiyang
Mandiminyak sangat kuat sekali, dan pada tahun 703/704 M,
Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana (Teja Kancana
Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan. Karena itu kekuasaan Galuh sangatlah
luas, yaitu dari timur sungai Citarum hingga ujung Galuh (Surabaya sekarang)
Mandiminyak berkuasa di tanah Galuh hanya 7 tahun,
dari tahun 702 sampai 709 M. Pada tahun 709
M, Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Sena, anaknya dari Pwah Rababu.
Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh
Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pwah Rababu, dan akhirnya Prabu Sena dikudeta oleh Prabu Purbasora.
(lanjut)
By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda & Islam
Asal Hariang - Sumedang
Dari Berbagai Sumber di Internet.
Peminat Studi Peradaban Sunda & Islam
Asal Hariang - Sumedang
Dari Berbagai Sumber di Internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar