Minggu, 04 September 2016

BUYUT NI DAWIT, PERTAPA DAN SEORANG PENULIS DI ERA SUNDA KLASIK

Pengantar
Politik bumi hangus dalam penghancuran ibukota Pakuan Pajajaran, menimbulkan permasalahan yang rumit hingga kini, yatu terputus peradaban Sunda klasik dengan generasi sekarang. Yang menyebabkan generasi sekarang harus bersusah payah untuk menemukan khazanah peradabannya yang hilang. Karena berbagai khazanah keilmuan  hilang dengan hilangnya pusat peradaban.
Ketika suatu istana dihancurkan maka isi dari istana itu sendiri akan dengan sendirinya hancur.  Padahal di istana itulah biasanya merupakan tempat  warisan peradaban beratus ratus tahun ditulis   juga akan  hilang. Di istana juga biasanya ada perpustkaan yang mencatat raja raja sebelumnya dan silsilah penguasanya. Bahan tulisan biasanya terbuat dari kertas atau daun lontar dan semacamnya adalah yang gampang atau rapuh terhadap kerusakan, apalagi kalau terjadi pembakaran. Dengan demikian seolah peradaban yang dibangun beratus ratus tahun, musnah seiring musnahnya tempat peradaban itu sendiri. Dan generasi selanjutnya hanya bisa “kokoreh” mencari sisa sisa peradaban, itupun harus dengan bersusah payah.
Dalam pengungkapan kembali sisa sisa peradaban Sunda di era modern  mungkin kita harus berterima kasih kepada ilmuwan atau sejarawan yang hebat semacam: Edi S Ekadjati, Saleh Danasasmita, Atja, Undang A darsa, Ayatrohaedi dan lain lain, dan juga sejarawan Belanda yang bersusah payah mengungkap berbagai naskah Sunda. Meskipun mungkin masih banyak yang belum diungkap atau belum dibahas atau yang harus diungkap. Mudah mudahan ke depannya muncul generasi generasi pengungkap sejarah yang cerdas dari kalangan sunda, sehingga kesinambungan sejarah untuk menemukan jatidiri bangsa terungkap.
Dan pada pembahasan dibawah ini, adalah tentang Buyut Ni Dawit, yang merupakan salah seorang penulis naskah dalam peradaban Sunda Klasik. Seperti kita ketahui bahwa dalam peradaban Sunda Klasik, ada beberapa penulis atau penyalin naskah, diantaranya: Penulis Naskah Carita Parahiyangan yang namanya masih belum diketahui, Bujangga Manik, Buyut Ni Dawit, Sang Bujangga Resi Laksha, Kairaga, Pangeran wangsakerta dan lain lain.
Meskipun data baru sedikit yang ditampilkan, dan masih merupakan saduran, tetapi sesuai dengan prinsip “data sedikit merupakan awal dari pencarian.”. Jadi sangat sayang jika data yang sangat bermamfaat ini tidak ditulis dulu dalam blog ini, Dan setelah itu berarti adalah awal dari pencarian data yang lebih banyak.

NASKAH

BAB I TENTANG BUYUT NI DAWIT

Salah seorang penulis dalam peradaban Sunda Klasik. Buyut Ni Dawit merupakan seorang pertapa perempuan, penulis Naskah Sewaka Darma.
Berdasar Naskah Sewaka Darma (Kropak 408), ia `berasal dari kuta Wawatan dan pernah bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana.
Kuta Wawatan, menurut para sejarawan terletak di Priangan sebelah timur, karena penulis naskah Sewaka Darma menyebutkan nama Kendan, Medang, dan Menir yang masing-masing merupakan tempat kediaman Resi Guru Manikmaya, Kandiawan, dan Wretikandayun di daerah Priangan timur.
Pertapaan Ni Teja Puru Bancana berada di Gunung Kumbang (1216 m  dpl). Gunung ini terletak di Kabupaten Brebes sekarang (jawa tengah) atau tepatnya mungkin di suatu tempat yang dunamakan gunung Sagara (800 dpl). Yang letaknya di lereng selatan Gunung Kumbang tempat dimana naskah naskah kuno di temukan.
Meskipun penduduk kampungnya sekarang telah tiada setelah peristiwa pengambilan naskah oleh bupat Brebes Rd. Aria Tjandranegara. Tempat tersebut sejak dulu hingga sekarang dianggap mempunyai nilai spiritual tretentu bagi masyarakatmya., dimana penduduk sekitarnya hingga kini merupakaan masyarakat sunda, dan dalam beberapa aspek  kehidupanya masih cukup memegang teguh  tradisi leluhurnya. Tempat Gunung Sagara sampai saat ini masih ada dan dikeramatkan.

BAB II KARYA

Karya yang ditulis oleh Buyut Ni Dawit sekaramg ini dkenal demgan nama  Naskah Sewaka Darma atau Kropak 408. Dan naskah aslinya masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Beberapa naskah kuno yang ada di gunung sagara lereng selatan gunung Kumbang diambil oleh Raden Aria Tjandranegara, Bupati Brebes (mp. 1880-1885 M), pada tanggal 14 November 1882, kemudian diserahkan ke K.F. Holle untuk diteliti, yang khabarnya kemudian dismpan di Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen.
Sebagai koleksi Museum Nasional Jakarta, naskah Sewaka Darma  diberi nama register Kropak 408. Orang yang pertama mengumumkan naskah ini adalah Saleh Danasasmita dan kawan kawan tahun 1987. Naskah ii tretra pada daun lontar yang ditoreh peso pangot,  pisau khusus untuk menulis pada daun, bambu, atau kayu. Huruf dan bahasa yang dipakai adalah Sunda Kuno. Bentuknya puisi. Naskah ini terdiri darin37 helai daun rontal, 74 halaman, dan hanya 67 halaman yang terisi.
Tentang kapan naskah ini ditulis, tetapi para ahli menilai naskah ini dibuat pada abad ke-15 M. Berdasarkan isinya, usia naskah jauh lebih tua dari tipe hurufnya yang berasal dari abad ke-18 Masehi. Karena ajaran yang tersurat di dalamnya mengenai kelepasan jiwa (moksa) dengan gaya penuh kesungguhan, sulitlah diterima bila hal itu dikerjakan dalam suasana abad ke-18, bahkan abad ke-17 sekalipun. Pekerjaan itu hanya mungkin dilakukan pada saat agama Islam belum merupakan anutan umum di tatar Sunda. Sehingga diduga naskah ini merupakan salinan dari naskah yang lebih tua. Mungkin sekali naskah aslinya disusun paling tidak dalam abad ke-15 Masehi ketika anasir Hindu dalam kehidupan religi masyarakat Sunda belum merosot terlalu jauh
Isi naskah Sewaka Darma secara umum berbicara mengenai ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib. Menurut Danasasmita, dkk. naskah ini merupakan salah satu bukti tentang berkembangnya aliran Tantrayana di kawasan Jawa Barat pada masa silam. Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa dengan agama Buda Mahayana.
Sewaka Darma dibuka dengan kalimat:

Ini kawih panyaraman, pikawi[h]eun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, [h]awa[k[aneun sang sisya, nu huning sewaka darma.

(Inilah kawih [kidung] nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, [untuk] membangun rasa pribadi, [untuk], diamalkan para siswa, yang paham sewaka darma).
Istilah “kawih” sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat Sunda dalam pengertian lagu atau nyanyian vokal. “Panyaraman” masih mempunyai kesamaan dengan bahasa Sunda sekarang, berasal dari kata “caram” (di Priangan barat umumnya menggunakan kata “carek” yang searti dengan kata ini), artinya “larang” atau “peringatan”. “Kawih
panyaraman” berarti “nyanyian (tentang) larangan” atau “nyanyian (tentang) peringatan”, yang bisa juga berarti “nyanyian (suatu) nasihat”.

Berdasarkan teks tersebut naskah ini ternyata bernama Kawih Panyaraman, dan merupakan teks yang cukup panjang, yaitu 37 lembar dengan tulisan sebanyak 67 halaman. Apakah teks Kawih Panyaraman ini bisa dan biasa dinyanyikan (dikawihkeun), hal ini tidak dapat dipastikan. Akan tetapi bila dipegang asumsi bahwa istilah “kawih” dalam naskah ini masih searti dengan istilah “kawih” zaman sekarang, maka ada kemungkinan bahwa teks ini bisa dan biasa dinyanyikan pada zamannya. Sampai abad ke-19, bahkan pertengahan abad ke-20, untuk membaca suatu teks yang panjang, orang Sunda biasanya akan membacanya sambil dinyanyikan. Tujuannya, seperti dikemukakan Moriyama (2005:66), bagi orang Sunda, mendaraskan dangding (ditembangkeun) adalah hiburan sekaligus pendidikan. Bisa dibandingkan pula dengan artefak hidup seni pertunjukan buhun yang masih hidup sekarang dan menonjolkan sisi isi teks lagu, yaitu pantun. Pantun yang teksnya sangat panjang disajikan dengan cara dikawihkeun (dinyanyikan) pula. Teks Kawih Panyaraman sangat “hidup” karena memberikan pesan isi, namun sebaliknya secara karawitan—bila teks ini pada zamannya bisa dan biasa dinyanyikan—maka naskah ini merupakan teks mati karena tidak bisa memberikan gambaran bagaimana teks ini seharusnya dinyanyikan seperti pada zamannya.


(lanjut……)

By Adeng Lukmantara
peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam

(Sumber: saduran dan ringkasan dari : Wikipedia, Facebook Salakanagara. Naskah-sunda.blogspot.com, wacana.com,  , sasananuswantara.wordpress.com dll)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar