Dalam suatu kesempatan saya bertemu dengan seseorang yang lumayan umurnya, sekitar berumur 45 tahunan. Meskipun kelihatan berwajah biasa saja, tetapi saya tidak menyangka bahwa dia mempunyai pandangan-pandangan jauh ke depan, terutama menyangkut peradaban islam di Indonesia, solusi pemecahan kemiskinan dan membangkitkan kemandirian dan intelektualitas anak bangsa. Siabah, demikian sebutan bagi tokoh idealis ini, karena dia tidak pernah mau menyatakan nama sebenarnya, yang menurutnya biar tidak riya.
Memang kadang pandangan atau penampilan itu menipu. Jika tidak banyak waktu luang, mungkin mutiara-mutiara yang datang dari ungkapan-ungkapan tidak ada yang mengetahui. Karena dia tidak terlalu menggebu-gebu dalam mengeluarkan pendapatnya. Seolah dia mau menilai saya, apakah akan begitu lega menerima pendapat-pendapatnya. Di negeri ini kan begitu kuat membentengi diri dengan sekat-sekat kebodohan diri, memproteksi diri dengan doktrin-doktrin yang sempit, sehingga menurutnya meskipun yang diungkapkan merupakan kebenaran-kebenaran yang sebenarnya, kadang ditolak atau dicurigai dengan wasangka yang kadang mengerikan.
Jadi siabah seolah ingin menilai pada diri saya, apakah layak mendapatkan ungkapaan mutiaara-mutiara yang berharga ini. Dan alhamdulillah sekat-sekat ini dapat dengan mudah dihilangkan, karena sikap saya yang cenderung terbuka, dan membuang sekat-sekat kebodohan yang memenang cenderung menutup diri kita dari kemajuan.
Dari ungkapn-ungkapannya, sosok siabah meskipun sangat idealis, tetapi dia sangat realistis. Baginya kebutuhan diri dan keluarga harus diutamakan daripada idealime itu sendiri. Tetapi idelaisme katanya harus tetap dijaga, jangan sampai mati karena kebutuhan hidup yang kadang sangat mengikat dan kadang diluar jangkauan.
Menyangkut tentang peradaban Islam di Indonesia, katanya mengutip pendapat dari Nurcholis Majid, katanya baru tahap embrio. Meskipun Islam telah masuk ratusan tahun di negeri ini, tapi baru menyangkut tingkat dasar manusia. Baru memikirkan kebutuhan diri, belum melangkah ke tingkatan yang lebih tinggi lagi, yaitu idealism membangun peradaban Islam di negeri ini. Jika dibandingkan dengan negeri tetangga, Malayasia, mungkin kita masih tertinggal. Meskipun paling maju di bandingkan Negara asia tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Negara ini masih mempertahankan idealismenya, jati dirinya yaitu Islam.
Tapi siabah tidak pernah mau menyalahkan siapa siapa katanya, karena hal itu diakibatkan oleh ketidaktahuan kita atau wacana yang sangat kurang, disamping kurang percaya diri dari kita sendiri.
Membicarakan tentang peradaban, hal ini sangat menarik. “ Jika di andaikan sungai” kata siabah sambil diam sejenak. Dan ia meneruskan lagi:” Jika peradaban itu diandaikan sbagai sebuah sungai. Maka sungai itu akan besar jika banyak cabang skecil ungai-sungai kecil di hulunya. Semakin banyak sungai kecil, maka sungai itu akan menjadi sangat besar. Seperti sungai amazone atau sungai nil, sangat tergantung cabang-cabang sungai kecil di hulunya”. Demikian juga peradaban maka peradaban Islam di indoonesia akan menjadi besar, jika banyak cabang sungai kecil dihulunya. Semakin banyak cabaang kecil dihulu maka akan semakin besar hasil suatu peradaban.
Peradaban itu menurut siabah adalah menyangkut dominasi. Dominasi itu menyangkut idelisme dan tindakan atau hasil karya. “Nah kita ini selama ini baru pada tahap kebutuhan perut, dan jika menyangkut agamapun baru tingkat paling dasar, dan cenderung itu-itu saja, dan diulang-ulang, karena kita dari dulu hingga kini hanya mengembangkan budaya lisan, belum pada tahap hasil karya berupa tulisan. Karena kalau berupa tulisan maka kita akan melihat tingkatan pemikiran.”
“oh iya” kata si abah diam sjenak. Dan ia berkata lagi “Jika belajar pada peradaban Islam tempo dulu yang sangat kaya, maka kita akan melihat begitu dominannya pemikiran dalam bentuk karya tulisan”. Semakin banyak karya tulis yang dibuat maka ulama itu akan sangat terkenal dan dihormati. Nah hal ini berbeda dengan bangsa kita. Ulama yang terkenal adalah ulama yang tampil di TV dengan ceramah yang itu-itu saja, dan diulang-ulang.” Dan hal ini jika menjadi tren dari masa ke masa, maka selmanya bangsa ini akan terjerembab ke kedaan selalu berangkat dari nol dan dari nol.tidak pernah beranjak ke tingkat yang lebih tinggi lagi, karena semua ucapan tidak tercatat sehingga tidak pernah tahu sampai tingkatan apa kita menaiki tangga peradaban.
Menurut siabah, jika tingkatan peradaban itu diibaratkan naik tangga, maka kita harus mengetahui sampai mana tingkatan itu kita taiki. Kalau hanya bahasa lisan, kita sulit untuk menentukan sampai tangga dimana kita naik. Atau mungkin hanya tetap disana saja, belum pernah naik naik.
Dan menurut siabah juga seperti halnya peradaban barat, peradaban islam klasik (peradban islam tempo dulu) mengalami peningkatan ketika ada transformasi dari bahasa lisan ke bahasa tulisan. Hal ini dimulai oleh Nabi Muhammad SAW. Dan wahyu pertama juga memperjelas tentang itu. Ayat pertama dari Surat pertaama yang menyuruh membaca (iqro) menandai hal itu. Jadi bukan menyuruh mendengar. Karena prosses mendengar cenderung statis, sedang membaca selalu ada proses yang berkelanjutan. Membaca itu khan harus ada yang dibaca, berarti juga harus ada buku. Dan proses itu berlanjut, berarti harus ada yang menulis buku. Nah hal ini juga berarti harus ada yang membuat atau mencetak buku. Untuk membuat buku harus ada kertas, harus ada mesin cetak, harus ada tinta dan seterusnya, hingga harus ada perpustakaan dan penjual buku. Jadi proses membaca disamping prosesnya sangat panjang. Hal ini juga berarti lapangan kerja yang begitu banyak dibelakangnya.
Jadi proses membaca disamping akan membuat revolusi pemikiraan yang dasyat, juga akan mengembangkan potensi ekonomi yang luar biasa. Yang kadang diluar dugaan. Tapi jika selamanya hanya mengandalkan budaya lisan, maka disamping keilmuan yang cenderung tidak bertambah, karena yang dibahas selalu diulang-ulang, juga cenderung membodohi. Karena bahasa lisan cenderung lebih mengarah bagaimana menyenangkan pendengar, bukan mengungkap kebenaran yang sebenarnya, yang justru kadang menyakitkan.
Siabah memperjelas lagi, bahwa bahasa tulisan, disamping potensi ekonomi pemikiran dan ekonomi yang luar biasa, juga bahasa tulisan lebih mencerahkan. Karena dalam bahasa tulisan terdapat pendalaman suatu masalah atau suatu ide. Dan tingkatan daari suatu pemikiran cenderung bisa diukur, apakan tulisan itu sederhana, atau hanya menulis saja, atau justru tingkatan yang tinggi.
Jadi jika peradaban Islam di negeri ini akan maju, berarti pula haarus merubah pandangan yang revolusioner. Jangan terlalu percaya pada ungkapan kata-kata, tapi mulailah dengan banyak membaca. Bahasa lisan hanya bisa dijadikan awal dari pembahasan yang lebih mendalam, bukan dijadikan sebagai bahasa da’wah yang cenderung dipertahankan. Umat harus dibawa kearah yang lebih mendalam. Dan hal ini hanya akan ditemui dibuku-buku.
Menurut siabah sebenarnya sangat gampang untuk menilai peradaban suatu bangsa. “lihatlah perpustakaannya.”. Atau kalau mau menilai sekolah atau perguruan tinggi apakah intelek atau tidaknya, maka lihatlah perputastakaannya. Termasuk menilai tentang intelektual seseorang,”Lihatlah rumahnya, apakah banyak buku ataau tidak. Karena buku itu cerminan intelektual seseorang. Semakin banyak buku, berarti orang itu senang membaca, berarti pula intelektualnya tinggi juga.
Jadi menurut siabah merujuk pada ungkapan nurcholish majid itu bahwa peradaban umat islam bangsa ini baru tahap embrio, mungkin tidak terlalu salah. Karena karya intelektual masih bisa dihitung jari. Dibandingkan dengan jumlah penduduk yang 200 juta lebih. Jika di Indonesia ada 100ribu doctor, dan rata-rata membuat 3 buah karya. Maka 300ribu karya. Dan itupun yang bisa dibaca oleh masyarakat umum, mungkin hanya 1 persen, berarti hanya 3000 judul buku. Itupun mungkin terkendala oleh susahnya penerbitan. Tapi dibandingkan dengan jumlah warga Negara yang 200 juta orang, maka sungguh sangatjauh dari tingkat ideal.
Tidak hanya itu, menurut siabah, jika dibandingkan dengan hasil peradaban hindu budha di negeri ini, sungguh jauh. Apa yang dibanggakan dari hasil karya kita. Pusat-pusat pemerintahanpun merupakan karya-karya penjajah, bukan karya kita sendiri. Istana Negara bangsa ini yang didiami presiden yang dibanggakan juga merupakan karya dari bangsa penjajah, gedung sate di kota bandung yang terkenal sebagai pusat pemerintahan jawa baratpun merupakan hasil karya penjajah. Dan hampir semua pemerintahan di propinsi dan kota-kota di negeri ini juga merupakan hasil karya penjajah. Jadi kapan kita bisa menepuk dada kita.
Dan sebagai suatu ungkapan terakhir dari perbincangan itu siabah berpesan agar kita memulai membangun cabang sungai-sungai kecil dihulu peradaban. Dan kita harus merupakan bagian dari pembangun peradaban islam di negeri ini. Dan menjadi bagian dari perubah budaya dari budaya lisan menjadi budaya tulisan. Dan siabah juga memulai hal ini dengan menulis, merangkum dan meringkas tokoh dan intelektual peradaban islam dari dulu hingga kini.
Dan ketika ditanya tentang hasil karyanya yang tebal, lebih dari 1500 halaman. Itu baru satu judul, belum judul yang lain. “Untuk apa bah, hasil karya itu ditulis kalau tidak diterbitkan?. Siabah yah enteng saja menjawabnya: “Mudah mudahan menjadi bagian dari cabang kecil dari sungai peradaban islam bangsa ini.”
(Pemikiran Pemikiran Siabah : Hasil Suatu Diskusi,
By: Adeng Lukamntara)