A. PENINGGALAN SUNDA KLASIK
1. Carita Parahiyangan
Carita Parahiyangan merupakan suatu naskah Sunda kuno yang berbahasa Sunda kuno, yang dibuat pada akhir abad ke-16 M, yang menceritakan sejarah tanah sunda, mengenai kerajaan Sunda, yaitu isatana (keraton) galuh dan istana (keraton) pakuan. Naskah ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Naskah Carita Parahiyangan terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang tiap lembarnya berisi 4 baris. Huruf yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda kuno.
Naskah ini pertama kali diteliti oleh K.F. Holle, kemudian C.M Pleyte. Naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Purbacaraka sebagai tambahan laporan mengenai u Tulis dibogor, dan selanjutnya oleh beberapa sarjana sunda.
Naskah Carita Parahiyangan ini menceritakan sejarah sunda dari awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota kerajaan Sunda) akibat serangan kesultanan Banten, Cirebon dan Demak.
Naskah parahiyangan ini banyak sekali menyebut nama tempat yang merupakan kekuasaan kerajaan Sunda. Nama-nama tempat ini ada yang tetap hingga kini.
2. Naskah Bujangga Manik
Naskah Bujangga Manik adalah naskah primer, yang merupakan peninggalan dari naskah berbahasa Sunda yang sangat berharga. Naskah ini ditulis dalam daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini seluruhnya terdiri dari 29 daun nipah, yang masing-masing berisi 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Yang menjadi tokoh dan yang menulis naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari kerajaan Sunda. Walaupaun ia seorang prabu (keluarga raja/ bangsawan) dari keraton Pakuan Pajajaran, ia lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi.
Bujangga Manik melakukan perjalanan 2 kali ke negeri Jawa. Pada perjalanan kedua, ia singgah di Bali untuk beberapa lama serta ke pulau Sumatra dan akhirnya ia bertapa di sekitar gunung Patuha sampai ia meninggal.
Bujangga Manik dalam naskah ini menyebut negri Majapahit, Malaka, dan Demak, hal ini dapat diperkirakan bahwa naskah ini ditulis pada akhir abad ke14 M, atau awal abad ke15 M.
Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan topografi pulau jawa pada awal abad ke15 M. Lebih dari 400 nama tempat tinggal dan sungai disebut dalam naskah ini dan berbagai nama tempat yang masih digunakan hingga kini.
Naskah ini sekarang tersimpan di perpustakaan Bodleian, di Oxford sejak tahun 1627 M.
3. Amanat Galunggung
Amanat Galunggung adalah nama yang diberikan untuk sekumpulan naskah yang ditemukan di kabuyutan ciburuy, kabupaten Garut, dan merupakan salah satu naskah tertua di Nusantara.
Naskah ini ditulis pada abad 15 M pada daun lontar dan daun nipah, menggunakan bahasa dan aksara Sunda kuno. Naskah ini berisi nasehat mengenai etika dan budi pekerti Sunda, yang disampaikan Rakeyan Darmasiksa, raja Sunda ke-25, penguasa Galunggung, kepada putranya, Ragasuci (sang Lumahing Taman).
Diantara isi dari naskah Amanat galunggung, adalah:
· Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut tanah kabuyutan (tanah yang disakralkan).
· Barangsiapa yang dapat mendudukan Galunggung sebagai tanah yang disakralkan akan memperoleh kesaktian, unggul perangt, berjaya dan mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
· Lebi berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah daripada putra raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya.
· Jangan memarahi orang yang tidak bersalah.
· Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanah air pada zamannya.
*) Nama “Amanat Galunggung” berasal dari filolog Saleh Danasasmita, yang turut mengjkaji naskah tersebut, kemudian turut mengompilasikan hasil kajiannya dalam “Sewaka Darma, SanghyangSiskandang Karesian, Amanat Galunggung.” (1987)
**) Di Kabuyutan Ciburuy Garut, hingga kini orang menyimpan naskah-naskah kuno, salah satunya yang ditemukan di kabuyutan itu, sebelum disimpan di perpustakaan nasional, Jakarta, adalah “Amanat Galunggung.”
4. Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518 M)
Naskah ini ditulis pada tahun 1440 saka atau 1518 M, dalam bahasa Sunda kuno, yang ditulis dalam daun nipah. Naskah ini oleh sebagaian ahli dianggap sebagai pustaka ensiklopedik, yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional, kropak 630).
Isi naskah ini dibagi 2 bagian. Yang pertama disebut dasakreta selaku ”kundangeun urang rea” (ajaran akhlak untuk semua orang). Sedang yang kedua disebut darma pitutur, yang berisi ilmu pengetahuan (bahasa sunda = pangaweruh) yang harus dimiliki oleh setiap manusia agar hidup berguna di dunia.
Meskipun dalam naskah ini berjudul karesian, isinya tidak hanya berkenaan dengan kaum agama, tetapi banyak bertalian dengan kehidupan menurut ajaran darma. Dan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan ada dalam darma pitutur, seperti apa yang diungkapkan dalam pengantarnya:
” Kitu keh urang janma ini lamun dek nyaho dipuhun suka lawan enak ma ingetkeun saur sang darma pitutur...., kalinganya, kita jarang dek ceta, ulah salah geusan nanya.”
5. Carita Purnawijaya
Carita Purnawijaya merupakan karya sastra Sunda yang menceritakan tentang perjalanan Purnawijaya ke Neraka.
Purnawijaya adalah yaksa (buta) yang mendapat pengajaran dari sang dewa utama mengenai bertingkah laku jahat. Setelah itu Purnawijaya diajak melihat neraka sehingga mengetahui siksa yang akan dijalani oleh manusia yang banyak dosa.
Naskah ini disimpan di Perpusnas (2 karopak 413 dan 423) menggunakan bahasa Sunda kuno dan tulisan Sunda kuno, yang diukir dalam daun palm, dan dibuat kirakira pada abad ke17 M. Naskah yang di karopak 423 ada 39 lembar.
6. Carita Ratu Pakuan
Suatu naskah yang berbentuk pantun yang di tulis oleh pujangga yang bernama Kairaga, dari gunung Srimanganti, Cikuray. Naskah ini diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 M atau awal abad 18 M dalam bahasa Sunda, yang dapat ditemukan pada Karopak 410.
Naskah ini menceritakan dengan indah tentang kepindahan ratu Ambetkasih, istri Sribaduga maharaja Jayadewata dan selirnya, dari istana Galuh ke istana Pakuan.
B. NASKAH SETELAH ABAD KE-17 M (DI ERA ISLAM)
1. Naskah Wangsakerta
Naskah Wangsakerta merupakan hasil pertemuan para ahli sejarah dari hampir 90 daerah di Nusantara yang berlangsung pada tahun 1677 sampai dengan 1698 M di keraton Kasepuhan Cirebon.
Naskah Wangsakerta adalah suatu istilah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta secara pribadi atau oleh timnya. Naskah ini ditemukan awal tahun 1970 M, selain menimbulkan kekaguman karena kelengkapannya, juga menimbulkan kontroversi dan keraguan. Para ahli sejarah banyak yang meragukan karena alasan: isinya terlalu histories (tidak umum sebagaimana naskah-naskah sezamannya), dan isinya cocok dengan naskah-naskah barat, dan mungkin tidak dibuat pada abad ke-17 M, disamping keadaan fisik naskah (kertas, tinta dan bangun aksara / huruf) yang kasar, tidak seperti naskah lama pada umumnya.
Pangeran Wangsakerta memenuhi permintaan ayahnya, Panembahan Girilaya, dari kesultanan Cirebon, agar sang pangeran menulis kisahkisah kerajaan Nusantara. Kemudian panitia dibentuk untuk mengadakan suatu gotrasawala (symposium / seminar) diantara para ahli sejarah di Nusantara, yang hasilnya kemudian ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal dengan Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini berlangsung tahun 1599 saka (atau 1677 M), dan penyusunan naskah ini menghabiskan waktu 21 tahun (selesai pada 1620 saka / 1698 M).
Hurup yang digunakan dalam naskah ini adalah hurup kawi dengan bahasa yang disebut jawa tengahan, tetapi menurut wangsakereta sendiri disebut Purwa Jawa (Jawa Kuno).
Di Perpustakaan kesultanan Cirebon mengoleksi 1703 judul naskah dan 1213 diantaranya berupa karya pangeran Wangsakerta dan timnya, mengenai kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ada 47 jilid yang merupakan gabungan dari sejarah berbagai daerah, yaitu:
· Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara, 25 jilid (sarga). Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara ini dibagi dalam 5 parwa (bab) yang masing-masing mempunyai judul tersendiri:
1. Pustaka Kathosana Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
2. Pustaka Rajyawarnana Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
3. Pustaka Kertajaya Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
4. Pustaka Rajakawasa Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
5. Pustaka Nanaprakara Rajya Rajya I Bhumi Nusantara
· Pustaka Pararatwan, 10 jilid.
· Pustaka Nagara Kretabhumi, 12 jilid.
Naskah Wangsakerta kini tersimpan di Museum Sribaduga Maharaja, Bandung.
2. Babad Pajajaran
Babad Pajajaran ditulis di Sumedang pada tahun 1816 M, pada masa Pangeran Kornel.
3. Carita Purwaka Caruban Nagari
Naskah ini ditulis sekitar tahun 1720-an oleh Pangeran Arya dari Cirebon.
4. Carita Waruga Guru
Carita Waruga guru adalah suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada tahun 1750-an.
5. Kitab Waruga jagat
Suatu naskah yang berasal dari Sumedang
6. Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh,
Berasal dari Ciamis yang ditulis pada abad ke 18 M, dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon.
C. NASKAH KARYA ORANG LUAR, YANG BANYAK MENCERITAKAN TENTANG SEJARAH SUNDA KLASIK
1. Kidung Sunda / Kidung Sundayana
Kidung Sunda adalah sebuah tulisan / naskah dalam bahasa Jawa pertengahan yang berbentuk syair (tembang), yang kemungkinan berasal dari Bali. Dalam kidung ini diceritakan tentang kisah pencarian seorang permaisuri Hayam Wuruk dari Majapahit, dan tragedi perang bubat yang memilukan.
Kidung Sunda adalah sumber tertulis yang paling terinci dan paling penting dalam mengupas tentang peristiwa Bubat yang memilukan dan memalukan. Sebagai naskah kuno yang terdapat di Bali, Kidung Sunda memberikan yang relative adil dalam mengupas tragedy berdarah di bubat, penghianatan Gajah Mada dan kepahlawanan Sunda yang tanpa pantang menyerah.
Dari kisahnya, dengan gaya bahasanya yang lugas dan lancar, tidak berbelit-belit seperti karya-karya sastra, mengindikasikan adanya factor kebenaran, disamping ditulis oleh orang Bali yang relative independen dalam menganalisa kisah ini.
Kisah dalam Kidung Sunda memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Dalam kisah ini, Kidung Sunda menceritakan Patih Anepaken, Patih Sunda yang begitu tegas dan tidak takut sedikitpun dalam menghadapi tentara Majapahit, meskipun hanya membawa perlengkapan seadanya, karena hanya mengantar penganten, dan dia tetap lantang meskipun berada di sarang / daerah Majapahit.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Hal ini mengindikasikan bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi. Karena penulis dari kisah ini cenderung lebih berpihak pada orang Sunda, maka Kidung Sunda jarang ditampilkan dalam buku-buku sejarah.
2. Summa Oriental
Summa Oriental merupakan karya Tome Peres, duta besar asal Portugis di Kerajaan Sunda. Ia banyak bercerita tentang kebesaran kerajaan Sunda di era Sri Baduga Maharaja Jayadewata (Prabu Siliwangi), yang ditulis sekitar tahun 1513 M. Dalam buku ini ia banyak menceritakan tentang keadaan kerajaan Sunda di era Sri Baduga Maharaja Jayadewata.
(Sumber: dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar