Kerajaan Sunda jika melihat independensinya kekuasaan di negara negara di wilayahnya, sepertinya berbentuk Federal. Seolah pengakuan terhadap pusat kekuasaan di Pakuan adalah suatu hal yang menjadi kewajiban, tetapi mereka bebas menentukan sendiri model pemerintahannya, termasuk suksesi, tanpa intervensi dari kekuasaan pusat di pakuan.
Bujangga Manik dengan jelas membicarakan kerajaan-kerajaan yang ada di tanah sunda, termasuk tapal batas kekuasaan negara tersebut. Sejarah sunda belum begitu terungkap dengan jelas, ddengan demikian informasi yang berupa catatan sejarah meskipun sangat sedikit, justru disinilah pentingnya informasi yang sedikit ini. Informasi atau catatan dari Bjangga Manik ini meskipun hanya selintas dalam menerangkan tapal batas wilayah-wilayah kerajaan yang ada di tatar sunda.
Setidaknya ada beberapa negara yang diungkapkan oleh Bujangga Manik, dengan tapal batas wilayah kekuasaanya, seperti yang ia ungkapkan sepulangnya pengembaraannya ke timur (jawa dan bali), pada perjalanan yang kedua. Meskipun belum bisa mengungkap dengan detail, karena sumber pustaka yang sedikit, karena perlu penyelidikan dari para ahli sejarah. Tapi setidaknya dapat memberi informasi awal dari awal pengungkapan sejarah sekarang ini,
A. Kerajaan di sekitar Gunung Cereme
Menurut Bujangga manik, Gunung
Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya merupakan
wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah Talaga.
Gunung Ceremai adalah gunung berapi kerucut yang secara
administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang
tertinggi di tatar Sunda, dengan
ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah
ganda.
Jad menurut Bujangga manik di sekitar
Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan dan Talaga.
Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin waktu itu belum
begitu dikenal.
i.i. Kerajaan Pada beunghar
i.ii. Kerajaan Kuningan
Kerajaan Kuningan merupakan salah satu
kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui
kapan kerajaan ini didirikan, yang pasti awalnya kerajaan ini
merupakan bawahan keresian Galunggung,
Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai putri yang bernama
Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari Batara Danghiyang Guru
Sempakwaja, resiguru dari Galunggung,
putra dari pendiri galuh, Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di
Layuwatang atas permntaan Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke
menantunya, Demunawan.
Masa Demunawan (723 - 774)
Resi Demunawan mendirikan ibukota baru
Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile
atau Saung Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan
dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah
berada di lereng Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa
Ciherang, Kecamatan Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota
baru, Sempakwaja (raja Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta
kerajaan-kerajaan bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi
Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal dengan beberapa
sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku. Sebagai seorang
Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan dapat dijadikan
andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi Layuwatang, Kajaron,
Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan, Padurungan,
Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan ekspansi
dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut ajaran Dangiang
Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (ajaran Kitab Suci), serta
Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan
tenteram. Secara tidak langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah
menandingi kebesaran Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat
itu dipegang oleh Premana Dikusuma.
Perang saudara antara sesama keturunan
Wretikandayun terjadi kembali pada tahun
739 M. Antara Sonjaya yang membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara).
Perang menelan banyak korban jiwa..
Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan
peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang
sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan pertempuran dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang
bertikai untuk berunding di keraton Galuh pada tahun 739 M.
Resi Demunawan pada tahun 774 M,
Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun. Setelahnya seolah kerajaan Kuningan hilang
ditelan zaman, belum diketahui siapa penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru
mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai dijadikan ibukota pemerintahan
Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung (Raja Sunda ke-19) berkuasa
pada tahun 1019.
Mulai periode tersebut, hubungan
antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat, Raja yang memerintah
di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M),
Pada tahun 1163 riwayat Kerajaan
Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah. Adalah Raja Sunda,
Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja sunda ke-24, Prabu
Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya itu, Rakeyan
Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang lahir pada
tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan berakhir,
dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta di Pakuan
menggantikan ayahnya yang wafat.
Prabu Ragasuci (1175 –1297)
Prabu Ragasuci merupakan anak dari
Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya menjadi Raja Sunda
di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di Saung Galah sambil
menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi raja Sunda
tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara Kerajaan Sunda dengan
Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya menjadikan Kuningan
dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda. Baru pada sekitar
abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan wilayah ini secara
otonom.
Ratu Selawati (sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah cucu dari
Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu Selawati,
penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam. Keadaan ini
merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain itu, di
wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok pesantren
Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin pesat
setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah menjadi
muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari Syekh
Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan mengenai
terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kuningan.
Kerajaan Talaga
Kerajaan Talaga merupakan salah satu negara yang berada di bawah naungan
kemaharajaan Sunda. Kerajaan Talaga diperkirakan terletak di lereng gunung
Ciremai sebelah selatan, di sekitar desa
Sangiang kecamatan Talaga, kabupaten Majalengka sekarang.
Kerajaan Talaga pada awalaya merupakan sebuah kabuyutan / kabataraan
yang kemudian berubah menjadi suatu kerajaan. Kerajaan Talaga merupakan
kelanjutan dari Kabuyutan Gunung Picung.
Kabuyutan Gunung picung didirikan oleh putra dari Suryadewata, yang kemudian terkenal dengan
Batara Gunung picung. Sedang Suryadewata
merupakan putra bungsu dari maharaja
Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa
(mp. 1333-1340 M). Kabuyutan ini berkembang
sumedang bertransisi dari kebataraan ke bentuk kerajaan.
Batara Gunung Picung kemudian diganti oleh putranya yang bernama Pandita
Prabu Darmasuci. Yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Begawan
Garasiang, yang kemudian digantikan oleh adiknya sebagai raja Talaga, yang bernama Sunan
Talaga Manggung. Dan sejak itu kebataraan gunug picung berubah menjadi kerajaan
talaga.
Raja Talaga terakhir, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529
M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk
umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
Ibukota
Pada awalnya kerajan Talaga merupakan suatu kebataraan yang berpusat di
Gunung Picung, yang didirikan oleh Ciptapermana II, yang kemudian terkenal
dengan nama Batara Gunung picung. Gunung picung ini tetap menjadi pusat kerajaan
hingga Prabu Darmasuci II yang kemudian terkenal dengan nama Prabu
talagamanggung memindahkan pusat kekuasaanya ke Talaga (desa sangiang
sekarang), sehingga kemudian kerjaan ini terkenal dengan nama kerajaan talaga.
Pada masa Ratu Simbarkancana,
karena terjadi kekacauan yang didalangi suaminya, Palembanggunung, pusat
kekuasaan kemudian dipindahkan dari tutugan gunung ciremai (sangiang) ke daerah
Walangsuji (desa Kagok, kecamatan Talaga sekarang). Tetapi karena tempatnya
yang kuraang strategis, ibukota di
Walangsuji hanya bertahan 7 tahun 3 bulan. Pusat kerjaan (ibikota) kemudian
dipindahkan ke Parung, pada masa Dewi Sunyalarang..
Batara Gunung Picung (Batara Gunung
Bitung)
Batara Gunung Picung adalah
pendiri dari kabuyutan / kabataraan Gunung Picung, dan ia merupakan
penguasa pertamanya. Nama:
Suddhayasa, dan terkenal dengan nama Batara Gunung Picung (batara Gunung Bitung) merupakan putra dari
Raja galuh Ajar Sukaresi atau disebut juga maharaja Sakti Ajimulya (mp.
1252-1287 M) / Prabu Suryadewata. Suddhayasa atau Bhatara Gunung Bitung
kemudian menjadi dang upaCaka agung Buddhayana Sarwastiwada di Gunung Bitung
Batara Gunung Picung (gunung Bitung)
mempunyai beberapa orang putra,
diantaranya:
• Sunan
Cungkilak
• Sunan
Benda
• Sunan
Gombang
• Ratu
Ponggang Sang Romahiyang
• Prabu
Darmasuci I
Setelah Batara Gunung Picung,
kebataraan kemudian jatuh kepada anaknya yang bernama Prabu Darmasuci,.
Prabu Darmasuci I
Prabu Darmasuci menggantikan ayahnya
di kabataraan Gunung Picung. Ia
mempunyai banyak pengikut dan juga murid, dikarenakan ia merupakan rajaguru Buddhayana Sarwastiwada, di wilayah
Ta¬laga, yang termasuk daerah Galuh.
Ia mempunyai dua orang putra
yang melanjutkan silsilah kerajaan
Talaga (gunung Picung) pada masa
berikutnya, yaitu Prabu Garasiang dan Prabu Darmasuci II, yang kemudian
terkenal dengan Sunan Talaga Manggung.
Setelah Prabu Darmasuci kekuasaan jatuh kepada putra sulungnya Prabu
Garasiang, atau terkenal dengan begawan Garasiang.
Prabu (Begawan) Garasiang
Prabu Garasiang menggantikan ayahnya di kabataraan Gunung Picung. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama Begawan
Garasiang, Karena kegemarannya bertapa dan merenung, sehingga kemudian menjadi seorang begawan Hindu Kahiyangan. Ia
mendirikan padepokan di satu gunung
kecil yang disebut Pasir Garasiang
(pasir dalam istlah bahasa Sunda sama dengan bukit), yang sekarang terletak di
daerah perbatasan antara kecamatan Argapura dan Talaga. Begawan Garasiang
mempunyai putri yang bernama ratu Putri
Mayangkaruna, yang kemudian diperistri oleh
Prabu Mundingsari Ageung, putra Prabu Siliwangi II (Pamanah Rasa) dari
Pajajaran.
Karena kegemarannya bertapa, Begawan Garasiang kemudian digantikan oleh
adiknya yang bernama Prabu darmasuci II atau yang terkenal dengan nama Prabu
Talaga Manggung.
Prabu Talaga Manggung
Prabu Darmasuci II menggantikan kakaknya, Begawan Garasiang, sebagai penguasa Gunung picung. Ia kemudian memindahkan pusat kekuasaanya
(ibukota) ke Talaga, dan keratonnya diperkirakan di sekitar desa
Sangiang sekarang. Sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Prabu
Talagamanggung, dan dianggap peletak dasar kerjaan Talaga sebenarnya.
Pada masa Prabu Talaga manggung, kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang gemilang, sehingga
banyak pendatang yang menetap di daerah Talaga.
Prabu Talaga Manggung mempunyai 2 orang anak, yaitu Raden Pangluruh dan
Dewi Simbar kancana. Sejak kecil Raden
Panglurah sudah rajin bertapa ke Gunung
bitung, dan berguru kepada uyutnya Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Ia memilih
menjadi pertapa dari pada menjadi raja.
Setelah Prabhu Talaga Manggung meningga, kemudian diganti¬kan oleh Ratu
Simbakencana. Hal ini dikarenakan kakak
Sang Ratu yaitu Raden Panglurah tidak mau. Dan ia memilih menjadi sang upaCaka Bu¬ddhayana Sarwastiwada
di pertapaan. Dan ia hanya diberi tahu
perihal pernikahan Ratu Simbar¬kencana.
Putri Talagamanggung, Dewi Simbarkancana, menikah dengan seorang bangsawan Palembang, yang benama Sang Sakyawira, dan terkenal dengan
nama Palembanggunung. Palembanggunung membuat suatu gerakan bawah tanah untuk
mengkudeta Prabu Talaga Manggung. Konon ia berhasil mengambil CIS sang prabu
melalui penghianatan pengawal pribadi
sang Prabu, yang bernama Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata).
Melalui senjata ini ia kemudian dapat
membunuh sang Prabu. Abu jenazah sang prabu dilarung di situ sangiang.
Dewi Simbarkancana
Setelah Prabu Talaga Manggung meninggal karena dibunuh (dikudeta) oleh
menantunya, Palembang gunung, yang tidak
diketahui oleh kalangan keraton. Putra Talagamanggung, Raden Panglurah lebih
memilih menjadi pendeta, sehingga kekuasaan jatuh kepada suami dari Dewi Simbarkencana, yaitu
Palembang Gunung.
Pada awalnya kudeta Palembanggunung tidak diketahui banyak orang,
termasuk oleh istrinya Dewi Simbarkancaana. Karena itu untuk sementara
waktu Palembangggunung kemudian diangkat
menjadi raja Talaga. Tetapi lama-kelamaan proses kudetanya terbongkar.
Dewi Simbarkancana merasa terpukul,
suaminya yang telah diangkat derajaat oleh sang ayah membalasnya dengan
keji. Sehingga ia kemudian dapat
membunuh suaminya dengan susuk kondenya. Dari suamni pertama, Palembang Gunung,
Dewi Simbarkancana tidak mempunyai anak.
Selanjutnya Dewi Simbarkancana menikah dengan Kusumalaya (Pangeran
Palinggih), dari kraton Galuh putra Prabu Ningrat Kancana. Ia adalah seorang
masagi pangarti (intelek) dan pertapa kutamangu, seorang tabib dan ahli
strategi. Ia berahasil menumpas gerakan bawah tanah Palembanggunung dan
komplotannya. Sehingga kekuasaan kembali kokoh dan stabil.
Dari perkawinannya dengan dengan
Kusuumalaya, ia mempunyai 8 orang putra:
• Sunan
parung (Batara Sukawayana)
• Sunan
Cihaur (mangkurat Mangkureja)
• Sunan
Gunung Bungbulang
• Sunan
Cengal (Kerok Batok)
• Sunan
Jero Kaso
• Sunan
Kuntul Putih
• Sunan
Ciburang
• Sunan
Tegalcau
Sepeninggal Ratu Simbarkancana,
kerajaan Talaga kemudia beralih kepada putra sulungnya, Sunan parung (1450 M).
Setelah Sunan Parung meninggal,
pemerintahan kemudian diserahkan kepada putri satu-satunya beliau yang
bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M), yang kemudian hari mendapat julukan
Ratu Parung.
Dewi Sunyalarang (Ratu Parung)
Dewi Sunyalarang atau terkenal
juga dengan nama Ratu Parung, menikah
dengan Prabu Ragamantri, putri
Mundingsari Ageung dari Ratu
Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu
dari Prabu Siliwangi II (Jayadewata atau Pamanah rasa). Pada masa pemerintahan
Dewi sunyalarang inilah pusat kerajaan
kemudian dipindahkan ke Parung.
B. Medang Kahiyangan
B. Medang Kahiyangan
Bujangga manik menyebut Sumedang dengan Medang Kahiyangan. Kerajaan
Sumedang Larang adalah salah satu dari kerajaan Sunda yang berdiri pada abad ke 12 M. Pada awalnya
kerajaan ini merupakan kerajaan Hindu
tetapi kemudian menjadi kerajaan Islam pada abad ke-15 M.
Kerajaan
ini memegang peranan penting, sebagai penerus kerajaan Sunda (yang waktu itu
lebih dikenal dengan nama kerajaan Pajajaran), karena setelah direbutnya
ibukota Pakuan Pajajaran, Sumedang larang dianggap sebagai penerus kerajaan
sunda tersebut. Sejak itu Sumedang larang disamping dianggap sebagai penerus
Pajajaran, yang memiliki otoritas yang
luas untuk menentukan nasibnya sendiri..
Asal Usul
Kerajaan
Sumedang larang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata
sebelum keraton Galuh di pindahkan ke Pakuan (Bogor sekarang). Seiring dengan perubahan zaman dan
kepemimpinan, nama Sumedang Larang
mengalami beberapa kali perubahan. Pada awal berdirinya sumedang larang
bernama Kerajaan Tembong Agung, yang dipimpin oleh Prabu Aji Putih dengan
ibukota di Leuwi Hideung (sekarang berada di kecamatan Darmaraja). Tembong
Agung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang agung
berarti besar dan luhur).
Pada zaman
Prabu tajimalela namanya kemudian diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti
menerangi alam. Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya
menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang
diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang
disingkat Sumedang, yang berarti saya
menerangi, dan ada juga yang menulis berasal dari kata insun medal yang
mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak
ada tandingannya.
Sumedang
larang sendiri diyakini oleh sebagian penulis pada awalnya merupakan sebuah
kabuyutan yang didirikan oleh Prabu Aji Putih, yang berkembang setelah Kabuyutan Sunda di
karantenan gunung sawal berubah menjadi kerajaan Panjalu dibawah pimpinan
Rangga Sakti. Sumedang Larang sendiri berubah menjadi kerajaan di era
pemerintahan Prabu Gajah Agung.
Penguasa
Raja-raja yang berkuasa di Sumedang Larang, adalah:
- Prabu Aji Putih
- Prabu tajimalela
- Prabu
Lembu Agung (Lembu Peteng Aji)
- Prabu
gajah Agung
- Sunan
Pagulingan
- Sunan
Guling
- Sunan
Tuakan
- Nyi Mas
Ratu Patuakan
- Ratu
Pucuk Umun
- Prabu Geusan Ulun (mp. 1578-1608 M)
Prabu Aji Putih
Prabu
resi Aji putih adalah seorang resi trah Galuh (masih keturunan bangsawan
galuh), yang dianggap sebagi perintis dari kerajaan Sumedang Larang. Ia
diyakini merupakan keturunan dari Aki Balangantrang, cucu Wretikandayun
(pendiri kerajaan Galuh), dan merupakan inspirator dalam kudeta Ciung Wanara
(Sang Manarah) di tanah Galuh.
Ia
datang ke suatu kampung yang bernama Cipaku, yang letaknya di pinggir walungan
(sungai) Cimanuk (sekarang adanya di
kampung Muhara, desa Leuwihideng, kecamatan Darmaraja Sumedang). Disini ia
melakukan perubahan tatanan pemerintahan dan masyarakat, yang konon daerah ini
sudah ada sejak abad ke-8 M. Pengaruhnya semakin kuat sehingga kekuasaanya
meluas hingga sepanjang walungan (sungai) Cimanuk, hingga berdirinya kerajaan
Tembong Ageung. Tembong Ageung
berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang ageung
berarti besar dan luhur).
Kerajaan Tembong Ageung terletak di bukit
Tembong Ageung, dengan ibukota di Leuwi Hideung Darmarja sekarang. Prameswari prabu Aji Putih bernama Nyi Mas
Ratu Ratna Inten atau terkenal juga dengan nama Nyi Mas Dewi
Nawang Wulan. Dari perkawinanya ia mempunyai anak yang bernama Tajimalela, yang
kemudian menggantikannya.
Setelah
meninggal Prabu Aji Putih dimakamkan di Astana Cipeueut, desa Cipaku Darmaraja.
Prabu Tajimalela
Prabu Tajimalela atau Batara Tuntang Buana
(Prabu Agung Resi Cakrabuana), dianggap sebagai pokok berdirinya kerajaan Sumedang Larang. Ia meneruskan kekuasaan
ayahnya, Prabu Guru Aji Putih. Pada zamannya
nama kerajaan kemudian diganti dengan nama Himbar Buana, yang berarti
Menerangi alam. Tetapi setelah ia bertapa ia mengubahnya menjadi kerajaan
Sumedang Larang, meskipun ibukotanya tetap di daerah Leuwihideung Darmaraja
Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal insun madangan.” (artinya:
Saya dilahirkan saya menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama
Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun
madangan yang disingkat Sumedang, yang
berarti saya menerangi, dan ada juga yang menulis berasal dari kata
insun medal yang mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti
sesuatu yang tidak ada tandingannya
Prabu Tajimalela hidup sezaman
dengan Maharajara Sunda yang
bernama Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M) Konon menurut cerita rakyat, pada zaman Tajimalela ini pertanian mencapai
kemajuannya. Ia sangat memperhatikan
bidang pertanian, sehingga disepanjang sungai Cimanuk terdapat tanah pertanian
yang sangat subur. Disamping itu, ia juga dalam bidang peternakan di Paniis
(Cieunteung) dan perikanan.di Pangerucuk (Situraja).
Situs
peninggalan Prabu Tajimalela berupa Lingga di situs gunung Lingga.
Suksesi
Prabu tajimalela mempunyai 2 orang putra,
Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung. Berdasar Layang Darmaraja, Prabu
Tajimalela memberi perintah kepada kedua
putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan
yang satunya lagi menjadi wakilnya. Tapi keduanya tidak bersedia, oleh karena
itu Prabu tajimalela memberi ujian
kepada keduanya, jika kalah harus jadi raja *).
Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang gunung
sangkan jaya), dan diperintahkan harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda
(duwegan). Tetapi gajah Agung karena merasa kehausan membelah duwegan (kelapa
muda) dan meminumnya, sehingga ia kemudian dinyatakan kalah. Dengan demikian
Prabu gajah Agung harus menjadi raja, tetapi harus mencari ibukota sendiri. Dan
Lembu Agung kemudian menjadi resi, tetapi ia tetap menjadi raja sementara di
Leuwi hideng untuk memenuhi wasiat tajimalela Karena itu Prabu lembu Agung kemudian terkenal dengan
nama Prabu Lembu Peteng Aji.
Disamping Prabu lembu agung dan
prabu gajah agung, ia juga mempunyai anak yang bernama Sunan Geusan Ulun. Prabu
Lembu Agung dan keturunannya tetap berada di Darmaraja, sedang Sunan Geusan
ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan brebes.
Prabu Lembu Agung (lembu Peteng Aji)
Prabu lembu Agung
menggantikan posisi ayahnya sebagai Raja di kerajaan Tembong Agung, yang waktu
itu mulai terkenal dengan nama Sumedang. Nama sebenarnya Pangeran Jayabrata,
dan setelah naik tahta bergelar Prabu Lembu Agung. Ia merupakan putra pertama
Tajimalela, yang lebih memilih menjadi resi daripada jadi raja, karena itu ia
terkenal dengan nama Prabu Lembu peteng
aji.
Ia
berkuasa jadi raja hanya untuk memenuhi wasiat ayahnya, Prabu tajimalela. Setelah
beberapa tahun berkuasa ia kemudian menyerahkan kekuasaanya kepada adiknya,
Prabu Gajah Agung.
Setelah
meninggal ia dimakamkan di Astana Gede, desa Cipaku kecamatan Darmaraja,
Sumedang, letaknya kira-kira 500 meter dari makam kakek dan neneknya, Prabu
Guru Aji Putih dan Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau Nyi Mas Dewi Nawangwulan.
Prabu gajah Agung
Prabu
Gajah Agung, menjadi raja Sumedang Larang, menggantikan kakaknya, Prabu Lembu
Peteng aji, yang memilih menjadi resi. Nama
sebenarnya adalah Pangeran Atmabrata, dan setelah menjadi raja ia bergelar
Prabu Gajah Agung.
Pada masanya, ibukota kerajaan dipindahkan
ke Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang selatan sekarang). Ia mempunyai anak
yang bernama Pangeran Wirajaya, yang kemudian menggantikannya, dengan gelar
Sunan Pagulingan.
Setelah
meninggal, Prabu Gajah Agung kemudian dimakamkan di Kampung Cicanting, Desa
Sukamenak, Kecamatan Darmaraja, Sumedang.
Sunan Pagulingan
Sunan Pagulingan
atau Prabu Pagulingan merupakan putra dari Prabu Gajah Agung. Nama sebenarnya
Pangeran Wirajaya, dan setelah menjadi
raja bergelar Sunan Pagulingan. Ia tinggal di Cipameumpeuk. Ia berkuasa dengan
ibukota di Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang Larang).
Ia
mempunyai 2 orang anak, yaitu Nyai Ratu Ratnasih, dan terkenal dengan nama Nyai Rajamantri, diperisteri oleh raja
Pajajaran (raja Sunda), dan Pangeran
Mertalaya. Karena
Ratnasih menjadi prameswari maharaja Sunda, maka raja Sumedang
Larang jatuh kepada adiknya, Merlaya,
yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Guling.
Setelah wafat, ia dimakamkan di
Ciguling.
Sunan Guling
Nama aslinya Pangeran Mertalaya, dan merupakan
anak kedua dari Sunan Pagulingan. Kakaknya, yang bernama Nyi Ratu Retnasih
diperistri raja pajajaran dengan gelar Nyi Rajamantri, dan pindah ke ibukota
Pakuan. Sehingga raja Sunda jatuh kepadanya, dengan gelar Sunan Guling.
Ia
berkuasa dengan ibukota di Ciguling, (desa Pasanggrahan sekarang, Sumedang
Selatan). Setelah meninggal. Ia dimakamkan di Ciguling, dan tahta jatuh pada
anaknya yang bernama Pangeran Tirtakusuma, dan setelah menjadi raja bergelar
Sunan Tuakan atau Sunan Patuwakan.
Sunan Tuakan
Sunan
patuakan atau Tirtakusuma menjadi penguasa Sumedang larang menggantikan
ayahnya, Sunan Guling.
Ia
dimakamkan di Heubeul Isuk, desa Cinanggerang. Ia kemudian digantikan oleh
anaknya, Sintawati yang terkenal dengan nama Nyi Mas Patuakan.
Nyi Mas Patuakan / Sunan Corenda
Nyi Mas
Patuakan atau Sintawati menjadi raja Sumedang menggantikan ayahnya, Sunan
Patuakan. Sintawati menikah dengan Sunan Corenda (Sunan Corenda adalah raja Talaga, putra dari
Ratu Simbarkancana di kusumalaya, sedang Kusumalaya merupakan putra dari Dewa
Niskala, penguasa Galuh.
Nyi Mas
Ratu Patuakan mempunyai seorang putri
yang bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata
(1530-1578 M), yang kemudian menggantikannya, dan bergelar Ratu pucuk
umun. Note: Sunan Corenda adalah putra Sunan parung, cucu
Prabu Ratu Dewata
Ratu Pucuk Umun (1530-1578 M) / Pangeran santri
Ratu Pucuk umun atau ratu Inten
Dewata naik tahta Sumedang Larang
menggantikan ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan dan ayahnya, Sunan Corenda. Ia merupakan
seorang keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk Islam, dan
berkuasa bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang Larang. Pada masanya ibukota kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari
Ciguling ke Kuatamaya.
Pada pertengahan abad ke-16 M, mulailah
corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia sendiri kemudian
masuk Islam dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M), yang
terkenal dengan nama Pangeran santri, atau
Ki Gedeng Sumedang. Pangeran santri yang memerintah Sumedang bersama
istrinya, sambil menyebarkan islam ke seluruh wilayah kerajaan.
Pangeran Santri adalah
putra dari pangeran Palakaran (Pangeran Pamalekaran / dipati tetarung), putra
arya dammar (sultan Palembang). Ibunya
Ratu Martasari (Nyi Mas ranggawuluung), anak Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjuman)
serta cicit dari Syekh Datuk Kahfi,
seorang ulama keturunan Arab Hdramaut,
yang berasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru kerajaan
Sunda.
Pangeran Kusumah dinata terkenal dengan nama Pangeran santri karena asalnya dari pesantren dan pewrilakunya yang
sangat alim. Dengan pernikahannya tersebut, berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Dan
sejak itu menyebarlah Islam di seluruh penjuru Sumedang larang.
Dari
hasil pernikahan antara Pucuk Umun dan Pangeran santri melahirkan 6 orang
putra,yaitu
- Pangeran Angkawijaya, yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Geusan
ulun, yang menggatikan menjadi raja Sumedang Larang. Ia merupakan raja Sumedang Larang terbesar dan
terakhir kerajaan Sumedang Larang.
- Kiai rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang,
suapaya memeluk Islam.
- Kiai Demang Watang di Walakung
- Santowaan Wirakusumah yang
keturunannya berada di pagaden dan Pamanukan Subang.
- Santowaan Cikeruh
- Santowaan Awi Luar.
Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1608 M).
Pangeran Geusan Ulun menjadi raja Sumedang Larang menggatikan ayah dan
ibunya, Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan
Kutamaya sebagai ibukotanya.
Nama sebenarnya adalah Pangeran Angkawirya,
dan kemudian bergelar Pangeran Kusumahdinata 2. Pangeran Angkawijaya dilahirkan
3 Sukrapaksasrawamummasa 1480 Caka atau 3 Dzulkaidah 965 H Bertepatan dengan 20
Juli 1558 M
Geusan
Ulun dinobatkan jadi raja 1578 menggantikan ayahnya dan dikukuhkan pada 13
Angklapaksa Asyiyimasa 1502 Caka atau 10 dzulkaidah 998 H atau 18 November
1580.
Ketika Kerajaan Pajajaran runtuh, kekuasaan
Kerajaan Sumedang Larang dipegang oleh Pangeran Santri. Dan setahun setelah
Pajajaran jatuh, Pangeran santri menyerahkan kekuasaan pada anaknya, Pangeran
Angkawirya. Penobatan Pangeran Angkawirya dilakukan oleh hampir seluruh rakyat
pajajaran, setelah kerajaan itu jatuh
karena serangan tentara Banten, yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf.
Gelar Prabu Geusan Ulun diberikan oleh
rakyat Pajajaran, Geusan berarti Tempat, sedang ulun berarti bernaung, atau
mengabdi. Penobatannya itu ditandai dengan diserahkannya mahkota kebesaran
“Binokasih” yang terbuat dari emas bertahtahkan intan berlian pemberian Prabu
Siliwangi Raja Pajajaran. Mahkota diserahkan oleh empat Kandagalante atau
panglima perang yaitu Mbah Jayaperkosa (Sanghiyang Hawu), Mbah Nanganan (Batara
Wiyatiwiradijaya), Mbah Terongpeot (Batara Pancarbuana) dan Mbah Kondanghapa
( lanjut........)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar