Jumat, 19 Agustus 2016

SANGKURIANG : TOKOH LEGENDA YANG INSPIRATIF

Oleh 
Adeng Lukmantara
Peminat Study Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang


Kata Pengantar

Dalam pelajaran di sekolah dulu, kita mengenal cerita cerita legenda, yaitu suatu kisah yang dikaitkan dengan terjadinya suatu tempat. Salah satu contoh yang terkenal mengenai legenda ini, diantaranya: Cerita Sangkuring.
Kisah Sangkuriang ini, di tanah Sunda sudah diceritakan turun temurun dari nenek moyang hingga sekarang. Bujangga Manik seorang penulis dan pengembara Sunda pada abad ke-15 M, telah menyinggung nama Sangkuriang dalam naskahnya (naskah karya Bujangga Manik  ini masih tersimpan di Oxford University Inggris):
“Leumpang aing ka baratkeun, datang ka bukit Patenggeng. Sasakala Sang Kuriang, masa dek nyitu Citarum, burung tembey kasiangan”
(Berjalanan aku ke barat, datang dari Bukit Patenggeng, Legenda Sang Kuriang, bagaimana mau membendung Citarum, gagal karena kesiangan)

Entah Cerita Legenda atau dongeng atau sejarah, kisah tentang Sangkuriang ini telah menjadi bagian terpenting dalam sejarah peradaban tanah Sunda. Cerita mengenai Sangkuriang merupakan cerita legenda yang sangat spektakuler, Karena kronologisnya sesuai dengan kronologi letusan gunung Sunda, pembentukan danau Bandung purba dan lahirnya gunung Tangkuban Parahu.
Bahkan seorang Geolog Belanda yang bernama R.W. Van Bemmelen (1936) begitu terpana ketika mendengar kisah Sangkuriang ini. Dalam Karyanya The Geological Hystory of Bandung Region , dan juga bukunya yang monumental The Geology of Indonesia, R.W. Van Bemmelen masih menyelipkan sasakala Sangkuriang.
Keterpanaan ini karena menurutnya kisah Sangkuriang begitu cocok dengan kisah pembentukan Danau Bandung Purba dan letusan Katastropi gunung Tangkuban Perahu. Dan hal yang menarik juga karena pada beberapa daerah toponimi atau penamaan wilayah begitu erat kaitannya dengan sasakala Sangkuriang ini.
Dalam kisah Legenda Sangkuriang ada beberapa tempat yang disebut berkaitan dengau danau purba Bandung, diantaranya nama nama gunung yang ada di sekitar Bandung. Setidaknya ada 4 gunung yang dikaitkan dengan cerita Sangkuriang, yaitu:  Gunung Bukit Tunggul, Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Manglayang.
Jika Gunung Bukit Tunggul dikaitkan dengan kayu yang dibuat untuk perahu, dan  tunggul bekas tebangan.  Tunggul dalam bahasa sunda berarti Sisa batang kayu (yang sudah ditebang)  yang masih utuh dengan akarnya dan masih tertanam di tanah. Gunung Burangrang dikaitkan dengan sisa sisa tumpukan kayu ( rangrang dalam bahasa sunda berarti sisa dahan, ranting dan daun daunan) dari kayu untuk perahu. Gunung Tangkuban perahu, berkaitan dengan kekesalan Sangkuriang karena kegagalannya, sehingga menendang perahu hingga terbalik. Tangkuban Perahu sendiri dalam bahasa sunda berarti perahu yang terbalik. Sedang Gunung Manglayang ada hubungannya, ketika Sangkuriang menjebol  bendungan di Sanghiyang Tikoro karena gagal membangun hingga waktu pajar. Sumbatan danau itupun ia lemparkan ke arah timur dan kini menjadi gunung Manglayang.
Kisah Sangkuriang pada hakekatnya merupakan sejarah komplik. Menurut Edi S Ekadjati  pada hakekatnya komplik itu akan timbul secara alamiyah dalam kehidupan manusia. Komplik antara Sangkuriang dan ibunya (Dayang Sumbi) ibarat saling berhadapannya konvensi (tradisi) dan inovasi (modern) dalam konsep kebudayaan..
Dan menurutnya juga ditinjau dari Sudut pandang lain, kisah Sangkuriang itu menggambarkan tokoh manusia sunda (laki laki) yang dinamis, kukuh pendirian, tidak gampang putus harapan, berani, banyak akal dan teguh pada kemauan. Sedang Dayang Sumbi mewakili perempuan sunda yang memegang kuat nilai nilai tradisi dan pendiran (terlarang anak menikah dengan ibunya) dan juga banyak akal.

Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang


BAB I.. SANGKURIANG DALAM KISAH

1.. Kisah Dayang Sumbi dan Si Tumang
Alkisah di negeri kahiyangan tempatnya para dewa, ada dewa san dewi yang dihukum turun ke bumi dengan wujud binatang karena melakukan kesalahan. Yang laki laki (dewa) berwujud anjing dan kemudian dikenal dengan nama Si Tumang. Dan yang wanita berbentuk babi hutan (bagong) yang kemudian dikenal dengan nama Bagong Wayungyang (dewi Wayung Hyang). Untuk kembali lagi ke alam para dewa, dewa dewi yang sudah berwujud binatang itu harus bertapa dan juga melakukan kehidupan di bumi.
Pada suatu hari, seorang raja yang bernama Sungging Prabangkara dengan rombongannya melakukan perburuan ke hutan dimana para dewa itu berada. Di hutan sang raja kencing, dan air kencingnya tertampung dalam daun Caring (Keladi Hutan). Tidak jauh dari tempat kencing Sang Raja,  Bagong Wayung Hiyang yang telah yang  sedang bertapa, merasa kehausan, hingga meminum air seni sang raja yang ada dalam daun caring.
Setelah meminum air seni tersebut, secara ajaib Bagong (babi hutan) jelmaan Dewi Wayung Hiyang itu hamil, dan kemudian melahirkan seorang anak wanita yang cantik. Dan bayi wanita yang cantik tersebut dengan tidak disengaja ditemukan oleh Sang raja Sungging Prabangkara, dan membawanya pulang ke istana, bersama anjing yang menunggu bayi tersebut.  Ia tidak menyadari bahwa bayi wanita yang cantik itu merupakan putrinya sendiri. Dan anjing itu kemudian dikenal dengan nama Si Tumang.
Bayi wanita itu kemudian oleh sang raja dinamakan Rara Sati dan setelah dewasa kemudian dikenal dengan nama Dayang Sumbi.  Dikisahkan bahwa setelah remaja (gadis), Dayang Sumbi kemudian menjadi remaja yang sangat cantik. Sehingga diperebutkan oleh para pangeran dan para raja yang ada di negerinya.

2.. Kelahiran dan Kepergian Sangkuriang
Menenun untuk membuat pakaian seolah menjadi keahlian yang harus dimiliki oleh para putri bangsawan, termasuk putri raja. Hal ini diungkapkan pula dalam naskah bujangga manik, bahwa ibu Bujangga Manik yang merupakan putri bangsawan sunda mempunyai keahlian dalam menenun, dan kesehariannnya sibuk dalam menenun.
Karena dayang sumbi merupakan salah satu putri bangsawan atau putri raja, maka ia juga mempunyai keahlian dalam bidang menenun ini. Dan jika tidak ada acara kenegaraan atau hal hal yang penting, keseharian Dayang Sumbi banyak dihabiskan dalam menenun untuk membuat pakaian. 
Dan kisah selanjutnya justru diawali dengan proses tenun menenun ini. Pada suatu hari ketika sedang asyiknya menenun kain, torompong (torak) tenunan jatuh ke bale bale bawah. Karena merasa malas mengambil, maka terlontar sumpah serapah dari Putri Dayang Sumbi.  Dayang Sumbi berjanji bahwa siapa saja yang mengambilkan torompong yang jatuh, jika jenis kelamin laki laki maka akan dijadikan suami, sedang jika berjenis kelamin wanita, maka akan dijadikan saudarinya.
Si Tumang yang telah menjadi anjing istana, dan selalu setia menjaga keputren Dayang Sumbi, ketika mengetahui torompong Sang Putri jatuh, kemudian ia mengambilkan Torompong tersebut, dan memberikannya ke Dayang Sumbi di lantai atas.
Melihat bahwa yang mengambil Torompong itu adalah seekor anjing, Dayang Sumbi gundah dan seolah tidak percaya. Tetapi karena sudah bersumpah, maka mau tidak mau Dayang Sumbi harus menerima Si Tumang yang menjadi suaminya.
Hal ini justru membuat aib bagi keluarga kerajaan.  Mendengar hal tersebut kemudian sang raja marah, dan karena merasa aib, akhirnya sang raja mengasingkan Dayang Sumbi ke hutan di perbukitan dengan di temani oleh Seekor anjing yang bernama Situmang.
Konon pada malam bulan purnama, si Tumang dapat kembali ke wujud aslinya sebagai dewa yang tampan. Dayang Sumbi mengira ia bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan. Padahal  sang Dewa adalah perwujudan dari Si Tumang. Tidak lama kemudian Dayang Sumbi hamil, dan melahirkan seorang anak laki laki yang tampan, yang kemudian dinamakan Sangkuriang.
Dengan berlalunya waktu, akhirnya Sangkuriang telah menjadi seorang anak yang kuat,tampan dan pandai berburu. Pada suatu hari  Dayang Sumbi  menginginkan makan hati menjangan. Maka ia menyuruh putranya Sangkuriang dengan ditemani oleh Si Tumang untuk berburu menjangan. Tetapi seolah hari itu merupakan hari kesialan Sangkuriang, sehingga ia tidak menemukan buruan satupun.
Dan ketika itu ada lewat seekor bagong (babi hutan), dan menyuruh Si Tumang untuk mengejarnya. Tetapi karena Babi tersebut merupakaan jelmaan dari Dewi wayung Hiyang, yang merupakan nenek dari sangkuriang, Si Tumang tidak berusaha mengejarnya, malah diam.
Hal itu membuat Sangkuriang marah, sudah seharian tidak menemukan buruan, malah babi hutan di depan mata dibiarkan. Pada awalnya untuk menakut nakuti Si Tumang dengan menombak Si Tumang, supaya mengejar sang babi. Tetapi Si Tumang tidak bergerak sedkitpun. Maka karena saking marahnya, Sangkuriang kemudian menumbak Si Tumang, hingga mati.
Karena menjangan tidak didapat, maka Si tumang kemudian diambil hatinya. Dan memberikan kepada ibunya untuk dimasak dan dimakan.
Dayang Sumbi mulai curiga ketika Si Tumang tidak ada. Dan ketika ia mengetahui bahwa yang dimakannya merupakan hati Si Tumang, yang merupakan ayah dari Sangkuriang. Maka kemarahan Dayang Sumbi memuncak, dan memukul kepala Sangkuriang dengan peralatan yang terbuat dari tempurung kelapa hingga terluka, dan meninggalkan bekas.
Karena ketakutan, kemudian Sangkuriang melarikan diri dari rumahnya. Dan selanjutnya sangkuriang mengembara mengelilingi dunia. Dalam pengembaraannya, Sangkuriang diceritakan berguru kepada banyak pertapa yang sakti. Dan Sangkuriang kemudian tumbuh menjadi anak remaja yang kuat, sakti, tampan dan gagah perkasa.
Dan diceritakan, ibunya Dayang Sumbi, merasa menyesal ditinggal oleh anaknya. Ia terus memanggil Sangkuriang, tetapi Sangkuriang malah semakin lari menjauh. Dan ia terus berusaha untuk mencari anaknya, sambil bertapa dan memohon kepada sang penguasa agar dipertemukan kembali dengan anaknya yang menghilang.

3.. Pertemuan Kembali dan Kisah Cinta yang Kandas
Dayang Sumbi meskipun sudah berumur, tetapi karena hanya makan tumbuh tumbuhan, kecantikannya tetap terjaga. Sehingga seolah masih gadis remaja. Dan Sangkuriang yang telah menjadi seorang pengembara, tetap mengembara ke arah barat, hingga bertemu dengan seorang gais yang Sangat Cantik.
Sangkuriang tidak menyadari bahwa gadis belia yang cantik itu merupakan ibunya. Sedang Dayang Sumbi juga tidak menyadari bahwa pemuda yang gagah dan tampan itu merupakan putranya, sangkuriang, yang ia cari bertahun tahun.
Dan dikisahkan bahwa kedua insan itu memadu asmara, sehingga terjadi kisah percintaan yang  romantis. Tetapi ketika Dayang Sumbi sedang membelai rambut Sangkuriang, ia merasa kaget, ketika meraba bekas luka dikepala Sangkuriang.  Ia masih teringat tentang pukulan dikepala sangkuriang dan meninggalkan bekas. Dan hal ini diutarakannya ke Sangkuriang. Bahwa ia merupakan putranya yang dicarinya bertahun tahun. Tetapi Sangkuriang tidak mempercayainya, dan Sangkuriang memandang bahwa alasan Dayang Sumbi hanyalah alasan untuk tidak dikawininya. Dan Sangkuriang tetap memaksa untuk menikah dengan  Dayang Sumbi.
Dan kemungkinan supaya tidak menyakiti hati anaknya yang ia cari, maka dayang Summbi bersedia menikah denga Sangkuriang dengan Syarat membuat telaga (danau) dengan membendung Sungai Citarum dan juga perahu dalam satu malam.  Dayang Sumbi seolah membuat suatu hal yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia. Dengan permintaan demikian seolah dapat meredam keinginan Sangkuriang untuk mengawininya.
Tetapi Sangkuriang adalah orang yang tangguh, kuat pendirian dan juga sakti. Ia menyanggupi permintaan dayang Sumbi.  Ia kemudain membendung Sungai citarum. Dan ia juga membuat perahu. Diceritakan ketika membuat perahu  dari pohon lametang yang ada di timur, tunggul (akar dan pokok pohon) kemudian menjadi Gunung Bukit Tunggul. Dahan, ranting dan daun daunan menumpuk ke sebelah barat, yang kemudian dikenal dengan Gunung Burangrang.
Dengan bantuan para Guriang, bendungan hampir bisa diselesaikan bersamaan dengan selesainya pembuatan perahu. Hal ini sangat mencemaskan Dayang Sumbi. Dan ia mulai memutar otak untuk menggagallkan rencana Sangkuriang, yang di depan mata pasti tercapai.
Dayang Sumbi  kemudian mengambil daun kingkilaban tujuh lembar, dibungkusnya dengan kain putih hasil tenunannya (boeh rarang), lalu diiris halus. Potongan ini ditaburkan ke arah timur. Hal ini untuk merekayasa pencahayaan. Jadi seolah  fajar menyingsing di ufuk timur. Cahaya membersit, pertanda matahari akan terbit. Hal ini juga menandai ayam mulai berkukuruyuk.
Tentu hal ini membuat ketakutan para guriang (makhluk halus) yang membantu Sangkuriang membendung Citarum. Para Guriang mengira fajar mulai terbit. Karena itu kemudian para guriang tersebut pergi  melarikan diri ke alamnya.
Karena merasa gagal, sangkuriang sangat marah, maka bendungan yang ada di Sanghyang Tikoro dijebolnya. Dan sumbat aliran sungai Citarum dilempar ke arah timur dan dikemudian hari menjadi Gunung Manglayang. Dan air danau / bendunganpun surut seketika. Dan perahu kemudian ditendangnya hingga  menjadi gunung Tangkuban Perahu sekarang (tangkuban perahu berarti perahu tretelungkup/ terbalik).
Karena merasa ditipu kemudian sangkuriang mengejar dayang Sumbi hingga gunung Putri. Dsini para penulis kisah seolah kehilangan jejak. Konon di gunung putri ini Dayang Sumbi meninggalkan tanda berupa setangkai bunga jaksi (atau para penulis cerita sering  mengatakan dayang sumbi berubah menjadi setangkai bunga jaksi). Sedang Sangkuriang sering dikatakan ngahiyang, demikian para penulis cerita, karena memang jejak setelah itu tidak diketahui.

BAB II.. SANGKURIANG DAN SEJARAH DANAU BANDUNG PURBA.

1.. Kesesuaian Cerita Dengan Terjadinya Danau Bandung Purba
Para ahli geologi banyak yang kagum (atau ada yang mengatakan terpana) terhadap kisah Sangkuriang ini, karena ketersesuaian dengan sejarah pembentukan danau Bandung Purba dan letusan Katastropi gunung Tangkuban Perahu. Dan hal yang menarik juga karena pada beberapa daerah toponimi atau penamaan wilayah begitu erat kaitannya dengan kisah Sangkuriang ini.
Berdasarkan kisah,  Sangkuriang diminta dayang Sumbi untuk membuat danau dan perahu, membendung Sungai Citarum dalam satu malam. Menurut para ahli geologi, kisah Sangkuriang jika dibandingkan dengan sejarah terbentuknya Danau Bandung purba, melalui 4 tahap.
Tahap pertama: Sangkuriang menebang pohon Lametang untuk bahan perahu yang berada di sebelah timur. Pohon itu ditebangnya kemudian runtuh ke arah barat. Sisa tunggulnya kemudian menjadi Gunung Bukittunggul. Runtuhnya pohon begitu dahsyat sehingga menimbulkan gempa. Sisa batang yang runtuh memanjang barat timur menjadi tinggian Sesar Lembang. Bagian ranting dan batang pohon dalam bahasa Sunda disebut Rangrang, diinterpretasikan sebagai Gunung Burangrang. Kejadian ini terjadi sebelum terbentuknya perahu.
Tahap kedua: Setelah menebang pohon Sangkuriang tidak langsung membuat perahu, tetapi membendung Sungai citarum dulu, agar tergenang menjadi danau, Pada tahap ini Gunung Sunda meletus, materialnya membendung Citarum di utara Padalarang. Maka tergenanglah menjadi Danau Bandung Purba.
Tahap ketiga, setelah sungai dibendung, Sang Kuriang melanjutkan membuat perahu. Danau sudah terbendung, airnya mulai tergenang. Pada tahap ini diungkapkan bahwa Dayang Sumbi mulai cemas atas keberhasilan dari Sangkuriang, sehingga kemudian mengambil daun kingkilaban tujuh lembar, dibungkusnya dengan kain putih hasil tenunannya (boeh rarang), lalu diiris halus. Potongan ini ditaburkan ke arah timur. Jadi seolah  fajar menyingsing di ufuk timur. Cahaya membersit, pertanda matahari akan terbit, Hal ini membuat Sangkuriang marah besar, maka maka bendungan yang ada di Sanghyang Tikoro dijebolnya (sekarang ditemukan bahwa tempat Sangkuring menjebol Bendungan bukan di Sanghiyang tikoro tetapi di Cukang Rahong).
 Dan sumbat aliran sungai Citarum dilempar ke arah timur dan dikemudian hari menjadi Gunung Manglayang. Dan perahu kemudian ditendangnya hingga  menjadi gunung Tangkuban Perahu sekarang (tangkuban perahu berarti perahu tretelungkup/ terbalik). Dengan demikian pada tahap ini bersamaan dengan lahirnya lahir gunung tangkuban perahu. Hal ini dianggap bersesuaian dengan penelitian bahwa Gunung Tangkuban Perahu adalah gunung yang berusia lebih muda dibandingkan gunung-gunung di sekitarnya (Gunung Bukit Tunggul dan Gunung Burangrang).
Pada tahap ketiga ini, ketika danau sudah tergenang, dari dalam kaldera Gunung Sunda terjadi gejolak aktivitas gunung api. Terjadi letusanletusan dari beberapa lubang kawah. Karena kawah kawahnya berjajar barat-timur, maka rona gunung ini terlihat seperti perahu yang terbalik bila dilihat dari selatan.
Tahap keempat, karena melihat kemarahan Sangkuriang, Dayang  Sumbi kemudian berlari ke arah timur, dan secepat kilat Sang Kuriang mengejarnya. Di sebuah bukit kecil, hampir saja Dayang Sumbi tertangkap. Bukit tempat menghilangnya Dayang Sumbi disebut Gunung Putri
Dan dewasa ini, memaknai dari tahap 4 ini, dikenal dengan upaya penyelamatan, atau upaya mitigasi. Ketika ada gunung meletus atau  gejolak gunung api,  kita harus mencari tempat di punggungan yang aman, yang tidak akan tersapu aliran lahar, terjangan awan panas dan hujan abu.

....

(Lanjut............)


By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam

Sumber: 
Ekadjati, Edi.S., Dari Pentas Sejarah Sunda, Kiblat Buku Utama, Bandung 2014
Internet : Id. Wikipedia, Geomagz (Majalah Geologi Populer), dll







Tidak ada komentar:

Posting Komentar