Membaca dan membaca adalah pekerjaan
sampingan yang menjadi wajib ditengah kesibukan sehari hari yang kadang tidak
ada waktu jika kita tidak pernah menyempatkannya. Apalagi pekerjaan dalam
bidang enggineering, terutama dalam bidang kontruksi, kadang seolah tiada hari
tanpa ada waktu yang santai, karena target dan batas kontrak kerja, yang
mengharuskan kerja lembur hingga malam hari. Seolah tidak ada ruang untuk
membaca yang lain, apalagi menulis.
Bagi orang yang sering beralasan
tidak ada waktu, seolah memang tidak ada waktu untuk mencari pengetahuan yang
lebih. Jangankan sibuk, ketika waktu santaipun seolah tidak ada waktu untuk
berkreasi dalam bidang lain. Tapi bagi orang yang menyempatkan diri, sebenarnya
tidak ada yang namanya tidak ada waktu, yang ada hanyalah bentuk kemalasan yang
selalu dipertahankan. Jangankan menulis membacapun seolah enggan.
Setelah membaca, konon kita harus
meninggalkan kesan, meninggalkan suatu bukti bahwa kita pernah membaca. Karena
itu yang dibaca harus dirangkum, dan harus ditulis. Karena jika sudah ada
rangkuman dalam bentuk tulisan berarti kita minimal telah membaca yang
berkaitan dengan tema tersebut. Jadi jikapun ada masalah yang sama atau tema
yang sama berarti kita tinggal menambahkan pada rangkuman yang telah ditulis
sebelumnya. Jadi nanti kita akan menyimpulkan, dan membenarkan apa yang
diungkapkan oleh seorang intelektual muslim klasik, bahwa tulislah yang ada
dibenak kita, jika anda sudah menulis maka anda akan memepertanyakan tulisan
yang anda tulis sebelumnya, bahwa tulisan anda tidaklah sempurna, berarti harus
ada yang ditambah, berarti harus ada yang dibaca. Jadi proses menulis dan
membaca nantinya seolah rangkaian yang tidak terputus.
Untuk membuat suatu tema yang
menyangkut apa apa yang kita baca seolah sulit adanya. Dan untuk merangkum yang
pernah kita baca dalam tema yang berbeda beda juga sangat sulit untuk
memberikan judul. Dan untuk memudahkan dikemudian hari jika diperlukan untuk
mencari sumber naskah yang kita perlukan, maka tulisan berbentuk ensiklopedia
atau kamus seolah jalan pertama yang kita harus lakukan. Karena itu tulisan
yang ditulis dalam tulisan ini di beri nama “Ensiklopedia Sunda Dalam Konteks
Peradaban.” Karena rangkaian tulisan ini nantinya bermuara pada satu tema
besar, yaitu peradaban Sunda.
Sering membaca jika tidak disertai
membuat rangkuman dalam bentuk tulisan, seolah bagaikan kita pergi ke suatu
kota tetapi tidak pernah ada dokumentasi berupa foto keberadaan kita disana.
Seolah kadang keberadaan kita dipertanyakan. Jangankan detail yang globalpun
dipertanyakan. Meskipun perumpamaan diatas tidak begitu pas, tetapi bagaikan foto disuatu tempat,
menunjukan bahwa itu bukti nyata bahwa kita pernah ke sana.
Dengan demikian, tulisan ini bagi
kami bagaikan dokumentasi ketika kita pergi ke suatu daerah. Hal itu bisa
sebagai kenangan, bisa juga sebagai sumber inspirasi jika kita akan membahas
daerah yang kita kunjungi, dan lain sebagainya.
Jadi tulisan tentang ensiklopedia ini
hanyalah rangkuman tulisan orang orang yang pernah dibaca tulisannya, dan
sangat sayang jika tidak ada jejak, sebagai bentuk penghormatan kita terhadap
upaya orang yang telah berpikir. Jika semakin banyak dibaca, semakin banyak dikutip
maka mudah mudahan amal dari sang penulis akan mengalir meskipun mereka telah
tiada.
Mudah mudahan dengan tulisan
rangkuman ini, menjadi salah satu dari upaya mengungkap kembali wacana
peradaban Sunda ke mainstream yang seharusnya. Yang nantinya akan menjadi tern
pembahasan ke depan.
A
Ajiguna Wisesa, Prabu (mp. 1333 - 1340 M).
Prabu Ajiguna Wisesa merrupakan raja kerajaan Sunda. Dalam Carita parahiyangan disebut hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang Hilang di Kidding). Prabu Ajigunawisesa, yang berkuasa di tanah Sunda (termasuk Galuh) selama 7 tahun dari tahun 1333 sampai dengan tahun 1340 M. Ia naik tahta menggantikan mertuanya Prabu Linggadewata. Atau Sang Mokteng Kikis (yang Hilang di Kikis). Ia memerintah berkedudukan di keraton Kawali selama 7 tahun
Ia naik
tahta karena istrinya, Rimamelati, putri dari Prabu Linggadewata merupakan
pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3 orang anak, yaitu:
· Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan
nama Sang Aki Kolot. Ia merupakan anak pertama, dan kemudian menggantikan tahtanya di
kerajaan Sunda.Dewi Kiranasari merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon.
· Prabu Suryadewata, merupakan anak ketiga atau anak bungsu.
Ia diangkat menjadi Raja (Ratu) Galuh.
Prabu Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga. Ia meninggal di Wararaja (hutan raja) ketika sedang
berburu.
Prabu Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia
kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding atau
dalam istilah carita parahiyang, “Nu hilang di Kidding”.
Anak Prabu Ajiguna Wisesa
yang ketiga yang bernama Prabu Suryadewata, yang diangkat menjadi Raja Galuh
dianggap sebagai cika bakal kerajaan Talaga. Putra Suryadewata yang
bernama Suddhayasa, yang
dikenal juga dengan nama Batara Gunung Picung atau batara gnung bitung
dianggap menjadi cikal bakal kerajaan
Talaga (Majalengka)
Batara Gunung Picung
mendirikan kabataraan Gunungpicung di talaga. Kabataraan di Gunung Picung
diyakini sebagai kekuasaan kebataraan setelah kebataraan tembong agung, di
Sumedang berubah menjadi kerajaan Sumedang Larang. Kekuasaan kabataraan gunung
picung dari Batara Gunung Picung kemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Pandita Prabu Darmasuci, Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh
puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh
adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu
Talaga menjadi sebuah kerajaan.
Sebelumnya Prabu Suryadewata,
sebelum kepindahan keraton Galuh ke Pakuan, menginstruksikan kepada
Prabu Aji putih untuk membangun kabataraan Tembong Agung. Kabataraan tembong
agung ini dikemudian hari menjadi kerajaan Sumedang Larang.
Aki Tirem (W. 130 M)
Aki Tirem diangggap sebagai cikal bakal kerajaan Salakanagara, diwilayah Sunda. Sebelum menjadi kerajaan, wilayah
salakanagara pada awalnya di perintah oleh penguasa setempat yang bernama Aki
Tirem.
Aki Tirem atau lengkapnya Aki Tirem
Sang Aki Luhur Mulya, berkuasa
di suatu kota yang bernama Pulosari. Aki Tirem menikahkan putrinya yang bernama
Pohaci Larasati dengan
Dewawarman, pangeran yang berasal dari Palawa di India kidul, yang
kemudia menggantikannya.
Setelah aki Tirem meninggal pada tahun 130 M, kekuasaannya
kemudian diteuskan oleh menantunya, Dewawarman I, yang dinobatkan sebagai raja
pertama salakanagara.
Amanat Galunggung
Amanat Galunggung adalah
nama yang diberikan untuk sekumpulan naskah yang ditemukan di kabuyutan ciburuy, kabupaten
Garut, dan merupakan salah satu naskah tertua di Nusantara. Naskah ini ditulis
pada abad 15 M pada daun lontar dan daun nipah, menggunakan bahasa dan
aksara Sunda kuno. Naskah ini berisi nasehat mengenai etika dan budi pekerti
Sunda, yang disampaikan Rakeyan
Darmasiksa, raja Sunda ke-25,
penguasa Galunggung, kepada putranya, Ragasuci (sang Lumahing Taman).
Nama “Amanat Galunggung” berasal dari
filolog Saleh Danasasmita, yang turut mengjkaji naskah tersebut,
kemudian turut mengompilasikan hasil kajiannya dalam “Sewaka Darma,
SanghyangSiskandang Karesian, Amanat Galunggung.” (1987)
Diantara isi dari
naskah Amanat galunggung, adalah:
- Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut tanah kabuyutan (tanah yang disakralkan).
- Barangsiapa yang dapat mendudukan Galunggung sebagai tanah yang disakralkan akan memperoleh kesaktian, unggul perangt, berjaya dan mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
- Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah daripada putra raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya.
- Jangan memarahi orang yang tidak bersalah.
- Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanah air pada zamannya.
Amanat Galunggung, Teks Naskah Bahasa Asli
Berikut ini adalah teks Amanat Galunggung dalam bahasa asli dari Kropak
632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong Garut. Yang disadur (dicutat) dari
tulisan Atja dan Saleh Danasasmita, Proyek Pengembangan Permuseuma Jawa Barat
1981.
Lembar Jilid verso
Awignam astu. Nihan tembey sakakala Rahyang
Ba/n/nga, masa sya nyusuk na Pakwan makangaran Rahyangta Wuwus, ¹) maka
manak Maharaja Dewata, Maharaja Dewata maka manak
Baduga Sanghyang, Baduga Sanghyang maka manak Prebu Sanghyang maka mank Sa(ng)
Lumahing rana, Sa(ng) Lumahing rana maka manak
Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang (maka manak) Sa(ng)
Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kem-
bang maka manak Rekéyan Darmasiksa. Darmasiksa
siya ngawarah anak öncu umpi cicip muning anggasa(nta)na (kulasantana)
pretisantana wit wekas kulakadang…… ²)
I rekto
sakabeh, nguniwéh sapilancökan, mulah
pabwang³) pasalahan paksa, mulah paködöködö, asing ra(m)pes, cara purih,
turutan mulah ködö di tinöng di maneh, isos-
isökön carekna patikrama, jaga kita dek
jaya prang ta(n)jor juritan tan alah kuréya, musuh ti dara(t) ti laut, ti barat
ti timur sakuriling désa, musuh alit,
musuh ganal mu(ng)ku kahaja urang miprangkön si
tepet, si bener,si duga,si twarasi, mulah sida döng kulakadang, mulah munuh
tanpa dwasa, mulah
ngarampas tanpa dwasa, mulah midukaan tanpa
dwasa, mulah nenget a(s)tri sama astri, mulah nenget hulun sama hulun, jaga
dapetna pretapa dapetna pegengön sakti, bönangna (ku4) Sunda, Jawa,
La(m)pung, Ba-
I verso
luk, banyaga nu dék ngarebutna kabuyutan na
Galungung, asing iya nu mönangkön kabuyutan na Galunggung, iya sakti tapa, iya
jaya prang, iya höb
nyéwana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya
ta supagi katinggalan rama-resi5), lamun miprangköna kabuyutan na
Galunggung, a(n)tuk na, kabuyutan,
awak urang na kabuyutan , nu löwih diparaspade,
pahi döng na Galunggung, jaga bönangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku
Lampung,
ku sakalian , muliyana kulit di jaryan, madan na
rajaputra, antukna boning ku sakalaih, jaga rang a(ng)gos dihélwan, munuh tanpa
dwasa, ngajwal tanpa dwasa, nguniwéh tan bakti di sang pandita di puhun di
manéh, na carita boning ku sa-
II rekto
kalih ngaranya, na kabuyutan, jaga hamo isös di
mullah di pamali di manéh, mulah kapuhan dina musuh ganal bala (boning)
dila(n)can, musuh alit mwa boning ditambaan,
jampé mwa matih, mangmang sasra tanpa guna,
patula tawur tan mretyaksa ku padan ngalalwan sipat
galeng mgalalwan siksa nu kwalwat, kwaywa nguha
di carék aki lawan buyut, upadina pa(n)day bösi panday omas, memen paraguna,
hamba lawak, tani gusti,
lanang wadon, nguniwéh na raja puta – ködö di
tinöng di manéh hamo ngadéngé carék i(n)dung lawan bapa, hamo ngadéngé carék na
patikrama wwang ködöanakéh, upadina kadi tungtung halalang sategal kadi
a(ng)gerna puncak ing gunung, sa-
II verso
pa ta wruh ri puncaknya, asing wruh iya ta wruh
inya patingtiman, wruh di carék aki lawan buyut, marapan kita jaya prang höböl
nyéwana, jaga kita miprangkön
si tepet si bener, si duga si twarasi, iya tuhu
sirena janma (d)ina bwana iya kahidupanana urang sakabéh, iya pawindwan
ngaranya kangken gunung panghiyangana urang, pi(n)dah
ka cibuntu ngaranya, pindah ka l(e)mah pamasarran
, gosana wwang ngéyuhan kapanasan, jaga rampésna agama, hana kahuripana urang
sakabeh, mulah kwaywa moha di
carékna kwalwat pun. Ujar Rekéyan Darmasiksa,
ngawarah urang sakabéh, nyaraman Sa(ng) lumahing Taman, sya Rekéyan Darmasiksa,
maka manak Sa(ng) Lumahing Taman, patemwan döng ti Darma-agung, aya mangsesya
pa-
III rekto
temwan don ti sisima pun. Makangaran San Raja
Purana, carek Sang Raja Purana, ah ra(m)pes6) carek dewata kami, sya
Rekeyan Darmasiksa pun. Jaga di-
turutan ku na urang reya, marapan atis ikang
desa, sang prabu enak alungguh, sang rama enak emangan, sang disi jaya prang,
jaga isos di carek nu kwalyat, nga-
lalwakon agama nu nyusuk na Galunggung, marapan
jaya pran jadyan tahun, hobol nyewana, jaga makeyana patikrama, paninggalna sya
seda, jagat
daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi,
jagat palangka di sang prabu, haywa paalaala palungguhan, haywa paalaala
pamonang, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka pada
mulianya, ku ulah ku sabda, (ku) ambek,
III verso
si niti si nityagata, si aum, si hööh si
karungrungan, ngalap kaswar semu guyu/ng/ téjah ambek guru 7)
basa, dina uran sakabéh, tuha kalawan anwam, mulah
majar kwanta, mulah majar lak(s)ana, mulah
madahkön pada janma, mulah sabda ngapus, iya pang jaya prang höböl nyewana
ngaranya, urang ménak maka
rampés agama, haat héman dina janma, mana urang
ka(n)del kulina, mana urang dipajarkön ména(k) ku na rama, carék na patikrama,
na urang lanang wadwan, iya
tuwah iya tapa, iya tuwah na urang, gwareng twah
gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampés twah waya tapa, apana urang ku twah
na mana bö(ng)har ku twah na mana waya tapa, na maka muji sakalih ja ku tapa,
na muji manéh kéh ona-
IV rekto
m sugan ku ra(m)pés na twah mana bönghar, na maka
nyösöl sakalih ja urang hantö tapa, nyösöl manéh kéh onam, sugan tu gwaréng na
twah mana burungna
na tapa, hamwa karampes lamu(n) dipindaha(n) na
twah, jaga dipéda ku sakalih, hamwa karampés na(m)bahan twah ja rang dipuji ku
/suku/ sakalih, si cangcingan si langsi-
tan si paka, si rajön-lökön, si mwa-surahan si
prenya, si paka maragwalragwal, purusa ém ét imöt rajön-lökön pakapradana, iya
bisa ngaranya, titis bö(ng)har waya
tapa kitu tu rampes twah na ménak, jaga isös di
carék nu kwalwat, di puhun di manéh, maluy swarga tka /t/ing kahyangan Batara
Guru, lamun tepet bener di awak di manéh tu (u)cap na urang kahaja bwa-
IV verso
t si mumulan, si ngödöhan, si bantölö, dungkuk
peruk, supenan, jangkelék, rahéké, mémélé,
bra/h/hélé, sélér twalér, hantiwalér, tan bria,
kuciwa, rwahaka, jangjangka, juhara, hantö di kabisa, luhya mumulan , mo
tö(ng)töing, manggahang, bara/ng/-
hual, nica mreswala, kumutuk pregutu, surahana,
sewekeng, pwapwarosé, téréh kasimwatan, téréh kapidéngé ,mwa teteg di carék
wahidan, sulit rusit, rawa-
ja papa, katang-katang di kalésa di kawah ma ku
Sang Yamadipati, atma cumunduka ring ywaga tiga, mangrupa janma, maka jadi
neluh, mulana mumulan sangkana réya kahayang, hantö di imah di maneh,7)
ménta twah ka sakalih, ménta
V rekto
guna ka sakalih, hantö dibéré ksel hatinya, jadi
nelu(h), pamalina iya dwakan iya jangjitan ngaranya, kajajadiyana na urang hiri
paywagya di nu bener, na twah
ra(m)pés dina urang, agamani(ng) paré,ma(ng)sana
jumarun, telu daun, ma(ng)sana dioywas, gedé paré, ma(ng)sana bulu irung,
bökah, ta karah nunjuk lang/ng/it,
tanggah ta karah, kasép nangwa tu iya ngaranya,
umösi ta karah lagu tu(ng)kul, harayhay asak, tak karah ca(n)d ukur, ngarasa
maneh kaösi, aya si nu hayang,
daék tu make hurip na urang réya, agamaning paré
pun. Lamun umisi tanggah, harayhay tanggah, asak tanggah, hapa ngarana, pahi
döng ayöh ngarana, hantö alaönana, kitu tu agama dina urang réa; ngarasa manéh
imah kaösi, löit kaö-
V verso
si (da)yöh kaösi dipaké sikara dipaké simangké,
dipaké hulangga, mwa kabita na paré téya kéna hantö alaönana, hantö
turutanönana, na urang r(é) ya sarwa
döng ayöh ngawara ngarana, mwa karampés, jaga
rang téoh twah, bwa tu höböl nyéwana pun. Lamun héman dinu karwalwat, jaga rang
éwéan, jaga ngara(m)pas, jaga
ngasupkön hulun, ja rang midukaan, nanya ka nu
karwalwat, mwa téo(h) sasab na agama pun, na sasana bwat kwalwat pun, Hana
nguni hana mangké, tan hana
nguni tan hana mangké, aya ma böhöla aya tu
ayöna, hantö ma böhöla hantö tu ayöna, hana tunggak hana watang, tan hana
tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna, (hana guna) hana
ring demakan, tan hana
VI rekto
guna tan hana ring demakan, galah dawa
sinambung/ng/an tuna, galah cöndök tinug(e)lan tka, a(n)tukna karah na urang
ngarasa manéh hantö tapa lalo tandang
marat nimur, ngalwa(r) ngidul réya kahayang, réya
gösan mangkuk, bogoh pi(n)dah, réya agama, réya patingtiman, pipirakan,
ider-ideran, bwaga di kuras hayang r(é)ya
hulun mu(ng)ku kasorang ja urang hanto tapa,
salah paké urang ménak, na gusti, na panghulu, na wiku sakabéh salah paké, na
raja sabwana salah paké,
böki awor-awur tanpa wastu ikang bwana, carék
Rekéyan Darmasiksa surung réya gösan mangkuk höwöng kénéh mo réya éwé, surung
pritapa soné, höwöng kénéh hatö tapa, mu(ng)ku kasorang ja urang hantö tapa,
kéna hantö dika-
VI verso
bisa hantö dikarajöna, ja ku ngarasa man éh
gwaréng twah karah dipi(n)dah/h/an ku na urang hamo tu galah dawa
sina(m)bungan tuna ngarana, nu pridana,
nu takut sapa, nurut dina ménak, di gusti
panghulu, réya kabisa, prijnya, cangcingan, gapitan, iya galah cöndök tinugelan
t(é)ka ngarana,
hatina tö 8) burung/ng/
ön tapa kitu ma na urang pun. Ku na urang ala lwirna patanjala, pata ngarana
cai, jala ngarana (a)pya, hantö ti 9) burung/ng/ ön tapa
kita
lamuna bitan apwa teya, ongkoh-ongkwah dipilalwaön
di manéh, gena(h) dina kagölisan, mulah kasimwatan, mulah kasiwöran ka nu
miburung/ng/an tapa, mulah kapidéngé ku na carék gwaréng, ongkwah-onhkoh di
pitinöng/ng/ön di manéh, iya ra(m)pes, iya gölis……..
¹) Gelar rahyangta digunakan dalam Carita
Parahyangan, sedangkan tokoh yang bersangkutan
dalam naskah Cirebon disebut Rakryan Wuwus. Dengan demikian namanya bukan
Rahyang Tawuwus, melainkan Rahyangta Wuwus.
²) Bagian ini rusak berat. Bila dibandingkan dengan
kropak 630, mungkin tadinya berisi kata baraya.
³) Kata ini dalam Sunda modern menjadi pam(b)eng
(berhalangan) dengan pergeseran arti. Kata pabwang berarti saling merintangi.
4) Lihat baris
3 !
5) Bukan
sebutan ber-ayah kepada resi, melainkan rama (tetua desa) dan resi (pendeta).
6) Terjemahan
yang disusun Pleyte hanya sampai di sini.
7) Kata guru di
sini berarti berat seperti pada istilah guru-lagu (berat-ringan). Padanan
yang tepat dalam Bahasa Sunda modern ialah anteb (mantap).
7) Menurut
Pleyte, sampai bagian inilah garapan K. F. Holle.
8) Jika
dibandingkan dengan catatan 9) baris yang sama dan maksud
kalimatnya, kemungkinan salah tulis atau salah baca; bagian ini lebih baik
dibaca: “hantö piburungön tapa”.
9) Sama dengan
no 8) harus dibaca “hantö piburungön tapa”, pada baris 4 kedua,
kita temukan kata miburungan tapa yang erat pertaliannya dengan piburungön
tapa.
Amanat Galunggung, Teks Naskah Terjemahan Bahasa Indonesia
Berikut ini adalah teks terjemahan Amanat Galunggung dalam bahasa Indonesia dari Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong Garut. Yang disadur (dicutat) dari tulisan Atja dan Saleh Danasasmita, Proyek Pengembangan Permuseuma Jawa Barat 1981.
Semoga
selamat. Inilah permulaan tanda peringatan1) Rahiyang Banga, ketika
ia membuat parit (pertahanan) Pakuan,2)bernama Rahingta Wuwus, maka
(ia) berputera Maharaja Dewata berputera Baduga Sanghiyang, Baduga Sanghiyang
berputera Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing rana3),
Sang Lumahingrana berputera Sang Lumahing Winduraja, Sang Lumahing Winduraja
berputera Sang Lumahing Tasikpanjang, Sang Lumahing Tasikpanjang
berputera Sang Lumahing Ujung Kembang, Sang Lumahing Ujung Kembang berputera
Rakeyan Darmasiksa. Darmasiksa, ia menasihati anak, cucu, umpi (turunan ke-3),
cicip(turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6),
kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit wekas4)
(turunan ke-9), sanak-saudara
I rekto
semuanya, demikian pula saudara-saudara kandung.
Jangan benterok (karena) berselisih maksud,
jangan saling berkeras: hendaknya rukun (dalam) tingkah laku (dan) tujuan.
Ikuti, jangan (hanya) berkeras pada keinginan diri sendiri (saja). Camkanlah
ujar patikrama,5) bila kita ingin menang perang, selalu unggul
berperang, tidak (akan) kalah oleh (musuh) yang banyak: musuh dari darat dari
laut, dari barat dari timur di sekitar negeri; musuh halus, musuh kasar.
Jangan dengan sengaja kita memperebutkan: yang
lurus. Yang benar, yang jujur, yang lurus hati. Jangan berjodoh dengan saudara,
jangan membunuh yang tak berdosa, jangan merampas (milik) yang tak bersalah,
jangan menyakiti yang tak bersalah; jangan saling curiga/sesali antara
wanita/isteri, jangan saling curiga antara hamba dengan hamba.
Waspadalah. kemungkinan direbutnya kemuliaan
(kewibawaan, kekuasaan)6) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh
Sunda, Jawa, Lampung, Ba-
I verso
luk, para pedagang (orang asing) yang akan
merebut kabuyutan7) di Galunggung. Siapa pun yang dapat menguasai
kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan
unggul perang, ia akan lama Berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan
secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para
rama dan para resi,8)
Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di
Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah9) kita di kabuyutan.
Apa-apa yang lebih (sulit dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di
Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina,
oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat
sampah dari pada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang
lain.10)
Ikutilah terus (pantangan-pantangan) yang telah
ditaati, (yaitu) membunuh (yang) tak berdosa, memarahi11) (yang) tak
bersalah, demikian pula tidak berbakti kepada pendeta dan leluhur12)
kita sendiri dalam peristiwa dapat direbutnya kabuyutan oleh orang lain13 )
II rekto
Hindarkan sikap tidak mengindahkan cegahan dan
pantangan diri sendiri, jangan bingung menghadapi musuh ksar; lascar (musuh)
dapat dilawan, sebaliknya musuh halus tidak dapat diobati. Jampi tidak akan
mempan, sumpah (kutukan) seribu (kali) tak akan berguna, ibarat tawur (kurban)
yang tidak terlaksana oleh perbuatan melampau batas (garis) pematang (aturan),
mengabaikan aturan dari leluhur (orang tua), luput menyadari ucapan kakek dan
buyut.
Bandingannya: pandai besi dengan pandai emas,
dalang dengan penabuh gamelan, hamba dengan majikan, petani dengan pemilik
tanah, laki-laki dengan perempuan, demikian pula raja dengan upeti
(persembahan). Berkeras kepada keinginan sendiri tidak mendengar nasihat ibu
dan bapak, tidak mengindahkan ajaran patikrama, itulah contoh orang yang keras
kepala; ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegalan, ibarat tetapnya puncak
gunung. Si-
II verso
Apa yang mengetahui puncaknya? Siapa pun yang
mengetahuinya, ya tahulah akan ketentraman, tahu akan nasihat kakek dan buyut,
agar kita unggul perang dan lama berjaya.
Janganlah kita memperebutkan (bertengkar)
tentang: yang tepat (lurus), yang benar, yang jujur, yang lurus hati; ya
sungguh-sungguh tenteram manusia di dunia, ya kehidupan kita semua, ya
ketenteraman namanya ibarat gunung kahiyangan (bagi) kita, beralih ke telaga
(bening) namanya, beralih ke tanah pusara, tempat orang berteduh dari
kepanasan.
Pelihara kesempurnaan agama, pegangan hidup
kita semua, jangan luput atau bingung terhadap ajaran para leluhur (orang tua).
(Itulah) ujar Rakeyan Darmasiksa,
menasihati kita semua, mengajari Sang Lumahing Taman. Ia, Rakean Darmasiksa
berputera Sang Lumahing Taman dan perkawinannya dengan wanita dari Darma Agung
pernah ia pun me-
III rekto
nikah dengan orang desa. (Putranya) bernama Sang
Raja Purana. Kata Sang Raja Purana, ah sempurna, sempurna ajaran ayahku
suwargi,14) dia Rakeyan Darmasiksa.
Peliharalah agar tetap ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram seluruh negeri, raja tenteram bertahta, sang rama tenteram menghimpun bahan makanan,15) sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung,16) agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman,17) lama berjaya panjang umur, sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi. Dunia kemakmuran,18) tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu. Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya,19) sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalahlah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad:
Peliharalah agar tetap ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram seluruh negeri, raja tenteram bertahta, sang rama tenteram menghimpun bahan makanan,15) sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung,16) agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman,17) lama berjaya panjang umur, sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi. Dunia kemakmuran,18) tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu. Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya,19) sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalahlah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad:
III verso
yang bijaksana yang elalu berdasarkan kebenaran,
yang bersifat hakiki,20) yang sungguh-sungguh,21) yang
memikat hati,22) suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan
mantap bicara. Bagi kita semua, tua dan muda, jangan berkata berteriak, jangan
berkata menyindir-nyindir, jangan menjelekkan23) sesama orang, jangan
berbicara mengada-ada,24) agar unggul perang dan lama berjaya
namanya.
Kita
merasa senang,25) maka sempurnalah agama, kasih-sayang kepada sesama
manusia, maka kita dianggap26) bangsawan,27) maka kita
dikatakan orang mulia28) oleh sang rama.
Menurut
ajaran dalam patikrama, bagi kita, laki-laki dan perempuan, ya beramal ya
bertapa; itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang
amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Ada
pun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula dapat
berhasil tapa kita. Maka orang lain akan memuji tapa kita,29) maka
puji sajalah diri sendiri,
IV rekto
(katakan:) barangkali karena sempurna amal maka
menjadi kaya. Bila disesali oleh orang lain karena kita tidak melakukan tapa,
sesali sajalah diri sendiri, (katakan:) barangkali karena beramal buruk maka
tapa kita menjadi batal. Percuma (tidak akan diterima) jika amal itu
dihilangkan (tidak dilakukan) karena takut dicela oleh yang lain; percuma
kita menambah30) amal bila mengharapkan dipiji oleh orang lain.
Sebab si cekatan, si terampil, si tulus-hati, si rajin-tekun, si tawakal, si
bersemangat, perwira, cermat, teliti, rajin, tekun, penuh keutamaan,31)
ya berkemampuan namanya, benar-benar32) kaya dan berhasil tapanya.
Begitulah kesempurnaan amal orang mulia.
Terus camkanlah ujar
orang-orang tua, ujar leluhur kita sendiri (agar) masuk surga tiba di
kahiyangan Batara Guru, bila kejujuran dan kebenaran ada pada diri kita
sendiri. Itu dikatakan kita menyengaja (berbuat baik). Un-
IV verso
tuk si pemalas, si keras-kepala, si pandir,
pemenung, pemalu, mudah tersinggung,33) lamban, kurang semangat,
gemar tiduran,34) lengah, tidak tertib,35) mudah lupa,
tak punya keberanian,36) kecewa, luar biasa, sok jago, juara
(jagoan), (tetapi) tak berkepandaian, selalu mengeluh, malas, tidak
bersungguh-sungguh, pembantah, penempelak, ) selalu berdusta, bersungut-sungut,
menggertu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, ) mudah terpengaruh, mudah
percaya kepada omongan orang(tanpa disaring dahulu), tidak teguh memegang
amanat, ) sulit, rumit (mengesalkan) ) aib, nista.
Mayat-mayat pada lubang kawah (neraka) (dikuasai)
oleh Sang Yamadipati. Arwah berdatangan dalam tiga periode, berupa manusia,
maka jadi mengeluh, asal-mula jadi mengeluh (karena) malas pada hal banyak
keinginan, tidak tersedia di rumahnya, meminta belas-kasihan kepada orang lain,
meminta
V rekto
Kebajikan kepada orang lain. (Bila) tidak kesal
hatinya, jadi mengeluh. Tercela, (karena yang demikian itu) ya seperti air di
daun talas, plin-plan namanya. Akibatnya kita mengiri akan keutamaan orang yang
benar.
Ada pun amal yang sempurna pada diri kita
(adalah) ilmu padi: pada saat bertunas (sebesar jarum), keluar daun (tiga
daun), saat disiangi, tumbuh dewasa, keluar kuncup (seperti bulu hidung), mekar
buah, ya menunjuk langit, ya menengadah; indah tampang41) namanya.
Setelah berisi tiba saat42) mulai merunduk, menguning masak ya makin
runduk, karena merasa diri telah berisi.
Bila ada yang mau dan bersedia (berbuat)
demikian, maka kehidupan orang banyak akan seperti peri-laku padi. Bila saatnya
berisi (tetap) tengadah, saat menguning (tetap) tengadah, saat masak (tetap)
tengadah, hampa namanya. Lain dengan yang disebut (padi) rebah-muda, sebab
nihil hasilnya,43) Demikianlah peri-laku orang banyak; karena merasa
rumah telah lengkap (terisi), lumbung telah teri-
V verso
si, negeri44) telah ramai isinya,
dijadikankekayaan,45) dijadikan persediaan,46) dijadikan
perhiasan.47) Tidak akan ada yang mengingini padi itu, karena tak
dapat dipetik hasilnya, tak ada yang patut ditiru.
Maka orang banyak sama dengan rebah-muda namanya.
Janganlah kita berwatak rendah,48) pasti tak akan lama hidup. Bila
kita menyayangi orang-orang tua, hati-hatilah memilih istri, hati-hatilah
memilih jodoh,49) hati-hatilah memilih hamba, agar jangan menyakiti
hatinya.
Bertanyalah kepada orang-orang tua, (niscaya)
tidak akan hina tersesat dari agama, yaitu hukum buatan leluhur. Ada dahulu ada
sekarang,50) Tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu
ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok
kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang; bila ada
tunggulnya tentu ada catangnya;51) ada jasa ada anugerah, tidak ada
VI rekto
jasa tidak akan ada anugerah. Galah panjang
disambung batang,52) galah tusuk dipotong runcing.53)
Akhirnya malah, kita merasa tidak melakukan amal
baik. Lalu berkelana, ke barat ke timur, ke utara ke selatan, banyak tempat
tinggal (rumah), senang berpindah-pindah, banyak tanam-tanaman,54)
banyak tempat peristirahatan, perhiasan perak,55) bertualang, senang
(memelihara) ternak,56) ingin banyak hamba. Tidak akan terlaksana,
karena kita tidak beramal (berkarya) baik.
Salah tindak para orang terkemuka, ya pemilik
tanah, ya penguasa, ya pendeta, semuanya salah tindak,57) ya bahkan
raja seluruh dunia salah tindak. Makin semrawut tanpa kepastian dunia ini. Kata
Rakeyan Darmasiksa: urung memperoleh rumah banyak, lebih baik58)
jangan beristri banyak; urung bertapa mencapai kesucian diri, lebih baik jangan
bertapa.
Tak akan terlaksana, karena kita tidak berkarya,
karena tidak memiliki
VI verso
keterampilan, tidak rajin, karena merasa diri
berbakat buruk, malah lalu kita jauhi,59) percuma saja, (ibarat)
galah panjang disambung batang namanya.
(Mereka) yang utama, yang takut akan kutukan,
taat kepada orang-orang mulia, kepada pemilik tanah dan penguasa, banyak
memiliki keterampilan, cerdas, cekatan, terampil, ya (ibarat) galah tusuk
dipotong runcing namanya. Tidaklah mengurungkan (menyia-nyiakan) amal-baik mita
bila demikian halnya.
Kita tiru wujud patanjala; pata berarti air, jala
berarti sungai. Tidak akan sia-sia amal baik kita, bila (kita) meniru sungai
itu. Terus tertuju60) kepada (alur) yang akan dilaluinya, senang
akan keelokan, jangan mudah terpengaruh, jangan mempedulikan61)
(hal-hal) yang akan menggagalkan amal-baik kita; jangan mendengarkan
(memperhatikan) ucapan yang buruk, pusatkan perhatian kepada cita-cita (keinginan)
sendiri. Ya sempurna, ya indah,....
1) Kata
sakakala oleh Pleyte diterjemahkan dengan “overlivering omtrent de
afstameling”
(ceritera turun-temurun tentang silsilah). Dalam prasasti-prasasti Subda, kata
sakakala selalu dimaksudkan sebagai tanda peringatan bagi yang sudah wafat.
2) ” Masa
sya nyusuk na Pakwan” oleh Pleyte diterjemahkan “toen hij Pakoean stchte”
(ketika ia mendirikan Pakuan). Kata nyusuk berarti membuat susukan atau parit
(biasanya untuk pertahanan kota). Pengertiannya sama dengan kata marigi dalam
prasasti Kawali.
3) Kata
sang lumahing umumnya berarti “yang dipusarakan di”. Sang Lumahing rana berarti
yang gugur di medan perang. Pleyte menduga, tokoh ini adalah raja Sunda yang
gugur di Bubat tahun 1357 yang disebutnya Prabu wangi.
4) Dalam
kropak 630 disebut “putuh wekas” (= putus jejak/turunan).
5) Kata
patikrama lebih baik tidak diterjemahkan, karena kata itu dapat berarti: adat,
kebiasaan, tradisi, tata-tertib, sopan-santun, peraturan, undang-undang atau
hukum keagamaan.
6) Kata pretapa
dapat berarti: sinar (kekuatan), cahaya, pancaran, perbawa, kemuliaan,
kewibawaan, pengaruh, kuasa (lihat: Mardiwarsito).
7) Kata
kabuyutan pun lebih baik tidak diterjemahkan, sebab kata itu dapat berarti
“tempat keramat”, “tempat suci” dengan fungsi yang berbeda-beda (kuburan
leluhur, tempat pemujaan dan lain-lain).
8) Istilah rama
di sini berarti “tetua desa” (bukan ayah). Karena itu lebih baik tidak
diterjemahkan.
9)
Kata awak dapat berarti badan atau kuasa.
10)
Tepatnya: nilai kulit lasun di tempat sampah menyamai rajaputra. Rajaputra
dalam hal ini ialah Rakeyan Saunggalah yang kemudian disebut Prabu Ragasuci dan
setelah wafat disebut Sang Lumahing Taman, putera Prabu Darmasiksa.
11) Kata
ngajwal berasal dari kata jwal (sangsekerta : jval) yang berarti: menyala,
bersinar, merah-padam atau naik pitam.
12) Kata
puhun sebenarnya berarti pohon yang dalam hal ini berarti cakal-bagal atau
leluhur. Sinonimnya ialah wiwitan (witwitan) yang sebenarnya juga berarti
tumbuh-tumbuhan (wit = pohon).
13) Kata
sakalih dalam bahasa sunda dapat berarti yang lain atau sekalian (semuanya).
14) Kata
dewata dapat pula berarti suwargi atau almarhum.
15)
Bandingkan dengan catatan 18)! Diterjemahkan makan tidak
tepat.
16) Lihat
tinjauan sejarah!
17) Kata
tahun di sini berarti: tumbuh-tumbuhan, tanaman, pohon.
18) Kata
daranan (sansekerta: dhara) menurut konteks kalimat harus diartikan bantuan
bahan makanan (mcdonell). Kata kemakmuran lebih memadai.
19) Rama,
resi, dan prabu disebut tritangtu dibuana yang sama kedudukannya tetapi berbeda
tugas. Ketiga-tiganya dianggap penjelmaan Mahapurusa.
20) Kata
aum dapat diterjemahkan dengan ya untuk menyeru Tuhan. Si aum adalah mereka
yang senantiasa menyeru (mengingat) Tuhan. Juga berarti kebenaran atau
kenyataan tertinggi (hakiki).
21) Kata
hööh berarti: ya, benar, sungguh-sungguh.
22)
Karungrungan = kasöndöhan , selalu dikerumuni orang karena sifatnya yang
menyenangkan.
23) Kata
madahkön berasal dari kata adah (= adas) yang berarti buruk atau jelek;
madahkön = memburukkan atau menjelekkan.
24) Kata
ngapus berasal dari kata apus = tali atau ikat. Angapus atau ngapus berarti
mengikat atau membuat sajak.
25) Kata
menak adalah kontradiksi dari ma + inak yang berarti merasa enak atau senang.
Kemudian digunakan pula untuk menyebut golongan masyarakat yang terhormat
(dianggap enak hidupnya).
26) Kata
kandel dalam hal ini tidak berarti tebal, melainkan kaandel (dipercaya,
dianggap, diandalkan).
27)
Rupa-rupanya, karena Pleyte dan Holle mengartikan kata kandel itu dengan
tebal,maka kata kulit muncul sebagai asosiasinya. Dilihat dari hubungan kalimat
dan maknanya, perkataan kandel kulit (= tebal kulit) di sini tidaklah tepat,
bahkan janggal. Sangat mungkin dalam naskah tertulis kulina (orang keturunan,
bangsawan). Hal ini sejalan dengan kata menak pada frase berikutnya.
28) Di
sini kata menak berarti orang mulia, bangsawan.
29) Dalam
kropak 630, lembar X, dikatakan, bahwa memiliki keahlian dan mengerjakan
profesi dengan sepenuh hati disebut tapa di nagara.
30) Karena
kata pindah di sini berarti hilang, maka “ na bah” seharusnya ditulis nambah
(=menambah).
31) Kata
pakaprada berasal dari kata paka = perlu, muda, matang, lengkap, tulus hati,
penuh, cukup) dan pradana = utama, pertama, terkemuka.
32)
Menurut Coolsma, kata titis di antaranya berarti meneran (tepat) dan kona
(kena).
33) Dalam
bahasa Sunda: delit atau pundungan.
34)
Maksudnya berbaring bermalas-malasan (sunda : gégéléhéan)
35) Dalam
bahasa Sunda sekarang: toleran atau oleran = tak pernah menyimpan atau
meletakkan sesuatu pada tempatnya dan kemudian melupakannya.
36) Kata
bria ubahan dari wirya = keberanian, keperwiraan.
37) Kata
bara(ng)hual berasal dari kata hual= suka mengungkit-ungkit kesalahan
atau keburukan orang lain atau membalikkan perkataan seseorang.
38) Kata
pwapwarose (sekarang: poporose) berarti berusaha keras memperoleh sesuatu
dengan memaksakan diri.
39) Kata
wahidan berasal dari kata Sangsekerta vahita=amanat.
40) Kata
rusit dalam bahasa Sunda sekarang menjadi rujit=menjijikkan, mengesalkan karena
banyak tingkah atau karena terlalu memilih-milih.
41) Kata
nangwa dalam Bahasa Sunda sekarang menjadi nango(h)=menjulurkan muka dengan
dagu ditopang sambil tidak berbuat atau memperhatikan sesuatu.
42) Kata
lagu di sini berarti waktu (lagu indit)=waktu berangkat).
43) Padi
yang ayöh (rebah) pada usia muda, masih dapat dipanen, sedangkan padi hampa
(kalimat sebelumnya) nihil hasilnya.
44) Kata
dayöh diartikan negeri berdasarkan penjelasan dalam kropak 630 lembar XV
mengenai isi yang dimaksud:”Desa ma ngaranya dayöh, na dayöh lamun kosong hantö
turutanönana”
45) Kata
sikara berasal dari kata Sangsekerta svkara=kekayaan.
46) Kata
simangke berdasarkan konteks kalimat diartikan “untuknanti”.
47) Mungkin
sama dengan kata wulangga (gunung perhiasan). Perubahan wulangga menjadi
hulangga dapat dibandingkan dengan perubahan kata Kawi wulanjar yang dalam
Bahasa Sunda menjadi hulanjar.
48) Kata
teoh sinonim dengan kata landöh: arti umumnya ialah tempat atau tanah yang
rendah. Dalam kamus Coolsma diartikan “onder, beneden” (bawah).
49) Kata
rampas di sini berarti jodoh atau pasang, seperti dalam kata
sarampasan=sepasang, sejodoh atau satu setel.
50) Kata
mangke dapat berarti nanti atau sekarang.
51) Tunggul=sisa
bonhkot kayu bekas tebangan; catang=batang kayu yang sudah roboh.
52) Kata
tuna di sini ambilan dari kata Sangsekerta tunda=batang atau belalai.
53) Kata
teka juga ambilan dari kata Sangsekerta titka=runcing,meruncingkan. Kata cöndök
dalam kropak 630 cedek (=sedek) yang berarti tusuk atau sodok.
Dalam kropak 630 (XII) terdapat ungkapan: Lamun
urang daek dipuji makadyangganing galah dawa sinambungan tuna, rasa atoh ku
pamuji; anggös ma dipake,….eta kangken galah dawa ta, eta kangken pare hapa ta
ngarana”.
Maksudnya ialah perbuatan yang berlebihan
sehingga menjadi sia-sia. Lawannya ialah “galah cedek tinugelan teka”.
54) Kata
agama (a=tidak+gama=pergi, bergerak) sebenarnya berarti sesuatu yang tidak
bergerak atau tidak berubah. Menurut Macdonell, arti kata agama (a suku pertama
pendek) adalah: “immovable, tree”.
55) Kata
pipirakan adalah jamak dari pirak perak (bukan cerai).
56) Kata
kuras sebenarnya dikhususkan kepada hewan kaki empat yang berkuku (hoofed
four-footed animal). Ungkapan lesang kuras (tak pandai menyimpan rezeki)
mula-mula dimaksudkan: seseorang yang ternaknya selalu lepas (kabur)
seolah-olah licin kulitnya.
57) Kata
pake di sini sejalan penggunaannya dengan prasasti Kawali baris 8 dan 9 “pakena
gawe rahayu”. Dalam Bahasa Sunda sekarang kira-kira sama dengan ungkapan pamake
dalam arti adat dan perilaku. Untuk pemerintahan dapat diartikan kebijakan atau
tindakan pemerintah.
58) Kata
höwöng dalam Bahasa Sunda sekarang menjadi löhöng=mendingan, lebih baik.
59) Kata
pindah di sini berarti menjauhkan diri (lihat Marsito!).
60)
Ongkoh-ongkwah (sekarang: ongkoh-ongkoh)=jongjon, tonggoy berarti tidak
mempedulikan hal-hal lain karena tenggelam dalam hal yang sedang dihadapinya.
61) Dalam
Bahasa Sunda dialek bogor ada ungkapan kasiwer=teperhatikan atau sempat
diperhatikan; siwor atau siwer berarti memperhatikan atau menyempatkan dir
Prabu anggalarang atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).
Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja.
Wastukancana berkembang menjadi seorang raja yang seimbang, kebesaran budi pekertinya, seperti tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada prasastinya kawali, yaitu:”Negara akan jaya dan unggul perang bila berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja harus selalu berbuatkebajikan (pakena gawe rahayu)”
Ayahnya, Prabu Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, sebagai karena mempertahankan kehormatan sunda sebagai bangsa yang besar, mendapat julukan Prabu wangi, sehingga dalam cerita Parahiyangan disebutkan bahwa anaknya, Prabu Niskala Wastu kancana adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi.
Wastukancana mempunyai 2 orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati), putri resi Susuk, penguasa Lampung, dan Mayang sari, putri sulung Prabu rahyang Bunisora.
Dari perkawinanya dengan Rara Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum.Sedang dari Mayangsari, putri sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana mempunyai 4 orang putra. Yang sulung, bernama Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) dan bergelar Prabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang ketiga Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa
Setelah
meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng
Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa
disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).
Arya Kedaton (mp. 891-895 M)
Arya Kedathan merupakan raja kerajaan sunda, setelah Rakeyan Wuwus. Arya kedaton bergelar Prabu Darmaraksa Salakabuana.berasal dari istana Galuh, naik tahta Sunda, menggantikan
kakak iparnya,
Rakeyan Wuwus yang meninggal dunia. Ia naik tahta degan merebut kekuasaan dari putra
mahkota Batara Danghiyang
Guruwisuda.
Selama
berkuasa ia tidak disenangi oleh
pembesar istana Sunda. Baru empat tahun
memerintah, Prabu Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan
Sunda. Selanjutnya, tahta kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan
Windusakti, dengan nama nobat Prabu Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik
tahta pada tahun 895 Masehi.
Salah seorang penulis sejarah dan penterjemah peradaban sunda.Ia termasuk salah satu dari 3 orang yang berjasa dalam mengungkap tuisan sejarah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta, disampng Saleh Danasasmita dan Yoseph Iskandar tahun1980-an.
Ia lahir di Jatiwangi Majalengka pada 5 desember 1939 dan meninggal di Sukabumi pada 18 februari 2006. Setelah lulus dari sekolah menengah, tahun 1959 ia melanjutkan ke fakultas sastra jurusan ilmu Purbakala dan Sejarah kuna indonesia (sekarang arkeologi). Dan pada tahun 1964 M, ia bekerja di Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Mojokerto. Pernah mengajar di Fakultas sastra Unpad Bandung (selama 5 tahun), kemudian kembali ke fakultas sastra UI, pada tahun 1983-1987 menjabat sebagai ketua jurusan Arkeologi, pembantu dekan bidang akademik (1999-2000), pembantu rektor IKJ (institut kesenian jakarta0 (1989-19940).
Pada tahun 1978 ia meraih gelar doktor dari UI dengan disertasi berjudul “Bahasa Sunda di Daerah Cirebon , sebagai Kajian Lokabasa”. Dan disertasi ini dianggap sebagai disertasi pertama mengenai dialektologi di asia tenggara.
B
Bagawat Resi Makandria
Banten
Bujangga Manik.
Dharmayawarman (mp. 382-395 M)
Nama gunung gunung di tatar sunda telah diceritakan oleh Bujngga Manik alam naskahnya pada abad ke-15 M. Bujangga Manik banyak menceritakan gunung dalam hal perbatasan / tapal batas wilayah di tatar sunda. Ia juga bercerita tentang gunung ini berkaitan dengan tempat tempat suci atau yang dianggapsuci. Gunung gunung yang ada dalam kisah Bujanggga Manik adalah:
Gunung Burangrang,
B
Babad Pajajaran
Babad Pajajaran ditulis di Sumedang pada
tahun 1816 M, pada masa Pangeran Kornel.
Bagawat Resi Makandria
Bagawat Resi Makandria, adalah mertua dari Wretikandayun, sang pendiri kerajaan Galuh. Keberadaan Bagawat Resi Makandria ini diceritakan dalam Naskah Carita Parahiyangan.
Resi Makandria terkenal sebagai
resi yang sangat alim, ia sejak muda menjalani hidup sebagai resi denga banyak
bertapa. Karena tingkat keilmuannya yang sangat tinggi, dalam naskah ini
diceritakan bahwa ia mengerti perbincangan sepasang burung yang higgap di atas
pertapaannya.
Pada suatu hari ada sepasang
burung jantan dan betina yang bersarang di atas pertapaannya. Burung tersebut
dinamakan “Si Uwur Uwur” atau “Si Naragati”. Si burung betina tersebut
mempunyai anak, tetapi kemudian dimakan oleh jantannya. Maka sag betina itu
marah kepada burung jantannya: “Alangkah hinannya jika kita tidak mempunyai
anak itu. Lihatlah Bagawat Resi Makndria, bertapa itu karena sengsara sebab
tidak mempunyai anak”. Mendengar percakapan burung si uwur uwur tersebut, maka
berkatalah Bagawat Resi Makandria:” Bagaimana akan punya anak, kawin juga tidak.”
Mendengar dari percakapan
tersebut, maka Bagawat Resi Makandria kemudian menghentikan pertapaannya, dan
bertekad menemui Sang Resi Guru manikmaya di Kendan untuk memiinta jodoh.
Setelah menghadap Sang resi Guru, ia kemudian menceritakan tentang perbincangan
burung yang bernama Si Uwur Uwur, bahwa alangkah hinanya jika tidak mempunyai
anak. Maka Resi Makandria menceritakan tentang maksud kedatangannya untuk minta
jodoh ke Sang Resi Guru.
Sang Resi Guru
kemudian menjodohkan Bagawat Resi Makandria dengan anaknya, Pwah Rababu. Dan menyuruh Bagawat Resi makandrai untuk kembali ke pertapaannya, dan calon
istrinya, Pwah rababu akan menyusu kemudian. Singkat cerita, Resi Makandria ini
mempunyai anak perempuan yang bernama Pwah Bungatak Mangalengale.
Dari kisah
ini kemungkinan penulis ingin menekankan tentang pentingnya regenerasi atau
keturunan sebagai suatu upaya untuk kesinambungan peradaban suatu bangsa.
Tentang kisah Bagawat Resi Makandria ini dalam Naskah Carita Parahiyangan, sebagai berikut:
Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si
Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku
jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek bikangna: “Kacida hinana, lamun urang teu boga
anak teh. Bireungeuh tuh
Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara
da henteu boga anak.”
Carek Bagawat Resi Makandria: “Kumaha rek boga anak.
Da kawin oge henteu.”
Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: “Aing dek
indit ka Sang Resi Guru, ka
Kendan.”
Manehna datang ka Kendan.
Carek Sang resi Guru: “Na nahaon bejana, hidep Bagawat
Resi Makandria, nu matak datang ka dieu?” “Pangampura bae; saleresna aya
piwartoseun. Dek nyuhunkeun pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si
Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati.
Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak.”
Carek Sang resi Guru: “Jig hidep ti heula ka patapan
deui. Anaking Pwah Rababu
geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya
manehna pijodoeun hidep teh,
anaking.”
Pwah Rababu terus nyusul, dating ka patapan Sang Resi
Makandria, teu diaku rabi.
Kabireungeuheun aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah
Mandjangandara, nya geuwat Rasi Makandria ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus
sanggama.
Carek Sang Resi Guru: “Enten, anaking Pwah Sanghiang
Sri! Jig hidep indit ngajadi ka lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung.”
Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis,
nya lahir Pwah Bungatak
Mangalengale.
Banten sekarang ini merupakan sebuah propinsi di Indonesia. Banten pada masa kerajaan Sunda
merupakan pelabuhan terbesar (lebih besar dri Sunda kalapa (jakarta). Di era
Islam, banten disamping menjadi nama kesultanan, juga merupakan pusat peradaban
Islam di wilayah barat pasundan.
Kehancuran banten diyakini sebagai akibat dari perang dengan Belanda pad tahun 1813
dan 1832 M, dan yang lebih
tragis lagi karena terjangan tsunawi akibat meletusnya gunung karakatau pada
27 Agustus 1883 M.
Ledakan gunung krakatau pada tahun 1883 M, diungkapkan ole
Simon Winchester, daam bukunya: ” Krakatoa: The Day the world exploded august 27, 1883.” Dalam buku
itu ia mengungkapkan bahwa
ledakan hebat dan meletusnya gunung krakatau pada 27 agustus 1883, yang disusul
tsunami, membunuh hampir 40.000 orang di pulau jawa dan Sumatra. Mayat-mayat
korban dibawa ombak hingga Zanzibar, dan dampaknya terasa hingga prancis. Ia juga menulis bahwa ledakan krakaatau menimbulkan banyak perubahan social, ekonomi, dan
politik. Ia membantu memicu militansi para petani jawa terhadap orang belanda.
Brajawisesa, Prabu (mp. 989-1012 M)
Prabu Brajawisesa atau Rakeyan Gendang naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan wulung
gadung atau prabu Jayagiri, yang
berkuasa selama 23 tahun..
Rakeyan Gendang mempunyai 2 orang
anak, yaitu: Prabu Dewa sanghiyang yang dikemudian hari menggantikan ayahnya
menjadi raja sunda, dan Dewi Rukmawati, dinikahi oleh Prabu Linggasakti
Jayawiguna, penguasa (raja) kerjaan Galuh yang bertahta pada tahun 988-1012 M
Setelah meninggal, ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)Bujangga Manik.
Bujangga manik adalah seorang Pangeran dari kerajaan Pajajaran, yang bernama Prabu Jaya pakuan, yang mengambil jalan hidup sebagai pendeta. Ia melakukan perjalanan 2 kali ke wilayah timur (jawa dan bali). Ia menulis kisah perjalanannya yang kemudian dinamai Naskah Bujangga Manik. Kisah perjalanannya dari tanah Sunda ke Bali telah begitu banyak menceritakan nama tempat, nama sungai dan keadaan masyarakat dizamannya. Meskipun tidak terlalu detail, tetapi kisah perjalanannya ini banyak memberikan keterangan yang bermamfaat dalam hubungannya dengan upaya mengungkap peradaban di indonesia di zamannya,
Naskah bujangga Manik merupakan salah satu naskah primer peradaban Sunda yang ada hingga kini. Naskah ini ditulis pada daun palma (lontar) dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno, dan dipekiraan ditulis pada abad ke-15 M. Manuskrip itu kini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, England. Sejak tahun 1627, naskah tersebut menjadi koleksi Perpustakaan Bodlelan, Oxford University. tersebut.
Bujangga Manik atau nama aslinya Prabu Jaya Pakuan adalah seorang pangeran kerajaan Sunda (bergelar Prabu karena masih kerabat raja) yang kemudian mengambil jalan hidup sebagai pendeta. Dalam tulisannya ia mengambil nama Bujangga Manik. Dan ia juga menamakan dirinya dengan nama "Ameng Layaran" (petualang yang berlayar) setelah kisah perjalanan pertamanya.
Ia melakukan pengembaraan dalam upaya untuk mempelajari dan memperdalam agama yang diyakininya, sehingga ia hidup membujang hingga akhir hayatnya.
Bujangga Manik merupakan seorang intelektual mumpuni dizamannya, ia mengetahui isi kitab-kitab, mengenal susunan buku buku, mengetahuai hukum dan nasehat-nasehat, dan mengenal sanghyang darma, serta menguasai bahasa jawa. Ia juga dikenal sebagai pemahat patung dan ahli bangunan. Di beberapa tempat ia memahat patung, dan merenovasi kembali kabuyutan / tempat suci yang sudah terbengkalai, dan membangun beberapa bangunan baik untuk tempat tinggalnya maupun tempat pertapaanya.
Ia juga terkenal sebagai ahli geografi yang mumpuni di zamannya. Ia telah menyajikan catatan perjalanan yang mengandung data topografis yang terperinci dan akurat. Dalam tulisannya, “Bujangga Manik’s Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source (Perjalanan Bujangga Manik menyusuri Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuna)” Noordyn, seorang peneliti asal Belanda menemukan sedikitnya 450 nama tempat (termasuk nama gunung dan sungai) dalam naskah Bujangga Manik, yang sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa.
Dalam sastra tulisannya menunjukan bahwa dia merupakan seorang sastrawan yang hebat. Naskah Bujangga Manik, berstruktur puisi dengan delapan suku kata, berbahasa Sunda Kuna, dan panjangnya mencapai sekitar 1.758 baris. Bujangga Manik mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis. Sebagaimana yang diteliti oleh Teeuw, seorang penelitti asal belanda, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan pola persajakan yang menawan.
Disamping ilmunya yang mumpuni. Bujangga manik terkenal karena ketampanannya, Tentang ketampanannya, sangat mempesonakan pembantu putri raja, yang bernama Jompong Larang. karena itu Jompong Larang kemudian berkeinginan untuk menjodohkan Bujangga Manik dengan putri raja, yang bernama Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana” .
Jompong larang berkata kepada putri raja sebagai berikut:
“......nama laki-laki itu Ameng Layaran,
seorang laki-laki yang sangat tampan,
lebih tampan dari Banyak Catra,
lebih tampan dari Silih Wangi,
bahkan lebih tampan dari keponakan Putri.
Ia tinggi dan sangat diidam-idamkan,
laki-laki untuk dipeluk dan dibelai di beranda,
untuk ditimang-timang di ranjang,
ditimbang oleh peraturan,
untuk dirangkul di ruang tidur.
Selain itu ia bisa bahasa Jawa,
mengetahui isi dari kitab-kitab,
mengenal susunan buku-buku,
mengetahui hukum dan nasihat-nasihat,
mengenal sanghyang darma........”
Dari ungkapan tersebut diatas, bahwa Bujangga Manik terkenal sangat tampan (ganteng). Sehingga Jompong Larang membandingkannya dengan orang yang tampan ditanah sunda baik sebelum dan sesudahnya. Jompong larang membandingkan dengan ketampanan Banyak Catra, dan Siliwangi. Dan ia juga membandingkan ketampanan keponakan putri raja, yang juga terkenal tampan.
Dari kisah ini sangat jelas bahwa Siliwangi merupakan raja yang telah berkuasa sebelum Bujangga Manik. Jadi jelas bahwa Siliwangi merupakan raja, bukan gelar raja-raja pajajaran, tetapi gelar raja, yang kemungkinan besar nama gelar bagi maharaja Angalarang (Wastukancana) anak dari Prabu Wangi yang gugur di Bubat, tentang ketampanan “Banyak Catra”, belum ada sejarah yang mengungkap siapa dia sebenarnya? Dan siapa juga keponakan sang putri yang terkenal tampan juga?
Dari tulisannya, karya Bujangga Manik ini diyakini ditulis pada abad ke-15 Masehi., dan sebelum Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M. Pada masanya sudah dikenal Demak, kemungkinan baru berdiri, dan Majapahit masih tetap berdiri.. Cirebon tidak diceritakan sama sekali, kemungkinan belum begitu dikenal waktu itul, dan Sumedang Larang masih dikenal dengan nama Medang Kahiyangan.
Tentang penguasa atau raja sunda yang berkuasa dizamannya tidak diceritakan dalam tulisannya, tetapi ia sezaman dengan putri raja yang bernama “ Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana”, yang akan dijodohkan dengannya, tetapi ia menolak karena mau mengambil jalan hidup sebagai seorang pendeta.
Bujangga manik hidup setelah era raja Siliwangi. karena dalam tulisanna menunjukan perbandingan dengan Siliwangi, karena itu ia hidup bukan di era Raja Siliwangi. Dan kemungkinan raja Siliwangi merupakan gelar dari Prabu Anggalarang (Prabu Wastukanana). Karena ia merupakan pengganti (silih) prabu Wangi yang meninggal di medan pertempuran Bubat.
Dari tulisannya juga menandai bahwa Pajajaran waktu itu sangat tenang dan tentram, karena tidak ada perselisihan, sehingga Bujangga Manik tidak pernah menulis tentang ketidaknyamanan di pajajaran (kerajaan sunda).
Bunisora, Prabu (mp. 1357-1371 M)
Prabu
Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang
gugur dalam perang Bubat. Ia menggantikan tahta
sunda, karena putra mahkota (putra Prabu Linggabuana), Wastukencana, masih
kecil (unur 9 tahun). Ia memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp. 1357-1371
M) dengan
gelar Prabu Guru
Pangadiparamarta Jayadewabrata.
Pada
masa pemerintahan Prabu Linggabuana, ia menjabat sebagai patih
mangkubumi, dan menggantikan kedudukan raja, ketika Linggabuana gugur. Dalam menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora,
cenderung mengambil jalan hidupnya sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius.
Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut
sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang. Karena setelah ia menyerahkan kekuasaan pada
wastukancana, ia menjadi pertapa dan resi di jampang.
Kekalahan sang raja Linggabuana dalam perang Bubat bukan berarti kerajaan Sunda takluk. Raja Sunda yang baru, Bunisora menerima permintaan maaf dari penguasa Majapahit, hayam Wuruk, yang mengutus utusan yang berasal dari Bali, seperti yang diungkapkan dalam naskah kidung sunda. Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, maka Prabu Bunisora mengeluarkan peraturan yang kemudian dinamakan dengan Larangan estri ti kaluaran, yang melarang mengawinkan seluruh anggota kerajaan dengan majapahit.
Prabu Bunisora dikenal dengan nama Prabu Kuda lalean. Dan dalam babad
Panjalu disebut dengan nama Prabu Borosngora. Dan setelah meninggal ia dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Gegeromas, karena
ia meninggal di Geger Omas.
Dari perkawinannya dengan permaisuri Laksmiwati, Ia mempunyai anak, yaitu: Giridewata atau Ki
Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja daerah di wilayah Cirebon Girang, Bratalegawa, kelak
memeluk agama Islam dan menjadi haji pertama di tatar
sunda, sehingga ia terkenal dengan
julukan Haji Purwa Galuh, Banawati, kelak
menjadi Ratu di wilayah Galuh. Mayangsari, kelak
berjodoh dengan Sang Niskala Wastu Kancana.
Setelah meninggal, tahta jatuh ke keponakannya dan sekaligus menantunya, yaitu Prabu Wastukencana atau Prabu Anggalarang, atau ada yang menyebut
dengan nama Prabu Siliwangi 1.
C
Candi Bojongmenje
Ketika candi bojong menje di Rancaekek tergali, arkeolog mengatakan bahwa arsitektur candi bojong menje sama persis dengan candi-candi yang ada di peguungan Dieng, tetapi usia candi bojong menje lebih tua. Tetapi penelitian berhenti hingga kini.
Tentang kemiripan antara Bojong menje dan candi dieng hal ini dimungkinkan karena merupakan ciri dari candi sunda, yang dibuat dari nenek moyang yang sama, yaitu kerajaan Kendan dan juga Galuh, yaitu Prabu Sena, putra Prabu mandiminyak dari galuh. Setelah dikudeta oleh Prabu Purbasora ia kemudian melarikan diri ke wilayah timur kesekitar gunung dieng. Disini ia menikahi Sannaha putri dari raja mataram kuno, dan kemudian Sena menjadi raja di mataram kuno (mp. 716-732 M). Karena Sena beragama Hindu dan di tanah kelahirannya (Galuh) membuat candi hindu kurang mendapat dukungan pemerintah (seperti diketahui bahwa hindu di sunda tidak dominan dan tidak jadi agama negara). Senna kemudian membangun candi di pegunungan dieng, yang hampir sama dengan yang ada di nenek moyangnya, Galuh dan Kendan.
Carita Parahiyangan
Carita Waruga guru adalah suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada tahun 1750-an.
Ciamis
Candrawarman (mp. 515-535 M)
Merupakan penguasa ke-6
Tarumanagara, menggantikan ayahnya, Indrawarman, dengan gelar Sri Maharaja
Chandrawarman Sang Hariwangsa Purusasakti Suralagawageng Paramartha, yang
bertahta dari tahun 515-535 M.
Pada masanya menurut naskah
Wangsakerta (pustaka
Jayadhipa), banyak memberikan keleluasaan penguasa daerah dalam mengelola
daerahnya (otonomi). Pada
masa Candrawarman ini banyak penguasa yang menerima kekuasaanya didaerahnya
sendiri karena kesetiaanya kepada Tarumanagara.
Candrawaran kemudian
digantikan oleh anaknya, Suryawarman.
Carita Parahiyangan merupakan suatu naskah
Sunda kuno yang berbahasa Sunda kuno, yang dibuat pada akhir abad ke-16 M, yang
menceritakan sejarah tanah sunda, mengenai kerajaan Sunda, yaitu isatana
(keraton) galuh dan istana (keraton) pakuan. Naskah ini tersimpan di Museum
Nasional Jakarta.
Naskah Carita Parahiyangan terdiri dari 47 lembar daun lontar
ukuran 21 x 3 cm, yang tiap lembarnya berisi 4 baris. Huruf yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah
aksara Sunda kuno.
Naskah ini pertama
kali diteliti oleh K.F. Holle, kemudian C.M Pleyte. Naskah ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Purbacaraka sebagai tambahan laporan mengenai
u Tulis dibogor, dan selanjutnya oleh beberapa sarjana sunda.
Naskah Carita
Parahiyangan ini menceritakan sejarah sunda dari awal kerajaan
Galuh pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota
kerajaan Sunda) akibat serangan kesultanan Banten, Cirebon dan Demak.
Naskah
parahiyangan ini banyak sekali menyebut nama tempat yang merupakan
kekuasaan kerajaan Sunda. Nama-nama tempat ini ada yang tetap hingga kini.
Carita Purnawijaya
Carita Purnawijaya merupakan
karya sastra Sunda yang menceritakan tentang perjalanan Purnawijaya ke Neraka.
Purnawijaya adalah yaksa (buta) yang mendapat pengajaran dari sang dewa utama
mengenai bertingkah laku jahat. Setelah itu Purnawijaya diajak melihat neraka
sehingga mengetahui siksa yang akan dijalani oleh manusia yang banyak
dosa.
Naskah ini
disimpan di Perpusnas (2 karopak 413 dan 423) menggunakan bahasa Sunda kuno dan
tulisan Sunda kuno, yang diukir dalam daun palm, dan dibuat kirakira pada abad
ke17 M. Naskah yang di karopak 423 ada 39 lembar.
Carita Purwaka Caruban Nagari
Naskah ini ditulis sekitar
tahun 1720-an oleh Pangeran Arya dari Cirebon.
Carita Ratu Pakuan
Suatu naskah yang berbentuk pantun yang di
tulis oleh pujangga yang bernama Kairaga,
dari gunung Srimanganti, Cikuray. Naskah ini diperkirakan
ditulis pada akhir abad ke-17 M atau awal abad 18 M dalam bahasa Sunda, yang
dapat ditemukan pada Karopak 410.
Naskah ini
menceritakan dengan indah tentang kepindahan ratu Ambetkasih, istri Sribaduga
maharaja Jayadewata dan selirnya, dari istana Galuh ke istana Pakuan.
Carita Waruga Guru
Hal hal yang penting menyangkut Ciamis. Berdirinya kerajaan Galuh pada taanggal 23Maret 612 M. Digantinya nama kabupaten galuh menjadi kabupaten Ciamis oleh Tumenggung Sastra Winata pada tahun 1916 M. Pindahnya pusat pemerintahan dari Imbanagara ke Cibatu )(ciamis) oleh bupati Raden Aa Wiradikusumah pada 15 Januari 1815 M. Pndahnya pusat kabupaten Galuh dari Garatengah yang letaknya disekitar Cineam (tasikmalaya) ke Cibarunay (imbanagara) pada 12 Juni 1642 M, dianggap sebagai hari jadi kabupaten Ciamis.
Cianjur
Asal usul kabupaten cianjur diketahui setelah masuknya Islam ke Cianjur dari kesultanan banten pada abad ke-16 M. Bupati pertama Cianjur bernama Wiratanu I yang memerintah pada abad ke17 M dan berpusat di Cikidul-Cikalong Kulon, kira-kira 20 Km sebelah utara Cianjur sekarang. Pada masa bupati Wiratanu II ibukota dipindahkan ke tepi sungai daan jalan raya yang telah dibuat oleh Deandels (jalan anyer –panarukan), yaitu kota Cianjur sekarang.
Cianjur menjadi pusat keresidenan Priangan pada masa Raden Kusumah Diningrat, dengan wilayah meliputi: Pelabuhan Ratu sebelah barat, Sungai Citanduy dengan barisan gunung Halimun, Megamendung, Tangkuban Perahu disebelah timur, dan samudra Indonesia di sebelah selatan.
Pada masa bupati R.A.A. Prawiradireja wilayah Cianjur mengalami perubahan menjadi Cikole sebelah barat, Sukabumi sekarang, Bandung dan Tasikmalaya dengan ibukota kresedinenan dipindahkan ke Bandung.
Perkebunan the dan karet merupakan akibat dari system tanam paksa (culture stelsel). Perkebunan tersebut merupakan tempat liburan akhir pekan bagi asisten residen dan orang-orang belanda yang tinggal di Cianjur da cenderung membuat rumah di daerah Cipanas Cianjur..
Cisanti
Cisanti
Sungai Cisanti merupakan salah satu hulu sungai citarum, yang mengalir dari selatan Bandung. Di hulu sungai Cisanti ada danau Cisanti. Dan danau ini terletak di kaki gunung Wayang. Danau ini terletak di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Letaknya yang tersembunyi di pegunungan, serta keindahan alam yang masih asri menjadi alternatif wisata bagi beberapa orang. Selain itu, danau ini juga menyimpan peninggalan sejarah berupa petilasan Adipati Ukur, ksatria Sunda yang memimpin pemberontakan melawan Mataram.
D
Darmasiksa, Prabu (mp.
1175-1297 M)
Dewa niskala, Prabu
Citra Ganda, Prabu (1303-1311 M)
Prabu Citraganda dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat
meninggalnya saja “Nu Hilang di Tanjung”). Ia naik tahta sunda menggantikan ayahnya tahun
1303 M, Prabu ragasuci. Ia berkuasa di tanah sunda (termasuk Galuh dan
galunggung) selama 8 tahun (dari tahun
1303-1311 M), dan berkuasa dengan berkedudukan di pakuan.
Ia merupakan putra dari Prabu
Ragasuci dengan Dara Puspa berasal dari
putri kerajaan Melayu, (Dara Puspa merupakan adik dari Dara Kencana, istri Kertanegara dari Singasari (Jawa
timur sekarang). Prabu Citraganda berprameswarikan Dewi Antini,
yang merupakan putri dari Prabu Rajapurana.
Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu
Linggadewata. Prabu Ragasuci ketika meningal, ia dipusarakan (dimakamkan)
di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang Mokteng
tanjung. D
Darmaraja, Prabu (mp. 1042-1065 M)
Prabu
Darmaraja dalam carita parahiyangan dsisebut “ Nu Hilang di Winduraja”,
yang menjadi raja selama 23 tahun. Prabu
Dharmaraja atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti
Salakasunda buana, naik tahta
sunda menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati, yang meninggal pada tahun 1042 M. Ia
berkuasa atas seluruh tatar sunda (Sunda, Galuh, Galunggung).
Pada awal
kekuasaannya, terjadi pemberontakan yang
dipimpin oleh saudara seayah, Wikramajaya, yang menjadi Panglima Angkatan Laut Kerajaan Sunda.
Tetapi pemberontakannya dapat
ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya,
dan jabatan Panglima Angkatan Laut diganti
oleh Wirakusuma.
Prabu Dharmaraja menikah
dengan Dewi Surastri, dan
mempunyai beberapa orang, diantaranya: Prabu Langlangbumi, yang
kemudian menggantikannya sebagai raja, Darmanagara, menjadi Mangkubumi
kerajaan dan Wirayuda yang menjadi Panglima Perang.
Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang Mokteng
Winduraja, karena ia dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah nama desa di
kecamatan Kawali kabupaten Ciamis.
Jadi ada
gejala setelah wafatnya Sri Jayabupati sampai dengan tahun 1187 M, pusat
pemerintahan Sunda terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja
ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di Winduraja.
Setelah meninggal, tahta sunda kemudian diwariskan kepada menantunya,
Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp. 1065-1155 M)
Darmakusuma, Prabu (mp. 1156-1175 M)
Dalam Carita Parahiyangan prabu Darmakusuma
hanya di sebutkan tempat meninggalnya “ Nu hilang di Winduraja” , yang berkuasa
selama 18 tahun.
Prabu Dharmakusuma naik tahta Sunda ke-24, menggantikan mertuanya.
Rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur
(mp. 1154-1156 M). la bergelar
Maharaja, karena berkuasa atas seluruh wilayah sunda (menguasai 3
kerajaan utama: Galunggung, Galuh dan Sunda).
Prabu Darmakusuma berasal dari
Galunggung, ia merupakan cucu dari penguasa Galunggung, Batari Hiyang Janapati.
Ia menikah dengan putri dari Raja Sunda, Prabu Menak Luhur, yang bernama
Ratnawisesa. Dari perkawinannya ia memperoleh anak yang bernama Sang
darmasiksa, yang dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.
Dalam bagian ini Rakean Darmasiksa
lah yang banyak diungkapkan tentang kelebihannnya,“ ......Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya
eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. Nu ngajadikeun para kabuyutan
ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina
parahiangan. “Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin,
mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.”
Rakeyan Darmasiksa atau Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan
Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa. Ia naik tahta tahun 1175 M menggantikan
ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), dengan
gelar Prabu Guru Darmasiksa
Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. la memerintah seluruh wilayah sunda (termasuk Galuh,
galuggung dan Saunggalah). Pada awalnya beribukota di Saunggalah (Kuningan), tetapi kemudian ibukotanya dipindahkan ke Pakuan (bogor) pada
tahun 1187 M.
Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu Dharmasiksa merupakan
titisan (jelmaan) Dewa Wisnu karena kebbajikannya. Ia mendirikan panti pendidikanna
(Binajapanti) dan sejumlah kabuyutan
(tempat suci-keramat). Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi setiap
golongan, baik untuk para sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi), para
dukun (sang disri), para biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan), dan
para leluhur (parahiyangan).
Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu: Puteri Saungggalah,
memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi, Puteri Darmageng,
memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang Saunggalah, Puteri Swarnabumi
(Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera, Rahiyang
Jayadarma. Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti, yang
bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan Singasari. Dari perkawiannya memperoleh putra yang
bernama rakeyan Wijaya atau raden Wijaya, yang dikemudian hari dikenal sebagai
pendiri kerajaan majapahit.
Prabu
Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang
menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan ia
memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122
tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya
ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.
Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri
Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya
kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M. Sebelum
menjadi raja sunda, Prabu darmasiksa pada awalnya menjadi penguasa di
Saunggalah (Kuningan) selama 12 tahun, mewakili mertuanya.
Karena ia kawin dengan putri raja saunggalah.
Pada awalnya ia berkuasa di Saunggalah I (Kuningan), tetapi kemudian
memindahkannya ke Saunggalah II, di daerah Tasik sekarang. Menurut kisah
Bujangga Manik yang di tulis pada abad ke15 M, lokasi lahan tersebut terletak
di daerah tasik selatan sebelah barat.
Sebagai pangeran, putra, Prabu darmakusuma raja Sunda, ia kemudian
naik tahta Sunda menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1175 M.
Ia berkuasa sebagai raja Sunda dan berkedudukan di Pakuan, sedang di
Saunggalah kemudian digantikan oleh putranya, Prabu ragasuci.
Disebutkan bahwa Rakeyan darmasiksa merupakan penjelmaan dari ’Patanjala
sakti’, yang semula menjadi penguasa wilayah Saunggalah (Kuningan)
Di Saunggalah ia termasuk penguasa yang berhasil, berkat kepemimpinannya yang
bijak serta mampu ’ngertakeun urang rea’ (mensejahterakan kehidupan rakyat
banyak).
Pabu
Darmasiksa memiliki putra mahkota yang bernama Rakeyan Jayadarma, yang
berkedudukan di Pakuan. Rakeyan jayadarma mempunyai istri yang bernama Dyah
Singamurti alias Dyah Lembu Tal, putri Mahisa Campaka dari
kerajaan Singasari.
Dari perkawinan dengan Dyah Singamurti ini ia
mempunyai anak yang bernama Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih
terkenal dengan nama Rakeyan Wijaya, yang lahir
di Pakuan (Dalam Sejarah Jawa
Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya). Karena
Jayadarma meninggal di usia muda, Lembu Tal tidak betah di Pakuan,
akhirnya minta pulang ke Singasari / ke Tumapel
Jawa Timur, sambil membawa anaknya. Setelah dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden
Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan Singhasari. Kelak, ia dikenal
sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan Majapahit.
Dengan
meninggalnya Jayadarma mengosongkan kedudukan putra mahkota. Karena anak
dari Jayadarma, Raden Wijaya berada di negeri Singasari (jawa Timur), maka
tahta Sunda jatuh ke tangan adik dari Jayadarma, Prabu Ragasuci.
Karena
itu dalam babad tanah jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden Wijaya ini
disebut pula Jaka susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari Pasundan).
Raden wijaya sebenarnya merupakan pewaris tahta sunda yang ke-27, tetapi karena
berada di Singasari, tahta jatuh ke tangan pamannya, (adik Jayadarma), Prabu
Ragasuci.
Prabu
Darmasiksa masih memiliki kesempatan menyaksikan kelahiran Kerajaan
Majapahit, yang didirikan oleh cucunya, Raden Wijaya. Menurut Pustaka
II/2, Prabu Darmasiksa pernah memberi peupeujeh (nasehat) kepada cucunya
tersebut:
”Haywa ta sira kedo
athawamerep ngalindih bhmi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha
yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh puyut
kalisayan mwang jaya catrumu, ngke pinaka mahaprabu ika hana ta daksina sakeng
hyang tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang sayogyanyarajya
Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur.
Yantanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha
hitasuka. Yan rajya sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya mangkanajuga rajya
sunda ring wilwatika”
Inti
dari nasehat Darmasiksa ini menjelaskan tentang larangannya untuk tidak menyerang
Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai
dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.
Mungkin
dari nasehat inilah, dari naskah-naskah Majapahit, seperti Nagarakertagama,
atau Kidung Sunda, kerajaan Sunda tidak termasuk Nusantara yang merupakan
wilayah taklukan majapahit. Dan Sunda tidak pernah dikuasai atau kalah perang
melawan Majapahit. Tragedi bubat yang terjadi pada zaman Hayam Wuruk dan Patih
Gajah mada di kemudian hari menunjukan hal itu. Dan tragedi Bubat diyakini
merupakan awal dari kehancuran karir Gajah mada, dan awal dari kemunduran
dari majapahit itu sendiri. Sedang Sunda masih bertahan hingga abad ke-16 M.
Bukti tertulis peninggalan dari Prabu Darmasiksa diantaranya suatu naskah yang
sekarang dinamakan dengan naskah Amanat Galunggung.
Inti dari naskah amanat
galunggung berisi: Keharusan untuk
menjaga dan mempertahankan tanah kabuyutan dari gangguan orang asing, bahkan
tanah kabuyutan sangat di sakralkan. Iapun mentebutkan, bahwa : lebih berharga
kulit lasum (musang) yang berada ditempat sampah dari pada putra raja yang
tidak mampu mempertahankan tanah airnya.
· Memotifasi agar
keturunannya untuk tetap mempertahan Galunggung. Dengan cara mendudukan
Galunggung maka siapapun akan memperoleh kesaktian, jaya dalam berperang, dan
akan mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
Agar berbakti kepada
para pendahulu yang telah mampu mempertahan tanah air pada jamannya
masing-masing.Dewa niskala, Prabu
Prabu Dewa Niskala merupakan raja Galuh menggantikan ayahnya Prabu Wastukancana. Nama aslinya Ningrat kancana, dan merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu wastukencana dengan putri Mayangsari. Ia kemudian diangkat menjadi raja galuh, dengan gelar penobatan Prabu Dewa niskala. Ia berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.
Seperti diketahui ayahnya, Prabu Wastukancana
mempunyai 2 orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati), putri resi
Susuk, penguasa Lampung, dan Mayang sari, putri sulung Prabu
rahyang Bunisora. Dari perkawinanya dengan Rara Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang
haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk
Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum. Sedang dari Mayangsari, putri sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala
Wastukancana mempunyai 4 orang putra. Yang sulung, bernama Ningrat
Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) dan bergelar Prabu
Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.
Yang kedua Surawijaya, yang ketiga Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4,
Gedeng Tapa.
Dewa Sanghiyang, Prabu (mp. 1012-1019 M)
Prabu Dewa Sanghiyang naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Brajawisesa dan berkuasa selama 7 tahun.
Prabu Dewa
Sanghiyang berkuasa aatas kerajaan sunda dan kerajaan galuh, sehingga ia
bergelar Maharaja. Sebagai wakilnya dirinya di kerajaan galuh, ia kemudian
mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa sampai
tahun 1027 M.
Setelahnya tahta sunda kemudian diwariskan kepada
anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp. 1019-1030 M).
Dewawarman 1 (mp. 130-168 M)
Pendiri dan sekaligus menjadi raja
pertama kerajaan Salakanagara, yang berkuasa dari tahun 130-168 M, dengan gelar
Prabu Darmaloka Pala Aji Raksa Gapura Sagara, atau terkenal dengan nama
Dewawarman 1.
Pada awalnya ia merupakan duta keliling kerajaaan Pallawa dari Bharata (India)
di pulau Jawa. Ia kemudian menetap di Barat Pulau Jawa (sekitar Pandeglang)
karena menikah dengan putri penguasa setempat,
Aki Tirem, yang bernama Dewi
Pwahaci Larasati.
Setelah aki Tirem meninggal pada tahun 130 M, ia kemudian menggantikannya, dan
kemudian dinobatkan sebagai raja pertama Salakanagara dengan gelar Prabhu
Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapura Sagara, sedang Dewi Pohaci di beri gelar Dwi Dwan Rahayu. Dan
pada saat itu juga
diberlakukan penanggalan sunda yang kemudian dikenal dengan sebutan saka sunda.
Ia juga mendirikan ibukota Rajatapura.
Dewawarman berkuasa selama 38 tahun,
sejak dinobatkan pada tahun 52 saka (130 M) hingga 168 M. Selama masa
pemerintahannya, ia mengutus adiknya yang merangkap menjadi senopati, bernama
Bahadur Harigama untuk menjadi raja
daerah di Mandala Ujung
Kulon, sedangkan adiknya yang lain yag berman Sweta Liman sakti dijadikan raja
daerah Tanjung Kidul dengan ibukota Agrabhitapura.
Dewawarman 1 berkuasa selama 38 tahun
dan kemudian digantikan oleh anaknya, Dewawarman 2.
Dewawarman 2 (mp. 168—195 M)
Raja kedua Salakanagara dari dinasti
Dewawarman, dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra, yang menggatikan
ayahnya, Dewawarman 1.
Ia merupakan putra sulung dari
Dewawarman 1 dengan Dewi Pohaci.
Dewawarman 3 (mp. 195-238 M)
Raja ketiga dinasti Dewawarman, dengan
gelar Prabu Singa Sagara
Bima Yasawirya, menggantikan ayahnya, Dewawarman 2.
Dewawarman 4 (mp. 238-252 M)
Ia menjadi raja ke-4 kerajaaan
Salakanagara, dari dinasti
Dewawarman. Ia merupakan menantu Dewawarman 2, yang merupakan raja Ujung Kulon.
Dewawarman 5 (mp. 252-276 M)
Ia menjadi raja Salakanagara
ke-5 dari dinasti Dewawarman, menggantikan mertuanya, Dewawarman 4.
Ia menikah dengan putri sulung
Dewawarman 4, yang bernama Mahisasuramardini Warmandewi, yang kemudian
menggantikannya setelah suaaminya (Dewawarman 5) meninggal dunia.
Dewawarman 6 (mp. 289-308 M)
Raja ke-7 dinasti Dewawarman. Ia
dijuluki Sang mokteng Samudra. Ia merupakan putra tertua Dewawarman 5. Ia naik
tahta dinasti Dewawarman menggantikan ibunya, Mahisa Suramardini.
Dewawarman 7 (mp. 308-340 M)
Raja ke-8 dinasti Deawarman, dengan
gelar Prabu Bima Digwijaya
Satyaganapati. Ia merupakan putra tertua Dewawarman 6.
Dewawarman 8 (mp. 348-362 M)
Raja ke-10 kerajaan Salakanagara dari dinasti Dewawarman, dengan gelar Prabu Darmawirya Dewawarman. Ia
merupakan cucu Dewawarman 6 yang menikahi Sphatikarnawa.
Dewawarman 8 mempunyai beberapa orang
anak. Yang sulung, seorang perempuan yang bernama Iswari Tunggal Pertiwi
Warmandewi, disebut juga Minati, yang kemudian menikah dengan Jayasingawarman,
yang kemudian menggantikanya, dan memindahkan ibukotanya ke Tarumanagara,
sehingga kerajaan ini berubah dengan
nama tarumanagara.
Dari istrinya yang kedua, Dewi
Candralocana, putri Sang Kudungga, dari kerajaan Bakulapura, Kutai, ia
mempunyai putra yang
bernama Aswawarman, yang
ketika masih kecil (orok beureum) di asuh oleh kakeknya di Kutai, Kudungga.
Anaknya yang ketiga bernama Dewi Indari, yang
kemudian menikah dengan Maharesi Santanu, raja Indraprahasta (Cirebon Kidul).
Anaknya yang ke-4, bernama Dewawarman, pindah ke Sumatra (Swarnadhipa), yang kemudian menurunkan raja
raja Sriwijaya, diantaranya Adityawarman.
Dewawarman 8 merupakan raja terakhir
Salakanagara. Ia kemudian digantikan oleh menantunya, Jayasingawarman, yang kemudian
memindahkan kekuasaanya ke sekitar sungai Citarum, dan negaranya kemudian
terkenal dengan nama Tarumanagara.
Dharmayawarman (mp. 382-395 M)
Dharmayawarman atau lengkapnya Rajarsi
(Rajaresi) Dharmayawarman guru yang berkuasa
di Tarumanagara dari tahun 382-395 M, menggantikan ayahnya, Jayasingawarman.
Dinamakan Rajarsi dan guru
karena ia juga pemimpin agama.
Setelah meninggal ia dikenal dengan nama Lumah ri Chandrabaga karena dipusarakan di
sungai Chandrabaga. Ia mempunyai 2
orang anak laki-laki dan seorang perempuan,. Putra pertamanya bernama Purnawarman, yang kemudian
menggantikannya
G
Gajah Kulon, Prabu (819-891 M)
Galuh
Prabu gajah atau Rakeyan Wuwus menjadi penguasa Galuh menggantikan kakak iparnya,
Prabu Linggbhumi. Ia merupakan cicit
dari banga yang mewarisi raja Sunda ke-8. Sehingga pada masanya Sunda dan galuh
bersatu kembali.
Rakeyan
Wuwus beristrikan putri keturunan Galuh. Sementara itu adik perempuan
rakeyan Wuwus menikah dengan putra Galuh yang kemudian menggatikan
kedudukannya sebagai raja Sunda bergelar Prabu Darmaraksa Bhuwana atau Arya
Kedatawan
Dengan
demikian sejak tahun 852 M, kerajaan Sunda dan galuh diperintah oleh keturunan
Banga sebagai akibat perkawinan antara kerabat keraton Pakuan, Galuh dan
Saunggalah. Dan terpecah lagi pada masa setelah Prabu Niskala Kancana, yang
membagi kekuasaan bagi kedua anaknya, Prabu Susuk tunggal di pakuan sedang
Prabu dewa Niskala di galuh.
Dan
kedua kerajjaan ini kemudian disatukan lagi oleh cucu Niskala wastu Kancana,
yaitu Jayadewata, yang kemudian berghelar Sri baduga Maharaja. Dan era tersebut
kemudian terkenal dalam sejarah Sunda disebut sebagai era Pakuan Pajajaran
ataau Pajajaran saja, yang dinisbatkan kepada nama ibukotanya, pakuan
Pajajaran.
Galuh
Nama galuh selain nama kerajaan yang berada di ciamis sekarang juga berarti permata, sehinggga ada istilah ilmu kegaluhan yang berarti permata kehidupan yang berada di tengah hati . dalam bahasa sunda istilahnya “Galuh galeuhna galih”
Geusan Ulun, Prabu (mp. 1579-1608 M).
Prabu Geusan Ulun
menjadi raja Sumedang Larang menggatikan ayah dan ibunya, Pangeran Santri dan
Ratu Pucuk Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukotanya.
Pada
masanya kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya, yang
diserang oleh Banten dibawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf. Dan pada
tahun 1579 M (8 Mei 1579 M), ibukota Pajajaran, Pakuan, runtuh.
Sebelum peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, Prabu Ragamulya Surya Kencana, Raja
Pajajaran terakhir mengutus 4 orang kepercayaannya, yang dikenal dengan Kandaga
Lante, yang terdiri dari: Sanghiyang Hawu (Jaya perkosa), Batara Adipati
Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Terong
peot) dan berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja
Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,
kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger,
tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut kebeesaaran tersebut kemudian
diserahkan kepada raden Angkawijaya yang kemudian naik tahta Sumedang larang
dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M).
Meskipun
tempat penobatan raja, Palangka Sriman di Pakuan diboyong ke Banten oleh Maulana
Yusuf, tetapi ia tidak bisa memboyong mahkota kebesaran Sunda. Sehingga
Sumedang Larang lah yang tetap dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda
terakhir.
Prabu
Geusan Ulun adalah raja terbesar dan terakhir. Penerusnya, rangga Gempol I yang
masih berdarah Cirebon kemudian bergabung dengan mataram, sehingga Sumedang
Larang berubah statusnya dari kerajaan menjadi kabupatian.
Wilayah kekuasaan Sumedang Larang meliputi Kuningan, Garut, Bandung,
Tasik dan Suykabumi (wilayah Priangan). Kecuali Galuh (Ciamis). Pada masanya
kerajaan Sumedang mengalami kemajuan yang pesat dibidang sosial, budaya ,
agama, militer dan pemerintahan.
Tetapi
ketika dianggap sebagai penerus kekuasaan dari Pajajaran, luas wilayahnya
semakin luas. Di barat berbatasan dengan sungai Cisadane, di timur
berbatasan dengan sungai Cipamali (brebes, purwekerto, cilacap, Banyumas),
kecuali Cirebon dan jayakarta, batas utara laut Jawa dan selatannya samudra
hindia.
Dalam
upayanya memperdalam agama Islam, Prabu Geusan Ulun pernah ke Demak, yang
diikuti oleh 4 perwira utamanya yang disebut kandaga lante. Setelah dari Demak,
ia mampir di Cirebon Disini ia bertemu dengan penguasa Cirebon, Panembahan
Ratu.
Prabu Geusan Ulun terkenal mempunyai perilaku yang santun,
disamping sangat tampan, sehingga disenangi penduduk Cirebon, termasuk
prameswari Panembahan Ratu, yang bernama Ratu Harisbaya. Sang ratu sangat
tertarik dan jatuh cinta pada Geusan Ulun, sehingga ketika
rombongan Prabu Geusan Ulun pulang ke Sumedang, ia dengan tanpa
sepengetahuannya ikut rombongan. Karena mengancam akan bunuh diri, akhirnya ia
di bawa pulang ke Sumedang.
Karena
kejadian ini Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk
merebut kembali ratu Harisbaya, sehingga terjadi perang antara Cirebon
dan Sumedang.
Dengan
penengah sultan Agung dari Mataram yang meminta agar panembahan ratu
menceraikan ratu Harisbaya, yang aslinya berasal dari Pajang-Demak yang
dinikahkan oleh sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia
dengan syarat menyerahkan wilayah barat sungai Cilutung (sekarang
Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon.
Karena
peperangan itu pula ibukota Sumedang larang dipindahkan ke Gunung Rengganis,
yang sekarang disebut dengan Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki 3 orang istri, yang pertama Nyi Mas Cukang
Gedeng Waru, putri Sunan Pada. Yang kedua adalah Ratu Harisbaya, yang berasal
dari Pajang Demak, dan yang ketiga adalah Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga
istrinya tersebut, ia memiliki 15 orang anak, yaitu
Pangeran rangga Gede,
yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
- Raden Aria Wiraraja
- Kiai Kadu rangga Gede
- Kiai rangga Patrakalasa di Cunduk kayu
- Raden Aria Rangga Pati di Haur koneng
- Raden Ngabehi Watang
- Nyi Mas Demang Cipaku
- Raden Ngabehi Martayudha di Ciawi
- Raden rangga Wiratama di Cibeureum
- Raden rangga Nitinagara di Pagaden dan Pamanukan
- Nyi Mas Rangga pamade
- Nyi Mas Dipati Ukur di Bandung
- Raden Suriadiwangsa, putra ratu Harisbaya dari panembahan Ratu
- Pangeran Tumenggung Tegal Kalong
- Raden kiai Demang Cipaku di dayeuh Luhur.
Nama gunung gunung di tatar sunda telah diceritakan oleh Bujngga Manik alam naskahnya pada abad ke-15 M. Bujangga Manik banyak menceritakan gunung dalam hal perbatasan / tapal batas wilayah di tatar sunda. Ia juga bercerita tentang gunung ini berkaitan dengan tempat tempat suci atau yang dianggapsuci. Gunung gunung yang ada dalam kisah Bujanggga Manik adalah:
Gunung Ageung (gunung gede)
Gunung Gajah.
Gunung Cikuray
Gunung Papandayan
Gunung Agung,pilarnya Pager Wesi.
Gunung Pamrehan,penopang Pasir Batang.
Gunung Kumbang merupakan tapal batas
Maruyung, ke arah utaranya wilayah Losari.
Gunung Cereme pilarnya Pada Beunghar,di selatan
Kuningan,kebarat Walang Suji, wilayah Talaga.
Gunung Galunggung
Gunung Tampomas (gunung Tompo Emas) wilayah
Medang Kahiangan.
Gunung Tangkuban Parahu. pilar wilayah
Gunung Wangi.
Gunung Marucung,pilarnya Sri Manggala.
Gunung Burangrang pilar wilayah
Saung Agung.
Gunung Burung Jawa,pilarnya Hujung Barat.
Gunung Nagarati,pilarnya Batu Hiang.
Gunung Barang,pilarnya wilayah Kurung
Batu.
Gunung Banasraya,pilarnya wilayah Sajra,
Gunung Kosala
Gunung Catih,pilarnya Catih Hiang.
Gunung Hulu Munding,pilarnya Demaraja,
Gunung Parasi,pilarnya Tegal Lubu,
Gunung Hijur (pilarnya Kujang Jaya)
Gunung Sunda (pilarnya Karangiang)
Gunung Karang(pilarnya wilayah Karang)
Gunung Cinta Manik (pilarnya wilayah Rawa)
Gunung Kembang (tempat segala macam
pertapa)
Gunung sembung
Gunung Bulistir di ujung kulon pilarnya
Gunung Anten.
Gunung Bojage.
Gunung Kendan,
Gunung Wayang
Gunung Malabar
Gunung Guntur
Gunung Ratu,
Gunung
Patuha. penopang Majapura.
Gunung Burangrang,
Gunung
Burangrang merupakan sebuah gunung api mati, ditataran Sunda yang
mempunyai ketinggian setinggi 2.064 meter. Gunung ini merupakan salah-satu sisa
dari hasil letusan besar Gunung Sunda di Zaman Prasejarah. Gunung Burangrang
bersebelahan dengan Gunung Sunda.
Dikatakan
oleh Bujangga Manik bahwa Gunung Burangrang, merupakan pilar perbatasan/ tapal
batas wilayah Saung Agung. Di kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah
wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan
Saung Agung.
Gunung Cikuray,
Gunung Cikuray adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Gunung Cikurai mempunyai ketinggian 2.841 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi keempat di Jawa Barat setelah Gunung Gede. Gunung ini berada di perbatasan kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggun.
Nama gunung ini telah ada sejak abad ke 15 M, seperti yang diungkapkan oleh bujangga Manik dalam naskahnya
Gunung Ciremai
Gunung Ceremai adalah gunung berapi
kerucut yang secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni
Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini
merupakan yang tertinggi di tatar Sunda, dengan ketinggian 3.078 m di
atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius
400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar
2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa
Walet. Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis
tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam),
Menurut Bujangga manik dalam askahnya pada abad ke-15 M, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah Talaga. Jadi menurut Bujangga manik di sekitar
Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan dan Talaga.
Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin waktu itu belum
begitu dikenal.
Itu Gunung Ceremay,
pilarnya Pada Beunghar,
di selatan wilayah Kuningan,
ke baratnya Walang Suji,
di situlah wilayah Talaga.
Gunung Guntur
Bujangga Manik
juga menyebut Gunung Guntur, gunung ini terdapat di wilayah barat Garut, Jawa
Barat, yang mempunyai ketinggian 2.249 meter. Gunung Guntur merupakan salah
satu gunung berapi paling aktif pada dekade 1800-an. Tapi sejak itu
aktivitasnya kembali menurun.
Gunung Malabar
Gunung Malabar terletak di bagian selatan
Kabupaten Bandung dengan titik tertinggi 2.343 meter di atas permukaan laut.
Malabar merupakan salah satu puncak yang dimiliki Pegunungan Malabar. Beberapa
puncak yang lain adalah Puncak Mega, Puncak Puntang, dan Puncak Haruman.
Kawasan Gunung Wayang Windu-Gunung
Malabar-Gunung Patuha, kini terbentang hamparan perkebunan teh yang telah
dibangun sejak zaman Belanda atas jasa Karel Albert Rudolf Boscha, astronom
Belanda yang mendirikan perkebunan Teh Malabar, sekitar 300 tahun lebih setelah
kunjungan Bujangga Manik.
Gunung Patuha,
Gunung Patuha merupakan sebuah gunung yang terdapat di sekitar Bandung Selatan. Tingginya 2.386 meter. Gunung patuha memiliki kawah yang sangat eksotik, yaitu kawah putih. Kawah yang terbentuk dari letusan gunung patuha itu memiliki dinding kawah dan air yang berwarna putih, .yang sekarang dijadikan obyek wisata.
Bujangga manik mengungkapkan bahwa Gunung Patuha merupakan pilar/ tapal batas wilayah Majapura.
Gunung Papandayan,
Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut,, tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung mempunyai ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung.Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal.
Di Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.
Keindahan Gunung Papandayan ini telah diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya di abad ke 15 M. Bujangga Manik bahkan menaiki gunung ini, dan melihat lihat sekelilingnya, disuatu tempat yang disebut Panenjoan. Setelah Bujangga Manik naik ke Gunung Papandayan, yang ia sebut dengan Panenjoan (tempat penglihatan). Ia melihat satu persatu wilayah kekuasaan kerajaan Sunda, Ke arah Selatan wilayah Danuh,di timur karang papak, dan di barat balawong yang merupakan wilayah Pager Wesi.
Setelah menanjak ke Gunung Papandayan,
yang juga dipanggil Panenjoan,
aku melihat pegunungan dari sana,
jajaran (?) pemukiman di mana-mana,
semua desa, semua pemukiman,
peninggalan Nusia Larang yang mulia.
Aku melihat mereka satu per satu.
Di arah selatan adalah wilayah Danuh,
di timur Karang Papak,
Gunung Tangkuban Parahu,
Nama Gunung Tangkuban Perahu telah ada sejak abad ke 15 M, hal ini diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya. Menurut Bujangga Manik, Gunung Tangkuban Parahu merupakan pilar atau tapal batas wilayah Gunung Wangi, yang merupakan negara bagian dari kerajaan sunda waktu itu.
Gunung Tangkuban Perahu sekarang berada di kabupaten bandung dan juga Subang. Gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter dan termasuk gunung api aktif.. Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Bujangga Manik dalam naskahnya tidak mengaitkan gunung Tangkuban Parahu ini dengan kisah Sangkuriang.
Gunung
Wayang
Gunung Wayang lokasinya berada di
kabupaten bandung. Kata wayang dalam Gunung Wayang bukan berasal dari
kata wayang (golek) seperti yang kita kenal saat ini. Wayang di sini berasal
dari kata wa, yang berarti angin atau berangin lembut, dan yang atau hyang
artinya dewata. Jadi, kata wayang yang menjadi nama gunung ini berarti angin
yang berembus dari Dewata, atau angin surgawi atau angin dewata yang lembut,
yang mencirikan gambaran keindah-permaian alam yang abadi. Di kaki gunung Wayang terdapat sungai Cisanti yang
merupakan hulu sungai citarum
Berdasar sejarah sasakala Gunung Wayang,
puncak gunung tersebut menjadi tempat bersemedi Pangeran Jaga Lawang.
Gunung Wayang mempunyai ketinggian 2.181 meter diatas permukaan laut.
Nama Gunung Wayang ini telah ada sejak abad ke-15 M, yang
diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya.
Guruminda Sang Minisri (mp.782-799 M)
Dalam
Carita Parahiyangan, Raja Galuh setelah Sang manarah, yang menggantikannya
adalah Sang Minisri, yang berkuasa selama 60 tahun. Sedang dalam Naskah
Wangsakerta Sang Minisri berkuasa selama 17 tahun, dari tahun 782 sampai dengan
799 M.
Sang Minisri bergelar Prabu
Dharmasakti Wijaleswara, menjadi penguasa Galuh, menggantikan mertuanya, Sang
Manarah, yang berkuasa di tanah Galuh dari tahun 783 hingga 799 M,
Sang Minisri menikah dengan Purbasari, putri dari Sang
Manarah. Guruminda Sang minisri dalam cerita Pasundan
terkenal dengan nama Lutung kasarung. Dan kisah tentang berkuasanya banyak
diceritakan dalam kisah lutung kasarung tersebut.
Ia
kemudian digantikan oleh Sang Tariwulan atau Prabu
kertayasa.
H
Haji Parwatasari
Haji Parwatasari berasal dan dibesarkan dari Jampang. Ia melakukan pemberontakan melawan VOC. Dalam melakukan pemberontakannya menggunakan 12 taktik tempur Pajajaran.
Ia diyakini telah belajar di kampus ilmu kemiliteran pajajaran yang terdapat di Pakidulan Sukabumi, di wilayah antara Surade dan Jampang kulon
Hariang Banga (mp. 739-766 M)
Hariang Banga (mp. 739-766 M)
Hariang banga merupakan salah seorang raja terkenal dalam peradaban sunda, karena keturunan raja raja Sunda kemudian berasal darinya, bahkan termasuk kerajaan Majapahit. Hariang Bangan atau sang banga atau Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya,
berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang berkuasa hanya di sebelah barat
sungai Citarum dari tahun 759 M.
Setelah peristiwa kudeta berdarah tahta di Kerajaan
Galuh, antara Ciung Wanaara (Manarah) dengan Sanjaya, akhirnya ditempuh cara dengan jalan
damai. Berdasarkan "Perjanjian Galuh", yang dipimpin oleh
Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah (Kuningan), akhirnya tahta Kerajaan
Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga. la diangkat
menjadi raja sunda pada tahun 739
Masehi, dengan nama nobat: Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
Dari pernikahannya dengan Dewi Kancana sari (keturunan
Demunawan dari Saunggalah), Sang Banga
mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian menggantikan
kekuasaan .
Sebuah naskah abad ke13 M (atau abad ke-14 M) memberitakan bahwa Sang
banga pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai
persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka dari Galuh.
Lepasnya pakuan dari galuh terjadi setelah 20 tahun Banga menjadi
pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk kekuasaanya adalah sebelah barat
Citarum
Hariwangsawarman (639-640 M)
Hariwangsawarman atau dewamurti naik
tahta Tarumanagara ke10, menggantikan Sudhawarman. Dewamurti dianggap sebagai penguasa
yang kasar dan tanpa belas kasih (kejam), hingga akhirnya ia dibunuh oleh
Brajagiri, anak angkat Kertawarman, raja tarmanagara ke-8, yang ia permalukan.
Brajagiri sendiri tewas dibunuh oleh Sang Nagajaya menantu Dewamurti.
Indrawarman (mp. 455-515 M)
Idrawarman mennjadi penguasa
Tarumanagara ke-6, menggantikan ayahnya, Wisnuwarman, yang bergelar Sri Maharaja Indrawarman Sang
paramartha Saktimahaprabhawa lingga Triwikrama bhuwanatala, dan berkuasa selama
60 tahun (dari tahun 455- 515 M).
Setelah meninggal, ia kemudian
digantikan oleh putranya yang bernama Canrawarman.
J
Jaya Giri, Prabu (973-989 M)
Prabu jayagiri atau rakeyan Wulung gadung naik tahta sunda menggatikan kakak
iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia naik tahta karena kakak iparnya tidak mempunyai anak. Rakeyan
wulung Gadung berkuasa di tanah sunda dari tahun 973 smpai 989 M.
Rakeyan Wulung Gadung menikah
dengan Dewi Somya, yang merupakan putri dari Prabu Limbur Kencana, adik dari
Rakeyan Sunda Sambawa. Karena kakaknya, Rakeyan Sunda sambawwa tidak mempunyai
anak, maka ia menggantikan kakak iparnya, Rakeyan Sunda Sambawa atau Prabu
Munding Ganawirya. Dari perkawinannya dengan Dewi Somya ia mempunyai anak yang
bernama Rakeyan gendang.
Rakeyan Wulung Gadung ini kemudian mewariskan kekuasaanya kepada putranya,
Rakeyan Gendang, yang bergelar Prabu Brajawisesa (mp. 989-1012 M).
Jayasingawarman (mp. 358-382 M)
Pendiri kerajaan Tarumanagara,
dengan gelar Rajadirajaguru Jayasingawarman Gurudharmapurusa, yang memerintah selama 24 tahun
(358-382 M).
Pada awalnya ia merupakan
pewaris tahta Salakanagara, menggantikan mertuanya, raja DewawarmanVIII. Tetapi
setelah ia berkuasa pusat pemerintahan dipindahkan dari Rajatapura ke
Tarumanagara, sehingga kemudian nama salakanagara berubah menjadi Tarumanagara.
Dan Salakanagarapun secara otomatis
menjadi negara bawahan Tarumanagara.
Jayasaingawarman merupakan seorang maharesi dari
Salankayana di India, yang mengungsi ke daerah pasundan, karena daerahnya
diserang dan ditaklukan maharaja
Samudragupta dari kerajaan magada, yang mengungsi ke wilayah tanah Sunda.
Tidak seperti penguasa-penguasa
salakanagara, keberadaan Jayasingawarman jelas tertulis dalam prasasti Tugu,
yang ditemukan di desa Cilincing Jakarta. Pada
parsasti ini ia disebut gelarnya saja,
Rajadi rajaguru, bersama dua raja sesudahnya, Rajarsi dan
Purnawarman.
Berdasar keterangan prasasti Tugu, setelah
wafat pad tahun 382 M, Abu jenazahnya dilarungkan (dihanyutkan) di sungai Gomati (sekitar bekasi),
maka itu kemudian dikenal sebagai Sang Lumahing Gomati. Ia lalu digantikan oleh
anaknya, Rajarsi (rajaresi) Dharmayawarmanguru.
Jompong Larang
Kabuyutan hulu sungai
Cimarinjung
Kabuyutan atau tempat suci di hulu sungai Cimarinjung, gunung Bulistir, Ujung kulon diceritkan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya pada abad ke-15 M. Kabuyutan ini dikatakannya sebagai peninggalan Pantajala, seorang pangeran yang gagal menjadi raja. Ia tinggal disana selama 1 tahun lebih, dikarenakan terlalu banyak orang asing yang mendatanginya, yang dianggapnyaa terlalu banyak godaan. (Tentang siapa Pantajala, masih dalam pencarian sumbernya)
Aku pergi ke Hujung Kulan,
karena di sana banyak hal yang menunggu.
Aku berjalan menyelatan,
melanjutkan perjalananku ke Gunung
Bulistir.
Itu hulu Sungai Cimarinjung,
peninggalan Patanjala,
ketika ia gagal menjadi raja.
Di sana aku tidak tinggal lama,
selama satu tahun lebih.
Terlalu sering aku didatangi orang
asing,
oleh orang-orang yang datang dari bawah,
terlalu banyak godaan datang.
Kabuyutan Gunung Sembung
Kabuyutan / tempat suci Gunung Sembung diceritakan dalam naskah Bujangga Manik pada abad ke-15 M. Bahkan ia tinggal Di kabuyutan tersebut 1 tahun. Kabuyutan (tempat Suci) Gunung Sembung, berada di Hulu Sungai Citarum
Setelah mengagumi semua hal itu,
setelah melihat pegunungan,
setelah meninggalkan Panenjoan,
setiba di Gunung Sembung,
yang merupakan hulu Sungai Citarum,
di sana aku singgah bertapa,
sambil melepas lelah.
Setelah mengagumi semua hal dari
perjalanannya, ia kemudian pergi untuk bertapa di Gunung sembung, d hulu sungai
citarum, selama 1 tahun. Disana ia beribadah dan mendirikan Lingga
dan memahat patung serta membuat tugu, yang ia katakan akan menjadi bukti bagi
generasi mendatang, bahwa ia pernah pergi ke sana, seperti yang ia ungkapkan:
Beribadahlah aku melakukan persembahan,
memuja dengan penuh keyakinan.
Kemudian aku mendirikan lingga,
lalu memahat patung,
selanjutnya membuat tugu.
Benda-benda ini menunjukkan pada semua
orang,
bukti untuk orang-orang mendatang,
bahwa aku sudah menyelesaikan tugasku.
Setelah aku beribadah dengan menyapu,
menyapu sampai bersih (?),
pekarangan di sekitar,
aku mendatangi bangunan-bangunan dan
memasukinya,
duduk dalam kesunyian,
memberika penghormatan (?) dan
bermeditasi.
Olehku diresapi,
olehku dinanti-nanti,
apa hasil dari tujuanku,
apa yang menyebabkan penantianku.
Aku menyebutnya
keabadian, kekal bersama zat teragung,
yang memenuhi maksud penantianku.
Karena sebelum adanya diriku,
kebaikan dari orang bijak,
yang mampu menyadari pertapaan
tertinggi,
memilih berkonsentrasi pada diri
sendiri,
untuk memahami pengindraan tertinggi,
dengan mengikuti penciptaan diri yang
sesungguhnya,
tidak dapat terbawa oleh warna [penampilan
fisik],
penuh dengan keberanian, hati yang kuat,
seperti manusia suci yang agung,
yang menunjukkan bukti jelas dari itu.
Setelah exerting dirinya sendiri,
Bujangga Manik yang terhormat
menuju utara, selatan, barat, dan timur,
di pusat dari titik puncak,
mencari tempat untuk tinggal,
mencari tempat untuk bertapa,
mencari air untuk tenggelam,
tempat untuk mati bagiku kelak,
tempat membaringkan tubuh.
Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
selama setahun lebih.
Terlalu sering aku dikunjungi orang
asing,
oleh orang-orang yang datang dari bawah,
terlalu banyak godaan.Kabuyutan Karang Carencang
Kabuyutan atau tempat suci atau Pertapaan Carencang,
di Hulu Sungai Cisokan, di gunung Patuha, diceritakan oleh Bujangga Manik dalam
naskahnya pada abad ke-15 M. Dalam tulisannya ia bahkan menulis, bahwa Diakhir
perjalanannya akhirnya Bujangga manik menemukan tempat bertapanya yang ideal,
di kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda)Karang Carencang
yang suci, di hulu Sungai Cisokan di Gunung Patuha. Di kabuyutan
ini sudah ada Lingga Payung yang menghadap ke Kreti haji. Dikatakannya Lingga
itu bertahta intan permata, yang kilapnya menutupi lingga tersebut, yang
menjadi lingga payung yang menghadap ke Bahu Mitra. Seperti yang diungkapkan dalam tulisannya.
Setelah
kuberangkat dari sana,
sesampai
di Gunung Ratu,
di Karang
Carengcang yang suci.
yang
merupakan hulu sungai Cisokan,
berjalan
menuruni Gunung Patuha,
setengah
jalan menuju Lingga Payung,
yang
menghadap ke Kreti Haji.
Kabuyutan ini diyakini sebagai situs
gunung padang, yang ditemukan sekarang, karena berhulu pada sungai Cisokan.
Menurut legenda, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala
(kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna.
Disana
Bujangga Manik tinggal selama 10
tahun, yang ia katakan 9 tahun untuk pertapaan, sedang di tahun ke-10 nya, ia
melakukan tugas-tugasnya. Tubuhnya dikatakan mulai berat. Dan di hari itulah ia
menggubah puisi /prosanya yang sangat menarik.
Sungguh di sana:
aku menemukan tempat suci,
tempat dengan lingga bertakhta intan permata,
kilapnya menutupi lingga itu (?),
rising upwards, menjadi lingga payung,
menghadap Bahu Mitra.
Olehku telah dibangun tempat tinggal baru,
direkatkan dalam beberapa tingkat,
disambung sekelilingnya,
bagian bawah beralaskan batu pipih,
menghadap ke atas dari arah batu yang berdiri ,
bagian teratas oleh
marmer,
bertaburkan intan permata.
berkilauan di antara mereka,
tujuh bangunan untuk keperluanku,
sebuah dapur dan tempat kayu bakar,
dan juga tempat untuk menebah,
dua bangunan berdiri di jalan
Lumbung dua berjajar
taman di kiri-kanan gerbang,
dengan tanaman yang melambai,
yang akan segera berbuah,
bunga-bunga sedang mekar penuh.
bangunan-bangunan tersebut masih utuh
paviliun tersebut masih bagus.
Ketika waktunya tiba,
telah sampai pada waktu yang tepat
setelah sembilan tahun melaksanakan pertapaan,
pada tahun kesepuluh tugas-tugas telah terpenuhi,
tubuh ini berat,
dalam bentuk yang sempurna.
Ketika bulan segera terbenam,
matahari muncul pada waktunya,
siang digantikan malam,
tahun berakhir, tugas terpenuhi,
yang sudah mati di-walang suji,
yang membusuk di-walang sanga,
tubuh beristirahat kembali di atas dipan,
dengan gegendis sebagai bantal,
meninggal, menghadap kepada hal yang sebaliknya.
Aku mati tanpa penyakit,
meninggal bukan karena penderitaan,
aku telah dilepaskan melalui pembebasan terakhir.
Roh pergi,
kepribadian pergi,
apa yang bebas dilepaskan.
Jiwa dilepaskan dari ikatannya,
sari pati kehidupan dilepaskan dari jiwa,
sama-sama terpisahkan dan hilang.
Tubuhku memasuki dunia yang mati,
berharap (?) menjadi dewa,
ikatan penghubung memasuki kehampaan.
Jiwaku buyar menjadi tak terlihat,
sama dengan dewata.
Kemudian aku berjalan di atas jalan luas,
menemukan jalan yang terbuka luas.
Setiap persimpangan dilengkapi dengan bangunan,
semua jurang memiliki jembatan,
lereng dengan anak tangga,
turunan dengan pijakan tersusun.
Jejak-jejak dari sapu masih bisa terlihat,
melengkung ke arah timur dan barat.
paviliun, bendungan dan bebatuan,
terhubung dalam deretan yang panjang.
Bunga patah tumbuh berdekatan,
bersinar (?) seperti kembang api.
Pohon pinang tumbuh seperti paras,
pinang tiwi dan pinang gading,
pinang tiwi yang sedang mekar penuh,
pinang gading bersinar kekuning-kuningan.
Di tengah-tengah pinggiran sungai terulur,
hanjuang tumbuh sampai mata manusia,
handeuleum tumbuh setinggi manusia,
handong merah dan handong,
“...apakah kau mencintai semua manusia di dunia,
ketika kau masih hidup,
saat ada di dunia?”
Bujangga Manik yang terhormat
merasa seperti sedang ditanyai.
Dengan penuh hormat ia berbicara,
menjawab dengan sopan,
berbicara menurut kata hatinya,
menjawab Dorakala:
“Aku tidak ingin membicarakannya,
agar yang benar tidak menjadi salah,
agar yang baik tidak menjadi buruk,
agar surga tidak menjadi neraka.
Agar kesimpulan mudah dipahami,
Agar kesimpulan tidak datang dari awal.
Aku menolak untuk memanggil saksi dari manusia,
penghuni dunia ini,
semua orang di tengah-tengah dunia.
Di antara seribu seratus satu,
bahkan tidak ada satu pun,
manusia yang perkataannya dapat dipercaya.
Terdapat banyak penjahat,
bahkan dewa diperangi (oleh mereka),
aku menganggap mereka tidak dapat diandalkan,
karena ingin ikut dalam api yang membakar,
karena mereka akan tersesatkan,
oleh mereka yang jahat.
Hanya ada satu pengecualian:
siang hari yang suci adalah saksiku,
malam yang suci adalah saksiku,
bulan dan bintang,
dan bumi pertiwi yang suci.
Mereka yang memelihara dan melihat:
bumilah yang lebih mengamati,
langitlah yang lebih memerhatikan,
kamulah yang tahu mana yang benar.
Mereka yang mengingat rasa,
mereka yang menjaga kekuatan utama,
mereka yang memerhatikan kata-kata,
mereka yang mengamati pikiran,
menjaga sifat asli manusia,
mengerti salah dan benar,
mengetahui buruk dan baik
mereka itulah saksiku.”
Dorokala yang mulia berkata:
“Dengan segala hormat, jiwa yang suci.
Aku tidak akan mendebat,
karena wujudmu tidaklah kabur.
Tubuhmu bersih dan bercahaya,
terlihat seperti dewa,
seperti intan, seperti permata.
Tubuhmu lebih wangi dari opium,
lebih berarti dari kayu cendana,
lebih manis dari kulit kayu masui.
Benar-benar wujud seorang yang benar,
yang menunjukkan makhluk surga.
Dengan segala hormat, jiwa yang suci,
yang terhormat Bujangga Manik,
pergilah seperti yang kau mau,
kamu boleh pergi ke surga.
Setelah meninggalkan tempat itu,
pergilah mendaki,
menanjak,
menuju taman yang bening,
beralaskan permata.
Pancuran dari perunggu bercahaya,
dengan kolam dari perak,
berakhir pada sebuah cerat,
tempat cuci dilapisi emas,
dengan gayung dari bejana perak.
Mandi dan membersihkan diri,
yang mandi membersihkan keringat.
Setelah kau selesai mandi,
jangan berkelana terlalu jauh,
kau di dalam taman bercahaya itu.
Ada sebuah tempat indah yang dituju:
pergilah menuju bangunan yang dekat dengan jalan,
terbuat dari besi hitam,
dipadukan dengan besi magnet,
dipasak besi yang tahan lama,
tiang gading ukiran,
disangga oleh gong jawa,
bertatahkan kaca cina,
dipadu dengan batu kresna,
....dipadukan dengan permata,
dengan bendul perak seperti batu kapur,
dengan kasok terbuat dari .....
beratapkan ubin-ubin perunggu,
yang berpasak emas,
dengan lantai yang dilapisi
dengan rumbai emas hitam,
dipadukan dengan perak putih seperti batu kapur,
yang diikat dengan emas cina,
bergantian dengan kawat jawa.
Cermin jawa dipasangkan,
di setiap tiang bangunan.
Di situ perabot dihias,
sebelum pergi ke surga,
di sanalah tempat berhias,
apa yang tidak tersedia di sana?
cemin jawa bersepuh emas
sisir dari gading berukir,
satu gelas minyak cina
isinya ....
kapur barus dalam guci,
bunga resa di jambangan,
zat kelenjar rusa jantan dalam belanga dari gading,
guci penuh wewangian kayu cendana,
sepucuk ....
... cinta.
Bujangga Manik yang terhormat
lalu diangkat dipangku,
dibawa dari lengan satu ke lengan lainnya,
dibawa ke atas panggung (?),
dari panggung ke tandu,
tandu yang dihiasi gading,
berkendara di atas sapi putih,
dengan kipas bergagang emas,
berkelap kelip oleh batu rubi,
bertakhtakan emas,
dengan batu mirah dan permata di atasnya,
bertatahkan mutiara,
berpadu dengan permata dan batu rubi, batu mirah,
batu-batu beharga dan intan,
semuanya serba indah.
Cerita Darma Kancana,
di atas tirai yang bercahaya,
di bawah tirai yang tembus pandang,
terpasang pada mereka naga yang berhadapan satu sama
lain,
di tengah-tengah naga-naga yang ...,
di bawah naga-naga yang bertemu,
seekor merak yang menari di atasnya,
semua serba indah,
semua benar-benar tidak ternilai,
luar biasa,
sangat baik dan hebat untuk dilihat,
bersinar dengan segala jenis warna,
berkelap-kelip dan bercahaya.
Seperti bunga pamaja
wujud dari jiwa suci,
diramaikan oleh tetabuhan,
goong dan gending yang dipedengarkan,
simbal perunggu dicampur dengan caning,
semuanya tetabuhan
alat-alat musik suci,
Alat musik suci paburancaheun,
simbal rari dimainkan,
gong ditabuh,
payung-payung dengan sutra keling [India],
bendera bambu kiri dan kanan,
barisan panjang sutra putih,
unyut yang berlimpah,
seperti burung kuntul yang terbang indah.
Payung sutra, gading di atasnya,
payung kertas, emas di atasnya,
payung hateup dari sutra keling,
gorden dengan sepuhan Cina,
dihiasi permata yang bergantungan,
satin dengan permata dan emas,
kipas dengan gagang emas,
cahaya keemasan kelopak terong,
di atasnya batu rubi, naga-naga yang merantai,
pajale permata, sangat bermanfaat,
petir berteman cahaya surgawi,
dikelilingi pelangi,
di sana ...).
Kabuyutan Ranca Goda
Kabuyutan atau tempat suci Ranca Goda terdapat di Gunung Patuha
(daerah Ciwidey Bandung selatan, sekarang). Keberadaan kabuyutan ini diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya pada abad ke-15 M. Bujangga manik pernah tinggal di kabuyutan (tempat suci) Randa Goda ini. Ia bahkan membangunnya kembali sebagai tempat pertapaan. Kemungkinan sebelum kedatangan Bujangga Manik kabuyutan ini terbengkalai, karena itu ia membangun kembali situs ini sebagai tempat pertapaan). Bujangga Manik bertapa dan melakukan ibadah disini setahun lebih.
Setiba di Mulah Mada,
melewati Tapak Ratu,
pergi ke Gunung Patuha,
ke tempat suci Ranca Goda.
Aku membangunnya kembali
dan menjadikannya tempat pertapaan,
yang disari oleh mandala
Di sana aku tidak tinggal terlalu lama,
hanya setahun lebih.
Kertawarman (561-628 M)
Kertawarman naik tahta Tarumanagara
menggantikan maharaja Suryawarman. Ia berkuasa dari tahun 561 hingga 628 M.
Ia kemudian digantikan oleh
sudhawarman.Ki Balangantrang
Ki Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama
Resi Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena
menderita penyakit kemir (hernia / burut). Setelah terjadi kudeta oleh
Sanjaya yang menewaskan hapir seluruh keluarga Purbasora, ia yang waktu itu
menjadi patihnya berhasil menyelamatkan diri. Ia juga merupakan kakek dari Sang Manarah, karena Naganingrum nmerupakan
anaknya.
Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten
dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat
dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra
Prahasta, setelah kerajaan ini dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan
karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Ki Balangntarang ini dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam
mendidik Sang Manarah yang kemudian terkenal dengan nama Ciung Wanara. Masa
kecil sang Manarah dalam cerita-cerita rakyat, memang dibesarkan oleh kakeknya
di Geger Sunten, Ki Balangantrang. Dan ketika ia dewasa
kemudian berusaha untuk merebut kekuasaannya dari Temperan. Ia dibantu
oleh kakeknya, Ki Balangantrang yang mahir dalam urusan perang dan
startegi, dengan pasukan yang telah dipersiapkan di Geger Sunten. Perebutan
kekuasaan ini diperhitungkan dengan matang, yaitu pada saat
diselenggarakan pesta sabung ayam yang menjadi kegemaran di kerajaan tersebut.
Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang
hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir
termasuk banga, sang putra mahkota. Manarah bersama anggota pasukannya hadir
dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang memimpin
pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini berhasil dalam waktu yang singkat.
Raja dan prameswari (dewi pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di
gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian
dilepaskan dan dibiarkan bebas. Pada malam hari, banga dapat membebaskan
Temperan dan putri pangreyep dari tahanan.
Tetapi
tindakan banga ini diketahui oleh pengawal, yang segera memberitahu Sang
manarah. Karena itu kemudian terjadi pertempuran antara Banga dan Manarah, yang
berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu Tamperan dan pangrenyep
yang melarikan diri kemudian terbunuh oleh pasukan yang mengejarnya.
Mendengar
putranya, Tamperan meninggal, Sanjaya sangat marah, kemudian ia menyiapkan
pasukan besar dari Medang bhumi mataram untuk menyerbu ibukota Galuh. Dilain
pihak, Manarah telah menduga bahwa sanjaya tidak akan tinggal diam.
Oleh karena itu, ia telah siaga dengan pasukan yang juga didukung oleh
pasukan sisa Indraprahasta (kerajaan ini sat itu telah berubah menjadi
Wanagiri), dan raja-raja daerah Kuningan yang pernah ditaklukan oleh sanjaya.
Sanjaya menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama
Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh
Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh
Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang
Sebrang.
Perang saudara satu keturunan Wretikandayun meletus, dan pasukan Manarah
mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu dapat dihentikan atas prakarsa
rajaresi Demunawan, yang waktu itu berusia 93 tahun. Perundingan gencatan
senjata digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun
tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang
Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian
Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah
kembali.
Untuk
menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan banga kemudian
dinikahkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu
Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedang Banga
sebagai raja Sunda bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya,
mengawini adik Kancanawangi yang bernama Kancanasari.
Manarah
ditakdirkan mempunyai umur yang panjang. Ia bertahta di Galuh hingga
tahun 783 M. Lalu ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari
tahta kerajaan untuk melakukan tapa hingga akhir hayat. Manarah meninggal
pada 798 saat ia berusia 80 tahun.Ki Gedeng Tapa
Ia merupakan penguasa syah Bandar Karawang di era Pajajaran.
Ki Lengser
Ki Lengser adalah tokoh yang selalu dikaitkan dengan kesenian.
Linggabuana Wisesa, Prabu (1350-1357 M)
Kidung Sunda / Kidung
Sundayana
Kidung Sunda adalah sebuah tulisan / naskah dalam bahasa Jawa pertengahan
yang berbentuk syair (tembang), yang kemungkinan berasal dari Bali. Dalam
kidung ini diceritakan tentang kisah pencarian seorang permaisuri Hayam
Wuruk dari Majapahit, dan tragedi perang bubat yang memilukan.
Kidung Sunda adalah sumber tertulis yang paling terinci dan paling penting dalam mengupas tentang peristiwa Bubat yang memilukan dan memalukan. Sebagai naskah kuno yang terdapat di Bali,
Kidung Sunda memberikan yang relative adil dalam mengupas tragedy berdarah di
bubat, penghianatan Gajah Mada dan kepahlawanan Sunda yang tanpa pantang
menyerah.
Dari kisahnya, dengan gaya bahasanya yang lugas dan lancar, tidak berbelit-belit seperti karya-karya sastra,
mengindikasikan adanya factor kebenaran, disamping ditulis oleh orang Bali yang
relative independen dalam menganalisa kisah ini.
Kisah dalam Kidung Sunda memadukan
unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa
yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Dalam kisah ini, Kidung
Sunda menceritakan Patih Anepaken, Patih Sunda yang begitu tegas dan tidak
takut sedikitpun dalam menghadapi tentara Majapahit, meskipun hanya membawa
perlengkapan seadanya, karena hanya mengantar penganten, dan dia tetap
lantang meskipun berada di sarang / daerah Majapahit.
Kemudian cerita yang
dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Hal ini
mengindikasikan bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi. Karena penulis dari
kisah ini cenderung lebih berpihak pada orang Sunda, maka Kidung Sunda jarang
ditampilkan dalam buku-buku sejarah.
Kitab Waruga jagat
Suatu naskah yang berasal dari
Sumedang
Kuningan, Kerajaan
Kerajaan Kuningan merupakan salah satu
kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui kapan kerajaan ini
didirikan, yang pasti awalnya kerajaan ini merupakan bawahan keresian
Galunggung, Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai putri
yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari Batara
Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari Galunggung, putra dari pendiri
galuh, Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang atas
permntaan Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke menantunya, Demunawan.
Masa Demunawan (723 - 774)
Resi Demunawan mendirikan ibukota baru
Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile atau Saung Galah. Dengan demikian
pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung
Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng Gunung Ciremai bagian
selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten
Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja Galunggung),
menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan bawahannya kepada
Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa
sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku. Sebagai seorang
Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan
andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron,
Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan,
Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi
dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran Dangiang
Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (ajaran Kitab Suci), serta
Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya masyarakat
Kuningan merasa hidup aman dan tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar
Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh
kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara antara sesama keturunan
Wretikandayun terjadi kembali pada tahun 739 M. Antara Sonjaya yang
membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara). Perang menelan banyak
korban jiwa.. Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk
meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai
seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran dengan jalan
mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada
tahun 739 M.
Resi Demunawan pada tahun 774 M,
Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun. Setelahnya seolah
kerajaan Kuningan hilang ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan
sejarah Kuningan baru mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan
ibukota pemerintahan Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja
Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019.
Mulai periode tersebut, hubungan antara
Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah di
Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan
Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah. Adalah Raja Sunda,
Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja sunda ke-24, Prabu
Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya itu, Rakeyan
Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada
tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir,
dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan
menggantikan ayahnya yang wafat.
Prabu Ragasuci (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari
Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda
di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil menjaga
kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi raja Sunda tetapi
tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan
Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan dan
Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda. Baru pada sekitar abad
ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara
otonom.
Ratu Selawati (sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari Sribaduga
Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu Selawati, penduduk wilayah
Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini merupakan pengaruh
dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di wilayah Sidapurna
(wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren Quro yang didirikan
oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin pesat setelah Ratu Selawati
di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi muslimah, beliau
kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh Bayanullah). Rantai
sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai terbentuknya
sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.
L
Langlang Bumi, Prabu (mp. 1065-1155 M)
Prabu Langlang Bumi merupakan raja Sunda. Dalam Carita parahiyangan Prabu
Langlangbumi disebut, “ Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu 92 tahun,
lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah”. Ia dipuji
karena ketika berkuasa sangat bijak, dan kelakuannya yang sangat baik “lantaran
ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah”
Prabu Langlang bumi atau Prabu langlang Buana naik tahta Sunda
menggantikan ayahnya, Prabu Darmaraja, dan
berkuasa selama 90 tahun, sedangkan di galuh ia berkuasa selama 92 tahun.
Prabu langlangbumi
lahir pada tahun 1038 M dan meninggal pada tahun 1155 M. Ia menikah dengan Dewi puspawati, putri dari Sang
Resiguru Batara Hiyang Purnajaya, saudara ayahnya. Dari pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi mempunyai
beberapa orang anak, diataranya: Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menak luhur, yang
kemudian menggantikannya sebagai raja di tanah sunda, dan Sang cakranagara yang
kemudian menjadi Mangkubumi (patih).
Peristiwa sejarah yang menarik dalam masa pemerintahan Maharaja
Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti Geger Hanjuang atau
prasasti Galunggung karena ditemukan di lereng Gunung Galunggung, Prasasti ini
ditemukan di bukit Geger Hanjuang yang oleh penduduk setempat disebut
Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari,
Kabupaten Tasikmalaya. Sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26.
Prabu Langlangbumi (1065 - 1155 M) atau sang mokteng Kerta, karena
di makamkan di kerta. Setelahnya kekuasaan Sunda
kemudian diwariskan kepada putranya, Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu
Menak Luhur (mp. 1154-1156 M).
Sang Resiguru Batara
Hiyang Purnawijaya mempunyai 2 anak wanita, yang bernama dewi Puspawati yang
kemudian menjadi istri Prabu Langlang Bumi, dan Dewi citrawati, yang juga
mengharap diperistri oleh Prabu Langlang Bumi. Karena hasratnya tidak tercapai,
maka Dewi Citrawati berusaha untuk membunuh kakaknya, dewi Puspawati.
Karena melihat gelagat yang
membahayakan, ayahnya, sang Resiguru Purnawijaya kemudian mengawinkan Dewi
Citrawati dengan penguasa (raja) Galunggung yang bernama Resiguru
Sudakarenawisesa. Karena lebih memilih jalan hidup sebagai resi, maka
Sudakarenawisesa menyerahkan tahta kerajaan Galunggung kepada istrinya, Dewi
Citrawati, dengan gelar penobatan Batari hiyang Janapati.
Selama memegang kekuasaan di Galunggung, Sang Ratu
Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan dari Kerajaan Sunda,
karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah padam. Untuk
mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk angkatan perang,
membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian, Galunggung, dijadikan
sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota yang baru, Sang Ratu
Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Geger
Hanjuang.
Untuk mengatasi permasalahan dengan penguasa galunggung tersebut, Maharaja Langlangbumi,
meminta bantuan Batara Hiyang Purnawijaya, ayah dari Dewi Citrawati (Batari
Hiyang), dan pamannya yang
menjadi panglima, Suryanagara supaya
diambil jalan damai. Pertemuan itu dihadiri oleh Batara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena,
Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi
Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati,
Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari
daerah bawahan Sunda dan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai akhirnya membuahkan
kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan: Sebelah barat
sebagal Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Langlangbumi, Sebelah timur
sebagai Kerajaan
Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati, dengan ibukotanya di
Galunggung.
Isi prasasti Prasasti Geger Hanjangditulis dalam huruf dan bahasa Sunda
Kuno yang cukup terang untuk dibaca. Walau pun hanya tiga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal
dan tahun. Bacaannya baris demi baris sebagai berikut :
tra ba i gune apuy
na-
sta gomati
sakakala rumata-
k disusu(k) ku
batari hyang pun
Prasasti itu bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba
(badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra (Agustus/September) tahun
1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya: Pada hari ke-13 bulan
Badra tahun 1033 Saka Rumatak (seleai) disusuk oleh Batari Hyang.
Rumatak yang oleh penduduk setempat disebut Rumantak
adalah bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang terletak tidak jauh dari bukit
Geger Hanjuang tempat prasasti itu ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi
dengan parit untuk pertahanan (membangun parit
pertahanan sebagai perlindungan). Berita serupa dapat kita baca dalam prasasti Kawali dan Batutulis di
Bogor.
Prasasti Geger Hanjuang itu membuktikan bahwa perjanjian Galuh tahun 739 M masih tetap dihormati. Dalam
kropak.632 tokoh Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran
yang tertulis dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula
yang dalam kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati
(sang bijaksana atau sang budiman). Cukup unik karena pencipta ajaran tentang
kesejahteraan hidup yang harus men-jadi pegangan para raja dan rakyatnya itu
adalah seorang wanita.
Mengapa Batari Hyang membangun parit pertahanan sebagai perlindung-an pusat
pemerintahannya belum dapat
dijelaskan secara memuaskan. Mungkin ia berjaga-jaga karena
melihat pusat pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh berada di kawasan timur atau
mungkin karena sebab lain.
Pada zaman Prabu Langlangbumi ini (1065 - 1155 M) ada raja kediri yang melarikan diri
ke tanah sunda, karena kalah perang, yang diungkapkan dalam Babad Galuh.
Kemungkinan salah seorang cucu dari Prabu Langlangbumi diperisteri oleh penguasa Kadiri-Janggala Maharaja
Jayabuana Ke-sanananta Wikramotunggadewa (1102 - 1104 M) atau Prabu Surya
Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun memerintah karena kekuasaannya direbut oleh
Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ke tatar Sunda karena permaisurinya berasal dari sini. Mungkin
tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari pelarian dari Kediri dalam Babad
Galuh.
Linggabuana Wisesa, Prabu (1350-1357 M)
Prabu
Linggabuana Wisesa memerintah sunda menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur
Prabawa, dengan gelar penobatan Prabu Maharaja Linggabuana. Ia memerintah kerajaan sunda selama 7 tahun (1350-1357 M). la dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka
(22 Pebruari 1350 M). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi
oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.
Prabu Maharaja Linggabuana berprameswarikan Dewi Lara Linsing, darinya ia
mempunyai 4 orang anak, tetapi anak kedua dan ketiganya meninggal pada usia 1
tahun. Anak pertamanya seorang wanita yang terkenal dalam sejarah, yaitu Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 M, oleh kakeknya
diberi nama Citraresmi, dan anak terakhirnya ( yang ke-empat) seorang
laki-laki yang dikemudian hari menjadi raja yang sangat terkenal, yaitu
Wastukencana yang lahir tahun 1348 M.
Prabu Maharaja Linggabuana gugur di medan perang bubat, dalam mempertahankan harga diri
dan melawan kecurangan majapahit, bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri
Citra resmi.
Karena
anak laki-lakinya (adik dari diah pitaloka) masih berumur 9 tahun, maka
kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati yang
kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora.
Karena meninggal di Bubat, prabu Linggabuana kemudian dikenal juga dengan
nama Sang Mokteng Bubat.
Prabu
Linggabuana terkenal sebagai seorang yang perkasa. Naskah Wangsakerta melukiskan
dirinya sebagai berikut:” Dimedan
perang bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat
menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya
diperintah dan dijajah orang lain.”
Ia
tidak merasa takut berhadapan dengan pasukan majapahit meskipun berada
dikandang lawan (didaerah majapahit). Ia juga tidak merasa gentar meskipun
pasukannya tidak dipersiapkan untuk berperang (ia membawa pasukan hanya untuk
mengantar penganten), dan dalam jumlah yang sedikit, melawan pasukan Majapahit
yang memang sudah dipersiapkan untuk berperang.
Ia
tidak gentar mengahadapi pasukan majapahit yang dipimpin oleh Pati Gajah
Mada yang jumlahmya tidak terhitung.
Ia
senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup
rakyatnya di seluruh wilayah kekuasaanya. Kemashurannya juga sampai kepada
negara-negara di pula pulau dwipantara atau (nusantara namanya yang
lain).
Kemashuran sang raja membangkitkan (rasa bangga kepada ) keluarga, mentri-mentri
kerajaan, angkat perang dan rakyat pasundan. Oleh karena itu namanya mewangi.
Selanjutnya ia kemudian bergelar Prabu wangi.
Lingga Bumi, Prabu (813-852 M)
Prabu Linggabhumi dalam Naskah carita parahiyangan tidak diceritakan.
Dan hanya diceritakan hingga Sang Welengan.
Ia menjadi penguasa Galuh menggantikan Sang
Welengan. Setelahnya tahta Galuh
kemudian diserahkan kepada suami adiknya, Rakeyan Wuwus atau yang
terkenal dengan gelar Prabu Gajah Kulon, cicit Banga yang menjadi raja Sunda
ke-8.Lingga Dewata, Prabu (1311-1333 M)
Prabu Linggadewata dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat
meninggalnya “ Nu Hilang di Kikis” (yang Hilang di Kikis). Ia naik tahta kerajaan Sunda Galuh menggatikan ayahnya, Prabu Citra Ganda. Ia
memerintah tahta Sunda berkedudukan di Kawali selama 22 tahun (mp.
1311-1333 M).
Ia tidak
mempunyai anak laki-laki. Putrinya yang bernama Rimalestari, yang menikah
dengan Ajiguna Linggawisesa.
Setelah meninggal ia dipusarakan di Kikis (Nu Hilang di Kikis), sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang
Mokteng Kikis. Karena ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta
selanjutnya ia wariskan kepada menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa.
Linggawarman (mp. 666-669 M)
Linggawarman dinobatkan sebagai raja Traumanagara
ke-12, menggantikan Nagajayawarman, dengan gelar Srimaharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi. Ia merupakan raja terakhir Tarumanagara, yang
memerintah hanya 3 tahun dari
tahun 666 hingga 669 M.
Ia menikah dengan Dewi Ganggasari dari
Indraprahasta, suatu kerajaan otonom di daerah Cirebon sekarang. Dari
Ganggasari, ia memiliki 2
anak, yang keduanya perempuan. Yang pertama, Dewi Manasih, menikah dengan
Tarusbawa dari Sundasambawa. Sedang yang kedua, Sobakancana menikah dengan
Dapuntahyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Setelah ia meninggal dunia, kekuasaan
jatuh ke tangan menantunya,
tarusbawa. Dan tarausbawa ini kemudian memidahkan ibukotanya, di sekitar sungai
Pakancilan.
M
Mahisasuramardini Warmandewi (mp. 276—289 M)
Ia merupakan putri tertua Dewawarman 4 dan istri dari dewawarman 5. Ia menggantikan suaminya sebagai raja ke-6, ketika suaminya gugur melawan bajak laut.
Mandala Puntang.
Mandala Puntang, merupakan negara bagian dalam kerajaan Sunda. keberadaan Negeri ini diceritakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya.
Kerajaan Mandala puntang dulunya diyakini berada di Panembong Bayongbong Garut sekarang, dan nantinya menjadi cikal bakal kerajaan Timbanganten. Raja terakhir Kerajaan Mandala Dipuntang, Prabu Derma Kingkin memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong). Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten.
Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten nantinya termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung, daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar. Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Sejak pertengahan Abad ke-15 M, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar tatar sunda, terdiri dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan
Medang Kahiangan
Nama Sumedang tempo dulu. Nama Medang Kahiyangan ini di ceritakan dalam Naskah Bujangga Manik pada abad ke-15 M dan juga Carita parahiyangan. Setidaknya Bujangga manik melewati
Medang kahiyangan 3 kali dalam perjalananya ke wilayah timur, yaitu pada
keberangkatan perjalanan pertama, keberangkatan perjalanan kedua dan sekmbali
dari perlanan yang kedua, Medang Kahiangan adalah wilayah sumedang sekarang
ini, atau dikemudian hari terkenal dengan kerajaan Sumedang Larang. yang
mewarisi kekuasaan wilayah Pajajaran, ketika pajajjarann burak / runtuh.
Bujangga Manik belum menyebut nama Sumedang Larang tetapi masih nama Medang
Kahiyangan.
Itu Gunung Tampo Omas,
di wilayah Medang Kahiangan.
Satu-satunya gunung besar yang ada di
Medang kahiyangan adalah Gunung Tampomas (gunung Tompo Emas) yang mempunyai
ketinggian 1.684 diatas permukaan laut.
Prabu Menak Luhuratau nama aslinya Rakeyan Jayagiri merupakan raja Sunda. Dalam
Carita parahiyangan Rakeyan Jaya Giri tidak disebutkan,karena mungkin ia hanya bertahta di wilayah kerajaan Sunda saja,
yang kekuasaanya hanya dari sungai Citarum ke barat.
Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur, berkuasa di tahta Sunda
menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Ia hanya berkuasa sangat singkat yaitu
selama 2 tahun, karena ayahnya Prabu Langlangbumi berkuasa selama 90 tahun (di
sunda), dan di galuh selama 92 tahun. Ayahnya, Prabu Langlang Bumi menyerahkan
wilayah Sunda ke Rakeyan Jayagiri pada tahun 1155 M, sedang wilayah Galuh dan
sekitarnya ia masih pegang sendiri.
Prabu Menakluhur menikah dengan Ratna Satya, yang dijadikan
permaisurinya. Dari
perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna Wisesa. Ratna Wisesa menikah
dengan Prabu Darmakusuma, cucu
Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari pernikahannya dengan Ratna
Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera, Darmasiksa.
Karena Prabu Menakluhur dan Mangkubumi
Cakranagara meninggal pada tahun yang sama, maka kedudukan Raja Sunda, jatuh ke
menantunya, Prabu Darmakusuma. la
bergelar Maharaja, karena berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan
Sunda.
Munding Ganawirya, Prabu (mp. 964-973 M)
Rakeyan Sundasambawa dan bergelar Prabu Munding Ganawirya, naik tahta setelah
mengkudeta Rakeyan Watuagung. Ia merupakan putra dari
Limburkancana. Karena tidak
mempunyai putra, kekuasaan kemudian jatuh kepada adik iparnya, Rakeyan
Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri.
Nu
hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun, kaopatna teu cucud, lantaran
salah lampah, daek ngala awewe ku awewe.
Nagayawarman (640-666 M)
Nagajaya mewarisi tahta dari mertuanya, dEwamurti hariwangsawarman, dengan gelar
Maharaja Nagajayawarman Darmastya Cupjayasatru. Ia berasal dari Cupunagara,
kerajaan bahahan Tarumanagara.
Nagajayawarman memerintah Tarumanagara sejak tahun 562-588 saka (640-666 M).
Setelah ia wafat kemudian digantikan oleh Linggawarman.
Naskah Bujangga Manik
Naskah Bujangga Manik adalah
naskah primer, yang merupakan peninggalan dari naskah berbahasa Sunda yang
sangat berharga. Naskah ini ditulis dalam daun nipah, dalam puisi naratif
berupa lirik yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini seluruhnya terdiri
dari 29 daun nipah, yang masing-masing berisi 56 baris
kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Yang
menjadi tokoh dan yang menulis naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi
Hindu dari kerajaan Sunda. Walaupaun ia seorang prabu (keluarga raja/
bangsawan) dari keraton Pakuan Pajajaran, ia lebih suka menjalani hidup sebagai
seorang resi.
Bujangga Manik melakukan perjalanan 2 kali ke negeri
Jawa. Pada perjalanan kedua, ia singgah di Bali untuk beberapa lama serta
ke pulau Sumatra dan akhirnya ia bertapa di sekitar gunung Patuha sampai ia
meninggal.
Bujangga Manik dalam
naskah ini menyebut negri Majapahit, Malaka, dan Demak, hal ini dapat
diperkirakan bahwa naskah ini ditulis pada akhir abad ke14 M, atau awal
abad ke15 M.
Naskah ini sangat
berharga karena menggambarkan topografi pulau jawa pada awal abad ke15 M. Lebih
dari 400 nama tempat tinggal dan sungai disebut dalam naskah ini dan
berbagai nama tempat yang masih digunakan hingga kini.
Naskah ini sekarang
tersimpan di perpustakaan Bodleian, di Oxford sejak tahun 1627 M.
Naskah Wangsakerta
Naskah Wangsakerta merupakan hasil
pertemuan para ahli sejarah dari hampir 90 daerah di Nusantara yang berlangsung
pada tahun 1677 sampai dengan 1698 M di keraton Kasepuhan Cirebon.
Naskah Wangsakerta adalah suatu istilah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta
secara pribadi atau oleh timnya. Naskah ini ditemukan awal tahun 1970 M,
selain menimbulkan kekaguman karena kelengkapannya, juga menimbulkan
kontroversi dan keraguan. Para ahli sejarah banyak yang meragukan karena
alasan: isinya terlalu histories (tidak umum sebagaimana naskah-naskah
sezamannya), dan isinya cocok dengan naskah-naskah barat, dan mungkin tidak
dibuat pada abad ke-17 M, disamping keadaan fisik naskah (kertas, tinta dan
bangun aksara / huruf) yang kasar, tidak seperti naskah lama pada umumnya.
Pangeran Wangsakerta memenuhi permintaan ayahnya,
Panembahan Girilaya, dari kesultanan Cirebon, agar sang pangeran menulis
kisahkisah kerajaan Nusantara. Kemudian panitia dibentuk untuk mengadakan
suatu gotrasawala (symposium / seminar) diantara para ahli sejarah di
Nusantara, yang hasilnya kemudian ditulis menjadi naskah-naskah yang
sekarang dikenal dengan Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini berlangsung tahun
1599 saka (atau 1677 M), dan penyusunan naskah ini menghabiskan waktu 21 tahun
(selesai pada 1620 saka / 1698 M).
Hurup yang digunakan
dalam naskah ini adalah hurup kawi dengan bahasa yang disebut jawa tengahan,
tetapi menurut wangsakereta sendiri disebut Purwa
Jawa (Jawa Kuno).
Di Perpustakaan
kesultanan Cirebon mengoleksi 1703 judul naskah dan 1213 diantaranya berupa
karya pangeran Wangsakerta dan timnya, mengenai kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Ada 47 jilid yang merupakan gabungan dari sejarah berbagai daerah, yaitu:
· Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara, 25 jilid (sarga). Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
ini dibagi dalam 5 parwa (bab) yang masing-masing mempunyai judul
tersendiri:
- Pustaka Kathosana Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
- Pustaka Rajyawarnana Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
- Pustaka Kertajaya Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
- Pustaka Rajakawasa Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
- Pustaka Nanaprakara Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
- Pustaka Pararatwan, 10 jilid.
- Pustaka Nagara Kretabhumi, 12 jilid.
Naskah Wangsakerta
kini tersimpan di Museum Sribaduga Maharaja, Bandung.
Prabu Nikalendra adalah Raja pajajaran ke-5. Prabu Nilakendra naik tahta
sebagai raja Pajajaran yang ke-5, pada saat situasi kenegaraan yang
tidak menentu, dan prustasi telah melanda ke segala lapisan masyarakat.
Prabu Nikalendra terkenal dengan nama Tohaan di Majaya, karena setelah kekalahan perang melawan pasukan maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Frustasi
dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh
(banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja
dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap
poya-poya raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.
Nikalendra ini sezaman dengan Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, yang menjadi
penguasa kesultanan Banten. Hasanuddin sering melakukan penyerangan terhadap
kerajaan pajajaran dengan melibatkan anaknya, Maulana Yusuf. Maulana Yusuf
inilah di kemudian hari yang mengalahkan dan menguasai keraton Pakuan
Pajajaran.
Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu
cicing di kadaton. Manehna nu
nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj
diatur mirupa taman mihapitkeun
panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas
jajar, diukir diparada
diwujudkeun rupa-rupa carita.
Prabu
Nikalendra mengalami kekalahan, hal ini terjadi ketika sunan gunung jati
masih hidup (dan baru meninggal pada tahun 1586 M). Sang prabu meninggalkan
keraton Pakuan dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit
yang ditinggalkan. Dan ternyata Pakuan masih dan sanggup bertahan 12
tahun lagi.
Tentang situasi dari kerajaan Pajajaran dimasanya, diceritakan dalam naskah Carita Parahiyangan sebagai berikut:
Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta.
Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.
Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi,
Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu.
Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu pateterean.
Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma
rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina
barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borakborak da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.
Lilana jadi ratu genepwelas taun.
Prabu Nusa Mulya atau Prabu Suryakancana merupakan raja terakhir kerajaan Sunda atau terkenal juga denga nama kerajaan Pajajaran. Ia menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada tahun 1567 M.
Prabu Nusamulya atau Prabu Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang berkuasa dari tahun 1567 sampai 1579 M. Nama Prabu Nusa Mulya ada dalam Naskah Carita parahiyangan sedang dalam Naskah Wangsakerta dikenal dengan nama Prabu Ragamulya Suryakancana
Prabu Nusa mulya tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.
Pada masa Rja Prabu Nusa Mulya, terjadi banyak peperangan. Di berbagai arena pertempuran, seperti terjadi di Rajagaluh, Kalapa, Pakuan, Galuh, Datar, Mandiri, Patege, Jawakapala, Gegelang, dan Salajo semuanya dikalahkan oleh orang Islam, seperti diungkapkan dalam Naskah carita parahiyangan:
Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!)
taun. Mimiti datangna perobahan.
Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti
Islam.
Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa
eleh Kalapa. Perang ka Pakwan,
perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri,
perang ka Patege, perang kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang.
Meuntas perang ka Salajo; kabeheleh ku urang Islam.
Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.
Diakhir masa kekuasaan ayahnya, Prabu Nikalendra nyaris ibukota pajajaran lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja. Sebagian penduduknya menggungsi ke wilayah pantai selatan diantaranya ke cisolok dan Bayah, dan juga banyak yang mengungsi ke timur, ke sumedang Larang dan lainnya. Dan putra mahkota sendiri, Prabu Nusamulya mengungsi ke pulosari, pandeglang. Dan disnilah ia kemudian diangkat menjadi raja.
Daerah pulosari Pandeglang, diyakini merupakan daerah asal nenek moyang kerajaan sunda, yaitu daerah yang didirikan oleh Aki Tilem, cikal bakal kerajaan Salakanagara, yang merupakan nenek moyang kerajaan Sunda. Dengan mengungsi ke pulosari setidaknya Ragamulya ingin membangun sejarah baru seperti nenek moyangnya dulu, untuk membangun Pajajaran yang kuat.
Setelah kekalahan perang melawan pasukan maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga diangkat dalam pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Pakuan terkenal sangat tangguh, benteng pertahanan yang dibuat oleh Maharaja jayadewata sngat tangguh untuk ditembus oleh musuh. Diceritakan dalam sejarah Banten, pakuan baru bisa ditembus oleh musuhnya karena ada penghianatan dari dalam pakuan, yang membukakan pintu benteng pakuan. Sehingga dengan leluasa Pasukan yang dipimpin
oleh Maulana Yusuf dari Banten masuk. Dan menghancurkan ibukota.
P
Pabuntelan
Pabuntelan dahulu kala merupakan pusat pemerintahan di era dipati ukur. Di kaki bukit pabuntelan ini terdapat kampung yang namanya Cipatat.
Nama Pabuntelan disebut karena La Faile dalam kunjungannya ke distrik Cipeujeuh dan sekitarnya sekitar awal tahun 1894 M memperoleh bahan dan informasi tentang berbagai peninggalan sejarah terkait dengan dipati Ukur di tempat tersebut.
Pabuntelan terletak di perbatasan distrik Cipeujeuh dan Banjaran
Padabeunghar, Kerajaan
Belum ada yang mencatat tentang sejarah
Padabeunghar ini. Padahal Bujangga manik pada abad ke-15 M telah mengatakan bahwa Gunung Ciremay
merupakan pilar (tapal batas) Padabeunghar. Kemungkinan Padabeunghar ini
terletak di desa Padabeunghar yang merupakan nama sebuah desa yang terletak di
kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan. Nama Padabeunghar ini juga sekarang
dapat ditemui di suatu desa di Sukabumi, yaitu desa Padabeunghar, sebuah desa
yang terletak di kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi.
Para peneliti masih kebingungan dengan
Padabeunghar ini, apakah hanya merupakan ibukota atau nama keerajaannya juga.
Ada yang mengaitkan bahwa Padabeunghar di era Bujangga Manik sama dengan
Rajagaluh sekarang. Mengingat pada arti pada artinya kaki gunung, dan beunghar
artinya kaya atau sugih-mukti. hal itu mirip dengan loh jinawi (loh =
tanah, jinawi = subur-makmur). Dengan demikian Raja artinya yang menguasai,
galuh artinya permata; rajagaluh sama artinya dengan yang banyak
mempunyai permata, alias kaya.
Setidaknya ada 2 kali Bujaangga Manik
berbicara tentang Padabeunghar ini, sebelumnya ketika setelah dari
Saunggalah perjalananya ke barat ia melewati Padabeunghar.
Sesampai di Saung Galah
berangkatlah aku dari sana
ditelusuri Saung Galah
Gunung Galunggung di belakang saya
melewati Panggarangan
melalui Pada Beunghar
Pamipiran ada di belakangku.
Pakuan
Pakuan merupakan ibukota kerajaan Sunda terakhir. Tome Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) /ibukota kerajaan Sunda terletak 2 hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa yang terletak di muara sungai Ciliwung.
Pancakaki Masalah
Karuhun Kabeh,
Suatu naskah yang berasal
dari Ciamis yang ditulis pada abad ke 18 M, dalam bahasa Jawa dan huruf
Arab Pegon.Pangeran Arya Cirebon (w. 1723 M)
Pangeran arya Cirebon, Ia menulis naskah “Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis pada tahun 1720 .Carita Purwaka Caruban nagari ini mulai diterbitkan tahun 1972.
Pangeran arya Cirebon atau Pangeran Adiwijaya merupakan putra bungsu sultan kasepuhan pertama. Dan merupakan kemenakan dari Pangeran wangsakerta. Dalam percaturan sejarah tatar sunda , nama Pangeran Arya Cirebon cukup dikenal karena sejak tahu 1706 ia ditunjuk oleh VOC menjadi Opzichter para bupati di priangan.
Buku karyanya dinilai memeiliki kadar kesejarahan yang cukup tinggi, karena menyebut sumber penulisnya. Dan diakhir tulisannya ia menyebut, bahwa tulisannya disusun berdasarkan naskah Pustaka Nagara Kretabhumi karya Pangeran wangsakerta.
Pangeran Jaya Pakuan
(lihat Bujangga Manik)
Pangeran Wangsa Kerta
Pangeran wangsa kerta dari cirebon merupakan orang indonesia pertama yang menyususn sejarah Nusantara yang lengkap. Karena terlalu lengkap dan juga ilmiyah sehingga sampai sekarang oeh masyarakat indonesia karyanya masih diragukan.Karya Wangsakerta mulai diperkenalkan oleh 3 penulis dan sejarawan sunda, yaitu Ayatrohaedi, Saleh Danasasmita dan Yoseph Iskandar pada tahun 1980-an
Pangeran Wangsakerta adalah anak ketiga Panembahan Girilaya (w. 1662 M) dari Cirebon. Sedang Panembahan Girilaya merupakan cucu dari Sunan Gunung jati dan menggantikan kakeknya sebagai raja Cirebon, karena ayahnya sendiri telah meninggal. Pangeran Girilaya menikah dengan putri Mataram, dan mempunyai 3 orang anak, yaitu Pangeran Martawijaya, yang kemudian dikenal dengan Sultan Sepuh 1, yang menurunkan para penguasa di Kasepuhan. Anaknya yang kedua, yang bernama Pangeran Kartawijaya, yang kemudian menjadi sultan Anom 1, dan kemudian menjadi leluhur para sultan Kanoman. Dan ketiga yaitu Pangeran Wangsakerta, tyang tidak mempunyai wilayah kekuasaan dan membantu kakanya sultan Sepuh.
Pangeran wangsakerta dikenal kutubuku, Jilid terakhir dari karya utamanya yang berjudul Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, kitab tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara”, jilid terakhir merupakan daftar pustaka yang menyebut tidak kurang dari 1700 judul naskah
Perang Bubat
Perang Bubat
Peristiwa Bubat setidaknya tercatat dalam suatu naskah yang dinamakan dengan nama Kidung Sunda, atau Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Di Bali sendiri kidung ini dinamakan geguritan Sunda.
Melihat rombongan Sunda yang tidak bersenjata lengkap, timbul niat jahat gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan Sunda, sebagai pembalasan atas kekalahan-kekalahan sebelumnya.
Dalam naskah-naskah kuno, yang dibuat pada masa majapahit, baik oleh para pujangga, tidak memasukan kerajaan sunda pada negara-negara nusantara. Kerajaan Sunda tidak pernah kalah perang melawan majapahit, bahkan dimungkinkan Majapahit pernah mengalami kekalahan yang tragis, seperti apa yang diungkapkan oleh Patih Anepaken kepada Gajah Mada, naskah Kidung Sunda dari Bali menceritakan dengan jelas tentang itu.
Patih anepaken merupahan mahapatih Sunda yang mengikuti rombongan maharaja Linggabuana untuk mengantar putri ke Majapahit. Ia tidak merasa takut meskipun hanya diiringi oleh 300 pasukan untuk melawan ribuan yang dipersiapkan oleh Gajah Mada.
Dari perkataan yang dikutip dalam kidung Sunda tersebut, maka ada beberapa kesimpulan: Patih Anepaken ingin mengatakan bahwa kerajaan Sunda adalah kerajaan besar, yang tidak ada satu negarapun yang dapat menguasai Sunda, demikian juga Majapahit.
Kritikannya terhadap moralitas Majapahit yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Menantang perang kepada lawan yang tidak membawa senjata perang, dan dengan harapan persaudaraan (perkawinan). Ingin mengingatkan bahwa tempo dulu ketika majapahit berperang dengan kerajaan Sunda, dengan kekalahan yang telak, dimana para mantrinya dengan meminta belas kasihan dari para prajurit Sunda
Gajah mada sangat mengetahui kehebatan kerajaan Sunda, karena tidak mungkin mengalahkan mereka, bahkan pernah kalah sebelumnya. Karena itu ia bagaikan mendapat durian runtuh ketika rombongan raja Sunda datang ke kandangnya dengan tidak bersenjata lengkap, karena hendak mengantar penganten, suatu kesempatan untuk balas dendam.
Perang bubat diyakini mengakibatkan akhir dari karir patih Gajah Mada. Ia dipersalahkan karena peristiwa itu. Meskipun masih menjabat patih hingga beberapa tahun berikutnya, tetapi pamornya sangat menurun.
Prabu Gajah Kulon (mp. 812-
Prabu Gajah Kulon (mp. 812-
Prabu Gajah Kulon atau dalam Naskah carita Parahiyangan disebut Rakeyan Wuwus merupakan raja kerajaan Sunda. Ia naik tahta Sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan Diwus, dengan
gelar Prabu Gajah Kulon.
Prabu Gajah Kulon atau Rakeyan
Wuwus menikah dengan putri
Sang Welengan, Raja Galuh (mp. 806-813 M), yang bernama Dewi Kirana. Setelah Sang Welengan meninggal
dunia, tahta galuh jatuh ke kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842 M). Tetapi, karena Prabu Linggabumi tidak
mempunyai keturunan, maka tahta Galuh juga jatuh ke Rakeyan Wuwus. Sehingga
Rakeyan Wuwus berkuasa atas Sunda dan Galuh. Dengan demikian, kekuasaan di wilayah Sunda
Galuh dipegang oleh Prabu
Gajah Kulon keturunan Sang Banga, pada tahun 825 Masehi.
Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua
orang putera, ialah: Batara Danghiyang Guruwisuda dan Dewi
Sawitri. Sebagai putera laki‑laki, Batara Danghiyang Guruwisuda, pada
tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi
Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi
Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).
Setelah Prabu Gajah Kulon wafat, tahta Kerajaan Sunda
dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh Sang Arya Kedaton, dengan nama
nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Baru empat tahun memerintah, Prabu
Darmaraksa Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda.
Purbasora, Rahiyang (mp. 716-723 M)
Rahiyang Purbasora merupakan raja ke-4 dari kerajaan Galuh. Rahiyang Purbasora bergelar Prabu Purbasora jayasakti mantraguna menjadi
Raja di Galuh yang ke-4, setelah berhasil mengkudeta Rahiyang Sena pada
tahun 716 M. Ia mewakili orang
yang lurus dan menjunjung tinggi moral, yang ingin melakukan pembaharuan di
Galuh.
Purbasora merupakan putra dari Semplak Waja, putra pertama raja Galuh,
Wretikandayun, yang tidak bisa menggantikan ayahnya karena giginya ompong,
disamping telah menjadi resi di Galunggung. Purbasora menikah dengan putri Raja
Indraparhasta (di sekitar Cirebon sekarang), Sang Resi Padmahariwangsa, yang
bernama Dewi Citrakirana. Diceritakan bahwa Purbasora dianggap
type ideal Raja Galuh waktu itu, dan patihnya bernama Bimaraksa, atau
yang dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang, merupakan anak
dari Rahiyang Jantaka (Rahiyang Kidul).
Rhiyang Purbasora terkenal kuat
keinginannya untuk membangun negara, dan cenderung sangat idealis. Latar
belakang idealis dan juga pada awalnya termarjinal, Prabu purbasora sangat apik
dalam menata pemerintahannya. Dia mengkudeta Prabu Sena karena alasan yang
leBih mengacu pada agama dan moralitas, bahwa sang Raja, Prabu Sena bukan orang
yang cocok menjadi raja. Prabu Purbasora masih menganut idealisme kekuasaan di
galuh. Ayahnya tidak berkuasa hanya alasan giginya ompong, padahal dia
adalah anak yang tertua, karena sebenarnya ayahnyalah yang harus berkuasa di
tanah Galuh. Hal ini juga terjadi pada pamannya yang kedua, Jantaka Rahiyang
Kidul, yang juga tidak bisa menjadi raja karena kemir. Dan Hak Raja jatuh pada
pamannya yang ketiga, Prabu Mandiminyak, yang secara fisik dia sehat, tetapi
secara moral ia adalah orang yang rusak, karena telah berbuat skandal dengan
ibu Purbasora. Dan ketika Mandiminyak lengser, meninggal, justru yang
menggantikannya adalah Prabu Sena yang notabene adalah anak hasil dari hubungan
gelap antara Prabu Mandiminyak dan Rababu.
Secara moral lingkungan kerajaan
Galuh pada masa Mandiminyak dan juga Raja Sena berada dalam masa yang rendah,
dan masyarakat Galuh seolah mencibir keadaan istana yang penuh dengan skandal,
dan telah terjadi pembenaran. Meskipun Prabu Sena tidak bersalah atau patut
disalahkan, karena ia hanya hasil skandal. Tetapi masyarakat seolah tidak mau
tahu dan hal ini berkembang menjadi bahan ejekan masyarakat. Hal inilah
kemudian ditangkap oleh Prabu Purbasora. Disamping sangat dihormati secara
moral, Purbasora oleh masyarakat justru dianggap sebagai tokoh ideal untuk
menguasai Galuh. Disamping gagah perkasa, purbasora adalah cucu pertama dari
Prabu Wretikandayun. Karena itu ketika ia melakukan kudeta terhadap Sena seolah
didukung oleh rakyatnya, sehingga kudetanya sangat cepat dapat dilakukan.
Pada tahun-tahun pertama berkuasa,
ia mencoba menghancurkan basis-basis kekuasaan Prabu Sena. Dan ketika sudah
merasa aman dia berkuasa ia memulai melakukan langkah-langkah untuk
memeperbaiki keadaan negaranya. Pada masa Purbasora ini keberadaan Galuh mulai
diperhitungkan lagi. Kekuatan militernya juga sangat mumpuni. Dengan bantuan
dari pasukan kerajaan mertuanya, ia dapat dengan mudah menguasai kerajaan Galuh
dengan waktu yang singkat.. tetapi Prabu Purbasora tidak memprediksi kudeta
dari keponakannya, Sanjaya, yang justru datang tidak diduga duga.
Purbasora hanya berkuasa selama 7 tahun (716-723 M), dan kemudian
digulingkan oleh keponakannya, Sanjaya (Rakeyan Jambri), putra Sena, penguasa
yang dikudeta sebelumnya.Purnawarman (395-434 M)
Purnawarman merupakan raja ke-3
dan Raja terbesar Tarumanagara, yang memerintah selama 39 tahun (antara tahun
395 hungga 434 M). Ia naik tahta Tarumanagara menggantikan ayahnya,
Dharmayawarman, dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya
Bhimaarakrama Suryamahapurusa Jagatati atau Sang Pramdara Saktipurusa.
Zaman Purnawarman merupakan zaman
keemasan tarumanagara. Banyak prasasti memuat kebesaran namanya. Setidaknya ada
7 prasasti yag berkaitan dengannya.
Dalam memerintah ia dibantu adiknya,
Cakrawarman, yang menjadi panglima perang (didarat). Sedangkan pamanya,
Nagawarman menjadi panglima angkatan laut. Dari prameswarinya, ia mempunyai
beberapa anak laki-laki dan perempuan. Diantaranya Wisnuwarman, yang kemudian
menggantikannya.
Setelah meninggal, ia digelari Sang
Limahing Tarumanadi, karena
abu jenazahnya di larungkan di Sungai Citarum, dan tahta selalunjutnya jatuh
kepada anak sulungnya, Wisnuwarman.
Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana merupakan putri dari raja sunda. Nama putri ini ada dalam catatan di Naskah Bujangga Manik. Putri ini terkenal sangat cantik sekali seperti diungkapkan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya, yang ia dengar dari ibunya (ibu Bujangga Manik) yang membujuknya supaya Bujangga manik mau menikah dengan sang putri:
"......Mungkin kau tidak tahu,
Sang Putri rupawan berkulit indah bercahaya,
tubuh molek dan perilaku baik,
selain cantik juga mempunyai keahlian,
terlindungi dengan baik dan tak dapat dikalahkan,
rambut bewarna hitam kebiru-biruan,
berilmu tanpa diajarkan,
cantik dari sejak lahir,
adil sejak dikeluarkan dari kandungan,
dia tidak ada tandingannya.”
Dan dalam kritiknyaa terhadap jompong larang terhadap kecerobohannya. Ia menulis juga tentang kecantikan sang putri.
“.......Pahanya padat, pergelangan tangannya molek,
jari tangannya runcing,
kukunya panjang,
alisnya melengkung, pelipisnya menyatu,
susunan giginya yang indah, ........”
R
Ragasuci, Prabu (mp. 1297-1303 M)
Prabu
Ragasuci dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya saja “ Nu
Hilang di Taman”. Nama masih belum menjadi raja terkenal dengan
nama Rakeyan Saunggalah, dan
setelah menjadi raja bergelar
Prabu Ragasuci. Ia naik tahta
sunda menggantikan ayahnya, Prabu Resiguru Darmasiksa,. Ia berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297 hingga 1303 M.
Karena sebelumnya, ayahnya, Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang, menjadi raja di Kerajaan
Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi). Ragasuci memerintah berkedudukan Di Saunggalah
(Kuningan).
Prabu
Ragasuci sebenarnya bukan putra
mahkota, karena kedudukan itu dijabat kakaknya, Rakeyan Jayadarma. Karena
Jayadarma meninggal ketika masih muda (usia 44 tahun), ia kemudian naik tahta menggantikan ayahnya.
Prameswarii Ragasuci yang bernama Dara Puspa berasal dari putri kerajaan
Melayu, dan merupakan adik dari Dara Kencana, istri Kertanegara dari Singasari
(Jawa timur sekarang). Dari istrinya ia mempunyai anak yang bernama
Citraganda, yang dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.
Setelah
meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan
di Taman, sehingga ia kemudian dikenal dengan nama Sang Mokteng Taman.Rahiyang Kidul
Rahiyang Mandiminyak
Rahiyang Mandiminyak atau nama aslinya Amara merupakan anak bungsu Wretikandayun yang lahir tahun 624 M, Ia diangkat
menjadi putra mahkota, dan kemudian menjadi raja di Galuh menggantikan
Wretikandayun setelah wafat.
Rahiyang Mandiminyak ketika masih menjadi pangeran melakukan skandal percintaan dengan kakak iparnya (istri dari Sempak Waja)., sehingga ia kemudian diasingkan untuk sementara.
Diceritakan dalam naskah Carita parahiyangan, suatu waktu
Rahiyang Mandiminyak yang
merupakan putra mahkota Galuh, mengadakan pesta perjamuan (utsawakarma) di
istana. Ia juga mengundang saudara-sudaranya, termasuk Semplak waja dan
jantaka. Yang mengundang adalah
ayahnya (Wretikandayun), yang merupakan raja Galuh waktu itu. Sempakwaja tidak
hadir karena sakit namun karena menganggap undangan ayahnya tersebut penting,
maka ia diwakili oleh isterinya Pwah Rababu. Sementara Pwah Rababu pergi ke Galuh, keduan anaknya tinggal di Galunggung merawat ayahnya (sempak Waja).
Kehadiran Pwah Rababu yang
cantik di Istana Galuh ternyata menerbitkan masalah. Pwah
Rababu disamping parasnya yang sangat cantik juga ia terkenal sangat pandai
menari. Dan ketika ia ikut menari di halaman istana (buruan ageung) sangat
menggemparkan masyarakat, berduyun-duyunlah orang untuk melihatnya, sehingga
buruan ageung (halaman istana) sangat ramai. Hal ini membuat penasaran Sang
Putra Mahkota. Dan ketika ia melihat wanita yang sangat cantik sekali maka
tertarik, padahal mengetahui bahwa ia merupakan kakak iparnya.
Rahiyang Mandiminyak kemudian
menyuruh patihnya untuk memaksa Pwah rababu untuk dibawa ke istanannya.
Rahiyang Mandiminyak sangat mencintainya, hal ini mungkin juga sudah dipendam
sejak dulu ketika kakaknya mendapatkan Pwah rababu yang terkenal sangat cantik.
Rahiyang mandiminyak terkenal sebagai orang yang pandai merayu, Dan dengan
paksaan maka dikhabarkan selama 4 hari
terjadilah smarakarya (skandal asmara) antara Pwah Rababu, yang cantik itu, dengan adik iparnya, Rahiyang Mandiminyak.
Hasil skandal kedua manusia berlainan jenis itu adalah seorang anak
laki-laki yang kemudian dinamakan Sena yang lahir pada tahun 661 M. Sena artinya sang salah, karena ia
dilahirkan dari hubungan yang salah.
Skandal percintaan antara
rahiyang mandiminyak dan Pwah rababu sangat menggemparkan istana galug dan juga
kerajaa. Kerajaan menjadi kisruh karena
peristiwa tersebut, tetap akhirnya
dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pwah Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung, dan
setelah lahir Sena harus dirawat oleh
Mandiminyak sebagai pertanggungjawabannya.
Untuk
meredam gejolak, dan juga reputasi istana yang terkenal sebagai pusat
keagamaan. Menurut sejarah,
Mandiminyak selanjutnya disingkirkan secara halus dari keraton oleh ayahnya,
Wretikandayun. Ia dikawinkan dengan Parwati anak Ratu Sima dengan
Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah
Mandiminyak tinggal di Kalingga.
Dari perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha. Kelak
setelah Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima
menjodohkannya dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun
683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).
Pada tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa
Kalingga Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi
dua. Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan
Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan
timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang
memerintah sampai tahun 742 M.
Tentang skandal ini diceritakan dalam Naskah Carita Parahiyangan, sebagai berikut:
Barang ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh
rungukeuneunana, tatabeuhan di
Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh
taya kendatna nu ngigel.
Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang
Mandiminyak: “Patih, na naon eta
ateh?”
“Bejana nu ngigel di buruan ageung!”
“Eta bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu.
Keun tanggungan aing.
Geuwat bawa sacara paksa!”
Patih indit ka buruan ageung. Pwah Rababu dibawa ka
kadaton. Dipirabi ku
Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah
Rababu. Tina sapatemonna, nyalahir anak lalaki dingaranan Sang Sena.
Rahiyang Sena (mp. 709-716 M)
Rahiyang Sena erupakan raja kerajaan galuh ke-3. Rahiyang Sena dengan gelar Bratasenawa menjadi raja Galuh yang
ketiga menggantikan ayahnya,
Mandiminyak. Ia naik tahta pada tahun 709 M setelah ayahnya (Mandiminyak
meninggal) pada tahun itu juga. Tetapi hal ini tidak diterima oleh kakak
seibunya, Purbasora, yang merasa
lebih berhak naik tahta Galuh. Purabasora kemudian mengkudeta Sena pada tahun
716 M.
Setelah dikudeta oleh Rahiyang Purbasora, Rahiyang
Sena kemudian melarikan diri ke negeri istrinya, Sanaha, di Kalingga Utara (Rajya
Medang i Bhumi Mataram). Di Bumi Mataram ini ia mewarisi tahta dari
istrinya, menjadi raja di Medang Bumi Mataram tersebut.
Medang bumi mataram
beribukota di sekitar daerah yogyakarta sekarang. Pusat Kerajaan Medang pernah
mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah jawa
timur sekarang. Dan diantara raja-raja yang berkuasa di Medang Bumi
Mataram diantaranya Sena dan Sanjaya. Berdasar Prasasti Mantyasih tahun
907 M atas nama Dyah Balitung menyebut nama Rakai mataram sang ratu
Sanjaya. Tetapi dalam Prasasti canggal tahun 732 M, menyebut
raja yang pernah berkuasa sebelumnya adalah Senna.
Jadi ada korelasi sejarah
dari Galuh dan Medang Bumi Mataram yang berasal dari prasasti-prasasti yang
ditemukan di eks kerajaan Medang Bumi Mataram.
Rajaputra
Raja kedua dari kerajaan Kendan, dan merupakan putra dari Resi Manikmaya atau Sang Resi Guru. Dalam naskah Carita Parahiyangan diceritakan “Sang Resi Guru boga anak
Rajaputra”, demikian baris kedua dari carita Parahiyangan tersebut.
Rajaputra
merupakan gelar untuk Suraliman, yang dikenal sebagai
seorang yang mahir dalam perang. Disamping itu, ia juga terkenal sangat tampan disamping
kelebihannya dalam ilmu perang dan strategi. Pada usia 20 tahun Suraliman diangkat menjadi senopati Kendan, dan
akhirnya diangkat menjadi panglima balatentara (baladika) Tarumanagara.
Setelah
ayahnya (Manikmaya) meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja kendan yang
ke-2. Penobatannya berlangsung pada tanggal 12
bagian gelap bulan asuji tahun 490 saka (5 Oktober 568 M). Pada masa pemerintahannya ia selalu unggul dalam peperangan.
Suraliman menikah dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari kerajaan
Kutai di Kalimantan, keturunan
Kudungga). Dari pernikahannya dengan Dewi Mutyasari tersebut, ia mempunyai
seorang putra yang bernama Kandiawan, dan seorang putri yang bernama
Kandiawati. Kandiawan yang kemudian bergelar Rahiyangta ri Medang Jati kemudian
menggantikannya, sedang adiknya, Kandiawati, menikah dengan saudagar asal
Sumatra dan tinggal bersama suaminya.
Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun (568-597 M), yang kemudian
digantikan oleh putra sulungnya, Sang Kandiawan.
Rakeyan Hujung Kulon (MP. 783-795 M)
Rakeyan
Kamuning Gading, dengan gelar Prabu Pucukwesi, naik tahta
menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan berkuasa hanya 3 tahun (913-916
M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.
Rakeyan Medang (mp. 766-783 M)
Rakeyan Diwus (MP. 795-812 M)
Rakeyan Diwus bergelar Prabu Pucuk Bumi naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Hujung Kulon Prabu Giling Wesi.
Ia berkuasa selama 24 tahun., dari tahun 795 hingga 812 M. Ia kemudian
digantikan oleh putranya, rakeyan Wuwus.Rakeyan Hujung Kulon (MP. 783-795 M)
Rakeyan Hujung kulon merupakan raja kerajaan Sunda pengganti Raakeyan Medang. Rakeyan Hujungkulon bergelar Prabu Gilingwesi, naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan berkuasa selama 12 tahun dari tahun 783-795 M.
Rakeyan Hujung Kulon merupakan putra raja Galuh, Sang Mansiri. Karena Rakeyan medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ketangan menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.
Dari negeri ayahnya, tahta Galuh jatuh kepada adiknya, sang Tariwulan, dengan gelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
Rakeyan Hujung Kulon juga tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara pada tahun 795 M.
Rakeyan Jayagiri (mp.916-920 M)
Rakeyan Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa Jaya Buana berkuasa di tahta sunda setelah mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning
Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya,
Rakeyan Watuagung.
Setelah mengkudeta
kekuasaan dari kakaknya sebagai raja Sunda, Rakeyan Jayagiri juga berusaha
untuk menguasai Galuh yang masih dipegang oleh keturunan Rakeyan Kamuning
Gading. Putri Kamuning Gading menikah dengan penguasa Galuh, Rakeyan JayaDrata,
yang merupakan cucu dari Dahyiang Guruwisuda dari putrinya yang bernama Dewi
Sundara. Dan berbarengan dengan kudeta Jayagiri terhadap Kamuning Gading,
di kerajaan Galuh terjadi suksesi kekuasaan kepada Rakeyan Jayadrata.
Untuk menyempurnakan
kekuasaanya, pasukan kerajaan
Sunda kemudian diperintahkan oleh
Rakeyan Jayagiri untuk merebut keraton
Galuh. Tetapi ia dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Galuh. Serangan kedua yang besar dan lengkap, dikerahkan untuk menyerbu Kerajaan
Galuh. Serbuan kedua juga dapat dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh
Prabu Jayadrata.
Karena tidak pernah dapat
dikuasai oleh Rakeyan jayagiri, maka kerajaan Galuh menjadi kerajaan merdeka di bawah naungan Prabu Jayadrata. Dan
kekuasaan Rakeyan jayagiri hanya mencakup kerajaan sunda sebelah barat Citarum.
Rakeyan Jayadrata
menikah dengan putri dari Kamuning Gading. Karena itu, Rakeyan jayadrata
mendukung adik iparnya, Rakeyan Limbur kancana untuk merebut kekuasaan dari
Rakeyan jayagiri. Dan Rakeyan Limbur Kancana dapat merebut kekuasaan dari
Rakeyan Jayagiri pada tahun 920 M.
Di Kerajaan Galuh, kekuasaan telah diwariskan kepada
Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa tahun 949 Masehi.
Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan Harimurti, akhirnya
Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.
Sebagai tindakan balas dendam, Ketika Prabu
Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh seseorang, atas
perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa Jayabuana).
Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suami Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma
Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930 Masehi.
Rakeyan Kamuning Gading. Ia
berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan
Watuagung.
Rakeyan Kamuning Gading ( mp. 913-916 M)
Rakeyan Limburkancana (mp. 920-930 M)
Rakeyan Limburkancana naik tahta sunda setelah mengkudeta pamannya, Rakeyan Jayagiri, sebagai balas terhadap ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916 M.
Rakeyan Limburkancana mempunyai 2 orang anak, yaitu Rakeyan Sunda Sambawa dan Dewi Somya. Setelah Limburkancana meninggal, tahta Sunda direbut oleh menantu Rakeyan Jayagiri yang bernama Rakeyan Watuagung.
Rakeyan medang merupakan raja Sunda setelah Prabu Hariang Banga. Ia merupakan putra dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di
tahta Sunda, yang berkuasa selama 17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan
gelar penobatan Prabu Hulu Kujang.
Ia merupakan putra dari
Hariang banga dari istrinya Dewi Kencana Sari (keturunan Demunawan). Ia tekenal
dengan nama Rakeyan Medang, karena pernah menetap di negeri buyutnya di Medang Bumi Mataram (bekas Kalingga), selama 8
tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah Rakeyan Panangkaran (putera Sang
Sanjaya).
Sebelum menjadi raja, Rakeyan Medang menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda
selama 3 tahun. Dari permaisurinya, Prabu Hulukujang mempunyai seorang puteri, yang
bernama Dewi Samatha. Sang putri
kemudian menikah dengan Rakeyan
Hujungkulon. Karena Rakeyan Medang tidak mempunyai anak laki-laki, maka tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung
Kulon, yang bergelar Prabu Gilingwesi.
Rakeyan Watuagung (930-954 M)
Rakeyan Watu agung bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda
menggantikan mertuanya, Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M).
Ia
kemudian dikudeta oleh sepupunya, putra Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp.
954-964 M)Rakeyan Windusakti (mp. 895-913 M)
Rakeyan Windusakti
dengan gelar Prabu Dewageng Jayeng Buana, naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Arya
Kedaton, yang terbunuh. Ia berkuasa dari
tahun 895 sampai 913 M.
Rakeyan Windusakti menikah
dengan putri dari Rakeyan Wuwus, Dewi Sawitri. Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan
Windusakti, mempunyai dua orang
putera, yaitu: Rakeyan Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri.
Setelah
wafat, ia kemudian digantikan oleh
putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading pada tahun 913 M. dengan gelar Prabu PucukwesiRatu Dewata (mp. 1535-1543 M)
Prabu Dewata buanawisesa atau kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia naik tahta raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.
Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat beragama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah susu, hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang Vegetarian). Hal ini diceritakan dalam naskah carita Parahiyangan:
Prabu Ratudewata, enya eta nu hilang
kasawah-tampian-dalem.
Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah
Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor
ari dikumbah, disunat ku
tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana
asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang
pandita di Ciranjang dipaehann tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita
di Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang
ngaranna, digubruskeun ka sagara,
henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun
ragana di dunya. Katelah
ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing
iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan.
Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun,
kasalapanna tilar dunya.
Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini
menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah
dengan baik. Tapa brata seperti yang dilakukannya hanya boleh
dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti
yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh
penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:
Rupanya
penulis kisah kuno ini melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu
disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu
kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).
Pada
masanya perjanjian perdamaian Pajajaran Cirebon masih berlaku.
Tetapi ratu dewata lupa bahwa ia merupakan tunggul (pimpinan) negara yang harus
tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk beluk dalam politik.
Sementara, Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten, yang ikut juga dalam
menandatangani perjanjian perdamaian Cirebon Pajajaran tersebut, kurang
menyetujui karena wilayah kekuasaanya berbatasan langsung dengan Pajajaran,
tetapi karena kepatuhan pada ayahnya, Sunan Gunung Jati.
Hasanuddin membuat pasukan khusus tanpa identitas resmi, yang mampu bergerak
cepat. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata
ini terjadi serangan mendadak ke ibukota Pakuan dari musuh yang tidak
dikenal asal usulnya. Ratu Dewata beruntung masih memiliki para perwira
yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa, dalam 15 kali pertempuran.
Sebagai veteran perang, perwira ini masih mampu menghadapi serangan musuh,
disamping tangguhnya benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga, menyebabkan
serangan banten (dan mungkin juga dari Kalapa / Jayakarta) ini tidak
mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang pernah jadi
rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran Sri Baduga yang diwariskan kepada
cucu-cucunya.
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota tetapi 2 orang perwira
(senopati) pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan sarendet.
Gagal merebut
benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara
dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri,
yang dalam zaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi
negara.
Ratu Pucuk Umun (1530-1578 M),
Ratu Pucuk umun atau ratu Inten Dewata merupakan Raja (ratu) Sumedang
Larang yang pertama kali masuk Islam. Ia naik tahta Sumedang Larang
menggantikan ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan. Ia merupakan seorang
keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk Islam, dan berkuasa
bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang Larang. Pada
masanya ibukota kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke
Kuatamaya.
Pada pertengahan abad ke-16 M, mulailah corak agama
Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia sendiri kemudian masuk Islam
dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M), yang terkenal dengan
nama Pangeran santri, atau Ki Gedeng Sumedang. Pangeran santri yang
memerintah Sumedang bersama istrinya, sambil menyebarkan islam ke seluruh
wilayah kerajaan.
Pangeran Santri adalah putra dari pangeran Palakaran
(Pangeran Pamalekaran / dipati tetarung), putra arya dammar (sultan Palembang).
Ibunya Ratu Martasari (Nyi Mas ranggawuluung), anak Syekh Maulana
Abdurrahman (Sunan Panjuman) serta cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang
ulama keturunan Arab Hdramaut, yang berasal dari Mekah dan menyebarkan
Islam di berbagai penjuru kerajaan Sunda.
Pangeran
Kusumah dinata terkenal dengan nama Pangeran santri karena asalnya dari
pesantren dan pewrilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahannya tersebut,
berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Dan sejak itu
menyebarlah Islam di seluruh penjuru Sumedang larang.
Dari
hasil pernikahan antara Pucuk Umun dan Pangeran santri melahirkan 6 orang
putra,yaitu
- Pangeran Angkawijaya, yang kemudian dikenal
dengan nama Prabu Geusan ulun, yang menggatikan menjadi raja Sumedang
Larang. Ia merupakan raja Sumedang Larang terbesar dan terakhir
kerajaan Sumedang Larang.
- Kiai rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda
Panjalu dari Narimbang, suapaya memeluk Islam.
- Kiai Demang Watang di Walakung
- Santowaan Wirakusumah yang keturunannya
berada di pagaden dan Pamanukan Subang.
- Santowaan Cikeruh
- Santowaan Awi Luar.
Ratu
pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean gede kota Sumedang.
Ratu sakti (mp. 1543-1551 M)
Sang
Ratusakti Sang Mangabatan merupakan Raja Pajajaran ke-4. Ia menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari
tahun 1543 sampai dengan tahun 1551 M.
Untuk
mengatasi yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim,
ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan
melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah
tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu
sama sekali.
Kemudian
raja melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala
yaitu mengawini Estri Larangan ti Kaluaran, yaitu dengan mengawini
pengungsi yang sudah bertunangan. Konon masih ditambah lagi dengan
berbuat skandal terhadap ibu tirinya, yaitu bekas selir ayahnya. Karena itu
kemudian ia diturunkan dari tahta kerajaan.
Ia hanya
beruntung karena waktu itu sebagian pasukan Hasanauddin dari Banten dan Fatahillah sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu
Pasuruan dan Panarukan.
Setelah
meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.
Tentang keberadaan Ratusakti ini diceritakan dalam naskah carita Parahiyangan sebagai berikut:
diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka
Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe.
Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa,
ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita.
Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.
Resi Manikmaya
Resi Manikmaya atau kalau dalam naskah Carita Parahiyangan disebut dengan nama gelarnya Sang Resi Guru. Ia merupakan pendiri kerajaan Kendan, yang merupakan kerajaan bawahan Tarumanagara dan ia menjadi raja yang pertama.
Ia berasal dari keluarga
calangkayana, India Selatan. Sebelumnya ia telah mengembara mengunjungi
beberapa negara, seperti: Gandi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa
sapi (Ghohnusa) atau pulau Bali, Syangka, yawana, Cina dan lain-lain.
Manikmaya menikah dengan putri raja Tarumanagara ke7, maharaja Suryawarman (mp.
535-561 M) yang bernama Tirtakancana. Oleh Suryawarman ia dihadiahi daerah
Kendan (yaitu suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung
sekarang). Dan ia kemudian dinobatkan sebagai raja resi guru di daerah
ini, yang dilengkapi dengan mahkota raja dan mahkota prameswari. Semua raja
daerah taruumanagara, oleh Suryawarman harus menghormatinya, karena disamping
sebagai menantu raja juga karena sebagai seorang brahmana ulung yang dianggap
banyak berjasa terhadap agama.
Manikmaya memerintah Kendan selama 32
tahun , dari tahun 536 sampai 568 M. Dari perkawinannya dengan Tirtakusuma ia mempunyai seorang putra dan
seorang putri. Yang putra bernama Rajaputra Suraliman, yang kemudian
menggantikannya sebagai penguasa Kendan yang kedua.
SSaleh Danasasmita
Ia termasuk salah satu dari 3 orang yang berjasa dalam mengungkap tuisan sejarah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta, disampng Ayatrohaedi dan Yoseph Iskandar tahun 1980-an. Bahkan ia pada tahun 1986 ia telah berhasil mengidentifikasi Pangeran wangsakerta, sebagai sejarawan Abad XVII. Tulisan itu berupa makalah, pernah disampaikan dalam Seminar Kebudayaaan Sunda Proyek Sundanologi Depdikbud di Bandung pada tanggal 9-11 Maret 1986, yang sebelumnya nyaris tidak dikenal dalam penulisan sejarah Nusantara.
Sang Aki Kolot ( mp. 1340-1350 M)
Dalam Carita Parahiyaangan di
sebutkan bahwa Sang Aki Kolot menjadi raja / berkuasa di Galuh dan Sunda selama
10 tahun.
Sang Aki kolot merupakan
sebutan dari Prabu Ragamulya
Luhur Prabawa, yang naik tahta Sunda (termasuk Galuh) menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Ia
memerintah selama 10 tahun dari tahun 1340 sampai dengan tahun 1350 M.
Sang Aki Kolot atau Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari
Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati. Setelah
meninggal, ia dikenal dengan Salumah Ing Taman, karena ia meninggal
di Taman.
Setelah meninggal kekuasaan
jatuh pada anaknya, yang bernama Prabu
Linggabuana wisesa, yang dalam Carita Parahiyang hanya disebut Prabu
Mharaja, yang berkuasa selama 7 tahun (1350-1357 M), yang gugur dalam perang bubat
Sang Kadiawan
Sang
Kandiawan adalah raja ke-3 dari kerajaan Kendan. Ia merupakan anak dari Rajaputra Suraliman. Sang kandiawan menyebut
dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan
ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia
bergelar Rahiyangta di Medang jati atau terkenal
juga dengan nama Sang Layu Watang. Dialah
yang membuat Sanghiyang Watang Ageung.
Sang Kandiawan menggantikan tahta ayahnya, Suraliman, menjadi raja Kendan yang ke-3.
Sebelum menjadi raja Kendan, ia telah menjadi raja daerah di Medang Jati
atau Medang Gana. Oleh karena itu Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta
Ri Medang Jati.
Setelah
ia dinobatkan menjadi raja, ia tidak berkedudukan di Kendan, tetapi
di Medang Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama
Hindu Wisnu, sedang daerah kendan pemeluk Hindu Siwa. Sang
Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun
(597-612 M).
Sang Kandiawan mempunyai 5
orang putra, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan
Wretikandayun. Kelima anak sang Kandiawan dalam naskah ini
dianggap sebagai “titisan” Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang
Purusa, Sang Puntandjala,
Tahun 612 M, Sang Kandiawan mengundurkan diri dari tahta kerajaan, alalu menjadi pertapa di
Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang
Wretikandayun, yang waktu itu telah menjadi rajaresi di Menir.
Sang Manarah (739-783 M)
Sang Manarah atau Prabu Suratama atau Prabu Jaya Perkosa Mandaleswara
Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut dengan nama Ciung
Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun 739-783 M),
dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur hingga Sungai Citarum
di sebelah barat.
Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya Permanadikusuma, raja Galuh yang
terbunuh oleh utusan Temperan, yang waktu itu menjadi patih Galuh. Ibunya Dewi
Pohaci Naganingrum, merupakan cucu dari Ki Balangantrang. Dan setelah
Permana meninggal ia menjadi istri kedua temperan.
Setelah menginjak remaja, ia kemudian melakukan kudeta terhadap keturunan
Sanjaya (tamperan), dengan dukungan penuh kakeknya, Bimaraksa atau kemudian
terkenal dengan nama Aki balangantrang.
Sang Tariwulan Prabu Kertayasa (mp. 799-806 M)
Sang
Triwulan menjadi raja menggantikan Guruminda Sang Minisri. Ia berkuasa di tanah Galus selama 7
tahun, dari tahun 799 sampai dengan tahun 806 M.
Sang Tariwulan bergelar Prabu Kertayasa Dewakusaleswara,
merupakan putra kedua dari Sang Minisri. Kakaknya Rakeyan Hujung Kulon menikah
dengan putri Rakeyan Medang. Karena Rakeyan Medang tidak mempunyai anak
laki-laki, maka tahta Sunda kemudian jatuh kepeda menantunya, Rakeyan Hujung
Kulon. Dan setelah menjadi raja sunda, pangeran hujung Kulon bergelar Prabu
Gilingwesi.
Karena kakaknya,
Rakeyan Hujung Kulon, menjadi raja Sunda, maka tahta galuh jatuh pada adiknya,
Sang Tariwulan, dengan gelar Prabu
Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati,
puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
Sang Welengan ( 806-813 M)
Sang Welengan dan bergelar Prabu Brajanagara Jayabhuwana, menjadi
penguasa galuh menggantikan Sang Tariwulan Prabu
Kertayasa. Dalam Carita parahiyangan diceritakan bahwa ia
berkuasa di Galuh selam 7 tahun..
Sanghiyang Ageung, Prabu (mp. 1019-1030 M)
Prabu Sanghiyang Ageung
dalam Carita Parahiyangan di sebut “Prabu Sanghiang” yang berkuasa selama 11
tahun. Prabu Sanghiyang Ageung mewarisi tahta sunda dan Galuh dari
ayahnya, Prabu Dewa Sanghiyang yang meninggal dunia. Ia memerintah tanah
sunda dari tahun 1019 hingga
1030 M, dengan ibukota di istana Galuh.
Karena ia berkuasa atas Sunda
dan galuh maka ia menyadang gelar Maharaja. Dan sebagai penguasa wilayah
kerajaan galuh, ia percayakan kepada adik istrinya, Dewi Sumbadra pada tahun
yang sama yaitu pada tahun 1019 M. Maharaja sanghiyang Ageung meninggal pada
tahun 1030M, tetapi Dewi Sumbadra berkuasa atas tanah galuh hingga tahun 1065
M.
Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya, yang masih
kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak yang bernama
Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri Jayabhupati
inilah yang kemudian membuat prasasti Cibadak.
Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518 M)
Naskah ini ditulis pada
tahun 1440 saka atau 1518 M, dalam bahasa Sunda kuno, yang ditulis dalam daun
nipah. Naskah ini oleh sebagaian ahli dianggap sebagai pustaka ensiklopedik,
yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional, kropak 630).
Isi naskah ini
dibagi 2 bagian. Yang pertama disebut dasakreta selaku ”kundangeun urang rea”
(ajaran akhlak untuk semua orang). Sedang yang kedua disebut darma
pitutur, yang berisi ilmu pengetahuan (bahasa sunda = pangaweruh) yang harus
dimiliki oleh setiap manusia agar hidup berguna di dunia.
Meskipun
dalam naskah ini berjudul karesian, isinya tidak hanya berkenaan dengan kaum
agama, tetapi banyak bertalian dengan kehidupan menurut ajaran darma. Dan yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan ada dalam darma pitutur, seperti apa yang
diungkapkan dalam pengantarnya:
” Kitu
keh urang janma ini lamun dek nyaho dipuhun suka lawan enak ma ingetkeun saur
sang darma pitutur...., kalinganya, kita jarang dek ceta, ulah salah geusan
nanya.”
Sanghiyang Talaga Warna
Bujangga Manik dalam naskahnya (abad 15 M) menyatakan bahwa tempat ini merupakan Tempat yang berupa danau Paling Disucikan
Orang Pakuan.
Dalam perjalanannya setelah tinggal di Hulu sungai citarum di gunung sembung setahun. Bujangga Manik kemudian merencanakan ke tempat suci yang paling disucikan oleh orang di Pakuan, dan danau suci Sanghiyang Talaga Warna, di gunung gede (dulu gunung ageung). Untuk itu ia kemudian berjalan ke arah utara barat, berjalan melewati gunung Pala, dengan menyebrangi sungai Cisaunggalah, dan berjalaan ke arah barat hingga tiba di kabuyutan di gunung Pategeng, yang oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang, ketika akan membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit. Kemudian ia menyebrang sungai Cihea, sungai Cisokan, daeah pamengker. Manunggal, berjalan melewati Lingga Lemah. Lalu pergi ke Eronan, mendaki gunung Lembu Hambalang. Setiba di gunung Ageung, hulu sungai ciliwung,
Dalam perjalanannya menuju kabuyutan di hulu sungai ciliwung, yang disucikan oleh orang pakuan. Ia melewati kabuyutan di gunung Pategeng, yang oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang, ketika akan membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit.
Disni diceritakan tentang tempat suci Pakuan, di Hulu Sungai Ciliwung di Gunung Gede (Gunung Ageung).. Ada yang menganggap tempat suci orang pakuan ini adalah situs gunung Padang di cianjur. Dan ada yang menganggap bahwa Situs gunung padang adalah tempat pertapaan Bujangga Manik, di hulu sungai cisokan.
Sepergiku dari sana,
berjalanlah aku ke utara-barat,
melihat pegunungan:
itulah Gunung Karesi,
itulah Gunung Langlayang,
di baratnya Gunung Palasari.
Berjalan melewati Gunung Pala.
Setiba ke tempat suci,
menyeberangi Sungai Cisaunggalah,
aku berjalan ke barat,
tiba di Gunung Pategeng,
peninggalan Sang Kuriang,
ketika akan membendung Citarum,
tetapi gagal karena matahari keburu
terbit.
Telah kulalui daerah itu,
aku menyeberangi Sungai Cihea,
aku menyeberangi Sungai Cisokan,
pergi ke daerah Pamengker.
Tibalah aku di Mananggul,
berjalan melewati Lingga Lemah.
lalu aku pergi ke daerah Eronan,
mendaki [Gunung] Lembu Hambalang.
Setiba di Gunung Ageung,
itu hulu Sungai Cihaliwung,
tempat suci dari Pakuan,
danau suci Sanghiang Talaga Warna:
“Oh, bagaimana nasibku!
Aku tidak akan dapat melanjutkan
perjalanan,
mengunjungi ibu dan ayahku,
mengunjungi tempat guruku!”
Sangkuriang
Sangkuriang adalah tokoh
legenda yang sangat terkenal dalam sejarah lisan peradaban Sunda. Dia dianggap
sebagai tokoh praktisi intelektual terkemuka dalam sejarah lisan Sunda. Ia
selalu dikaitkan dengan pembuatan bendungan Bandung tua tempo dulu, dan selalu
dikaitkan dengan legenda berdirinya gunuNg Tangkuban Perahu.
Cerita Sangkuriang ini
diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dan sumber tulisan
tertua yang menyinggung mengenai Sangkuriang ini diungkap dalam naskah Bujangga
Manik, yang ditulis oleh pertapa dan pengembara Sunda yang terkenal yaitu
Bujangga Manik atau Prabu Jaya pakuan pada abad ke 15 M.Dalam perjalanannya menuju kabuyutan di hulu sungai ciliwung, yang disucikan oleh orang pakuan. Ia melewati kabuyutan di gunung Pategeng, yang oleh Bujangga Manik, dikatakan sebagai peninggalan Sang Kuriang, ketika akan membendung Citarum, tetapi gagal karena matahari keburu terbit.
Cerita Sangkuriang ini sangat inspirated terutama
menyinggung dalam penguasaannya terhadap tekhnologi tinggi. Terlepas dari
adanya bantuan dari jin atau apapun, tetapi yang jelas bahwa sangkuriang ini
memenang tokoh ini erat kaitannya dalam penguasaan tekhnologi.
Sanjaya
Rahiyang Sanjaya merupakan raja ke-5 kerajaan Galuh, dan menjadi raja ke-2 dari kerajaan Sunda menggantikan mertuanya Prabu Tarusbawa. Ia terkenal juga dengan nama Rakeyan Jambri.Ia lahir pada tahun 683 M, yang berarti ketika ayahnya dikudeta ia berusia 30 tahun. Ayahnya Rahiyang Sena dan ibunya bernama Sannaha
Ayahnya, Sena dikudeta oleh ua-nya, Rahiyang Purbasora. Ia kemudian berencana untuk
menuntut balas dendam terhadap Rhiyang Purbasora, yang telah mengkudeta
ayahnya. Pada awalnya yang ditemui adalah Rahiyang Kidul di Denuh. Rahiyang
Kidul tidak mau mengambil resiko dari kerajaan Galuh, karena itu ia menyarankan
untuk pergi ke Kuningan untuk menemui penguasanya di sana. Dan Rahiyang Kidul
juga menyarankan untuk pergi ke kerajaan tohaan Sunda (kerajaan Sunda) dimana
istri Sanjaya berasal.
Di Galuh, Sanjaya juga
menemui opsisi Rahiyang Purbasora, yaitu Rubuyut Syawal yang merupakan
teman ayahnya, Rahiyang Sena, untuk meminta pusaka darinya yang
merupakan lambang kekuasaan Galuh. Dalam percakapannya dengan Rubuyut Syawal
Sanjaya berkata:” saya putra Prabu sena, saya mau menanyakan tentang
pustaka kepunyaan Rubuyut Syawal, yang isinya ‘Retuning Bala sarewu”,
yang mengadung kebiksanaan (hikmah) untuk menjadi Raja yang perkasa, warisan
Sang Resi Guru.” Mengetahui bahwa Sanjaya merupakan putra dari Sena yang
merupakan sahabatnya, maka pusaka tersebut kemudian diberikan kepada Sanjaya.
Rencana serangan terhadap
Rahiyang Purbasora di Galuh, disusun sangat hati hati dengan bantuan
Rubuyut Syawal dan pasukan dari Sunda pada tahun 723 M. Pasukan dari Rubuyut
Syawal ia pimpin sendiri, sedang pasukan dari kerajaan Sunda, dipimpin oleh
paman istrinya, Patih Anggada.
Serangan
dilakukan pada malam hari dengan diam-diam dan mendadak yang menyebabkan
seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah
menantunya yang menjadi patih Galuh, yang sekaligus menjadi senopati kerajaan,
yang bernama Bimaraksa bersama sepasukan kecil. Bimaraksa ini yang
dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang, memainkan peranan
penting dalam upaya merebut kembali kekuasaan Galuh dari turunan sanjaya, yang
diperankan oleh sang Manarah, atau dalam cerita rakyat sering disebut dengan
Ciung Wanara. Aki Balangantrang inilah yang nantinya menjadi batu sandungan
Sanjaya berikutnya.
Dengan demikian pada tahun
yang sama, yaitu tahun 723 M, sanjaya mewarisi 2 kerajaan besar di Tanah Sunda,
yaitu kerajaan sunda dan kerajaan Galuh. Sehingga Sunda dan Galuh dapat
dipersatukan lagi oleh Sanjaya.Saung Agung
Kerajaan
Saung Agung keberadaanya diungkapkan oelh Bujangga manik dalam naskahnya pada
abad ke-15 M. Dikatakan oleh Bujangga Manik dalam naskahnya bahwa Gunung Burangrang,
merupakan pilar / tapal batas wilayah Saung Agung. Di kaki Gunung
Burangrang, yaitu daerah wanayasa sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah
kerajaan yang dinamakan Saung Agung.
Kerajaan
Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan
oleh Kerajaan Cirebon .Pada tahun 1530, bagian utara Tatar Sunda yang
berbatasan dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh
Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten.
Sempak Waja
Sempak Waja atau dalam Carita parahiyangan disebut Rahiyang Semplak Waja, merupakan anak tertua Wretikandayun, pendiri dan raja kerajaan Galuh pertama. Sempak Waja yang lahir tahun 620 M. Ia memilih menjadi batara dangiang guru di Galunggung.
Kisah Rahiyang Sempak Waja dimasa muda diceritakan agak romantis. Berawal dari rasa iba (kasihan) Sang Resiguru dari Kendan terhadap Sempak Waja yang tidak punya istri. Sang Resi guru memerintahkan anaknya, Pwah Rababu yang terkenal sangat cantik, untuk menemui Sempak waja, karena dianggap sangat cocok untuk menjadi suaminya.
Konon karena kesaktiannya, Sang Resiguru ini mengubah ikat kepalanya (totopong) menjadi Jaralang Bodas. Dan jaralang Bodas itu mendekati Sempakwaja. Dalam hatinya Sempak Waja bertanya: “ Mengapa ada Jaralang Bodas?” Karena itu Sempak Waja kemudian mengambil penyumpit, terus mengejarnya untuk disumpit. Tetapi ketika ia terus mengejarnya malah menemukan wanita cantik yang bernama Pwah Rababu, yang sedang mandi di telaga Cendana. Kata Sempak Waja siapa yang sedang mandi itu. Ia kemudian samping (jarit) nya dileled ku sumpit dan kena. Ada teman Pwah rababu, yang bernama Pwah Aksari ketika melihat Sempak Waja kemudian melarikan diri ke hutan sekitarnya (tegalan). Dan Pwah Rababu oleh Sempak Waja kemudian dibawa ke Galunggung dan kemudian dijadikan istrinya.
Diceritakan bahwa Sempak Waja sangat mencintai istrinya (dipikasih), dan dari istrinya tersebut mempunyai 2 putra, yaitu Rahiyang Purbasora dan Rahiyang Demunawan.
Dalam Naskah Carita Parahiyangan, diceritakan:
Anak Rahiangta di Menir teh aya tiluan, nu cikal nya
Rahiang Sempakwaja, ngadeg
Batara Dangiang Guru di Galunggung; Rahiangtang Kidul,
ngadeg Batara Hiang Buyut di Denuk; Rahiangtang Mandiminyak ngadeg ratu di
Galuh.
Carek Sang Resi Guru: “Karunya aing ku Rahiang
Sempakwaja henteu boga pamajikan.
Anaking Pwah Rababu! Hidep leumpang ungsi Rahiang
Sempakwaja, lantaran aya
manehna pibatureun hidep tatapa.”
Sang Resi Guru ngagesek totopong jadi jaralang bodas,
nya indit nyampeurkeun
Rahiang Sempakwaja, nu harita kabeneran keur ngawelit.
Carek Sanghiang Sempakwaja: “Na naha nya aya jaralang
bodas etah?”
Cop nyokot sumpit, terus diudag rek disumpit. Pwah Rababu
kapanggih eukeur mandi di talaga Candana.
Carek Rahiang Sempakwaja: “Ti ma etah nu mandi?”
Sampingna dileled ku sumpit,
beunang. Aya baturna para Pwah Aksari, tuluy
lalumpatan ka tegalan.
Pwah Rababu dibawa ku Rahiang Sempakwaja, dipirabi.
Kacida dipikaasihna. Nya lahir anakna lalaki duaan, nya eta Rahiang Purbasora
jeung Rahiang Demunawan.
Si Kabayan
Dalam peradaban di Indonesia,
yang mempunyai sejarah lisan terbanyak yang diceritakan secara turun temurun
dan menjadi cerita tokoh pandir terkemuka adalah tokoh yang bernama Sikabayan.
Jika di peradaban timur tengah tempo dulu mengenal cerita tokoh pandir
terkemuka, yaitu Abu Nawas, dalam peradaban sunda ada Si Kabayan.
Tokoh si kabayan ini merupakan
cerita dongeng yang banyak diceritakan dalam hubungannya dengan ide ide yang
brilyan dalam masyarakat biasa di zamannya. Meskipun terlihat pandir dan juga
konyol, tetapi dari berbagai cerita mengenai sikabayan mengindikasikan bahwa
dia adalah seorang pemikir dan tokoh yang selalu dikaitkan dalam menyelesaikan
masalah yang cukup rumit di masyarakatnya. Meskipun terkesan malas, tetapi dari
berbagai cerita alasannnya cukup memberikan info dalam memberikan penyelesaian
masalah masalah di zamannya, dengan perumpamaan yang sangat mengagumkan.
Suatu cerita lisan menunjukan
bahwa mungkin tokoh ini ada di zaman dahulu. Meskipun kita tidak pernah tahu
sejak zaman kapan tokoh ini berada. Tetapi dari kisah kisah menunjukan bahwa
dia memang ada, dan sangat berbekas dalam hati masyarakat, sehingga selalu
mengenangnya dan menceritakannya dari masa ke masa. Karena tidak mungkin
masyarakat menceritakan tanpa ada sebab dan musababnya. Dan hal ini hanya ada di daerah sunda, di
daerah lain tidak ditemukan tokoh semacam ini, termasuk dalam peradaban jawa.
Tokoh Si Kabayan, kadang di
ceritaan sebagai tokoh konyol, pandir dan malas, tetapi dengan ide ide dan
kemauan yang besar dan brilyan. Karena segala permasalahan yang rumitpun oleh
si kabayan ini bisa diselesaikan, meskipun terkadang agak konyol. Dia dianggap
malas dimungkinkan karena ia berada di lingkungan pedesaan yang segala sesuatu
harus bekerja dengan tenaga dan gerak, tidak ada sedikitpun ruang untuk
merenung dan berpikir. Dari sinilah seolah dia juga seorang penghayal yang
tiada bandingnya. Menghayal sangat beda tipis dengan berpikir, merenung adalah
salah satu cara untuk berpikir. Si kabayan juga terkenal dengan tokoh
berkemauan besar. Buktinya ia telah memenangkan hati Nyi Iteung, mojang desa
yang menjadi bunga desa sehingga menjadi istrinya. Dia memang penghayal besar, yang selalu
dikaitkan dengan penyelesaian masalah yang rumit dengan mudah dapat
diselesaikan meskipun agak konyol.
Yang dingat dari kisah si
kabayan yang selalu diceritakan oleh ayah dan ibu saya, adalah tentang
sayembara menaklukan gajah yang sedang ngamuk. Banyak orang sakti yang tidak
bisa menundukan gajah yang sedang ngamuk dan marah tersebut. Hal itu kedengaran
oleh Sikabayan. Dan ketika sedang merenung memikirkan cara menaklukan gajah
yang sedang ngamuk tersebut, tiba tiba ada seekor nyamuk yang bunyi pas di
depan mukanya. Maka oleh sikabayan nyamuk itu ditepuk oleh dua tangannya,
sehingga mati.
Dari kejadian ini si kabayan mencoba
menarik logika dan kesimpulan. “Nyamuk saja yang kecil sekali tepuk sudah mati,
apalagi gajah yang besar”. Meskipun logikanya agak konyol, tetapi begitulah si
kabayan, kadang dengan ide kecil dan sepele inilah seseorang biasanya menjadi
berani. Dengan logika tersebut Si Kabayan dengan gagahnya memberanikan diri
untuk ikut sayembara menangkap gajah yang sedang marah dan ngamuk tersebut.
Keberpihakan memang selalu ada
pada si kabayan. Karena hadiahnya akan dikawinkan dengan seorang putri raja. Mendengar
suaminya akan mengikuti sayembara, maka sang istri cemburu, sehingga ketika ia
mau pergi ikut sayembara, di nasinya ia campurkan sedikut racun yang bisa
melumpuhkan. Tadinya nasi ini untuk bekal si kabayan.
Maka berangkatlah si kabayan
ke lokasi gajah yang sedang mengamuk. Alangkah kagetnya si kabayan, melihat
gajah yang begitu besar dan sedang marah. Sehingga banyak pohon yang tumbang
karena amukan sang gajah. Melihat demikian hati si kabayanpun mulai ciut, dan
ia mencoba naik pada pohon besar. Tetapi terus dikejar oleh sang gajah, dan
sang gajah tersebut menunggu di bawah sambil mendorong dorong pohon yang
dinaiki si kabayan tersebut, sehingga nasi yang dibawanyapun jatuh, dan dimakan
oleh sang gajah. Karena beracun maka sang gajahpun pingsan.
Karena jasanya dalam
menaklukan gajah ini si kabayan mendapat banyak hadiah, meskipun ia tidak
mengawini salah seorang putri raja. Karena tujuannya hanya ikut menaklukan sang
gajah.
Situs Karang Kamulyan
Situs Karang Kamulyan
Situs karang kamulyan dipercaya oleh masyarakat ciamis sebagai peninggalan kerajaan galuh di era Ciung wanara (sang manarah). Situs ini terletak antara ciamis dan banjar (kira-kira 17 km ke arah timur dari kota ciamis) yang luasnya 25 ha.
Situs Sindang Barang
Situs Sindang Barang terletak di kampung Sindang Barang desa Pasir Euri, kecamatan tamansari kabupaten bogor. Di kampung Sindang barang (sekitar 8000 m2) ini terdapat sejumlah situs-situs purbakala peninggalan kerajaan pajajaran, seperti: batu dolmen, menhir, dakon, temu gelang, punden ater dan surawisesa, yang berada di 98 titik lokasi seluas 285 ha. Di lokasi ini terdapat batu karut yang memiliki ukuran sebesar rumah.
Situs Sindang Barang terletak di kampung Sindang Barang desa Pasir Euri, kecamatan tamansari kabupaten bogor. Di kampung Sindang barang (sekitar 8000 m2) ini terdapat sejumlah situs-situs purbakala peninggalan kerajaan pajajaran, seperti: batu dolmen, menhir, dakon, temu gelang, punden ater dan surawisesa, yang berada di 98 titik lokasi seluas 285 ha. Di lokasi ini terdapat batu karut yang memiliki ukuran sebesar rumah.
Tetapi situs ini mengalami tragis sekali, peninggalan yang berharga tidak mendapat penghargaan dari pemerintah, negara dan pejabat asal daerahnya. Peninggalan berharga kemudian dijual kepada cukong-cukong dan dijadika prerumahan elit, suatu penghinaan terhadap nenek moyang.
SPHATIKARNAWA WARMANDEWI (mp. 340-348 M)
Raja ke-9 kerajaan Salakanagara dari dinasti Dewawarman. Ia merupakan putri sulung Dewawarman 7.
Sri Baduga Maharaja Jayadewata (mp. 1482-1521M)
Sri Baduga Maharaja Jayadewata atau Prabu Jayadewata merupakan Pajajaran terbesar dan peratama. Ia meupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda atau kemudian terkenal dengan nama Pajajaran pada tahun 1482 M.
Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. seperti diungkap dalam Naskah Carita parahiyangan:
Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu
Rajadewata, nu hilang di
Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan
purbatisti purbajati, mana
henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh
lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa
aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma
rea, di lantarankeun ku
ngalanggar Sanghiang Siksa.
Masa mudanya Sri baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan
satu satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Marugul) waktu
bersaing memperebutkan Subanglarang, istrinya yang beragama Islam. Dalam berbagai hal orang sezamannya teringat kepada kebesaran
buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang
digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu
Wangi, sehingga dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu Siliwangi.
Pada mulanya ia memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindang
kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja Jayadewata. Ia
merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastukenacana dari
Mayang Sari. Ia kemudian memperistri Subang Larang, putri
dari Ki gedengtapa, yang menjadi raja di Singapura. Subang Larang adalah muslim pertama di
lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok qura di Pura
Karawang. Dari turunan Subang Larang inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda (raja Cirebon dan
banten). Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak: Walangsungsang
(atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang (ibu dari
Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara. Jaya Dewata juga memperistri Kentrik Manik Mayang sunda, putri
Prabu Susuk Tunggal, dari istana Pakuan. Dengan demikian jadilah raja
Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
Pada tahun
1482 M, Jaya Dewata menerima tahta Galuh dari ayahnya, Prabu
Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta Sunda dari mertuanya,
Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M,
kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota),
karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari
mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan
menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini kerajaan
sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama
ibukotanya Pakuan Pajajaran
Dalam carita
parahiyangan diberitakan sebagai berikut: ” Sang Susuk Tunggal inyana nu
nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu
haji di Pakuan Pajajaran nu mikadatwan sri bima punta
narayana Madura suradipati, inyana pakwan sanghiyang sri ratu dewata” ( Sang
Susuk Tunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri
Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang
bersemayan di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu
istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Tindakan
pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi menjadi raja
adalah menunaikan amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang disampaikan
melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi
pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga
maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):
” Semoga selamat. Ini tanda
peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat
Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran.
Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sambawa. Semoga
ada yang mengurusnya. Jangan mmeberatkannya dengan ’dasa’ , ’calagra’, kapasa
timbang’, dan ’pare dongdang’. Maka diperintahkan kepada para petugas
muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan
membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan
peraturan dewa.”
Dalam carita
Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan.
Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah Karuhun Kabeh
(dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa pemerintahan Sri
Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome
Pires, utusan Portugis dari Malaka, ikut mencatat kemajuan zaman Sri
baduga dengan komentar:” The Kingdom of
Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan
adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga
diberitakan kegiatan perdagangan Sunda hingga ke kepulaan
maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1
bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakan cukup
untuk mengisi 1000 kapal.
Sri Jayabhupati, Prabu (mp. 1030-1042 M)
Dalam
Carita Parahiyangan Sri Jayabhupati sebut “Prabu Datia Maharaja” yang berkuasa
selama 7 tahun.
Sri Jayabhupati atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, naik
tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp.
1019-1030 M) dari ibu putri dari kerajaan Sriwijaya. Ia
berkuasa di tanah sunda selama 12 tahun, dan di Galuh selama 7 tahun.
Sri jayabhupati juga bergelar Sri Jayabhupati Maharaja: Jayabhupati Jaya Manahen
Wisnumurti Samarawijaya calakabhuana mandalecwaranindita
Harogowardhana wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah
perkawinan dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam
itu, diterima pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya,
dan digunakan sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja.
Istrinya merupakan adik dari Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M),
yang kemudian menjadi prameswarinya. Karena pernikahannya tersebut, ia
kemudian mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang
dicantumkan dalam prasasti Cibadak.
Sri jayabupati mempunyai
beberapa orang anak, yaitu: Prabu dharmaraja yang dikemudian hari menggantikan
sebagai raja, wikramajaya yang menjadi panglima angkatan laut, Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya (anak
dari istrinya yang bernama Dewi Pertiwi), dan lainnya. Setelah ia meninggal, tahta jatuh
ke anaknya yang bernama Prabu Dharmaraja.
Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi,
sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau
Prasasti Cibadak. Prasasti
ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya.
Prasasti ini ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa kuno, yang
sekarang disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96,
D97, D98
Isi
ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D96
D 97:
Sumpah denira
prahajyan sunda. Iwirnya nihan.
Terjemahan:
Selamat, dalam tahun saka 952
bulan kartika tanggal 12 bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku
tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswara nindita haro gonawardhana
wikramottung gadewa, membuat tanda disebelah timur sanghiyang
tapak. Dibuat oleh Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang
melanggar ketentuan ini. Disungai ini jangan (ada yang) menangkap
ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan
sanghiyang tapak di sebelah hulu. Disebelah hilir dalam batas
daerah pemujaan sanghiyang tapak pada dua batang pohon besar. Maka
dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan sumpah)
Tanggal
pembuatan Prasasti Jayabupati ini bertepatan dengan 111 Oktober 1030 M, Isi
prasasti ini dalam segala hal menunjukan corak jawa timur, tidak hanya
huruf, bahasa dan gaya , melainkan juga gelar raja di lingkungan raja di
keraton Dharmawangsa, karena ia sendiri merupakan menantu dari Dharmawangsa.
Sudhawarman (628-639 M)
Sudhawarman menjadi penguasa
Tarumanagara ke-9, yang berkuasa dari tahun 628-639 M. Pada masanya diwilayah
timur mulai berkembang kerajaan Galuh, yang didirikan oleh cicit Suryawarman,
Wretikandayun.
Pada
Sudhawarman sudah nampak kemunduran dari tarumanagara, hal ini diperparah oleh
penggantinya, Dewamurti yang terkenal sebagai pengauasa yang kejam, dan tanpa
belas kasih.
Summa Oriental
Summa
Oriental merupakan karya Tome
Peres, duta besar asal Portugis di Kerajaan Sunda. Ia banyak bercerita
tentang kebesaran kerajaan Sunda di era Sri Baduga Maharaja Jayadewata (Prabu
Siliwangi), yang ditulis sekitar tahun 1513 M. Dalam buku ini ia banyak
menceritakan tentang keadaan kerajaan Sunda di era Sri Baduga Maharaja
Jayadewata.Surawisesa (mp. 1521-1535 M)
Prabu Surawisesa merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu dari Prabu Susuk Tunggal. Surawisesa dipuji oleh naskah Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran, memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian penulis Carita parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.
Surawisesa dalam kisah-kisah tardisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Prameswarinya, Kinawati, berasal dari kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar minggu, Jakarta, sekarang. Kinawati adalah putri Mental Buana, cicit Munding Kawati, yang semuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung.
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
Diantara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau babad pakuan, misalnya, semata mengisahkan ’petualangan’ Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita panji.
Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajagan pihak portugis pada tahun 1513 M, yang diikuti oleh Tome Pires. Sedang hasil kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran. Dalam kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran (Sunda) dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai dibangun, pihak sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351 kwintal).
Perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis sangat mencemaskan Sultan trenggono, sultan Demak III. Setelah selat Malaka yang merupakan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai. Jika selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis. Maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan negara-negara Islam diwilayah timur, termasuk demak, terancam putus.
Maka kemudian Sultan Trenggono yang di pimpin oleh Fatahillah, yang menjadi senapati Demak menyerang Banten, yang jatuh pada tahun 1526 M.
Surawisesa mewarisi tahta kekuasaan dalam masa yang tidak menguntungkan, sebab wilayah-wilayahnya banyak diserang oleh musuh, disamping kalah pengaruh oleh Cirebon, yang di bantu oleh Demak, yang merupakan pusat Islam di tataran Sunda. Selama 14 tahun berkuasa ia telah melakukan 15 kali peperangan tanpa mengalami kekalahan, seperti apa yang diungkapkan dalam naskah Carita Parahiyangan.
Pada awal masa kekuasaannya wilayah Islam hanya berkonsentrasi di Cirebon. Pada masa ayahnya berkuasa, Cirebon belum berani mengadakan pemberontakan. Tetapi ketika ia berkuasa cirebon yang dibantu demak mulai melancarkan serangan di berbagai tempat. Cirebon mengklaim bahwa mereka sama-sama keturunan dari Prabu jaya dewata dan mempunyai hak berkuasa di tanah sunda. Perlawaanan Cirebon yang dibantu demak mulai intensif ketika Cirebon di kuasai oleh cucu Prabu Jaya Dewata atau keponakan Surawisesa sendiri, yang terkenal dengan nama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati.
Sunan Gunung jati mulai menyerang wilayah-wilayah pajajaran, di 15 medan pertempuran, yaitu di jakarta (kalapa), di Banten (wahanten girang), di tanjung, di Ancol Kiyi, dan lainnya, tetapi dizaman Surawisesa wilayah-wilayah tersebut masih belum bisa di taklukan.
Tentang medan perang diera Prabu Surawisesa diceritakan dalam naskah carita parahiyangan:
Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di
Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun
peperangan teh kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung.
Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka
Gunungbatu. Perang ka Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka
Padang. Perang ka Pagoakan.
Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka
Pagerwesi. Perang ka
Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui.
Ratu tilar dunya. Lawasna jadi ratu opatwelas taun.
Suriadiwangsa I
Merupakan anak dari Pangeran Yunus III (raden Abdullah bin Pati Unus) di banten, yang ditugaskan untuk membantu pengislaman di daerah pedalaman Galuh sampai sukapura (tasikmalaya). Pangeran Yunus III menikah dengan adik Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang. Dari pernikahnya, ia mempunyai anak yang bernama Suriadiwangsa II, yang kemudian dikenal dengan Rangga Gempol I, cikal bakal dinasti Kusumahdinata yang dikenal dikemudian hari. Rangga Gempol I ini kemudian diangkat menjadi anak angkat Prabu Geusan Ulun.
Dalam sejarah Sunda, rangga Gempol I hanya disebut sebagai anak angkat Prabu Geusan Ulun tanpa menyebut siapa ayah kandungnya, untuk menjaga wibawa kerajaan Sumedang Larang, karena raja-raja mereka keturunan orang luar Sumedang.
Suryawarman (535-561 M)
Merupakan penguasa Tarmunagara
yang ke-7, menggantikan ayahnya, Candrawarman. Ia banyak mengikuti kebijakan
ayahnya dalam memberikan otonomi yang luas kepada daerah kekuasaanya.
Suryawarman tidak hanya
melanjutkan kebijakan ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada
raja-raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga
mengalihkan perhatiannya ke
daerah timur.
Misalnya pada tahun 526 M, Manikmaya,
menantunya, mendirikan kerajaan baru di daerah kendan (daerah Nagreg, suatu
daerah antara Bandung dan Garut). Sedang putra Manikmaya yang bernama
Suraliman, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumanagara, dan kemudian
menjadi panglima angkatan perang kerajaan.
Perkembangan daerah timur menjadi
lebih berkembang ketika cicit
(bao) Manikmaya, Wretikandayun, mendirikan kerajaan galuh., pada tahun 612 M.Susuk Tunggal, Prabu (mp. 1382-1482 M)
Prabu Susuktunggal merupakan raja dari kerajaan Sunda setelah Prabu Wastukancana. Ia merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya, Rara
sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai citarum ke barat. Ia berkuasa cukup lama (selama 100 tahun), sebab sudah
dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur (galuh)
Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan
tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang
bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa
di galuh (parahiyangan timur).
Prabu Susuk Tunggal yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun
pusat pemerintahan dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana
Madura Suradipati. Dalam Naskah Carita Parahiyangan diungkapan sebagai berikut:
Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang
Haliwungan, nya eta Sang
Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang
Haluwesi, nu nyaeuran
Sanghiang Rancamaya.
Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
“Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang
Surugana, ratu hiang banaspati.”
Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan
Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan
kadaton Sri bima-untarayana
madura-suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri
Ratudewata.
Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah
suci, tanah hade, minangka
bukti raja utama.
Lilana ngadeg ratu saratus taun.
Ia tidak
mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik Manik Mayang sunda,
kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh.
Dengan demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra
dari Wastukencana) menjadi besan.
Setelah
Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh menantunya, Prabu
Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2
istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.
T
Tarusbawa, Prabu
Talaga, Kerajaan
Bujangga Manik mengatakan Walangsuji
merupakan wilayah Kerajaan Talaga. Walangsuji diyakini merupakan ibukota dari
kerajaan Talaga.
Kerajaan Talaga didirikan oleh Prabu
Talaga manggung. Setelahnya, anaknya yang menggantikannya, yang bernama Ratu
Simbarkancana, kemudian Kerajaan Talaga dipegang oleh putera pertamanya
yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung
meninggal, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puterinya yang bernama
Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu
Parung.. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera
Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu
dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau
Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan tidak
lagi di walangsuji, tetapi dipindahkan ke Parung.
Tarusbawa, Prabu
Prabu Tarusbawa merupakan raja kerajaan Sunda pertama, dan dianggap sebagai pendirinya. Prabu Tarusbawa berkuasa dari tahun 699
sampai tahun 723 M. Tarusbawa dianggap
sebagai bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam Carita Parahiyangan,
tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “Tohaan di Sunda (raja Sunda). Ia menjadi cikal bakal raja-raja Sunda yang
memerintah berikutnya.
Pada tahun 669 Masehi di kerajaan Tarumanagara ada pewarisan tahta, dari Linggawarman kepada menantunya, Tarusbawa. Dari
sinilah kemudian Tarusbawa merubah sebutan
Tarumanagaia menjadi Kerajaan Sunda. Dan sejak
itulah, Kerajaan Sunda mulai dikenal dalam panggung sejarah.
Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, menikah
dengan putri dari Raja Tarumanegara, Prabu Linggawarman, raja Tarumanegara
terakhir. Dan pada tahun 669 M menggantikan
kedudukan mertuanya menjadi raja Tarumanegara. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista,
tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
Setelah menerima tahta tarumanagara dari
mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa melakukan beberapa kebijakan,
diantaranya memindahkan ibukota kerajaan, dari Sundapura (Bekasi) ke
Pakuan (Bogor) di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang). Disini ia
mendirikan lima buah keraton, ( Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering
disebut Panca Persada) yang bentuk
maupun besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing
diberi nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Dalam
Naskah Carita Parahiyangan disebut “Sri Kadatwan Bima Punta Narayana
Madura Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati
oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa.
Dengan
membangun ibukota baru Tarusbawa berusaha untuk
mengembalikan kejayaan Tarumanagara,
seperti yang dialami oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam
kemundurannya (konon kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari
Sriwijaya). Tetapi, pada waktu
itu, Wretikandayun, bangsawan Tarumanagara, yang berkuasa di Galuh, yang telah
berkuasa sejak tahun 612 M, menuntut supaya wilayah dibagi 2, dengan
bantuan besannya dari Kalingga, Ratu Sima.
Untuk menghindari
perpecahan, akhirnya disepakati bahwa sungai Citarum sebagai batas perbatasan
kekuasaan. Tarusbawa disebelah barat
citarum sedang Wretikandayun disebelah timur sungai Citarum.
Putra Tarusbawa
terbesar, dan sekaligus putra Mahktota kerajaan Sunda, Rakeyan Sundasambawa
meninggal dunia saat masih muda. Ia meninggalkan seorang anak perempuan, Nay
Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini kemudian dinikahi Rahyang Sanjaya dari Galuh.
Tarusbawa wafat
pada tahun 723 Masehi, dalam usia 91 tahun, yang kemudian digantikan Sanjaya, suami cucunya dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama
Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya.
Temperan Barmawijaya (732-739 M).
Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada
tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram (Medang kamulan atau
Bhumi mataram).. Temperan berkuasa selama 7 tahun, dari
tahun 732-739 M, yang kemudian dikudeta oleh anak tirinya, Sang
manarah
Sebelum meninggalkan tahta Sunda, Sanjaya mengatur pembagian kekuasaan antara
putranya, Temperan dan resiguru Demunawan. Pakuan dan Galuh menjadi
kekuasaan Temperan, sedang Kuningan dan Galunggung diperintah oleh resi guru
Demunawan (putra Sempakwaja). Dengan demikian Temperan menguasai Sunda Galuh
melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732-739 M.
Ketika Sanjaya
mengangkat Premanadikusuma (cucu purbasora) sebagai raja Galuh, ia juga
mengangkat Temperan sebagai patihnya. Dan ketika Premana meninggalkan
istana untuk bertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada Temperan.
Temperan kemudian mengutus utusan untuk melakukan pembunuhan terhadap
Permanadikusumah.
Premanadikusuma ketika meninggalkan istana, juga meninggalkan istrinya,
Dewi Pangreyep, yang baru berusia 19 tahun. Temperan
mewarisi watak buyutnya yang senang membuat skandal. Ia konon membuat
skandal dengan pangreyep, mantan istri Premanadikusuma dan
membuahkan kelahiran Kamarasa atau yang terkenal dengan nama Hariang
Banga (723 M). Disamping itu, setelah Permanadikusumah meninggal, ia juga mengawini
Naganingrum sebagai istri keduanya.
Temperan
mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, dari Sanjaya
yang menjadi raja Kalingga Mataram. Sementara itu Sang Manarah, atau lebih
dikenal dengan nama Ciung Wanara yang telah diakui sebagai anaknya, secara
diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta galuh dengan bimbingan buyutnya,
Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Ki Balangantrang, di Geger Sunten.
Aki
Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi
Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena
menderita penyakit kemir (hernia / burut). Ki Balangantrang adalah satusatunya
keluarga istana Purbasora yang dapat menyelamatkan diri dari kudeta sanjaya. Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten
dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat
dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra
Prahasta, setelah kerajaan ini dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan
karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang
hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Anarah
bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang memimpin pasukan geger
sunten menyerang keraton.
Kudeta ini berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari
(dewi pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan dan dibiarkan
bebas. Pada malam hari, banga dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep
dari tahanan. Tetapi kemudian Tamperan terbunuh
Wanayasa
Wanayasa
adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu
berada di kaki Gunung Sunda. Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya
melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu
juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian
selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di
bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini
dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat
setempat sebagai pangparatan Situ Wanayasa.
Wanayasa
berasal dari kata “wana” dan “yasa” yang berarti hutan yang sangat lebat. Pada
zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara
lain Carita Parahiyangan di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama
Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu
Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada
masa itu (perlu penyelidikan)
Nama
Saung Agung, kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari
nama yang dibawa dari Cirebon.
Hal
itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada
di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di
wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara
lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di
Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan,
Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon),
Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.
Di
bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul
Aranon. Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur
Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama
Ukur Sagalaherang dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan
bagian dari Ukur Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika
Tatar Ukur diubah menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira
Angun-angun, Ukur Aranon termasuk di dalamnya.Wangsamanggala
Ia merupakan demang cirebon yang menulis buku Pustaka Pakungwati Cirebon (1779 M), yang ia tulis bersama Tirta Manggala Demang Cirebon Girang.
Wisnuwarman (434-455 M
Wisnuwarman menggantikan ayahnya, Purnawarman
dan berkuasa di
tarumanagara dari tahun 434 sampai dengan 455 M, dengan gelar Sri Maharaja Wisnuwarman Iswara
Digwijaya Tunggal
Jagatpati.
Wisnuwarman dinobatkan pada tanggal 14
paro terang bulan posdya tahun 356 saka (434 M). Tiga tahun setelah
penobatannya, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya, Cakrawarman, mahapatih di era
ayahnya, (adik Purnawarman). Cakrawarman
merasa bahwa dirinya yang lebih pantas dari Wisnuwarman sehingga memberontak
selama 28 hari dari tanggal 14 parogelap bulan asuji sampai dengan 11 parogelap
bulan kartika 350 saka atau bertepatan dengan 21 okteober sampai 18 november
437 M, tetapi gagal, dan dapat ditumpas.
Wisnuwarman berkuasa selama 21 tahun (dari
tahun 434-455 M). Prameswarinya bernama Suklawarmandewi, adik raja Bakulapura.
Suklawarmandewi tidak memberinya keturunan,karena keburu meninggal akibat
sakit. Yang menjadi prameswari selanjutnya adalah Suklawatidewi, putri
Wiryabanyu yang terkenal kecantikaannya. Dari Suklawatidewi ini,
Wisnuwarman memiliki
beberapa putra. Putra sulungnya, yang bernaa Indrawarman kemudian menggantikannya.
Wretikandayun merupakan pendiri dari kerajaan Galuh. Ayahnya, Sang Kandiawan atau Rahiyang ta Medang Jati setelah menjadi raja di Kendan selama lima belas
tahun (597- 612 M), kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada putra bungsunya,Wretikandayun di
Galuh.
Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya yang
menjadi resi pada 23 Maret 612 M, pada usia 21 tahun. Pada awalnya
ia menjadi rajaresi di Menir, dan kemudian diangkat menjadi raja Kendan
menggantikan ayahnya. Wretikandayun tidak berkedudukan di di Kendan atau
di Medang Jati, tidak juga di Menir. Tetapi ia mendirikan pusat pemerintahan
(ibukota) baru, yang kemudian diberi nama Galuh (permata).
Ketika
ia dinobatkan sebagai raja Kendan, penguasa Tarumanagara saat itu adalah
Srimaharaja Kertawarman (mp. 561-628 M). Ia berturut-turut menjadi raja daerah (bawahan Tarumanagara) pada
masa udawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666
M), dan Linggawarman (mp. 666-669 M). Dan ketika tahta tarumanagara jatuh
kepada Tarusbawa pada tahun 669 M, menantu Linggawarman dari Sundasambawa, yang
kemudian mendirikan kerajaan Sunda, Wretikandayun yang waktu itu berumur 78
tahun kemudian memerdekakan diri (merdeka), dan wilayah Tarumanagara di bagi 2,
dengan perbatasan Sungai Citarum. Tarusbawa berkuasa di barat Sungai Citarum,
sedang Wretikandayun sebelah timurnya, hingga sungai Cipamali (kali brebes
sekarang).
Kendan pada masa Wretikandayun lebih dikenal dengan
nama kerajaaan Galuh, dan kerajaan ini kemudian memegang peranan penting
dan merdeka ketika Tarumanagara berubah menjadi bawahan Sundasambawa. Dengan
demikian Kendan di era Wretikandayun lebih di kenal dengan nama kerajaan Galuh.
Wretikandayun
beristrikan Pwah Bungatak Mangalengale atau Manawati, dan setelah menjadi
prameswari terkenal dengan nama Candraresmi. Dari perkawinannya ia kemudian mempunyai 3 putra, yang bernama:
Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).
Nama Wretikandayun diceritakan dalam Naskah carita Parahiyangan, sebagai berikut:
Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya
terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi
Rahiangta di Menir. Dina waktu bumenbumen, harita teh nya nyusun Purbatisti.
Lawasna jadi ratu salapanpuluh taun. Diganti ku
Rahiang Kulikuli, lawasna jadi ratu
dalapanpuluh taun. Diganti ku Rahiangtang Surawulan,
lawasna jadi ratu genep taun,
katujuhna diturunkeun, lantaran goreng lampah. Diganti
ku Rahiangtang Pelesawi,
lawasna jadi ratu saratusdualikur taun, lantaran hade
lampah. Diganti ku Rahiangtang Rawunglangit, lawasna geneppuluh taun.
Yoseph Iskandar
Ia termasuk salah satu dari 3
orang yang berjasa dalam mengungkap tuisan sejarah yang ditulis oleh Pangeran
Wangsakerta, disampng Saleh Danasasmita dan Ayatrohaedi.
(Ditulis oleh Adeng Lukmantara, dari berbagai sumber buku dan internet)
.