Pembicaraan dengan siabah menginjak kepada tema-tema yang variatif. Setidaknya banyak pemikiran-pemikiran yang agak berbeda yang mungkin kata siabah akan banyak menyinggung perasaan sebagaian orang di negeri ini. Tapi menurut siabah hal itu bukan maksud menyinggungnya tetapi upaya-upaya mengungkap konsep ideal yang kadang harus bertentangan dengan realitas manusia yang sangat subyektif dalam cara berpikir dan cara bertindak.
Setelah tentang transformasi dari bahasa lisan ke bahasa tulisan yang merupakan awal dari revolusi menuju masyarakat berkonsep peradaban, dan tema-tema pendukungnya, terutama tentang pentingnya umat islam memulai mentradisikan menulis, dan mengumpulkan hasil karya tulisan umat manusia dalam upaya cara berpikir agar selalu tidak memulai dari nol. Dan selanjutnya adalah tentang perlunya membangun lembaga pendidikan berkonsep masa depan (berkonsep peradaban).
Menurut siabah pada hakekatnya lembaga pendidikan yang diperlukan bangsa ini adalah suatu lembaga yang dapat mencetak kader-kader berikutnya bisa membusungkan dadanya, atau menepuk dadanya dihadapan bangsa lain. Disini bukan berarti sombong tetapi bentuk suatu kebanggaan diri karena keunggulan-keunggulan yang dimiliki. Jadi lembaga pendidikan pada hakekatnya adalah lembaga pengkaderan generasi unggul.
Kaum pembaharu pendidikan islam belakangan ini mendefinisikan generasi unggul itu dengan mengutip apa yang diungkapkan dalam suatu ayat alqur’an, yaitu suatu generasi yang mempunyai kekuatan fisik dan juga kekuatan ilmu (basthatan fil jasad wal ilmi’). Sehingga kemudian bisa menepuk dadanya sendiri, yang dapat mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Bukan karena factor-faktor yang subyektif seperti keluarga atau kekayaan.
Siabah agak mengkritik tentang model pendidikan seperti sekolah umum. Menurutnya model ini belum banyaak memberikan lompatan-lompatan ke depan secara signifikan. Karena banyak dikonsep secara mengambang. Belum bisa mencetak manusia unggul, seolah masih mengambang, dan fondasi yang dibangun juga belum kokoh, baik dari intelektual maupun dari segi spiritual. Hal ini karena belum menjadi gerakan atau hasil yang menyeluruh.
Sekolah di negeri ini menurut siabah kebanyakan hanya untuk status local saja, belum menjadi fundamen pendorong bagi intelektualitas selanjutnya. Karena orientasi pemikirannya juga kurang berfokus. Pendidikan kebanyakan baru mencari status, dan mencari ilmu bukan menjadi tujuaan utama. Karena itu ketika slesai pendidikan, bukan menjadi awal cara berpikir tetapi lebih menekankan kepada akhir dari belajar/ berpikir. Sebagai contoh, ketika seseorang lulus dari sarjana (S1), maka sarjana itu merupakan akhir dari suatu tujuan, bukan awal dari cara berpikir. Jadi banyak dari sarjana kita yang cara berpikirnya tidak seperti seorang sarjana. Jadi gelar baru menjadi keberuntungan, karena mungkin secara ekonomi lebih mampu dari tetangga yang lainnya. Tentu hal ini tidak semua seperti itu, tetapi jumlah yang demikian tentu sangatlah sedikit, sehingga belum menjadi suatu gerakan yang revolusioner untuk mengubah bangsa ini.
Tidak hanya itu, siabah juga agak mengkritik institusi pendidikan tradisional negeri ini seperti: pesantren. Menurut siabah hingga kini pesantren kebanyakan masih bukan “islam” sebagai ide, sebagai cita-cita, tetapi baru upaya mempertahankan tradisi local, yaitu tradisi local turun temurun dari nenek moyang ke nenek moyang hingga kita dan selanjutnya. Seolah tidak ada kritik adanya. Jadi pesantren yang dianggap sebagai refresentasi sekolah islam, harusnya dapat menjadi alternative, malah menjadi daripada, daripada tidak sekolah, karena ekonomi yang sulit. Daripada tidak sekolah karena tidak diterima oleh sekolah umum mendingan masuk pesantren. Jadi hingga kini pesantrenpun belum bisa dijadikan alternative, karena institusi ini belum menghasilkan lompatan-lompatan besar dalam berpikir.
Meskipun sudah mulai banyak yang melakukan perubahan-perubahan, tetapi tetap masih belum bisa menjadi alternative atau setidaknya masih belum ada lompatan-lompatan besar dari hasil karya lulusannya.
Mengapa hal ini bisa terjadi, karena kita belum menggali budaya kita secara mendalam. Kebanyakan budaya bangsa disetting ketika negeri ini terbentuk. Jika kita baru merdeka tahun 1945 berarti budaya bangsa kita juga baru terbentuk setelah itu. Dan sebelum tahun itu negeri ini dikenal sebagai negeri Hindia belanda, yang konon berkuasa di Indonesia hampir 350 tahun. Suatu waktu yang cukup untuk membunuh karakter bangsa, membunuh ide-ide cemerlang bangsa, dan waktu yang cukup untuk menjadikan cara berpikir anak bangsa ini menjadi bangsa budak atau bangsa pengabdi, bangsa termarjinal dalam berbagai kebijakan politik dan ekonomi. Jadi hakekat budaya bangsa kita tidaak pernah bisa melepaskan dari budaya-budaya bangsa termarjinal. Makanya jangan heran jika banyak lulusan sekolah kita yang bekerja diinstitusi pemerintahan atau public masih banyak melanggengkaan budaya-budaya budak, seperti korupsi, kolusi dan budaya suap.
Jadi sangat sulit lulusan dari sekolah-sekolah kita itu menjadi motivator. Karena kita baru berevolusi dari bangsa pengabdi menjadi bangsa yang merdeka. Belum bisa menjadikan bangsa yang sejahtera. Jadi ternyata PR kita masih banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar