Naskah
Bujangga Manik adalah naskah primer, yang merupakan peninggalan dari
naskah berbahasa Sunda yang sangat berharga. Naskah ini ditulis dalam
daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini seluruhnya terdiri dari 29 daun nipah, yang masing-masing berisi 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Yang menjadi tokoh dan yang menulis naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik,
seorang resi Hindu dari kerajaan Sunda. Walaupaun ia seorang prabu
(keluarga raja/ bangsawan) dari keraton Pakuan Pajajaran, ia lebih suka
menjalani hidup sebagai seorang resi.
Bujangga Manik melakukan perjalanan 2 kali ke negeri Jawa. Pada perjalanan kedua, ia singgah di Bali untuk beberapa lama serta ke pulau Sumatra dan akhirnya ia bertapa di sekitar gunung Patuha sampai ia meninggal.
Bujangga Manik dalam naskah ini menyebut negri Majapahit, Malaka, dan Demak, hal ini dapat diperkirakan bahwa naskah ini ditulis pada akhir abad ke14 M, atau awal abad ke15 M.
Naskah
ini sangat berharga karena menggambarkan topografi pulau jawa pada awal
abad ke15 M. Lebih dari 400 nama tempat tinggal dan sungai disebut dalam naskah ini dan berbagai nama tempat yang masih digunakan hingga kini.
Naskah ini sekarang tersimpan di perpustakaan Bodleian, di Oxford sejak tahun 1627 M.
Rencanannya dalam tulisan ini akan diceritakan Ringkasan keterangan daerah daerah yang dilaluinya menurut para ahli atau tulisan di buku maupun media lainnya seperti di internet. Jadi untuk sementara kita mengutip terjemahan dari bujangga manik, dan untuk kelanjutannya akan disusun kemudian.
Berikut adalah terjemahan dari tulisan Bujangga manik :
Orang
bijak berkata:
“Keributan
apa ini?
Kenapa
sangat tidak terduga kegelapan dan kehilangan ini?
Tidak
diragukan lagi banyak orang yang sedih.”
Orang
bijak berkata:
“Di
mana terjadinya peristiwa ini?
Seluruh
istana menangis,
seluruh
pengadilan meraung dengan keras,
seluruh
keraton meratap.
Tidak
diragukan peristiwa itu terjadi di Pakancilan,
seorang
pangeran akan pergi,
Pangeran
Jaya Pakuan.
Lalu
ia berkata:
"Bunda,
tetaplah terjaga ketika berada di belakang,
walau
Bunda menarikku sekuat buaya,
pertemuan
ini akan menjadi saat terakhir kita bertatap muka,
kau,
Bunda, dan diriku,
masih
ada satu hari lagi, hari ini.
Aku
akan pergi ke timur.
Setelah
berkata demikian
ia
berdiri dan berangkat,
meregangkan
kakinya dan berjalan.
Setelah
ia meninggalkan pintu masuk aula,
dan
dari mimbar yang paling ujung.
Ia
menapakkan kakinya di tanah,
bayangan
dirinya muncul di luar,
bersama
dengan dirinya,
dan
ia membuka pintu gerbang.
Setelah
melewati Umbul,
setelah
pergi dari Pakancilan,
dan
setelah sampai di Windu Cinta,
aku
tiba di halaman paling luar,
melewati
Pancawara,
untuk
terus pergi ke alun-alun besar,
berjalan
dengan mengenakan sehelai pakaian sebagai hiasan kepala.
Banyak rakyat yang berkata:
“Ke
manakah engkau akan pergi, Tuan?
Kenapa
engkau tiba-tiba bepergian sendiri.”
Walau
mereka bertanya,
aku
tidak ingin berkata apa-apa.
Pergi
ke Pakuen Caringin,
aku
melewatinya dengan segera.
Aku
pergi melewati Nangka Anak,
dan
datang ke Tajur Mandiri.
Setelah
aku tiba di Suka Beureus,
aku pergi ke Tajur Nyanghalang,
turun menuju Engkih,
dan menyeberangi Sungai Cihaliwung.
Setelah
naik menuju ke Banggis,
aku
melewatinya,
dan
sampai di Telaga Hening,
aku
meneruskan perjalanan ke Peusing.
Berjalan
lurus ke depan,
Aku
menyeberangi Sungai Cilingga.
Setelah
tiba di Putih Birit,
aku
harus melakukan sebuah pendakian yang panjang,
yang
aku lakukan sedikit demi sedikit.)
Setelah
tiba di Puncak,
aku
duduk di atas sebuah batu pipih,
dan
mengipasi diriku sendiri.
Di
sana ia melihat pegunungan:
Terdapat
Bukit Ageung,
tempat
tertinggi dalam kekuasaan Pakuan.
Setelah
pergi dari sana,
aku
pergi ke daerah Eronan.
Aku
sampai di Cinangsi,
menyeberangi
Sungai Citarum.
Setelah
berjalan melewati daerah ini,
aku
menyeberangi Sungai Cipunagara,
bagian
dari daerah Medang Kahiangan,
berjalan
melewati Gunung Tompo Omas,
menyeberangi
Sungai Cimanuk,
berjalan
melewati Pada Beunghar,
menyeberangi
Sungai Cijeruk Manis,
aku
berjalan melewati Conam,
meninggalkan
Gunung Ceremay.
Setelah
aku tiba di Luhur Agung,
menyeberangi
Sungai Cisinggarung.
Setelah
mencapai ujung dari Sunda,
menyeberangi
Sungai Cipamali,
tibalah
di daerah Jawa.
Aku
berkelana
melewati wilayah-wilayah
berbeda di Majapahit,
dan
daerah dataran Demak.
Setiba
di Jati Sari,
aku
datang ke Pamalang.
Di
sana aku tidak singgah terlalu lama.
Aku
merindukan ibuku,
yang
telah ditinggalkan terlalu lama.
Aku
harus segera pulang.
Tak
ingin melalui jalan yang telah kulewati.
ttu
kapal dari Malaka.
Turun
aku di Pamalang
lalu
menumpang berlayar.
Tiba
aku di muara,
senapan
ditembakkan tujuh kali,
gong
ditabuh, simbal dibunyikan,
genderang
dan gendang dimainkan,
suara
yang keras datang dari gubuk-gubuk,
bernyanyi
dengan teriakan keras:
“Muara
sungai, pohon pelang.”
“Alas
lantai dari suar gading.”
“Seekor
merak terluka parah oleh seekor rusa.”
Kapal
itu memiliki dek dari bambu gombong,
dan
pilar kapal dari bambu nyowana,
kemudi
kapal itu jenis kemudi India,
kapal
itu direkatkan dengan tali dari rotan muka,
dipadukan
dengan rotan omas,
dan
dicampur rotan walatung.
Pilar
utama kapal terbuat dari kayu laka,
terang
gemerlap, diwarnai merah,
dengan
hebatnya, diwarnai merah tua.
Setelah
aku mengagumi semua itu,
mengagumi
awak kapal:
Para
pendayung adalah orang-orang Tanjung,
para
penimba adalah orang-orang Kelapa,
para
pendayung adalah orang-orang dari Angke,
menggunakan
dua dayung dan dayung ngambang,
juga
menggunakan dayung susu.
Berlayar
setengah bulan,
kami
berlabuh di Kalapa.
Namaku
Ameng Layaran.
Aku
meninggalkan kapal.
Sesampai
di Pabeyan,
aku
berjalan melewatinya,
berjalan
melalui Mandi Rancan,
sampai
di Ancol Tamiang,
dan
melewati Samprok.
Setiba
di hutan yang luas,
aku
menyeberangi Sungai Cipanas,
berjalan
melewati Suka Kandang.
Telah
terlewati olehku Suka Kandang,
aku
menyeberangi Sungai Cikencal.
Sesampai
di Luwuk,
aku
menyeberangi Sungai Ciluwer.
Sesampai
di Peteuy Kuru,
aku
berjalan lewat Kandang Serang.
Setelah
mencapai Batur,
yang
telah kulewati,
aku
menyeberangi Sungai Ciliwung.
Sesampai
di Pakuen Tubuy,
aku
melewati Pakuen Tayeum.)
Setelah
sampai di Batur,
setiba
di Pakancilan,
aku
membuka pintu gerbang,
dan
pergi menuju rumah tamu,
rumah
tamu yang dihias dengan baik.
Paviliun
yang dihiasi dengan indah,
balok
lintang diikat dengan baik,
dengan
bagian lis
diwarnai
merah tua,
pilar
perabungan yang disepuh,
lantai
dan pilar-pilar yang terbuat dari beuteung tua,
diikat
bersama dengan ikatan ala Jawa.
Sang pangeran naik ke atas,
dengan penuh khidmat duduk
di atas dipan.
Ibundaku sedang menenun
di beranda rumahnya,
sangat khusyuk menenun
tenunan,
Sedang menyulam,
memperindah
menggosok benang wol yang
mengkilap,
merebus sappan dan memasak ayam.
Melirik ke arah rumah tamu,
dia menengokkan kepalanya
dan melihat,
lalu menatap dengan
saksama.
Ibuku lalu berkata:
“Tuh, itu anakku!
Sekarang telah kembali dari
timur,
kembali dari timur jauh,
telah kembali dari Rabut
Palah.
Anakku, kemari, duduklah di sini!
Anakku, kemar,
beristirahatlah!
Aku akan mengambil sugi
buah pinang.”
Tenunan lalu diletakkan,
tali dilepaskan,
beban dilepaskan dari
punggungnya,
diri diapit pada paha,
alas kaki dari tapak kaki.
Lalu dia berdiri seperti
angsa.
Setelah memasuki rumah,
dia menutup kembali tirai.
Rumbai dari tirai terdengar,
berderik dan gemerincing,
ketika mereka bergerak
turun dari atas papan jati.
Yang menarik adalah beberapa jenis tirai,
tirai-tirai dilipat tujuh
kali,
tirai yang cantik dengan
pinggiran yang terbuat dari sutra,
tirai pahang dengan
pinggiran merah,
bedong dengan pinggiran
dari kain bayambon,
baling dengan pinggiran yang
terbuat dari kain kacambang.
Naik ke atas tempat tidurnya,
dia mencari-cari di dalam
peti miliknya,
diambil baki tempat pinang,
diambil setangkai buah
pinang,
di naba biji-bijinya
menempel di rantingnya,
pinang tiwi dan pinang
gading,
sesuai dengan apa yang dia
suka.
Lalu dia menyiapkan sugi untuk pinang,
diolesinya dengan doth upacara,
doth yang
disepuh.
Ketika sudah menyiapkan
sugi untuk pinang,
dia mengambil sisir kayu
jatinya.
Setelah menyisir rambutnya,
diambil tas besar miliknya,
lalu diambil setangkai
kupa,
diletakkannya di sela
telinga
Kemudian dia berdandan,
lalu membedaki pipinya.
Begitu indahnya dia menimbulkan kecemburuan,
mengenakan kain calingcing,
pada bagian bawah
mengenakan kain mahal.
Seturun dari kamar
tidurnya,
dia bergegas menuju ruang
tengah,
dan menuju balik pintu,
melangkah di atas tangga,
kemudian menapakkan kakinya
di tanah,
bayangannya muncul di luar,
bersamaan dengan dirinya.
Dia menapak tanah dengan gemuruh,
bergoyang ketika Putri Bancana
melangkah di atas bayangannya.
Sep, sap, rok menyentuh tumitnya,
membelah ke dalam paha
coklat keemasannya,
ketika dia berjalan menuju
rumah tamu.
Sang putri turun,
duduk di atas tandu,
dan menawarkan sugi pinang.
Ibuku berbicara demikian:
“Anakku, silakan ambil sugi
itu!”
Ameng Layaran berkata:
“Ibunda, izinkan aku
mengunyah.”
Kita tinggalkan mereka
mengunyah pinang..
Marilah kita berbicara
tentang Jompong Larang.
Sepergi turun dari istana,
melewati ruangan umum,
turun ke arah Pancawara,
lalu membuka gerbang,
dan berjalan melalui Pakuen
Dora.
Berjalan aku ke arah barat,
menyeberangi Sungai
Cipanangkilan.
Setelah sampai di Pakuen
Teluk,
tiba di Pakancilan,
membuka pintu gerbang.
Yang bernama Jompong Larang,
Melirik ke arah rumah tamu.
Jompong Larang berkata:
“Oh, di mana pertapa yang
ada di sini?"
Pertapa itu datang dari timur,
mengenakan pakaian bercorak
puranteng,
ikatan dengan sulaman
Baluk,
sehelai selendang sutra
Cina,
memiliki cambuk dari rotan
walatung,
dihias dengan garis-garis
keemasan,
berkas rambutnya seperti
jengger ayam.
Duduk di atas dipan,
satu kaki diangkat dan
bersandar pada satu tangan,
pati yang dilukis ada di
sebelahnya,
dan mengunyah pinang dengan
tenang.
Dia yang dipanggil Jompong Larang,
benar-benar terlihat tergoda,
dia memerhatikannya dan
menelitinya,
dia memerhatikannya dengan
seksama,
dari kepala sampai kaki,
benar-benar tergoda oleh
bentuk tubuhnya:
Pahanya padat, pergelangan tangannya molek,
jari tangannya runcing,
kukunya panjang,
alisnya melengkung, pelipisnya
menyatu,
susunan giginya yang indah,
bergerak miring (?) dan
merah karena mengunyah pinang.
Dia yang dipanggil Jompong Larang,
sangat gugup, ceroboh,
mudah terganggu,
dan berjalan seperti gajah
jawa.
Setiba di istana,
[dia melihat] sang Putri
sedang menenun,
sedang menenun, mencelup
ikat,
In…(?) dan warping,
mencelup warna biru,
kuning, dan merah,
menggosok benang wol yang
mengkilat.
Putri Ajung Larang
Sakean Kilat Bancana,
mengenakan pakaian dengan
cerobohnya, pinggangnya terlihat,
dadanya menonjol ke depan.
Demikian dia duduk di atas matras,
peti buatan Cina di
sebelahnya,
peti cina yang mengkilap,
berasal dari seberang
lautan.
Putri Ajung Arang
melirik dari sudut matanya,
menengokkan kepala dan
melihat,
lalu menatap dengan
seksama.
“Lihat! Itu dia Jompong!
Seperti apakah pesan
darinya?
Kenapa dia terburu-buru?”
Dia yang bernama Jompong
Larang
menaiki tangga dan duduk di
atas lantai.
Putri Ajung Larang berkata:
“Jompong, apa yang ingin
kau sampaikan?
Kenapa tiba-tiba?”
Dia yang bernama Jompong Larang
memberikan penghormatan,
duduk dalam keadaan emok,
dengan sopan menunjukkan
jari-jemarinya ke atas.
Jompong Larang
berkata:
“Putri kami, Putri Ajung
Larang
Sakean Kilat Bancana,
sangatlah indah apa yang ku
lihat:
Seseorang laki-laki sangat
tampan.
tampan, adil,
sangat cocok dengan Putri
Ajung Larang!”
Putri Ajung Larang berkata:
“Jompong, siapa namanya?”
Jompong Larang menjawab:
“Mohon maaf, Putri, nama
laki-laki itu Ameng Layaran,
seorang laki-laki yang
sangat tampan,
lebih tampan dari Banyak
Catra,
lebih tampan dari Silih
Wangi,
bahkan lebih tampan dari
keponakan Putri.
Ia tinggi dan sangat
diidam-idamkan,
laki-laki untuk dipeluk dan
dibelai di beranda,
untuk ditimang-timang di
ranjang,
ditimbang oleh peraturan,
untuk dirangkul di ruang
tidur.
Selain itu ia bisa bahasa
Jawa,
mengetahui isi dari
kitab-kitab,
mengenal susunan buku-buku,
mengetahui hukum dan
nasihat-nasihat,
mengenal sanghyang darma.”
Ketika mendengar berita ini,
Putri kami Ajung Larang
Sakean Kilat Bancana
membayangkannya dalam
pikiran.
Dia merasa terbakar karena cinta,
merasa dikendalikan nafsu.
tenunan diletakkan,
melepas tali ikatan,
beban berat yang musti
dipikul,
diri diapit di paha,
gerak diri di telapak kaki.
Lalu dia bangkit bagaikan angsa.
Setelah memasuki rumah,
dia menyingkap tirai.
Rumbai tirai terdengar,
berderik dan gemerincing,
ketika mereka bergerak
turun di atas papan jati
Yang menarik adalah beberapa jenis tirai,
tirai-tirai dilipat tujuh
kali,
tirai yang cantik dengan
pinggiran yang terbuat dari sutra,
tirai pahang dengan
pinggiran merah,
bedong dengan pinggiran
dari kain bayambon,
balang dengan pinggiran yang
terbuat dari kain kacambang.
Naik ke atas tempat tidurnya,
dia mencari-cari di dalam
peti miliknya,
diambil baki untuk buah
pinang,
diambil beberapa biji
pinang.
Sang Putri kemudian melipat beberapa lembar
daun pinang,
membungkus pinang dia dapat
25 buah,
menumbuk pinang dia
dapat 10 buah,
mempersiapkan pinang dia
dapat 8 buah.
Dibungkus pinang itu dengan fringe threads of
frocks,
digosoknya dengan kapur,
kapur dari Karawang,
kapur cangkang kerang dari
Malayu,
didatangkan oleh nahkoda.
Ditambahkan biji pinang tiwi,
pinang tiwi yang rebus,
pinang gading, mengkilat
kuning,
sesuai dengan selera
orang-orang.
Dibelah biji pinang dengan gunting,
dibelah menjadi dua bagian,
dipotongnya lagi menjadi
tiga bagian,
lalu jadi enam bagian.
Disusun mereka di atas baki pinang,
disusun hati-hati,
ditutupi kain khusus
upacara.
Ada benda-banda lain:
Ditambah bedak dari batu
kapur,
guci penuh wewangian kayu
cendana,
bunga yang masih baru di
jambangan,
zat kelenjar rusa jantan
dan majakani,
jaksi dan kamisadi,
jaksi pandanus dan
kemenyan,
dua cabang wijen,
diperciki dengan air mawar,
narawastu agur-agur,
semuanya dari seberang
lautan.
Ada pula benda-benda lainnya:
Dicari tas besar miliknya,
diambilnya pakaian lemur,
ikat pinggang dengan gambar
wayang,
sebilah keris malela,
semua benda itu menakjubkan,
bersama-sama buah reumbeuy.
Putri Ajung Larang berkata:
“Jompong kembalilah,
ambil benda-benda ini
[sebagai hadiah dariku,
bawa benda-benda ini pada
ibu.
Tolong beri tahu atas namaku:
“[ini adalah] sugi untuk
mengingatkan akan diriku,
dari Putri Ajung Larang
Sakean Kilat Bancana.
Bila mereka benar-benar menerima,
Sang Putri berkata bahwa,
dia sendiri yang akan
datang.”
Dia yang bernama Jompo Larang,
setelah menerima perintah
itu,
meninggalkan istana,
berjalan dengan peti di
atas kepalanya,
membawa baki berisi pinang
di tangannya,
memegang pakaian di
tangannya yang lain
Dia berjalan melewati aula besar,
turun ke Pancawara,
membuka gerbang,
berjalan melewati Pakuen
Dora,
terus berjalan ke arah
timur,
menyeberangi Sungai
Cipakancilan.
Ketika tiba di Pakuen Teluk,
sampai di Pakancilan,
dia membuka gerbang.
Wanita yang bernama Jompo Larang,
pergi menuju beranda rumah.
Dia melihat Putri yang sedang duduk
(di atas matras),
melirik, menengok,
lalu menatap dengan
sungguh-sungguh.
Sang ibu mulia berkata:
“Lihat! Itu Jompong!
Pesan apa yang dia bawa?
Tampak membawa peti di atas
kepalanya,
memegang baki pinang di
tangannya.”
Sang Putri berkata:
“Jompong, marilah duduk,
cepatlah naik ke atas!”
Ketika Jompong telah naik,
dia mempersembahkan sugi
pinang.
Sang Putri berkata:
“Jompong, pesan apa yang
kau akan sampaikan,
sambil membawa sugi pinang?”
Sebagai jawaban,Jompong Larang,
dengan sopan menunjukkan
jari-jemarinya ke atas,
memberikan penghormatan,
lalu berkata,
menjawab dengan baik:
“Hamba mohon ampun! Hormat
untuk Shiwa!
Hamba diperintahkan oleh
Putri (dari istana),
Putri kami Ajung Larang
Sakean Kilat Bancana,
membawa sugi ini untuk
mengingat kebaikannya.
Bila sugi ini diterima dengan sungguh-sungguh,
Sang Putri berkata bahwa
dia akan datang,
dia sendiri yang akan
datang.”
Sang ibu yang mulia berkata:
“Biarlah kutanya anakku.”
Ibuku berkata:
“Bujangga Manik yang mulia,
Rakean Ameng Layaran,
anakku, dirimu diminta,
diminta oleh Putri,
oleh Putri Ajung Larang
Sakean Kilat Bancana.
Sugi pinang di rumah,
baru saja dibawa oleh
Jompong
dari istana, dari Putri.
Sugi pinang dengan cermat dipersiapkan,
disusun di atas baki
pinang,
ditutup dengan kain khusus
upacara,
disiapkan dengan rapi.
Benda apakah yang mungkin tidak ada?
Sugi tunggal, sugi jawa,
benda-benda yang dilipat
Mereka yang memadamkan, mereka yang
menyalakan,
mereka yang menggiling di
paha,
mereka yang memukul di
dada,
dan menyelesaikan di
payudara,
diikat oleh kain,
yang bermaksud meminang
seorang laki-laki muda,
disiapkan untuk
menggairahkan semangat perjaka;
sugi dipersiapkan oleh
seorang putri,
tidak diberikan bila bukan
karena berhasrat;
sugi ditawarkan oleh seorang putri,
tidak diberikan bila bukan
karena ingin;
sugi berbentuk seperti rakit yang mengapung,
seperti genderang
peringatan,
seperti berlutut pada dewa,
sugi cinta membangkitkan
cinta,
kapur barus langka untuk
pakaian,
bunga yang indah
dikelilingi kadal bunting,
raja dari sugi pinang di
Pakuan,
pinang tiwi dan pinang
gading,
pinang tiwi direbus dalam
air,
dicelupkan pada zat
kelenjar rusa jantan,
kapur barus dalam guci,
bunga resa dalam jambangan,
zat kelenjar rusa jantan
dan majakani,
jaksi dan kamisadi,
dilapisi intan dan permata,
dua cabang wijen,
diperciki air mawar,
narawastu dan agur-agur,
semuanya wewangian dari
seberang lautan.
Semua sugi pinang bawaab Jompong,
dengan semua jenis pakaian,
pakaian-pakaian dan juga
semua jenis buah-buahan,
sugi untuk diingat,
dari istana, dari sang
Putri.
Anakku, jangan menolak,
kasihanilah sang Putri.
Bila kau setuju,
maka akan ada lebih banyak
hadiah [dari benda-benda ini],
hadiah-hadiah dari Putri.
Ada sutra limur untuk
dijadikan pakaian,
ikat pinggang bergambar
wayang untuk dipakai,
keris malela untuk
digunakan.
Bila kau berkata kau setuju,
maka akan ada lebih banyak
lagi
Ada hadiah simbolis,
kapur barus untuk mengusir
perasaan benci,
yang dicelupkan dalam air
pinang,
dibungkus oleh cotton
flocks,
disebut dengan rakit
cendana.
Anakkku, jangan ragu-ragu untuk berbicara,
kasihanilah sang Putri.
Bila kamu setuju,
maka akan ada banyak hadiah
melebihi benda-benda ini.
Sang Putri berkata bahwa
dia akan datang,
dia sendiri yang akan
datang.
Karena Sang Putri telah berkata:
“Bila aku datang,
aku akan memberikan diriku,
aku akan terjun seperti
elang,
menerkam seperti harimau,
meminta untuk dijadikan
kekasih.”
Anakku, janganlah menolak,
kasihanilah sang Putri.
"Mungkin kau tidak
tahu,
Sang Putri rupawan berkulit
indah bercahaya,
tubuh molek dan perilaku
baik,
selain cantik juga memunyai
keahlian,
terlindungi dengan baik dan
tak dapat dikalahkan,
rambut bewarna hitam
kebiru-biruan,
berilmu tanpa diajarkan,
cantik dari sejak lahir,
adil sejak dikeluarkan dari
kandungan,
dia tidak ada
tandingannya.”
Laki-laki muda itu berkata:
“Oh, ibunda, ini buruk
sekali!
Bila kata-kataku diikuti,
hal ini tidak seharusnya
dianggap,
kata-kata ini terlarang.
Semoga tidak terbawa."
Pergi dan bawa pulang sugi tersebut,
pergi bersama Jompong,
ke istana, pada Sang Putri.
Bawa sugi pinang itu kembali,
bawa semua jenis
buah-buahan itu kembali,
wewangian dan perhiasan
itu,
bawa semua kembali.
Pakaian, ikat pinggang,
dan keris malela,
pergi dan bawa kembali!
Semua ungkapan simbolis itu,
kata-kata dari teka-teki
sang Putri,
diriku akan mengatakan
maknanya.
Kata tersembunyi dalam
rakit adalah sakit.
Kata-kata tersembunyi di balik kayu cendana:
Sang Putri selalu dalam
keadaan sakit.
Kata-kata tersembunyi dalam air pinang:
adalah air mata sang Putri.
Kata-kata tersembunyi di balik hasiwung
merujuk pada kelemahan dari
tubuh sang putri,
yang disebabkan
keinginannya akan diriku,
sebuah penyakit yang tidak
akan dapat ditolak.
Aku mencintai apa yang telah aku dapatkan dari
ibadah,
kedudukan guruku,
kedudukan orang bijak.
Bila kata-kataku diikuti,
pergi dan bawa (semua)
kembali,
pergilah bersama Jompong,
ke istana, pada sang Putri.
Ketika kau telah sampai di istana,
jangan salah menyampaikan
pesanku,
sehingga mencegahku menjadi
Buatlah dia nyaman dengan kata-kata,
berdoalah agar hatinya
dikuatkan,
dengan cara menjadi sahabat
sang Putri.
Bunda, engkau harus
memberitahunya:
“Kita tidak boleh melakukannya, anakku
menolak.”
Biarkan kesendirian
menentang keadaan,
aku bahkan tidak merasa
terdorong,
aku memilih untuk tetap
sendiri.
Lagi pula, aku baru saja datang dari
pegunungan,
baru saja tiba dari timur,
datang dari Gunung
Damalung,
tiba dari Gunung Pamrihan,
dari wilayah pembelajaran
agama,
secara menyeluruh diajari,
secara menyeluruh memahami
hukum,
dengan kuat diilhami oleh
aturan-aturan,
setia pada apa yang sudah
dijelaskan,
setelah menerima seluruh
perintah.
Itulah mengapa aku pergi bersama para pertapa,
itulah mengapa diriku
berjalan dengan orang-orang suci,
mengikuti para kepala
biara,
guru-guru, dan orang-orang
bijaksana
Seluruh teman perjalananku adalah pendeta.
Kematian tidak akan
menemukanku
di kota ini,
tentu saja hal ini adalah
doa ibuku.
Ibuku menunjukkanku jalan yang salah,
ke tempat kematian,
memberitahuku jalan menuju
kuburan,
menyebarkan talas gatal,
untuk orang-orang yang
bertapa,
dengan membuka dan
memudahkan
jalan menuju penderitaan.
Bunda, lihatlah aku,
kenapa harus begini?
Kita tidak boleh menganggap uban di rambut
Atau memeriksa tubuh yang
tua.
Salah memerintah pada anak
muda itu.
Aku tidak puas,
hal ini berlebihan,
benar-benar berlebihan!
Aku anak piatu,
aku tak berayah,
ada ibu tetapi keliru
membimbingku keluar dari
...
Ibuku merasa rahasianya terungkap,
merasa pusing tanpa
mengunyah pinang,
mabuk tanpa meminum tuak,
mengigau padahal tak sakit.
Bunda, tentu engkau tidak gila,
karena itu engkau kuat dan
murung [?]
Lihatlah, nenek tidak
menyimpan tabu,
dahulu, ketika beliau
mengandung.
Nenek memakan jantung pisang,
mengalami squirrel
convulsions,
memakan ikan beunteur,
memakan yang akan
bertelur.
Keberatankah Ibu, mengapa hal ini terjadi
seperti ini.
Ibuku, selamat tinggal.
Saat ini terakhir kalinya
kita bertatap muka.
Ibu, kau, dan diriku.
Masih ada satu hari lagi,
hari ini,
bertatap muka denganku.
Kita tidak akan berbicara lagi,
kecuali dalam mimpi,
kita akan bertemu di bulan,
kita akan merasakan tubuh
kita dalam angin.
Setelah berkata-kata,
diambilnya tas kampek
karancang,
diletakkan buku termasyur
ke dalamnya,
bersama dengan Siksaguru.
Tongkat milikku berkepala
lima,
cambukku dari rotan
walatung.
“Bunda, tetaplah terjaga saat ditinggal,
meski Bunda menarikku
sekuat buaya,
aku akan pergi ke
Balumbungan,
ke arah timur Talaga Wurung,
di atas puncak pulau ini,
pada puncak paling timur,
mencari tanah untuk
makamku,
mencari lautan untuk
hanyut,
tempat matiku kelak,
tempat membaringkan
tubuhku.”
Ia berdiri dan berangkat,
meregangkan kakinya dan
pergi.
Meninggalkan tempat di mana
mereka duduk,
turun dari ujung mimbar,
berjalan turun pelan-pelan.
Setelah meninggalkan aula-masuk,
dan melewati alun-alun
istana,
membukakan pintu gerbang.
Sepeninggal Pakancilan,
dan Umbul Medang ada di
belakang,
pergi ke Gonggong, ke Umbul
Songgol.
Setelah melewati Leuwi Nutug,
dan pergi dari Mulah Malik,
itulah jalan ke Pasagi,
jalan menuju Bala Indra,
aku meninggalkan Paniis.
Setelah melewati Tubuy,
aku menyeberangi Sungai
Cihaliwung,
naik menuju Sanghiang
Darah,
dan sampai di Caringin
Bentik.
Setelah naik menuju Bala Gajah,
aku berjalan melewatinya,
bergerak turun ke Kandang
Serang,
dalam perjalanan menuju
Ratu Jaya.
Ketika aku berjalan melalui tempat itu,
aku sampai di Kadu Kanaka,
menyeberangi Sungai
Cileungsi,
memutar ke arah selatan
menuju Gunung Gajah.
Setelah tiba di Bukit Caru,
tanda peringatan dari Raja
Cupak,
menuju arah timur ke
Citeureup,
aku sampai di Tandangan,
menyeberangi Sungai Cihoe,
menyeberangi sungai
Ciwinten,
dan sampai di Cigeuntis.
Setelah naik ke Goha,
setiba di Timbun,
pergi menuju Bukit Timbun,
aku tiba di Mandata,
menyeberangi Sungai
Citarum,
berjalan melewati Ramanea.
Setiba di Gunung Sempil,
berada di belakang Gunung
Bongkok,
dan tiba di Gunung
Cungcung,
dalam wilayah Saung Agung,
Telah aku lalui,
lalu berbelok menuju timur,
menyeberangi Sungai
Cilamaya,
menyeberangi Sungai
Cipunagara,
dalam wilayah Medang
Kahiangan,
berjalan melewati Gunung
Tompo Omas,
menyeberangi Sungai
Cimanuk,
pergi melalui Pada
Beunghar,
menyeberangi Sungai
Cijeruk-Manis.
Aku berjalan melewati Conam,
Gunung Ceremay telah
kutinggalkan,
Timbang dan Hujung Barang,
Kuningan Darma Pakuan,
semua tempat itu telah
kulalui.
Setelah tiba di Luhur Agung,
aku menyeberangi Sungai
Cisinggarung.
Setelah tiba di ujung Sunda,
sampailah di Arga Jati,
dan tiba di Jalatunta,
yang menyimpan kenangan
Silih Wangi.
Setelah pergi dari tempat itu,
aku menyeberangi Sungai
Cipamali,
menuju selatan Gunung
Agung,
ke bagian sebelah kiri
wilayah Brebes.
Berjalan melewati Medang Agung,
menyeberangi Sungai
Cibulangrang,
berjalan melewati Gunung
Larang,
pedalaman di wilayah
Gebuhan,
aku berjalan melewati
Sangka,
melewati Suci, ke Agi-Agi,
melewati Moga Dana Kreta.
Setelah pergi dari tempat itu,
aku menyeberangi Sungai
Cicomal,
menyeberangi Sungai
Cipakujati,
berjalan melewati Sagara,
sampai di Balingbing,
kekuasaan Arga Sela,
dari Kupang dan Batang.
Ke arah kiri ke Pakalongan.
Setelah tiba di Gerus,
di Tinep dan Tumerep,
aku telah melaluinya,
tiba di wilayah Tabuhan,
tiba di Darma Tumulus,
berjalan melewati Kali Gondang.
Setiba di Mano Hayu,
berjalan melewati
Panjinaran,
sampailah aku di Panjalin.
Setiba aku di Sembung,
berjalan melewati
Pakandangan.
Sedatang aku ke Padanara,
menunjuk pegunungan di arah
selatan:
terdapat Gunung Rahung,
dari arah barat Gunung Dieng,
ada Gunung Sundara,
ada Gunung Kedu,
di selatan ada Gunung
Damalung,
tempat-tempat itu adalah
wilayah Pantaran,
itulah Gunung Karungrungan,
di mana terdapat
peninggalan dewa-dewa,
ketika merindukan
dewi-dewi.
Di arah timur terdapat Gunung Merapi,
menjaga peninggalan
Darmadewa,
yang merupakan wilayah
Karangian.
Aku meninggalkan Danara,
datang ke Pidada.
Setelah aku tiba di Jemas,
di sebelah kiriku adalah
wilayah Demak,
ke arah timur Gunung
Welahulu.
Aku berjalan melalui
Pulutan,
pergi ke Medang Kamulan.
Setelah tiba di Rabut Jalu,
aku berjalan melewati
Larangan.
Setelah tiba di Jempar,
aku menyeberangi Sungai
Ciwuluyu,
tiba di wilayah Gegelang,
ke arah selatan Medang
Kamulan,
lalu tiba di Bangbarung
Gunung.
Setiba di Jero Alas,
aku menyeberangi Sungai
Cangku,
berjalan melewati Daha.
Setelah meninggalkan tempat itu,
tibalah aku di Pujut,
menyeberangi Sungai
Cironabaya,
berjalan melewati Rambut
Merem.
setiba di Wakul,
sampai di Pacelengan,
aku berjalan melewati
Bubat,
dan tiba di Maguntur,
alun-alun Majapahit,
pergi melewati Darma Anyar,
dan Karang Kajramanaan,
sebelah selatan Karang
Jaka.
Setiba di Palintahan,
setelah meninggalkan
Majapahit,
aku mendaki Gunung Pawitra,
gunung suci Gajah Mungkur.
Ke arah timur adalah wilayah Gresik,
ke arah selatan Gunung
Rajuna.
Telah kulalui,
aku berjalan melewati
Patukangan,
dan tiba di Rabut Wahangan,
berjalan ke arah timur.
Lereng Gunung Mahameru,
Aku melewatinya di sisi
sebelah utara.
Sampai di Gunung Brahma,
tibalah aku di Kadiran,
di Tandes, di Ranobawa.
Berjalan aku ke timur-laut.
Tiba aku di Dingding,
pusat kedudukan dewaguru.
Sepergi dari tempat itu,
tibalah di Panca Nagara.
Setelah aku tiba di
Sampang,
sesampai di Gending,
aku menyeberangi Sungai
Cirabut-Wahangan.
Setelah aku tiba di Lesan,
yang merupakan wilayah
Panjarakan,
kuberjalan ke arah
tenggara,
berjalan melewati Kaman
Kuning,
melewati Gunung Hiang,
yang aku lewati dari sisi
utara.
Ketika aku tiba di Gunung Arum,
yang merupakan wilayah
Talaga Wurung,
ke arah utara adalah Panarukan,
ke arah kiri adalah
Patukangan.
Sesampai di Balangbungan,
di sana aku bertapa,
Sementara melepas lelah.
Kemudian aku bercocok tanam,
lalu mendirikan lingga,
menyembah ... memuja ...,
berdoa untuk kekuatan diri.
Di sana aku tidak tinggal lama,
Selama satu tahun lebih.
Lalu datanglah godaan.
Datanglah seorang pertapa
wanita,
yang tampaknya mencari
teman.
Dia suatu kali mengangkatku sebagai saudara
tua,
katanya: “Saudara, kakakku,
Bujangga Manik yang
terhormat,
lihatlah aku, seorang
biarawati,
aku akan menjadi seorang
pertapa,
daripada harus mengalami
kesulitan sendiri,
disulitkan dengan tubuh
jasmaniah,
tertarik pada sebuah
penampilan.”
Bujangga Manik berkata:
“Aku mengerti apa yang kau
maksud.
Aku memiliki buku,
judulnya Siksaguru.)
Setiba di Gunung Sempil,
berada di belakang Gunung
Bongkok,
dan tiba di Gunung
Cungcung,
dalam wilayah Saung Agung,
Telah aku lalui,
lalu berbelok menuju timur,
menyeberangi Sungai
Cilamaya,
menyeberangi Sungai
Cipunagara,
dalam wilayah Medang
Kahiangan,
berjalan melewati Gunung
Tompo Omas,
menyeberangi Sungai
Cimanuk,
pergi melalui Pada
Beunghar,
menyeberangi Sungai
Cijeruk-Manis.
Aku berjalan melewati Conam,
Gunung Ceremay telah
kutinggalkan,
Timbang dan Hujung Barang,
Kuningan Darma Pakuan,
semua tempat itu telah
kulalui.
Setelah tiba di Luhur Agung,
aku menyeberangi Sungai
Cisinggarung.
Setelah tiba di ujung Sunda,
sampailah di Arga Jati,
dan tiba di Jalatunta,
yang menyimpan kenangan
Silih Wangi.
Setelah pergi dari tempat itu,
aku menyeberangi Sungai
Cipamali,
menuju selatan Gunung
Agung,
ke bagian sebelah kiri
wilayah Brebes.
Berjalan melewati Medang Agung,
menyeberangi Sungai
Cibulangrang,
berjalan melewati Gunung
Larang,
pedalaman di wilayah
Gebuhan,
aku berjalan melewati
Sangka,
melewati Suci, ke Agi-Agi,
melewati Moga Dana Kreta.
Setelah pergi dari tempat itu,
aku menyeberangi Sungai
Cicomal,
menyeberangi Sungai
Cipakujati,
berjalan melewati Sagara,
sampai di Balingbing,
kekuasaan Arga Sela,
dari Kupang dan Batang.
Ke arah kiri ke Pakalongan.
Setelah tiba di Gerus,
di Tinep dan Tumerep,
aku telah melaluinya,
tiba di wilayah Tabuhan,
tiba di Darma Tumulus,
berjalan melewati Kali
Gondang.
Setiba di Mano Hayu,
berjalan melewati
Panjinaran,
sampailah aku di Panjalin.
Setiba aku di Sembung,
berjalan melewati
Pakandangan.
Sedatang aku ke Padanara,
menunjuk pegunungan di arah
selatan:
terdapat Gunung Rahung,
dari arah barat Gunung
Dieng,
ada Gunung Sundara,
ada Gunung Kedu,
di selatan ada Gunung
Damalung,
tempat-tempat itu adalah
wilayah Pantaran,
itulah Gunung Karungrungan,
di mana terdapat
peninggalan dewa-dewa,
ketika merindukan dewi-dewi.
Di arah timur terdapat Gunung Merapi,
menjaga peninggalan
Darmadewa,
yang merupakan wilayah
Karangian.
Aku meninggalkan Danara,
datang ke Pidada.
Setelah aku tiba di Jemas,
di sebelah kiriku adalah
wilayah Demak,
ke arah timur Gunung
Welahulu.
Aku berjalan melalui
Pulutan,
pergi ke Medang Kamulan.
Setelah tiba di Rabut Jalu,
aku berjalan melewati
Larangan.
Setelah tiba di Jempar,
aku menyeberangi Sungai
Ciwuluyu,
tiba di wilayah Gegelang,
ke arah selatan Medang
Kamulan,
lalu tiba di Bangbarung
Gunung.
Setiba di Jero Alas,
aku menyeberangi Sungai
Cangku,
berjalan melewati Daha.
Setelah meninggalkan tempat itu,
tibalah aku di Pujut,
menyeberangi Sungai
Cironabaya,
berjalan melewati Rambut
Merem.
Setiba di Wakul,
sampai di Pacelengan,
aku berjalan melewati
Bubat,
dan tiba di Maguntur,
alun-alun Majapahit,
pergi melewati Darma Anyar,
dan Karang Kajramanaan,
sebelah selatan Karang
Jaka.
Setiba di Palintahan,
setelah meninggalkan
Majapahit,
aku mendaki Gunung Pawitra,
gunung suci Gajah Mungkur.
Ke arah timur adalah wilayah Gresik,
ke arah selatan Gunung
Rajuna.
Telah kulalui,
aku berjalan melewati
Patukangan,
dan tiba di Rabut Wahangan,
berjalan ke arah timur.
Lereng Gunung Mahameru,
Aku melewatinya di sisi
sebelah utara.
Sampai di Gunung Brahma,
tibalah aku di Kadiran,
di Tandes, di Ranobawa.
Berjalan aku ke timur-laut.
Tiba aku di Dingding,
pusat kedudukan dewaguru.
Sepergi dari tempat itu,
tibalah di Panca Nagara.
Setelah aku tiba di Sampang,
sesampai di Gending,
aku menyeberangi Sungai
Cirabut-Wahangan.
Setelah aku tiba di Lesan,
yang merupakan wilayah
Panjarakan,
kuberjalan ke arah
tenggara,
berjalan melewati Kaman
Kuning,
melewati Gunung Hiang,
yang aku lewati dari sisi
utara.
Ketika aku tiba di Gunung Arum,
yang merupakan wilayah
Talaga Wurung,
ke arah utara adalah
Panarukan,
ke arah kiri adalah
Patukangan.
Sesampai di Balangbungan,
di sana aku bertapa,
Sementara melepas lelah.
Kemudian aku bercocok tanam,
lalu mendirikan lingga,
menyembah ... memuja ...,
berdoa untuk kekuatan diri.
Di sana aku tidak tinggal
lama,
Selama satu tahun lebih.
Lalu datanglah godaan.
Datanglah seorang pertapa
wanita,
yang tampaknya mencari
teman.
Dia suatu kali mengangkatku
sebagai saudara tua,
katanya: “Saudara, kakakku,
Bujangga Manik yang
terhormat,
lihatlah aku, seorang
biarawati,
aku akan menjadi seorang
pertapa,
daripada harus mengalami
kesulitan sendiri,
disulitkan dengan tubuh
jasmaniah,
tertarik pada sebuah
penampilan.”
Bujangga Manik berkata:
“Aku mengerti apa yang kau
maksud.
Aku memiliki buku,
judulnya Siksaguru.
Dikatakan dalam buku ini:
‘Seperti api,
bila berada di dekat serat
kelapa,
pasti akan terbakar,
demikian pula dengan
laki-laki dan perempuan'.”
Setelah aku pergi dari
tempat itu,
Aku mendatangi pantai,
mudah-mudahan ada orang
yang berlayar,
aku ingin menumpang sampai
Bali.
Sesampai aku di laut,
berjalan di sepanjang
pantai,
datang ke pantai [?],
menanyai orang-orang yang
akan pergi ke Bali.
Di sana terdapat seseorang.
Terlihat seorang nahkoda
kapal
nahkoda Selabatang,
yang akan menyebrang ke
Bali,
dari sana berencana
berlayar ke Bangka.
Aku ingin ikut menumpang.
Bujangga Manik
Rakean Ameng Layaran
berkata:
“Tuanku Nahkoda,
Aku ingin ikut menumpang
sampai Bali.
Bila setiba di sana,
aku akan memberikan
penghargaan [sebagai tanda terima kasih)
Nahkoda Sabalatang berkata:
“Bila kau ingin
menyeberangi lautan,
jangan khawatir.
Ayo naiklah ke perahu,
Naik ke …. duduk di kabin.”
Setelah naik ke atas kapal,
Aku mengagumi kapal ini.
Kapal [dibuat dari] kayu jati yang diukir,
bagian atasnya berbentuk
naga,
kapal ini melengkung pada
kemudinya.
Aku mengagumi kapal ini.
Dibuat dengan sangat elok,
Memiliki dek dari bambu
gombong,
pilar kapal dari bambu
jowana,
dek bawah dari bambu
kuning,
satu dek penuh oleh kayu
aren dewasa,
dilapisi oleh bambu seah.
Kemudinya orang Keling [India].
Pilar utamanya dari kayu
laka,
bercahaya dengan terang,
diwarnai merah.
Kapal itu disatukan dengan tali-tali dari
rotan muka,
dipadukan dengan rotan
walatung,
dicampurkan dengan rotan
omas.
Penupang dari kawat cina.
Dayung-dayung berkilauan
pada penyangga mereka,
25 dayung pada setiap sisi.
Setelah mengagumi semua ini,
aku kagum dengan para awak
kapal,
datang dari pelbagai pulau.
Yang mendayung orang Marus,
yang babose orang Angke,
para pelaut orang Bangka,
kelasi orang Lampung,
kemudi orang Jambi,
juru tembak dari Bali,
juru panah dari Cina,
peniup sumpit orang Malayu,
para petarung dari Salembu,
para prajurit dari
Makassar,
pelayan kelasi orang Pasai,
para penimba dari Jompong
Sagala,
timba terbuat gayung perak.
Tembok kabin putih, tunas nipah
menjulang tinggi pilar dari
dek-kabin.
Layar berkembang seperti bunga,
angin bertiup, layar
terkembang.
Senapan ditembakkan tujuh kali,
serunai memainkan tanda,
gong bergemuruh, simbal
dibunyikan,
gong warna kuning ikut
ditabuh,
sebagai tanda layar
dinaikkan.
Gendang dan serunai
dimainkan,
bersuara keras lagu
tarahan,
dinyanyikan dengan teriakan
yang lantang:
“Sungai bantara,
pohon pelang.”
Ketika di atas kapal,
berlayarlah selama ....
Setiba di Pulau Bali,
Bujangga Manik berkata:
“Nahkoda yang terhormat,
kita ucapkan selamat
tinggal,
kita harus berpisah.
Ini pakaianku,
hadiah dariku.
Mari ucapkan selamat tinggal,
semoga kau menemukan
kedamaian,
dan aku menemukan
ketenteraman.”
Nahkoda Sabalatang berkata:
“Dengan hormat, wahai orang
bijak,
kuterima hadiahmu,
hormatku, wahai orang
bijak,
semoga beruntung, selamat
tinggal!”
Setelah bicara itu,
ia meningggalkan kapal.
Ketika ia sampai di ibukota,
seketika kerinduanku
hilang.
Kekacauan muncul lebih rumit dari sebelumnya,
sama banyak dari mereka,
baik wanita dan pria.
Aku berpikir tidak akan ada kekacauan,
melihat di sini, di tengah pulau
ini,
sebaliknya, terdapat lebih
banyak kekacauan,
lebih banyak dari
orang-orang Jawa,
lebih ramai daripada di
Melayu.
Di sana aku tidak tinggal lama,
selama satu tahun lebih.
Kembali lagi ke tempat asalku.
Sesampai di pinggir laut,
terlihat nahkoda kapal,
nahkoda Belasagara,
yang akan berlayar ke
Palembang,
dari sana akan terus ke
Pariaman.
Bujangga Manik
Rakean Ameng Layaran
berkata:
“Tuanku Nahkoda,
aku ingin ikut menumpang,
akan berlabuh di
Balungbungan.”
Sang Nahkoda berkata:
“Bila benar-benar ingin
ikut menumpang,
jangan khawatir.
Dengan senang hati, naiklah
ke perahu!”
Setelah aku naik ke atsa,
duduklah di kabin.
Kagumi kapal ini.
Perahu ini cukup besar,
sebuah jung selebar delapan
depa,
panjangnya 25 depa.
Sepinggal Pulau Bali,
Nahkoda lalu berkata:
“Nak, berhati-hatilah.
Kapal ini banyak muatanan.
Bila nabrak batuan yang
penuh lubang,
bila menghantam batu intan,
bila mengenai batuan yang
menonjol,
bila terkena karang yang
keras,
bila menghantam batu tajam,
bila memukul karang tajam,
berdoalah kepada dewa,
wahai Bujangga Manik yang
terhormat,
yang baru berlayar bersama
kami.
Berlayar seharian
penuh."
Sesampai di Balungbungan,
Bujangga Manik berkata:
“Tuanku Nahkoda,
kita harus berpisah satu
sama lain,
mengucapkan selamat
tinggal.”
Sang Nahkoda berkata:
“Hormatku, orang bijak,
semoga kau beruntung,
selamat tinggal”
Setelah turun dari jung,
aku meninggalkan
perahu.
Setiba di Gunung Raung,
[pergi] ke wilayah Talaga
Wurung.
Setelah berangkat dari tempat itu,
aku tiba di Baru.
Itu wilayah para biara.
Setelah pergi dari tempat itu,
berjalan melewati Padang
Alun,
sampai di Gunung Watangan,
yang menghadap Pulau
Barong.
Setelah pergi dari sana,
aku datang ke Sarampon.
Setelah aku tiba di Cakru,
beranjak dari tempat itu,
aku berjalan ke baratdaya,
pergi ke wilayah Kenep,
tiba di
Lamajang Kidul,
melewati Gunung Hiang,
datang ke Padra.
Lereng Gunung Mahameru,
aku lewati dari sisi
selatan.
Setelah datang ke Ranobawa,
berjalan melewati Kayu
Taji.
Setelah berangkat dari sana,
tibalah aku di Kukub,
aku pergi ke Kasturi,
tiba di Sagara Dalem,
berjalan melalui
Kagenengan,
mendaki Gunung Kawi,
yang kulewati dari sisi
selatan.
Setiba ke Pamijahan,
aku berjalan ke arah barat,
melewati Gunung Anyar,
tibalah aku di Daliring.
Sesampai di Gunung Kampud,
aku datang ke Rabut
Pasajen.
Tempat ini dataran tinggi
Rabut Palah,
tempat suci Majapahit,
yang dimuliakan oleh orang
Jawa.
Aku membaca Darmaweya,
juga Pandawa Jaya.
Setelah itu keingintahuanku
terpuaskan,
aku dapat bicara bahasa
Jawa,
juga mampu
menerjemahkannya.
Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
selama satu tahun lebih.
Aku tidak tahan suara yang
terus bunyi,
yang datang untuk beribadah
dan mempersembahkan emas,
yang beribadah tanpa henti,
berkelana di sekitar
ibukota.
Berjalanlah aku ke baratdaya,
aku sampai di Waliring,
berjalan melewati Polaman,
tiba ke Blitar,
menyeberangi Sungai
Cironabaya,
melewati Pasepahan,
ke Luka, ke Saput Talun.
Setiba di Pajadangan,
aku berjalan ke Kalang
Abit.
Setiba di Pasugihan,
di lereng Gunung Wilis,
pergi ke arah selatan,
aku berangkat ke Dawuhan,
melewati Gunung Lawu,
yang merupakan wilayah
Urawan.
Setelah aku berangkat dari daerah itu,
aku berjalan ke baratdaya,
melewati Pamanikan.
Sedatang ke Sida Lepas,
aku turun ke Oyong.
Sepeninggal dari sana,
aku pergi ke Campagan,
melewati Pamaguhan.
Setiba aku di Pahul,
berangkat dari tempat itu,
aku datang ke Caturan.
Setiba aku di Roma,
menyeberangi Sungai
Ciwaluyu,
yang merupakan wilayah
Bobodo,
berjalan melewati Taji,
sampai ke Gunung Merapi,
yang kulewati pada sisi
selatan,
dan tiba di Janawi,
yang merupakan wilayah
dewaguru.
Aku berjalan ke baratdaya.
Sesampaiku di Wedi,
pergi melewati Singapura.
Sedatang aku ke Maram,
aku menyeberangi Sungai
Ciberang,
datang ke wilayah Paguhan,
berjalan melewati
Kahuripan,
di sisi Rabut Beser,
menyeberangi Sungai
Ciloh-Paraga.
Sesampai aku di Pahit,
dan tiba di Taal Pegat,
aku sampai di Kulisi,
menyeberangi Sungai
Ciwakutura,
berjalan melewati
Pakuwukan.
Setiba di wilayah Danuh,
aku pergi ke Lanabang,
ke Jawarah, Tadah Haji,
Taruntung, Walakung.
(Setiba ke Kalangan,
sampai di Pamarisan,
aku pergi ke Tambangan,
aku menyeberangi Sungai
Cilohku,
mendaki Gunung Sangkuan,
aku pergi ke Adipala,
aku berjalan ke barat,
aku sampai di Sawangan,
ke muara Sungai Cisarayu.
telah kulewati daerah itu,
aku pergi ke Mandala Ayah,
berjalan di sepanjang
bukit,
pergi ke Pala Buaja,
meninggalkan Tegal Popoken
di belakangku.
Setiba di Karang Siling,
menyeberangi Sungai
Cipaterangan.
Setelah tiba di Mambeng,
sampai ke Dona Kalicung,
di sisi wilayah kekuasan
Nusahe,
menyeberangi Sagara Anakan,
berjalan melewati Batu
Lawang,
di sisinya batu tulis,
batuan kasar, batuan tajam.
Setiba aku di Bakur,
di muara Sungai Citanduyan,
telahku laluinya,
aku pergi ke Cimedang,
menyeberangi Sungai
Cikutrapinggan,
tibalah aku di Pananjung,
berikutnya ke Pulau
Wuluhen,
menyeberangi Sungai
Ciwulan,
pergi ke Ciloh Alit,
di muara Sungai Pasuketan,
pusat Hujung Pusus.
Olehku telah terlewati,
ke balik Gunung Condong,
di sisi Gunung Parasi,
aku berjalan ke arah
selatan.
Sesampai di Hujung Galuh
melewari Geger Gadung
aku menyeberangi Sungai
Ciliwung
berjalan terus ke utara
Sesampai di Saung Galah
berangkatlah aku dari sana
ditelusuri Saung Galah
Gunung Galunggung di
belakang saya
melewati Panggarangan
melalui Pada Beunghar
Pamipiran ada di
belakangku.
Berjalan melewati Timbang Jaya,
pergi ke Gunung Cikuray,
seturunku dari sana,
pergi ke Mandala Puntang.
Setelah menanjak ke Gunung Papandayan,
yang juga dipanggil Panenjoan,
aku melihat pegunungan dari sana,
jajaran (?) pemukiman di mana-mana,
semua desa, semua pemukiman,
peninggalan Nusia Larang yang mulia.
Aku melihat mereka satu per satu.
Di arah selatan adalah wilayah Danuh,
di timur Karang Papak,
di barat tanah Balawong,
merupakan Gunung Agung,
pilarnya Pager Wesi.
Itu Gunung Patuha,
penopang Majapura.
Itu Gunung Pamrehan,
penopang Pasir Batang.
Itu Gunung Kumbang,
pilarnya Maruyung,
ke arah utara wilayah Losari.
Itu Gunung Ceremay,
pilarnya Pada Beunghar,
di selatan wilayah Kuningan,
ke baratnya Walang Suji,
di situlah wilayah Talaga.
Itu Gunung Tampo Omas,
di wilayah Medang Kahiangan.
Itu Gunung Tangkuban Parahu,
pilarnya Gunung Wangi.
Itu Gunung Marucung,
pilarnya Sri Manggala.
Merupakan Gunung Burangrang,
pilar dari Saung Agung.
Itu Gunung Burung Jawa,
pilarnya Hujung Barat.
Itu Gunung Bulistir,
pilarnya Gunung Anten.
Itu Gunung Nagarati,
pilarnya Batu Hiang.
Itu Gunung Barang,
pilarnya wilayah Kurung Batu.
Itu Gunung Banasraya,
pilarnya wilayah Sajra,
ke barat Gunung Kosala
Itu Gunung Catih,
pilarnya Catih Hiang.
Itu Gunung Hulu Munding,
pilarnya Demaraja,
ke barat Gunung Parasi,
pilarnya Tegal Lubu,
ke timurnya Sedanura,
yang menghadap wilayah Sinday.
Ini Gunung Kembang,
tempat segala macam pertapa,
ti kidulna alas Maja,
eta na alas Rumbia.
(ke selatannya wilayah Maja,
yang merupakan wilayah Rumbia.
Ke baratnya batas Mener,
pilarnya Bojong Wangi.
Itu Gunung Hijur,
pilarnya Kujang Jaya.
Itu Gunung Sunda,
pilarnya Karangiang
Itu Gunung Karang,
pilarnya wilayah Karang.
Itu Gunung Cinta Manik,
pilarnya wilayah Rawa.
Itu Gunung Kembang,
pilarnya Labuhan Batu.
Ke arah utara wilayah Panyawung,
pilar dari wilayah Wanten.
Itu Gunung (...) ler,
pilar dari kekuasaan Pamekser,
yang terlihat dari Tanjak Barat.
Terdapat Pulau Sanghiang,
setengah jalan dari wilayah Lampung.
Ke arah timur Pulau Tampurung,
ke arah barat Pulau Rakata,
gunung di tengah-tengah lautan.
Itu Gunung Jreding,
pilarnya wilayah Mirah,
Ke arah barat pantai Gowong.
Itu Gunung Sudara,
Gunung Guha Bantayan,
pilarnya Hujung Kulan,
ke arah barat Gunung Cawiri.
Itu Gunung Raksa,
Gunung Sri Mahapawitra,
pilarnya [Pulau] Panahitan,
ke timurnya Suka Darma,
ke baratnya Gunung Manik.
Lihatlah Pulau Kambangan,
Pulau Layaran ...,
Pulau Dilih, Pulau Bini,
wilayah Keling, Jambri,
wilayah Cina, Jambudipa,
wilayah Gedah [Kedah] dan Malaka,
wilayah Bandan dan Tanjungpura,
Sekampung dan kekuasaan Lampung,
wilayah kekuasaan Baluk dan Buwun,
wilayah kekuasaan Cempa (dan) Baniaga,
Langkabo [Minangkabau] dan wilayah Solot,
wilayah kekuasaan Pariaman.
Setelah mengagumi semua hal itu,
setelah melihat pegunungan,
setelah meninggalkan Panenjoan,
setiba di Gunung Sembung,
yang merupakan hulu Sungai Citarum,
di sana aku singgah bertapa,
sambil melepas lelah.
Beribadahlah aku melakukan persembahan,
memuja dengan penuh keyakinan.
Kemudian aku mendirikan lingga,
lalu memahat patung,
selanjutnya membuat tugu.
Benda-benda ini menunjukkan pada semua orang,
bukti untuk orang-orang mendatang,
bahwa aku sudah menyelesaikan tugasku.
Setelah aku beribadah dengan menyapu,
menyapu sampai bersih (?),
pekarangan di sekitar,
aku mendatangi bangunan-bangunan dan
memasukinya,
duduk dalam kesunyian,
memberika penghormatan (?) dan bermeditasi.
Olehku diresapi,
olehku dinanti-nanti,
apa hasil dari tujuanku,
apa yang menyebabkan penantianku.
Aku menyebutnya
keabadian, kekal bersama zat teragung,
yang memenuhi maksud penantianku.
Karena sebelum adanya diriku,
kebaikan dari orang bijak,
yang mampu menyadari pertapaan tertinggi,
memilih berkonsentrasi pada diri sendiri,
untuk memahami pengindraan tertinggi,
dengan mengikuti penciptaan diri yang
sesungguhnya,
tidak dapat terbawa oleh warna [penampilan
fisik],
penuh dengan keberanian, hati yang kuat,
seperti manusia suci yang agung,
yang menunjukkan bukti jelas dari itu.
Setelah exerting dirinya sendiri,
Bujangga Manik yang terhormat
menuju utara, selatan, barat, dan timur,
di pusat dari titik puncak,
mencari tempat untuk tinggal,
mencari tempat untuk bertapa,
mencari air untuk tenggelam,
tempat untuk mati bagiku kelak,
tempat membaringkan tubuh.
Di sana aku tidak tinggal terlalu
lama,
selama setahun lebih.
Terlalu sering aku dikunjungi orang asing,
oleh orang-orang yang datang dari bawah,
terlalu banyak godaan.
Sepergiku dari sana,
berjalanlah aku ke utara-barat,
melihat pegunungan:
itulah Gunung Karesi,
itulah Gunung Langlayang,
di baratnya Gunung Palasari.
Berjalan melewati Gunung Pala.
Setiba ke tempat suci,
menyeberangi Sungai Cisaunggalah,
aku berjalan ke barat,
tiba di Gunung Pategeng,
peninggalan Sang Kuriang,
ketika akan membendung Citarum,
tetapi gagal karena matahari keburu
terbit.
Telah kulalui daerah itu,
aku menyeberangi Sungai Cihea,
aku menyeberangi Sungai Cisokan,
pergi ke daerah Pamengker.
Tibalah aku di Mananggul,
berjalan melewati Lingga Lemah.
lalu aku pergi ke daerah Eronan,
mendaki [Gunung] Lembu Hambalang.
Setiba di Gunung Ageung,
itu hulu Sungai Cihaliwung,
tempat suci dari Pakuan,
danau suci Sanghiang Talaga Warna:
“Oh,
bagaimana nasibku!
Aku tidak akan dapat melanjutkan perjalanan,
mengunjungi ibu dan ayahku,
mengunjungi tempat guruku!”
Aku pergi ke Hujung Kulan,
karena di sana banyak hal yang menunggu.
Aku berjalan menyelatan,
melanjutkan perjalananku ke Gunung Bulistir.
Itu hulu Sungai Cimarinjung,
peninggalan Patanjala,
ketika ia gagal menjadi raja.
Di sana aku tidak tinggal lama,
selama satu tahun lebih.
Terlalu sering aku didatangi orang asing,
oleh orang-orang yang datang dari bawah,
terlalu banyak godaan datang.
Sepergi aku dari sana,
aku pergi ke baratdaya,
menyeberangi Sungai Cimarinjung,
menyeberangi Sungai Cihadea,
menyeberangi Sungai Carengcang,
menyeberangi Sungai Cisanti.
Seturun dari Gunung Wayang,
dan pergi dari sana,
aku sampai di Mandala Beutung,
berjalan melewati Mulah Beunghar,
turun ke Tigal Luar,
d ibelakang Gunung Malabar,
yang diapit oleh Gunung Bojage.
Sesampai di Gunung Guntur,
di timur Mandala Wangi,
yang menghadap Gunung Kendan,
aku pergi melewati Jampang Manggung.
.
Setiba di Mulah Mada,
melewati Tapak Ratu,
pergi ke Gunung Patuha,
ke tempat suci Ranca Goda.
Aku membangunnya kembali dan menjadikannya
tempat pertapaan,
yang disari oleh mandala
Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
hanya setahun lebih.
Setelah kuberangkat dari sana,
sesampai di Gunung Ratu,
di Karang Carengcang yang suci.
yang merupakan hulu sungai Cisokan,
berjalan menuruni Gunung Patuha,
setengah jalan menuju Lingga Payung,
yang menghadap ke Kreti Haji.
Sungguh di sana:
aku menemukan tempat suci,
tempat dengan lingga bertakhta intan permata,
kilapnya menutupi lingga itu (?),
rising upwards, menjadi lingga payung,
menghadap Bahu Mitra.
Olehku telah dibangun tempat tinggal baru,
direkatkan dalam beberapa tingkat,
disambung sekelilingnya,
bagian bawah beralaskan batu pipih,
menghadap ke atas dari arah batu yang berdiri ,
bagian teratas oleh marmer,
bertaburkan intan permata.
berkilauan di antara mereka,
tujuh bangunan untuk keperluanku,
sebuah dapur dan tempat kayu bakar,
dan juga tempat untuk menebah,
dua bangunan berdiri di jalan
Lumbung dua berjajar
taman di kiri-kanan gerbang,
dengan tanaman yang melambai,
yang akan segera berbuah,
bunga-bunga sedang mekar penuh.
bangunan-bangunan tersebut masih utuh
paviliun tersebut masih bagus.
Ketika waktunya tiba,
telah sampai pada waktu yang tepat
setelah sembilan tahun melaksanakan pertapaan,
pada tahun kesepuluh tugas-tugas telah
terpenuhi,
tubuh ini berat,
dalam bentuk yang sempurna.
Ketika
bulan segera terbenam,
matahari muncul pada waktunya,
siang digantikan malam,
tahun berakhir, tugas terpenuhi,
yang sudah mati di-walang suji,
yang membusuk di-walang sanga,
tubuh beristirahat kembali di atas dipan,
dengan gegendis sebagai bantal,
meninggal, menghadap kepada hal yang sebaliknya.
Aku mati tanpa penyakit,
meninggal bukan karena penderitaan,
aku telah dilepaskan melalui pembebasan
terakhir.
Roh pergi,
kepribadian pergi,
apa yang bebas dilepaskan.
Jiwa dilepaskan dari ikatannya,
sari pati kehidupan dilepaskan dari jiwa,
sama-sama terpisahkan dan hilang.
Tubuhku memasuki dunia yang mati,
berharap (?) menjadi dewa,
ikatan penghubung memasuki kehampaan.
Jiwaku buyar menjadi tak terlihat,
sama dengan dewata.
Kemudian aku berjalan di atas jalan luas,
menemukan jalan yang terbuka luas.
Setiap persimpangan dilengkapi dengan bangunan,
semua jurang memiliki jembatan,
lereng dengan anak tangga,
turunan dengan pijakan tersusun.
Jejak-jejak dari sapu masih bisa terlihat,
melengkung ke arah timur dan barat.
paviliun, bendungan dan bebatuan,
terhubung dalam deretan yang panjang.
Bunga patah tumbuh berdekatan,
bersinar (?) seperti kembang api.
Pohon pinang tumbuh seperti paras,
pinang tiwi dan pinang gading,
pinang tiwi yang sedang mekar penuh,
pinang gading bersinar kekuning-kuningan.
Di tengah-tengah pinggiran sungai terulur,
hanjuang tumbuh sampai mata manusia,
handeuleum tumbuh setinggi manusia,
handong merah dan handong,
“...apakah
kau mencintai semua manusia di dunia,
ketika kau masih hidup,
saat ada di dunia?”
Bujangga Manik yang terhormat
merasa seperti sedang ditanyai.
Dengan penuh hormat ia berbicara,
menjawab dengan sopan,
berbicara menurut kata hatinya,
menjawab Dorakala:
“Aku
tidak ingin membicarakannya,
agar yang benar tidak menjadi salah,
agar yang baik tidak menjadi buruk,
agar surga tidak menjadi neraka.
Agar kesimpulan mudah dipahami,
Agar kesimpulan tidak datang dari awal.
Aku menolak untuk memanggil saksi dari manusia,
penghuni dunia ini,
semua orang di tengah-tengah dunia.
Di antara seribu seratus satu,
bahkan tidak ada satu pun,
manusia yang perkataannya dapat dipercaya.
Terdapat banyak penjahat,
bahkan dewa diperangi (oleh mereka),
aku menganggap mereka tidak dapat diandalkan,
karena ingin ikut dalam api yang membakar,
karena mereka akan tersesatkan,
oleh mereka yang jahat.
Hanya ada satu pengecualian:
siang hari yang suci adalah saksiku,
malam yang suci adalah saksiku,
bulan dan bintang,
dan bumi pertiwi yang suci.
Mereka yang memelihara dan melihat:
bumilah yang lebih mengamati,
langitlah yang lebih memerhatikan,
kamulah yang tahu mana yang benar.
Mereka yang mengingat rasa,
mereka yang menjaga kekuatan utama,
mereka yang memerhatikan kata-kata,
mereka yang mengamati pikiran,
menjaga sifat asli manusia,
mengerti salah dan benar,
mengetahui buruk dan baik
mereka itulah saksiku.”
Dorokala yang mulia berkata:
“Dengan segala hormat, jiwa yang suci.
Aku tidak akan mendebat,
karena wujudmu tidaklah kabur.
Tubuhmu bersih dan bercahaya,
terlihat seperti dewa,
seperti intan, seperti permata.
Tubuhmu
lebih wangi dari opium,
lebih berarti dari kayu cendana,
lebih manis dari kulit kayu masui.
Benar-benar
wujud seorang yang benar,
yang menunjukkan makhluk surga.
Dengan segala hormat, jiwa yang suci,
yang terhormat Bujangga Manik,
pergilah seperti yang kau mau,
kamu boleh pergi ke surga.
Setelah
meninggalkan tempat itu,
pergilah mendaki,
menanjak,
menuju taman yang bening,
beralaskan permata.
Pancuran dari perunggu bercahaya,
dengan kolam dari perak,
berakhir pada sebuah cerat,
tempat cuci dilapisi emas,
dengan gayung dari bejana perak.
Mandi dan membersihkan diri,
yang mandi membersihkan keringat.
Setelah
kau selesai mandi,
jangan berkelana terlalu jauh,
kau di dalam taman bercahaya itu.
Ada
sebuah tempat indah yang dituju:
pergilah menuju bangunan yang dekat dengan
jalan,
terbuat dari besi hitam,
dipadukan dengan besi magnet,
dipasak besi yang tahan lama,
tiang gading ukiran,
disangga oleh gong jawa,
bertatahkan kaca cina,
dipadu dengan batu kresna,
....dipadukan dengan permata,
dengan bendul perak seperti batu kapur,
dengan kasok terbuat dari .....
beratapkan ubin-ubin perunggu,
yang berpasak emas,
dengan lantai yang dilapisi
dengan rumbai emas hitam,
dipadukan dengan perak putih seperti batu kapur,
yang diikat dengan emas cina,
bergantian dengan kawat jawa.
Cermin
jawa dipasangkan,
di setiap tiang bangunan.
Di situ
perabot dihias,
sebelum pergi ke surga,
di sanalah tempat berhias,
apa yang tidak tersedia di sana?
cemin jawa bersepuh emas
sisir dari gading berukir,
satu gelas minyak cina
isinya ....
kapur
barus dalam guci,
bunga resa di jambangan,
zat kelenjar rusa jantan dalam belanga dari
gading,
guci penuh wewangian kayu cendana,
sepucuk ....
... cinta.
Bujangga Manik yang terhormat
lalu diangkat dipangku,
dibawa dari lengan satu ke lengan lainnya,
dibawa ke atas panggung (?),
dari panggung ke tandu,
tandu yang dihiasi gading,
berkendara di atas sapi putih,
dengan kipas bergagang emas,
berkelap kelip oleh batu rubi,
bertakhtakan emas,
dengan batu mirah dan permata di atasnya,
bertatahkan mutiara,
berpadu dengan permata dan batu rubi, batu
mirah,
batu-batu beharga dan intan,
semuanya serba indah.
Cerita
Darma Kancana,
di atas tirai yang bercahaya,
di bawah tirai yang tembus pandang,
terpasang pada mereka naga yang berhadapan satu
sama lain,
di tengah-tengah naga-naga yang ...,
di bawah naga-naga yang bertemu,
seekor merak yang menari di atasnya,
semua serba indah,
semua benar-benar tidak ternilai,
luar biasa,
sangat baik dan hebat untuk dilihat,
bersinar dengan segala jenis warna,
berkelap-kelip dan bercahaya.
Seperti bunga pamaja
wujud dari jiwa suci,
diramaikan oleh tetabuhan,
goong dan gending yang dipedengarkan,
simbal perunggu dicampur dengan caning,
semuanya tetabuhan
alat-alat musik suci,
Alat musik suci paburancaheun,
simbal rari dimainkan,
gong ditabuh,
payung-payung dengan sutra keling [India],
bendera bambu kiri dan kanan,
barisan panjang sutra putih,
unyut yang berlimpah,
seperti burung kuntul yang terbang indah.
Payung
sutra, gading di atasnya,
payung kertas, emas di atasnya,
payung hateup dari sutra keling,
gorden dengan sepuhan Cina,
dihiasi permata yang bergantungan,
satin dengan permata dan emas,
kipas dengan gagang emas,
cahaya keemasan kelopak terong,
di atasnya batu rubi, naga-naga yang merantai,
pajale permata, sangat bermanfaat,
petir berteman cahaya surgawi,
dikelilingi pelangi,
di sana ...).