Pengantar
Ada suatu naskah peninggalan karya intelektual orang sunda yang hingga kini masih ada, yaitu naskah Carita Parahiyangan. Naskah ini diyakini ditulis di Galuh pada saat kerajaan pajajaran mengalami kehancuran, sehingga naskah ini diperkirakan ditulis pada abad ke-16 M. Karena itu naskah ini dianggap merupakan sumber primer dalam mengkaji peradaban sunda masa lampau.
BAB 1
Ada suatu naskah peninggalan karya intelektual orang sunda yang hingga kini masih ada, yaitu naskah Carita Parahiyangan. Naskah ini diyakini ditulis di Galuh pada saat kerajaan pajajaran mengalami kehancuran, sehingga naskah ini diperkirakan ditulis pada abad ke-16 M. Karena itu naskah ini dianggap merupakan sumber primer dalam mengkaji peradaban sunda masa lampau.
Naskah ini pertama kali diteliti oleh K.F. Holle, kemudian C.M Pleyte
dari negeri Belanda. Naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Purbacaraka sebagai tambahan laporan
mengenai Batu Tulis dibogor, dan selanjutnya oleh beberapa sarjana sunda. Dan
dalam tulisan ini diambil dari terjemahan dalam bahasa Sunda karya sejarawan Sunda, yang bernama Atja
(1968), yang berjudul Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun
Urang Sunda. (Bandung, Jajasan Kebudajaan Nusalarang).
Naskah ini seolah menjadi benang merah yang menghubungkan peradaban
sunda masa lalu dengan masa kini. Naskah Carita parahiyangan ini berlatar
belakang sejarah Galuh, karena di daerah inilah peradaban sunda dimulai
sesungguhnya, meskipun sunda lebih mengarah ke kerajaann sunda yang didirikan
oleh tarusbawa. Atau yang pertama kali menggunakan nama sunda sebagai tempat
adalah Purnawarman dari kerajaan tarumanagara, dengan memindahkan ibukotaya
dari Candrabagha (daerah Bekasi) ke Sundapura (daerah Bogor), Tetapi secara
legitimate sejarah kerajaan sunda yang
sebenarnya berasal dari Galuh, karena raja-raja sunda setelah Tarusbawa
mempunyai sejarah keturunan dari Galuh.
Jadi Novel Sejarah Sunda galuh, berlatar dari Naskah carita
Parahiyangan. Dan jika kita pernah mengkaji ilmu keislaman, novel ini lebih
mirip semacam tafsir, atau dengan kata lain, bahwa buku ini merupakan tafsiran
tentang Naskah Carita Parahiyangan. Versi penulis. Dengan keterangan-keerangan
diambil dari berbagai sumber, diantaranya: nakah bujangga manik, naskah
wangsalerta, dan sumber sejarah lainna, dan para pakar sejarah dan juga
internet.
ALKISAH
BAB 1
ASAL MUASAL SEJARAH GALUH
Enya kieu Carita Parahiyangan teh.
Sang Resi Guru boga anak Rajaputra.
Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang
Kandiawati, duaan adi lanceuk.
Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja.
Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi
dirina Rahiangta di Medangjati,
oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun
Sanghiang Watangageung.
Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan,
mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang
Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah,
Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.
Alkisah bahwa sejarah yang ditulis dalam cerita parahiyangan diawali
dengan tokoh Sang Resi Guru. Yang akan menjadi pertanyaan adalah siapa
sebenarnya Sang resi Guru itu? Dan Siapa juga tokoh-tokoh yang disebut dalam
awal naskah Carita Parahiyangan tersebut?
1.
Sang Resi Guru
Sang Resi guru adalah gelar untuk Resi Manikmaya. Ia berasal dari keluarga calangkayana, India Selatan. Sebelumnya ia telah
mengembara mengunjungi beberapa negara,
seperti: Gandi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa sapi (Ghohnusa)
atau pulau Bali, Syangka, yawana, Cina dan lain-lain.
Manikmaya menikah dengan putri
raja Tarumanagara ke7, maharaja Suryawarman (mp. 535-561 M) yang bernama
Tirtakancana. Oleh Suryawarman ia dihadiahi daerah Kendan (yaitu suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung
sekarang). Dan ia kemudian dinobatkan sebagai raja resi guru di daerah ini, yang dilengkapi
dengan mahkota raja dan mahkota prameswari. Semua raja daerah taruumanagara,
oleh Suryawarman harus menghormatinya, karena disamping sebagai menantu raja
juga karena sebagai seorang brahmana ulung yang dianggap banyak berjasa
terhadap agama.
Manikmaya memerintah Kendan selama 32 tahun , dari tahun 536
sampai 568 M. Dari perkawinannya dengan Tirtakusuma ia mempunyai
seorang putra dan seorang putri. Yang putra bernama Rajaputra Suraliman, yang
kemudian menggantikannya sebagai penguasa Kendan yang ke-2.
2.
Rajaputra
“Sang Resi Guru boga anak Rajaputra”,
demikian baris kedua dari carita Parahiyangan tersebut. Rajaputra merupakan
gelar untuk Suraliman, putra dari Sang Resi Guru Manimaya. Rajaputra Suraliman
terkenal sebagai seorang yang mahir dalam perang. Ia terkenal sangat
tampan disamping kelebihannya dalam ilmu perang dan strategi. Pada usia 20
tahun Suraliman diangkat menjadi
senopati Kendan, dan akhirnya diangkat
menjadi panglima balatentara (baladika) Tarumanagara.
Setelah ayahnya (Manikmaya) meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja
kendan yang ke-2. Penobatannya berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan asuji
tahun 490 saka (5 Oktober 568 M). Pada masaa pemerintahannya ia selalu unggul
dalam peperangan.
Suraliman menikah dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari
kerajaan Kutai di Kalimantan, keturunan Kudungga). Dari pernikahannya dengan
Dewi Mutyasari tersebut, ia mempunyai seorang putra yang bernama Kandiawan, dan
seorang putri yang bernama Kandiawati. Kandiawan yang kemudian bergelar
Rahiyangta ri Medang Jati kemudian menggantikannya, sedang adiknya, Kandiawati,
menikah dengan saudagar asal Sumatra dan
tinggal bersama suaminya.
Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun (568-597 M), yang kemudian
digantikan oleh putra sulungnya, Sang Kandiawan.
3.
Sang Kadiawan
Sang Kandiawan merupakan anak dari
Rajaputra Suraliman. Sang kandiawan meneyebut dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia
bergelar Rahiyangta di Medang jati atau terkenal juga dengan nama Sang Layu Watang. Dialah yang
membuat sanghiyang Watang Ageung.
Sang Kandiawan menggantikan tahta ayahnya,
Suraliman, menjadi raja Kendan yang ke-3. Sebelum menjadi raja Kendan, ia telah menjadi raja daerah di Medang Jati
atau Medang Gana. Oleh karena itu Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta Ri Medang Jati.
Setelah ia dinobatkan menjadi raja, ia tidak
berkedudukan di Kendan, tetapi di Medang
Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan
pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang
daerah kendan pemeluk Hindu Siwa.
Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun
(597-612 M).
BAB
II.
Sang Kandiawan mempunyai 5 orang
putra, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan
Wretikandayun. Kelima anak sang Kandiawan dalam naskah ini dianggap sebagai “titisan” Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala,
Tahun 612 M, Sang Kandiawan mengundurkan diri dari tahta
kerajaan, alalu menjadi pertapa di
Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang
Wretikandayun, yang waktu itu telah menjadi rajaresi di Menir.
BAGAWAT
RESI MAKANDRIA
Aya
manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan
Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek
bikangna: “Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh
Bagawat
Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak.”
Carek
Bagawat Resi Makandria: “Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu.”
Ti
dinya, carek Bagawat Resi Makandria: “Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka
Kendan.”
Manehna
datang ka Kendan.
Carek
Sang resi Guru: “Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak
datang ka dieu?” “Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun
pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si
Nagaragati.
Sanggemna
kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak.”
Carek
Sang resi Guru: “Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu
geuwat
susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh,
anaking.”
Pwah
Rababu terus nyusul, dating ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku rabi.
Kabireungeuheun
aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat Rasi Makandria
ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama.
Carek
Sang Resi Guru: “Enten, anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka
lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung.”
Ti
dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir Pwah Bungatak
Mangalengale.
Pada bab kedua dari Carita Parahiyangan menceritakan kisah seorang resi,
yang bernama Bagawat Resi Makandria, yang kelak akan menjadi mertua dari
Wretikandayun, sang pendiri kerajaan Galuh.
Resi Makandria terkenal sebagai resi yang sangat alim, ia sejak muda
menjalani hidup sebagai resi denga banyak bertapa. Karena tingkat keilmuannya
yang sangat tinggi, dalam naskah ini diceritakan bahwa ia mengerti perbincangan
sepasang burung yang higgap di atas pertapaannya.
Pada suatu hari ada sepasang burung jantan dan betina yang bersarang di
atas pertapaannya. Burung tersebut dinamakan “Si Uwur Uwur” atau “Si Naragati”.
Si burung betina tersebut mempunyai anak, tetapi kemudian dimakan oleh
jantannya. Maka sag betina itu marah kepada burung jantannya: “Alangkah
hinannya jika kita tidak mempunyai anak itu. Lihatlah Bagawat Resi Makndria,
bertapa itu karena sengsara sebab tidak mempunyai anak”. Mendengar percakapan
burung si uwur uwur tersebut, maka berkatalah Bagawat Resi Makandria:”
Bagaimana akan punya anak, kawin juga tidak.”
Mendengar dari percakapan tersebut, maka Bagawat Resi Makandria kemudian
menghentikan pertapaannya, dan bertekad menemui Sang Resi Guru manikmaya di
Kendan untuk memiinta jodoh. Setelah menghadap Sang resi Guru, ia kemudian
menceritakan tentang perbincangan burung yang bernama Si Uwur Uwur, bahwa
alangkah hinanya jika tidak mempunyai anak. Maka Resi Makandria menceritakan
tentang maksud kedatangannya untuk minta jodoh ke Sang Resi Guru.
Sang Resi Guru kemudian menjodohkan Bagawat Resi Makandria dengan
anaknya, Pwah Rababu. Da menyuruh Bagawat Resi makandrai untuk kembali ke
pertapaannya, dan calon istrinya, Pwah rababu akan menyusu kemudian. Singkat
cerita, Resi Makandria ini mempunyai anak perempuan yang bernama Pwah Bungatak Mangalengale. Dari kisah ini kemungkinan penulis ingin menekankan tentang pentingnya regenerasi atau keturunan sebagai suatu upaya untuk kesinambungan peradaban suatu bangsa.
BAB III
SAYEMBARA
MENJADI RAJA
Carek
sang Mangukuhan: “Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan.”
Sadatang
ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan.
Diudag
ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna
numbakna,
nya manehna piratueun.
Keuna
ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh.
Kebowulan
lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh.
Ku
Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur
nyusu
ka Pwah Manjangandara.
Pwah
Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka
Rahiangta di Medangjati.
Dalam suatu hari kelima orang putra Sang Kandiawan,
yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah,
Sandang Greba dan Wretikandayun
mengadakan acara berburu ke suatu tempat
berbukit (tegalan) di dekat pertapaan Bagawat Resi Makandria. Acara berburu
itu dipimpin oleh putra tertua, yaitu: Sang Mangukuhan, dan berkata: “Mari
adik-adik kita berburu ke bukit (tegalan).”
Dan sebelum berburu dimulai kelima saudara itu bersepakat bahwa siapa
yang pertama kali menumbak hewan buruannnya maka berhak menjadi raja. Di Tegal (bukit) ada sepasang kerbau yang jantan
bernama Kebowulan sedang yang betina bernama Pwah Manjangandara, yang merupakan
jelmaan dari Resi Makandria dan istrinya, Pwah Rababu. Sepasang kerbau itu
dikejar oleh kelima orang tersebut, dan kebowulan tertumbak oleh Wretikandayun,
kemudian dikejar hingga tempat pertapaan. Disana ditemukan Pwah Bungatak mangalengale
sedang sedang menyusu kepada Pwah Manjangandara.
Pwah Bungatak Mangalengale kemudian dibawa Wretikandayun ke Galuh kepada
ayahnya Sang Kandiawan atau Rahiyangta Medang Jati. Setelah dewasa Pwah Bungatak
Mangale-ngale ini kemudian dijadikan istri oleh Wretikandayun.
BAB IV.
WRETIKANDAYUN
Rahiyangan
di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang
Wretikandayun
di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.
Ari
Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang Katungmaralah
jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang.
Nya
ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli,
Sang
Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi,
Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit.
Sabada
Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara
rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumenbumen,
harita
teh nya nyusun Purbatisti.
Lawasna
jadi ratu salapanpuluh taun. Diganti ku Rahiang Kulikuli, lawasna jadi ratu
dalapanpuluh
taun. Diganti ku Rahiangtang Surawulan, lawasna jadi ratu genep taun,
katujuhna
diturunkeun, lantaran goreng lampah. Diganti ku Rahiangtang Pelesawi,
lawasna
jadi ratu saratusdualikur taun, lantaran hade lampah. Diganti ku Rahiangtang Rawunglangit,
lawasna geneppuluh taun.
Setelah menjadi raja selama lima belas tahun dari tahun 597
sampai tahun 612 M,
Sang kandiawan atau Rahiyang ta Medang Jati
kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada putra bungsunya,Wretikandayun
di Galuh.
Wretikandayun
dinobatkan menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya yang menjadi resi pada 23
Maret 612 M, pada usia 21 tahun. Pada awalnya ia menjadi rajaresi di
Menir, dan kemudian diangkat menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya.
Wretikandayun tidak berkedudukan di di
Kendan atau di Medang Jati, tidak juga di Menir. Tetapi ia mendirikan pusat
pemerintahan (ibukota) baru, yang kemudian diberi nama Galuh (permata).
Ketika ia dinobatkan sebagai
raja Kendan, penguasa Tarumanagara saat
itu adalah Srimaharaja Kertawarman (mp. 561-628 M). Ia berturut-turut menjadi raja daerah (bawahan Tarumanagara) pada masa udawarman (628-639 M), Dewamurti
(639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (mp. 666-669 M). Dan ketika tahta tarumanagara jatuh kepada
Tarusbawa pada tahun 669 M, menantu Linggawarman dari Sundasambawa, yang
kemudian mendirikan kerajaan Sunda, Wretikandayun yang waktu itu berumur 78
tahun kemudian memerdekakan diri (merdeka), dan wilayah Tarumanagara di bagi 2,
dengan perbatasan Sungai Citarum. Tarusbawa berkuasa di barat Sungai Citarum,
sedang Wretikandayun sebelah timurnya, hingga sungai Cipamali (kali brebes
sekarang).
Kendan pada
masa Wretikandayun lebih dikenal dengan nama kerajaaan Galuh, dan kerajaan
ini kemudian memegang peranan penting dan
merdeka ketika Tarumanagara berubah menjadi bawahan Sundasambawa. Dengan
demikian Kendan di era Wretikandayun lebih di kenal dengan nama kerajaan Galuh.
Wretikandayun beristrikan Pwah Bungatak Mangalengale atau
Manawati, dan setelah menjadi prameswari terkenal dengan nama Candraresmi. Dari
perkawinannya ia kemudian mempunyai 3 putra, yang bernama: Semplak Waja (l. 620
M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).
a.
Saudara Saudara Wretikandayun
Nasib keempat saudara Wretikandayun pada
awalnya memilih jalan kehidupan yang berlainan. Kakak tertuanya, Sang
Mangukuhan memilih jadi petani (tukang ngahuma). Kakak keduanya, Sang
Karungkalah memilih menjadi tukang moro
(Tukang berburu), Kakak ketiganya,Sang Katungmaralah memilih menjadi tukang nyadap (pengambil air nira untuk
membuat gula), dan kakak ke-empatnya memilih menjadi pedagang (saudagar).
Tetapi kemudian ketika Wretikandayun diangkat menjadi Raja Galuh, keempat
saudaranya tersebut diangkat derajatnya (dijunjung) menjadi penguasa didaerah
kekuasaannya:
· Sang
Mangukuhan diangkat dmenjadi penguasa di Kuli Kuli (Rahiyangtang Kuli-Kuli),
dan berkuasa selama 80 tahun.
· Sang
Karungkalah diangkat menjadi penguasa di
Sarawulan (Rahiyangtang Sarawulan), dan berkuasa hanya 6 tahun, karena
kelakuannya yang kurang bagus.
· Sang
Katung Maralah diangkat menjadi penguasa di Pelesawi (rahiyangtang Pelesawi), dan
berkuasa selama 122 tahun karena kelakuannya yang terpuji / baik.
· Sang
Sandanggreba diangkat menjadi penguasa di Rawunglangit (Rahiangtang
Rawunglangit), dan berkuasa selama 60 tahun
BAB V
PUTRA PUTRA WRETIKANDAYUN
Diganti
ku Rahiangtang Mandiminyak.
Anak
Rahiangta di Menir teh aya tiluan, nu cikal nya Rahiang Sempakwaja, ngadeg
Batara
Dangiang Guru di Galunggung; Rahiangtang Kidul, ngadeg Batara Hiang Buyut di
Denuk; Rahiangtang Mandiminyak ngadeg ratu di Galuh.
Carek
Sang Resi Guru: “Karunya aing ku Rahiang Sempakwaja henteu boga pamajikan.
Anaking
Pwah Rababu! Hidep leumpang ungsi Rahiang Sempakwaja, lantaran aya
manehna
pibatureun hidep tatapa.”
Sang
Resi Guru ngagesek totopong jadi jaralang bodas, nya indit nyampeurkeun
Rahiang
Sempakwaja, nu harita kabeneran keur ngawelit.
Carek
Sanghiang Sempakwaja: “Na naha nya aya jaralang bodas etah?”
Cop
nyokot sumpit, terus diudag rek disumpit. Pwah Rababu kapanggih eukeur mandi di
talaga Candana.
Carek
Rahiang Sempakwaja: “Ti ma etah nu mandi?” Sampingna dileled ku sumpit,
beunang.
Aya baturna para Pwah Aksari, tuluy lalumpatan ka tegalan.
Pwah
Rababu dibawa ku Rahiang Sempakwaja, dipirabi. Kacida dipikaasihna. Nya lahir
anakna lalaki duaan, nya eta Rahiang Purbasora jeung Rahiang Demunawan.
Wretikandayun atau Rahiyangta Menir dari
istrinya Pwah Bungatak Mangalengale atau Manawati, mempunyai 3 orang putra, yang bernama:
Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).
a. Rahiyang Sempak Waja
Rahiyang Semplak Waja, merupakan anak tertua Wretikandayun yang lahir tahun
620 M. Ia memilih
menjadi resiguru (batara dangiang guru) di Galunggung.
Kisah Rahiyang Sempak Waja dimasa muda diceritakan
agak romantis. Berawal dari rasa iba (kasihan) Sang Resiguru dari Kendan terhadap Sempak Waja
yang tidak punya istri. Sang Resi guru memerintahkan anaknya, Pwah Rababu yang
terkenal sangat cantik, untuk menemui Sempak waja, karena dianggap sangat cocok
untuk menjadi suaminya.
Konon karena kesaktiannya, Sang Resiguru ini mengubah ikat kepalanya
(totopong) menjadi Jaralang Bodas. Dan jaralang Bodas itu mendekati Sempakwaja.
Dalam hatinya Sempak Waja bertanya: “ Mengapa ada Jaralang Bodas?” Karena itu
Sempak Waja kemudian mengambil penyumpit, terus mengejarnya untuk disumpit. Tetapi
ketika ia terus mengejarnya malah menemukan wanita cantik yang bernama Pwah
Rababu, yang sedang mandi di telaga Cendana. Kata Sempak Waja siapa yang sedang
mandi itu. Ia kemudian samping (jarit) nya dileled ku sumpit dan kena. Ada
teman Pwah rababu, yang bernama Pwah Aksari ketika melihat Sempak Waja kemudian
melarikan diri ke hutan sekitarnya (tegalan). Dan Pwah Rababu oleh Sempak Waja
kemudian dibawa ke Galunggung dan kemudian dijadikan istrinya.
Diceritakan bahwa Sempak Waja sangat mencintai istrinya (dipikasih), dan
dari istrinya tersebut mempunyai 2 putra, yaitu Rahiyang Purbasora dan Rahiyang
Demunawan.
b.
Rahiyang Kidul
Jantaka atau Rahiyang Kidul yag lahir tahun
622 M, memilih menjadi rrajaresi (batara hiyang buyut) di Denuk (sekarangg
sekitar daerah Garut Selatan).
c.
Rahiyang Mandiminyak
Amara atau Rahiyang Mandiminyak merupakan
anak bungsu Wretikandayun yang lahir tahun 624 M, Ia diangkat menjadi putra
mahkota, dan kemudian menjadi raja di Galuh menggantikan Wretikandayun setelah
wafat.
BAB VI
SKANDAL
PERCINTAAN YANG MENGGEMPARKAN ISTANA GALUH
Barang
ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungukeuneunana, tatabeuhan di
Galuh,
Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh taya kendatna nu ngigel.
Sadatangna
kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: “Patih, na naon eta
ateh?”
“Bejana
nu ngigel di buruan ageung!”
“Eta
bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tanggungan aing.
Geuwat
bawa sacara paksa!”
Patih
indit ka buruan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku
Rahiangtang
Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonna, nyalahir anak
lalaki dingaranan Sang Sena.
Suatu waktu
Rahiyang Mandiminyak yang merupakan putra mahkota Galuh, mengadakan
pesta perjamuan (utsawakarma) di istana. Ia juga mengundang saudara-sudaranya,
termasuk Semplak waja
dan jantaka. Yang mengundang adalah ayahnya (Wretikandayun), yang
merupakan raja Galuh waktu itu. Sempakwaja tidak hadir karena sakit namun
karena menganggap undangan ayahnya tersebut penting, maka ia diwakili oleh
isterinya Pwah Rababu. Sementara Pwah Rababu pergi ke Galuh, keduan anaknya tinggal di Galunggung merawat ayahnya (sempak Waja).
Kehadiran Pwah Rababu yang cantik di Istana Galuh ternyata
menerbitkan masalah. Pwah
Rababu disamping parasnya yang sangat cantik juga ia terkenal sangat pandai
menari. Dan ketika ia ikut menari di halaman istana (buruan ageung) sangat
menggemparkan masyarakat, berduyun-duyunlah orang ntuk melihatnya, sehingga
buruan ageung (halaman istana) sangat ramai. Hal ini membuat penasaran Sang
Putra Mahkota. Dan ketika ia melihat wanita yang sangat cantik sekali maka
tertarik, padahal mengetahui bahwa ia merupakan kakak iparnya.
Rahiyang Mandiminyak kemudian menyuruh patihnya untuk memaksa Pwah
rababu untuk dibawa ke istanannya. Rahiyang Mandiminyak sangat mencintainya,
hal ini mungkin juga sudah dipendam sejak dulu ketika kakaknya mendapatkan Pwah
rababu yang terkenal sangat cantik. Rahiyang mandiminyak terkenal sebagai orang
yang pandai merayu, Dan dengan paksaan maka dikhabarkan selama 4 hari terjadilah smarakarya (skandal asmara)
antara Pwah Rababu, yang cantik itu, dengan adik iparnya, Rahiyang Mandiminyak.
Hasil skandal kedua manusia
berlainan jenis itu adalah seorang anak laki-laki yang kemudian
dinamakan Sena yang lahir pada tahun 661 M. Sena artinya
sang salah, karena ia dilahirkan dari hubungan yang salah.
a.
Istana Gempar
Skandal percintaan antara rahiyang mandiminyak dan Pwah rababu sangat
menggemparkan istana galug dan juga kerajaa. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa tersebut, tetap akhirnya dapat diredam karena Sempakwaja turun
tangan. Pwah Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung, dan setelah lahir Sena harus dirawat oleh Mandiminyak sebagai
pertanggungjawabannya.
b.
Menyingkirkan Putra Mahkota
Untuk meredam
gejolak, dan juga reputasi istana yang terkenal sebagai pusat keagamaan. Menurut sejarah, Mandiminyak selanjutnya disingkirkan
secara halus dari keraton oleh ayahnya, Wretikandayun. Ia dikawinkan dengan
Parwati anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan
di Jawa Tengah. Karena itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga.
Dari perkawinan Mandiminyak
dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha. Kelak setelah Sanaha (anak
Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan Sena
(anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun 683
melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).
Pada tahun 695 M,
Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal
ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara
(yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang
memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang
disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah
sampai tahun 742 M.
BAB VII
MENYERAHKAN BAYI HASIL SKANDAL
Carek Rahiang Sempakwaja: “Rababu jig indit. Ku sia
bikeun eta budak ka Rahiangtang Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang
Salahlampah.”
Rababu tuluy leumpang ka Galuh.
“Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu,
beunang sia ngagadabah aing tea.”
Carek Rahiangtang Mandiminyak: “Anak aing maneh teh,
Sang Salah?”
Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: “Patih ku sia budak
teh teundeun kana
jambangan. Geus kitu bawa kategalan!”
Dibawa ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta
tegalan kaluar kila-kila nepi ka awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang
Mandiminyak.
“Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!”
Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh.
Terus dibawa ka hareupeun
Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena.
Setelah melahirkan anak hasil skandal dengan Rahiyang Mandiminyak, Pwah
Rababu oleh suaminya (sempak Waja) disuruh untuk memberikannya kepada Rahiyang
Mandiminyak di Galuh. Sempak Waja berkata:” Berangkatlah kamu Rababu, berikan
bayi (budak) ke Rahiyang Mandiminyak, hasil zinah kamu, Sang salah lampah.”
Maka berangkatlah Rababu ke Galuh, dan memberikan bayinya ke Rahiyang
Mandiminyak. Rababu berkata:” Saya disuruh oleh Rahiyang empak Waja untuk
memberikan anak kecil ini, hasil paksaan kamu terhadap saya.”
Maka berkatalah Rahiyang Mandiminyak:” Kamu itu anak saya sang salah.”.
Dan mandiminyak menyuruh patihnya untuk
menyimpan anaknya di jambangan, setelah itu kemudian di suruh dibawa ke
hutan (tegalan). Kata Rahiyang Mandiminyak : “Patih bawa anak itu ke Jambangan,
kemudian bawa ke hutan.”. Tetapi kelihatan oleh patih, dan kelihatan juga oleh rahiyang
Mandiminyak di hutan tersebut keluar tanda-tanda (kila-kila) sampai ke angkasa
(awang-awang). Kemudian rahiyang mandiminyak menyuruh patihnya untuk mencari
lagi ke hutan pembuangan anak tersebut, dan kelihatan oleh sang patih anak itu
masih hidup. Hal ini kemudian dibawa ke hadapan Rahiyang Mandiminyak, dan kemudian
anak itu dinamakan Sena.
BAB VIII
KUDETA PURBASORA,
DAN BALASAN KUDETA SANJAYA
Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang
Mandiminyak diganti ku Sang
Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran
dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga
anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul,
ka Denuh, menta
dibunikeun.
Carek Rahiangtang Kidul: “Putu, aing sangeuk
kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang
Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
sarta anak saha sia teh?”
Carek Rakian Jambri: “Aing anak Sang Sena. Direbut
kakawasaanana, dibuang ku
Rahiang Purbasora.”
“Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu
digugu jangji aing. Muga-muga
ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung
deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda.”
Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu
ku Tohaan di Sunda. Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek Rabuyut sawal: “Sia teh saha?”
“Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana
Rabuyut Sawal. Eusina teh,
‘retuning bala sarewu’, anu ngandung hikmah pikeun
jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru.”
Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal.
Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh.
Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang
Purbasora jadina ratu ngan
tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang
Sanjaya.
Dalam bab ini menceritakan tentang lamanya
kekuasaan Rahiyang Mandiminyak, yang kemudian diganti oleh putranya, Sena, yang
berkuasa selama tujuh tahun, tetapi kemudian dikudeta oleh Rahiyang Purbasora,
putra tertua Rahiyang Sempak Waja. Dan juga diceritaan upaya-upaya Sanjaya atau
rakeyan Jambri yang merupakan anak Rahiyang Sena untuk membalas dendam ayahnya
yang dikudeta oleh Purbasora. Sanjaya sebagai putra dari Rahiyang Sena juga
dapat membalasnya dengan mengkudeta Purbasora/
1. RAHIYANG MANDIMINYAK (mp. 702-709 M)
Rahiyang Mandiminyak menjadi raja kedua
kerajaan Galuh, menggantikan ayahnya yang berkuasa selama 90 tahun. Rahiyang
mandiminyak menajdi raja galuh pada tahun 702 M. Karena itu Rahiyang Mandiminyak
berkuasa di atas 2 negara, yaitu
Kalingga (Jawa Tengah
dan Jawa Timur) dan Galuh (di tataran Sunda). Sehingga
posisi Rahiyang
Mandiminyak sangat kuat sekali, dan pada tahun 703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya,
dengan Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa
yang berkedudukan di Pakuan.
Mandiminyak berkuasa di tanah
Galuh hanya 7 tahun, dari tahun 702 sampai 709 M. Pada tahun 709 M, Mandiminyak
meninggal. Ia digantikan oleh Sena, anaknya dari Pwah Rababu. Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja Galuh
tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pwah Rababu. Purbasora bersiap melakukan penyerangan namun
rencana itu rupanya diketahui oleh Sena.
2. RAHIYANG SENA (mp. 709-716 M)
Rahiyang Sena dengan
gelar Bratasenawa menjadi raja Galuh yang
ketiga menggantikan
ayahnya, Mandiminyak. Ia naik tahta pada
tahun 709 M setelah ayahnya (Mandiminyak meninggal) pada tahun itu juga. Tetapi
hal ini tidak diterima oleh kakak
seibunya, Purbasora,
yang merasa lebih berhak naik tahta
Galuh. Purabasora kemudian mengkudeta Sena pada tahun 716 M.
a. Kudeta
Purbasora
Karena merasa mempunyai hak tahta dari Semplak Waja sebagai putra pertama
Wretikandayun, maka Purbasora kemudian merebut kekuasaan (mengkudeta) dari tangan Sena pada
tahun 716 M.
Pada awalnya rencana kudeta ini diketahui oleh Sena. Karena itu Sena lalu
mengundang tentara dari kerajaan Sunda untuk
membantunya menghadapi Purbasora. Tetapi
justru
Purbasoralah yang kini mengetahui rencana itu. Dengan dukungan pasukan pimpinan
Ki Balagantrang (sepupunya) beserta pasukan dari kerajaan
indraprahasta (kerajaan mertuanya), Purbasora dengan cepat menduduki Galuh pada tahun
716 M.
Dalam
situasi yang kalut seperti itu, Sena berhasil meloloskan diri ke Jawa Tengah, ke negeri istrinya Sanaha, di Kalingga Utara (Medang Bumi Mataram)
yang waktu itu diperintah oleh mertuanya dan juga istri ayahnya, Parwati.
b. Menjadi Raja di Kalingga Utara ( Medang Bumi Mataram)
Setelah dikudeta oleh Rahiyang Purbasora, Rahiyang Sena kemudian
melarikan diri ke negeri istrinya, Sanaha, di Kalingga Utara (Rajya Medang i Bhumi Mataram).
Di Bumi Mataram ini ia mewarisi tahta dari istrinya, menjadi raja di Medang Bumi Mataram tersebut.
Medang bumi mataram beribukota di sekitar daerah yogyakarta sekarang. Pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan
sampai ke daerah jawa timur sekarang. Dan diantara raja-raja yang berkuasa di Medang
Bumi Mataram diantaranya Sena dan Sanjaya. Berdasar Prasasti Mantyasih tahun 907 M atas nama Dyah Balitung menyebut
nama Rakai mataram sang ratu Sanjaya. Tetapi
dalam Prasasti canggal tahun 732 M,
menyebut raja yang pernah berkuasa sebelumnya adalah Senna.
Jadi ada
korelasi sejarah dari Galuh dan Medang Bumi Mataram yang berasal dari prasasti-prasasti
yang ditemukan di eks kerajaan Medang Bumi Mataram.
3. RAHIYANG PURBASORA (mp. 716-723 M)
Rahiyang Purbasora bergelar Prabu Purbasora
jayasakti mantraguna menjadi Raja di Galuh yang ke-4, setelah berhasil
mengkudeta Rahiyang Sena pada tahun 716
M. Ia mewakili
orang yang lurus dan menjunjung tinggi moral, yang ingin melakukan pembaharuan
di Galuh.
Purbasora merupakan putra dari Semplak Waja, putra pertama raja Galuh,
Wretikandayun, yang tidak bisa menggantikan ayahnya karena giginya ompong,
disamping telah menjadi resi di Galunggung. Purbasora menikah dengan putri Raja
Indraparhasta (di sekitar Cirebon sekarang), Sang Resi Padmahariwangsa, yang
bernama Dewi Citrakirana. Diceritakan bahwa
Purbasora dianggap type ideal Raja Galuh
waktu itu, dan patihnya bernama
Bimaraksa, atau yang dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang,
merupakan anak dari Rahiyang Jantaka (Rahiyang Kidul).
Rhiyang Purbasora terkenal kuat keinginannya untuk membangun negara, dan
cenderung sangat idealis. Latar belakang idealis dan juga pada awalnya
termarjinal, Prabu purbasora sangat apik dalam menata pemerintahannya. Dia
mengkudeta Prabu Sena karena alasan yang leBih mengacu pada agama dan moralitas,
bahwa sang Raja, Prabu Sena bukan orang yang cocok menjadi raja. Prabu
Purbasora masih menganut idealisme kekuasaan di galuh. Ayahnya tidak berkuasa
hanya alasan giginya ompong, padahal dia
adalah anak yang tertua, karena sebenarnya ayahnyalah yang harus berkuasa di
tanah Galuh. Hal ini juga terjadi pada pamannya yang kedua, Jantaka Rahiyang
Kidul, yang juga tidak bisa menjadi raja karena kemir. Dan Hak Raja jatuh pada
pamannya yang ketiga, Prabu Mandiminyak, yang secara fisik dia sehat, tetapi
secara moral ia adalah orang yang rusak, karena telah berbuat skandal dengan
ibu Purbasora. Dan ketika Mandiminyak lengser, meninggal, justru yang
menggantikannya adalah Prabu Sena yang notabene adalah anak hasil dari hubungan
gelap antara Prabu Mandiminyak dan Rababu.
Secara moral lingkungan kerajaan Galuh pada masa Mandiminyak dan juga Raja
Sena berada dalam masa yang rendah, dan masyarakat Galuh seolah mencibir
keadaan istana yang penuh dengan skandal, dan telah terjadi pembenaran.
Meskipun Prabu Sena tidak bersalah atau patut disalahkan, karena ia hanya hasil
skandal. Tetapi masyarakat seolah tidak mau tahu dan hal ini berkembang menjadi
bahan ejekan masyarakat. Hal inilah kemudian ditangkap oleh Prabu Purbasora.
Disamping sangat dihormati secara moral, Purbasora oleh masyarakat justru
dianggap sebagai tokoh ideal untuk menguasai Galuh. Disamping gagah perkasa,
purbasora adalah cucu pertama dari Prabu Wretikandayun. Karena itu ketika ia melakukan
kudeta terhadap Sena seolah didukung oleh rakyatnya, sehingga kudetanya sangat
cepat dapat dilakukan.
Pada tahun-tahun pertama berkuasa, ia mencoba menghancurkan basis-basis
kekuasaan Prabu Sena. Dan ketika sudah merasa aman dia berkuasa ia memulai
melakukan langkah-langkah untuk memeperbaiki keadaan negaranya. Pada masa
Purbasora ini keberadaan Galuh mulai diperhitungkan lagi. Kekuatan militernya
juga sangat mumpuni. Dengan bantuan dari pasukan kerajaan mertuanya, ia dapat
dengan mudah menguasai kerajaan Galuh dengan waktu yang singkat.. tetapi Prabu
Purbasora tidak memprediksi kudeta dari keponakannya, Sanjaya, yang justru
datang tidak diduga duga.
Purbasora hanya berkuasa selama 7 tahun
(716-723 M), dan kemudian digulingkan oleh keponakannya, Sanjaya (Rakeyan
Jambri), putra Sena, penguasa yang dikudeta sebelumnya.
4. RAHIYANG SANJAYA
Rahiyang Sena dari istrinya Sannaha mempunyai seorang anak yang bernama
Rakeyan Jambri, yang dikemudian hari terkenal dengan nama rahiyang Sanjaya. Ia lahir pada tahun 683 M, yang berarti ketika
ayahnya dikudeta ia berusia 30 tahun.
Ia kemudian berencana untuk menuntut balas
dendam terhadap Rhiyang Purbasora, yang telah mengkudeta ayahnya. Pada awalnya
yang ditemui adalah Rahiyang Kidul di Denuh. Rahiyang Kidul tidak mau mengambil
resiko dari kerajaan Galuh, karena itu ia menyarankan untuk pergi ke Kuningan untuk
menemui penguasanya di sana. Dan Rahiyang Kidul juga menyarankan untuk pergi ke
kerajaan tohaan Sunda (kerajaan Sunda) dimana istri Sanjaya berasal.
Di Galuh, Sanjaya juga menemui opsisi
Rahiyang Purbasora, yaitu Rubuyut Syawal yang merupakan teman ayahnya,
Rahiyang Sena, untuk meminta pusaka
darinya yang merupakan lambang kekuasaan
Galuh. Dalam percakapannya dengan Rubuyut Syawal Sanjaya berkata:” saya putra Prabu
sena, saya mau menanyakan tentang pustaka kepunyaan Rubuyut Syawal, yang isinya ‘Retuning Bala sarewu”,
yang mengadung kebiksanaan (hikmah) untuk menjadi Raja yang perkasa, warisan
Sang Resi Guru.” Mengetahui bahwa Sanjaya merupakan putra dari Sena yang
merupakan sahabatnya, maka pusaka tersebut kemudian diberikan kepada Sanjaya.
a. Kudeta Sanjaya
terhadap Rahiyang Purbasora pada tahn 723 M
Setelah mendapat pusaka dari Rubuyut Syawal, yang diselamatkan
dari kudeta Prabu purbasora. Maka Sanjaya mulai menyusun kekuatan untuk
mengkudeta Prabu Purbasora. Meskipun
ia telah menikah dengan cucu Tarusbawa dari kerajaan Sunda, ia belum berani menyerang galuh. Dan hasratnya
dilaksanakan setelah Prabu Tarusbawa meninggal pada tahun
723 M, dan ia menggantikan menjadi raja di Pakuan atas nama istrinya.
Rencana
serangan terhadap Rahiyang Ourbasora di Galuh, disusun sangat hati hati dengan bantuan
Rubuyut Syawal dan pasukan dari Sunda pada tahun 723 M. Pasukan dari Rubuyut
Syawal ia pimpin sendiri, sedang pasukan dari kerajaan Sunda, dipimpin oleh
paman istrinya, Patih Anggada.
Serangan dilakukan pada malam
hari dengan diam-diam dan mendadak yang
menyebabkan seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantunya yang
menjadi patih Galuh, yang sekaligus menjadi senopati kerajaan, yang bernama
Bimaraksa bersama sepasukan kecil. Bimaraksa ini yang dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang,
memainkan peranan penting dalam upaya merebut kembali kekuasaan Galuh dari
turunan sanjaya, yang diperankan oleh sang Manarah, atau dalam cerita rakyat
sering disebut dengan Ciung Wanara. Aki Balangantrang inilah yang nantinya
menjadi batu sandungan Sanjaya
berikutnya.
Dengan demikian pada tahun yang sama, yaitu tahun 723 M, sanjaya
mewarisi 2 kerajaan besar di Tanah Sunda, yaitu kerajaan sunda dan kerajaan
Galuh. Sehingga Sunda dan Galuh dapat dipersatukan lagi oleh Sanjaya.
5. TOHAAN SUNDA
Tohaan Sunda dalam naskah ini artinya raja sunda, yang waktu itu adalah
Prabu Tarusbawa. Tarusbawa berkuasa dari
tahun 699 sampai tahun 723 M. Tarusbawa dianggap sebagai bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam
Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “Tohaan di Sunda (raja Sunda). Ia menjadi cikal bakal raja-raja Sunda yang
memerintah berikutnya.
Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa akhir Tarumanagara (tahun 669 Masehi),
ditandai dengan adanya pewarisan tahta, dari
Linggawarman
kepada menantunya, Tarusbawa. Dari
sinilah kemudian Tarusbawa merubah sebutan Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda.
Dan sejak itulah, Kerajaan Sunda mulai dikenal dalam panggung sejarah.
Tarusbawa yang berasal dari
Sundasambawa, menikah dengan putri dari Raja
Tarumanegara, Prabu Linggawarman, raja Tarumanegara terakhir. Dan pada tahun 669 M
menggantikan kedudukan mertuanya menjadi
raja Tarumanegara. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista,
tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
Setelah
menerima tahta tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman,
Tarusbawa melakukan beberapa kebijakan,
diantaranya memindahkan ibukota
kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor) di dekat hulu sungai
cipakancilan (cipeucang). Disini ia mendirikan lima buah keraton, ( Jumlah
5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering disebut Panca Persada) yang bentuk maupun
besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi
nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Dalam Naskah Carita Parahiyangan
disebut “Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun,
kemudian diberkati oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa.
Dengan
membangun ibukota baru Tarusbawa berusaha untuk mengembalikan kejayaan Tarumanagara, seperti yang dialami
oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari
Sriwijaya).
Tetapi, pada
waktu itu, Wretikandayun, bangsawan Tarumanagara, yang berkuasa di Galuh, yang
telah berkuasa sejak tahun 612 M, menuntut supaya wilayah dibagi 2, dengan bantuan besannya dari
Kalingga, Ratu Sima.
Untuk menghindari perpecahan,
akhirnya disepakati bahwa sungai Citarum sebagai batas perbatasan kekuasaan. Tarusbawa
disebelah barat citarum sedang Wretikandayun disebelah timur sungai Citarum.
Putra Tarusbawa terbesar, dan
sekaligus putra Mahktota kerajaan Sunda, Rakeyan Sundasambawa meninggal dunia
saat masih muda. Ia meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu
Tarusbawa ini kemudian dinikahi Rahyang Sanjaya dari Galuh.
Tarusbawa wafat pada
tahun 723 Masehi, dalam usia 91 tahun, yang
kemudian digantikan Sanjaya, suami cucunya dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma
Bimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya.
BAB IX
SANJAYA SETELAH MENGUASAI
GALUH
Carek
Rahiang Sanjaya: “Patih, indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha
kituh anu pantes pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna.”
Sadatangna
patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: “Na aya pibejaeun
naon,
patih?”
“Pangampura,
kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi
Rahiang
purbasora.”
Hanteu
dibikeun ku Batara dangiang Guru.
Carek
Batara Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan.
Elehkeun
Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji
Tepus
jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang
Wulan,
Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian,
nu
ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu
kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti.”
Rahiang
Sanjaya tuluy perang ka Kuningan. Eleh Rahiang Sanjaya diubeuber, nepi ka
walungan Kuningan. Rahiang Sanjaya undur.
“Teu
meunang hanteu aing kudu ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran.”
Ti
dinya Rahiang Sanjaya mulang deui ka Galuh, Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang
deui ka Arile.
Rahiang
Sanjaya tuluy marek ka Batara Dangiang Guru, Carek Batara Dangiang Guru:
“Rahiang
Sanjaya, naon pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?”
“Nya
eta aya pibejaeun, apan kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna,
anggur
kami diuber-uber ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di
Kuningan.”
Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.
Setelah berkuasa di kerajaan Sunda, dan kemudian menguasai Galuh,
Sanjaya dianggap yang pertama kali menyatukan kembali tatar sunda dalam satu
kepemimpinan, seperti yang terjadi di era kerajaan Tarumanagara. Dalam urutan Raja, Sanjaya merupakan raja
kedua kemaharajaan Sunda, sedang di Galuh ia merupakan raja urutan ke-5.
Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali
Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus dihormati. Sanjaya sendiri tidak memiliki ambisi / hasrat untuk menjadi
penguasa Galuh atau
tinggal di Galuh, Ia pun berkeinginan menyudahi perang saudara.
Sebagai orang yang taat terhadap orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk
meminta restu dan menghormati orang-orang tua di Galuh. Ia melakukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya, Sena. Karena itu ketika ia dapat membunuh Purbasora, ia tidak
serta merta menjadi raja Galuh.
Ia
mencoba meminta nasehat dari salah seorang yang sangat dihormati di tanah
Galuh, yang menjadi batara/ rahiyang di
Galunggung, yaitu Sempak waja. Sempak Waja, adalah ayah dari Prabu Purbasora,
dan merupakan kakak kakeknya, Prabu mandiminyak, atau ua dari ayahnya..
Karena itu kemudian sanjaya kemudian mengutus Patih Anggada untuk
menemui Sempak waja, yang terkenal dengan nama Batara Dangiang Guru di
galunggung. Untuk menanyakan tentang siapa yang akan berkuasa di galuh. Sanjaya untuk memintakan pendapat agar Demuwan dapat diangkat sebagai raja, yang mewakili kepentingan Sanjaya di
Galuh.
Sempakwaja sebagai ayah dari Purbasora
dan Demuwan tentunya patut mencurigai permintaan Sanjaya. Ia berpikir :
permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun
tidak rela anaknya menjadi bawahan Sanjaya pembunuh Purbasora. Ia tidak lantas
menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu
untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh.
Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat
dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka
Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan
kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada
maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya,
Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan
Kalanggara, yang menyebabkan mereka bukan menjadi bawahan resi dangiang guru.
Batara dangiang Guru berkata: “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku
sorangan. Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun
Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar.
Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa
di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang
Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun
kaelehkeun bener maneh sakti.” (Rahiyang Sanjaya pergilah dapatkan oleh diri
sendiri, Kalahkan Guruhaji Pagerwesi, kalahkan Wulan, Sang Tumanggal, kalahkan Guruhaji Tepus dan kalahkan Guruhaji
Tepus dan kalahkan guruhaji Balitar, Dan
pergilah Rahiyang Sanjaya, kalahkan Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Mereka memenangkan kesaktian,
yang menjadikan Sang Wulan, Sang Tumangga dan Sang Pandawa di Kuningan tidak
menjadi bawahan Batara Dangiang Guru (sempak waja). Kalau terkalahkan kamu bener-benar sakti.
Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika
Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan
mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus
mengikuti kemauan Sempakwaja.
Mendapat tantangan dari Batara Dangiang
Guru, Sanjaya measa tertantang, ia kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang ketiga serangkai di Kuningan tersebut. Dan terjadilah perang
besar di Kuningan. Dan pasukan Sanjaya justru dikalahkan dan dikejar-kejar (diuber-uber)
oleh pasukan Kuningan. Karena itu kemudian ia mundur, hingga sungai Kuningan.
Dari sini ia kemudian pulang ke Galuh. Dan Sang Wulan dan Sang Tumanggal
kembali ke Arille.
Dan
kekakalahan ini kemudian dilaporkan ke Batara Dangiang Guru, dan ia
dikejar-kejar oleh pasukan Sang Wulan, Sang
Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.
BAB X
UPETI SANJAYA
Carek
Sang Wulan, Sang Tumanggal, sang Pandawa di Kuningan: “Mawa pisajieun,
urang
miang ka Galunggung, pakean lalaki sapangadeg, pangcalikan, munding sarakit
(?), beas sacukupna pikeun dahar.”
Sadatang
ka Galunggung, eureun di Pakembangan. Kasampak ku (Sang) Pakembangan.
tuluy
popojan ka Batara Dangiang Guru.
Carek
Batara Dangiang Guru: “Aya beja naon?”
“Pun
Batara Dangiang Guru! Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di
Kuningan.”
“Kacida
bagjana sia datang ka dieu. Jung miang ka Galuh. Ondang Rahiang Sanjaya,
caritakeun,
kudu mawa pisajieun, pakean lalaki sapangadeg, pangdiukan wulung,
munding
sarakit (?), kawali beusi jeung beas sacukupna pikeun dahar.”
Sadatang
sia ka Galuh, carek Rahiyang Sanjaya: “Aya pibejaeun naon, sia
Pakembangan?”
“Kami
teh dititah ku Dangiang Guru. Rahiang Sanjaya supaya mawa pisajieun
salengkepna.
Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan.”
Rahiang
Sanjaya indit.
Barang
nepi ka hareupeun Dangiang Guru, carek Dangiang Guru: “Rahiang Sanjaya!
Lamun
kaereh ku sia Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
aing
bakal nurut kana sagala ucapan sia. Da beunang ku aing kabawah. Turut kana
ucapan aing. Da aing wenang ngelehkeun, hanteu kasoran. Da aing anak dewata.”
Sang
Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan kabawah ku Batara
Dangiang
Guru.
Sang
Wulan dijenengkeun Guruhaji di Kajaron.
Sang
Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha.
Sang
Pandawa di Kuningan jadi Guruhaji Lajuwatang.
Sang
Puki jadi Guruhaji di Pagerwesi.
Sang
Manisri dijadikeun Buyuthaden Rahesa di Puntang.
Buyuthaden
Tujungputih di Kahuripan.
Buyuthaden
Sumajajah di Pagajahan.
Buyuthaden
Pasugihan di Batur.
Buyuthaden
Darongdong di Balaraja.
Buyuthaden
Pagergunung di Muntur.
Buyuthaden
Muladarma di Parahiangan.
Buyuthaden
Batuhiang di Kuningan.
Kekalahan Sanjaya oleh ketiga jagoan dari Kuningan mengakibatkan ia
harus memberikan upeti (sajian).
Dalam cerita ini diungkapkan bahwa setelah memenangkan peperangan Sang
Wulan, Sang Tumanggal, sang Pandawa di Kuningan menghadap ke Batara danghiang
guru di Galunggung. Mereka membawa pisajiaeun (semacam upeti), dan berkata: “ Mawa
pisajieun, urang miang ka Galunggung, pakean lalaki sapangadeg, pangcalikan,
munding sarakit, beas sacukupna pikeun dahar (Membawa pisajiaeun (semacam
upeti), kita berangkat ke Galunggung, pakaian lelaki lengkap, kursi, kerbau
seraki (2 ekor), dan beras secukupnya untuk makan).”
Sesampainya di Galunggung, ia berhenti daerah Pakambangan, dan bertemu
dengan Sang Pakambangan, hal ini kemudian dilaporkan oleh Sang kambangan ke
Batara Dangiang Guru (Sempak waja) tentang kedatangan Sang Wula, Sang Tumanggal
dan Sang Pandawa. Sempak Waja sangat bahagia sekali kedatangan oleh jagoan dari
Kuingan tersebut. Ia kemudian mengutus
Sang Pakambangan untuk menemui Sanjaya, dan supaya membawa upeti “.......kudu mawa pisajieun, pakean lalaki
sapangadeg, pangdiukan wulung, munding
sarakit, kawali beusi jeung beas sacukupna pikeun dahar. (harus membawa
pisajieun, pakaian laki-laki lengkap, kursi wulung, kerbau sarakit (2 buah),
membawa besi dan beras secukunya”. Dan Sang Pakambangan menceritakan bahwa ada
Sang Wulan, Sang Tumanggal dan Sang Pandawa dari kuningan di Galunggung.
Maka Rahiyang sanjaya kemudian berangkat ke Galunggung. Sesampainya ke
hadapan angiang Guru. Sang Dangiang Guru berkata:” Rahiang Sanjaya!Lamun kaereh
ku sia Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, aing bakal
nurut kana sagala ucapan sia. Da beunang ku aing kabawah. Turut kana ucapan
aing. Da aing wenang ngelehkeun, hanteu kasoran. Da aing anak dewata.”
Dengan kekalahan ini Sanjaya
akhirnya harus mengikuti kemauan dari batara dangiang Guru. Dan Sang Wulan,
Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa kemudian menjadi bawahan Batara Dangiang
Guru. Dan mereka kemudian diangkat menjadi penguasa di daerah kekuasaan Batara
dangiang Guru. Sang Wulan dijenengkeun Guruhaji di Kajaron, Sang Tumanggal
dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha, Sang Pandawa di Kuningan jadi Guruhaji
Lajuwatang, Sang Puki jadi Guruhaji di Pagerwesi, Sang Manisri dijadikeun,
Buyuthaden Rahesa di Puntang, Buyuthaden Tujungputih di Kahuripan, Buyuthaden
Sumajajah di Pagajahan., Buyuthaden Pasugihan di Batur., Buyuthaden Darongdong
di Balaraja., Buyuthaden Pagergunung di Muntur., Buyuthaden Muladarma di
Parahiangan, Buyuthaden Batuhiang di Kuningan.
BAB XI
SEMPAK WAJA DAN
TURUNANNYA
Rahiyang Sanjaya tumetep di Medang Ratu
di Galuh, Sang Seuwakarma.
Ari adina Ratu Galuh, miara sabaraha
hiji anak munding, nyieun padumukan pikeun
muja. Pindah-pindah tempat, sewabakti ka
Batara Upati.
(Nelah) Rahiang Wereh, nu matak disebut
kitu, waktu ditilar, adi lanceuk masih laleutik keneh.
Teu tulus jadi ratu, lantaran (huntuna)
rohang, mangkana katelah Rahiang
Sempakwaja. Rahiyang Kidul oge hanteu
bisa jadi ratu sabab burut, nya jadi Wikuraja.
Sang Seuweukarma jadi Tohaan di
Kuningan, lahirna di patapan, enya eta anak Rahiang Sempakwaja.
Cek Rahiang Sanjaya: “Atuh masih pernah
dulur aing, aki! Lamun kitu mah karah. Ulah weleh mere bantuan ka aing, aki
patih!”
Cek patih: “Muga-muga bae bisa deui
urang ngamalkeun Sanghiang Darmasiksa. Ulah teu digugu!”
Omongan para patih ka Rahiang Sanjaya:
“Lamun haying unggul perang, geura
mangkat ti Galuh!” Prang ka Mananggul,
eleh sang ratu Mananggul, Pu Anala
pamanggul juritna. Tuluy ka Kahuripan,
diperangan, eleh Kahuripan, Rahiangtang
Wulukapeu taluk. Tuluy ka Kadul,
diperangan eleh Rahiang Supena, taluk. Tuluy ka
Balitar, diperangan, eleh sang ratu
Bima.
Ti dinya Rahiang Sanjaya nyabrang ka
wilayah Malayu. Kemir diperangan, eleh
Rahiangtang Gana. Perang deui ka Keling,
eleh Sang Sriwijaya. Perang ka Barus, eleh ratu Jayadana. Perang ka Cina, eleh
pati(h) Sarikaladarma.
Mulang Rahiang Sanjaya ka Galuh ti
sabrang.
Tunda.
BAB XII
RAHIYANG KUKU SANG SEUWEUKARMA
Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma di Arile, ngayakeun
gempungan jeung para
patih; raja dicaritakeun hal pangajaran kaparamartaan.
“Nam urang rek marek, mawa kiriman ka Rahiang Sanjaya.
Cokot emas sakati, lima boehna, bawaeun urang ka Rahiang Sanjaya.”
Dina danget eta, oge di Galuh ngayakeun kumpulan jeung
para patih sakabeh.
“Nam urang nyieun labur di jalan gede pakeun
ngabageakeun Sang Seuweukarma,
lantaran enya eta Rahiang Kuku.”
“Barang datang ka sisimpangan ka Galuh jeung ka
Galunggung, dipapag, dihormat
disayagian cai pikeun sibanyo.”
Carek Rahiangtang Kuku: “Sang patih, bawa kami marek
ka rahiang Sanjaya. Tah emas sakati, lima boehna.”
Carek sang patih: “Pun Tohaan! Boh emas boh beusi
henteu diajenan ku Rahiang
Sanjaya. Nu diajenan teh ngan huripna jalma rea.”
Rahiangtang Kuku jadi kabingungan. Terus mulang deui
ka Arile. Carek Rahiangtang
Kuku: “Na naon pakeun urang bakti ka Rahiang Sanjaya?”
BAB XIII
PENGARUH RAHIYANG KUKU DAN SUKSESI SANJAYA
Sakitu mulyana, ieu tangtu Rahiang Sempakwaja. Ayeuna
urang caritakeun
Rahiangtang Kuku, indit ka Arile, ngababakan di Kuningan.
Kasohor Rahiangtang Kuku, enya eta Sang Seuweukarma,
ngadeg di Kuningan, anakna Rahiang Sempakwaja. Indung bapana teh tempat
panyaluuhan jalma rea.
Dayeuh, desa, pulo jeung sakurilingna: ti Keling bakti
ka Rahiangtang Kuku;
Rahiangtang Luda di puntang; Rahiangtang Wulukapeu di
Kahuripan; Rahiangtang
Supremana di Wiru; Rahiang Isora di Jawa sang ratu
Bima di Bali (tar); di Kulon di Tu(n)tang Sunda nyabrang ka wilayah Malayu.
Rahiangtang Gana ratu di Kemir; Sang
Sriwijaya di Malayu, Sang Wisnujaya di Barus, Sang
Bramasidi di Keling. Patihna Sang Kandarma di Berawan; Sang Mawuluasu di Camara
Upatah; Sang Pa(n)cadana ratu di Cina.
Kabeh kabawah ku Rahiangtang Kuku. Kabeh ngaku ratu ka
nu calik di Saunggalah.
Kabawah ku Sang Seuweukarma, sabab Ngukuhan ajaran
Dangiang Kuning.
Di Galuh Rahiang Sanjaya nanyakeun: “Kumaha sang
patih, pilukeun urang? Urang
hanetu dianggap kulawarga ku Rahiangtang Kuku. Sang
patih! Jig indit sidikkeun ku sorangan ka Kuningan. Bisa jadi urang dipajarkeun
turut campur kana karia, padahal urang henteu dibejaan, daek indit.”
Sang patih nepi ka Kuningan, marek ka kadaton, terus
ngabakti ka Rahiangtang Kuku.
Carek Rahiangtang Kuku: “Oh sang patih!Na naon bejana,
mana dating ka dieu?”
Carek sang patih: “Kami dititah ku Rahiang Sanjaya.
Diparentah nyidikkeun ka dieu.
Saha nu dijungjung, nu dijenengkeun ratu?”
Carek Rahiang Kuku: “Eh sang patih! Pantesna nya aing
dijungjung dijenengkeun ratu ku balarea. Ngan ti Rahiang Sanjaya mah henteu
diharepkeun, lantaran kulawarga,
jeung moal ka kami mah, sabab dianggapna resep maehan
kulakadang baraya. Malah aing ditempatkeun ka Kuningan oge ku Rahiang
Sempakwaja. Aing beunang Rahiang Sempakwaja nempatkeun ka Kuningan ieu teh.
Mana aing teyu diganggu ku Rahiang Sanjaya.”
Sang patih mulang ka Galuh.
Ditanya ku Rahiang Sanjaya: “Aki, kumaha carek
Rahiangtang Kukuka urang?” “Pun,
Rahiang Sanjaya! Rahiangtang Kuku teh tapana kataekan.
Ngagem Sanghiang Darma kalawan Sanghiang Siksa. Tumut kana wisik Sang Rumuhun,
jadi lulugu dina Hirup kumbuh. Kukituna ku urang turut tanpa rasa gigis.
Tembongkeun ku urang, da urang jeung Tohaan teh saturunan, kabeh ge pada-pada
turunan dewata.”
Geuwat dicokot pustaka ku Rahiang Sanjaya. Barang nepi
terus diungkab eta pustaka teh. Unina kieu: “Ong awignam astu, kretajugi balam
raja kretayem rawanem sang tata dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang
aparanya retuning dewata, sang adata adining ratu dewata sang sapta ratu na
caturyuga. Sang Resi Guru tipekur di nu suni ngayuga Sang Kandiawan jeung Sang
Kandiawati. Nya puputra Rahiangtang Kulikuli,
Rahiangtang Surawulan, Rahiangtang Pelesawi,
Rahiangtang Rawunglangit, bungsuna
Sang wretikandayun.
Sang Wretikandayun boga anak Rahiang Sempakwaja,
Rahiang Kidul, Rahiangtang
Mandiminyak. Rahiangtang Mandiminyak boga anak Sang
Sena, sang Sena boga anak Rahiang Sanjaya.”
Awewe geulis, Dobana mawa parahu, panjangna tujuh
deupa, dibagian hareupna
dimomotan rupa-rupa pakarang.
“Urang ka nusa Demba!” Nya terus maranehanana balayar.
Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek ngamuatkeun Pwah
Sangkari Pucanghaji
Tunjunghaji, ditumpakkeun dina gajah putih. Kakara ge
leumpang sapanjang buruan.
Teu disangka-sangka Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma
cunduk ka nusa Demba,
tuluy ka kadaton, diuk tukangeun Sang Siwiragati.
Rahiangtang Kuku diudag ku gajah putih, lumpat ka
buruan mawa Pwah Sangkari.
Henteu aya balik deui ka kadaton gajah putih teh,
ngawula ka Rahiangtang Kuku.
Rahiangtang Kuku mulang deui ka Arile, dibawa dina
gajah putih jeung Pwah Sangkari.
Pwah sangkari teh ngomong: “Naha henteu aya emas saguri,
sapotong sapaha jeung salengkepna papakean?”
Tuluy bae ka Galuh, ka Rahiang Sanjaya, henteu
nyimpang ka Arile. Dibawa na gajah putih ditutup ku lungsir putih tujuh kayu
diwatangan mas mirah komara inten.
Barang dating ti nusa Demba, tuluy ka kadaton,
sanggeus cunduk, Rahiangtang Kuku nyarita ka Rahiang Sanjaya, naha resep
mireungeuh gajah putih.
Tanyana: “Mana?”
Tuluy gajah putih teh ditumpakan, Pwah Sangkari
disanghareupkeun ka Rahiyang
Sanjaya. Sanggeus nepi ka padaleman, henteu balik
deui.
Carek Rahiang Sanjaya: “Na naon nu jadi karempan teh?
Ayeuna aing hayang runtut raut. Aing jeung bapa, Rahiang Kuku, Sang
Seuweukarma. Ayeuna aing moal ngalawan.
Ayeuna urang tetepkeun: tanah bagaian Dangiang Guru di
tengah, bagian Rangiang
Isora ti Wetan; jauhna nepi ka kalereun Paraga jeung
Cilotiran, ti Kulon Tarum, ka
Kulon bagian Tohaan di Sunda.”
Sanggeus Rahiangtang Kuku mulang ka Arile, sadatangna
ka Arile, putus hancana di dunya, hilang dina umur nu kacida kolotna.
Rahiang Sanjaya sasauran, ngawulang anakna, Rakean
Panaraban, enya eta Rahiang Tamperan: “Ulah arek nurutan agama aing, lantaran
eta aing dipikasieun ku jalma rea.”
Lilana jadi ratu salapan taun, diganti ku Rahiang
Tamperan.
BAB XV
KUDETA SANG MANARAH DAN RAJA GALUH SESUDAHNYA
Mimiti Sang Resi Guru ngawangun kuta pulo Jawa, kutana
teh nyaeta Galunggung, tiwetana Jawa.
Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa
dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala.
Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna
Rahiang Tamperan duaan jeungdulurna Rahiang Banga.
Sang manarah males pati.
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah.
Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.
Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu
kana panjara beusi tea.
Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang
Banga. Keuna beungeutna
Rahiang Banga ku Sang Manarah.
Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa
persembahan.
Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg
raja tujuh taun, lantaran
polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel
kakawasaanana oge.
Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh taun,
lantaran tabeatna hade.
Sang Manisri lilana jadi ratu geneppuluh taun,
lantaran pengkuh ngagem Sanghiang
Siksa.
Sang Tariwulan lawasna jadi ratu tujuh taun.
Sang Welengan lawasna jadi ratu tujuh taun.
1, TEMPERAN
BARMAWIJAYA (732-739 M).
Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada
tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram (Medang kamulan atau
Bhumi mataram).. Temperan berkuasa
selama 7 tahun, dari tahun
732-739 M, yang kemudian dikudeta oleh anak
tirinya, Sang manarah
Sebelum meninggalkan tahta
Sunda, Sanjaya mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Temperan dan
resiguru Demunawan. Pakuan dan Galuh
menjadi kekuasaan Temperan, sedang Kuningan dan Galunggung diperintah
oleh resi guru Demunawan (putra Sempakwaja). Dengan demikian Temperan menguasai
Sunda Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732-739 M.
Ketika Sanjaya mengangkat
Premanadikusuma (cucu purbasora) sebagai raja Galuh, ia juga mengangkat
Temperan sebagai patihnya. Dan ketika Premana meninggalkan istana untuk bertapa, urusan pemerintahan diserahkan
kepada Temperan. Temperan kemudian mengutus utusan untuk melakukan pembunuhan
terhadap Permanadikusumah.
Premanadikusuma ketika
meninggalkan istana, juga meninggalkan
istrinya, Dewi Pangreyep, yang baru berusia 19 tahun. Temperan mewarisi watak buyutnya yang
senang membuat skandal. Ia konon membuat skandal dengan pangreyep, mantan istri
Premanadikusuma dan membuahkan kelahiran
Kamarasa atau yang terkenal dengan nama Hariang Banga (723 M). Disamping itu,
setelah Permanadikusumah meninggal, ia juga mengawini Naganingrum sebagai istri
keduanya.
a. Kudeta sang
manarah
Temperan mewarisi kekuasaan
Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, dari
Sanjaya yang menjadi raja
Kalingga Mataram. Sementara itu Sang Manarah, atau lebih dikenal dengan nama
Ciung Wanara yang telah diakui sebagai anaknya, secara diam-diam menyiapkan
rencana perebutan tahta galuh dengan bimbingan buyutnya, Bimaraksa atau yang
terkenal dengan nama Ki Balangantrang, di Geger Sunten.
Aki Balangantrang adalah cucu dari
Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi Guru Jantaka, yang tidak bisa
menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena menderita penyakit kemir (hernia /
burut). Ki Balangantrang adalah satusatunya keluarga istana Purbasora yang
dapat menyelamatkan diri dari kudeta sanjaya. Ki Balangantrang bersembunyi di
kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari
raja-raja di daerah Kuningan dan sisa
lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini
dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sesuai
dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari
bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra
mahkota. Anarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai
penyabung ayam. Sedang Balangantrang memimpin
pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan
prameswari (dewi pangrenyep) termasuk
Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan
dan dibiarkan bebas. Pada malam hari,
banga dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep dari tahanan. Tetapi
kemudian Tamperan terbunuh
2. SANG
MANARAH (739-783 M)
Sang
Manarah atau Prabu Suratama atau Prabu
Jaya Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan
disebut dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari
tahun 739-783 M), dengan wilayah antara
Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum di sebelah barat.
Sang
Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permanadikusuma, raja Galuh yang terbunuh
oleh utusan Temperan, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Ibunya Dewi Pohaci
Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah Permana meninggal ia menjadi istri kedua
temperan.
Setelah
menginjak remaja, ia kemudian melakukan kudeta terhadap keturunan Sanjaya
(tamperan), dengan dukungan penuh kakeknya, Bimaraksa atau kemudian terkenal
dengan nama Aki balangantrang.
a. Ki Balangantrang
Ki
Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi
Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena
menderita penyakit kemir (hernia / burut).
Setelah terjadi kudeta oleh Sanjaya yang menewaskan hapir seluruh
keluarga Purbasora, ia yang waktu itu menjadi patihnya berhasil menyelamatkan
diri. Ia juga
merupakan kakek dari Sang Manarah, karena Naganingrum nmerupakan anaknya.
Ki Balangantrang bersembunyi di
kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari
raja-raja di daerah Kuningan dan sisa
lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini
dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Ki
Balangntarang ini dikenal sebagai orang
yang bertanggung jawab dalam mendidik Sang Manarah yang kemudian terkenal
dengan nama Ciung Wanara. Masa kecil sang Manarah dalam cerita-cerita rakyat,
memang dibesarkan oleh kakeknya di Geger Sunten, Ki Balangantrang. Dan ketika ia
dewasa kemudian berusaha untuk merebut
kekuasaannya dari Temperan. Ia dibantu oleh kakeknya, Ki Balangantrang yang mahir dalam urusan perang dan startegi,
dengan pasukan yang telah dipersiapkan di Geger Sunten. Perebutan kekuasaan ini
diperhitungkan dengan matang, yaitu pada saat
diselenggarakan pesta sabung ayam yang menjadi kegemaran di kerajaan
tersebut.
Sesuai dengan rencana Ki
Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan
pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra
mahkota. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai
penyabung ayam. Sedang Balangantrang
memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan
prameswari (dewi pangrenyep) termasuk
Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan
dan dibiarkan bebas. Pada malam hari,
banga dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep dari tahanan.
Tetapi tindakan banga ini diketahui oleh pengawal, yang segera
memberitahu Sang manarah. Karena itu kemudian terjadi pertempuran antara Banga
dan Manarah, yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu Tamperan dan pangrenyep yang
melarikan diri kemudian terbunuh oleh pasukan yang mengejarnya.
b. Serbuan Sanjaya
Dari Bhumi Mataram ke galuh
Mendengar putranya, Tamperan
meninggal, Sanjaya sangat marah, kemudian ia menyiapkan pasukan besar dari Medang bhumi mataram untuk
menyerbu ibukota Galuh. Dilain pihak,
Manarah telah menduga bahwa
sanjaya tidak akan tinggal diam. Oleh karena itu, ia telah siaga dengan
pasukan yang juga didukung oleh pasukan
sisa Indraprahasta (kerajaan ini sat itu telah berubah menjadi Wanagiri), dan
raja-raja daerah Kuningan yang pernah ditaklukan oleh sanjaya.
Sanjaya
menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomarasakti
dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai
Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh
Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang
Sebrang.
Perang saudara satu keturunan
Wretikandayun meletus, dan pasukan
Manarah mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu dapat dihentikan atas prakarsa
rajaresi Demunawan, yang waktu itu berusia 93 tahun. Perundingan
gencatan senjata digelar di keraton
Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada
Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya
memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739
M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali.
Untuk menjaga agar tak terjadi
perseturuan, Manarah dan banga kemudian dinikahkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan
gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi,
sedang Banga sebagai raja Sunda bergelar
Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang
bernama Kancanasari.
Manarah ditakdirkan mempunyai
umur yang panjang. Ia bertahta di Galuh
hingga tahun 783 M. Lalu ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan
diri dari tahta kerajaan untuk melakukan
tapa hingga akhir hayat. Manarah
meninggal pada 798 saat ia berusia 80 tahun.
*) Nama Ciung wanara terdapat dalam naskah babad galuh dan babad Pajajaran.
*) Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan banga sering tidak sesuai (dikacaukan). Tidak saja
dalam hal usia, dimana Banga dianggap lebih tua, juga dalam penemptan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua,
silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai
dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu
mulai tampak dalam naskah carita
Waruga Guru yang ditulis pertengahan abad ke-18 M. Dan kekacauan yang paling mencolok dari carita waruga Guru
adalah banga dianggap sebagai pendiri Majapahit. Padahal Majap[ahit didirikan
oleh Wijaya pada tahun 12393 M, 527 tahun setelah banga meninggal.
*) Keturunan Sang Manarah berkuasa
hanya sampai cicitnya yang bernama Prabu Linggabumi (mp. 813-852 M). Tahta
Galuh diserahkan kepada suami adikny, yaitu Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (mp. 819-891 M),
cicit dari Hariang Banga yang menjadi
raja sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 kedua kerajaan
pecahan Tarumanegara itu diperintah oleh keturunan Hariang Banga, sebagai akibat
perkawinan antara para kerabat keratin Pakuan, Galuh,
***) Dalam
perjanjian itu ditetapkan bahwa Banga
merupakan raja bawahan, yang terpaksa diterima oleh Banga. Banga merasa,
ia bisa tetap hidup karena kebaikan Manarah.
3. GURUMINDA SANG
MINISRI (mp.782-799 M)
Dalam
Carita Parahiyangan, Raja Galuh setelah Sang manarah, yang menggantikannya
adalah Sang Minisri, yang berkuasa
selama 60 tahun. Sedang dalam Naskah Wangsakerta Sang Minisri berkuasa selama
17 tahun, dari tahun 782 sampai dengan 799 M.
Sang Minisri bergelar
Prabu Dharmasakti Wijaleswara, menjadi penguasa Galuh, menggantikan mertuanya,
Sang Manarah, yang berkuasa di tanah Galuh dari tahun 783 hingga 799 M,
Sang Minisri menikah dengan
Purbasari, putri dari Sang Manarah.
Guruminda Sang minisri dalam cerita Pasundan terkenal dengan nama Lutung
kasarung. Dan kisah tentang berkuasanya banyak diceritakan dalam kisah lutung
kasarung tersebut.
Ia kemudian digantikan oleh Sang Tariwulan atau
Prabu kertayasa.
4. SANG TARIWULAN PRABU KERTAYASA (mp. 799-806 M)
Sang Triwulan menjadi raja menggantikan Guruminda Sang Minisri. Ia berkuasa di tanah Galus selama 7 tahun,
dari tahun 799 sampai dengan tahun 806 M.
Sang Tariwulan bergelar Prabu Kertayasa Dewakusaleswara, merupakan putra kedua dari Sang Minisri. Kakaknya Rakeyan
Hujung Kulon menikah dengan putri Rakeyan Medang. Karena Rakeyan Medang tidak
mempunyai anak laki-laki, maka tahta Sunda kemudian jatuh kepeda menantunya,
Rakeyan Hujung Kulon. Dan setelah menjadi raja sunda, pangeran hujung Kulon
bergelar Prabu Gilingwesi.
Karena kakaknya, Rakeyan Hujung Kulon, menjadi raja Sunda, maka tahta
galuh jatuh pada adiknya, Sang Tariwulan, dengan gelar Prabu Kretayasa
Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung
Galah keturunan Resiguru Demunawan.
5. SANG
WELENGAN ( 806-813 M)
Sang
Welengan dan bergelar Prabu Brajanagara
Jayabhuwana, menjadi penguasa galuh menggantikan Sang Tariwulan Prabu Kertayasa. Dalam
Carita parahiyangan diceritakan bahwa ia berkuasa di Galuh selam 7 tahun..
6. PRABU
LINGGABHUMI (813-852 M)
Prabu
Linggabhumi dalam Naskah carita parahiyangan
tidak diceritakan. Dan hanya diceritakan hingga Sang Welengan.
Ia menjadi
penguasa Galuh menggantikan Sang
Welengan. Setelahnya tahta Galuh kemudian
diserahkan kepada suami adiknya, Rakeyan
Wuwus atau yang terkenal dengan gelar Prabu Gajah Kulon, cicit Banga yang
menjadi raja Sunda ke-8.
7. RAKEYAN
WUWUS PRABU GAJAH KULON (819-891 M)
Prabu gajah
Kulon menjadi penguasa Galuh menggantikan kakak iparnya, Prabu Linggbhumi. Ia merupakan cicit dari banga yang
mewarisi raja Sunda ke-8. Sehingga pada masanya Sunda dan galuh bersatu
kembali.
Rakeyan Wuwus beristrikan putri keturunan Galuh. Sementara
itu adik perempuan rakeyan Wuwus menikah
dengan putra Galuh yang kemudian menggatikan kedudukannya sebagai raja Sunda
bergelar Prabu Darmaraksa Bhuwana atau Arya Kedatawan
Dengan demikian sejak tahun 852
M, kerajaan Sunda dan galuh diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat
perkawinan antara kerabat keraton Pakuan, Galuh dan Saunggalah. Dan terpecah
lagi pada masa setelah Prabu Niskala Kancana, yang membagi kekuasaan bagi kedua
anaknya, Prabu Susuk tunggal di pakuan sedang Prabu dewa Niskala di galuh.
Dan kedua kerajjaan ini kemudian
disatukan lagi oleh cucu Niskala wastu Kancana, yaitu Jayadewata, yang kemudian
berghelar Sri baduga Maharaja. Dan era tersebut kemudian terkenal dalam sejarah
Sunda disebut sebagai era Pakuan Pajajaran ataau Pajajaran saja, yang
dinisbatkan kepada nama ibukotanya, pakuan Pajajaran.
BAB XVI
SUSUKTUNGGAL
Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang
Haliwungan, nya eta Sang
Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang
Haluwesi, nu nyaeuran
Sanghiang Rancamaya.
Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
“Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang
Surugana, ratu hiang banaspati.”
Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan
Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan
kadaton Sri bima-untarayana
madura-suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri
Ratudewata.
Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah
suci, tanah hade, minangka
bukti raja utama.
Lilana ngadeg ratu saratus taun.
BAB XVII
RAHIYANG BANGA DAN RAJA RAJA SESUDAHNYA
Rahiang Banga lawasna ngadeg ratu tujuh taun, lantaran
polahna hanteu didasarkeun kana adat kabiasaan anu bener.
Rakean di Medang lilana ngadeg ratu tujuh taun.
Rakeanta Diwus lilana jadi ratu opatlikur taun.
Rakeanta Wuwus lilana jadi ratu tujuhpuluh dua taun.
Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun,
kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah, daek ngala awewe ku awewe.
Rakean Gendang lilana jadi ratu tilulikur taun.
Dewa Sanghiang lilana jadi ratu tujuh taun.
Prebu Sanghiang lilana jadi ratu sawelas taun.
Prebu Datia Maharaja lilana jadi ratu tujuh taun.
Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu tilulikur
taun.
Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapanpuluhdua
taun, lantaran ngukuhan kana
lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah.
Diganti deui ku nu hilang di Winduraja, henteu lila
ngadegna ratu ngan dalapanwelas taun.
Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang
Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti.
Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang
resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahiangan.
“Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda
pituin, mituhu Sanghiang
Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.
Boga anak nu hilang di Taman, lawasna jadi ratu genep
taun.
Boga anak deui nu hilang di Tanjung, lilana jadi ratu
dalapan taun.
Boga anak nu hilang di Kikis, lilana jadi ratu
dualikur taun.
Nu hilang di Kiding, lilana jadi
ratu tujuh taun.
Boga anak Aki Kolot, lilana jadi ratu sapuluh taun.
Dalam bab ini diceritakan bahwa
·
Rahiyang Banga berkuasa selama 7 tahun karena kelakuannya
yang kurang baik
·
Rakeyan Medang selama 7 tahun,
·
Rakean Diwus berkuasa 24 tahun,
·
Rakean Wuwus berkuasa selama 72 tahun
·
Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun,
kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah, daek ngala awewe ku awewe.
·
Rakean Gendang lilana jadi ratu 23 tahun
·
Dewa Sanghiang lilana jadi ratu 7 tahun.
·
Prebu Sanghiang lilana jadi ratu 11 tahun.
·
Prebu Datia Maharaja lilana jadi ratu 7 tahun.
·
Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu 23 tahun.
·
Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu 92 tahun,
lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah.
·
Diganti deui ku nu hilang di Winduraja, henteu lila
ngadegna ratu ngan 18 tahun.
·
Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang
Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. Nu ngajadikeun para
kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina
parahiangan. “Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu
SanghiangDarma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.
·
Boga anak nu hilang di Taman, lawasna jadi ratu 6
tahun .
·
Boga anak deui nu hilang di Tanjung, lilana jadi ratu 8
tahun.
·
Boga anak nu hilang di Kikis, lilana jadi ratu 22
tahun.
·
Nu hilang di Kiding, lilana jadi ratu 7 tahun.
·
Boga anak Aki Kolot, lilana jadi ratu 10 tahun.
Dan karena ada kesimpaangsiuran thun berkuasa dengan naskah Wangsaakertaa, mengenai tahun kekuasaan lebih mengarah kepada apa yang di ceritakan alam naskah wangsaakerta.
1. HARIANG
BANGA (mp. 739-766 M)
Hariang banga atau sang banga atau Prabu Kertabuana
Yasawiguna Hajimulya, berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang berkuasa hanya
di sebelah barat sungai Citarum dari tahun 759 M.
Setelah peristiwa
kudeta berdarah tahta di Kerajaan Galuh, antara
Manarah dengan Sanjaya, akhirnya ditempuh cara dengan jalan damai.
Berdasarkan "Perjanjian Galuh", yang dipimpin oleh Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah
(Kuningan), akhirnya tahta Kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga.
la diangkat menjadi raja sunda pada tahun 739 Masehi, dengan nama nobat:
Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
Dari pernikahannya
dengan Dewi Kancana sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah), Sang Banga mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang,
yang kemudian menggantikan kekuasaan .
Sebuah naskah abad ke13 M
(atau abad ke-14 M) memberitakan bahwa Sang banga pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini
dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka dari Galuh.
Lepasnya pakuan dari galuh
terjadi setelah 20 tahun Banga menjadi
pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk
kekuasaanya adalah sebelah barat Citarum
2. RAKEYAN
MEDANG (mp. 766-783 M)
Rakeyan Medang merupakan
putra dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di tahta Sunda, yang berkuasa
selama 17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan gelar penobatan Prabu Hulu Kujang.
Ia
merupakan putra dari Hariang banga dari istrinya Dewi Kencana Sari (keturunan
Demunawan). Ia tekenal dengan nama
Rakeyan Medang, karena pernah menetap di negeri buyutnya di Medang Bumi Mataram (bekas
Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan
Panangkaran (putera Sang Sanjaya).
Sebelum menjadi raja, Rakeyan
Medang menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun.
Dari permaisurinya,
Prabu Hulukujang mempunyai seorang puteri, yang
bernama Dewi Samatha. Sang putri kemudian menikah dengan Rakeyan Hujungkulon. Karena
Rakeyan Medang tidak mempunyai anak laki-laki, maka tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung
Kulon, yang bergelar Prabu Gilingwesi.
3. RAKEYAN HUJUNG KULON (MP. 783-795 M)
Rakeyan Hujung kulon bergelar
Prabu Gilingwesi. Ia naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan
berkuasa selama 12 tahun dari tahun 783-795 M.
Rakeyan Hujung Kulon merupakan putra
raja Galuh, Sang Mansiri. Karena Rakeyan
medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ketangan
menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.
Dari
negeri ayahnya, tahta Galuh jatuh kepada adiknya, sang Tariwulan, dengan gelar Prabu
Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati,
puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
Rakeyan Hujung Kulon juga tidak
mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta
kemudian jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi
Dharmeswara pada tahun 795 M.
4. RAKEYAN DIWUS/ PRABU PUCUK BUMI (MP. 795-812
M)
Rakeyan Diwus naik tahta
Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Hujung Kulon
Prabu Giling Wesi.
Ia berkuasa selama
24 tahun., dari tahun 795 hingga 812 M.
Ia kemudian digantikan oleh putranya, rakeyan Wuwus.
5. RAKEYAN WUWUS / PRABU GAJAH KULON (mp. 812-
Rakeyan Wuwus naik tahta
Sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan
Diwus, dengan gelar Prabu Gajah Kulon.
Rakeyan
Wuwus menikah dengan putri Sang Welengan, Raja Galuh
(mp. 806-813 M), yang bernama Dewi Kirana. Setelah Sang Welengan meninggal
dunia, tahta galuh jatuh ke kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842 M). Tetapi, karena Prabu Linggabumi tidak mempunyai keturunan, maka
tahta Galuh juga jatuh ke Rakeyan Wuwus. Sehingga Rakeyan Wuwus berkuasa atas
Sunda dan Galuh. Dengan demikian, kekuasaan di wilayah Sunda Galuh dipegang oleh Prabu Gajah Kulon
keturunan Sang Banga, pada tahun 825 Masehi.
Dari Dewi Kirana,
Prabu Gajah Kulon memperoleh dua orang putera, ialah: Batara Danghiyang Guruwisuda dan Dewi Sawitri. Sebagai putera laki‑laki,
Batara Danghiyang Guruwisuda, pada tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta
Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti,
putera Sang Arya Kedaton dan Dewi Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).
Setelah Prabu Gajah
Kulon wafat, tahta Kerajaan Sunda dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh
Sang Arya Kedaton, dengan nama nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Baru empat
tahun memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri
Kerajaan Sunda.
6. ARYA KEDATON / PRABU DARMARAKSA (mp. 891-895 M)
Arya Kedathan bergelar Prabu Darmaraksa Salakabuana.berasal dari istana Galuh,
naik tahta Sunda, menggantikan kakak iparnya, Rakeyan
Wuwus yang meninggal dunia. Ia naik
tahta degan merebut kekuasaan dari putra mahkota Batara Danghiyang Guruwisuda.
Selama berkuasa ia tidak
disenangi oleh pembesar istana Sunda. Baru empat tahun
memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan
Sunda. Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan
Windusakti, dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik
tahta pada tahun 895 Masehi.
7. RAKEYAN WINDUSAKTI/ PRABU DEWAGEUNG (mp. 895-913 M)
Rakeyan Windusakti dengan gelar
Prabu Dewageng Jayeng Buana, naik tahta
Sunda menggantikan ayahnya, Arya
Kedaton, yang terbunuh. Ia berkuasa
dari tahun 895 sampai 913 M.
Rakeyan Windusakti menikah dengan putri dari Rakeyan Wuwus, Dewi
Sawitri. Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri,
Rakeyan Windusakti, mempunyai dua
orang putera, yaitu: Rakeyan
Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri.
Setelah wafat, ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan
Kamuning Gading pada tahun 913 M. dengan gelar
Prabu Pucukwesi
8. RAKEYAN KAMUNING GADING / PRABU
PUCUKWESI ( mp. 913-916 M)
Rakeyan Kamuning Gading, dengan
gelar Prabu Pucukwesi, naik tahta menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan
berkuasa hanya 3 tahun (913-916 M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya,
Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.
9. RAKEYAN JAYAGIRI / PRABU WANAYASA (mp.916-920 M)
Rakeyan Jayagiri yang bergelar
Prabu Wanayasa Jaya Buana berkuasa di tahta sunda setelah
mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang
kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.
Setelah mengkudeta kekuasaan dari kakaknya sebagai raja Sunda, Rakeyan
Jayagiri juga berusaha untuk menguasai Galuh yang masih dipegang oleh keturunan
Rakeyan Kamuning Gading. Putri Kamuning Gading menikah dengan penguasa Galuh,
Rakeyan JayaDrata, yang merupakan cucu dari Dahyiang Guruwisuda dari putrinya
yang bernama Dewi Sundara. Dan
berbarengan dengan kudeta Jayagiri terhadap Kamuning Gading, di kerajaan Galuh
terjadi suksesi kekuasaan kepada Rakeyan Jayadrata.
Untuk menyempurnakan kekuasaanya, pasukan
kerajaan Sunda kemudian diperintahkan oleh
Rakeyan Jayagiri untuk merebut keraton Galuh. Tetapi
ia dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Galuh. Serangan kedua yang besar dan lengkap,
dikerahkan untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuan
kedua juga dapat dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh
Prabu Jayadrata.
Karena tidak pernah dapat dikuasai oleh Rakeyan jayagiri, maka kerajaan
Galuh menjadi kerajaan merdeka di bawah naungan Prabu Jayadrata. Dan kekuasaan Rakeyan jayagiri hanya mencakup kerajaan sunda sebelah
barat Citarum.
Rakeyan Jayadrata menikah dengan putri dari Kamuning Gading. Karena itu,
Rakeyan jayadrata mendukung adik iparnya, Rakeyan Limbur kancana untuk merebut
kekuasaan dari Rakeyan jayagiri. Dan Rakeyan Limbur Kancana dapat merebut
kekuasaan dari Rakeyan Jayagiri pada tahun 920 M.
Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan
kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949
Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti,
akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.
Sebagai tindakan
balas dendam, Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh,
dibunuh oleh seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri
(Prabu Wanayasa Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng,
suami Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma
Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930 Masehi.
Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian
digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.
10. RAKEYAN LIMBURKANCANA (mp. 920-930 M)
Rakeyan
Limburkancana
naik tahta sunda setelah mengkudeta pamannya, Rakeyan Jayagiri, sebagai balas terhadap ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916
M.
Rakeyan
Limburkancana mempunyai 2 orang anak, yaitu Rakeyan Sunda Sambawa dan Dewi
Somya. Setelah Limburkancana meninggal, tahta Sunda direbut oleh menantu Rakeyan Jayagiri yang bernama Rakeyan Watuagung.
11. RAKEYAN WATUAGUNG (930-954 M)
Rakeyan Watu agung bergelar
Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda menggantikan mertuanya,
Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M).
Ia kemudian dikudeta oleh
sepupunya, putra Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp. 954-964 M)
12, RAKEYAN SUNDA SAMBAWA / PRABU MUNDING GANAWIRYA (mp. 964-973 M)
Rakeyan Sundasambawa dan
bergelar Prabu Munding Ganawirya, naik tahta
setelah mengkudeta Rakeyan Watuagung.
Ia merupakan putra dari Limburkancana. Karena tidak mempunyai putra,
kekuasaan kemudian jatuh kepada adik
iparnya, Rakeyan Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri.
·
Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun,
kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah, daek ngala awewe ku awewe.
13.RAKEYAN WULUNG GADUNG / PRABU JAYAGIRI (973-989 M)
Prabu jayagiri rakeyan Wulung
gadung naik tahta sunda menggatikan kakak iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia
naik tahta karena kakak iparnya tidak mempunyai anak. Rakeyan wulung Gadung berkuasa di tanah sunda dari tahun
973 smpai 989 M.
Rakeyan Wulung Gadung menikah dengan Dewi Somya, yang merupakan putri
dari Prabu Limbur Kencana, adik dari Rakeyan Sunda Sambawa. Karena kakaknya,
Rakeyan Sunda sambawwa tidak mempunyai anak, maka ia menggantikan kakak
iparnya, Rakeyan Sunda Sambawa atau Prabu Munding Ganawirya. Dari perkawinannya
dengan Dewi Somya ia mempunyai anak yang bernama Rakeyan gendang.
Rakeyan Wulung Gadung ini kemudian
mewariskan kekuasaanya kepada
putranya, Rakeyan Gendang, yang bergelar
Prabu Brajawisesa (mp. 989-1012 M).
14. RAKEYAN GENDANG (mp. 989-1012 M)
Rakeyan Gendang dengan gelar
Prabu Brajawisesa naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan wulung gadung atau prabu Jayagiri, yang berkuasa selama 23 tahun..
Rakeyan Gendang mempunyai 2 orang anak, yaitu: Prabu Dewa sanghiyang
yang dikemudian hari menggantikan ayahnya menjadi raja sunda, dan Dewi
Rukmawati, dinikahi oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, penguasa (raja) kerjaan
Galuh yang bertahta pada tahun 988-1012 M
Setelah meninggal, ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)
15. PRABU DEWA
SANGHIYANG (mp. 1012-1019 M)
Prabu Dewa Sanghiyang naik
tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Brajawisesa dan berkuasa selama 7 tahun.
Prabu
Dewa Sanghiyang berkuasa aatas kerajaan sunda dan kerajaan galuh, sehingga ia
bergelar Maharaja. Sebagai wakilnya dirinya di kerajaan galuh, ia kemudian
mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai
tahun 1027 M.
Setelahnya
tahta sunda kemudian diwariskan kepada anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp.
1019-1030 M).
16. PRABU SANGHIYANG AGEUNG (mp. 1019-1030 M)
Prabu Sanghiyang
Ageung dalam Carita Parahiyangan di sebut “Prabu Sanghiang” yang berkuasa
selama 11 tahun. Prabu
Sanghiyang Ageung mewarisi tahta sunda dan Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa
Sanghiyang yang meninggal dunia. Ia memerintah tanah sunda dari tahun 1019 hingga 1030 M, dengan ibukota di istana
Galuh.
Karena ia berkuasa atas Sunda dan galuh maka ia menyadang gelar
Maharaja. Dan sebagai penguasa wilayah kerajaan galuh, ia percayakan kepada
adik istrinya, Dewi Sumbadra pada tahun yang sama yaitu pada tahun 1019 M.
Maharaja sanghiyang Ageung meninggal pada tahun 1030M, tetapi Dewi Sumbadra
berkuasa atas tanah galuh hingga tahun 1065 M.
Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya,
yang masih kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak
yang bernama Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri
Jayabhupati inilah yang kemudian membuat
prasasti Cibadak.
17. SRI JAYABHUPATI (mp. 1030-1042 M)
Dalam
Carita Parahiyangan Sri Jayabhupati sebut “Prabu Datia
Maharaja” yang berkuasa selama 7 tahun.
Sri Jayabhupati
atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang
ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M) dari ibu putri dari kerajaan Sriwijaya. Ia
berkuasa di tanah sunda selama 12 tahun, dan di Galuh selama 7 tahun.
Sri
jayabhupati juga bergelar Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen
Wisnumurti Samarawijaya calakabhuana mandalecwaranindita Harogowardhana wikramottunggadewa.
Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan dari mertuanya,
Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima pula oleh Prabu
Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan sebagai gelar
resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja. Istrinya merupakan adik dari Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M),
yang kemudian menjadi prameswarinya.
Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian mendapat anugrah gelar dari
mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang dicantumkan dalam prasasti Cibadak.
Sri
jayabupati mempunyai beberapa orang anak, yaitu: Prabu dharmaraja yang
dikemudian hari menggantikan sebagai raja, wikramajaya yang menjadi panglima
angkatan laut, Sang
Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya (anak dari istrinya yang bernama Dewi Pertiwi), dan lainnya.
Setelah ia meninggal, tahta jatuh ke anaknya yang bernama Prabu
Dharmaraja.
a. Prasasti
Peninggalan Sri jayabhupati
Prasasti
peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga
kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti
Cibadak.
Prasasti ini
terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya.
Prasasti ini ditulis dalam bahasa dan
huruf Jawa kuno, yang sekarang disimpan
di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
Isi ketiga
batu pertama (menurut Pleyte):
D73
//0// Swasti
shakawarsatita 952 Karttikamasatithi dwadashi shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka
diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu
murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra
mottunggadewa, ma-
D96
Gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang
tan hanani baryya baryya shila. Irikang iwah tan pangalapa ikan sesini iwah.
Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan I hulu, I sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong
kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha.
D 97:
Sumpah denira prahajyan sunda. Iwirnya nihan.
Terjemahan:
Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal 12
bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja Sunda
Maharaja Sri Jayabupati Jayamahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswara nindita haro gonawardhana wikramottung
gadewa, membuat tanda disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat oleh Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan
ada yang melanggar ketentuan ini.
Disungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan
di sebelah sini sungai dalam batas
daerah pemujaan sanghiyang tapak
di sebelah hulu. Disebelah hilir dalam
batas daerah pemujaan sanghiyang tapak
pada dua batang pohon besar. Maka
dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan sumpah)
Sumpah yang
diucapkan oleh raja Sunda lengkapnya
tertera pada prasasti ke-4 (D 98).
Terdiri dari 20 baris, yang intinya
menyeru semua kekuatan gaib didunia dan
di surga agar ikut melindungi keputusabn
raja.. Siapapun yang menyalahi ketentuan
tersebut diserahkan penghukumannya
kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakan ususnya dan membelah dadanya. Sumauh itu ditutup
dengan kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” ( Ketahuilah olehmu
parahiyang semuanya).
Tanggal
pembuatan Prasasti Jayabupati ini bertepatan dengan 111 Oktober 1030 M, Isi
prasasti ini dalam segala hal menunjukan
corak jawa timur, tidak hanya huruf, bahasa dan gaya , melainkan juga gelar
raja di lingkungan raja di keraton Dharmawangsa, karena ia sendiri merupakan
menantu dari Dharmawangsa.
18. PRABU DHARMARAJA (mp. 1042-1065 M)
Prabu Darmaraja dalam carita
parahiyangan dsisebut “ Nu Hilang di
Winduraja”, yang menjadi raja selama 23 tahun.
Prabu Dharmaraja
atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti Salakasunda buana, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati, yang meninggal pada
tahun 1042 M. Ia berkuasa atas seluruh tatar
sunda (Sunda, Galuh, Galunggung).
Pada
awal kekuasaannya, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh saudara
seayah, Wikramajaya,
yang menjadi Panglima
Angkatan Laut Kerajaan Sunda. Tetapi pemberontakannya dapat
ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya, dan jabatan Panglima
Angkatan Laut diganti oleh
Wirakusuma.
Prabu Dharmaraja menikah dengan Dewi
Surastri, dan mempunyai beberapa
orang, diantaranya: Prabu Langlangbumi, yang kemudian menggantikannya sebagai raja, Darmanagara,
menjadi Mangkubumi kerajaan dan Wirayuda yang menjadi Panglima Perang.
Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang Mokteng Winduraja, karena ia dipusarakan di
Winduraja. Winduraja adalah nama desa di kecamatan Kawali kabupaten Ciamis.
Jadi ada gejala setelah wafatnya
Sri Jayabupati sampai dengan tahun 1187 M, pusat pemerintahan Sunda terletak di kawasan timur tidak di Pakuan.
Cicit raja ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di Winduraja.
Setelah meninggal, tahta sunda
kemudian diwariskan kepada menantunya,
Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp. 1065-1155 M)
19. PRABU
LANGLANGBUMI (mp. 1065-1155 M)
Dalam Carita parahiyangan Prabu
Langlangbumi disebut, “ Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu 92 tahun,
lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah”. Ia dipuji
karena ketika berkuasa sangat bijak, dan kelakuannya yang sangat baik “lantaran
ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah”
Prabu Langlang bumi
atau Prabu langlang Buana naik tahta Sunda menggantikan
ayahnya, Prabu Darmaraja, dan berkuasa selama 90 tahun, sedangkan di galuh ia berkuasa
selama 92 tahun.
Prabu
langlangbumi lahir pada tahun 1038 M dan meninggal pada tahun 1155 M. Ia menikah
dengan Dewi puspawati, putri dari Sang Resiguru Batara Hiyang Purnajaya, saudara ayahnya. Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi mempunyai beberapa orang anak, diataranya: Rakeyan Jayagiri
atau Prabu Menak luhur, yang kemudian menggantikannya sebagai raja di tanah
sunda, dan Sang cakranagara yang kemudian menjadi Mangkubumi (patih).
Peristiwa sejarah yang
menarik dalam masa pemerintahan Maharaja Langlangbumi ialah berita yang termuat
dalam prasasti Geger Hanjuang atau prasasti Galunggung karena ditemukan di
lereng Gunung Galunggung, Prasasti ini ditemukan di bukit Geger Hanjuang yang oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi
karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten
Tasikmalaya. Sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26.
Prabu Langlangbumi
(1065 - 1155 M) atau sang mokteng Kerta, karena
di makamkan di kerta. Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya, Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu Menak
Luhur (mp. 1154-1156 M).
a. Hubungan Kerajaan Sunda, galuh dan Galunggung
Sang Resiguru Batara Hiyang
Purnawijaya mempunyai 2 anak wanita, yang bernama dewi Puspawati yang kemudian
menjadi istri Prabu Langlang Bumi, dan Dewi citrawati, yang juga mengharap
diperistri oleh Prabu Langlang Bumi. Karena hasratnya tidak tercapai, maka Dewi
Citrawati berusaha untuk membunuh kakaknya, dewi Puspawati.
Karena melihat gelagat yang membahayakan, ayahnya, sang Resiguru
Purnawijaya kemudian mengawinkan Dewi Citrawati dengan penguasa (raja) Galunggung yang bernama Resiguru Sudakarenawisesa.
Karena lebih memilih jalan hidup sebagai resi, maka Sudakarenawisesa
menyerahkan tahta kerajaan Galunggung kepada istrinya, Dewi Citrawati, dengan
gelar penobatan Batari hiyang Janapati.
Selama memegang
kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan
serangan dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi
tak pernah padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang,
membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk).
Kemudian, Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai
membangun ibukota yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang
kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Untuk
mengatasi permasalahan dengan penguasa galunggung tersebut, Maharaja Langlangbumi, meminta bantuan Batara Hiyang
Purnawijaya, ayah dari Dewi Citrawati (Batari Hiyang), dan pamannya yang menjadi panglima, Suryanagara supaya
diambil jalan damai. Pertemuan itu dihadiri oleh Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati
Suryanagara, Resiguru Sudakarena, Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya,
Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja
Menak Luhur, Permaisuri Puspawati, Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi
Citrawati), dan beberapa raja dari daerah bawahan Sunda dan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai akhirnya
membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:
·
Sebelah barat sebagal Kerajaan Sunda, di bawah
kekuasaan Prabu Langlangbumi.
·
Sebelah timur
sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang
Janapati, dengan ibukotanya di Galunggung.
b.
Prasasti Geger Hanjuang
Isi prasasti itu
ditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuno yang cukup terang untuk dibaca. Walau
pun hanya tiga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal
dan tahun. Bacaannya baris demi baris
sebagai berikut :
tra ba i gune apuy na-
sta gomati sakakala rumata-
k disusu(k) ku batari hyang pun
Prasasti itu
bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13
bulan Badra (Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune).
Arti lengkapnya: Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (seleai)
disusuk oleh Batari Hyang.
Rumatak yang oleh
penduduk setempat disebut Rumantak adalah bekas ibukota Kerajaan Galunggung
yang terletak tidak jauh dari bukit Geger Hanjuang tempat prasasti itu
ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi dengan parit untuk pertahanan (membangun parit
pertahanan sebagai perlindungan). Berita serupa dapat kita baca dalam prasasti
Kawali dan Batutulis di Bogor.
Prasasti itu
membuktikan bahwa perjanjian Galuh tahun 739 M masih tetap dihormati. Dalam kropak.632
tokoh Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis
dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak
630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati (sang bijaksana
atau sang budiman). Cukup unik karena pencipta ajaran tentang kesejahteraan
hidup yang harus men-jadi pegangan para raja dan rakyatnya itu adalah seorang
wanita.
Mengapa Batari Hyang
membangun parit pertahanan sebagai perlindung-an pusat pemerintahannya belum dapat dijelaskan
secara memuaskan. Mungkin ia berjaga-jaga karena
melihat pusat pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh berada di kawasan timur atau
mungkin karena sebab lain.
c..
Pelarian dari Kediri
Pada zaman (1065 - 1155 M) ada raja kediri
yang melarikan diri ke tanah sunda, karena kalah perang, yang diungkapkan dalam
Babad Galuh. Kemungkinan salah seorang cucu dari Prabu Langlangbumi diperisteri oleh
penguasa Kadiri-Janggala Maharaja Jayabuana Ke-sanananta Wikramotunggadewa
(1102 - 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun memerintah
karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana
melarikan diri ke tatar Sunda karena permaisurinya berasal dari sini.
Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari pelarian dari Kediri dalam
Babad Galuh.
20. RAKEYAN
JAYAGIRI / PRABU MENAK LUHUR (mp. 1155-1157 M)
Dalam Carita parahiyangan Rakeyan Jaya Giri tidak disebutkan
dalam Carita parahiyangan, karena mungkin ia hanya bertahta di wilayah kerajaan
Sunda saja, yang kekuasaanya hanya dari sungai Citarum ke barat.
Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur, berkuasa
di tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Ia hanya berkuasa sangat singkat yaitu selama 2 tahun,
karena ayahnya Prabu Langlangbumi berkuasa selama 90 tahun (di sunda), dan di
galuh selama 92 tahun. Ayahnya, Prabu Langlang Bumi menyerahkan wilayah Sunda
ke Rakeyan Jayagiri pada tahun 1155 M, sedang wilayah Galuh dan sekitarnya ia
masih pegang sendiri.
Prabu Menakluhur menikah dengan Ratna Satya, yang dijadikan permaisurinya. Dari perkawinannya,
mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa. Ratna Wisesa menikah dengan Prabu
Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya
dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa.
Karena Prabu
Menakluhur dan Mangkubumi Cakranagara meninggal
pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja
Sunda, jatuh ke menantunya, Prabu
Darmakusuma. la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan:
Galunggung, Galuh dan Sunda.
21. PRABU DARMAKUSUMA (mp. 1156-1175 M)
Dalam
Carita Parahiyangan prabu Darmakusuma hanya di sebutkan tempat meninggalnya “
Nu hilang di Winduraja” , yang berkuasa selama 18 tahun.
Prabu Dharmakusuma naik
tahta Sunda ke-24, menggantikan mertuanya. Rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M). la bergelar Maharaja,
karena berkuasa atas seluruh wilayah sunda (menguasai 3 kerajaan
utama: Galunggung, Galuh
dan Sunda).
Prabu Darmakusuma berasal dari Galunggung, ia merupakan cucu dari
penguasa Galunggung, Batari Hiyang Janapati. Ia menikah dengan putri dari Raja
Sunda, Prabu Menak Luhur, yang bernama Ratnawisesa. Dari perkawinannya ia
memperoleh anak yang bernama Sang darmasiksa, yang dikemudian hari
menggantikannya sebagai raja.
22. PRABU DARMASIKSA (mp. 1175-1297 M)
Dalam bagian ini Rakean Darmasiksa lah yang banyak diungkapkan tentang
kelebihannnya,“ ......Sang Rakean
Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. Nu ngajadikeun para
kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahiangan. “Tina naon berkahna?”
Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun
Sanghiang Siksa.”
Rakeyan Darmasiksa atau Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda
dihitung dari maharaja Tarusbawa. Ia
naik tahta tahun 1175 M menggantikan
ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), dengan
gelar Prabu Guru
Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. la memerintah seluruh wilayah sunda (termasuk
Galuh, galuggung dan Saunggalah). Pada awalnya beribukota di Saunggalah (Kuningan), tetapi kemudian
ibukotanya dipindahkan ke Pakuan (bogor) pada tahun 1187
M.
Carita Parahyangan
menceritakan bahwa Prabu Dharmasiksa merupakan
titisan (jelmaan) Dewa Wisnu karena kebbajikannya. Ia mendirikan panti pendidikanna (Binajapanti) dan sejumlah
kabuyutan (tempat suci-keramat). Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi
setiap golongan, baik untuk para sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi),
para dukun (sang disri), para biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan),
dan para leluhur (parahiyangan).
Prabu Darmasiksa
mempunyai 3 orang isteri, yaitu:
·
Puteri Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana,
lahir tahun 1168 Masehi
·
Puteri Darmageng, memperoleh putera, di antaranya
Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah
·
Puteri Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa
Sriwijaya, memperoleh putera, Rahiyang
Jayadarma. Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti,
yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan Singasari. Dari perkawiannya memperoleh putra yang
bernama rakeyan Wijaya atau raden Wijaya, yang dikemudian hari dikenal sebagai
pendiri kerajaan majapahit.
a. Masa Kekuasaannya
Prabu Darmasiksa atau sering
disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang menyebut Sanghiyang Wisnu.
Dalam naskah Carita Parahiyangan ia memerintah selama 150 tahun, sedang dalam
naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297
M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang
sezaman dengan masa pemerintahannya.
Ia naik tahta 16 tahun setelah
Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga
memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M
b. Sebelum Menjadi
raja Sunda
Sebelum menjadi raja sunda,
Prabu darmasiksa pada awalnya menjadi penguasa di Saunggalah (Kuningan) selama 12 tahun, mewakili mertuanya. Karena ia kawin dengan putri raja saunggalah.
Pada awalnya ia berkuasa di
Saunggalah I (Kuningan), tetapi kemudian
memindahkannya ke Saunggalah II, di daerah Tasik sekarang. Menurut kisah
Bujangga Manik yang di tulis pada abad ke15 M, lokasi lahan tersebut terletak
di daerah tasik selatan sebelah barat.
Sebagai pangeran, putra, Prabu
darmakusuma raja Sunda, ia kemudian naik tahta Sunda menggantikan ayahnya yang
meninggal pada tahun 1175 M. Ia
berkuasa sebagai raja Sunda dan
berkedudukan di Pakuan, sedang di Saunggalah kemudian digantikan oleh putranya,
Prabu ragasuci.
Disebutkan bahwa Rakeyan
darmasiksa merupakan penjelmaan dari
’Patanjala sakti’, yang semula menjadi
penguasa wilayah Saunggalah (Kuningan)
Di Saunggalah ia termasuk penguasa yang berhasil, berkat kepemimpinannya
yang bijak serta mampu ’ngertakeun urang rea’ (mensejahterakan kehidupan rakyat
banyak).
c. Hubungannya
dengan pendiri Majapahit, Raden Wijaya
Pabu Darmasiksa memiliki putra
mahkota yang bernama Rakeyan Jayadarma, yang berkedudukan di Pakuan. Rakeyan jayadarma mempunyai istri yang bernama Dyah Singamurti
alias Dyah Lembu Tal, putri Mahisa
Campaka dari kerajaan Singasari.
Dari perkawinan dengan Dyah
Singamurti ini ia mempunyai anak yang
bernama Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih terkenal dengan nama Rakeyan
Wijaya, yang
lahir di Pakuan (Dalam Sejarah Jawa Timur, Rakeyan
Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya). Karena Jayadarma meninggal di usia muda, Lembu Tal tidak betah
di Pakuan, akhirnya minta pulang ke Singasari / ke Tumapel
Jawa Timur, sambil membawa anaknya. Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden
Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal
sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.
Dengan meninggalnya
Jayadarma mengosongkan kedudukan putra
mahkota. Karena anak dari Jayadarma, Raden Wijaya berada di negeri Singasari
(jawa Timur), maka tahta Sunda jatuh ke tangan adik dari Jayadarma, Prabu
Ragasuci.
Karena itu dalam babad tanah
jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden Wijaya ini disebut pula Jaka
susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari Pasundan). Raden wijaya
sebenarnya merupakan pewaris tahta sunda yang ke-27, tetapi karena berada di
Singasari, tahta jatuh ke tangan pamannya, (adik Jayadarma), Prabu Ragasuci.
d. Nasehat Prabu
Darmasiksa Terhadap Raden Wijaya
Prabu Darmasiksa masih memiliki kesempatan menyaksikan kelahiran Kerajaan Majapahit,
yang didirikan oleh cucunya, Raden Wijaya.
Menurut Pustaka II/2, Prabu Darmasiksa
pernah memberi peupeujeh (nasehat) kepada cucunya tersebut:
”Haywa ta sira
kedo athawamerep ngalindih bhmi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira
dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh puyut
kalisayan mwang jaya catrumu, ngke pinaka mahaprabu ika hana ta daksina sakeng
hyang tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang
sayogyanyarajya Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara
ning padulur. Yantanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong.
Yatanyan siddha hitasuka. Yan rajya sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya
mangkanajuga rajya sunda ring wilwatika”
Inti dari nasehat Darmasiksa ini
menjelaskan tentang larangannya untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing
memerintah sesuai dengan haknya maka
akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.
Mungkin dari nasehat inilah,
dari naskah-naskah Majapahit, seperti Nagarakertagama, atau Kidung Sunda,
kerajaan Sunda tidak termasuk Nusantara yang merupakan wilayah taklukan
majapahit. Dan Sunda tidak pernah dikuasai atau kalah perang melawan Majapahit.
Tragedi bubat yang terjadi pada zaman Hayam Wuruk dan Patih Gajah mada di
kemudian hari menunjukan hal itu. Dan tragedi Bubat diyakini merupakan awal
dari kehancuran karir Gajah mada, dan awal dari
kemunduran dari majapahit itu sendiri. Sedang Sunda masih bertahan
hingga abad ke-16 M.
E. Naskah Amanat Galunggung
Bukti tertulis peninggalan dari
Prabu Darmasiksa diantaranya suatu naskah yang sekarang dinamakan dengan naskah
Amanat Galunggung.
Inti dari naskah amanat galunggung berisi:
·
Keharusan untuk menjaga dan mempertahankan tanah
kabuyutan dari gangguan orang asing, bahkan tanah kabuyutan sangat di
sakralkan. Iapun mentebutkan, bahwa : lebih berharga kulit lasum (musang) yang
berada ditempat sampah dari pada putra raja yang tidak mampu mempertahankan
tanah airnya.
·
Memotifasi agar keturunannya untuk tetap mempertahan
Galunggung. Dengan cara mendudukan Galunggung maka siapapun akan memperoleh
kesaktian, jaya dalam berperang, dan akan mewariskan kekayaan sampai turun
temurun.
·
Agar berbakti kepada para pendahulu yang telah mampu
mempertahan tanah air pada jamannya masing-masing.
*1). Tentang gelar Dyah Singamurti, Dyah Lembu Tal, masih
diperdebatkan dalam sejarah.
*2). Mahisa Campaka adalah anak
dari Mahisa Wongateleng, yang berarti cucu dari Ken Arok dan Kendedes.
*3). Karena itu dalam babad
tanah jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden Wijaya ini disebut pula Jaka
susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari Pasundan). Ia juga merupakan keturunan Ken Dedes
dari pihak ibu (turunan ke4). Raden wijaya sebenarnya merupakan pewaris tahta
sunda yang ke-27, tetapi karena berada di Singasari, tahta jatuh ke tangan
pamannya, (adik Jayadarma), Prabu Ragasuci..
24. PRABU RAGA
SUCI (mp. 1297-1303 M)
Prabu
Ragasuci dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya saja “ Nu
Hilang di Taman”. Nama masih belum
menjadi raja terkenal dengan nama Rakeyan Saunggalah,
dan setelah menjadi raja bergelar Prabu Ragasuci.
Ia naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu
Resiguru Darmasiksa,. Ia berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297
hingga 1303 M .
Karena sebelumnya, ayahnya, Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang,
menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi). Ragasuci memerintah berkedudukan Di Saunggalah (Kuningan).
Prabu
Ragasuci sebenarnya
bukan putra mahkota, karena kedudukan itu dijabat kakaknya, Rakeyan Jayadarma.
Karena Jayadarma meninggal ketika masih muda
(usia 44 tahun), ia kemudian
naik tahta menggantikan ayahnya.
Prameswarii Ragasuci yang
bernama Dara Puspa berasal dari putri kerajaan Melayu, dan merupakan adik dari
Dara Kencana, istri Kertanegara dari Singasari (Jawa timur sekarang). Dari istrinya ia mempunyai anak yang bernama Citraganda,
yang dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.
Setelah meninggal ia kemudian
digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan di Taman,
sehingga ia kemudian dikenal dengan nama
Sang Mokteng Taman.
25. PRABU CITRA GANDA (1303-1311
M)
Prabu Citraganda dalam Carita Parahiyangan hanya
disebut tempat meninggalnya saja “Nu Hilang di Tanjung”). Ia naik tahta
sunda menggantikan ayahnya
tahun 1303 M, Prabu
ragasuci. Ia berkuasa di tanah sunda (termasuk Galuh dan galunggung) selama 8 tahun
(dari tahun 1303-1311 M), dan berkuasa
dengan berkedudukan di pakuan.
Ia
merupakan putra dari Prabu Ragasuci dengan Dara Puspa berasal dari putri kerajaan Melayu, (Dara Puspa merupakan adik dari Dara Kencana, istri Kertanegara dari
Singasari (Jawa timur sekarang). Prabu
Citraganda berprameswarikan Dewi Antini, yang merupakan putri dari Prabu
Rajapurana.
Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Linggadewata. Prabu Ragasuci ketika meningal, ia dipusarakan
(dimakamkan) di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang Mokteng tanjung.
26. PRABU LINGGA DEWATA (1311-1333 M)
Prabu Linggadewata dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya
“ Nu Hilang di Kikis” (yang Hilang di Kikis). Ia naik tahta kerajaan Sunda Galuh menggatikan
ayahnya, Prabu Citra Ganda. Ia
memerintah tahta Sunda berkedudukan di
Kawali selama 22 tahun (mp. 1311-1333
M).
Ia tidak mempunyai anak
laki-laki. Putrinya yang bernama Rimalestari, yang menikah dengan Ajiguna
Linggawisesa.
Setelah meninggal ia
dipusarakan di Kikis (Nu Hilang di Kikis), sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kikis. Karena ia tidak mempunyai
anak laki-laki, sehingga tahta selanjutnya ia wariskan kepada menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa.
27. PRABU
AJIGUNA WISESA (mp. 1333 - 1340 M).
Prabu Ajiguna Wisesa dalam Carita
parahiyangan disebut hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang
Hilang di Kidding).
Prabu
Ajigunawisesa, yang berkuasa di tanah Sunda
(termasuk Galuh) selama 7 tahun dari tahun
1333
sampai dengan tahun 1340 M. Ia naik tahta menggantikan
mertuanya Prabu
Linggadewata. Atau Sang Mokteng Kikis (yang
Hilang di Kikis). Ia memerintah
berkedudukan di keraton Kawali selama 7 tahun
Ia naik tahta karena istrinya, Rimamelati,
putri dari Prabu Linggadewata merupakan pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3
orang anak, yaitu:
·
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot. Ia merupakan anak pertama, dan kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda.
·
Dewi Kiranasari merupakan anak kedua, yang menikah
dengan Prabu Arya Kulon.
·
Prabu Suryadewata, merupakan anak ketiga atau anak
bungsu. Ia diangkat menjadi Raja (Ratu) Galuh. Prabu
Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga. Ia meninggal di
Wararaja (hutan raja) ketika sedang berburu.
Prabu
Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding
atau dalam istilah carita parahiyang, “Nu hilang di Kidding”.
a. Cikal Bakal Kerajaan Talaga & Sumedang Larang
Anak
Prabu Ajiguna Wisesa yang ketiga yang
bernama Prabu Suryadewata, yang diangkat menjadi Raja Galuh dianggap sebagai
cika bakal kerajaan Talaga. Putra Suryadewata
yang bernama Suddhayasa, yang dikenal juga dengan nama Batara Gunung Picung atau batara gnung bitung
dianggap menjadi cikal bakal
kerajaan Talaga (Majalengka)
Batara Gunung Picung mendirikan kabataraan Gunungpicung di talaga.
Kabataraan di Gunung Picung diyakini sebagai kekuasaan kebataraan setelah
kebataraan tembong agung, di Sumedang berubah menjadi kerajaan Sumedang Larang. Kekuasaan kabataraan gunung picung dari Batara
Gunung Picung kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, Pandita Prabu Darmasuci
kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan
Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga
Manggung dan sejak itu Talaga menjadi sebuah kerajaan.
Sebelumnya Prabu Suryadewata, sebelum kepindahan keraton Galuh ke Pakuan,
menginstruksikan kepada Prabu Aji putih untuk membangun kabataraan
Tembong Agung. Kabataraan tembong agung ini dikemudian hari menjadi kerajaan
Sumedang Larang.
28. SANG AKI KOLOT ( mp.
1340-1350 M)
Dalam Carita Parahiyaangan di sebutkan bahwa Sang Aki Kolot menjadi raja
/ berkuasa di Galuh dan Sunda selama 10 tahun.
Sang Aki kolot merupakan sebutan dari Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, yang naik tahta Sunda (termasuk Galuh) menggantikan
ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Ia memerintah selama 10 tahun
dari tahun 1340
sampai dengan tahun 1350 M.
Sang Aki Kolot atau Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari
Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati.
Setelah meninggal, ia dikenal
dengan Salumah Ing Taman, karena
ia meninggal di Taman.
Setelah meninggal kekuasaan jatuh pada anaknya, yang bernama Prabu Linggabuana wisesa, yang dalam Carita Parahiyang hanya disebut Prabu Mharaja,
yang berkuasa selama 7 tahun (1350-1357 M), yang
gugur dalam perang bubat
BAB XVIII
PRABU LINGGABUANA, DAN RAJA SESUDAHNYA
Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh
taun, lantaran keuna ku musibat,
Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede
pameulina.
Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki
di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.
Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu
Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi
ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu
geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora,
nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta
Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata.
Nu dituladna oge makuta
anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek
nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana
dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem
dina ngajalankeun
palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati
35). Dukun-dukun kalawan
tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan
anu patali jeung kahirupan,
ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik
boh kunu ngede moal aya
karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran
nurutkeun palaturan ratu.
Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya
dina genggaman pangayom jagat.
Ngukuhan angger-angger raja 36), ngadeg di sanghiang
linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna.
Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger
dewa, ngamalkeun sanghiang
Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun
kalungguhanana teh.
Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung
tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe
larangan ti kaluaran.
1.
MAHARAJA PRABU LINGGABUANA (1350-1357
M)
Prabu Linggabuana Wisesa memerintah sunda
menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, dengan gelar penobatan Prabu Maharaja Linggabuana. Ia memerintah kerajaan sunda selama 7 tahun (1350-1357 M). la dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272
Saka (22 Pebruari 1350 M). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari,
didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.
Prabu Maharaja
Linggabuana berprameswarikan Dewi Lara Linsing, darinya ia mempunyai 4 orang anak, tetapi anak kedua dan ketiganya
meninggal pada usia 1 tahun. Anak pertamanya seorang wanita yang terkenal dalam
sejarah, yaitu Dyah Pitaloka, lahir
tahun 1339 M, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi, dan anak terakhirnya ( yang ke-empat) seorang laki-laki yang
dikemudian hari menjadi raja yang sangat terkenal, yaitu Wastukencana yang
lahir tahun 1348 M.
Prabu Maharaja Linggabuana gugur di medan perang bubat, dalam mempertahankan harga diri dan melawan
kecurangan majapahit, bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri Citra resmi.
Karena anak laki-lakinya (adik
dari diah pitaloka) masih berumur 9 tahun, maka
kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati
yang kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora.
Karena meninggal di Bubat,
prabu Linggabuana kemudian dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Bubat.
a.
Pribadi
Prabu Linggabuana terkenal
sebagai seorang yang perkasa. Naskah Wangsakerta melukiskan dirinya sebagai
berikut:
” Dimedan perang bubat ia banyak
membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan
mahir berperang, tidak mau negaranya
diperintah dan dijajah orang
lain.”
Ia tidak merasa takut
berhadapan dengan pasukan majapahit meskipun berada dikandang lawan (didaerah
majapahit). Ia juga tidak merasa gentar meskipun pasukannya tidak dipersiapkan
untuk berperang (ia membawa pasukan hanya untuk mengantar penganten), dan dalam
jumlah yang sedikit, melawan pasukan Majapahit yang memang sudah dipersiapkan
untuk berperang.
Ia tidak gentar mengahadapi
pasukan majapahit yang dipimpin oleh
Pati Gajah Mada yang jumlahmya tidak
terhitung.
b.
Kebijakannya
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan
kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh
wilayah kekuasaanya. Kemashurannya juga sampai kepada negara-negara di pula pulau dwipantara atau (nusantara
namanya yang lain).
Kemashuran sang raja
membangkitkan (rasa bangga kepada ) keluarga, mentri-mentri kerajaan, angkat
perang dan rakyat pasundan. Oleh karena itu namanya mewangi. Selanjutnya ia
kemudian bergelar Prabu wangi.
c.
Perang Bubat
Peristiwa Bubat setidaknya
tercatat dalam suatu naskah yang dinamakan dengan nama Kidung Sunda, atau
Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Di Bali sendiri kidung ini dinamakan
geguritan Sunda.
Melihat rombongan Sunda yang tidak
bersenjata lengkap, timbul niat jahat gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan
Sunda, sebagai pembalasan atas kekalahan-kekalahan sebelumnya.
d. Latar Belakang Perang Bubat
Dalam naskah-naskah kuno,
yang dibuat pada masa majapahit, baik oleh para pujangga, tidak memasukan
kerajaan sunda pada negara-negara nusantara. Kerajaan Sunda tidak pernah kalah
perang melawan majapahit, bahkan dimungkinkan Majapahit pernah mengalami kekalahan yang tragis, seperti
apa yang diungkapkan oleh Patih Anepaken kepada Gajah Mada, naskah Kidung Sunda
dari Bali menceritakan dengan jelas tentang itu.
Patih anepaken merupahan
mahapatih Sunda yang mengikuti rombongan maharaja Linggabuana untuk mengantar
putri ke Majapahit. Ia tidak merasa takut meskipun hanya diiringi oleh 300 pasukan untuk
melawan ribuan yang dipersiapkan oleh Gajah Mada.
Dari perkataan yang dikutip
dalam kidung Sunda tersebut, maka ada beberapa kesimpulan:
·
Patih Anepaken ingin mengatakan bahwa kerajaan Sunda adalah kerajaan besar,
yang tidak ada satu negarapun yang dapat menguasai Sunda, demikian juga
Majapahit.
·
Kritikannya terhadap moralitas Majapahit yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Menantang perang kepada lawan yang tidak membawa senjata perang, dan dengan
harapan persaudaraan (perkawinan).
·
Ingin mengingatkan bahwa tempo dulu ketika majapahit berperang dengan
kerajaan Sunda, dengan kekalahan yang telak, dimana para mantrinya dengan
meminta belas kasihan dari para prajurit Sunda.
Gajah mada
sangat mengetahui kehebatan kerajaan Sunda, karena tidak mungkin mengalahkan
mereka, bahkan pernah kalah sebelumnya. Karena itu ia bagaikan mendapat durian
runtuh ketika rombongan raja Sunda datang ke kandangnya dengan tidak bersenjata
lengkap, karena hendak mengantar penganten, suatu kesempatan untuk balas dendam.
e. Perang Bubat dan Karir Patih Gajah Mada
Perang bubat diyakini
mengakibatkan akhir dari karir patih Gajah Mada. Ia dipersalahkan karena peristiwa itu. Meskipun masih menjabat
patih hingga beberapa tahun berikutnya, tetapi pamornya sangat menurun.
f. Yang Gugur Dalam Perang Bubat
Dalam naskah Wangsakerta diceritakan bahwa para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda
yang gugur di palagan Bubat, yaitu:
·
Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda,
·
Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya.
·
Rakeyan Tumenggung Larang Ageng
·
Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda)
·
Gempong Lotong
·
Sang Panji Melong Sakti
·
Ki Panghulu Sura
·
Rakeyan Mantri Saya
·
Rakeyan Rangga Kaweni
·
Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu)
·
Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali
·
Rakeyan Juru Siring
·
Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul)
·
Sang Mantri Patih Wirayuda
·
Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda)
·
Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang
kerajaan)
·
Ki Juru Wastra
·
Ki Mantri Sebrang Keling
·
Ki Mantri Supit Kelingking
*) Kidung Sunda merupakan sebuah tulisan / naskah dalam bahasa Jawa
pertengahan yang berbentuk syair, dan kemungkinan besar berasal dari Bali . Kidung Sunda ini
menceritakan tentang tragedy perang Bubat dengan detail.
*) Peristiwa bubat ini diyakini
merupakan akhir dari karier patih gajah Mada. Meskipun masih menjabat
Patih, tetapi pengaruhnya mulai cepat berkurang.
**) Dari perkataan Patih Anipaken kepada Gajah Mada dalam Kidung Sunda,
sangat jelas diungkapkan suatu perkataan yang menyebut kekalahan-kejkalahan pihak Majapahir dari kerajaan Sunda. Karena itu ketika rombongan raja
Sunda tidak bersenjata lengkap, karena hanya mengantar penganten, maka timbul
niat jahat dari gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan Sunda.
2. PRABU
BUNISORA (mp. 1357-1371 M)
Prabu Bunisora atau
Mangkubumi Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam
perang Bubat. Ia menggantikan tahta sunda, karena putra mahkota
(putra Prabu Linggabuana), Wastukencana, masih kecil (unur 9 tahun). Ia
memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp. 1357-1371 M) dengan gelar Prabu Guru Pangadiparamarta
Jayadewabrata.
Pada masa pemerintahan Prabu Linggabuana, ia menjabat sebagai patih
mangkubumi, dan menggantikan kedudukan raja, ketika Linggabuana gugur. Dalam
menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung mengambil jalan hidupnya sebagai raja pendeta, yang
diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang
Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru
di Jampang. Karena setelah ia
menyerahkan kekuasaan pada wastukancana, ia menjadi pertapa dan resi di
jampang.
Ia juga dikenal dengan nama
Prabu Kuda lalean. Dan dalam babad Panjalu disebut dengan nama Prabu
Borosngora. Dan setelah meninggal ia dikenal juga
dengan nama Sang Mokteng Gegeromas, karena ia meninggal di Geger Omas.
Dari perkawinannya dengan permaisuri Laksmiwati, Ia
mempunyai anak, yaitu:
·
Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja
daerah di wilayah Cirebon Girang
·
Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi
haji pertama di tatar sunda, sehingga ia terkenal dengan julukan Haji
Purwa Galuh
·
Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh.
·
Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala Wastu
Kancana.
Setelah meninggal, tahta jatuh ke keponakannya dan sekaligus
menantunya, yaitu Prabu Wastukencana atau Prabu
Anggalarang, atau ada yang menyebut
dengan nama Prabu Siliwangi 1.
a. Permintaan Maaf Dari hayam Wuruk
Kekalahan sang raja Linggabuana dalam perang Bubat bukan berarti kerajaan
Sunda takluk. Raja Sunda yang baru, Bunisora menerima permintaan maaf dari penguasa Majapahit, hayam Wuruk, yang
mengutus utusan yang berasal dari Bali,
seperti yang diungkapkan dalam naskah kidung sunda.
b. Undang Undang ”
Larangan Estri ti Kaluaran”
Untuk mengantisipasi
terulangnya kejadian serupa, maka Prabu Bunisora mengeluarkan peraturan yang
kemudian dinamakan dengan Larangan estri ti kaluaran, yang melarang mengawinkan seluruh anggota kerajaan dengan
majapahit.
3. PRABU
ANGGALARANG / PRABU NISKALA WASTUKANCANA (mp. 1371-1475 M).
”Negara akan jaya dan unggul perang bila rakyat berada dalam kesejahteraan
(kareta beber), raja harus selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu)” (Prabu Niskala wastu kancana dalam Prasasti
Kawali)
Prabu anggalarang atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta
Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa
selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).
Ia merupakan putra Prabu
Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang
bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu
Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja.
Setelah meninggal di Nusalarang,
sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi
wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat
(pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).
a.
Pribadi
Wastukancana berkembang menjadi
seorang raja yang seimbang, kebesaran
budi pekertinya, seperti tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada
prasastinya kawali, yaitu:
”Negara akan
jaya dan unggul perang bila berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja
harus selalu berbuat
Ayahnya, Prabu Linggabuana, yang
gugur dalam perang bubat, sebagai karena mempertahankan kehormatan sunda
sebagai bangsa yang besar, mendapat
julukan Prabu wangi, sehingga dalam cerita Parahiyangan disebutkan bahwa anaknya, Prabu Niskala
Wastu kancana adalah ‘seuweu’
Prabu Wangi.
b. Istri dan Anak Anaknya
Wastukancana mempunyai 2
orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati), putri resi Susuk, penguasa
Lampung, dan Mayang sari, putri sulung Prabu rahyang Bunisora.
Dari perkawinanya dengan Rara
Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang
haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum.
Sedang dari Mayangsari, putri
sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana mempunyai 4 orang putra. Yang sulung, bernama Ningrat
Kancana yang naik tahta Kawali
(Galuh) dan bergelar Prabu Dewa Niskala,
yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua
Surawijaya, yang ketiga Gedeng
Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.
c. Anak dan Pembagian Wilayah Kekuasaan
c.1. Prabu Dewa niskala
Nama aslinya Ningrat kancana, dan merupakan putra sulung hasil
perkawinan Prabu wastukencana dengan putri Mayangsari. Ia kemudian diangkat
menjadi raja galuh, dengan gelar penobatan Prabu Dewa niskala. Ia berkuasadi timur
sungai Citarum hingga sungai Cipamali.
c.2. Prabu Susuk Tunggal (mp.
1382-1482 M)
Prabu Susuktunggal merupakan
putra dari Wastukencana, dari istrinya,
Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari
sungai citarum ke barat. Ia berkuasa cukup lama (selama
100 tahun), sebab sudah dimulai saat
ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Prabu Susuk Tunggal atau Sang
Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah
Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain
ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
Prabu Susuk Tunggal yang berkuasa di Pakuan , kemudian
membangun pusat pemerintahan dan membangun keraton Sri Bima Punta
narayana Madura Suradipati.
Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya,
Kentrik Manik Mayang sunda, kemudian menikah dengan Jayadewata, putra
Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah
(keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
Setelah Prabu Susuk Tunggal,
tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang
kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda,
keraton Galuh dan Pakuan.
BAB XIX
SRI BADUGA
MAHARAJA JAYADEWATA(mp. 1482-1521M)
Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu
Rajadewata, nu hilang di
Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti
purbajati, mana
henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh
lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa
aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma
rea, di lantarankeun ku
ngalanggar Sanghiang Siksa.
Prabu
Jayadewata merupakan putra Dewa Niskala,
dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan
menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini
bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M).
Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
a. Masa Muda
Masa mudanya Sri baduga
terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu satunya yang pernah mengalahkan Ratu
Japura (Amuk Marugul) waktu bersaing
memperebutkan Subanglarang,
istrinya yang beragama Islam.
Dalam berbagai hal orang
sezamannya teringat kepada
kebesaran buyutnya, Prabu Maharaja
Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang digelari Prabu Wangi. Dan
menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga
dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu Siliwangi.
b. Istri Istrinya
Pada mulanya ia memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng
Sindang kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja
Jayadewata. Ia merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga
Wastukenacana dari Mayang Sari.
Ia
kemudian memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedengtapa, yang
menjadi raja di Singapura. Subang Larang adalah muslim pertama di lingkungan kerajaan.
Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok qura di Pura Karawang. Dari
turunan Subang Larang inilah kemudian
lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda
(raja Cirebon dan banten). Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak:
Walangsungsang (atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang
(ibu dari Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara.
Jaya Dewata juga memperistri
Kentrik Manik Mayang sunda, putri Prabu Susuk Tunggal, dari istana
Pakuan. Dengan demikian jadilah raja
Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
c.
Menerima
Tahta Sunda dan Galuh
Pada tahun 1482 M, Jaya Dewata menerima tahta Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga
ia menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa
tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada
kembali dalam satu tangan, Jayadewata.
Jayadewata memutuskan untuk
berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama
tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari mewakili mertuanya, prabu
Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Dan mulai zaman jaya Dewata ini kerajaan
sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama
ibukotanya Pakuan Pajajaran
d.
Palangka Sriman
Sriwacana
Dalam carita parahiyangan diberitakan
sebagai berikut:
” Sang Susuk Tunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu haji di
Pakuan Pajajaran nu mikadatwan
sri bima punta narayana Madura suradipati, inyana pakwan sanghiyang sri
ratu dewata” ( Sang Susuk Tunggal ialah
yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa
di Pakuan Pajajaran yang
bersemayan di keraton Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
e.
Pindahnya Ratu
Pajajaran
Pindahnya putri Ambetkasih,
istri Sri baduga Maharaja yang pertama, dari keraton timur (galuh) ke Pakuan,
bersama istri-istri Sri Baduga yang lain, terekam
oleh pujangga yang bernama Kairaga di
Gunung Srimanganti (Ci Kuray), dalam sebuah naskah yang ditulis dalam sebuah
pantun dan dinamai ’Carita ratu Pakuan’, yang diperkirakan ditulis diakhir abad
ke-17 M atau awal abad 18 M. Diantara isi naskahnya (terjemahan):
” Tersebutlah Ambetkasih bersama madu-madunya bergerak payung kebesaran
melintasi tugu yang seia dan sekata hendak pulang ke pakuan kembali dari
keration timur hendak pulang ke Pakuan
kembali dari keraton di timur halaman cahaya putih induk permata cahaya datar
namanya keraton berseri emas permata rumah berukir lukisan alun di sanghiyang
pandai larang keraton penenag hidup, bergerak barisan depan disusul kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul
kue dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih
nampan perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke pakuan.
Bergerak tandu kencana beratap cemara
gading bertiang emas bernama
lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang
berkuncup singa-singaan di sebelah kiri kanan panjang hijau bertiang gading
berpuncak getas yang bertiang berpuncak
emas dan panjang sabirilen berumbai
potongan benang”
f.
Kebijakan dan Kehidupan Sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi
menjadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang
disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi
mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan
dalam salah satu prasasti peninggalan
Sri Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):
” Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana.
Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus
menitipkan ibukota di Jayagiri dan
ibukota di Sunda Sambawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan mmeberatkannya
dengan ’dasa’ , ’calagra’, kapasa timbang’, dan ’pare dongdang’. Maka
diperintahkan kepada para petugas muara
agar jangan memungut bea. Karena merekalah
yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran.
Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.”
g.
Perekonomian
& Perdagangan
Dalam carita Parahiyangan, zaman
Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan. Naskah kitab Waruga
jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah Karuhun Kabeh (dari Ciamis) yang
ditulis pada abad 18 M, menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa
gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires, utusan Portugis dari
Malaka, ikut mencatat kemajuan zaman Sri
baduga dengan komentar:
” The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan
Sunda diperintah dengan adil; mereka
adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda hingga ke kepulaan maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai
1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin
(asem) dikatakan cukup untuk mengisi
1000 kapal.
h.
Gelar Prabu
Siliwangi
Prabu Siliwangi adalah nama tokoh
yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri
baduga Maharaja Jayadewata.
Sribaduga maharaja merupakan
gelar yang diberikan dalam prasasti
Batutulis, sedang dalam carita
parahiyangan ditulis Jayadewata. Sumber sejarah pertama yang mengungkap
nama siliwangi, adalah naskah sanghiyang siksa kandang karesian
(1518 M), yang dimaksud menyebutkan
salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama (lalakon)nya tidak
diceritakan.
Yang kedua adalah naskah
”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis oleh Pangeran Arya
Cirebon, yang menceritakan tentang Prabu
Siliwangi, yang merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang
berkuasa di kraton Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur. Prabu Siliwangi
bertahta di keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan
Subang Larang (1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di
Kawali (1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga
emnikah dengan putri Ambetkasih.
Dan yang ketiga terdapat dalam
naskah Carita Ratu Pakuan (kropak 410) yang ditulis kira-kira pad akhir abad
ke-17 M atau awal abad ke-18 M. Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Prabu
Siliwangi yang berkuasa di Pakuan, yang mempunyai istri Ambetkasih dan Subanglarang.
Hal ini cocok dengan Naskah cirebon
diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga
maharaja.
BAB XX
PRABU SURAWISESA (mp. 1521-1535
M)
Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di
Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun
peperangan teh kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung.
Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka
Gunungbatu. Perang ka Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka
Padang. Perang ka Pagoakan.
Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka
Pagerwesi. Perang ka
Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui.
Ratu tilar dunya. Lawasna jadi ratu opatwelas taun.
Surawisesa merupakan putra dari Sri
Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu dari Prabu Susuk
Tunggal. Surawisesa dipuji oleh naskah
Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran (perkasa) dan kuwanen
(pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran,
memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian penulis Carita
parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.
Surawisesa dalam kisah-kisah
tardisional lebih dikenal dengan sebutan
Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Prameswarinya, Kinawati, berasal
dari kerajaan Tanjung Barat yang
terletak di daerah Pasar minggu, Jakarta, sekarang. Kinawati adalah putri
Mental Buana, cicit Munding Kawati, yang semuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung.
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia
membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di
Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
Diantara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang
menjadi bahan kisah tradisional, baik
babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau babad pakuan, misalnya, semata mengisahkan ’petualangan’ Surawisesa (Guru Gantangan)
dengan sebuah cerita panji.
a.
Sebelum Menjadi
Raja
Sebelum menjadi raja, ketika
masih menjadi pangeran, ia pernah diutus oleh ayahnya menghubungi Alfonso
d’Albuquerque, laksamana portugis di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali, yaitu pada tahun 1512 dan 1521 M.
Hasil kunjungan
pertama adalah kunjungan penjajagan pihak
portugis pada tahun 1513 M, yang diikuti oleh Tome Pires. Sedang hasil
kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan
Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan
Pajajaran (Sunda) dengan Portugis
mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.
Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Portugis
akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis
yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang
keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai dibangun, pihak sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua
custumodos (kurang lebih 351 kwintal).
b.
Reaksi Dari
Demak
Perjanjian
antara kerajaan Sunda dan Portugis
sangat mencemaskan Sultan trenggono,
sultan Demak III. Setelah selat Malaka yang merupakan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah
dikuasai Portugis yang berkedudukan di
Malaka dan Samudra Pasai. Jika selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara
di selatan juga dikuasai Portugis. Maka jalur perdagangan laut yang menjadi
urat nadi kehidupan negara-negara Islam diwilayah timur, termasuk demak,
terancam putus.
Maka kemudian
Sultan Trenggono yang di pimpin oleh
Fatahillah, yang menjadi senapati Demak
menyerang Banten, yang jatuh pada tahun 1526 M.
c.
Medan
Peperangan
Surawisesa mewarisi tahta
kekuasaan dalam masa yang tidak menguntungkan, sebab wilayah-wilayahnya banyak diserang oleh musuh, disamping kalah pengaruh oleh Cirebon, yang di bantu
oleh Demak, yang merupakan pusat Islam di tataran Sunda. Selama 14 tahun
berkuasa ia telah melakukan 15 kali peperangan tanpa mengalami kekalahan, seperti
apa yang diungkapkan dalam naskah Carita Parahiyangan.
Pada awal masa kekuasaannya wilyah Islam hanya berkonsentrasi di
Cirebon. Pada masa ayahnya berkuasa, Cirebon belum berani mengadakan
pemberontakan. Tetapi ketika ia berkuasa cirebon yang dibantu demak mulai
melancarkan serangan di berbagai tempat. Cirebon mengklaim bahwa mereka
sama-sama keturunan dari Prabu jaya dewata dan mempunyai hak berkuasa di tanah
sunda. Perlawaanan Cirebon yang dibantu demak mulai intensif ketika Cirebon di
kuasai oleh cucu Prabu Jaya Dewata atau keponakan Surawisesa sendiri, yang
terkenal dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati.
Sunan Gunung jati mulai menyerang wilayah-wilayah pajajaran, di 15 medan
pertempuran, yaitu di jakarta (kalapa), di Banten (wahanten girang), di
tanjung, di Ancol Kiyi, dan lainnya, tetapi dizaman Surawisesa wilayah-wilayah
tersebut masih belum bisa di taklukan.
Dalam Carita Parahiyangan, medan-medan pertempuran tersebut, adalah.
· Kalapa (Jakarta sekarang) dengan arya Burah
· Tanjung
· Ancol Kiyi (jakarta)
· Wahanten Girang (Banten). Menurut berita Joade Barros (1516), salah
seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah
Pajajaran, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan
ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negri. Dari sanalah sebagian
lada dan hasil negri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu
adalah potret sebuah kota metropolitan. Kesultanan
Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat.
Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan
Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi
ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu
pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang),
Sunda Kalapa dan Cimanuk.
· Simpang
· Gunung batu
· Saung Agung
· Rumbut
· Gunung
· Gunung Banjar
· Padang
· Panggaokan
· Muntur
· Hanum
· Pagerwesi
· Medang Kahiyangan
d. Wilayah pajajaran sampai tahun
1526 M
Sampai dengan tahun 1526 M, kerajaan pajajaran meliputi
sejumlah negara bagian (bawahan/ negara daerah):
- Cirebon Larang, Cirebon Girang dengan raja Prabu Kasmaya,
- Sindang Barang dengan raja Panji Wirajaya,
- Sukapura dengan raja Lembu Jaya,
- kidang Lamatan dengan raja Menah Dermawangi,
- Galuh dengan Nara Wangkang ( atau Larang Tapa),
- Astan Larang dengan raja Nara Wingkang,
- Tajuknasing dengan raja Aji Narma,
- Sumedang Larang dengan raja Lembu Peteng Aji,
- Limar kancana dengan raja Ujang ngumbara,
- Ujung Kidul dengan raja Prabu gantangan,
- Kamuning Gading dengan raja Prabu Siliwangi,
- Pancakaki dengan raja Nitimuda Aji,
- Tanjung Sanguru dengan raja Lembu Wulung,
- Nusa (sunda) Kalapa dengan raja Pangeran rangsang Jiwa,
- Banten Girang dengan raja Mas Jongjo,
- Pulosari dengan raja Ajar Domas, dan Ujung Kulon.
e. Kerajaan pajajaran setelah tahun
1926 M
Jika
sebelum tahun 1526 M, wilayah Pajajaran masih tetap utuh, kecuali
Cirebon dan sekitarnya, yang telah memisahkan diri. Tetapi setelah tahun 1526 M, beberapa wilayah sunda satu
persatu wilayahnya dikuasai oleh Cirebon dan Demak, termasuk Banten.
·
Pada tahun 1526 M, Banten direbut oleh tentara Cirebon-Demak, di kemudian
hari menjadi Kesultanan Banten.
·
Pada tahun berikutnya (1927 M), Sunda (Nusa) Kalapa juga jatuh ke tangan
Cirebon Demak, dan kemudian diganti namanya menjadi jayakarta (sekarang jakarta), dan menjadi
kerajaan dibawah kekuasaan Banten.
·
Raja Talaga, Sunan Parunggangsa
ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga
menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui
kekuasaan Cirebon.
·
Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon. Salah
seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang
bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian
diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan,
karena kuningan menjadi bagian Cirebon.
BAB XXI
PRABU RATU DEWATA (mp. 1535-1543
M)
Prabu Ratudeawata, enya eta nu hilang
kasawah-tampian-dalem.
Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah
Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor
ari dikumbah, disunat ku
tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana
asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang
pandita di Ciranjang dipaehann tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita
di Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang
ngaranna, digubruskeun ka sagara,
henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun
ragana di dunya. Katelah
ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing
iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan.
Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun,
kasalapanna tilar dunya.
Prabu Dewata buanawisesa atau
kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia
naik tahta raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.
Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal
sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat
alim dan taat beragama. Ia melakukan
upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu,
hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang
Vegetarian).
Sikap ratu
dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus
memerintah dengan baik. Tapa brata seperti yang dilakukannya hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh
kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana.
Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:
” Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka
berhati-hatilah yang kemudian, jangan
engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupanya penulis kisah kuno
ini melihat bahwa kealiman Ratu Dewata
itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis
naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah
zaman susah).
a.
Hubungan Dengan
Cirebon dan Banten
Pada masanya perjanjian
perdamaian Pajajaran Cirebon masih berlaku. Tetapi ratu dewata lupa bahwa
ia merupakan tunggul (pimpinan) negara yang harus tetap bersiaga. Ia kurang
mengenal seluk beluk dalam politik.
Sementara, Sultan Maulana
Hasanuddin dari Banten, yang ikut juga dalam menandatangani perjanjian
perdamaian Cirebon Pajajaran tersebut, kurang menyetujui karena wilayah
kekuasaanya berbatasan langsung dengan Pajajaran, tetapi karena kepatuhan pada
ayahnya, Sunan Gunung Jati.
Hasanuddin membuat pasukan
khusus tanpa identitas resmi, yang mampu bergerak cepat. Menurut Carita
Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke ibukota Pakuan dari musuh yang tidak
dikenal asal usulnya. Ratu Dewata beruntung
masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa, dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran
perang, perwira ini masih mampu menghadapi serangan musuh, disamping tangguhnya
benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga, menyebabkan serangan banten (dan mungkin juga dari Kalapa / Jayakarta)
ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang pernah jadi
rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran Sri Baduga yang
diwariskan kepada cucu-cucunya.
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota tetapi 2 orang
perwira (senopati) pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan
sarendet.
Gagal merebut benteng kota,
pasukan penyerbu ini dengan cepat
bergerak ke utara dan menghancurkan
pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, yang dalam zaman Sri
Baduga merupakan desa kawikuan yang
dilindungi negara.
BAB XXII
RATU SAKTI(mp. 1543-1551 M)
Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik.
Enya eta anu hilang ka
Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran
ratu lampahna cilaka ku awewe.
Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng
maehan jalma tanpa dosa,
ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot,
ngahina pandita.
Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah
kitu riwayat sang ratu teh.
Sang
Ratusakti Sang Mangabatan menjadi Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata,
yang memerintah dari tahun 1543 sampai dengan tahun 1551 M.
Untuk mengatasi yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang
bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim.
Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati
tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk
kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja melakukan
pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini Estri
Larangan ti Kaluaran, yaitu dengan mengawini pengungsi yang sudah bertunangan.
Konon masih ditambah lagi dengan berbuat
skandal terhadap ibu tirinya, yaitu bekas selir ayahnya. Karena itu kemudian ia
diturunkan dari tahta kerajaan.
Ia hanya beruntung karena waktu
itu sebagian pasukan Hasanauddin dari Banten dan Fatahillah
sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan.
Setelah meninggal ia kemudian di
makamkan di Pengpelengan.
BAB XXIII
TOHAAN DI MAJAYA / SANG NIKALENDRA
Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu
cicing di kadaton. Manehna nu
nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj
diatur mirupa taman mihapitkeun
panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas
jajar, diukir diparada
diwujudkeun rupa-rupa carita.
BAB XXIV
SANG NIKALENDRA
Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan
disebutna jaman kreta.
Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.
Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti
ka jaman kali, jaman beusi,
Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina
kasenangan, ngumbar hawa napsu.
Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya,
nya nurunkeun pertapa, incu pateterean.
Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan
napsu. Jelema nu ngahuma
rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan.
Lila ratu ngalajur napsu dina
barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning
ngumbar kasenangan borakborak da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.
Lilana jadi ratu genepwelas taun.
Nilakendra atau terkenal dengan
nama Tohaan di Majaya, naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang ke-5, pada saat situasi kenegaraan yang
tidak menentu, dan prustasi telah melanda
ke segala lapisan masyarakat.
Frustasi dilingkungan kerajaan
lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan
demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja dan para pembesarnya memperdalam aliran
keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya
raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.
Nikalendra ini sezaman dengan
Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, yang menjadi penguasa kesultanan Banten.
Hasanuddin sering melakukan penyerangan terhadap kerajaan pajajaran dengan
melibatkan anaknya, Maulana Yusuf. Maulana Yusuf inilah di kemudian hari yang mengalahkan dan menguasai keraton Pakuan
Pajajaran.
Prabu Nikalendra mengalami
kekalahan, hal ini terjadi ketika sunan gunung jati masih hidup (dan baru meninggal pada tahun
1586 M). Sang prabu meninggalkan keraton Pakuan dan dibiarkan nasibnya berada
pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Dan ternyata Pakuan
masih dan sanggup bertahan 12 tahun
lagi.
BAB XXV
NUSYA MULYA / PRABU
SURYAKANCANA (mp. 1567-1579 M)
Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!)
taun. Mimiti datangna perobahan.
Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti
Islam.
Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa
eleh Kalapa. Perang ka Pakwan,
perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri,
perang ka Patege, perang kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang.
Meuntas perang ka Salajo; kabeheleh ku urang Islam.
Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.
Nusa Mulya menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada tahun
1567 M. Prabu
Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang berkuasa dari tahun 1567 sampai 1579 M. Nama Prabu Nusa Mulya dalam Naskah
Wangsakerta dikenal dengan nama Prabu Ragamulya Suryakancana
Prabu
Suryakanacana atau prau Nusa mulya tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di
Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun
(panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo,
Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
a. Pengungsian Besar Besaran
Diakhir masa kekuasaan ayahnya, nyaris
ibukota pajajaran lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja
Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya
mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja. Sebagian penduduknya
menggungsi ke wilayah pantai selatan
diantaranya ke cisolok dan Bayah, dan juga banyak yang mengungsi ke
timur, ke sumedang Larang dan lainnya. Dan putra mahkota sendiri, Prabu
Nusamulya mengungsi ke pulosari, pandeglang. Dan disnilah ia kemudian diangkat
menjadi raja.
Daerah pulosari Pandeglang, diyakini
merupakan daerah asal nenek moyang kerajaan sunda, yaitu daerah yang didirikan
oleh Aki Tilem, cikal bakal kerajaan Salakanagara, yang merupakan nenek moyang
kerajaan Sunda. Dengan mengungsi ke pulosari setidaknya Ragamulya ingin
membangun sejarah baru seperti nenek moyangnya dulu, untuk membangun Pajajaran
yang kuat.
b. Ibukota Pakuan
Setelah kekalahan perang melawan pasukan
maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke
Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga diangkat dalam
pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada senopati
kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Pakuan terjkenal sangat tangguh, benteng
pertahanan yang dibuat oleh Maharaja jayadewata sngat tangguh untuk ditembus
oleh musuh. Diceritakan dalam sejarah Banten, pakuan baru bisa ditembus oleh
musuhnya karena ada penghianatan dari dalam pakuan, yang membukakan pintu benteng
pakuan. Sehingga dengan leluasa Psukan yang dipimpin oleh Maulana Yusuf dari
Banten masuk. Dan menghancurkan ibukota.
c. Pajajaran
Burak (Bubar)
Dengan jatuhnya wilayah-wilayah lainnya, Pakuan sebagai benteng terakhir
semakin terjepit oleh pasukan Cirebon-Demak di timur dan banten di barat.
Akhirnya pada tahun 1579 M, pasukan banten
yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, berahsil menduduki ibukota
Pakuan.
Dalam Pustaka
Nusantara, tentang kejatuhan ibukota
kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan:
” Pajajaran sirna
ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang
sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun
1501 saka).
Tanggal tersebut bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Dalam naskah Banten, serangan tentara
banten ke pakuan, disebutkan:
“ Waktu keberangkatan itu terjadi
bulan Muharam tepat pada awal bulan hari
ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.”
Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12
tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten
dengan cara halus.
Dalam naskah Banten diceritakan
bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan
kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena tidak
memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah
saudara ki Jongjo, seorang kepercayaan
Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke
dalam kota setelah pintu benteng terlebih dulu
dibukakan saudaranya itu.
Kisah ini
mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat
prabu Sri Baduga (Prabu Siliwangi).
Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12
tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk
menembusnya.
c. Diboyongnya
Palangka Sriman ke Banten
Dengan
berhasilnya menduduki ibukota pakuan, Sultan Maulanan Yusuf kemudian memboyong benda-benda yang menjadi simbol kemaharajaan Sunda ke
Banten, termasuk singgasana penobatan maharaja Sunda, Palangka Sriman
Sriwacana. Dengan diboyongnya Palangka Sriman ini menandai berakhirnya
kemaharajaan Sunda dan berakhirnya zaman Pajajaran (1482-1579 M).
Palangka
Sriman, yang merupakan simbol tempat
duduk kala seorang raja dinobatkan, kemudian di boyong dari Pakuan ke
Surasowan Banten oleh Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm
diboyong ke Banten karena tradisi politik Sunda waktu itu mengharuskan demikian. Karena, pertama, dengan dirampasnya
Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin
lagi dinobatkan raja baru.
Kedua, dengan memiliki palangka itu,
Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena
buyut perempuannya adalah putri Sri
baduga Maharaja.
Tetapi
Maulana Yusuf tidak bisa memboyong mahkota raja, karena telah diselamatkan oleh
4 ksatria sunda yang disebut Kandaga Lante dan menyerahkannya kepada raja
Sumedang larang.
d. Mahkota yang Diselamatkan ke
Sumedang Larang
Ada 2 simbol
kekuasaan raja pajajaran sehingga diakui sebagai penguasa pajajaran
sesungguhnya, yaitu tempat duduk ketika pengangkatan seorang raja, berbentuk
batu, yang dinamakan Palangka Sriman dan
yang kedua adalah mahkota raja. Maulana
Yusuf karena masih merupakan cicit dari Mahraja jayadewata merasa berhak atas
lambang tahta tersebut, sehingga ia kemudian memboyong atau membawa palangka
sriman sri wacana ke banten surasowan), tetapi ia tidak berhasil merebut
mahkota sebagai lambang sah kerajaan pajajaran. Mahkota ini diselamatkan oleh
empat panglima pajajaran yang sangat terkenal dan di serahkan ke penguasa
Sumedang larang. Sehingga dalam sejarah
sesudahnya, Banten tidak pernah bisa menguasa seluruh tataran sunda, karena
lambang kerajaan yang berupa mahkota, ia tidak dapatkan. Dan Justru seluruh
eks. Kerjaan pajajaran yang tidak dikuasai oleh Cirebon dan banten jatuh ke
kekuasaan kerajaan Sumedang larang.
Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa
jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu ragamulya Surya Kancana,
raja pajajaran terakhir, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Jaya
perkosa (embah Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati
Wiradijaya (Embah Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan
Batara Pencar Buang (Embah Terong peot) berhasil menyelamatkan
atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol
kekuasaan raja Pakuan, kalung bersusun 2
dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu.
Atribut-atribut kebeesaaran tersebut
kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata
(1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu
Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M). Dan Sumedang larang inilah sebenarnya yang
kemudian dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir, yang tidak pernah
bisa dikuasai oleh Banten dan Cirebon.
*) Meskipun tahun alif baru dgunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, tetapi dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun alif.
Adeng Lukmantara
Peminat studi peradaban Sunda klasik
asal Hariang - Buahdua - Sumedang - Jawa Barat
Sumber: Ringkasan dari berbagai artikel & Tulisan di internet
(masih lan.) asal Hariang - Buahdua - Sumedang - Jawa Barat
Sumber: Ringkasan dari berbagai artikel & Tulisan di internet