Kamis, 11 Agustus 2011

MENGENAL DIPATI UKUR, SANG PEMBEBAS


Adipati Ukur demikian nama salah satu jalan yang terkenal di kota Bandung. Dipati Ukur  atau lengkapnya Dipati Ukur Wangsanata, konon merupakan menak asal Purbalingga, yang menjadi menantu Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang. Ia pada awalnya merupakan penguasa wilayah ukur (daerah bandung sekarang), dibawah kekuasaan Sumedang Larang. Ia menikah dengan putri dari Prabu Geusan Ulun, yang terkenal dengan nama Nyi Mas Dipati Ukur.

Menjadi Bupati Wedana Priangan
      Setelah Pangeran Ranggagede dipenjara oleh kerajaan Mataram, karena dianggap  gagal dalam menghadapi serangan dari Banten atau dianggap main mata dengan banten, maka jabatan bupati wedana priangan diberikan kepada saudara iparnya, Adipati Ukur.
     Ketika dipati ukur  menjadi bupati wedana, pada tahun 1628 /1629 M, ia mendapat perintah dari Sultan Agung untuk menyerang Batavia (Jakarta sekarang), yang waktu itu dikuasai Belanda, bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso.
       Adipati Ukur membawa 9 umbul (pimpinan daerah) dalam penyerangan ke Batavia tersebut, diantaranya.  Dari ke-9 umbul tersebut, 3 umbul kemudian menghianatinya dan menjadi antek-antek mataram, yaitu Umbul Sukakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihurbeuti Ki Astamanggala, dan umbul Sindangkasih, Ki Somahita.

Gerakan Pembebasan Dipati Ukur Dari Pengaruh Mataram
     Sebagai bawahan Mataram akhirnya  Dipati Ukur menjalankan perintah Sultan Agung Mataram untuk menyerbu Belanda di Batavia. Serangan pertama dari sultan Agung terhadap VOC mendapat dukungan penuh dari Adipati Ukur, walaupun pada penyerangan tersebut gagal.  Pada penyerangan kedua, adiapati ukur  memamfaatkan kesempatan tersebut untuk membebaskan daerah ukur dan Sumedang dari pengaruh Mataram.
      Dari 4000 pasukan yang dikerahkan hanya 400 tentara yang kembali. Dari peristiwa itu ia merasa terharu dan kemudian bersumpah untuk tidak mengabdi dan tunduk lagi ke Mataram. Ia ingin membebaskan tanah Ukur dan Sumedang dari kekuasaan Mataram. Ia ‘nyicikeun cai, ngawurkeun leubu, sumpah moal daek  ngawula deui ka Mataram’.
     Tetapi Dipati Ukur  kemudian mendapat serangan dari Tumenggung Narapaksa, senapati Sultan Mataram, yang membawa beribu-ribu pasukan untuk melumpuhkan pasukan Dipati Ukur yang tinggal 400-an.  Menghadapi hal demikian, Dipati Ukur kemudian mundur, untuk mengatur strategi dan menunggu di gunung Lumbung. Tentara Mataram banyak yang meninggal ‘ditinggangan’ (Dijatuhi) batu diatas gunung. Perlawanan Dipati Ukur dapat dihentikan setelah Mataram mendapat bantuan dari 3 umbul yang menghianatinya, yaitu: Umbul Sukakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala, Umbul Sindangkasih Ki somahita.
       Atas jasa-jasanya terhadap Mataram, ketiga umbul yang menghianati Dipati Ukur tersebut  kemudian diangkat  menjadi mantri agung di tempatnya masing-masing. Ki Astamanggala, Umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi  mantri Agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wirangun angun. Ki Wirawangsa menjadi  bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Tanubaya sebagai bupati Parakan Muncang.
       Dipati Ukur merupakan simbol dari pembebasan manusia sunda yang justru mendapat penghianatan dari bangsanya sendiri, terutama antek-antek penjajah.  
 
(By Adeng Lukmantara
Sumber: dari berbagai sumber di internet)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar