Rabu, 02 November 2011

Perbincangan Dengan Siabah 3: PERPUSTAKAAN


Jika sudah kenal memang sangat nyaman kalau berkomunikasi, seolah tiada penghalang untuk mengungkapkan berbagai pikiran dan pemikiran satu sama lain. Saya dengan siabah menandai masa itu, masa sudah kenal dan saling mempercayai serta memahami. Sehingga pemikiran siabah dengan derasnya keluar dari mulutnya melalui suatu ungkapan-ungkapan yang sangat bermakna.
Setelah tema pertama membuat sungai sungai kecil dihulu sungai peradaban. Yang kedua tentang belajar dari bangsa bangsa besar. Dari kedua judul itu isinya menekankan tentang begitu pentingnya membaca, yang merupakan salah satu bentuk atau aktifitas tarnsformasi dari bahasa lisan ke bahasa tulisan. Dan  setelah itu adalah pembukuan. Siabah sangat bersemangat ketika berbicara tentang masalah pembukuan ini, dan ujung dari pembicaraan mengenai perpustakaan. Siabah sangat prihatin tentang perpustakaan ini. Di Negara ini perpustakaan hanyalah sebagai pelengkap penderita, bukan sesuatu yang amaat penting dalam berbagai institusi. Mungkin hanya universitas-universitas favoritlah perpustakaan mendapat perhatian khusus. Selain itu mungkin belum ada yang serius menanganinya atau hanya apa adanya.
Si abah berbicara: “Ada suatu ungkapan, jika mau melihat atau menilai intelektual seseorang adalah dengan melihat buku bacaannya”. Dan siabah meneruskan pembicaraannya:” Jika mau menilai intelektualitas sekolah atau perguruan tinggi maka lihatlah yang perpustakaanya. Perpustakaan adalah kumpulan buku-buku. Seolah memang benda mati karena hanya kumpulan buku-buku. Padahal perpustakaan mencerminkan hidupnya pemikiran suatu lembaga pendidikan atau suatu daerah. Jika perpustakaan suatu sekolah bukunya sedikit, tidak terurus dan banyak yang tua dan tidak berkualitas. Maka hal tersebut mencerminkan intelektual isi sekolah tersebut, baik guru, kepala sekolah maupun siswanya. Demikian juga suatu universitas, kota atau daerah, atau masjid bahkan Negara”.
Perpustakaan yang hebat di negeri ini mungkin baru di universitas ternama saja, sperti ITB, UI dan lainnya. Jadi perpustakaan baru milik lembaga pendidikan yang mungkin agak lengkap. Tetapi itu belum mencerminkan mayoritas anak bangsa. Perpustakaan belum menjadi gerakan universal, terutama dilembaga-lembaga pendidikan islam atau di masjid masjid. Seperti yang kita ketahui Masjid dalam tradisi islam awal adalah pusat ilmu pengetahuan. Tempat dimana tempat mencari ilmu dan tempat mencari solusi permasalahan .
Siabah pernah berkeliling ke kota-kota besar, jangankan masjid di desa-desa, perpustkaan di Masjid istiqlal hanyalah menempati ruangan bawah masjid yang sepi pengunjung. Siabah dulu termasuk yang aktif membaca di perpustaakaan masjid istiqlal. Disamping tempatnya kurang menarik, seolah kurang promosi dan apa adanya. Padahal itu di masjid terbesar di indonesia. Demikian juga di Masjid agung bandung, Masjid al akbar Surabaya, bahkan islamic centr termegah di Samarinda juga sangat jarang bukunya.
Jadi hal ini mengindikasikan tentang minimnya pengetahuan kita terhadap peradaban Islam. Seolah hal ini dibiarkan bertahun-tahun dan menjadi suatu kebiasaan yang terus dipertahankan. Perpustkaaan / kumpulan buku buku koleksi seolah benda mati yang tidak mencerminkan intelektualitas pengurusnya. Padahal perpustkaaan mencerminkan hidupnya intelektualitas dari komunitasnya. Jadi seolah peran kita hanya dinilai oleh diri kita sendiri, dinilai oleh kebiasaan-kebiasaan yang stagnan, karena secara ekonomi kita diuntungkan. Padahal ini merupakan peluang dan kesempatan untuk memakmurkan masjidnya. Tanpa buku atau saarana intelektual lainnya, masjid nantinya hanya akan menjadi tempat berkumpulnya kaum tua yang hanya untuk kegiatan-kegaiatan seremonial. Seolah masjid sebagai tempat dimana menjadi sumber inspirasi sudah banyak ditinggalkan.


(Pemikiran Pemikiran Siabah: Hasil Suatu Diskusi, by: Adeng Lukmantara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar