Pengantar
Tulisan
ini diilhami karena ada orang yang
mempertanyakan tentang Prabu Geusan Ulun. Siapakah dia dan apa peranannya
dalamperadaban Sunda klasik. Penulis mencoba merangkum tulisan dari berbagai
sumber, termasuk tulisan tulisan di
internet, dalam bentuk yang lebih simple yang dinamakan oleh penulis dengan
istilah novel sejarah. Istilah tersebut mungkin kurang cocok dan mungkin akan
diperdebatkan. Tetapi seperti kisah kisah yang ditulis oleh penulis
sebeleumnya, seperti ciung wanara, Sonjaya, Pajajaran burak dan lain
sebagainya, telah ditulis seperti itu. Yah minimal, pembaca memahami, bahwa
kejadian itu terjadi pada tahun itu. Jadi bukan sejarah yang tumpang tindih.
Karena
tulisan ini masih baru rangkuman dari berbagai tulisan, mungkin banyak kutipan
dari penulis penulis lain, mohon maklum adanya.
Sambil menyelam minum air, itu kata peribahasa, Sambil mencari sumber
yang akurat dari berbagai buku, mengapa tidak ditulis sesuai dengan ide kita
sendiri.
Informasi
sedikit merupakan awal pencarian. Itulah yang menjadi prinsip kami dalam
menulis semua tulisan yang di tulis. Untuk menulis tulisan yang sempurna,
mungkin suatu hal yang tidak mungkin, karena data sumber yang serba sedikit.
Disamping itu,manusia itu punya opini sendiri, karena itu tidak semua orang
akan mengikuti opini kita, tetapi yang terpenting adalah kita telah memulai
membuat opini sesuai opini penulis itu sendiri. Karena lain padang lain
belalang, lain otak di kepala, lain pula pemikirannya.
Menggugah
kaum muda, mungkin itu harapan terbesar dari penulis.Mudah mudahan ke depannya
banyak pecinta sejarah kebudayaannya sendiri di kalangan kita sendiri,sehingga
ada sejarah kesinambungan. Sehingga pembuat sejarah berikutmya tidak hanya
berangkat dari nol ke nol.
Hidup
itu harus membuat sejarah, begitu kata orang bijak. Jangan menjadi kaum yang
diombang ambing sejarah. Sehingga kita dalam sejarah hanya menjadi pelengkap
penderita dalam menempuh sejarah kehidupan.
Tiada
gading yang tak retak. Tulisan ini mudah mudahan bermamfaat untuk kita semua.
Minimal bagi penulisnya, sebagai upaya belajar dan belajar mencari kesempurnaan
dalam hidup. Terima kasih.
.
A.. SUMEDANG LARANG AWAL ABAD KE-16 M.
Sumedang Larang adalah nama kerajaan
yang berdiri pada abad ke-13M, dan mulai mengeksiskan diri menjadi suatu
kerajaan yang indpenden diakhir kejatuhan kerajaan pajajaran pada akhir abad ke
16 M. . Kerajaan ini berdiri dan merupakan bagian dari kerajaan Sunda Galuh.
Dan secara hierarki Sumedang Larang merupakan bagian dari kerajaan Galuh.
Sumedang Larang oleh Bujangga Manik,
seorang pengembara dari kerajaan Sunda dalam naskah yang ditulisnya diakhir
abad ke-15 M disebut dengan nama Medang Kahiyangan. Dan dalam naskah Carita Parahiyangan
wilayah Sumedang ini juga disebut dengan
nama Medang Kahiyangan.
Sumedang Larang didirikan oleh Batara
Prabu Aji Putih, seorang tokoh keagamaan di lingkungan kerajaan Galuh yang
mumpuni. Dan ia kemudian mendirikan suatu kebataraan atau kabuyutan atau
padepokan di wilayah Sumedang (daerah Cipaku Darmaraja sekarang). Kabataraan
atau Kabuyutan dalam tradisi Sunda merupakan suatu tempat yang disakralkan oleh
masyarakat Sunda dan mempunyai suatu
kekuasaan yang independen, baik wilayah maupun otoritasnya terutama dalam
bidang keagamaan
Sumedang menjadi suatu negara mula mula dibangun oleh anak Prabu aji Putih
yang bernama Prabu Tajimalela. Prabu Tajimalela hidup sezaman dengan raja sunda
yang bernama Ragamulya Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M) dan juga tokoh
Suryadewata, orang tua Batara Gunung Bitung dari Talaga. . Prabu tajimalela ini
memiliki banya nama diantaranya Prabu resi Agung Cakrabuana dan Batara Tuntang
Buana. Dan nama kerajaannya pun berevolusi dari nama Tembong Agung yang
dibangun oleh Prabu Aji Putih kemudian menjadi Himbar Buana di era Prabu
Tajimalela, Medang kahiyangan dan Sumedang Larang d era berikutnya.
Dalam tradisi Sunda Klasik sistem
kenegaraan dalam tradisi Sunda lebih bercorak sistem negara Federal seperi sekarang ini.
Suatu wilayah kerajaan negara bagian (negara dalam negara) diakui independensinya.
Dan negara yang muncul kemudian selalu setia terhadap kerajaan utamanya.
Demikian juga Sumedang Larang yang secara hirarki menjadi bagian dari kerajaan
Galuh, dan merupakan suatu wilayah dari kerajaan Sunda (atau Sunda Galuh).
Hingga awal abad ke-16 M, Sumedang
larang mengambil corak agama Hindu sebagai agama resminya, meskipun secara
tradisi masyarakatnya masih berpegang teguh kepada kepercayaan aslinya. Baru
pada awal abad ke-16 M, Sumedang Larang telah beralih menjadi suatu kerajaan
yang berbasiskan Islam, dengan adanya pernikahan putri kerajaan Sumedang
Larang, Ratu Pucuk Umun dengan seorang bangsawan dari kerajaan Cirebon, yang
bernama Pangeran Kusumah Dinata, atau dikemudian hari terkenal dengan nama
Pangeran Santri.
Setidaknya terdapat 9 penguasa Sumedang
larang dari Batara Prabu Aji Putih hingga Ratu Pucuk Umun. Secara berurutan
penguasa Sumedang larang itu antara lain:
..Batara Prabu Aji Putih
..Prabu Tajimalela (Batara Tuntang
Buana)
.. Prabu Lembu Agung (Prabu Jayabrata/
Prabu Lembu Peteng Aji)
.. Prabu gajah Agung (Prabu Atmabrata)
.. Prabu Pagulingan (Prabu Wirajaya
Jagabaya)
.. Sunan Guling ( Prabu Mertalaya)
.. Sunan Tuakan (Prabu Tirta Kusuma)
.. Ratu Sintawati (Nyi Mas
Patuakan) menikah dengan Sunan Corenda
dari Talaga
.. Ratu Satyasih (Ratu Inten Dewata /
bergelar Ratu Pucuk Umun), menikah dengan Pangeran Santri dari Cirebon.
1..
Sumedang Larang tahun 1558 M
Di Sumedang Larang, tepatnya di Ibukota
Kutamaya, pada tahun 1558 M (1480 Saka) telah lahir seorang bayi laki laki di
Istana kerajaan dari ibu seorang ratu
(ibu negara) Ratu Pucuk Umun. Dan bayi
tersebut oleh ayahnya, Pangeran Santri diberi nama Pangeran Angka Wijaya.
Pangeran Angka wijaya ini dikrmudian hari setelah menjadi raja, dikenal dengan nama
Prabu Geusan Ulun.
Pangeran Angkawijaya tumbuh dibawah bimbingan ayahnya yang terkenal
sebagai turunan ulama dan ksatria (panglima) yang gagah berani dan juga penganut Islam yang
taat. Ayah Sang Bayi terkenal dengan julukan Pangeran Santri, karena ia merupakan
lulusan pesantren, disamping ketaatan terhadap agama yang luar biasa. Pangeran
Santri berkuasa di Kerajaan Sumedang
Larang bersama istrinya, Ratu Pucuk Umun, yang merupakan turunan dan pewaris
tahta Sumedang Larang.
Pangeran Santri dan istrinya Ratu Pucuk
Umun merupakan penguasa Sumedang Larang yang beragama Islam pertama kali. Ratu
pucuk Umun mengikuti jejak suaminya, Pangeran Santri menjadi muslimah pertama
di kalangan istana Sumedang Larang. Pada masanya, mereka membangun ibukota
kerajaan di Kutamaya, dan kemudian
memindahkan ibukota Sumedang Larang dari Ciguling ke ibukota baru tersebut (
Kutamaya). Dan Prabu Geusan Ulun lahir diibukota baru tersebut.
a..
Pangeran Santri (1505-1579 M)
Pangeran Kusumahdinata atau terkenal
dengan sebutan Pangeran Santri, merupakan penguasa (raja) Sumedang larang yang
pertama kali menganut agama Islam. Pada agama Islam dijadikan agama resmi
kerajaan, dan dia danggap yang berjasa dalam islamisasi di kerajaaan Sumedang
Larang.
Pangeran Santri merupakan cucu dari
Syekh Maulana Abdurahman (Sunan
Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk
Kahfi, dan merupakan putra dari Pangeran
Maulana Muhammad. Maulana Muhammad terkenal dengan nama Pangeran Palakaran
menikah dengan putri dari Sindangkasih (Majalengka) yang bernama Nyi Amrillah.
Dari pernikahan ini lahirlah Ki Gedeng Sumedang atau terkenal juga dengan nama Pangeran
Santri.
Syekh Datuk Kahfi adalah seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang
berasal dari Mekah, dan yang merupakan salah seorang yang berjasa dalam
menyebarkan agama Islam di tanah sunda era awal.
Pangeran Santri lahir pada tangga 6
bagian gelap bulan Jesta tahun 1427 M (29 Mei 1505 M), dan dilantik menjadi raja sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji
tahun 1452 Saka (21 Oktober 1530 M), dengan gelar Pangeran Kusumah Dinata, bersama
istrinya.
Karena ia masih punya kekerabatan
dengan kesultanan Cirebon, setelah mengawini Ratu Pucuk umun, maka Sumedang
Larang dengan otomatis berada dalam lingkaran kekuasaan kesultanan Cirebon.
Meskipun telah menjadi penguasa Islam di
tanah Sumedang Larang, Pangeran Santri tetap mempertahankan independensi
Sumedang dari pengaruh kesultanan Cirebon, dan ia tidak melakukan komplik
dengan negara induknya, Pajajaran. Pangeran santri lebih senang melakukan
islamisasi di tanah Sumedang daripada ia melakukan komplik horizontal dengan
Pajajaran. Karena itu meskipun Sumedang Larang telah Islam, tetapi oleh
Pajajaran tidak dianggap membahayakan
bagi kekuasaan Pajajaran. Karena itu ketika Pajajaran jatuh, maka justru mahkota
diserahkan kepada putra mahkota atau anak dari Pangeran Santri yang bernama Prabu
Geusan Ulun.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai
Penguasa (raja) Sumedang Larang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun
1452 Saka atau sekitar tanggal 21
Oktober 1530 M. Dan tiga bulan setelah penobatannya, pada tanggal 12 bagian
terang bulan Margasira tahun 1452 saka di keraton Pakungwati diselenggarakan
perjamuan syukuran untuk merayakan kemenangan kesultanan Cirebon atas Galuh,
dan sekaligus merayakan penobatan Pangeran Santri.
Pada masa Pangeran santri berkuasa,
Pajajaran sedang diambang kekalahan melawan Pasukan Maulana Yusuf dari Banten.
Dan pada tanggal 8 Mei 1579 M (atau tanggal 11 bulan Wesaka 1501 Saka.
Sebelum Pajajaran Jatuh, pada tanggal
22 April 1578 M, pada hari jum’at bertepatan dengan hari idul fitri di keraton
Kutamaya Pangera santri menerima 4 Kandaga Lante yang dipimpi oleh Sanghiyang
Hawu atau Jaya Perkosa. Dan ketiganya lagi adalah: Batara Dipati Wiradijaya
(Nangganan), Sanghiyang Kondang hapa, dan Batara Pancar Buana (Mbah Terong
peot).
Pangeran Santri meninggal pada 2
Oktober 1579 M, lima bulan setelah runtuhnya kerajaan Pajajaran, yang diserang
oleh tentara kesultanan Banten, dibawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf.
b..
Ratu Pucuk Umun (mp. 1530-1578M)
Ratu Pucuk umun atau Ratu Inten Dewata adalah seorang wanita yang merupakan turunan
dari Raja Raja Kuno Sumedang. Ia mewarisi tahta dari ayah dan ibunya, Sunan
Corenda /Shintawati. Karena ayahnya Sunan Corenda berasal dari Sindangkasih
(Majalengka), ada kemungkinan perkawinan dihubungkan dengan sistem kekerabatan.
Dan waktu itu Majalengka atau Sindangkasih telah lebih dulu masuk Islam berkat
jasa kakek dari Pangeran Santri, Maulana Abdurrahman. Dan ayah Pangeran santri
yang bernama Maulana Muhammad, yang menikah dengan salah seorang putri
bangsawan yang bernama Nyi Siti Armillah. Kemungkinan kekerabatan antara ayah Ratu Pucuk Umun
(Sunan Corenda) dengan Nyi Amrillah ini yang akhirnya menjodohkan antara
angeran Santri dengan Ratu Pucuk Umun (Ratu Inten Dewata). Ratu Pucuk Umun
mengikuti keyakinan suaminya, Pangeran Santri, yang beragam Islam. Dengan
demikian proses Islamisasi di Sumedang Larang terkesan lebih halusa dan tidak
terjadi konfrontasi seperti daerah daerah di eks Pajajaran lainnya.
Dari perkawinannya dengan Pangeran
Santri, ia dikaruniai 6 anak,yaitu: Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun),
Kiai Rangga Haji, Kiai Demang Watang
Walakung, Santoan Wirakusumah, Santowaan Cikeruh dan Santowaan Awiluar.
Karena merupakan anak pertama, maka Pangeran Angkawijaya kemudian diangkat
menjadi raja menggantikan ayahnya. Satowan Wirakusumah menurunkan keturunan di
Pagaden Subang.
Prabu Geusan Ulun merupakan anak
pertama pasangan penguasa Sumedang Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun. Ia lahir pada tanggal 3 bagian terang bulan
Srawana tahun 1480 Saka ( 19 Juli 1558 M). Karena anak pertama, kemudian ia
diangkat menjadi putra mahkota, dan menggantikan ayah dan ibunya menjadi Raja
Sumedang Larang.
Dengan demikian Prabu Geusan Ulun dari
pihak ibu merupakan turunan Raja raja Sumedang kuno, sedang dari pihak ayah
merupakan turunan pendakwah Islam pertama di tanah sunda, Syekh Datuk Kahfi
atau yang terkenal dengan nama Syekh Nurjati.
B.
TANAH SUNDA HINGGA AWAL TAHUN 1579 M
Di tanah Sunda hingga awal tahun 1579 M
terdapat 3 kekuasaan besar di tatar Sunda yang sudah menganut agama Islam,
yaitu Kesultanan Cirebon di bawah pimpinan Panembahan Ratu, Sumedang Larang di
bawah pimpinan Pangeran Santri, Kesultanan Cirebon dibawah pimpinan pimpinan
Sultan Maulana Yusuf.
Jika kesultanan Cirebon sangat agresif
menyerang kerajaan Pajajaran di bagian timur dan selatan yang berbasis kerajaan
Galuh, dan sebelum tahun tahun 1530 M, wilayah tersebut dapat dikuasai. Dan
puncaknya dengan perkawinan putri Raja
Sumedang Larang dengan Bangsawan dari Cirebon menandai dominasi kesultanan
Cirebon di bekas tanah Galuh. Meskipun berbeda dengan wilayah lain, Sumedang
Larang etap menjaga independensinya sebagai negarayang merdeka. Sehingga pada
tahun 1530 M diadakan syukuran diibukota kerajaan Cirebon di Pakungwati, perayaan kemanangan Cirebon atas Galuh dan
juga penobatan Pangeran Santri sebagai Raja Sumedang Larang, yang merupakan
kerabat dari sultan cirebon itu sendiri.
Sedang di wilayah bagian barat,
kesultanan Banten sedang berada diatas angin. Setelah Sunan Gunung Jati
meninggal. Hasanuddin mengeksiskan diri menjadi kesultanan yang terpisah dari
Cirebon, dan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa pertama (sultan) yang
independen di wilayah banten. Sehingga Sultan Maualana Hasanuddin dan
diteruskan oleh anaknya, Sultan Maulana Yusuf
sangat agresif untuk menaklukan pusat Ibukota pajajaran di Pakuan. Dan
puncaknya terjadi di era sultan maulana Yusuf berkuasa, ibukota Pajajaran,
Pakuan dapt ia taklukan pada tahun 1579 M. Tepatnya pakuan jatuh pada tanggal 8
Mei 1579 M, seperti diungkapkan dalam kitab Pustaka
Nusantara, tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan,
disebutkan: ” Pajajaran
sirna ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki
ikang sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka
tahun 1501 saka). Tanggal tersebut
bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Karena
masih keturunan dari Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi
dari istrinya Subang Larang, Sulltan Maulana Yusuf merasa paling berhak atas
tahta di wilayah Pajajaran. Disamping itu juga secara silsilah, ia juga
merupakan paling berhal atas tahta sunda di eks Pajajaran, karena baik di pihak
bapak dan dari pihak ibu, masuh turunan bangsawan Sunda. Dan mungkin ia juga
menegetahui bahwa raja raja sunda merupakan turunan dari raja raja di banten
sebelumnya, yaitu dari kerajaan Salakanagara di sekitar Pandeglang sekarang.
Jadi Sultan Maulana Yusuf seolah ingin membuktikan bahwa dirinyalah yang paling
berhal atas tahta Pakuan. Karena itu ia sangat agresif menyerang ibukota
Pakuan, meskipun ibukota tersebut sudah ditinggalkan oleh rajanya sejak tahun
1567 M.
Untuk
mendapatkan legitimasi sebagai raja Sunda, Sultan maulana Yusuf setidaknya
mengincar 2pusaka kerajaan Pajajaran yang menjadi simbol menjadi penguasa di tanah Sunda tersebut,
yaitu Mahkota kerajaan yang terkenal dengan nama Sang Binokasih, dan tempat
penisbatan raja raja Sunda yang dikenal dengan nama Palangka Sriman Sri Wacana.
Setelah ibukota pakuan dapat ditaklukan
pada tahun 1579 M, Sultan Maulana Yusuf
hanya bisa memboyong tempat penisbahan raja raja palangka Sriman Sriwacana,
sedangkan Mahkota sang Binokasih diselamatkan oleh 4 Senopati utama kerajaan
Pajajaran yang disebut Kandaga Lante untuk diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun
di kerajaan umedang Larang. Ke-4 kandaga Lante tersebut adalah: Jaya perkosa (Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati Wiradijaya
(Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong peot).
Ke-4 Kandaga lante berhasil menyelamatkan atribut
pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol
kekuasaan raja Pakuan, kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya,
seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut
kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu
Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan
gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M).
Karena sikapnya yang tidak kompromis
dari Sultan maualan Yusuf, para bangsawan Pajajaran yang masih tersisa seolah
enggan untuk menyeerah, dan menyerahkan lambang kebesaran kerajaan Sunda
tersebut kepada Sultan maulana Yusuf tersebut. Karena itu mereka kemudian
mencari sosok dari turunan raja raja Sunda yng masih eksis di bekas kerajaan
Pajajaran. Kerajaan galuh yang berhak atas tahta tersebut, telah kehilangan
tahtanya sejak ahun 1530 M, sejak kekalahannya dari penguasaCirebon. Dan hanya
1 turunan raja raja Sunda tempo dulu yang masih eksis dan independen, meskipun
secara agama ia telah menganut agamaIslam, yaitu Pangeran Angkawijaya di
kerajaan Sumedang larang.
Tahun penaklukan ibukota Pajajaran
hampir sama dengan meninggalnya penguasa Sumedang larang, pangeran Santri.
Sehingga tahta Sumedang secara otomatis jatuh kepada Pangeran Angkawiajaya,
yang bergelar Prabu Geusan Ulun. Meskipun ibukota Pakuan dapat ditaklukan oleh
Sultan Maulana yusuf, tidak berarti seluruh kekuasaan Pajajaran jatuh padanya.
Bahkan karena mahkota kerajaan Jatuh tangan Prabu Geusan Ulun, maka kekuasaan
Pajajaran yang tidak dikuasai oleh kesultanan Cirebon dan juga Banten menjadi
milik kekuasaan Sumedang Larang.
C.
MENJADI RAJA SUMEDANG LARANG DAN PEWARIS TAHTA PAJAJARAN
1.
Menjadi raja kerajaan Sumedang Larang.
Sebelum Pangeran Santri, ayah Prabu
Geusan Ulun meninggal pada 2 Oktober 1579 M. Pada tanggal 22 April 1578 M, pada
hari jum’at bertepatan dengan hari idul fitri di keraton Kutamaya Pangera
santri kedatangan 4 Kandaga Lante dari Pajajaran yang dipimpin oleh Sanghiyang
Hawu atau Jaya Perkosa. Dan ketiganya lagi adalah: Batara Dipati Wiradijaya (Nangganan),
Sanghiyang Kondang hapa, dan batara Pancar buana (bah Terong peot). Mereka
membawa atribut lambang kekuasaan Pajajaran, berupa mahkota Binokasih dan
lainnya, untuk dipersembahkan kepada putra mahkota Sumedang Larang, Prabu
Geusan Ulun, sebagai lambang pewaris kerajaan Pajajaran.
Dan tidak lama setelah peristiwa itu,
Pangeran Santri meninggal pada 2 Oktober 1579 M. Dan secara otomatis Pangeran
Angkawirya dinobatkan sebagai raja menggantikan ayahnya,dengan gelar Prabu
Geusan Ulun. Dengan demikian ia kemudia memeiliki keabsahaan sebagai penguasa
Sumedang larang dan juga mewarisi wilyah eks pajajaran yang tidakk dikuasai
oleh Banten dan Cirebon.
Jaya Perkosa amerupakan seorang
senopatii kerajaan Pajajaran. Batara Wiradijaya atau sekarang disebut dengan
Mbah Nangganan, dimasa pajajaran menjabat sebagai Nangganan. Batara
a..
Konstalasi Politik Bekas kerajaan Demak Setelah Sultan Trenggana Meninggal
Setelah Sultan Trenggono meninggal pada
tahun 1546 M, kerajaan Demak berada
diambang kehancuran. Pengganti Sultan Trenggono, putranya yang bernama Sunan Prawoto terbunuh
pada tahun 1549 M dalam perang melawan Arya Penangsang (sepupu Prawoto) yang
menjabat Bupati Jipang. Arya Penangsang menganggap bahwa dirinya yang berhak
menjadi sultan menggantikan Sultan trenggono.
Hadiwijaya atau Joko Tingkir yang merupakan menantu Sultan Trenggono jaga
menganggap dirinya berhak menjadi raja Demak, karena ia merupakan menantu Sang
raja, dan hal ini mendapat dukungan dari Ratu kalinyamat (bupati Jepara) yang
juga merupakan adik Prawoto. Hadiwijaya kemudian mengadakan Sayembara, bahwa
yang dapat mengalahkan Arya penangsang, akan mendapat wilayah Pati dan Mataram.
Dan sayembara ini diikuti oleh Ki ageng
pamanahan dan Ki Penjawi. Dan Arya Penangsang dapat dikalahkan. Karena jasanya
tersebut, kemudian Ki Ageng Pamanahan mendapat tanah di mataram, sedang
KiPenjawi mendapat tanah di Pati.
Setelah menjadi raja, Hadiwijaya
kemudian memindahkan ibukotanya dari Demak ke Pajang. Setelah hadiwijaya
meninggal tahun 1582 M, terjadi perebutan kekuasaan antara putra bungsu
hadiwijaya yang bernama Pangeran benawa, dan menantunya (suami anak pertama
sang raja) yang bernama Arya Pengiri, yang merupakan putra dari Sunan Prawoto.
Dengan dukungan panembahan Kudus, dan juga perkawinan anaknya, ratu
Harisbaya dengan Sultan Cirebon,
akhirnya Arya Pengiri naik tahta menjadi raja pada tahun 1583 M. Pada awalnya sultan Cirebon, panembahan ratu
mendukung Pangeran Benawa, tetapi karena perkawinan dengan anaknya, akhirnya
panembahan Ratu mendukung Arya Pangiri. Tetapi pada tahun 1586M, Pangeran
Benawa dengan bantuan Sutawijaya dari mataram memberontak terhadap Arya
pangiri, dan arya pangiri dapat dikalahkan. Pada tahun itu juga akhirnya
pangeran benawa menjadi raja Pajang yang ketiga hingga tahun 1587 M. Setelah
itu Pajang menjadi bawahan sutawijaya dari mataram.
b..
Berkunjung Ke Demak dan Pajang
Setelah Prabu Geusan Ulun berkuasa pada
tahun 1579 M, tidak lama setelah itu, ia melakukan kunjungan ke Demak dan
Pajang. Waktu itu kekuasaan Islam di jawa berpusat di Pajang dengan rajannya,
Hadiwijaya atau Joko Tingkir.
Prabu Geusan Ulun merupakan turunan
bangsawan islam yang disegani. Ia berkunjung ke Pajang kemungkinan besar untuk
mempelajari agama dan sistem pemerintahan di negeri itu. . Disini ia berjumpa
dengan Ratu Harisbaya, dan kemungkinan sudah ada benang cinta diantara mereka
berdua.
Tetapi setelah Joko Tingkir meninggal
pada tahun 1582 M, terjadi perebutan kekuasaan. Sebagian ulama dan pembesar ada
yang mendukung suami anak pertama raja yang bernama Arya Pangiri, yang juga
anak dari Sunan Prawoto. Dan ada pula yang mendukung anak bungsu Joko Tingkir
yang bernama pangeran Benawa. Dan salah satu yang mendukung Pangeran Benawa
adalah Panembahan Ratu yang merupakan sultan Cirebon. Untuk mendapat dukungan
panembahan ratu, akhirnya Arya pangiri menikahkan anaknya, yang bernama Ratu
Harisbaya dengan Panembahan ratu.
Ratu Harisbaya terkenal akan
kecantikannya. Ia merupakan putri Pajang berdarah Madura.. Latar belakang Arya Pangiri
menjodohkan anaknya, ratu Harisbaya, dengan Panembahan Ratu, penguasa Cirebon,
agar Panembahan Ratu bersifat netral. Karena setelah raja Pajang atau Hadiwijaya (Joko Tingkir), meninggal terjadi perebutan kekuasaan di
keraton Pajang, yang didukung oleh Panembahan Ratu, yang menghendaki yang
menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran Banowo putra bungsunya. Tetapi dipihak
turunan keluarga Sultan Trenggono di
Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto, dan merupakan menantu
Hadiwijaya. Karena itu kenetralan Panembahan Ratu, akhirnya Arya pangiri
kemudian yang menjadi penguasa Pajang berikutnya.
Setelah kunjungan selesai, akhirnya
Prabu Geusan Ulun meninggalkan Pajang, dan singgah di keraton kesultanan
Cirebon, dan disambut oleh panembahan
Ratu, penguasa Cirebon, yang secara silsilah masih paman.
Di keraton Cirebon, iaberjumpa kembali
dengan Ratu harisbaya. Ratu harisbaya memintanya untuk membawanya ke Sumedang. Hal ini ditolak
oleh Prabu Geusan Ulun, karena akan merusak kekerabatannya dengan Sultan
Cirebon tersebut. Tetapi ketika rombongan raja Prabu Geusan Ulun meninggalkan
Cirebon, Ratu Harisbaya, mengikutinya. Dan ketika di perjalanan diketahui,
bahwa Sang ratu ikut dalam rombongan, dan ia disuruh kembali, ia mengancam akan
bunuh diri. Dilema bagi sang Prabu, yang akhirnya membawanya ke Sumedang.
Mengetahui istrinya ikut dalam
rombongan Prabu Geusan Ulun. Maka Sultan Cirebon marah besar, maka terjadi
perselisihan antara kedua kerajaan tersebut. Panembahan Ratu memintanya untuk
mengembalikan Ratu Harisbaya tersebut, sehingga ia mempersiapkan tentaranya
untuk mengejar rombongan kerajaan Sumedang. Tetapi tentaranya itu dapat dipukul
mundur oleh pasukan Sumedang.
Peristiwa Ratu harisbaya ini memancing
peperangan antar kedua kerajaaan tersebut. Dan untuk antispasi keamanan, maka
ibukota kerajaan kemudian dipindahkan ke daerah yang lebih tinggi di Dayeuh
Luhur.
Dengan mediasi kerajan mataram,
akhirnya disepakati bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Ratu Harisbaya,
dengan syarat Talak, bahwa wilayah Sindangkasih
(Majalengka sekarang) harus diberikan ke Cirebon.
c.
Kemarahan Jaya Perkosa
Ketika ada mediasi antara Prabu Geusan
Ulun dengan Panembahan ratu dari Cirebon, dengan memberikan talak
berupamenyerahkan wilayah Sindangkasih (majalengka sekarang) membuat Jaya
perkosa marah besar.
Jaya Perkosa melihat bahwa Cirebon
waktu itu merupakan negara terlemah di bekas kerajaan pajajaran. Karena itu ia
kemudian berencana untuk menguasai kembali wilayah Cirebon jika terjadi
peperangan besar antara Sumedang Larang dan kerajaan Cirebon. Karena kekusaan
baik kesltanan Pajang atau kesultanan banten sedang berada dalamperpecahan
intern.
Dia termasuk seorang mantan pembesar
pajajaran yang idealis. Dengan
peristiwaHarisbaya seolah menjadikan awal dalam upaya upaya tersebut. Setidaknya dengan peristiwaHarisbaya
dapatmempermalukan kesultanan Cirebon. Sehingga kemungkinan mereka akan
menyerang ke Sumedang. Dan jika menyerang ada kemungkinan pasukanannya dapat
dikalahkan.
Tetapi dengan pemberian talak wilayah
Sindangkasih (Majalengka) kepada Cirebon, seolah perjuangannya memberikan mahkota ke Prabu Geusan Ulun sia
sia. Karean ia sekuat tenaga mempertahankan wilayahnya, meskipun sejengkal ia
pertahankan. Tetapi hanya karena peristiwa wanita, seolah segala usahanya dianggap
sia sia. Karena itu setelah itu ia
bersumpah untuk tidak lagi mengabdi kepada penguasa setelahnya.
2.
Daerah Kekuasaan Prabu Geusan Ulun
Setelah mewarisi mahkota kerajaan
Pajajaran yang dibawa oleh 4 Kandaga Lante Pajajaran. Maka secara otomatis
kekuasaan Sumedang Larang meewarisi seluruh kekuasaan Pajajaran yang tidak
dikuasai oleh Kesultanan Cirebon dan juga kesulatanan Banten. Dan menurut
babad, daerah kekuasaannya meliputi di sebelah timur dibatasi oleh sungai
Cipamali. Disebelah barat dibatasi oleh Sungai Cisadane. Dan sebelah utara (Bekasi,
karawang,Bogor, Sukabumi, Cianjur, Subang, Bandung dan Indramayu) dan selatan
(Tasikmalaya, Sukabumi,Garut, Ciamis) dibatasi oleh laut. Kekuasannya di timur
hingga Cilacap, Purwekerto, Purbalingga dan lain sebagainya.
Karena berbagai hal kekuasaan Prabu
GeusanUlun lama kelamaan menyempit hanya meliputi: kabupaten Sumedang, garut,
tasikmalaya dan bandung. Hal ini
disebabkan diantaranya perselisihan
antara kesultanan Cirebon dengan Sumedang larangkarena peristiwa Putri
Harisbaya yang kemudian jadi istrinya. Dimana Sumedang larang harus rela menyerahkan
wilayah Majalengka ke kesultanan Cirebon.
Dan diakhir kekuasannya, ia berkuasa di 40 penguasa
daerah parahiyangan, yang terdiri diantaranya: 22 Kandaga Lante dan 18 Umbul.
Hal ini berdasar dari Surat Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumah
Dinata VI), bupati Sumedang waktu itu, yang dikirimkan kepada penguasa VOC
Belanda di Batavia, Gubernur Jendral Willem Van Outhoorn. Surat itu dibuat pada
hari senin, 2 Rabi’ul Awal tahun Je atau 4 Deseember 1690 M, yang dimuat dalam
buku harian VOC di Batavia tanggal 31 januari 1691 M. Dalam surat tersebut,
Rangga gempol II menuntut agar kekuasaanya dipulihkan kembali seperti kekuasaan
buyutnya yang meliputi 44 penguasadaerah parahiyangan.
Ke-44 daerah kekuasaan Prabu Geusan
Ulun di akhir kekuasaannya tersebut, adalah:
..Di Kabupaten Bandung
Tibanganten
Batulayang
Kahuripan
Tarogong
Curug Agung
Ukur
Marunjung
Daerah Ngabai Astramanggala
Kabupaten Parakanmuncang
Selacau
Daerah Ngabai Cucuk
Manabaya
Kadungora
Kandangwesi (bungbulang)
Galunggung (Singaparna)
Sindangkasih
Cihaur
Taraju
Kabupaten Sukapura
Karang
Parung
Panembong
Batuwangi
Saung Watang (Mangunreja)
Daerah Ngabai Indawangsa di Taraju
Suci
Cipiniha
Mandala
Nagara (Pameungpeuk)
Cidamar
Parakan Tiga
Muara
Cisalak
Sukakerta
(lanjut......)
(By: Adeng Lukmantara, dari berbagai Sumber di Internet)
(By: Adeng Lukmantara, dari berbagai Sumber di Internet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar