Bangsa ini adalah bangsa yang pernah terjajah selama ratusan tahun. Padahal menurut Ibn Khaldun jika menyimpulkan kasus dari Bani Israil, maka ada korelasi kebangkitan suatu bangsa terjajah sebanding dengan lamanya dijajah. Jadi bangsa ini akan bangkit sekitar 350 tahun setelah merdeka. Jika beranjak dari tahun sekarang ( ke 65 tahun) maka bangsa ini akan bangkit sekitar 285 tahun lagi, suatu penantian yang sangat melelahkan. Itupun dengan syarat munculnya generasi baru yang terbebas dari budaya budak, yaitu munculnya generasi basthotan fil jasd wal ilmi ( generasi yang kuat fisik dan ilmunya)..
Hidup adalah persaingan, semangat saja tidak pernah mengalahkan dalam persaingan, bahkan orang kelewat semangat justru menjadi orang yang kontraproduktif dalam suatu organisasi. Ada persyaratan minimal yang harus dimiliki orang dalam memenangkan persaingan dalam hidup. Pertama orang seringkali menunjukan kekuatan fisik. Kekuatan fisik adalah standar dari memenangkan persaingan dalam hidup. Tetapi hanya mengandalkan fisik saja, orang gampang untuk di kendalikan, maka ada kekuatan ilmu. Jika kekuatan fisik sama kekuatan ilmunya sama, maka yang ketiga adalah strategi, dan jika sama-sama ahli strategi maka yang keempat adalah kesabaran, maksud sabar disini bukan arti tradisi kita tidak melakukan apa-apa, tetapi sabar disin berarti militan atau ulet.
Kekuatan fisik adalah modal awal dalam memenangkan persaingan kemudian ilmu, mungkin itu ungkapan bebas dari generasi basthtan fil jasad wal ilmi. Jadi pada hakekatnya sistem pendidikan yang ideal adalah membangun orang-orang yang kuat secara fisik dan ilmu. Orang yang kuat tanpa ilmu gampang dipermainkan, orang berilmu tinggi tanpa kekuatan fisik maka akan loyo, menjadi generasi berilmu tapi penakut.
Jika kita membaca cerita-cerita sunda tempo dulu, sungguh hal demikian telah diterapkan dalam oleh perguruan-perguruan sunda waktu dulu. Pada awalnya untuk hidup 'survive' maka latihan fisk merupakan syarat mutlak awal, tetapi jelas harus melalui tahapan-tahapan dengan konsep yang manusiawi. Seperti manusia baru berjalan, harus melangkah selangkah demi selangkah, bukan langsung jalan atau bahkan lari. setelah itu kemudian diajari ilmu-ilmu yang ideal, konsep-konsep yang ideal. Setelah hal itu berlangsung dalam waktu tertentu, maka barulah turun gunung. Istilah turun gunung adalah suatu konsep ideal dalam mengaktualisasikan ilmunya dalam masyarakat sekitar.
Untuk membangun generasi baru muslim setidaknya harus dibangun suatu pemikiran yang berperadaban, jadi generasi muslim ke depan harus dipahamkan tentang wacana yang luas yaitu wacana peradaban, bukan wacana yang sempit,yang hanya mengajarkan cabang yang sempit, fiqih saja, hadits saja atau hanya hukum saja. Karena di dunia itu kita hidup bersaing bukan hanya dengan sesama muslim tetapi dengan non muslim. Jadi wacana yang harus di raih adalah persaingan dalam wacana yang sama , yaitu ilmu pengetahuan yang global atau kita sebut wacana peradaban.
Karena itu belajar dari Al Qur'an, Sunnah dan sejarah peradaban manusia, maka untuk meraih kemenangan dalam persaingan setidaknya perlu tahapan-tahapan yang lebih serius untuk menggapainya. Karena hampir semua tahu, bahwa bangsa-bangsa muslim adalah bangsa yang ketinggalan dalam berbagai bidang kehidupan. Jangankan memimpin zaman mengikuti zaman saja tergopoh-gopoh.
Tidak ada kata terlambat bagi orang yang mau memulai, dan bagi mereka yang mau belajar. Dan mungkin suatu kelemahan dari bangsa ini disamping gampang menyerah, tidak idealis (hanya mikir perut saja), juga sangat malas untuk belajar. Sehingga hidupnya jumud, statis dan anti kritik. Kita telah begitu lama terbuai dijajah selama ratusan tahun, sehingga kemauan untuk berubah sangatlah susah, mereka begitu menikmati kesusahan dalam hidup
Memang sangat susah membangun pemikiran dalam konsep masyarakat yang biasa susah dan sangat menikmati kesusahan hidupnya sebagai jalan hidup yang ia jalani. Memaksa masyarakat angkatan lama untuk berubah sangatlah susah, dan mungkin kita membiarkan mereka pada pandangannya yang demikian., Tetapi yang harus diselamatkan adalah generasi ke depan, yang mereka akan mengalami zaman yang lebih dari zaman sekarang. Kalau dibiarkan mereka mempunyai pandangan susah seperti pendahulunya maka mereka akan terpinggirkan dengan sendirinya. Kalau terpinggirkan mereka akan menjadi bangsa yang susah lagi, padahal tanggung jawab generasi sebelumnya adalah membuat generasi berikutnya dididik sesuai zamannya.
Sebagai tanggungjawab generasi sekarang, maka sangat diperlukan upaya-upaya untuk meraih peradaban masa depan yang cemerlang. Dan untuk meraihnya kita harus menggunakan cara-cara peradaban Islam tempo dulu, ang telah teruji. Jika kita menggunakan metode barat, maka kita akan selamanya mengikuti peradaban barat, yang berarti pula menjadi pengekor, kalau sudah pengekor maka sudah sangat susah untuk leading atau menjadi leader, kecuali mundur. Dan jika mundur terus maka masuk jurang adalah suatu kesempatan.
Untuk membangun peradaban Islam ke depan setidaknya ada tahapan-tahapan yang diajarkan dalam sejarah peradaban Islam tempo dulu, diantaranya:
1. Membuka wacana yang lebih luas
Dalam sejarah peradaban Islam awal, ada kecenderungan umat Islam membuka wacana ke arah yang lebih luas, meskipun tetap dalam pandangan keagamaan yang kokoh.
Pada awalnya pemahaman umat Islam awal hanya masalah keagamaan, tetapi kemudian menjalar ke hampir semua wacana kehidupan, sehingga tidak ada wacana sekecil apapun yang tiudak dibahas oleh ilmuwan-ilmuwan muslim. Hal ini bisa disaksikan dari sisa-sisa karya penulis-penulkis muslim klasik yang hingga kini masih ada.
2. Ada transisi dari Budaya lisan ke budaya tulisan
Pada awalnya generasi muslim awal, bergerak pada tradisi lisan. Tetapi Nabi telah memulai menyuruh menulis firman-firman Allah, melalui sekretaris-sekretarisnya. Dan tardisi ini kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya, dari hanya tulisan yang berhubungan dengan Al Qur'an ,kemudian tulisan yang berhubungan dengan hadits-hadits Nabi, kemudiian yang berhubungan dengan sejarah, dan berlkanjut pada dasar-dasar pengambilan hukum, metode-metode, dan berlanjut kepada ilmu kimia, ilmu fisika dan lain sebagainya.
Masyarakat kita masih mengembangkan tradisi lisan padahal tulisan sudah dikenal. Mereka begitu menikmati cerama-ceramah yang itu-itu saja, seolah mendengarkan ceramah telah mewakili sebagai kebaktiannya kepada Allah. Dan tradisi ceramah ini tetap bertahan dan mendapat tempat di masyarakat yang malas membaca, Jadi ada korelasi orang malas dengan tradisi lisan,sehingga tidak maju-maju, bahkan cenderung menjadi bangsa yang mundur secara peradaban. Karena budaya malas membaca telah begitu merasuk pada bangsa ini. Jumud, taklid, dan malas merupakan budaa bangsa yang tetap dipertahankan. Padahal hal itu merupakan sumber malapetaka kehidupan. Karena akan menjuerumuskan bangsa itu hanya menjadi bangsa pinggiran, menonton kemegahan, dan menikmati kesengsaraan.
Masyarakat Sunda harusnya menjadi masyarakat dinamis, seperti yang diinginkan oleh nenek moyangnya dulu. Hidup statis, jumud, tidak berubah adalah malapetaka. Dan untuk merubah itu semua kita harus banak membaca. Mendengar ceramah hanyalah proses awal untuk mencari wacana yang banyak. dan pendalamannya hana ada dalam buku-buku.
Dengan demikian masarakat sunda harus mrmbiasakan membaca buku-buku sebagai upaya pendalaman dan mencapai hidup 'rancage'. Setelah banyak membaca maka harus memulai menulis apa-apa yang diketahui sebagai awal dalam menuju pencapaian peradaban yang cemerlang ke depan.
Ada hal yang salah dalam pandangan masyarakat sunda dan masyarakat indonesia secara keseluruhan yang selalu diidentifikasikan segala sesuatu dengan uang. Apa-apa uang, apa-apa dihubungkan dengan isi perut. Padahal konon hasil manusia tidak akan jauh dari pandangannya dalam memandang hidup. Jika hanya berpandangan masalah perut maka orang itu akan tetap susah dalam masalah ini. Makanya manusia harus memandang dunia ini lebih luas, lebih idealis. masalah kebanggaan diri, masalah prestasi harus dikembangkan sebagai wacana baru. Dan jika sudah berprestasi maka masalah perut tidak usah dipikir lagi karena dengan sendirinya akan terpenuhi.
Maka sebagai suatu kesimpulan bahwa untuk meraih suatu perdaban yang cemerlang, kita harus membangun suatu wacana baru yang lebih luas. Disamping itu kita harus memulai menyenangi membaca, dan terus membaca. Buah dari banyak membaca adalah luasna pemikiran, luasnya wacana, sehingga memecahkan problem hidup akan dengan mudahnya diatasi, karena dalam bacaan banyak cara menangani problem dengan profesional. Dan setelah wacana yang luas, maka kita harus membiasakan diri untuk menulis apa-apa yang diketahui. Hal ini bukan masalah so tahu (sombong), tetapi merupakan upaya-upaya pembelajaran pada diri dan generasi mendatang. Kalau tidak dibiasakan dari sekarang oleh kita, kapan generasi sesudah kita memulai. Jangan biarkan generasi mendatang berada dalam keadaan 'selalu berangkat dari nol' atau selalu berangkat dari awal.
Jadi sebagai upaya pembelajaran pada diri kita dan juga generasi mendatang.......
Hidup adalah persaingan, semangat saja tidak pernah mengalahkan dalam persaingan, bahkan orang kelewat semangat justru menjadi orang yang kontraproduktif dalam suatu organisasi. Ada persyaratan minimal yang harus dimiliki orang dalam memenangkan persaingan dalam hidup. Pertama orang seringkali menunjukan kekuatan fisik. Kekuatan fisik adalah standar dari memenangkan persaingan dalam hidup. Tetapi hanya mengandalkan fisik saja, orang gampang untuk di kendalikan, maka ada kekuatan ilmu. Jika kekuatan fisik sama kekuatan ilmunya sama, maka yang ketiga adalah strategi, dan jika sama-sama ahli strategi maka yang keempat adalah kesabaran, maksud sabar disini bukan arti tradisi kita tidak melakukan apa-apa, tetapi sabar disin berarti militan atau ulet.
Kekuatan fisik adalah modal awal dalam memenangkan persaingan kemudian ilmu, mungkin itu ungkapan bebas dari generasi basthtan fil jasad wal ilmi. Jadi pada hakekatnya sistem pendidikan yang ideal adalah membangun orang-orang yang kuat secara fisik dan ilmu. Orang yang kuat tanpa ilmu gampang dipermainkan, orang berilmu tinggi tanpa kekuatan fisik maka akan loyo, menjadi generasi berilmu tapi penakut.
Jika kita membaca cerita-cerita sunda tempo dulu, sungguh hal demikian telah diterapkan dalam oleh perguruan-perguruan sunda waktu dulu. Pada awalnya untuk hidup 'survive' maka latihan fisk merupakan syarat mutlak awal, tetapi jelas harus melalui tahapan-tahapan dengan konsep yang manusiawi. Seperti manusia baru berjalan, harus melangkah selangkah demi selangkah, bukan langsung jalan atau bahkan lari. setelah itu kemudian diajari ilmu-ilmu yang ideal, konsep-konsep yang ideal. Setelah hal itu berlangsung dalam waktu tertentu, maka barulah turun gunung. Istilah turun gunung adalah suatu konsep ideal dalam mengaktualisasikan ilmunya dalam masyarakat sekitar.
Untuk membangun generasi baru muslim setidaknya harus dibangun suatu pemikiran yang berperadaban, jadi generasi muslim ke depan harus dipahamkan tentang wacana yang luas yaitu wacana peradaban, bukan wacana yang sempit,yang hanya mengajarkan cabang yang sempit, fiqih saja, hadits saja atau hanya hukum saja. Karena di dunia itu kita hidup bersaing bukan hanya dengan sesama muslim tetapi dengan non muslim. Jadi wacana yang harus di raih adalah persaingan dalam wacana yang sama , yaitu ilmu pengetahuan yang global atau kita sebut wacana peradaban.
Karena itu belajar dari Al Qur'an, Sunnah dan sejarah peradaban manusia, maka untuk meraih kemenangan dalam persaingan setidaknya perlu tahapan-tahapan yang lebih serius untuk menggapainya. Karena hampir semua tahu, bahwa bangsa-bangsa muslim adalah bangsa yang ketinggalan dalam berbagai bidang kehidupan. Jangankan memimpin zaman mengikuti zaman saja tergopoh-gopoh.
Tidak ada kata terlambat bagi orang yang mau memulai, dan bagi mereka yang mau belajar. Dan mungkin suatu kelemahan dari bangsa ini disamping gampang menyerah, tidak idealis (hanya mikir perut saja), juga sangat malas untuk belajar. Sehingga hidupnya jumud, statis dan anti kritik. Kita telah begitu lama terbuai dijajah selama ratusan tahun, sehingga kemauan untuk berubah sangatlah susah, mereka begitu menikmati kesusahan dalam hidup
Memang sangat susah membangun pemikiran dalam konsep masyarakat yang biasa susah dan sangat menikmati kesusahan hidupnya sebagai jalan hidup yang ia jalani. Memaksa masyarakat angkatan lama untuk berubah sangatlah susah, dan mungkin kita membiarkan mereka pada pandangannya yang demikian., Tetapi yang harus diselamatkan adalah generasi ke depan, yang mereka akan mengalami zaman yang lebih dari zaman sekarang. Kalau dibiarkan mereka mempunyai pandangan susah seperti pendahulunya maka mereka akan terpinggirkan dengan sendirinya. Kalau terpinggirkan mereka akan menjadi bangsa yang susah lagi, padahal tanggung jawab generasi sebelumnya adalah membuat generasi berikutnya dididik sesuai zamannya.
Sebagai tanggungjawab generasi sekarang, maka sangat diperlukan upaya-upaya untuk meraih peradaban masa depan yang cemerlang. Dan untuk meraihnya kita harus menggunakan cara-cara peradaban Islam tempo dulu, ang telah teruji. Jika kita menggunakan metode barat, maka kita akan selamanya mengikuti peradaban barat, yang berarti pula menjadi pengekor, kalau sudah pengekor maka sudah sangat susah untuk leading atau menjadi leader, kecuali mundur. Dan jika mundur terus maka masuk jurang adalah suatu kesempatan.
Untuk membangun peradaban Islam ke depan setidaknya ada tahapan-tahapan yang diajarkan dalam sejarah peradaban Islam tempo dulu, diantaranya:
1. Membuka wacana yang lebih luas
Dalam sejarah peradaban Islam awal, ada kecenderungan umat Islam membuka wacana ke arah yang lebih luas, meskipun tetap dalam pandangan keagamaan yang kokoh.
Pada awalnya pemahaman umat Islam awal hanya masalah keagamaan, tetapi kemudian menjalar ke hampir semua wacana kehidupan, sehingga tidak ada wacana sekecil apapun yang tiudak dibahas oleh ilmuwan-ilmuwan muslim. Hal ini bisa disaksikan dari sisa-sisa karya penulis-penulkis muslim klasik yang hingga kini masih ada.
2. Ada transisi dari Budaya lisan ke budaya tulisan
Pada awalnya generasi muslim awal, bergerak pada tradisi lisan. Tetapi Nabi telah memulai menyuruh menulis firman-firman Allah, melalui sekretaris-sekretarisnya. Dan tardisi ini kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya, dari hanya tulisan yang berhubungan dengan Al Qur'an ,kemudian tulisan yang berhubungan dengan hadits-hadits Nabi, kemudiian yang berhubungan dengan sejarah, dan berlkanjut pada dasar-dasar pengambilan hukum, metode-metode, dan berlanjut kepada ilmu kimia, ilmu fisika dan lain sebagainya.
Masyarakat kita masih mengembangkan tradisi lisan padahal tulisan sudah dikenal. Mereka begitu menikmati cerama-ceramah yang itu-itu saja, seolah mendengarkan ceramah telah mewakili sebagai kebaktiannya kepada Allah. Dan tradisi ceramah ini tetap bertahan dan mendapat tempat di masyarakat yang malas membaca, Jadi ada korelasi orang malas dengan tradisi lisan,sehingga tidak maju-maju, bahkan cenderung menjadi bangsa yang mundur secara peradaban. Karena budaya malas membaca telah begitu merasuk pada bangsa ini. Jumud, taklid, dan malas merupakan budaa bangsa yang tetap dipertahankan. Padahal hal itu merupakan sumber malapetaka kehidupan. Karena akan menjuerumuskan bangsa itu hanya menjadi bangsa pinggiran, menonton kemegahan, dan menikmati kesengsaraan.
Masyarakat Sunda harusnya menjadi masyarakat dinamis, seperti yang diinginkan oleh nenek moyangnya dulu. Hidup statis, jumud, tidak berubah adalah malapetaka. Dan untuk merubah itu semua kita harus banak membaca. Mendengar ceramah hanyalah proses awal untuk mencari wacana yang banyak. dan pendalamannya hana ada dalam buku-buku.
Dengan demikian masarakat sunda harus mrmbiasakan membaca buku-buku sebagai upaya pendalaman dan mencapai hidup 'rancage'. Setelah banyak membaca maka harus memulai menulis apa-apa yang diketahui sebagai awal dalam menuju pencapaian peradaban yang cemerlang ke depan.
Ada hal yang salah dalam pandangan masyarakat sunda dan masyarakat indonesia secara keseluruhan yang selalu diidentifikasikan segala sesuatu dengan uang. Apa-apa uang, apa-apa dihubungkan dengan isi perut. Padahal konon hasil manusia tidak akan jauh dari pandangannya dalam memandang hidup. Jika hanya berpandangan masalah perut maka orang itu akan tetap susah dalam masalah ini. Makanya manusia harus memandang dunia ini lebih luas, lebih idealis. masalah kebanggaan diri, masalah prestasi harus dikembangkan sebagai wacana baru. Dan jika sudah berprestasi maka masalah perut tidak usah dipikir lagi karena dengan sendirinya akan terpenuhi.
Maka sebagai suatu kesimpulan bahwa untuk meraih suatu perdaban yang cemerlang, kita harus membangun suatu wacana baru yang lebih luas. Disamping itu kita harus memulai menyenangi membaca, dan terus membaca. Buah dari banyak membaca adalah luasna pemikiran, luasnya wacana, sehingga memecahkan problem hidup akan dengan mudahnya diatasi, karena dalam bacaan banyak cara menangani problem dengan profesional. Dan setelah wacana yang luas, maka kita harus membiasakan diri untuk menulis apa-apa yang diketahui. Hal ini bukan masalah so tahu (sombong), tetapi merupakan upaya-upaya pembelajaran pada diri dan generasi mendatang. Kalau tidak dibiasakan dari sekarang oleh kita, kapan generasi sesudah kita memulai. Jangan biarkan generasi mendatang berada dalam keadaan 'selalu berangkat dari nol' atau selalu berangkat dari awal.
Jadi sebagai upaya pembelajaran pada diri kita dan juga generasi mendatang.......
(lanjut.)