Pengantar
Politik bumi hangus dalam penghancuran ibukota Pakuan Pajajaran,
menimbulkan permasalahan yang rumit hingga kini, yatu terputus peradaban Sunda
klasik dengan generasi sekarang. Yang menyebabkan generasi sekarang harus
bersusah payah untuk menemukan khazanah peradabannya yang hilang. Karena
berbagai khazanah keilmuan hilang
dengan hilangnya pusat peradaban.
Ketika suatu istana dihancurkan maka isi dari istana itu sendiri
akan dengan sendirinya hancur. Padahal
di istana itulah biasanya merupakan tempat warisan peradaban beratus ratus tahun
ditulis juga
akan hilang. Di istana juga
biasanya ada perpustkaan yang mencatat raja raja sebelumnya dan silsilah
penguasanya. Bahan tulisan biasanya terbuat dari kertas atau daun lontar dan
semacamnya adalah yang gampang atau rapuh terhadap kerusakan, apalagi kalau
terjadi pembakaran. Dengan demikian seolah peradaban yang dibangun beratus
ratus tahun, musnah seiring musnahnya tempat peradaban itu sendiri. Dan
generasi selanjutnya hanya bisa “kokoreh” mencari sisa sisa peradaban, itupun
harus dengan bersusah payah.
Dalam pengungkapan kembali sisa sisa peradaban Sunda di era
modern mungkin kita harus
berterima kasih kepada ilmuwan atau sejarawan yang hebat semacam: Edi S
Ekadjati, Saleh Danasasmita, Atja, Undang A darsa, Ayatrohaedi dan lain lain,
dan juga sejarawan Belanda yang bersusah payah mengungkap berbagai naskah
Sunda. Meskipun mungkin masih banyak yang belum diungkap atau belum dibahas
atau yang harus diungkap. Mudah mudahan ke depannya muncul generasi generasi
pengungkap sejarah yang cerdas dari kalangan sunda, sehingga kesinambungan
sejarah untuk menemukan jatidiri bangsa terungkap.
Dan pada pembahasan dibawah ini, adalah tentang Buyut Ni Dawit,
yang merupakan salah seorang penulis naskah dalam peradaban Sunda Klasik.
Seperti kita ketahui bahwa dalam peradaban Sunda Klasik, ada beberapa penulis
atau penyalin naskah, diantaranya: Penulis Naskah Carita Parahiyangan yang
namanya masih belum diketahui, Bujangga Manik, Buyut Ni Dawit, Sang Bujangga Resi
Laksha, Kairaga, Pangeran wangsakerta dan lain lain.
Meskipun data baru sedikit yang ditampilkan, dan masih merupakan
saduran, tetapi sesuai dengan prinsip “data sedikit merupakan awal dari
pencarian.”. Jadi sangat sayang jika data yang sangat bermamfaat ini tidak
ditulis dulu dalam blog ini, Dan setelah itu berarti adalah awal dari pencarian
data yang lebih banyak.
NASKAH
BAB I TENTANG BUYUT
NI DAWIT
Salah seorang penulis
dalam peradaban Sunda Klasik. Buyut Ni Dawit merupakan seorang pertapa
perempuan, penulis Naskah Sewaka Darma.
Berdasar Naskah
Sewaka Darma (Kropak 408), ia `berasal dari kuta Wawatan dan pernah bertapa di
pertapaan Ni Teja Puru Bancana.
Kuta Wawatan, menurut
para sejarawan terletak di Priangan sebelah timur, karena penulis naskah Sewaka
Darma menyebutkan nama Kendan, Medang, dan Menir yang masing-masing merupakan
tempat kediaman Resi Guru Manikmaya, Kandiawan, dan Wretikandayun di daerah
Priangan timur.
Pertapaan Ni Teja
Puru Bancana berada di Gunung Kumbang (1216 m
dpl). Gunung ini terletak di Kabupaten Brebes sekarang (jawa tengah)
atau tepatnya mungkin di suatu tempat yang dunamakan gunung Sagara (800 dpl).
Yang letaknya di lereng selatan Gunung Kumbang tempat dimana naskah naskah kuno
di temukan.
Meskipun penduduk
kampungnya sekarang telah tiada setelah peristiwa pengambilan naskah oleh bupat
Brebes Rd. Aria Tjandranegara. Tempat tersebut sejak dulu hingga sekarang
dianggap mempunyai nilai spiritual tretentu bagi masyarakatmya., dimana
penduduk sekitarnya hingga kini merupakaan masyarakat sunda, dan dalam beberapa
aspek kehidupanya masih cukup memegang
teguh tradisi leluhurnya. Tempat
Gunung Sagara sampai saat ini masih ada dan dikeramatkan.
BAB II KARYA
Karya yang ditulis oleh Buyut Ni
Dawit sekaramg ini dkenal demgan nama
Naskah Sewaka Darma atau Kropak 408. Dan naskah aslinya masih tersimpan
di Museum Nasional Jakarta. Beberapa naskah kuno yang ada di gunung sagara
lereng selatan gunung Kumbang diambil oleh Raden Aria Tjandranegara, Bupati
Brebes (mp. 1880-1885 M), pada tanggal 14 November 1882, kemudian diserahkan ke
K.F. Holle untuk diteliti, yang khabarnya kemudian dismpan di Bataviaasch
Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen.
Sebagai koleksi Museum Nasional
Jakarta, naskah Sewaka Darma diberi nama
register Kropak 408. Orang yang pertama mengumumkan naskah ini adalah Saleh
Danasasmita dan kawan kawan tahun 1987. Naskah ii tretra pada daun lontar yang
ditoreh peso pangot, pisau khusus untuk
menulis pada daun, bambu, atau kayu. Huruf dan bahasa yang dipakai adalah Sunda
Kuno. Bentuknya puisi. Naskah ini terdiri darin37 helai daun rontal, 74
halaman, dan hanya 67 halaman yang terisi.
Tentang kapan naskah ini ditulis,
tetapi para ahli menilai naskah ini dibuat pada abad ke-15 M. Berdasarkan isinya, usia naskah jauh lebih tua dari
tipe hurufnya yang berasal dari abad ke-18 Masehi. Karena ajaran yang tersurat
di dalamnya mengenai kelepasan jiwa (moksa) dengan gaya penuh kesungguhan,
sulitlah diterima bila hal itu dikerjakan dalam suasana abad ke-18, bahkan abad
ke-17 sekalipun. Pekerjaan itu hanya mungkin dilakukan pada saat agama Islam
belum merupakan anutan umum di tatar Sunda. Sehingga diduga naskah ini
merupakan salinan dari naskah yang lebih tua. Mungkin sekali naskah aslinya
disusun paling tidak dalam abad ke-15 Masehi ketika anasir Hindu dalam
kehidupan religi masyarakat Sunda belum merosot terlalu jauh
Isi naskah Sewaka Darma
secara umum berbicara mengenai ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa
untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib. Menurut
Danasasmita, dkk. naskah ini merupakan salah satu bukti tentang berkembangnya
aliran Tantrayana di kawasan Jawa Barat pada masa silam. Ajarannya menampilkan
campuran aliran Siwa Sidanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa
dengan agama Buda Mahayana.
Sewaka
Darma dibuka dengan kalimat:
Ini kawih panyaraman, pikawi[h]eun ubar keueung,
ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, [h]awa[k[aneun sang sisya,
nu huning sewaka darma.
(Inilah
kawih [kidung] nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya
penggerak darma, [untuk] membangun rasa pribadi, [untuk], diamalkan para siswa,
yang paham sewaka darma).
Istilah
“kawih” sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat Sunda dalam pengertian
lagu atau nyanyian vokal. “Panyaraman” masih mempunyai kesamaan dengan bahasa
Sunda sekarang, berasal dari kata “caram” (di Priangan barat umumnya
menggunakan kata “carek” yang searti dengan kata ini), artinya “larang” atau
“peringatan”. “Kawih
panyaraman”
berarti “nyanyian (tentang) larangan” atau “nyanyian (tentang) peringatan”,
yang bisa juga berarti “nyanyian (suatu) nasihat”.
Berdasarkan
teks tersebut naskah ini ternyata bernama Kawih Panyaraman, dan merupakan teks
yang cukup panjang, yaitu 37 lembar dengan tulisan sebanyak 67 halaman. Apakah
teks Kawih Panyaraman ini bisa dan biasa dinyanyikan (dikawihkeun), hal ini
tidak dapat dipastikan. Akan tetapi bila dipegang asumsi bahwa istilah “kawih”
dalam naskah ini masih searti dengan istilah “kawih” zaman sekarang, maka ada
kemungkinan bahwa teks ini bisa dan biasa dinyanyikan pada zamannya. Sampai
abad ke-19, bahkan pertengahan abad ke-20, untuk membaca suatu teks yang
panjang, orang Sunda biasanya akan membacanya sambil dinyanyikan. Tujuannya,
seperti dikemukakan Moriyama (2005:66), bagi orang Sunda, mendaraskan dangding
(ditembangkeun) adalah hiburan sekaligus pendidikan. Bisa dibandingkan pula
dengan artefak hidup seni pertunjukan buhun yang masih hidup sekarang dan
menonjolkan sisi isi teks lagu, yaitu pantun. Pantun yang teksnya sangat
panjang disajikan dengan cara dikawihkeun (dinyanyikan) pula. Teks Kawih
Panyaraman sangat “hidup” karena memberikan pesan isi, namun sebaliknya secara
karawitan—bila teks ini pada zamannya bisa dan biasa dinyanyikan—maka naskah
ini merupakan teks mati karena tidak bisa memberikan gambaran bagaimana teks ini
seharusnya dinyanyikan seperti pada zamannya.
(lanjut……)
By Adeng Lukmantara
peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar