Oleh
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang Jawa Barat
Kerajaan Sunda berdiri hampir bersamaan dengan kerajaan Galuh. Dan akhirnya karena seolah kerajaan kembar, maka kemudian sering dsebut dengan kerajaan Sunda Galuh, Disebut demikian karena kedua kerajaan ini kadang bersatu,kadang dipecah lagi dan kemudian disatukan lagi. Demikian juga, pusat pemerintahannya kadang di Galuh kadang juga di Pakuan. Karena itu kerjaan ini sering disebut juga dengan kerajaan Sunda Galuh. Tetapi karena kebanyakan lokasi ibukotanya di Pakuan maka kerajaan dan wilayah kerajaan ini kemudian lebih banyak disebut sebagai Kerajaan Sunda. Dan terakhir lebih dikenal dengan nama Pajajaran.
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Sumedang Jawa Barat
Kerajaan Sunda berdiri hampir bersamaan dengan kerajaan Galuh. Dan akhirnya karena seolah kerajaan kembar, maka kemudian sering dsebut dengan kerajaan Sunda Galuh, Disebut demikian karena kedua kerajaan ini kadang bersatu,kadang dipecah lagi dan kemudian disatukan lagi. Demikian juga, pusat pemerintahannya kadang di Galuh kadang juga di Pakuan. Karena itu kerjaan ini sering disebut juga dengan kerajaan Sunda Galuh. Tetapi karena kebanyakan lokasi ibukotanya di Pakuan maka kerajaan dan wilayah kerajaan ini kemudian lebih banyak disebut sebagai Kerajaan Sunda. Dan terakhir lebih dikenal dengan nama Pajajaran.
Kedua kerajaan ini
selama berkuasa ratusan tahun luput dari saling serang menyerang. Tidak pernah
ada perebutan wilayah kekuasaan. Perjanjian atau perbatasan wilayah dipegang
demikian erat, satu sama lain tidak pernah saling menyerang. Perjodohan antar
anggota istana keluarga yang membuat mereka begitu akrab.
Tentang sejarah
kerajaan Sunda awal belum ada naskah yang menceritakan secara detail. Hal ini
berbeda dengan sejarah Sunda berlatar belakang kerajaan Galuh. Naskah Carita
Parahiyangan telah memberi keterangan agak rinci tentang sejarah berdirinya
kerajaan Galuh ini, yang erat kaitannya dengan kerajaan Kendan di era kerajaan
Tarumanagara.
Setelah kerajaan Sunda
dan Galuh dipersatukan lagi oleh Rakeyan Jambri atau Maharaja Sonjaya, seolah
sejarah mengerucut, menuju pembahasan satu kerajaan yang satu yaitu Kerajaan
Sunda. Dan independensi Galuh tetap dipertahankan. Seolah ada penghormatan yang
lebih terhadap Galuh ini, karena keterkaitan sejarah yang mungkin sangat erat.
Jika dikatakan Sunda itu Galuh atau Galuh itu Sunda, karena begitu erat
hubungan kedua kerajaan ini sejak awal berdirinya. Dan karena kelanjutannya
juga diperintah oleh keturunan yang sama, Dinasti Wretikandayun. Karena setelah
Prabu Tarusbawa tidak mempunyai anak laki laki, karena perkawinan, kemudian
raja diganti oleh Prabu Sonjaya, yang nota bene merupakn keturunan dari Wretikandayun.
IV.A.
Silsilah Raja Raja
Setidaknya ada 3 naskah
primer yang menceritakan tentang raja raja kerajaan Sunda, yaitu: Naskah Carita
Parahiyangan, Naskah Amanat Galunggung (meskipun tidak detail) dan naskah
Wangsakerta
Naskah Carita
Parahiyangan adalah naskah yang menceritakan silsilah kerajaan Sunda yang
berlatar belakang kerajaan galuh. Meskipun tidak disebutkan kapan berkuasanya,
tetapi lebih menekankan kepada lamanya berkuasa. Dan dalam naskah ini
disebutkan semua raja raja yangberkuasa dikerajaan sunda secara berurutan,
Dalam naskah amanat
Galunggung, hanya diceritakan tentang silsilah yang berkaitan dengan Prabu Darmasiksa yang menjadi peran utama
nasehat nasehat dakam naskah ini. Sedang dalam naska Wangsakerta disebutkan
tentang tahun tahun kekuasaan sang Raja, dan relatif lebih banyak memberi
penjelasan
.
IV.A.1. Dalam Naskah Carita
Parahiyangan
Naskah Carita Parahiyangan menceritakan sejarah kerajaan Sunda dengan latar belakang sejarah Galuh. Karena
itu raja sunda awal hanya disebut Tohaan
Sunda saja. Sedang sejarah Galuh awal dibahas dengan tuntas.
Dalam sejarah, kerajaan Sunda dan
Galuh kemudian dipersatukan oleh Sanjaya atau Rakeyan Jambri, turunan Galuh
yang menjadi pewaris dari istrinya dan
menjadi penguasa Sunda. Dan ketika Galuh dapat dikuasai, maka Sanjaya dapat
dianggap menjadi yang pertama di tanah sunda yang dapat mempersatukan kembali
tatar sunda. Disamping itu Sanjaya juga mewarisi tanah Jawa. Ayahnya, Prabu
Sena yang tersingkir dari Galuh kemudian menjadi penguasa di tanah Medang
(Jawa). Sehingga seluruh jawa dibawah kendalinya. Kekuasaannya dari ujung kulon
hingga Ujung Galuh (Surabaya).
Karena kudeta dari Sang Manarah (Ciung Wanara) maka wilayah jawa kemudian
dibagi menjadi 3 bagian. Sunda, Galuh dan Medang. Sunda dibawah kendali cucu
Sanjaya yang bernama Hariang Banga, Galuh menjadi milik Ciung Wanara. Dan anak Sanjaya
dari istrinya yang lain, Rakeyan Panangkaran, mewarisi tanah Medang (Jawa).
Raja Raja galuh
·
Wretikandayun
·
Rahiangtang
Mandiminyak berkuasa menjadi raja 7
tahun
·
Sang Sena. Berkuasa
menjadi raja 7 tahun,
·
Rahiang
Purbasora. Berkuasa menjadi raja 7 tahun
·
Rakean Jambri.
bergelar Rahiang Sanjaya, Berkuasa menjadi raja
9 tahun
·
Rahiang Tamperan
Berkuasa menjadi raja 7 tahun
·
Sang Manarah, Berkuasa
menjadi raja 80 tahun
·
Sang Manisri Berkuasa
menjadi raja 60 tahun
·
Sang Tariwulan Berkuasa
menjadi raja 7 tahun
·
Sang Welengan Berkuasa
menjadi raja 7 tahun
Raja Raja Sunda
· Tohaan Sunda ( Maharaja
Tarusbawa)
·
Rahiyang Sonjaya
·
Rahiang Banga Berkuasa
menjadi raja 7 tahun
·
Rakean di Medang
Berkuasa menjadi raja 7 tahun
·
Rakeanta Diwus Berkuasa
menjadi raja 24 tahun
·
Rakeanta Wuwus Berkuasa
menjadi raja 72 tahun
·
Nu hilang di
Hujung Cariang Berkuasa menjadi raja 4
tahun
·
Rakean Gendang Berkuasa
menjadi raja 23 tahun
·
Dewa Sanghiang Berkuasa
menjadi raja 7 tahun
·
Prebu Sanghiang Berkuasa
menjadi raja 11 tahun
·
Prebu Datia
Maharaja Berkuasa menjadi raja 7 tahun
·
Nu hilang di
winduraja Berkuasa menjadi raja 23 tahun
·
Nu hilang di
Kreta Berkuasa menjadi raja 92 tahun
·
Nu hilang di
Winduraja, Berkuasa menjadi raja 18
tahun
·
Sang Rakean
Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, Berkuasa
menjadi raja tahun
·
Nu hilang di
Taman, Berkuasa menjadi raja 6 tahun
·
nu hilang di
Tanjung, Berkuasa menjadi raja 8 tahun
·
nu hilang di
Kikis, Berkuasa menjadi raja 22 tahun
·
Nu hilang di
Kiding, Berkuasa menjadi raja 7 tahun
·
Aki Kolot, Berkuasa
menjadi raja 10 tahun
·
Prebu Maharaja, Berkuasa
menjadi raja 7 tahun
·
Hiang Bunisora,
nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
·
Prebu
Niskalawastu kancana, Berkuasa menjadi raja 104
tahun
·
Sang Haliwungan,
nya eta Sang Susuktunggal Berkuasa menjadi raja 100 tahun
·
Sang Ratu
Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, Berkuasa menjadi raja 39 tahun
·
Prebu
Surawisesa, anu hilang di Padaren, Berkuasa menjadi raja 14 tahun
·
Prabu Ratudewata,
nu hilang kasawah-tampian-dalem. Berkuasa menjadi raja 8 tahun
·
Sang Ratusakti Sang
Mangabatan di Tasik. anu hilang ka Pengpelengan. Berkuasa menjadi raja 8 tahun
·
Tohaan di Majaya,
Sang Nilakendra, Berkuasa menjadi raja 16
tahun
·
Nusia Mulya.
IV.A.2. Dalam Naskah Amanat Galunggung
Awignam astu. Nihan tembey sakakala Rahyang Ba/n/nga,
masa sya nyusuk na Pakwan makangaran Rahyangta Wuwus, maka manak Maharaja
Dewata, Maharaja Dewata maka manak Baduga Sanghyang, Baduga Sanghyang maka
manak Prebu Sanghyang maka mank Sa(ng)Lumahing rana, Sa(ng) Lumahing rana maka
manak Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang (maka manak)
Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kem-bang maka manak
Rekéyan Darmasiksa. Darmasiksa siya ngawarah anak öncu umpi cicip muning
anggasa(nta)na (kulasantana) pretisantana wit wekas kulakadang…… ²)
(Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan) Rahiyang Banga,
ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan,2)bernama Rahingta
Wuwus, maka (ia) berputera Maharaja Dewata berputera Baduga Sanghiyang, Baduga
Sanghiyang berputera Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing
rana3), Sang Lumahingrana berputera Sang Lumahing Winduraja, Sang
Lumahing Winduraja berputera Sang Lumahing Tasikpanjang, Sang Lumahing
Tasikpanjang berputera Sang Lumahing Ujung Kembang, Sang Lumahing Ujung
Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa. Darmasiksa, ia menasihati anak, cucu,
umpi (turunan ke-3), cicip(turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana
(turunan ke-6), kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit
wekas4) (turunan ke-9), sanak-saudara)
Dalam amanat Galunggung, dari pengantarnya mengutarakan tentang amanat
yang turun temurun dari Prabu Hariang Banga hingga Prabu Darmasiksa, Dengan demikian
pada naskah ini hanya diceritakan hingga kepada Prabu Darmasika, dari Hariang Banga
yang dikatakan sebagai yang membuat parit atau pertahanan Pakuan. Dan d naskah ini kebanyakan hanya diceritakan
gelar setelah ia meninggal.
·
Rahiyang Banga
·
Rahingta Wuwus
·
Maharaja
Dewata
·
Baduga
Sanghiyang,
·
Prabu Sanghiyang
·
Sang Lumahing
rana
·
Sang Lumahing Winduraja
·
Sang Lumahing
Tasikpanjang
·
Sang Lumahing
Ujung Kembang
·
Rakeyan
Darmasiksa.
Perbandingan dengan Carita parahiyangan
·
Rakeanta Wuwus
·
Nu hilang di
Hujung Cariang
·
Rakean Gendang.
·
Dewa Sanghiang.
·
Prebu Sanghiang.
·
Prebu Datia
Maharaja
·
Nu hilang di
winduraja.
·
Nu hilang di
Kreta
·
Nu hilang di Winduraja,
·
Sang Rakean
Darmasiksa,
IV.C.
Profil Raja Raja Kerajaan Sunda Galuh
IV.C.1.
Profil Raja Raja Kerajaan Galuh
Setelah diungkapkan
diatas, bahwa pembahasan dari kerajaan Sunda sangat erat kaitannya dengan
pembahasan kerajaan Galuh. Karena Raja kedua dari kerajaan Sunda, Maharaja
Sonjaya berasal dari Kerajaan Galuh.
Karena ikatan
perkawinan, menjadikan kerajaan ini akhirnya menjadi kerajaan yang sangat erat
perhubungannya, sehingga nantinya yang berkuasa di kedua kerajaan ini mempunyai
darah yang sama yaitu keturunan Sunda dan keturanan Galuh.
Dan Sang Maharaja
Sonjaya inillah yang mempersatukan kembali tanah bekas kerajaan Tarumanagara
ini menjadi kerajaan yang utuh kembali. Meskipun pada perkembangannya ada
kalanya berpisah kembali, tetapi karena ikatan perkawinan kemudian kerajaan ini
melebur menjadi kerajaan yang utuh. Meskipun tetap dipertahankan
indenpendensinya masing masing. Seolah tidakpernah ada konflik diantara kedua
kerajaan ini, meskipun tetap ada. Tetapi untuk jarak ratusan tahun seolah
kerajaan ini sepi dari konflik intern. Karena berbagai konflik selalu
diselesaikan dengan jalur perkawinan dari keluarga besar Sunda Galuh ini. Jadi
pada perjalanan selanjutnya seolah sudah tidak ada benang pemisah antara kedua
kerajaan ini, karena yang berkuasa adalah dari keturunan yang sama.
IV.C.1.a.
Tokoh Tokoh Penting Pra-Kerajaan Galuh
Dalam Naskah Carita
Parahiyangan, asal usul kerajaan Galuh diceritakan dengan detail. Dan isah ini
dimulai dengan menceritakan kerajaan Kendan yang didirikan oleh Sang Resi Guru
Manikmaya.
Ndéh nihan Carita
Parahiyangan. Sang Resi Guru mangyuga Rajaputra. Rajaputra miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang
Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan manéh Rahiyangta Déwaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan manéh Rahiyangta ri
Medangjati, inya Sang Layuwatang, nya nu nyieun Sanghiyang Watang Ageung. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, nu miseuweukeun pancaputra;
Sang Apatiyan Sang Kusika, Sang Garga
Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Putanjala inya Sang Mangukuhan, Sang
Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, Sang Wretikandayun.
(Enya kieu
Carita Parahiyangan teh. Sang Resi Guru boga anak Rajaputra. Rajaputra boga
anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan
teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja. Basa ngajalankeun kahirupan sacara
rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang,
nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung. Sanggeusna rarabi, nya lahir
anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang
Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang
Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.)
Dalam naskah tersebut diceritakan tentang nama nama tokoh: Sang Resiguru,
Rajaputra, Sang Kandiawan, hingga Wretikandayun. Berikut ini
adalah penjelasan dari tokoh tokoh yang menjadi cikal bakal dari kerajaan
Galuh.
a.1. Sang Resi Guru
Sang Resi guru adalah gelar untuk Resi Manikmaya. Ia berasal
dari keluarga calangkayana, India Selatan. Sebelumnya ia telah mengembara
mengunjungi beberapa negara, seperti: Gandi (Benggala), Mahasin (Singapura),
Sumatra, Nusa sapi (Ghohnusa) atau pulau Bali, Syangka, yawana, Cina dan
lain-lain.
Manikmaya menikah dengan putri raja Tarumanagara ke-7, Maharaja Suryawarman (mp. 535-561
M) yang bernama Tirtakancana. Oleh Suryawarman ia dihadiahi daerah Kendan
(yaitu suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung sekarang). Dan
ia kemudian dinobatkan sebagai raja resi guru di daerah ini, yang
dilengkapi dengan mahkota raja dan mahkota prameswari. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Suryawarman harus menghormatinya,
karena disamping sebagai menantu raja juga karena sebagai seorang brahmana
ulung yang dianggap banyak berjasa terhadap agama.
Manikmaya memerintah Kendan selama 32 tahun , dari tahun 536 sampai 568 M. Dari perkawinannya dengan Tirtakusuma ia mempunyai seorang putra dan
seorang putri. Yang putra bernama Rajaputra Suraliman, yang kemudian
menggantikannya sebagai penguasa Kendan yang ke-2.
a.2. Rajaputra
“Sang Resi Guru boga anak Rajaputra”,
demikian baris kedua dari carita Parahiyangan tersebut. Rajaputra merupakan
gelar untuk Suraliman, putra dari Sang Resi Guru Manimaya. Rajaputra Suraliman terkenal sebagai
seorang yang mahir dalam perang. Ia terkenal sangat tampan disamping kelebihannya dalam ilmu perang
dan strategi. Pada usia 20 tahun Suraliman diangkat menjadi senopati Kendan, dan
akhirnya diangkat menjadi panglima balatentara (baladika) Tarumanagara.
Setelah ayahnya (Manikmaya) meninggal, ia kemudian
diangkat menjadi raja kendan yang ke-2.Penobatannya
berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan asuji tahun 490 saka (5
Oktober 568 M). Pada masaa pemerintahannya ia selalu unggul dalam peperangan.
Suraliman menikah dengan Dewi Mutyasari, putri dari
Bakulaputra (dari kerajaan Kutai di Kalimantan, keturunan Kudungga). Dari pernikahannya dengan Dewi Mutyasari
tersebut, ia mempunyai seorang putra yang bernama Kandiawan, dan seorang putri
yang bernama Kandiawati. Kandiawan yang kemudian bergelar Rahiyangta ri Medang
Jati kemudian menggantikannya, sedang adiknya, Kandiawati, menikah dengan
saudagar asal Sumatra dan tinggal bersama suaminya.
Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun
(568-597 M), yang kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Sang Kandiawan.
a.3. Sang Kadiawan
Sang Kandiawan merupakan anak dari Rajaputra Suraliman. Sang kandiawan
meneyebut dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia
bergelar Rahiyangta di
Medang jati atau terkenal
juga dengan nama Sang Layu Watang. Dialah
yang membuat sanghiyang Watang Ageung.
Sang Kandiawan menggantikan tahta ayahnya, Suraliman, menjadi raja Kendan yang ke-3.
Sebelum menjadi raja Kendan, ia telah menjadi raja daerah di Medang Jati
atau Medang Gana. Oleh karena itu Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta
Ri Medang Jati.
Setelah ia dinobatkan menjadi raja, ia tidak
berkedudukan di Kendan, tetapi di Medang Jati. Penyebabnya adalah karena
Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang daerah
kendan pemeluk Hindu Siwa. Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M).
Sang Kandiawan mempunyai 5 orang putra,
yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan
Wretikandayun. Kelima anak
sang Kandiawan dalam naskah ini dianggap sebagai “titisan” Sang
Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala,
Tahun 612 M, Sang Kandiawan mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu
menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk
putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu telah menjadi rajaresi di
Menir.
a.4. Bagawat Resi Makandria
Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Bagawat Resi Makandria, yang
nantinya menjadi mertua dari Wretikandayun, raja pertama dari Galuh. Dalam
cerita ini seolah mengajarkan kepada generasi sunda berikutnya, bahwa bertapa
saja bukan penyelesaian hidup terbaik di dunia ini, manusia harus berupaya
untuk berusaha dan mewujudkan keturunan.
Hana paksi Si Uwur-uwur, paksi
Si Naragati, nyayang di titrayatra Bagawat Resi Makandria. Dihakan anakna ku salakina.
Diseuseul ku éwéna. Carék éwéna, "Papa urang, lamun urang teu
dianak, jeueung Bagawat Resi Makandria. Ditapa sotéh papa, ja hanteu
dianak."Carék Bagawat Resi Makandria, "Dianak ku waya, ja éwé ogé
hanteu." Ti inya carék Bagawat Resi Makandria, "Aing
dék leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kéndan." Datang siya ka Kéndan. Carék Sang Resi Guru, "Na naha siya Bagawat Resi Makandria, mana siya
datang ka dinih?" "Pun samapun [8], aya
béja kami pun, kami ménta pirabieun pun. Kéna kami kapupulihan ku Paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang
hanteu di na anak."
Carék Sang Resi Guru,
"Leumpang siya ti heula ka batur siya deui, anaking Pwah Aksari Jabung,
leumpang husir Bagawat Resi Makandria, na pideungeuneun satapa, anaking." Leumpang Pwah Rababu, datang ka baturna, teu diaku rabi. Nyeueung inya
wedadari geulis, ti inya nyieun manéh Pwah Manjangandara,
na Bagawat Resi Makandria nyieun manéh Rakéyan Kebowulan, sida
pasanggaman. Carék Sang Resi Guru, "Étén [9] anaking, Pwah
Sanghiyang Sri! Leumpang kita ngajadi ka lanceuk siya, ka Pwah Aksari Jabung." Ti inya leumpang Pwah
Sanghiyang Sri ngajadi, inya Pwah Bungatak Mangaléngalé.
Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge
katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna
dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna. Carek bikangna: “Kacida hinana, lamun
urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh
bane bae sangsara da henteu boga anak.” Carek Bagawat Resi Makandria: “Kumaha
rek boga anak. Da kawin oge henteu.” Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria:
“Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka Kendan.” Manehna datang ka Kendan. Carek
Sang resi Guru: “Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak
datang ka dieu?” “Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun
pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si
Nagaragati. Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak.”
Carek Sang resi Guru: “Jig hidep ti
heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu geuwat susul Bagawat Resi Makndria.
Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh, anaking.” Pwah Rababu terus nyusul,
dating ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku rabi. Kabireungeuheun
aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat Rasi Makandria
ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama. Carek Sang Resi Guru: “Enten,
anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka lanceuk hidep, ka Pwah
Aksari Jabung.” Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir
Pwah Bungatak Mangalengale.
Resi Makandria terkenal sebagai resi yang sangat alim, ia sejak muda
menjalani hidup sebagai resi denga banyak bertapa. Karena tingkat keilmuannya
yang sangat tinggi, dalam naskah ini diceritakan bahwa ia mengerti perbincangan
sepasang burung yang higgap di atas pertapaannya.
Pada suatu hari ada sepasang burung jantan dan betina yang bersarang di
atas pertapaannya. Burung tersebut dinamakan “Si Uwur Uwur” atau “Si Naragati”.
Si burung betina tersebut mempunyai anak, tetapi kemudian dimakan oleh
jantannya. Maka sag betina itu marah kepada burung jantannya: “Alangkah
hinannya jika kita tidak mempunyai anak itu. Lihatlah Bagawat Resi Makndria,
bertapa itu karena sengsara sebab tidak mempunyai anak”. Mendengar percakapan
burung si uwur uwur tersebut, maka berkatalah Bagawat Resi Makandria:”
Bagaimana akan punya anak, kawin juga tidak.”
Mendengar dari percakapan tersebut, maka Bagawat Resi Makandria kemudian
menghentikan pertapaannya, dan bertekad menemui Sang Resi Guru manikmaya di
Kendan untuk memiinta jodoh. Setelah menghadap Sang resi Guru, ia kemudian
menceritakan tentang perbincangan burung yang bernama Si Uwur Uwur, bahwa
alangkah hinanya jika tidak mempunyai anak. Maka Resi Makandria menceritakan
tentang maksud kedatangannya untuk minta jodoh ke Sang Resi Guru.
Sang Resi Guru kemudian menjodohkan Bagawat Resi
Makandria dengan anaknya, Pwah Rababu. Da menyuruh Bagawat Resi makandrai untuk
kembali ke pertapaannya, dan calon istrinya, Pwah rababu akan menyusu kemudian.
Singkat cerita, Resi Makandria ini mempunyai anak perempuan yang bernama Pwah
Bungatak Mangalengale. Dari kisah ini kemungkinan penulis ingin
menekankan tentang pentingnya regenerasi atau keturunan sebagai suatu upaya
untuk kesinambungan peradaban suatu bangsa.
IV.B.1.b. Raja Raja Galuh
Dalam naskah Carita
parahiyangan juga diceritakan dengan tentang proses pendiri kerajaan Galuh.
Galuh didirikan oleh Sang Wretikndayun. Meskipun ia merupakan putra bungsu dari
5 bersaudara, tapi dia terbukti menjadi yang tercaakap diantara kakak kakaknya.
Tentang proses
pencapaianya menjadi raja, bukan karena kebetulan, tetapi dari usaha yang keras
dalam memenangkan sayembara. Kelima putra Sang Kandiawan bersepakat, bahwa yang
pertama kali memenangkan hasil buruan, maka dialah yang berhak menjadi raja,
menggantikan ayahnya. Hal ini diceritakan dengan jelas dalam naskah Carita
Parahiyangan.
Carek sang Mangukuhan: “Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan.” Sadatang ka tegalan,
kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan. Diudag ku limaan,
sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna numbakna, nya manehna
piratueun. Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung
Pwah Manjangandara teh. Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh. Ku Sang Wretikandayun
dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur nyusu ka Pwah
Manjangandara. Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun
di bawa mulang ka Galuh, ka Rahiangta di Medangjati.
Dalam suatu hari kelima orang putra Sang Kandiawan, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang
Greba dan Wretikandayun
mengadakan acara berburu ke suatu tempat berbukit (tegalan) di dekat
pertapaan Bagawat Resi Makandria. Acara berburu itu dipimpin oleh
putra tertua, yaitu: Sang Mangukuhan, dan berkata: “Mari adik-adik kita berburu
ke bukit (tegalan).”
Dan sebelum berburu dimulai kelima saudara itu bersepakat bahwa siapa yang
pertama kali menumbak hewan buruannnya maka berhak menjadi raja. Di Tegal
(bukit) ada sepasang kerbau yang jantan bernama Kebowulan sedang yang betina
bernama Pwah Manjangandara, yang merupakan jelmaan dari Resi Makandria dan
istrinya, Pwah Rababu. Sepasang kerbau itu dikejar oleh kelima orang tersebut,
dan kebowulan tertumbak oleh Wretikandayun, kemudian dikejar hingga tempat
pertapaan. Disana ditemukan Pwah Bungatak mangalengale sedang sedang menyusu
kepada Pwah Manjangandara.
Pwah Bungatak Mangalengale kemudian dibawa Wretikandayun ke Galuh
kepada ayahnya Sang Kandiawan atau Rahiyangta Medang Jati. Setelah dewasa Pwah
Bungatak Mangale-ngale ini kemudian dijadikan istri oleh Wretikandayun.
b.1. Wretikandayun
Lawasniya adeg ratu lima welas
tahun, disilihan ku Sang Wretikandayun di Galuh, mirabi Pwah Bungatak
Mangaléngalé. Na Sang Mangukuhan nyieun manéh panghuma; Sang
Karungkalah nyieun manéh panggérék, Sang Katungmaralah
nyieun manéh panyadap; Sang Sandanggreba nyieun manéh padagang. Ku Sang
Wretikandayun diadegkeun Sang Mangukuhan, Rahiyangtang Kulikuli; sang
Karungkalah diadegkeun Rahiyangtang Surawulan; Sang Katungmaralah diadegkeun Rahiyangtang Pelesawi; Sang Sandanggreba diadegkeun Rahiyangtang Rawunglangit. Sang Wretikandayun adeg di
Galuh. Ti inya lumaku ngarajaresi, ngangaranan manéh Rahiyangta ri Menir. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, inya nu nyieunna Purbatisti.
(Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg
ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa
Pwah ngatak Mangalengale. Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro,
Sang Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang. Nya ku Sang Wreti
Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi
Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang
Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit. Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di
Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina
jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumenbumen, harita teh nya nyusun Purbatisti.)
Wretikandayun merupakan raja pertama dan pendiri kerajaan Galuh. Ayahnya, Sang
kandiawan atau Rahiyang ta Medang Jati setelah menjadi raja selama lima
belas tahun dari tahun 597 sampai
tahun 612 M, kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada putra
bungsunya, Wretikandayun di Galuh.
Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan
menggantikan ayahnya yang menjadi resi pada 23 Maret 612 M, pada usia 21
tahun. Pada awalnya ia menjadi rajaresi di Menir, dan kemudian
diangkat menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya. Wretikandayun tidak
berkedudukan di di Kendan atau di Medang Jati, tidak juga di Menir.
Tetapi ia mendirikan pusat pemerintahan (ibukota) baru, yang kemudian diberi
nama Galuh (permata).
Ketika ia dinobatkan sebagai raja Kendan,
penguasa Tarumanagara saat itu adalah Srimaharaja Kertawarman (mp. 561-628 M).
Ia berturut-turut menjadi raja daerah
(bawahan Tarumanagara) pada masaudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M),
Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (mp. 666-669 M). Dan ketika
tahta Tarumanagara jatuh kepada Tarusbawa pada tahun 669 M,
menantu Linggawarman dari Sundasambawa, yang kemudian mendirikan kerajaan
Sunda, Wretikandayun yang waktu itu berumur 78 tahun kemudian memerdekakan diri
(merdeka). Dan wilayah Tarumanagara di bagi
2, dengan perbatasan Sungai Citarum. Tarusbawa berkuasa di barat Sungai
Citarum, sedang Wretikandayun sebelah timurnya, hingga sungai Cipamali (kali
brebes sekarang).
Kendan pada masa Wretikandayun lebih dikenal dengan
nama kerajaaan Galuh, dan kerajaan ini kemudian memegang peranan penting
dan merdeka ketika Tarumanagara berubah menjadi bawahan Sundasambawa. Dengan
demikian Kendan di era Wretikandayun lebih di kenal dengan nama kerajaan Galuh.
Saudara Sang Raja
Nasib keempat saudara Wretikandayun pada awalnya memilih jalan kehidupan
yang berlainan. Kakak tertuanya, Sang Mangukuhan memilih jadi petani (tukang
ngahuma). Kakak keduanya, Sang Karungkalah memilih menjadi tukang moro
(Tukang berburu), Kakak ketiganya,Sang Katungmaralah memilih menjadi
tukang nyadap (pengambil air nira untuk membuat gula), dan kakak
ke-empatnya memilih menjadi pedagang (saudagar).
Tetapi kemudian ketika Wretikandayun diangkat menjadi Raja Galuh,
keempat saudaranya tersebut diangkat derajatnya (dijunjung) menjadi penguasa
didaerah kekuasaannya: Sang Mangukuhan diangkat dmenjadi penguasa di Kuli Kuli
(Rahiyangtang Kuli-Kuli), dan berkuasa selama 80 tahun. Sang Karungkalah
diangkat menjadi penguasa di Sarawulan (Rahiyangtang Sarawulan), dan
berkuasa hanya 6 tahun, karena kelakuannya yang kurang bagus. Sang Katung
Maralah diangkat menjadi penguasa di Pelesawi (rahiyangtang Pelesawi), dan
berkuasa selama 122 tahun karena kelakuannya yang terpuji / baik. Sang
Sandanggreba diangkat menjadi penguasa di Rawunglangit (Rahiangtang
Rawunglangit), dan berkuasa selama 60 tahun
Istri dan Anak Anaknya
Diganti ku Rahiangtang Mandiminyak. Anak Rahiangta di
Menir teh aya tiluan, nu cikal nya Rahiang Sempakwaja, ngadeg Batara Dangiang Guru
di Galunggung; Rahiangtang Kidul, ngadeg Batara Hiang Buyut di Denuk;
Rahiangtang Mandiminyak ngadeg ratu di Galuh. Carek Sang Resi Guru: “Karunya aing ku
Rahiang Sempakwaja henteu boga pamajikan. Anaking Pwah Rababu! Hidep leumpang
ungsi Rahiang Sempakwaja, lantaran aya manehna pibatureun hidep tatapa.” Sang Resi Guru
ngagesek totopong jadi jaralang bodas, nya indit nyampeurkeun Rahiang Sempakwaja, nu
harita kabeneran keur ngawelit. Carek Sanghiang Sempakwaja: “Na naha nya aya jaralang
bodas etah?” Cop nyokot sumpit, terus diudag rek disumpit. Pwah Rababu kapanggih eukeur
mandi di talaga Candana. Carek Rahiang Sempakwaja: “Ti ma etah nu mandi?” Sampingna dileled ku
sumpit, beunang. Aya baturna para Pwah Aksari, tuluy lalumpatan ka tegalan. Pwah Rababu dibawa ku
Rahiang Sempakwaja, dipirabi. Kacida dipikaasihna. Nya lahir anakna lalaki
duaan, nya eta Rahiang Purbasora jeung Rahiang Demunawan.
Wretikandayun beristrikan Pwah Bungatak Mangalengale atau Manawati,
dan setelah menjadi prameswari terkenal dengan nama Candraresmi. Dari perkawinannya ia
kemudian mempunyai 3 putra, yang bernama: Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l.
622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).
Rahiyang Sempak Waja
Rahiyang Semplak Waja, merupakan anak tertua
Wretikandayun yang lahir tahun 620
M. Ia memilihmenjadi resiguru (batara
dangiang guru) di Galunggung.
Kisah Rahiyang Sempak Waja dimasa muda diceritakan agak
romantis. Berawal dari rasa iba (kasihan) Sang Resiguru dari Kendan
terhadap Sempak Waja yang tidak punya istri. Sang Resi guru memerintahkan
anaknya, Pwah Rababu yang terkenal sangat cantik, untuk menemui Sempak waja,
karena dianggap sangat cocok untuk menjadi suaminya.
Konon karena kesaktiannya, Sang Resiguru ini mengubah ikat kepalanya
(totopong) menjadi Jaralang Bodas. Dan jaralang Bodas itu mendekati Sempakwaja.
Dalam hatinya Sempak Waja bertanya: “Mengapa ada Jaralang Bodas?” Karena itu
Sempak Waja kemudian mengambil penyumpit, terus mengejarnya untuk disumpit.
Tetapi ketika ia terus mengejarnya malah menemukan wanita cantik yang bernama
Pwah Rababu, yang sedang mandi di telaga Cendana. Kata Sempak Waja siapa yang
sedang mandi itu. Ia kemudian samping (jarit) nya dileled ku sumpit dan kena.
Ada teman Pwah rababu, yang bernama Pwah Aksari ketika melihat Sempak Waja
kemudian melarikan diri ke hutan sekitarnya (tegalan). Dan Pwah Rababu oleh
Sempak Waja kemudian dibawa ke Galunggung dan kemudian dijadikan istrinya.
Diceritakan bahwa Sempak Waja sangat mencintai istrinya (dipikasih), dan
dari istrinya tersebut mempunyai 2 putra, yaitu Rahiyang Purbasora dan Rahiyang
Demunawan.
Rahiyang Kidul
Jantaka atau Rahiyang Kidul yag lahir tahun 622 M, memilih menjadi
rrajaresi (batara hiyang buyut) di Denuk (sekarangg sekitar daerah Garut
Selatan).
Rahiyang Mandiminyak
Amara atau Rahiyang Mandiminyak merupakan anak bungsu Wretikandayun yang
lahir tahun 624 M, Ia diangkat menjadi putra mahkota, dan kemudian
menjadi raja di Galuh menggantikan Wretikandayun setelah wafat.
b.2. Rahiyang Mandiminyak (mp. 702-709 M)
Rahiyang Mandiminyak
menjadi raja kedua kerajaan Galuh, menggantikan ayahnya yang berkuasa selama 90
tahun. Rahiyang mandiminyak menajdi raja galuh pada tahun 702 M. Karena itu
Rahiyang Mandiminyak berkuasa di atas 2 negara, yaitu Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (di tataran
Sunda). Sehingga posisi Rahiyang Mandiminyak sangat
kuat sekali, dan pada tahun 703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana
(Teja Kancana Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di
Pakuan.
Ketika menjadi putra mahkota terjadi
skandal yang dianggap mempermalukan istana Galuh. Telah terjadi skandal
antara Rahiyang mandiminyak dan Pwah
rababu pada saat acara penjamuan. Kerajaan menjadi kisruh karena
peristiwa tersebut, tetap akhirnya dapat diredam
karena Sempakwaja turun tangan. Pwah Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung, dan setelah lahir Sena harus dirawat oleh Mandiminyak
sebagai pertanggungjawabannya. Dan untuk
meredam gejolak kemudian Rahiyang
Mandiminyak disingkirkan ke kerajaan istrinya berasal, Kerajaan Kalingga. Mandiminyak menikah dengan Parwati anak Ratu Sima
dengan Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena
itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga. Dari perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak
lahirlah Sanaha. Kelak setelah Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup
dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun
683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).
Pada tahun 695 M, Mandiminyak
bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal ini terjadi
karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara (yang
disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang memerintah
sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang disebut Bumi
Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah sampai tahun
742 M.
Dan ketika ayahnya
meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja Galuh, menggantikan ayahnya. Mandiminyak
berkuasa di tanah Galuh hanya 7 tahun, dari tahun 702 sampai 709 M. Pada tahun 709 M, Mandiminyak meninggal. Ia digantikan
oleh Sena, anaknya dari Pwah Rababu. Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja
Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pwah Rababu.
b.3. Rahiyang Sena
(mp. 709-716 M)
Rahiyang Sena dengan gelar Bratasenawa menjadi raja Galuh yang ketiga menggantikan
ayahnya, Mandiminyak. Ia naik tahta pada tahun 709 M setelah ayahnya
(Mandiminyak meninggal) pada tahun itu juga. Tetapi hal ini tidak diterima
oleh kakak seibunya, Purbasora, yang merasa lebih berhak naik tahta
Galuh. Purabasora kemudian mengkudeta Sena pada tahun 716 M.
b.3.1. Kudeta
Purbasora
Karena
merasa mempunyai hak tahta dari Semplak Waja sebagai putra pertama
Wretikandayun, maka Purbasora kemudian merebut kekuasaan (mengkudeta) dari
tangan Sena pada tahun 716 M.
Pada awalnya rencana
kudeta ini diketahui oleh Sena. Karena itu Sena lalu mengundang tentara dari kerajaan Sunda untuk membantunya menghadapi Purbasora. Tetapi justru
Purbasoralah yang kini mengetahui rencana itu. Dengan dukungan pasukan pimpinan
Ki Balagantrang (sepupunya) beserta pasukan dari kerajaan indraprahasta (kerajaan mertuanya), Purbasora dengan cepat menduduki Galuh pada tahun
716 M.
Dalam situasi yang kalut seperti itu, Sena berhasil
meloloskan diri ke Jawa Tengah, ke negeri istrinya
Sanaha, di Kalingga
Utara (Medang Bumi
Mataram) yang waktu itu diperintah oleh mertuanya dan
juga istri ayahnya, Parwati.
b.3.2. Menjadi Raja di
Kalingga Utara ( Medang Bumi Mataram)
Setelah dikudeta oleh
Rahiyang Purbasora, Rahiyang Sena kemudian melarikan diri ke negeri istrinya,
Sanaha, di Kalingga Utara (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Di Bumi
Mataram ini ia mewarisi tahta dari istrinya, menjadi raja di Medang Bumi
Mataram tersebut.
Medang bumi mataram
beribukota di sekitar daerah yogyakarta sekarang. Pusat Kerajaan Medang pernah
mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah jawa
timur sekarang. Dan diantara raja-raja yang berkuasa di Medang Bumi
Mataram diantaranya Sena dan Sanjaya. BerdasarPrasasti Mantyasih tahun
907 M atas nama Dyah Balitung menyebut nama Rakai mataram sang ratu
Sanjaya. Tetapi dalam Prasasti canggal tahun 732 M, menyebut
raja yang pernah berkuasa sebelumnya adalah Senna.
Jadi ada korelasi
sejarah dari Galuh dan Medang Bumi Mataram yang berasal dari prasasti-prasasti
yang ditemukan di eks kerajaan Medang Bumi Mataram.
b.4. Rahiyang
Purbasora (mp. 716-723 M)
Rahiyang Purbasora
bergelar Prabu Purbasora
jayasakti mantraguna menjadi Raja di Galuh yang ke-4, setelah
berhasil mengkudeta Rahiyang Sena pada tahun 716 M. Ia mewakili orang yang lurus dan menjunjung tinggi
moral, yang ingin melakukan pembaharuan di Galuh.
Purbasora
merupakan putra dari Semplak Waja, putra pertama raja Galuh, Wretikandayun,
yang tidak bisa menggantikan ayahnya karena giginya ompong, disamping telah
menjadi resi di Galunggung. Purbasora menikah dengan putri Raja Indraparhasta
(di sekitar Cirebon sekarang), Sang Resi Padmahariwangsa, yang bernama Dewi
Citrakirana. Diceritakan bahwa Purbasora
dianggap type ideal Raja Galuh waktu itu, dan patihnya bernama
Bimaraksa, atau yang dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang,
merupakan anak dari Rahiyang Jantaka (Rahiyang Kidul).
Rhiyang Purbasora
terkenal kuat keinginannya untuk membangun negara, dan cenderung sangat
idealis. Latar belakang idealis dan juga pada awalnya termarjinal, Prabu
purbasora sangat apik dalam menata pemerintahannya. Dia mengkudeta Prabu Sena
karena alasan yang leBih mengacu pada agama dan moralitas, bahwa sang Raja,
Prabu Sena bukan orang yang cocok menjadi raja. Prabu Purbasora masih menganut
idealisme kekuasaan di galuh. Ayahnya tidak berkuasa hanya alasan giginya
ompong, padahal dia adalah anak yang tertua, karena sebenarnya ayahnyalah yang
harus berkuasa di tanah Galuh. Hal ini juga terjadi pada pamannya yang kedua,
Jantaka Rahiyang Kidul, yang juga tidak bisa menjadi raja karena kemir. Dan Hak
Raja jatuh pada pamannya yang ketiga, Prabu Mandiminyak, yang secara fisik dia
sehat, tetapi secara moral ia adalah orang yang rusak, karena telah berbuat
skandal dengan ibu Purbasora. Dan ketika Mandiminyak lengser, meninggal, justru
yang menggantikannya adalah Prabu Sena yang notabene adalah anak hasil dari hubungan
gelap antara Prabu Mandiminyak dan Rababu.
Secara moral
lingkungan kerajaan Galuh pada masa Mandiminyak dan juga Raja Sena berada dalam
masa yang rendah, dan masyarakat Galuh seolah mencibir keadaan istana yang
penuh dengan skandal, dan telah terjadi pembenaran. Meskipun Prabu Sena tidak
bersalah atau patut disalahkan, karena ia hanya hasil skandal. Tetapi
masyarakat seolah tidak mau tahu dan hal ini berkembang menjadi bahan ejekan
masyarakat. Hal inilah kemudian ditangkap oleh Prabu Purbasora. Disamping
sangat dihormati secara moral, Purbasora oleh masyarakat justru dianggap
sebagai tokoh ideal untuk menguasai Galuh. Disamping gagah perkasa, purbasora
adalah cucu pertama dari Prabu Wretikandayun. Karena itu ketika ia melakukan
kudeta terhadap Sena seolah didukung oleh rakyatnya, sehingga kudetanya sangat
cepat dapat dilakukan.
Pada tahun-tahun
pertama berkuasa, ia mencoba menghancurkan basis-basis kekuasaan Prabu Sena.
Dan ketika sudah merasa aman dia berkuasa ia memulai melakukan langkah-langkah
untuk memeperbaiki keadaan negaranya. Pada masa Purbasora ini keberadaan Galuh
mulai diperhitungkan lagi. Kekuatan militernya juga sangat mumpuni. Dengan
bantuan dari pasukan kerajaan mertuanya, ia dapat dengan mudah menguasai
kerajaan Galuh dengan waktu yang singkat.. tetapi Prabu Purbasora tidak
memprediksi kudeta dari keponakannya, Sanjaya, yang justru datang tidak diduga
duga.
Purbasora
hanya berkuasa selama 7 tahun (716-723 M), dan kemudian digulingkan oleh
keponakannya, Sanjaya (Rakeyan Jambri), putra Sena, penguasa yang dikudeta
sebelumnya.
b.5. Rahiyang Sanjaya
Rahiyang Sena dari
istrinya Sannaha mempunyai seorang anak yang bernama Rakeyan Jambri, yang
dikemudian hari terkenal dengan nama rahiyang Sanjaya. Ia lahir pada
tahun 683 M, yang berarti ketika ayahnya dikudeta ia berusia 30 tahun.
Ia kemudian berencana
untuk menuntut balas dendam terhadap Rhiyang Purbasora, yang telah mengkudeta
ayahnya. Pada awalnya yang ditemui adalah Rahiyang Kidul di Denuh. Rahiyang
Kidul tidak mau mengambil resiko dari kerajaan Galuh, karena itu ia menyarankan
untuk pergi ke Kuningan untuk menemui penguasanya di sana. Dan Rahiyang Kidul
juga menyarankan untuk pergi ke kerajaan tohaan Sunda (kerajaan Sunda) dimana
istri Sanjaya berasal.
Di Galuh, Sanjaya juga
menemui opsisi Rahiyang Purbasora, yaitu Rubuyut Syawal yang merupakan
teman ayahnya, Rahiyang Sena, untuk meminta pusaka darinya yang
merupakan lambang kekuasaan Galuh. Dalam percakapannya dengan Rubuyut Syawal
Sanjaya berkata:” saya putra Prabu sena, saya mau menanyakan tentang
pustaka kepunyaan Rubuyut Syawal, yang isinya ‘Retuning Bala sarewu”,
yang mengadung kebiksanaan (hikmah) untuk menjadi Raja yang perkasa, warisan
Sang Resi Guru.” Mengetahui bahwa Sanjaya merupakan putra dari Sena yang merupakan
sahabatnya, maka pusaka tersebut kemudian diberikan kepada Sanjaya.
Kudeta Sanjaya
terhadap Rahiyang Purbasora pada tahun 723 M
Setelah mendapat
pusaka dari Rubuyut Syawal, yang diselamatkan dari kudeta Prabu purbasora. Maka
Sanjaya mulai menyusun kekuatan untuk mengkudeta Prabu Purbasora. Meskipun
ia telah menikah dengan cucu Tarusbawa dari kerajaan Sunda, ia belum
berani menyerang galuh. Dan hasratnya
dilaksanakan setelah Prabu Tarusbawa meninggal pada tahun 723
M, dan ia menggantikan menjadi raja di Pakuan atas nama istrinya.
Rencana serangan
terhadap Rahiyang Purbasora di Galuh, disusun sangat hati hati dengan
bantuan Rubuyut Syawal dan pasukan dari Sunda pada tahun 723 M. Pasukan dari
Rubuyut Syawal ia pimpin sendiri, sedang pasukan dari kerajaan Sunda, dipimpin
oleh paman istrinya, Patih Anggada.
Serangan
dilakukan pada malam hari dengan diam-diam dan mendadak yang menyebabkan
seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah
menantunya yang menjadi patih Galuh, yang sekaligus menjadi senopati kerajaan,
yang bernama Bimaraksa bersama sepasukan kecil. Bimaraksa ini yang
dikemudian hari terkenal dengan nama Aki Balangantrang, memainkan peranan
penting dalam upaya merebut kembali kekuasaan Galuh dari turunan sanjaya, yang
diperankan oleh sang Manarah, atau dalam cerita rakyat sering disebut dengan
Ciung Wanara. Aki Balangantrang inilah yang nantinya menjadi batu sandungan
Sanjaya berikutnya.
Dengan demikian pada
tahun yang sama, yaitu tahun 723 M, sanjaya mewarisi 2 kerajaan besar di Tanah
Sunda, yaitu kerajaan sunda dan kerajaan Galuh. Sehingga Sunda dan Galuh dapat
dipersatukan lagi oleh Sanjaya.
Penguasa 2 Kerajaan: Sunda dan Galuh
Setelah berkuasa di kerajaan Sunda, dan kemudian menguasai Galuh, Sanjaya
dianggap yang pertama kali menyatukan kembali tatar sunda dalam satu
kepemimpinan, seperti yang terjadi di era kerajaan Tarumanagara. Dalam
urutan Raja, Sanjaya merupakan raja kedua kemaharajaan Sunda, sedang di Galuh
ia merupakan raja urutan ke-5.
Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali
Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus dihormati. Sanjaya sendiri tidak memiliki ambisi / hasrat
untuk menjadi penguasa Galuh atau tinggal di Galuh, Ia pun berkeinginan menyudahi perang saudara.
Sebagai orang yang taat terhadap orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk
meminta restu dan menghormati orang-orang tua di Galuh. Ia melakukan
penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya, Sena. Karena itu ketika ia dapat membunuh Purbasora,
ia tidak serta merta menjadi raja Galuh.
Ia mencoba meminta nasehat dari salah seorang yang sangat dihormati di
tanah Galuh, yang menjadi batara/ rahiyang di Galunggung, yaitu Sempak
waja. Sempak Waja, adalah ayah dari Prabu Purbasora, dan merupakan kakak
kakeknya, Prabu mandiminyak, atau ua dari ayahnya..
Karena itu kemudian sanjaya kemudian mengutus Patih Anggada untuk menemui
Sempak waja, yang terkenal dengan nama Batara Dangiang Guru di galunggung.
Untuk menanyakan tentang siapa yang akan berkuasa di galuh. Sanjaya untuk
memintakan pendapat agar Demuwan dapat diangkat sebagai raja, yang
mewakili kepentingan Sanjaya di Galuh.
Sempakwaja sebagai ayah dari Purbasora dan Demuwan tentunya patut
mencurigai permintaan Sanjaya. Ia berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak
Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan
Sanjaya pembunuh Purbasora. Ia tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun
tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai
penguasa Galuh.
Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan
tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya
harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja
disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang
yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat
menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul,
masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara, yang menyebabkan mereka
bukan menjadi bawahan resi dangiang guru.
Batara dangiang Guru berkata: “Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku
sorangan. Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal,
elehkeun Guruhaji Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang
Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan.
Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal,
Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun
bener maneh sakti.” (Rahiyang Sanjaya pergilah dapatkan oleh diri sendiri,
Kalahkan Guruhaji Pagerwesi, kalahkan Wulan, Sang Tumanggal, kalahkan
Guruhaji Tepus dan kalahkan Guruhaji Tepus dan kalahkan guruhaji Balitar,
Dan pergilah Rahiyang Sanjaya, kalahkan Sang Wulan, Sang
Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Mereka memenangkan kesaktian, yang
menjadikan Sang Wulan, Sang Tumangga dan Sang Pandawa di Kuningan tidak menjadi
bawahan Batara Dangiang Guru (sempak waja). Kalau terkalahkan kamu
bener-benar sakti.
Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga
serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya,
namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja.
Mendapat tantangan dari Batara Dangiang Guru, Sanjaya measa tertantang,
ia kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang ketiga serangkai
di Kuningan tersebut. Dan terjadilah perang besar di Kuningan. Dan
pasukan Sanjaya justru dikalahkan dan dikejar-kejar (diuber-uber) oleh pasukan
Kuningan. Karena itu kemudian ia mundur, hingga sungai Kuningan. Dari sini ia
kemudian pulang ke Galuh. Dan Sang Wulan dan Sang Tumanggal kembali ke Arille.
Dan kekakalahan ini kemudian dilaporkan ke Batara Dangiang Guru, dan ia
dikejar-kejar oleh pasukan Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang
Pandawa di Kuningan.
b.6. Raja raja galuh Setelah Rahiyang Sonjaya
....Mimiti Sang Resi Guru ngawangun kuta pulo Jawa, kutana teh nyaeta
Galunggung, tiwetana Jawa.
Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala.
Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan
duaan jeungdulurna Rahiang Banga.
Sang manarah males pati.
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi
Rahiang Tamperan teh.
Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi tea.
Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna
beungeutna
Rahiang Banga ku Sang Manarah.
Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.
Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun,
lantaran
polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh taun, lantaran tabeatna hade.
Sang Manisri lilana jadi ratu geneppuluh taun, lantaran pengkuh ngagem
Sanghiang Siksa.
Sang Tariwulan lawasna jadi ratu tujuh taun.
Sang Welengan lawasna jadi ratu tujuh taun.
Dalam Naskah Carita Parahiyangan, penguaasa Galuh, spesifik hanya
diceritakan hingga Sang Welengan. Selanjutnya ia bercerita tentang penguasa
dari Kerajaan Sunda. Karena seolah Galuh dan Sunda sudah melebur menjadi satu.
b.6.1. Temperan Barmawijaya
(732-739
M).
Temperan mewarisi
kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja
Kalingga Mataram (Medang kamulan atau Bhumi mataram).. Temperan
berkuasa selama 7 tahun, dari tahun 732-739
M, yang kemudian dikudeta oleh anak tirinya, Sang manarah
Sebelum
meninggalkan tahta Sunda, Sanjaya mengatur pembagian kekuasaan antara putranya,
Temperan dan resiguru Demunawan. Pakuan dan Galuh menjadi kekuasaan
Temperan, sedang Kuningan dan Galunggung diperintah oleh resi guru Demunawan
(putra Sempakwaja). Dengan demikian Temperan menguasai Sunda Galuh melanjutkan
kedudukan ayahnya dari tahun 732-739 M.
Ketika
Sanjaya mengangkat Premanadikusuma (cucu purbasora) sebagai raja Galuh, ia juga
mengangkat Temperan sebagai patihnya. Dan ketika Premana meninggalkan
istana untuk bertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada Temperan.
Temperan kemudian mengutus utusan untuk melakukan pembunuhan terhadap
Permanadikusumah.
Premanadikusuma
ketika meninggalkan istana, juga meninggalkan istrinya, Dewi Pangreyep,
yang baru berusia 19 tahun. Temperan mewarisi watak
buyutnya yang senang membuat skandal. Ia konon membuat skandal dengan
pangreyep, mantan istri Premanadikusuma dan membuahkan kelahiran Kamarasa
atau yang terkenal dengan nama Hariang Banga (723 M). Disamping itu, setelah
Permanadikusumah meninggal, ia juga mengawini Naganingrum sebagai istri
keduanya.
a. Kudeta Sang Manarah
Temperan
mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, dari Sanjaya
yang menjadi raja Kalingga Mataram. Sementara itu Sang Manarah, atau lebih
dikenal dengan nama Ciung Wanara yang telah diakui sebagai anaknya, secara
diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta galuh dengan bimbingan buyutnya,
Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Ki Balangantrang, di Geger Sunten.
Aki
Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi
Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena
menderita penyakit kemir (hernia / burut). Ki Balangantrang adalah satusatunya
keluarga istana Purbasora yang dapat menyelamatkan diri dari kudeta
sanjaya. Ki Balangantrang
bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun
kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di
daerah Kuningan dan sisa lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini
dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora
menjatuhkan Sena.
Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke
Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang
putra mahkota. Anarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai
penyabung ayam. Sedang Balangantrang memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini berhasil dalam waktu yang singkat.
Raja dan prameswari (dewi pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di
gelanggang sabung ayam. Tetapi
Banga kemudian dilepaskan dan dibiarkan bebas. Pada malam hari, banga
dapat membebaskan Temperan dan putri pangreyep dari tahanan. Tetapi kemudian
Tamperan terbunuh
2. SANG MANARAH (739-783 M)
Sang Manarah atau Prabu Suratama atau Prabu Jaya
Perkosa Mandaleswara Salakabuwana, dan dalam cerita rakyat pasundan disebut
dengan nama Ciung Wanara. Ia memerintah Galuh selama 44 tahun (dari tahun
739-783 M), dengan wilayah antara Banyumas (Sungai Cipamali) di Timur
hingga Sungai Citarum di sebelah barat.
Sang Manarah adalah putra Prabu Adimulya
Permanadikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh utusan Temperan, yang waktu itu
menjadi patih Galuh. Ibunya Dewi Pohaci Naganingrum, merupakan cucu dari Ki
Balangantrang. Dan setelah Permana meninggal ia menjadi istri kedua
temperan.
Setelah menginjak remaja, ia kemudian melakukan kudeta
terhadap keturunan Sanjaya (tamperan), dengan dukungan penuh kakeknya,
Bimaraksa atau kemudian terkenal dengan nama Aki balangantrang.
a.
Ki Balangantrang
Ki Balangantrang adalah cucu
dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi Guru Jantaka, yang tidak
bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena menderita penyakit kemir
(hernia / burut). Setelah terjadi kudeta oleh Sanjaya yang menewaskan
hapir seluruh keluarga Purbasora, ia yang waktu itu menjadi patihnya berhasil
menyelamatkan diri. Ia juga merupakan kakek dari Sang Manarah, karena
Naganingrum nmerupakan anaknya.
Ki Balangantrang bersembunyi
di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti
Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan sisa
lascar Indra Prahasta, setelah kerajaan ini dilumatkan oleh sanjaya
sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Ki Balangntarang ini
dikenal sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mendidik Sang Manarah yang
kemudian terkenal dengan nama Ciung Wanara. Masa kecil sang Manarah dalam
cerita-cerita rakyat, memang dibesarkan oleh kakeknya di Geger Sunten, Ki
Balangantrang. Dan ketika ia dewasa kemudian berusaha untuk merebut kekuasaannya
dari Temperan. Ia dibantu oleh kakeknya, Ki Balangantrang yang mahir
dalam urusan perang dan startegi, dengan pasukan yang telah dipersiapkan di
Geger Sunten. Perebutan kekuasaan ini diperhitungkan dengan matang, yaitu pada
saat diselenggarakan pesta sabung ayam yang menjadi kegemaran di kerajaan
tersebut.
Sesuai dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan
ke Galuh dilakukan disiang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua
pembesar kerajaan hadir termasuk banga, sang putra mahkota. Manarah bersama
anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang
Balangantrang memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini berhasil
dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari (dewi pangrenyep) termasuk
Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan
dan dibiarkan bebas. Pada malam hari, banga dapat membebaskan Temperan
dan putri pangreyep dari tahanan.
Tetapi tindakan banga ini diketahui oleh
pengawal, yang segera memberitahu Sang manarah. Karena itu kemudian terjadi
pertempuran antara Banga dan Manarah, yang berakhir dengan kekalahan
Banga. Sementara itu Tamperan dan pangrenyep yang melarikan diri kemudian
terbunuh oleh pasukan yang mengejarnya.
b.
Serbuan Sanjaya Dari Bhumi Mataram ke galuh
Mendengar putranya, Tamperan meninggal, Sanjaya
sangat marah, kemudian ia menyiapkan pasukan besar dari Medang bhumi
mataram untuk menyerbu ibukota Galuh. Dilain pihak, Manarah telah
menduga bahwa sanjaya tidak akan tinggal diam. Oleh karena itu, ia telah
siaga dengan pasukan yang juga didukung oleh pasukan sisa Indraprahasta
(kerajaan ini sat itu telah berubah menjadi Wanagiri), dan raja-raja daerah
Kuningan yang pernah ditaklukan oleh sanjaya.
Sanjaya menyerang Galuh dengan
4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya;
pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya),
pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4
bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang.
Perang saudara satu keturunan Wretikandayun
meletus, dan pasukan Manarah mulai terdesak. Tetapi kemudian peperangan itu
dapat dihentikan atas prakarsa rajaresi Demunawan, yang waktu itu
berusia 93 tahun. Perundingan gencatan senjata digelar di keraton Galuh
pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang
Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin
Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M,
merupakan satu kekuasaan terpecah kembali.
Untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah
dan banga kemudian dinikahkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah
dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri
Kancanawangi, sedang Banga sebagai raja Sunda bergelar Prabu Kertabhuwana
Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang bernama Kancanasari.
Manarah ditakdirkan mempunyai umur yang panjang. Ia
bertahta di Galuh hingga tahun 783 M. Lalu ia melakukan manurajasuniya,
mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa hingga
akhir hayat. Manarah meninggal pada 798 saat ia berusia 80
tahun.
3. Guruminda Sang Minisri (mp.782-799 M)
Dalam Carita Parahiyangan, Raja Galuh setelah Sang manarah, yang menggantikannya
adalah Sang Minisri, yang berkuasa selama 60 tahun. Sedang dalam Naskah
Wangsakerta Sang Minisri berkuasa selama 17 tahun, dari tahun 782 sampai dengan
799 M.
Sang Minisri
bergelar Prabu Dharmasakti Wijaleswara, menjadi penguasa Galuh, menggantikan
mertuanya, Sang Manarah, yang berkuasa di tanah Galuh dari tahun 783 hingga 799
M,
Sang Minisri menikah dengan Purbasari, putri dari
Sang Manarah. Guruminda Sang minisri dalam cerita
Pasundan terkenal dengan nama Lutung kasarung. Dan kisah tentang berkuasanya
banyak diceritakan dalam kisah lutung kasarung tersebut.
Ia kemudian digantikan oleh Sang Tariwulan atau Prabu kertayasa.
4. Sang
Tariwulan Prabu Kertayasa (mp. 799-806
M)
Sang Triwulan menjadi raja menggantikan Guruminda Sang Minisri. Ia berkuasa di tanah Galus selama 7 tahun, dari tahun 799
sampai dengan tahun 806 M.
Sang Tariwulan bergelar Prabu Kertayasa Dewakusaleswara, merupakan putra kedua dari Sang Minisri. Kakaknya
Rakeyan Hujung Kulon menikah dengan putri Rakeyan Medang. Karena Rakeyan Medang
tidak mempunyai anak laki-laki, maka tahta Sunda kemudian jatuh kepeda
menantunya, Rakeyan Hujung Kulon. Dan setelah menjadi raja sunda, pangeran
hujung Kulon bergelar Prabu Gilingwesi.
Karena kakaknya, Rakeyan Hujung Kulon, menjadi raja Sunda, maka tahta galuh
jatuh pada adiknya, Sang Tariwulan, dengan gelar Prabu
Kretayasa Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati,
puteri Saung Galah keturunan Resiguru Demunawan.
5.
Sang Welengan (
806-813 M)
Sang Welengan dan bergelar
Prabu Brajanagara Jayabhuwana, menjadi penguasa galuh menggantikan Sang Tariwulan Prabu Kertayasa. Dalam Carita parahiyangan diceritakan bahwa ia berkuasa di Galuh selam 7
tahun..
6. Prabu
Linggabhumi (813-852 M)
Prabu Linggabhumi dalam Naskah carita parahiyangan tidak diceritakan.
Dan hanya diceritakan hingga Sang Welengan.
Ia menjadi penguasa Galuh menggantikan Sang Welengan. Setelahnya tahta Galuh kemudian diserahkan
kepada suami adiknya, Rakeyan Wuwus atau yang terkenal dengan gelar Prabu Gajah
Kulon, cicit Banga yang menjadi raja Sunda ke-8.
7. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819-891 M)
Prabu gajah Kulon menjadi
penguasa Galuh menggantikan kakak iparnya, Prabu Linggbhumi. Ia merupakan cicit dari banga
yang mewarisi raja Sunda ke-8. Sehingga pada masanya Sunda dan galuh bersatu
kembali.
Rakeyan Wuwus beristrikan putri keturunan
Galuh. Sementara itu adik perempuan rakeyan Wuwus menikah dengan putra
Galuh yang kemudian menggatikan kedudukannya sebagai raja Sunda bergelar Prabu
Darmaraksa Bhuwana atau Arya Kedatawan
Dengan demikian sejak tahun 852 M, kerajaan Sunda
dan galuh diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan antara
kerabat keraton Pakuan, Galuh dan Saunggalah. Dan terpecah lagi pada masa
setelah Prabu Niskala Kancana, yang membagi kekuasaan bagi kedua anaknya, Prabu
Susuk tunggal di pakuan sedang Prabu dewa Niskala di galuh.
Dan kedua kerajjaan ini kemudian disatukan lagi
oleh cucu Niskala wastu Kancana, yaitu Jayadewata, yang kemudian berghelar Sri
baduga Maharaja. Dan era tersebut kemudian terkenal dalam sejarah Sunda disebut
sebagai era Pakuan Pajajaran ataau Pajajaran saja, yang dinisbatkan kepada nama
ibukotanya, pakuan Pajajaran.
Keturunan
Sang Manarah berkuasa hanya sampai cicitnya yang bernama Prabu Linggabumi
(mp. 813-852 M). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adikny, yaitu
Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (mp. 819-891 M), cicit dari Hariang
Banga yang menjadi raja sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun
852 kedua kerajaan pecahan Tarumanegara itu diperintah oleh keturunan Hariang
Banga, sebagai akibat perkawinan antara para kerabat keratin Pakuan, Galuh,
IV.B.2.
Profil Raja Raja Kerajaan Sunda
Rahiyang Banga lawasnia ratu tujuh tahun, kena
twah siya, mo makéyan agama bener.
Rakéyanta ri Medang lawasniya adeg ratu tujuh
tahun.
Rakéyanta Diwus lawasniya ratu opatlikur tahun.
Rakéyanta Wuwus lawasniya ratu tujuhpuluhdua
tahun.
Sang lumahing Hujung Cariang, lawasniya ratu
telu tahun, kaopatna panteg kena salah
twah, daék ngala éwé sama éwé.
Rakéyan Gendang lawaniya ratu telulikur tahun.
Déwa Sanghiyang lawasniya ratu tujuh tahun.
Prebu Sanghiyang lawasniya ratu sawelas tahun.
Prebu Ditiya Maharaja lawasniya ratu tujuh
tahun.
Sang lumahing Winduraja lawasniya ratu telulikur
tahun.
Sang lumahing Kreta lawasniya ratu
salapanpuluhdua tahun, kena mikukuh na twah
rampés, turun na kretayuga.
Disiliban deui ku Sang lumahing Winduruja, teu
heubeul adeg, lawasniya ratu
dalapanwelas tahun.
Disilihan deui ku Sang Rakéyan Darmasiksa,
pangupatiyan Sanghiyang Wisnu, inya nu
nyieun sanghiyang binayapanti, nu ngajadikeun
para kabuyutan ti sang rama, ti sang
resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina
parahiyangan.
Ti naha bagina?
Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh
Sanghiyang Darma ngawakan
Sanghiyang Siksa.
Lawasniya ratu saratuslimapuluh tahun.
Manak Sang lumahing Taman lawasniya ratu genep
tahun.
Manak deui Sang lumahing Tanjung, lawasnija ratu
dalapan tahun.
Manak Sang lumahing Kikis, lawasniya ratu
dwalikur tahun.
Sang lumahing Kiding, lawasniya ratu sapuluh
tahun.
Manak Aki Kolot, lawasniya ratu sapuluh tahun.
IV.B.1. Maharaja Tarusbawa
Tarusbawa merupakan raja kerajaan Sunda pertama, yang berkuasa dari tahun 699 sampai tahun 723
M. Tarusbawa dianggap sebagai bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam
Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “Tohaan di Sunda (raja Sunda). Tohaan Sunda dalam naskah ini artinya raja sunda. Ia menjadi cikal bakal raja-raja
Sunda yang memerintah berikutnya.
Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, di tahun
669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara
yang terakhir. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa,
bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
Setelah menerima tahta tarumanagara dari
mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa kemudian memindahkan
ibukota kerajaan yang baru di dekat hulu sungai cipakancilan
(cipeucang).
Ia berusaha untuk mengembalikan kejayaan Tarumanagara, seperti yang dialami oleh
Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon kala
itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya.), karena itu ia kemudian
mendirikan ibukota baru.
Seperti diungkapkan sebelumnya, bahwa akhir Tarumanagara
(tahun 669 Masehi), ditandai dengan adanya pewarisan tahta, dari Linggawarman kepada menantunya, Tarusbawa. Dari sinilah kemudian Tarusbawa merubah sebutan Tarumanagaia
menjadi Kerajaan Sunda. Dan sejak itulah, Kerajaan
Sundamulai dikenal dalam panggung sejarah.
Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, menikah dengan putri dari Raja Tarumanegara, Prabu
Linggawarman, raja Tarumanegara terakhir. Dan pada tahun 669 M menggantikan
kedudukan mertuanyamenjadi raja
Tarumanegara. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista,
tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
Setelah menerima tahta
tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa melakukan
beberapa kebijakan, diantaranya memindahkan ibukota kerajaan, dari
Sundapura (Bekasi) ke Pakuan (Bogor) di dekat hulu sungai cipakancilan
(cipeucang). Disini ia mendirikan lima buah keraton, (Jumlah 5 keraton tersebut, dalam sastra klasik, sering
disebut Panca Persada) yang bentuk maupun
besarnya sama dalam posisi berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi
nama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Dalam Naskah
Carita Parahiyangan disebut “Sri Kadatwan Bima Punta Narayana
Madura Suradipati. Setelah keraton selesai dibangun, kemudian diberkati
oleh Bujangga Sedamanah, di hadapan Sang Maharaja Tarusbawa.
Dengan membangun ibukota baru Tarusbawa berusaha untuk mengembalikan
kejayaanTarumanagara, seperti yang dialami oleh
Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon kala
itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya). Tetapi, pada waktu itu, Wretikandayun, bangsawan Tarumanagara, yang
berkuasa di Galuh, yang telah berkuasa sejak tahun 612 M, menuntut supaya
wilayah dibagi 2, dengan bantuan besannya dari Kalingga, Ratu Sima.
Untuk menghindari perpecahan, akhirnya
disepakati bahwa sungai Citarum sebagai batas perbatasan kekuasaan. Tarusbawa disebelah barat citarum
sedang Wretikandayun disebelah timur sungai Citarum.
Putra Tarusbawa terbesar, dan sekaligus putra
Mahktota kerajaan Sunda, Rakeyan Sundasambawa meninggal dunia saat masih muda.
Ia meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini
kemudian dinikahi Rahyang Sanjaya dari Galuh.
Tarusbawa wafat pada tahun 723
Masehi, dalam usia 91 tahun, yang
kemudian digantikan Sanjaya,suami
cucunya dengan nama nobat: Maharaja Harisdarma Bimaparakrama Prabu Maheswara
Sarwajitasatru Yudapurnajaya.
IV.B.2. Maharaja Sanjaya
Setelah Tarusbawa meninggal (w. 723 M),
Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja Sunda, mewakili istrinya, yang merupakan
cucu dari Tarusbawa. Pada tahun itu juga Sanjaya berhasil merebut
kekuasaan Galuh dari rahyang Purbasora, yang merebut kekuasaan dari ayahnya,
Bratasenawa (rahyang Sena). Oleh karena itu seluruh wilayah Sunda dan
galuh berada di bawah kekuasaan Sanjaya.
Setelah berkuasa di kerajaan Sunda, dan kemudian menguasai Galuh, Sanjaya
dianggap yang pertama kali menyatukan kembali tatar sunda dalam satu
kepemimpinan, seperti yang terjadi di era kerajaan Tarumanagara. Dalam
urutan Raja, Sanjaya merupakan raja kedua kemaharajaan Sunda, sedang di Galuh
ia merupakan raja urutan ke-5.
Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali
Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus dihormati. Sanjaya sendiri tidak memiliki ambisi / hasrat
untuk menjadi penguasa Galuh atau tinggal di Galuh, Ia pun berkeinginan menyudahi perang saudara.
Sebagai orang yang taat terhadap orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk
meminta restu dan menghormati orang-orang tua di Galuh. Ia melakukan
penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya, Sena. Karena itu ketika ia dapat membunuh Purbasora,
ia tidak serta merta menjadi raja Galuh.
Ia mencoba meminta nasehat dari salah seorang yang sangat dihormati
di tanah Galuh, yang menjadi batara/ rahiyang di Galunggung, yaitu Sempak
waja. Sempak Waja, adalah ayah dari Prabu Purbasora, dan merupakan kakak
kakeknya, Prabu mandiminyak, atau ua dari ayahnya..
Karena itu kemudian sanjaya kemudian
mengutus Patih Anggada untuk menemui Sempak waja, yang terkenal dengan nama
Batara Dangiang Guru di galunggung. Untuk menanyakan tentang siapa yang akan
berkuasa di galuh. Sanjaya untuk memintakan pendapat agar Demuwan dapat
diangkat sebagai raja, yang mewakili kepentingan Sanjaya di Galuh.
Sempakwaja sebagai ayah dari Purbasora dan Demuwan tentunya patut
mencurigai permintaan Sanjaya. Ia berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak
Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan
Sanjaya pembunuh Purbasora. Ia tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun
tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai
penguasa Galuh.
Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan
tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya
harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja
disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang
yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat
menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul,
masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara, yang menyebabkan mereka
bukan menjadi bawahan resi dangiang guru.
Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga
serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya,
namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja.
Mendapat tantangan dari Batara Dangiang Guru, Sanjaya measa
tertantang, ia kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang ketiga
serangkai di Kuningan tersebut. Dan terjadilah perang besar di Kuningan.
Dan pasukan Sanjaya justru dikalahkan dan dikejar-kejar (diuber-uber) oleh pasukan
Kuningan. Karena itu kemudian ia mundur, hingga sungai Kuningan. Dari sini ia
kemudian pulang ke Galuh. Dan Sang Wulan dan Sang Tumanggal kembali ke Arille.
Dengan kekalahan ini Sanjaya akhirnya harus mengikuti kemauan dari batara
dangiang Guru.
IV.B.3. Temperan Barmawijaya
Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M,
setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram (Medang kamulan atau Bhumi
mataram).. Temperan berkuasa selama 7 tahun, dari tahun
732-739 M, yang kemudian dikudeta oleh anak tirinya, Sang manarah
Sebelum meninggalkan tahta Sunda, Sanjaya mengatur
pembagian kekuasaan antara putranya, Temperan dan resiguru Demunawan. Pakuan
dan Galuh menjadi kekuasaan Temperan, sedang Kuningan dan Galunggung
diperintah oleh resi guru Demunawan (putra Sempakwaja). Dengan demikian
Temperan menguasai Sunda Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732-739
M.
Ketika
Sanjaya mengangkat Premanadikusuma (cucu purbasora) sebagai raja Galuh, ia juga
mengangkat Temperan sebagai patihnya. Dan ketika Premana meninggalkan
istana untuk bertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada Temperan.
Temperan kemudian mengutus utusan untuk melakukan pembunuhan terhadap
Permanadikusumah.
Premanadikusuma ketika meninggalkan istana,
juga meninggalkan istrinya, Dewi Pangreyep, yang baru berusia 19
tahun. Temperan mewarisi watak buyutnya yang senang
membuat skandal. Ia konon membuat skandal dengan pangreyep, mantan istri
Premanadikusuma dan membuahkan kelahiran Kamarasa atau yang terkenal
dengan nama Hariang Banga (723 M). Disamping itu, setelah Permanadikusumah
meninggal, ia juga mengawini Naganingrum sebagai istri keduanya.
a. Kudeta sang manarah
Temperan mewarisi
kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, dari Sanjaya yang
menjadi raja Kalingga Mataram. Sementara itu Sang Manarah, atau lebih dikenal
dengan nama Ciung Wanara yang telah diakui sebagai anaknya, secara diam-diam
menyiapkan rencana perebutan tahta galuh dengan bimbingan buyutnya, Bimaraksa
atau yang terkenal dengan nama Ki Balangantrang, di Geger Sunten.
Aki
Balangantrang adalah cucu dari Wretikandayun dari putra kedua yang bernama Resi
Guru Jantaka, yang tidak bisa menggantikan ayahnya (Wretikandayun) karena
menderita penyakit kemir (hernia / burut). Ki Balangantrang adalah satusatunya
keluarga istana Purbasora yang dapat menyelamatkan diri dari kudeta
sanjaya. Ki Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam
menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari
raja-raja di daerah Kuningan dan sisa lascar Indra Prahasta, setelah
kerajaan ini dilumatkan oleh sanjaya sebagai pembalasan karena dulu
membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sesuai
dengan rencana Ki Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan disiang hari
bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir
termasuk banga, sang putra mahkota. Anarah bersama anggota pasukannya hadir
dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Sedang Balangantrang
memimpin pasukan geger sunten menyerang keraton.
Kudeta ini
berhasil dalam waktu yang singkat. Raja dan prameswari (dewi
pangrenyep) termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Tetapi Banga kemudian dilepaskan
dan dibiarkan bebas. Pada malam hari, banga dapat membebaskan Temperan
dan putri pangreyep dari tahanan. Tetapi kemudian Tamperan terbunuh
IV.B.4. Hariang banga (739-766 M)
Hariang banga atau sang banga atau Prabu
Kertabuana Yasawiguna Hajimulya, berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang
berkuasa hanya di sebelah barat sungai Citarum dari tahun 759 M.
Setelah peristiwa kudeta
berdarah tahta di Kerajaan Galuh, antara Manarah dengan Sanjaya, akhirnya
ditempuh cara dengan jalan damai. Berdasarkan "Perjanjian Galuh",
yang dipimpin oleh Resiguru Demunawan dari Kerajaan Saunggalah (Kuningan),
akhirnya tahta Kerajaan Sunda, diwariskan kepada Sang Arya Banga. la diangkat menjadi raja sunda pada tahun 739
Masehi, dengan nama nobat: Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
Dari
istrinya yang bernama Dewi Kancana sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah),
sang banga mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian
menggantikan kekuasaan setelahnya.
Sebuah naskah abad ke13 M (atau abad ke-14 M)
memberitakan bahwa Sang banga pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini
dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang
merdeka dari Galuh.
Lepasnya pakuan dari galuh terjadi setelah 20
tahun Banga menjadi pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk kekuasaanya
adalah sebelah barat Citarum
IV.B.5. Rakeyan Medang Prabu Hulu Kujang. (mp. 766-783 M),
Rakeyan Medang merupakan putra
dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di tahta Sunda, yang berkuasa selama
17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan gelar Parbu Hulu Kujang. Sebelum menjadi raja, Rakeyan Medang
menjadi menteri muda di Kerajaan Sunda selama 3 tahun.
Ia merupakan putra dari Hariang banga dari istrinya Dewi Kencana Sari
(keturunan Demunawan). Ia tekenal dengan nama Rakeyan Medang,
karena pernah menetap di negeri buyutnya di Medang Bumi
Mataram (bekas Kalingga), selama 8 tahun. Raja Medang pada waktu itu adalah
Rakeyan Panangkaran (putera Sang Sanjaya).
Dari permaisurinya, Prabu
Hulukujang mempunyai seorang puteri, yang bernama Dewi Samatha. Sang putri kemudian menikah dengan Rakeyan
Hujungkulon. Karena Rakeyan Medang tidak mempunyai anak laki-laki, maka tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung
Kulon, yang bergelar Prabu Gilingwesi.
IV.B.6. Rakeyan Hujung Hulon Prabu Gilingwesi (mp. 783-795 M).
Rakeyan Hujung kulon bergelar Prabu Gilingwesi. Ia
naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan berkuasa selama 12 tahun
dari tahun 783-795 M.
Rakeyan Hujung Kulon
berasal dari galuh, putra raja Galuh,
Sang Mansiri. Karena
Rakeyan medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh
ketangan menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.
Dari negeri ayahnya, tahta Galuh
jatuh kepada adiknya, sang Tariwulan, dengan gelar Prabu Kretayasa
Dewakusaleswara. Raja Galuh tersebut, memperisteri Dewi Saraswati, puteri Saung
Galah keturunan Resiguru Demunawan.
Rakeyan
Hujung Kulon juga tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian
jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara pada tahun 795 M.
IV.B.7. Rakeyan Diwus Prabu Pucuk Bumi (MP. 795-812 M)
Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara naik tahta kerajaan Sunda pada tahun 795 M, menggantikan mertuanya, Rakeya Hujung Kulon Prabu
Giling Wesi. Ia
berkuasa selama 24 tahun., dari tahun 795 hingga 812 M.
Setelah meninggal, kemudian digantikan oleh putranya,
rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon.
IV.B.8. Rakeyan
Wuwus Prabu Gajah Kulon (mp. 812-
Rakeyan Wuwus naik tahta Sunda menggatikan
ayahnya, Rakeyan Diwus, dengan gelar Prabu Gajah Kulon.
Rakeyan Wuwus menikah dengan putri Sang Welengan, Raja Galuh
(mp. 806-813 M), yang bernama
Dewi Kirana. Setelah Sang Welengan
meninggal dunia, tahta Galuh jatuh ke kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842
M). Tetapi, karena Prabu Linggabumi tidak mempunyai
keturunan, maka tahta Galuh juga jatuh ke Rakeyan Wuwus. Sehingga Rakeyan Wuwus
berkuasa atas Sunda dan Galuh, dan Sunda Galuh berada di satu tangan
lagi. Dengan demikian,
kekuasaan di wilayah Sunda Galuh dipegang oleh Prabu Gajah Kulon keturunan
Sang Banga, pada tahun 825 Masehi.
Dari Dewi Kirana, Prabu Gajah Kulon memperoleh dua
orang putera, ialah: Batara Danghiyang Guruwisuda dan Dewi
Sawitri. Sebagai putera laki‑laki, Batara Danghiyang Guruwisuda, pada
tahun 852 Masehi, dipercaya memegang tahta Kerajaan Galuh. Sedangkan Dewi
Sawitri, diperisteri oleh Rakeyan Windusakti, putera Sang Arya Kedaton dan Dewi
Widyasari (adiknya Prabu Gajah Kulon).
Setelah Prabu Gajah Kulon meninggal, tahta Kerajaan
Sunda dan Galuh berhasil direbut dan dikuasai oleh Sang Arya Kedaton, dengan
nama nobat Prabu Datmaraksa Salakabuana. Hanya saja karena tidak disenangi oleh
pembesar istana Sunda, baru empat tahun memerintah ia dikudeta dan terbunuh
pada tahun 895 M, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda.
IV.B.9. Arya Kedathan Prabu
Darmaraksa (891-895 M)
Arya Kedathan bergelar
Prabu Darmaraksa Salakabuana.berasal dari istana Galuh, naik tahta Sunda, menggantikan kakak iparnya, Rakeyan Wuwus yang meninggal dunia. Ia naik tahta degan merebut kekuasaan dari putra
mahkota Batara Danghiyang Guruwisuda.
Selama berkuasa ia tidak disenangi oleh pembesar istana Sunda. Baru empat tahun memerintah, Prabu Darmaraksa
Salakabuana dibunuh, oleh seorang menteri Kerajaan Sunda. Selanjutnya, tahta
kerajaan digantikan oleh puteranya, Rakeyan Windusakti, dengan nama nobat Prabu
Dewageung Jayeng Buana, yang terpaksa naik tahta pada tahun 895 Masehi.
IV.B.10. Rakeyan Windusakti Prabu Dewageng (895-913 M)
Rakeyan Windusakti dengan
gelar Prabu Dewageng Jayeng
Buana, naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Arya Kedaton, yang terbunuh. Ia berkuasa dari tahun 895 sampai
913 M.
Rakeyan Windusakti menikah dengan putri dari Rakeyan Wuwus, Dewi
Sawitri. Dari perkawinannya dengan Dewi Sawitri, Rakeyan Windusakti, mempunyai dua orang putera, yaitu: Rakeyan Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri.
Setelah wafat, ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading
pada tahun 913 M. dengan gelar Prabu Pucukwesi
IV.B.11.Rakeyan Kamuning gading Prabu
Pucukwesi (913-916 M)
Rakeyan
Kamuning Gading, dengan gelar Prabu Pucukwesi, naik tahta
menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan berkuasa hanya 3 tahun (913-916
M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.
IV.B.12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916-942 M)
Rakeyan Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa
berkuasa di tahta sunda setelah mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning Gading.
Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan
Watuagung.
Setelah mengkudeta kekuasaan dari kakaknya sebagai raja Sunda, Rakeyan
Jayagiri juga berusaha untuk menguasai Galuh yang masih dipegang oleh keturunan
Rakeyan Kamuning Gading. Putri Kamuning Gading menikah dengan penguasa Galuh,
Rakeyan JayaDrata, yang merupakan cucu dari Dahyiang Guruwisuda dari putrinya
yang bernama Dewi Sundara. Dan berbarengan dengan kudeta Jayagiri
terhadap Kamuning Gading, di kerajaan Galuh terjadi suksesi kekuasaan kepada Rakeyan Jayadrata.
Untuk menyempurnakan kekuasaanya, pasukan kerajaan Sunda kemudian diperintahkan oleh Rakeyan Jayagiri untuk merebut keraton
Galuh. Tetapi ia dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Galuh. Serangan
kedua yang besar dan lengkap, dikerahkan
untuk menyerbu Kerajaan Galuh. Serbuankedua juga dapat dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Galuh, yang dipimpin langsung oleh
Prabu Jayadrata.
Karena tidak pernah dapat dikuasai oleh Rakeyan jayagiri, maka kerajaan
Galuh menjadi kerajaan merdeka di bawah naungan Prabu Jayadrata. Dan kekuasaan Rakeyan jayagiri hanya mencakup kerajaan
sunda sebelah barat Citarum.
Rakeyan Jayadrata menikah dengan putri dari Kamuning Gading. Karena itu,
Rakeyan jayadrata mendukung adik iparnya, Rakeyan Limbur kancana untuk merebut kekuasaan
dari Rakeyan jayagiri. Dan Rakeyan Limbur Kancana dapat merebut kekuasaan dari
Rakeyan Jayagiri pada tahun 920 M.
Di Kerajaan Galuh, kekuasaan
telah diwariskan kepada Rakeyan Harimurti, putera Prabu Jayadrata yang berkuasa
tahun 949 Masehi. Karena Rakeyan Limbur Kancana terhitung pamannya Rakeyan
Harimurti, akhirnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, damai kembali.
Sebagai tindakan balas dendam,
Ketika Prabu Limbur Kancana sedang bertamu di Kerajaan Galuh, dibunuh oleh
seseorang, atas perintah Dewi Ambawati, puteri Rakeyan Jayagiri (Prabu Wanayasa
Jayabuana). Tahta Kerajaan Sunda, beralih ke Rakeyan Watuageng, suami Dewi Ambawati, bernama nobat Praburesi Atmayadarma
Hariwangsa, naik tahta pada tahun 930 Masehi.
Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28
tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.
IV.B.13. Rakeyan Watu Agung
Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa
(942-954 M)
Rakeyan
Watu agung bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda
menggantikan mertuanya, Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M).
Ia kemudian dikudeta oleh sepupunya, putra
Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp. 954-964 M)
IV.B.14. Prabu Limburkancana (954-964 M)
Prabu
Limburkancana naik tahta sunda setelah mengkudeta pamannya Rakeyan Watuagung.
Ia merasa berhak tahta Sunda dan merebut kekuasaan sebagai balasan
terhadap kudeta yang dilakukan oleh pamannya, Rakeyan Jayagiri, terhadap
ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916 M.
Setelahnya,
tahta Sunda kemudian diteruskan oleh putra sulungnya, rakeyan Sundasamabawa
yang bergelar Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M).
IV.B.15. Rakeyan Sundasambawa Prabu Munding
Ganawirya (mp. 964-973 M)
Rakeyan Sundasambawa dan bergelar Prabu Munding
Ganawirya, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Prabu Limbur Kancana. Karena
tidak mempunyai putra, kekuasaan kemudian jatuh kepada adik iparnya,
Rakeyan Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri.
IV.B.16. Rakeyan Wulung Gadung Prabu Jayagiri (mp. 973-989 M)
Prabu jayagiri rakeyan Wulung
gadung naik tahta sunda menggatikan kakak iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia
naik tahta karena kakak iparnya tidak mempunyai anak. Rakeyan wulung Gadung berkuasa di tanah sunda
dari tahun 973 smpai 989 M.
Rakeyan Wulung Gadung menikah dengan Dewi Somya, yang merupakan putri dari
Prabu Limbur Kencana, adik dari Rakeyan Sunda Sambawa. Karena kakaknya, Rakeyan
Sunda sambawwa tidak mempunyai anak, maka ia menggantikan kakak iparnya,
Rakeyan Sunda Sambawa atau Prabu Munding Ganawirya. Dari perkawinannya dengan
Dewi Somya ia mempunyai anak yang bernama Rakeyan gendang.
Rakeyan Wulung Gadung ini kemudian mewariskan
kekuasaanya kepada putranya, Rakeyan Gendang, yang bergelar Prabu
Brajawisesa (mp. 989-1012 M).
IV.B.17. Rakeyan Gendang Prabu Brajawisesa
(989-1012 M)
Rakeyan Gendang dengan gelar Prabu Brajawisesa
naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyanwulung gadung atau prabu Jayagiri, yang berkuasa selama 23 tahun..
Rakeyan Gendang mempunyai 2 orang anak, yaitu: Prabu Dewa sanghiyang yang
dikemudian hari menggantikan ayahnya menjadi raja sunda, dan Dewi Rukmawati,
dinikahi oleh Prabu Linggasakti Jayawiguna, penguasa (raja) kerjaan Galuh yang
bertahta pada tahun 988-1012 M
Setelah meninggal, ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)
IV.B.18. Prabu Dewa Sanghiyang (mp. 1012-1019 M)
Prabu Dewa Sanghiyang naik
tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Brajawisesa dan berkuasa selama 7 tahun.
Prabu Dewa Sanghiyang berkuasa aatas kerajaan sunda dan kerajaan galuh,
sehingga ia bergelar Maharaja. Sebagai wakilnya dirinya di kerajaan galuh, ia
kemudian mengangkat keponakannya, Prabu Resiguru Darmasatyadewa, yang berkuasa
sampai tahun 1027 M.
Setelahnya tahta sunda kemudian diwariskan kepada
anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp. 1019-1030 M).
IV.B.19. Prabu sanghiyang Ageung (1019-1030 M)
Prabu Sanghiyang Ageung dalam Carita Parahiyangan di sebut “Prabu
Sanghiang” yang berkuasa selama 11 tahun. Prabu Sanghiyang Ageung
mewarisi tahta sunda dan Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Sanghiyang yang
meninggal dunia. Ia memerintah tanah sunda dari tahun 1019 hingga
1030 M, dengan ibukota di istana Galuh.
Karena ia berkuasa atas Sunda dan galuh maka ia menyadang gelar Maharaja.
Dan sebagai penguasa wilayah kerajaan galuh, ia percayakan kepada adik
istrinya, Dewi Sumbadra pada tahun yang sama yaitu pada tahun 1019 M. Maharaja
sanghiyang Ageung meninggal pada tahun 1030M, tetapi Dewi Sumbadra berkuasa
atas tanah galuh hingga tahun 1065 M.
Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya, yang masih
kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak yang bernama
Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri Jayabhupati
inilah yang kemudian membuat prasasti Cibadak.
IV.B.20. Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M)
Sri
Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang
Ageng (mp. 1019-1030 M).
Dalam Carita Parahiyangan Sri Jayabhupati sebut “Prabu Datia Maharaja” yang
berkuasa di tanah sunda selama 12 tahun, dan di Galuh selama 7 tahun
Sri Jayabhupati atau lengkapnya Prabu Detya
Maharaja Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya
Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M) dari ibu putri dari kerajaan Sriwijaya. .
Sri jayabhupati juga bergelar Sri Jayabhupati Maharaja:
Jayabhupati Jaya Manahen Wisnumurti
Samarawijaya calakabhuana mandalecwaranindita Harogowardhana
wikramottunggadewa. Gelar corak Keraton Jawa Timur itu, adalah hadiah perkawinan
dari mertuanya, Sri Dharmawangsa Teguh. Hadiah nama gelar semacam itu, diterima
pula oleh Prabu Airlangga, menantu Sri Darmawangsa Teguh lainnya, dan digunakan
sebagai gelar resmi, setelah Prabu Airlangga menjadi raja. Istrinya merupakan
adik dari Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M), yang kemudian
menjadi prameswarinya. Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian
mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang
dicantumkan dalam prasasti Cibadak.
Sri jayabupati mempunyai beberapa orang anak, yaitu: Prabu dharmaraja yang
dikemudian hari menggantikan sebagai raja, wikramajaya yang menjadi panglima
angkatan laut, Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya (anak dari istrinya yang bernama
Dewi Pertiwi), dan lainnya.
Setelah ia meninggal, tahta jatuh ke anaknya yang bernama Prabu Dharmaraja.
a. Prasasti Peninggalan Sri jayabhupati
Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di
daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama
Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.
Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga
memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam
bahasa dan huruf Jawa kuno, yang sekarang disimpan di museum pusat,
dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D73
//0// Swasti shakawarsatita 952
Karttikamasatithi dwadashi shuklapa –ksa.ha.ka.ra. wara Tambir. Iri ka
diwasha nira prahajyan Sunda maharaja Shri Jayabhupati Jayamana-hen wisnu
murtti samarawijaya shaka labhuw anamandales waranindita harogowardhana wikra
mottunggadewa, ma-
D96
Gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway
denira shri jayabhupati prahajyan Sunda. Mwang tan hanani baryya baryya shila.
Irikang iwah tan pangalapa ikan sesini iwah. Makahiyang sanghyang tapak wates kapujan
I hulu, I sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan I wungkalogong
kalih matangyan pinagawayaje n pra sasti pagepageh. Mangmang sapatha.
D 97:
Sumpah denira prahajyan
sunda. Iwirnya nihan.
Terjemahan:
Selamat, dalam tahun saka 952 bulan kartika tanggal
12 bagian terang, hari hariang, kaliwon, ahad, wuku tambir. Inilah saat raja
Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwana mandaleswara nindita haro gonawardhana wikramottung gadewa,
membuat tanda disebelah timur sanghiyang tapak. Dibuat oleh
Srijayabhupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini.
Disungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai
dalam batas daerah pemujaan sanghiyang tapak di sebelah hulu.
Disebelah hilir dalam batas daerah pemujaan sanghiyang tapak pada dua
batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan
dengan sumpah)
Sumpah yang diucapkan oleh raja Sunda
lengkapnya tertera pada prasasti ke-4 (D 98). Terdiri dari 20 baris,
yang intinya menyeru semua kekuatan gaib didunia dan di surga agar
ikut melindungi keputusabn raja.. Siapapun yang menyalahi ketentuan
tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar
dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya,
memberantakan ususnya dan membelah dadanya. Sumauh itu ditutup dengan
kalimat seruan, ” I wruhhanta kamunghyang kabeh” ( Ketahuilah olehmu parahiyang
semuanya).
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati ini
bertepatan dengan 111 Oktober 1030 M, Isi prasasti ini dalam segala hal
menunjukan corak jawa timur, tidak hanya huruf, bahasa dan gaya , melainkan
juga gelar raja di lingkungan raja di keraton Dharmawangsa, karena ia sendiri
merupakan menantu dari Dharmawangsa.
IV.B.21. Prabu Dharmaraja (1042-1065 M)
Prabu Darmaraja dalam carita parahiyangan dsisebut “ Nu Hilang di
Winduraja”, yang menjadi raja selama 23 tahun. Prabu
Dharmaraja atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti
Salakasunda buana, naik tahta sunda
menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati, yang meninggal pada tahun 1042 M. Ia berkuasa atas seluruh tatar sunda (Sunda,
Galuh, Galunggung).
Pada awal kekuasaannya, terjadi pemberontakan yang
dipimpin oleh saudara
seayah, Wikramajaya,yang menjadi Panglima
Angkatan Laut Kerajaan Sunda. Tetapi pemberontakannya dapat
ditumpas, kemudian ia meloloskan diri ke Kerajaan Sriwijaya, dan jabatan Panglima
Angkatan Laut diganti
olehWirakusuma.
Prabu Dharmaraja menikah dengan Dewi
Surastri, dan
mempunyai beberapa orang, diantaranya: Prabu Langlangbumi, yang kemudian menggantikannya sebagai
raja, Darmanagara, menjadi Mangkubumi
kerajaan dan Wirayuda yang menjadi Panglima Perang.
Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang
Mokteng Winduraja, karena ia dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah
nama desa di kecamatan Kawali kabupaten Ciamis.
Jadi ada gejala setelah wafatnya Sri Jayabupati
sampai dengan tahun 1187 M, pusat pemerintahan Sunda terletak di kawasan
timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di
Winduraja.
Setelah meninggal, tahta sunda kemudian diwariskan
kepada menantunya, Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp.
1065-1155 M)
IV.B.22. Prabu Langlangbumi (mp. 1065-1155 M)
Sang lumahing Kreta
lawasniya ratu salapanpuluhdua tahun, kena mikukuh na twah rampés, turun na kretayuga.
Dalam Carita parahiyangan Prabu Langlangbumi disebut, “ Nu hilang di
Kreta lawasna jadi ratu 92 tahun, lantaran ngukuhan kana lampah anu hade,
ngadatangkeun gemah ripah”. Ia dipuji karena ketika berkuasa sangat bijak, dan kelakuannya
yang sangat baik “lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah
ripah”
Prabu Langlang bumi atau Prabu langlang Buana
naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Darmaraja, dan berkuasa
selama 90 tahun, sedangkan di galuh ia berkuasa selama 92 tahun.
Prabu langlangbumi lahir pada tahun 1038 M dan meninggal pada tahun 1155
M. Ia menikah dengan Dewi puspawati, putri dari Sang Resiguru Batara Hiyang Purnajaya, saudara ayahnya. Dari
pernikahannya dengan Dewi Puspawati, Prabu Langlangbumi mempunyai beberapa orang anak, diataranya: Rakeyan
Jayagiri atau Prabu Menak luhur, yang kemudian menggantikannya sebagai raja di
tanah sunda, dan Sang cakranagara yang kemudian menjadi Mangkubumi (patih).
Peristiwa sejarah yang menarik
dalam masa pemerintahan Maharaja Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam
prasasti Geger Hanjuang atau prasasti Galunggung karena ditemukan di lereng
Gunung Galunggung, Prasasti ini ditemukan di bukit Geger Hanjuang
yang oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak
di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarang
disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26.
Prabu Langlangbumi (1065 -
1155 M) atau sang mokteng Kerta, karena di
makamkan di kerta.Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya,
Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M).
a. Hubungan Kerajaan Sunda, galuh dan Galunggung
Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya mempunyai 2 anak wanita, yang
bernama dewi Puspawati yang kemudian menjadi istri Prabu Langlang Bumi, dan
Dewi citrawati, yang juga mengharap diperistri oleh Prabu Langlang Bumi. Karena
hasratnya tidak tercapai, maka Dewi Citrawati berusaha untuk membunuh kakaknya,
dewi Puspawati.
Karena melihat gelagat yang membahayakan, ayahnya, sang Resiguru
Purnawijaya kemudian mengawinkan Dewi Citrawati dengan penguasa (raja)
Galunggung yang bernama Resiguru Sudakarenawisesa. Karena lebih memilih jalan
hidup sebagai resi, maka Sudakarenawisesa menyerahkan tahta kerajaan Galunggung
kepada istrinya, Dewi Citrawati, dengan gelar penobatan Batari hiyang Janapati.
Selama memegang kekuasaan di
Galunggung, Sang Ratu Batari Hiyang merasa cemas, akan kemungkinan serangan
dari Kerajaan Sunda, karena dendam dirinya kepada Prabu Langlangbumi tak pernah
padam. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Ratu Batari Hiyang, membentuk
angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat (nyusuk). Kemudian,
Galunggung, dijadikan sebagal ibukota Kerajaan Galuh. Selesai membangun ibukota
yang baru, Sang Ratu Batari Hiyang membuat prasasti, yang kemudian dikenal
sebagai Prasasti Geger Hanjuang.
Untuk mengatasi permasalahan dengan penguasa galunggung tersebut, Maharaja Langlangbumi, meminta bantuan Batara Hiyang Purnawijaya, ayah
dari Dewi Citrawati (Batari Hiyang), dan pamannya yang menjadi panglima, Suryanagara supaya diambil jalan damai. Pertemuan itu
dihadiri olehBatara Guru Hiyang Purnawijaya, Senapati Suryanagara, Resiguru Sudakarena,
Dahiyang Guru Darmayasa, Senapati Kusumajaya, Maharaja Langlangbumi, Mangkubumi
Darmanagara, Senapati Wirayuda, Yuwaraja Menak Luhur, Permaisuri Puspawati,
Batari Hiyang Janapati Ratu Galunggung (Dewi Citrawati), dan beberapa raja dari
daerah bawahan Sunda dan Galuh.
Hasil perundingan jalan damai
akhirnya membuahkan kesepakatan, dengan membagi wilayah kekuasaan:
·
Sebelah barat sebagal Kerajaan Sunda, di bawah
kekuasaan Prabu Langlangbumi.
·
Sebelah timur sebagai Kerajaan Galuh, di bawah kekuasaan Ratu Batari Hiyang Janapati,
dengan ibukotanya di Galunggung.
b. Prasasti Geger Hanjuang
Isi prasasti itu ditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuno yang cukup
terang untuk dibaca. Walau pun hanya tiga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal dan tahun. Bacaannya
baris demi baris sebagai berikut :
tra ba i gune apuy na-
sta gomati sakakala rumata-
k disusu(k) ku batari hyang pun
Prasasti itu bertanggal tra
(trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra
(Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya:
Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (seleai) disusuk oleh
Batari Hyang.
Rumatak yang oleh penduduk
setempat disebut Rumantak adalah bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang
terletak tidak jauh dari bukit Geger Hanjuang tempat prasasti itu ditemukan.
Disusuk berarti dikelilingi dengan parit untuk pertahanan (membangun parit pertahanan sebagai perlindungan). Berita serupa dapat kita baca dalam prasasti
Kawali dan Batutulis di Bogor.
Prasasti itu membuktikan bahwa
perjanjian Galuh tahun 739 M masih tetap dihormati. Dalam kropak.632 tokoh
Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis
dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak
630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati (sang bijaksana
atau sang budiman). Cukup unik karena pencipta ajaran tentang kesejahteraan
hidup yang harus men-jadi pegangan para raja dan rakyatnya itu adalah seorang
wanita.
Mengapa Batari Hyang membangun
parit pertahanan sebagai perlindung-an pusat pemerintahannya belum dapat dijelaskan secara memuaskan. Mungkin ia berjaga-jaga karena melihat pusat pemerintahan Kerajaan
Sunda-Galuh berada di kawasan timur atau mungkin karena sebab lain.
c.. Pelarian dari Kediri
Pada zaman (1065 - 1155 M) ada
raja kediri yang melarikan diri ke tanah sunda, karena kalah perang, yang
diungkapkan dalam Babad Galuh. Kemungkinan salah seorang cucu dari Prabu
Langlangbumi diperisteri oleh penguasa Kadiri-Janggala Maharaja Jayabuana
Ke-sanananta Wikramotunggadewa (1102 - 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja
ini hanya dua tahun memerintah karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa
Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ketatar Sunda karena permaisurinya berasal dari sini.
Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari pelarian dari Kediri dalam
Babad Galuh.
a. Perkembangan Politik di Luar Kerajaan
Sunda di Masanya
a.1. Perang
Besar Antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Sriwijaya Tahun 1103 M
Dalam naskah
wangsakerta kitab Pustaka Rājya-Rājyai Bhumi Nusāntara
diceritakan bahwa terjadi perang besar antara kerajaan Kediri an Kerajaan
Sriwijaya padatahun 1103 Saka. Perang
terjadi di laut sebelah utara tatar sunda.
Raja Kediri, Sri Gandra
yang bergelar Sri Kroncayyahanda Bhuwa(na)palaka pada tahun 1103 tahun Saka
mempunyai keinginan untuk memperluas Kerajaannya. Kemudian ia menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan
disekitarnya. Dan ia berencana untuk menaklukan Sriwijaya. Disebutkan dalam
amada lautnya yang besar berangkat beriringan menuju timur dan barat. Di
sebelah timur ia banyak mengalami kemenangan. Tetapi serangannya ke wilayah
barat, yang masih banyak dikuasai oleh Sriwijaya tersendat. Dan pertempuran
terjadi di laut sebelah utara tatar kerajaan Sunda. Einginan Raja Kediri untuk
menakluan kerajaan Sriwijaya tidak tercapai. Daan akhirnya ia pulang dengan
tangan hampa, karena serangannya dapat dihalau oleh tentara Sriwijaya.
Dan atas saran dari
kerajaan Cina, agar kerajaan Kediri dan kerajaan Sriwijaya mengakhiri
peseteruan dan melakukan perundingan untuk menjalin persahabatan pada tahun
1104 Saka. Dan perjanjian ini dilakukan di Sundapura, ibukota kerajaan Sunda.
Dan hal ini disaksikan oleh beberapa utusan dari berbagai negeri, diantaranya:
utusan dari Kerajaan Cina, utusan Kerajaan Yawana, Utusan Kerajaan Syangka,
utusan Kerajaan Singhala, utusan Kerajaan Campa, utusan Kerajaan Ghaudi, dan
beberapa utusan kerajaan dari Bumi Bharata.
IV.B.23. Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur (mp. 1155-1157 M)
Dalam Carita parahiyangan Rakeyan Jaya Giri tidak disebutkan dalam Carita
parahiyangan, karena mungkin ia hanya bertahta di wilayah kerajaan Sunda saja,
yang kekuasaanya hanya dari sungai Citarum ke barat.
Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur,
berkuasa di tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Ia hanya berkuasa sangat singkat yaitu selama 2 tahun,
karena ayahnya Prabu Langlangbumi berkuasa selama 90 tahun (di sunda), dan di
galuh selama 92 tahun. Ayahnya, Prabu Langlang Bumi menyerahkan wilayah Sunda
ke Rakeyan Jayagiri pada tahun 1155 M, sedang wilayah Galuh dan sekitarnya ia
masih pegang sendiri.
Prabu Menakluhur menikah dengan Ratna Satya, yang dijadikan permaisurinya. Dari perkawinannya, mempunyai seorang puteri, Ratna
Wisesa. Ratna Wisesa menikah
dengan Prabu Darmakusuma, cucu Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung. Dari
pernikahannya dengan Ratna Wisesa, Prabu Darmakusuma memperoleh putera,
Darmasiksa.
Karena Prabu Menakluhur dan
Mangkubumi Cakranagara meninggal pada tahun yang sama,
maka kedudukan Raja Sunda, jatuh ke menantunya, Prabu Darmakusuma. la bergelar Maharaja, karena
berkuasa atas tiga kerajaan: Galunggung, Galuh dan Sunda.
IV.B.24. Prabu
Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M)
Disiliban deui ku Sang
lumahing Winduruja, teu heubeul adeg, lawasniya ratu dalapanwelas tahun.
Dalam Carita Parahiyangan prabu Darmakusuma hanya di sebutkan tempat
meninggalnya “ Nu hilang di Winduraja” , yang berkuasa selama 18 tahun.
Prabu Dharmakusuma naik tahta Sunda ke-24,
menggantikan mertuanya. Rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur
(mp. 1154-1156 M). la bergelar Maharaja, karena berkuasa atas seluruh wilayah sunda (menguasai 3 kerajaan utama: Galunggung, Galuh dan Sunda).
Prabu Darmakusuma berasal dari Galunggung, ia merupakan cucu dari penguasa
Galunggung, Batari Hiyang Janapati. Ia menikah dengan putri dari Raja Sunda,
Prabu Menak Luhur, yang bernama Ratnawisesa. Dari perkawinannya ia memperoleh
anak yang bernama Sang darmasiksa, yang dikemudian hari menggantikannya sebagai
raja.
IV.B.25. Prabu
Darmasiksa (mp. 1175-1297 M)
Disilihan deui ku Sang
Rakéyan Darmasiksa, pangupatiyan Sanghiyang Wisnu, inya nu
nyieun sanghiyang
binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang
resi, ti sang disri, ti
sang tarahan, tina parahiyangan.
Ti naha bagina?
Ti sang wiku nu
ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghiyang Darma ngawakan
Sanghiyang Siksa.
Lawasniya ratu saratuslimapuluh tahun
Prabu
Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja
Tarusbawa. Dalam naskah wangsakerta kitab Pustaka Rājya-Rājya i Bhumi Nusāntara,
disebut Prabu Ghuru Darmasiksa dengan gelar Prabu Sanghyang Wisnu atau disebut juga Sang Paramārtha Mahāpurusa
Ia
naik tahta menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), yang
berkedudukan di Pakuan.
Prabu
Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang
menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan ia
memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut
angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan,
setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa
pemerintahannya.
Ia
naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri
Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya
kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M.
IV.B.25.a. Keluarga
Prabu
Darmasiksa beristrikan putri dari Sriwijaya (Swarnabhumi),
keturunan Maharaja Sanggramawijayottunggawarman yang sudah turun temurun. Dari
perkawinannya dengan putri Swarnabhumi Raja Sunda berputera beberapa orang, dua
orang di antaranya masing-masing yaitu,
·
Rakryan Jayagiri atau Rakryan Jayadarma
·
Rakryan Saunggalah atau sang Prabhu
Ragasuci kemdian disebut sang Mokteng Taman.
IV.B.25.a.1. Rakryan
Jayagiri atau Rakryan Jayadarma
Rakryan Jayadarma menikah
dengan keluarga Prabhu Jayawiçnuwardhana dari kerajaan Singashari, yaitu Dewi
Singhamurti, yang merupakan putri dari Mahisa Campaka. Dalam naskah Wangsakerta Dewi
Singhamurti itu namanya Dyah Lembu Tal.
Dari perkawinannya
dengan Dewi Singhamurti, Rakeyan Jayadarma mempunyai anak yang bernama Sang Nararya Sanggramawijaya. Yang
dikemudian hari menjadi pendiri dan raja pertama Wilwatikta atau kerajaan Majapahit, dengan
gelar Kretarajasa Jayawardana atau Rahadyan Wijaya.
Rakryan Sunu Jayagiri
Sang Jayadarmma tidak pernah menjadi Raja Sunda karena ia meninggal masih muda
(ayahnya masih hidup). Karena itu, Dewi Singhamurti dengan putranya yaitu Raden
Wijaya waktu masih kanak-kanak kembali ke negeri asalnya hidup bersama
mertuanya yaitu Mahisa Campaka di Singashari.
Diceritakan bahwa
ketika Raden Wijaya menginjak remaja, ia sangat pandai, mahir dalam segala
ilmu, mahir memanah dan mahir dalam ilmu kenegaraan serta ilmu yang lainnya.
Karena Raden Wijaya tinggal di keraton Singhasari bersama
saudaranya yaitu Prabu Kretanagara, serta dia selalu belajar kepada beberapa menteri
dan senapati, sang prabu, dan orang-orang yang mahir dalam ilmu pengetahuan.
Karena itu, ketika Prabhu Kretanagara menjadi raja Singashari, Raden Wijaya
dijadikan senapati angkatan perang Singhasari.
IV.B.25.a.2. Rakryan
Ragasuci
Rakryan Ragasuci
menikah dengan Darapuspa, putri Maharaja
Trailokyaraja Maulibhuçanawarmmadewa, Raja Melayu Dharmaçraya. Sedang kakaknya
Darapuspa yaitu Darakencana menjadi istri Prabhu Kretanagara dari Singashari.
Dan kakandanya Darakencana yaitu Tribhuwanaraja Mauliwarmmadéwa dijadikan
rajamuda pada waktu itu juga. Kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan
ayahnya.
Adapun perkawinan Sang
Prabu Ragasuci dengan puteri Melayu Darapuspa berputera beberapa orang, salah
satu di antaranya Sang Prabu Citraghanda Bhuwanaraja, yang menggantikan ayahnya
yaitu Sang Prabu Ghuru Dharmasiksa menjadi raja Sunda.
IV.B.25.b. Pesan sang Raja Prabu Darmasiksa
kepada Cucunya, Raden Wijaya
Waktu pertama mulai
Raden Wijaya menjadi raja Wilwatikta, mertuanya yaitu Sang Prabu Ghuru
Dharmasiksa sudah berpesan kepada cucunya, “janganlah kamu memaksakan kehendak
atau ingin menyerang dan menguasai Bumi Sunda, karena sudah dikelilingi oleh
saudaramu nantikalau aku sudah meninggal. Karena negaramu sudah besar, aman,
dan sentosa. Aku tahu keutamaan cucuku dalam keunggulan dan kemenangan atas
musuhmu, nanti engkau akan menjadi raja besar. Itu adalah takdir dari Hyang
Tunggal yang sudah menjadi suratannya. Seyogyanya Kerajaan Jawa dengan Kerajaan
Sunda saling berdekatan erat, bekerja bersama-sama, saling mengasihi di antara
saudara! Karena itu janganlah saling menyerang kekuasaan kerajaan
masing-masing, sehingga menjadi baik, selamat, dan sejahtera! Jikalau Kerajaan
Sunda mendapat kesusahan, Wilwatikta sedapat-dapatnya memberikan bantuan,
demikian juga Kerajaan Sunda kepada Wilwatikta!” Kemudian amanat Sang Prabu
Ghuru Darmasiksa selalu ditaati oleh Raden Wijaya dengan setia, serta menepati
janjinya.
Demikianlah, sejak
berdiri Kerajaan Wilwatikta sampai pada enam puluh tahun Kerajaan Sunda dengan
Kerajaan Wilwatikta senantiasa rukun bersaudara, tidak pernah ada permusuhan,
tidak pernah terjadi penyerangan antara Sunda dan Jawa. Kelak dengan perbuatan
tercela yang dilakukan oleh sang Patih Amangkubhumi Ghajah Madalah hancurnya
persaudaraan antara orang Sunda dengan orang Jawa.
Pada permulaan Raden
Wijaya menjadi raja, di Kerajaan Sunda yang menjadi raja adalah sang Prabu Guru
Darmasiksa, yang bertahta pada seribu sembilan puluh tujuh (1097) sampai seribu
dua ratus sembilan belas (1219) Tahun Saka. Kemudian digantikan oleh puteranya
yaitu Prabu Ragasuci,
yang memerintah selama enam tahun. Raja Sunda Prabu Ragasuci adalah saudara
Raden Wijaya. Oleh sebab itu raja Wilwatikta pertama yaitu keturunan bangsawan,
karena dari pihak ayahnya dia adalah cucunda Prabu Ghuru Darmasiksa yaitu raja
Sunda dari ibunya. Dia adalah cucu dari Ratu Angabhaya (Pelindung). Kerajaan di
Bumi Jawa Timur. Sedangkan saudaranya yaitu Sri Maharaja. Kretanagara menjadi
raja besar di Bumi Nusantara. Selanjutnya Raden Wijaya telah membuat perjanjian
yaitu perjanjian persaudaraan dengan semua raja-raja daerah di Bumi Jawa Barat
karena mereka semua satu keluarga. Lebih-lebih Raja Sunda sang Prabhu
Dharmasiksa adalah mertuanya, Raden Wijaya senantiasa menghormati dan
mempersembahkan hadiah benda-benda berharga kepada ayahnya. Kemudian sang Prabu
Ghuru memberkati cucundanya. Pada masa sang kakek Sanggramawijaya menjadi. Raja Wilwatikta, di antara kerajaan-kerajaan
di Bumi Nusantara saling bersahabat dengan erat seakan-akan bersaudara.
Akhirnya Kerajaan Wilwatikta dijadikan kerajaan luar biasa di Bumi Nusantara.
Setiap negara mengirimkan utusannya,
tinggal di negara sahabatnya.
Kelak oleh Patih Amangkubhumi
Ghajah Mada semua sahabat Kerajaan Wilwatikta dijadikan taklukan Wilwatikta.
Negeri yang tidak mau takluk kemudian dibuatnya bertekuk lutut. Tetapi tidak
semua negeri di Bumi Nusantara takluk
kepada Kerajaan Wilwatikta. Semenjak Kerajaan Melayu takluk kepada Kerajaan
Sriwijaya lama antaranya. Tetapi setelah itu Kerajaan Singhasari kemudian
menyerang Swarnabhumi, dan Kerajaan Sriwijaya sendiri tidak kuat menahan
serangan dari balatentara Singhasari. Bukankah Sri Kretanagara menjadi menantu
Raja Melayu.. Karena itulah Kerajaan Singhasari menjadi pemimpin Kerajaan
Melayu. Sedangkan balatentara Sriwijaya melarikan diri ke utara. Kemudian
sesudah itu Sri Kertanagara mangkat, di Swarnabhumi berdirilah
kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masingberkuasa sebagai. kerajaan merdeka.
Terutama di Swarnabhumi
bagian utara beberapa kerajaan Islam berdiri, yang menurut kabar berada di tepi
pantai. Salah satu di antaranya ialah kerajaan Islam yang bernama Kerajaan
Paseh di daerah Swarnabhumi bagian
utara. Rajanya disebutsultan karena agamanya Islam.Sultan Paseh yaitu Al Malik
Assaleh nama gelarnya. Beliau menjadi Raja Pasai lamanya dua belas tahun, yaitu
pada seribu dua ratus tujuh (1207) Tahun
Saka hingga pada seribu dua ratus sembilan belas (1219) Tahun Saka. Sesudah
beliau mangkat, kemudian digantikan olehputeranya yaitu Sultan Muhammad Al
Malik Al Jahir namanya. Beliau menjadi sultan selama dua puluh delapan tahun,
yaitu pada seribu dua ratus sembilan belas (1219) Tahun Sakahingga seribu dua
ratus empat puluh tujuh (1247) Tahun Saka.Kemidian digantikanoleh puteranya
yaitu Sultan Ahmad dengan bergelar Sultan Ali Jainal Abiddin Al Jahir, dan
seterusnya.
IV.B.25.c. Amanat galunggung
Prabu darmasiksa
merupakan tokoh utama dalam memberikan nasehat nasehat pada naskah Amanat Galunggung.
Awignam astu. Nihan tembey sakakala Rahyang
Ba/n/nga, masa sya nyusuk na Pakwan makangaran Rahyangta Wuwus, maka manak Maharaja
Dewata, Maharaja Dewata maka manak Baduga Sanghyang, Baduga Sanghyang maka
manak Prebu Sanghyang maka mank Sa(ng) Lumahing rana, Sa(ng) Lumahing rana maka manak
Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang (maka manak) Sa(ng)
Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang maka manak Rekéyan
Darmasiksa. Darmasiksa siya ngawarah anak öncu umpi cicip muning anggasa(nta)na
(kulasantana) pretisantana wit wekas kulakadang sakabeh, nguniwéh sapilancökan, mulah
pabwang³) pasalahan paksa, mulah paködöködö, asing ra(m)pes, cara purih,
turutan mulah ködö di tinöng di maneh, isos- isökön carekna patikrama,
jaga kita dek jaya prang ta(n)jor juritan tan alah kuréya, musuh ti dara(t) ti
laut, ti barat ti timur sakuriling désa, musuh alit, musuh ganal
mu(ng)ku kahaja urang miprangkön si tepet, si bener,si duga,si twarasi, mulah
sida döng kulakadang, mulah munuh tanpa dwasa, mulah ngarampas
tanpa dwasa, mulah midukaan tanpa dwasa, mulah nenget a(s)tri sama astri, mulah
nenget hulun sama hulun, jaga dapetna pretapa dapetna pegengön sakti, bönangna
(ku4) Sunda, Jawa, La(m)pung, Baluk, banyaga nu dék ngarebutna
kabuyutan na Galungung, asing iya nu mönangkön kabuyutan na Galunggung, iya
sakti tapa, iya jaya prang, iya höb nyéwana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya
ta supagi katinggalan rama-resi5), lamun miprangköna kabuyutan na
Galunggung, a(n)tuk na, kabuyutan, awak urang na kabuyutan , nu löwih diparaspade,
pahi döng na Galunggung, jaga bönangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku
Lampung, ku sakalian , muliyana kulit di jaryan, madan na
rajaputra, antukna boning ku sakalaih, jaga rang a(ng)gos dihélwan, munuh tanpa
dwasa, ngajwal tanpa dwasa, nguniwéh tan bakti di sang pandita di puhun di
manéh, na carita boning ku sakalih ngaranya, na kabuyutan, jaga hamo isös di
mullah di pamali di manéh, mulah kapuhan dina musuh ganal bala (boning)
dila(n)can, musuh alit mwa boning ditambaan, jampé mwa matih, mangmang
sasra tanpa guna, patula tawur tan mretyaksa ku padan ngalalwan sipat galeng
mgalalwan siksa nu kwalwat, kwaywa nguha di carék aki lawan buyut, upadina
pa(n)day bösi panday omas, memen paraguna, hamba lawak, tani gusti, lanang wadon,
nguniwéh na raja puta – ködö di tinöng di manéh hamo ngadéngé carék i(n)dung
lawan bapa, hamo ngadéngé carék na patikrama wwang ködöanakéh, upadina kadi
tungtung halalang sategal kadi a(ng)gerna puncak ing gunung, sapa ta wruh ri
puncaknya, asing wruh iya ta wruh inya patingtiman, wruh di carék aki lawan
buyut, marapan kita jaya prang höböl nyéwana, jaga kita miprangkön si tepet si
bener, si duga si twarasi, iya tuhu sirena janma (d)ina bwana iya kahidupanana
urang sakabéh, iya pawindwan ngaranya kangken gunung panghiyangana urang,
pi(n)dah ka cibuntu ngaranya, pindah ka l(e)mah pamasarran
, gosana wwang ngéyuhan kapanasan, jaga rampésna agama, hana kahuripana urang
sakabeh, mulah kwaywa moha dicarékna kwalwat pun. Ujar Rekéyan Darmasiksa,
ngawarah urang sakabéh, nyaraman Sa(ng) lumahing Taman, sya Rekéyan Darmasiksa,
maka manak Sa(ng) Lumahing Taman, patemwan döng ti Darma-agung, aya mangsesya
patemwan don ti sisima pun. Makangaran San Raja Purana, carek Sang Raja Purana,
ah ra(m)pes6) carek dewata kami, sya Rekeyan Darmasiksa pun. Jaga
diturutan ku na urang reya, marapan atis ikang desa, sang prabu enak alungguh,
sang rama enak emangan, sang disi jaya prang, jaga isos di carek nu kwalyat,
ngalalwakon agama nu nyusuk na Galunggung, marapan jaya pran jadyan tahun,
hobol nyewana, jaga makeyana patikrama, paninggalna sya seda, jagat daranan di
sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu, haywa
paalaala palungguhan, haywa paalaala pamonang, haywa paalaala demakan, apan
pada pawitanya, pada mulianya, maka pada mulianya, ku ulah ku sabda, (ku)
ambek, si niti si nityagata, si aum, si hööh si karungrungan, ngalap kaswar semu
guyu/ng/ téjah ambek guru 7) basa, dina uran sakabéh, tuha
kalawan anwam, mulah majar kwanta, mulah majar lak(s)ana, mulah
madahkön pada janma, mulah sabda ngapus, iya pang jaya prang höböl nyewana
ngaranya, urang ménak maka rampés agama, haat héman dina janma, mana urang
ka(n)del kulina, mana urang dipajarkön ména(k) ku na rama, carék na patikrama,
na urang lanang wadwan, iya tuwah iya tapa, iya tuwah na urang, gwareng twah
gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampés twah waya tapa, apana urang ku twah
na mana bö(ng)har ku twah na mana waya tapa, na maka muji sakalih ja ku tapa,
na muji manéh kéh onam sugan ku ra(m)pés na twah mana bönghar, na maka nyösöl
sakalih ja urang hantö tapa, nyösöl manéh kéh onam, sugan tu gwaréng na twah
mana burungna na tapa, hamwa karampes lamu(n) dipindaha(n) na
twah, jaga dipéda ku sakalih, hamwa karampés na(m)bahan twah ja rang dipuji ku
/suku/ sakalih, si cangcingan si langsitan si paka, si rajön-lökön, si
mwa-surahan si prenya, si paka maragwalragwal, purusa ém ét imöt rajön-lökön
pakapradana, iya bisa ngaranya, titis bö(ng)har waya tapa kitu tu
rampes twah na ménak, jaga isös di carék nu kwalwat, di puhun di manéh, maluy
swarga tka /t/ing kahyangan Batara Guru, lamun tepet bener di awak di manéh tu
(u)cap na urang kahaja bwat si mumulan, si ngödöhan, si bantölö, dungkuk peruk,
supenan, jangkelék, rahéké, mémélé, bra/h/hélé, sélér twalér, hantiwalér, tan bria,
kuciwa, rwahaka, jangjangka, juhara, hantö di kabisa, luhya mumulan , mo
tö(ng)töing, manggahang, bara/ng/- hual, nica mreswala, kumutuk pregutu, surahana,
sewekeng, pwapwarosé, téréh kasimwatan, téréh kapidéngé ,mwa teteg di carék
wahidan, sulit rusit, rawa-ja papa, katang-katang di kalésa di kawah ma ku Sang
Yamadipati, atma cumunduka ring ywaga tiga, mangrupa janma, maka jadi neluh,
mulana mumulan sangkana réya kahayang, hantö di imah di maneh,7)
ménta twah ka sakalih, méntaguna ka sakalih, hantö dibéré ksel hatinya, jadi
nelu(h), pamalina iya dwakan iya jangjitan ngaranya, kajajadiyana na urang hiri
paywagya di nu bener, na twahra(m)pés dina urang, agamani(ng) paré,ma(ng)sana
jumarun, telu daun, ma(ng)sana dioywas, gedé paré, ma(ng)sana bulu irung,
bökah, ta karah nunjuk lang/ng/it,tanggah ta karah, kasép nangwa tu iya
ngaranya, umösi ta karah lagu tu(ng)kul, harayhay asak, tak karah ca(n)d ukur,
ngarasa maneh kaösi, aya si nu hayang,daék tu make hurip na urang réya,
agamaning paré pun. Lamun umisi tanggah, harayhay tanggah, asak tanggah, hapa
ngarana, pahi döng ayöh ngarana, hantö alaönana, kitu tu agama dina urang réa;
ngarasa manéh imah kaösi, löit kaösi (da)yöh kaösi dipaké sikara dipaké
simangké, dipaké hulangga, mwa kabita na paré téya kéna hantö alaönana, hantö
turutanönana, na urang r(é) ya sarwadöng ayöh ngawara ngarana, mwa karampés,
jaga rang téoh twah, bwa tu höböl nyéwana pun. Lamun héman dinu karwalwat, jaga
rang éwéan, jaga ngara(m)pas, jaga ngasupkön
hulun, ja rang midukaan, nanya ka nu karwalwat, mwa téo(h) sasab na agama pun,
na sasana bwat kwalwat pun, Hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana
mangké, aya ma böhöla aya tu ayöna, hantö ma böhöla hantö tu ayöna, hana
tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu
catangna, (hana guna) hana ring demakan, tan hana guna tan hana
ring demakan, galah dawa sinambung/ng/an tuna, galah cöndök tinug(e)lan tka,
a(n)tukna karah na urang ngarasa manéh hantö tapa lalo tandang marat nimur,
ngalwa(r) ngidul réya kahayang, réya gösan mangkuk, bogoh pi(n)dah, réya agama,
réya patingtiman, pipirakan, ider-ideran, bwaga di kuras hayang r(é)ya hulun mu(ng)ku
kasorang ja urang hanto tapa, salah paké urang ménak, na gusti, na panghulu, na
wiku sakabéh salah paké, na raja sabwana salah paké, böki awor-awur
tanpa wastu ikang bwana, carék Rekéyan Darmasiksa surung réya gösan mangkuk
höwöng kénéh mo réya éwé, surung pritapa soné, höwöng kénéh hatö tapa, mu(ng)ku
kasorang ja urang hantö tapa, kéna hantö dika-bisa hantö dikarajöna, ja ku
ngarasa man éh gwaréng twah karah dipi(n)dah/h/an ku na urang hamo tu
galah dawa sina(m)bungan tuna ngarana, nu pridana, nu takut sapa,
nurut dina ménak, di gusti panghulu, réya kabisa, prijnya, cangcingan, gapitan,
iya galah cöndök tinugelan t(é)ka ngarana, hatina tö 8) burung/ng/
ön tapa kitu ma na urang pun. Ku na urang ala lwirna patanjala, pata ngarana
cai, jala ngarana (a)pya, hantö ti 9) burung/ng/ ön tapa
kita lamuna bitan apwa teya, ongkoh-ongkwah dipilalwaön di manéh, gena(h) dina
kagölisan, mulah kasimwatan, mulah kasiwöran ka nu miburung/ng/an tapa, mulah
kapidéngé ku na carék gwaréng, ongkwah-onhkoh di pitinöng/ng/ön di manéh, iya
ra(m)pes, iya gölis……..
(Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan1) Rahiyang
Banga, ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan,2)bernama
Rahingta Wuwus, maka (ia) berputera Maharaja Dewata berputera Baduga
Sanghiyang, Baduga Sanghiyang berputera Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang
berputera Sang Lumahing rana3), Sang Lumahingrana berputera Sang
Lumahing Winduraja, Sang Lumahing Winduraja berputera Sang Lumahing
Tasikpanjang, Sang Lumahing Tasikpanjang berputera Sang Lumahing Ujung
Kembang, Sang Lumahing Ujung Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa. Darmasiksa,
ia menasihati anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip(turunan ke-4), muning
(turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6), kulasantana (turunan ke-7),
pretisantana (turunan ke-8), wit wekas4) (turunan ke-9),
sanak-saudara semuanya, demikian pula saudara-saudara kandung.
Jangan benterok (karena) berselisih maksud, jangan saling berkeras:
hendaknya rukun (dalam) tingkah laku (dan) tujuan. Ikuti, jangan (hanya)
berkeras pada keinginan diri sendiri (saja). Camkanlah ujar patikrama,5)
bila kita ingin menang perang, selalu unggul berperang, tidak (akan) kalah oleh
(musuh) yang banyak: musuh dari darat dari laut, dari barat dari timur di
sekitar negeri; musuh halus, musuh kasar.
Jangan dengan sengaja kita memperebutkan: yang lurus. Yang benar, yang
jujur, yang lurus hati. Jangan berjodoh dengan saudara, jangan membunuh yang
tak berdosa, jangan merampas (milik) yang tak bersalah, jangan menyakiti yang
tak bersalah; jangan saling curiga/sesali antara wanita/isteri, jangan saling
curiga antara hamba dengan hamba.
Waspadalah. kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan, kekuasaan)6)
dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung, Ba-
luk, para pedagang (orang asing) yang akan merebut kabuyutan7)
di Galunggung. Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan
memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama
Berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu
bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi,8)
Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke
kabuyutan, bertahanlah9) kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih
(sulit dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah
terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh
yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah dari pada
rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain.10)
Ikutilah terus (pantangan-pantangan) yang telah ditaati, (yaitu) membunuh
(yang) tak berdosa, memarahi11) (yang) tak bersalah, demikian pula
tidak berbakti kepada pendeta dan leluhur12) kita sendiri dalam
peristiwa dapat direbutnya kabuyutan oleh orang lain13 )
Hindarkan sikap tidak mengindahkan cegahan dan pantangan diri sendiri,
jangan bingung menghadapi musuh ksar; lascar (musuh) dapat dilawan, sebaliknya
musuh halus tidak dapat diobati. Jampi tidak akan mempan, sumpah (kutukan)
seribu (kali) tak akan berguna, ibarat tawur (kurban) yang tidak terlaksana
oleh perbuatan melampau batas (garis) pematang (aturan), mengabaikan aturan
dari leluhur (orang tua), luput menyadari ucapan kakek dan buyut.
Bandingannya: pandai besi dengan pandai emas, dalang dengan penabuh
gamelan, hamba dengan majikan, petani dengan pemilik tanah, laki-laki dengan
perempuan, demikian pula raja dengan upeti (persembahan). Berkeras kepada
keinginan sendiri tidak mendengar nasihat ibu dan bapak, tidak mengindahkan
ajaran patikrama, itulah contoh orang yang keras kepala; ibarat pucuk
alang-alang yang memenuhi tegalan, ibarat tetapnya puncak gunung. Si-
Apa yang mengetahui puncaknya? Siapa pun yang mengetahuinya, ya tahulah
akan ketentraman, tahu akan nasihat kakek dan buyut, agar kita unggul perang
dan lama berjaya.
Janganlah kita memperebutkan (bertengkar) tentang: yang tepat (lurus),
yang benar, yang jujur, yang lurus hati; ya sungguh-sungguh tenteram manusia di
dunia, ya kehidupan kita semua, ya ketenteraman namanya ibarat gunung
kahiyangan (bagi) kita, beralih ke telaga (bening) namanya, beralih ke tanah
pusara, tempat orang berteduh dari kepanasan.
Pelihara kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua, jangan
luput atau bingung terhadap ajaran para leluhur (orang tua).
(Itulah) ujar Rakeyan Darmasiksa, menasihati kita semua,
mengajari Sang Lumahing Taman. Ia, Rakean Darmasiksa berputera Sang Lumahing
Taman dan perkawinannya dengan wanita dari Darma Agung pernah ia pun me-
nikah dengan orang desa. (Putranya) bernama Sang Raja Purana. Kata Sang
Raja Purana, ah sempurna, sempurna ajaran ayahku suwargi,14)
dia Rakeyan Darmasiksa.
Peliharalah agar tetap ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram seluruh negeri, raja tenteram bertahta, sang rama tenteram menghimpun bahan makanan,15) sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung,16) agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman,17) lama berjaya panjang umur, sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi. Dunia kemakmuran,18) tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu. Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya,19) sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalahlah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad:
Peliharalah agar tetap ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram seluruh negeri, raja tenteram bertahta, sang rama tenteram menghimpun bahan makanan,15) sang disi unggul perangnya. Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung,16) agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman,17) lama berjaya panjang umur, sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi. Dunia kemakmuran,18) tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan tanggung jawab sang prabu. Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya,19) sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalahlah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad:
yang bijaksana yang elalu berdasarkan kebenaran, yang bersifat hakiki,20)
yang sungguh-sungguh,21) yang memikat hati,22) suka
mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara. Bagi kita semua, tua
dan muda, jangan berkata berteriak, jangan berkata menyindir-nyindir, jangan
menjelekkan23) sesama orang, jangan berbicara mengada-ada,24)
agar unggul perang dan lama berjaya namanya.
Kita merasa senang,25)
maka sempurnalah agama, kasih-sayang kepada sesama manusia, maka kita dianggap26)
bangsawan,27) maka kita dikatakan orang mulia28) oleh
sang rama.
Menurut ajaran dalam patikrama,
bagi kita, laki-laki dan perempuan, ya beramal ya bertapa; itulah perbuatan
kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang
tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Ada pun kita ini, karena
amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula dapat berhasil tapa kita. Maka
orang lain akan memuji tapa kita,29) maka puji sajalah diri sendiri,
(katakan:) barangkali karena
sempurna amal maka menjadi kaya. Bila disesali oleh orang lain karena kita
tidak melakukan tapa, sesali sajalah diri sendiri, (katakan:) barangkali karena
beramal buruk maka tapa kita menjadi batal. Percuma (tidak akan diterima) jika
amal itu dihilangkan (tidak dilakukan) karena takut dicela oleh yang
lain; percuma kita menambah30) amal bila mengharapkan dipiji oleh
orang lain. Sebab si cekatan, si terampil, si tulus-hati, si rajin-tekun, si
tawakal, si bersemangat, perwira, cermat, teliti, rajin, tekun, penuh
keutamaan,31) ya berkemampuan namanya, benar-benar32)
kaya dan berhasil tapanya. Begitulah kesempurnaan amal orang mulia.
Terus camkanlah ujar orang-orang tua, ujar
leluhur kita sendiri (agar) masuk surga tiba di kahiyangan Batara Guru, bila
kejujuran dan kebenaran ada pada diri kita sendiri. Itu dikatakan kita
menyengaja (berbuat baik). Un-
tuk si pemalas, si keras-kepala, si pandir, pemenung, pemalu, mudah
tersinggung,33) lamban, kurang semangat, gemar tiduran,34)
lengah, tidak tertib,35) mudah lupa, tak punya keberanian,36)
kecewa, luar biasa, sok jago, juara (jagoan), (tetapi) tak berkepandaian,
selalu mengeluh, malas, tidak bersungguh-sungguh, pembantah, penempelak, )
selalu berdusta, bersungut-sungut, menggertu, mudah bosan, segan mengalah,
ambisius, ) mudah terpengaruh, mudah percaya kepada omongan orang(tanpa
disaring dahulu), tidak teguh memegang amanat, ) sulit, rumit (mengesalkan) )
aib, nista.
Mayat-mayat pada lubang kawah (neraka) (dikuasai) oleh Sang Yamadipati.
Arwah berdatangan dalam tiga periode, berupa manusia, maka jadi mengeluh,
asal-mula jadi mengeluh (karena) malas pada hal banyak keinginan, tidak
tersedia di rumahnya, meminta belas-kasihan kepada orang lain, meminta
Kebajikan kepada orang lain. (Bila) tidak kesal hatinya, jadi mengeluh.
Tercela, (karena yang demikian itu) ya seperti air di daun talas, plin-plan
namanya. Akibatnya kita mengiri akan keutamaan orang yang benar.
Ada pun amal yang sempurna pada diri kita (adalah) ilmu padi: pada saat
bertunas (sebesar jarum), keluar daun (tiga daun), saat disiangi, tumbuh
dewasa, keluar kuncup (seperti bulu hidung), mekar buah, ya menunjuk langit, ya
menengadah; indah tampang41) namanya. Setelah berisi tiba saat42)
mulai merunduk, menguning masak ya makin runduk, karena merasa diri telah
berisi.
Bila ada yang mau dan bersedia (berbuat) demikian, maka kehidupan
orang banyak akan seperti peri-laku padi. Bila saatnya berisi (tetap) tengadah,
saat menguning (tetap) tengadah, saat masak (tetap) tengadah, hampa namanya.
Lain dengan yang disebut (padi) rebah-muda, sebab nihil hasilnya,43)
Demikianlah peri-laku orang banyak; karena merasa rumah telah lengkap (terisi),
lumbung telah teri-
si, negeri44) telah ramai isinya, dijadikankekayaan,45)
dijadikan persediaan,46) dijadikan perhiasan.47) Tidak
akan ada yang mengingini padi itu, karena tak dapat dipetik hasilnya, tak ada
yang patut ditiru.
Maka orang banyak sama dengan rebah-muda namanya. Janganlah kita berwatak
rendah,48) pasti tak akan lama hidup. Bila kita menyayangi orang-orang
tua, hati-hatilah memilih istri, hati-hatilah memilih jodoh,49)
hati-hatilah memilih hamba, agar jangan menyakiti hatinya.
Bertanyalah kepada orang-orang tua, (niscaya) tidak akan hina tersesat
dari agama, yaitu hukum buatan leluhur. Ada dahulu ada sekarang,50)
Tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila
tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tidak
ada pokok kayu tidak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada catangnya;51)
ada jasa ada anugerah, tidak ada
jasa tidak akan ada anugerah. Galah panjang disambung batang,52)
galah tusuk dipotong runcing.53)
Akhirnya malah, kita merasa tidak melakukan amal baik. Lalu berkelana, ke
barat ke timur, ke utara ke selatan, banyak tempat tinggal (rumah), senang
berpindah-pindah, banyak tanam-tanaman,54) banyak tempat
peristirahatan, perhiasan perak,55) bertualang, senang (memelihara)
ternak,56) ingin banyak hamba. Tidak akan terlaksana, karena kita
tidak beramal (berkarya) baik.
Salah tindak para orang terkemuka, ya pemilik tanah, ya penguasa, ya
pendeta, semuanya salah tindak,57) ya bahkan raja seluruh dunia
salah tindak. Makin semrawut tanpa kepastian dunia ini. Kata Rakeyan
Darmasiksa: urung memperoleh rumah banyak, lebih baik58) jangan
beristri banyak; urung bertapa mencapai kesucian diri, lebih baik jangan
bertapa.
Tak akan terlaksana, karena kita tidak berkarya, karena tidak memiliki
keterampilan, tidak rajin, karena merasa diri berbakat buruk, malah lalu
kita jauhi,59) percuma saja, (ibarat) galah panjang disambung batang
namanya.
(Mereka) yang utama, yang takut akan kutukan, taat kepada orang-orang
mulia, kepada pemilik tanah dan penguasa, banyak memiliki keterampilan, cerdas,
cekatan, terampil, ya (ibarat) galah tusuk dipotong runcing namanya. Tidaklah
mengurungkan (menyia-nyiakan) amal-baik mita bila demikian halnya.
Kita tiru wujud patanjala; pata berarti air, jala berarti sungai. Tidak
akan sia-sia amal baik kita, bila (kita) meniru sungai itu. Terus tertuju60)
kepada (alur) yang akan dilaluinya, senang akan keelokan, jangan mudah
terpengaruh, jangan mempedulikan61) (hal-hal) yang akan menggagalkan
amal-baik kita; jangan mendengarkan (memperhatikan) ucapan yang buruk, pusatkan
perhatian kepada cita-cita (keinginan) sendiri. Ya sempurna, ya indah,....)
PRABU DARMASIKSA
(mp. 1175-1297 M)
Dalam bagian ini
Rakean Darmasiksa lah yang banyak diungkapkan tentang kelebihannnya,“ ......Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya
eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. Nu ngajadikeun
para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina
parahiangan.“Tina naon berkahna?” Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu
Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.”
Rakeyan Darmasiksa atau
Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan
Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa. Ia naik tahta tahun 1175 M menggantikan
ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), dengan gelar Prabu Guru
Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa atau Sang Prabu Sanghyang Wisnu. la memerintah seluruh wilayah sunda (termasuk Galuh, galuggung dan
Saunggalah). Pada awalnya beribukota di Saunggalah (Kuningan), tetapi kemudian ibukotanya dipindahkan ke Pakuan (bogor)
pada tahun 1187 M.
Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu
Dharmasiksa merupakan titisan
(jelmaan) Dewa Wisnu karena kebbajikannya. Ia mendirikan panti pendidikanna (Binajapanti) dan sejumlah kabuyutan (tempat suci-keramat).
Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi setiap golongan, baik untuk para
sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi), para dukun (sang disri), para
biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan), dan para leluhur (parahiyangan).
Prabu Darmasiksa mempunyai 3 orang isteri, yaitu:
· Puteri
Saungggalah, memperoleh putera: Rajapurana, lahir tahun 1168 Masehi
· Puteri
Darmageng, memperoleh putera, di antaranya Ragasuci yang bergelar Rahiyang
Saunggalah
· Puteri
Swarnabumi (Sumatera) turunan penguasa Sriwijaya, memperoleh putera,
Rahiyang Jayadarma. Rahiyang Jayadarma berjodoh dengan Dewi Naramurti,
yang bergelar Dyah Lembu Tal, puterinya Mahisa Campaka, penguasa dari kerajaan Singasari. Dari perkawiannya memperoleh putra yang bernama rakeyan Wijaya atau raden
Wijaya, yang dikemudian hari dikenal sebagai pendiri kerajaan majapahit.
a. Masa Kekuasaannya
Prabu Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang
menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan ia
memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122
tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya
ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.
Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri
Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya
kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M
b. Sebelum Menjadi raja Sunda
Sebelum menjadi raja sunda, Prabu darmasiksa pada awalnya menjadi penguasa di
Saunggalah (Kuningan) selama 12 tahun, mewakili mertuanya.
Karena ia kawin dengan putri raja saunggalah.
Pada awalnya ia berkuasa di Saunggalah I (Kuningan), tetapi kemudian
memindahkannya ke Saunggalah II, di daerah Tasik sekarang. Menurut kisah
Bujangga Manik yang di tulis pada abad ke15 M, lokasi lahan tersebut terletak
di daerah tasik selatan sebelah barat.
Sebagai pangeran, putra, Prabu darmakusuma raja Sunda, ia kemudian
naik tahta Sunda menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1175 M.
Ia berkuasa sebagai raja Sunda dan berkedudukan di Pakuan, sedang di
Saunggalah kemudian digantikan oleh putranya, Prabu ragasuci.
Disebutkan bahwa Rakeyan darmasiksa merupakan penjelmaan dari ’Patanjala
sakti’, yang semula menjadi penguasa wilayah Saunggalah (Kuningan)
Di Saunggalah ia termasuk penguasa yang berhasil, berkat kepemimpinannya yang
bijak serta mampu ’ngertakeun urang rea’ (mensejahterakan kehidupan rakyat
banyak).
c. Hubungannya dengan pendiri Majapahit, Raden Wijaya
Pabu Darmasiksa memiliki putra mahkota yang bernama Rakeyan Jayadarma, yang
berkedudukan di Pakuan. Rakeyan jayadarma
mempunyai istri yang bernama Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal, putri
Mahisa Campaka dari kerajaan Singasari.
Dari perkawinan
dengan Dyah Singamurti ini ia mempunyai anak yang bernama Sang Nararya
Sanggramawijaya, atau lebih terkenal dengan nama Rakeyan Wijaya, yang lahir di Pakuan (Dalam Sejarah
Jawa Timur, Rakeyan Wijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Wijaya). Karena
Jayadarma meninggal di usia muda, Lembu Tal tidak betah di Pakuan,
akhirnya minta pulang ke Singasari / ke Tumapel Jawa Timur, sambil membawa anaknya. Setelah
dewasa, Rakeyan Wijaya alias Raden Wijaya, diangkat menjadi Senapati Kerajaan
Singhasari. Kelak, ia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Wilwatikta atau Kerajaan
Majapahit.
Dengan meninggalnya Jayadarma mengosongkan kedudukan putra mahkota.
Karena anak dari Jayadarma, Raden Wijaya berada di negeri Singasari (jawa
Timur), maka tahta Sunda jatuh ke tangan adik dari Jayadarma, Prabu Ragasuci.
Karena itu dalam babad tanah jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden
Wijaya ini disebut pula Jaka susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari
Pasundan). Raden wijaya sebenarnya merupakan pewaris tahta sunda yang ke-27,
tetapi karena berada di Singasari, tahta jatuh ke tangan pamannya, (adik
Jayadarma), Prabu Ragasuci.
d. Nasehat Prabu Darmasiksa Terhadap Raden Wijaya
Prabu Darmasiksa masih memiliki kesempatan menyaksikan kelahiran
Kerajaan Majapahit, yang didirikan oleh cucunya, Raden Wijaya. Menurut
Pustaka II/2, Prabu Darmasiksa pernah memberi peupeujeh (nasehat) kepada
cucunya tersebut:
”Haywa ta sira kedo
athawamerep ngalindih bhmi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha
yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh puyut
kalisayan mwang jaya catrumu, ngke pinaka mahaprabu ika hana ta daksina sakeng
hyang tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang
sayogyanyarajya Sunda parasparo pasarpana atuntunan tangan silih asih pantara
ning padulur. Yantanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong.
Yatanyan siddha hitasuka. Yan rajya sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya
mangkanajuga rajya sunda ring wilwatika”
Inti dari nasehat
Darmasiksa ini menjelaskan tentang larangannya untuk
tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing
memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang sempurna.
Mungkin dari nasehat inilah, dari naskah-naskah Majapahit, seperti Nagarakertagama,
atau Kidung Sunda, kerajaan Sunda tidak termasuk Nusantara yang merupakan
wilayah taklukan majapahit. Dan Sunda tidak pernah dikuasai atau kalah perang
melawan Majapahit. Tragedi bubat yang terjadi pada zaman Hayam Wuruk dan Patih
Gajah mada di kemudian hari menunjukan hal itu. Dan tragedi Bubat diyakini
merupakan awal dari kehancuran karir Gajah mada, dan awal dari kemunduran
dari majapahit itu sendiri. Sedang Sunda masih bertahan hingga abad ke-16 M.
E. Naskah Amanat Galunggung
Bukti tertulis peninggalan dari Prabu Darmasiksa diantaranya suatu naskah yang
sekarang dinamakan dengan naskah Amanat Galunggung.
Inti dari
naskah amanat galunggung berisi:
· Keharusan untuk
menjaga dan mempertahankan tanah kabuyutan dari gangguan orang asing, bahkan
tanah kabuyutan sangat di sakralkan. Iapun mentebutkan, bahwa : lebih berharga
kulit lasum (musang) yang berada ditempat sampah dari pada putra raja yang
tidak mampu mempertahankan tanah airnya.
· Memotifasi agar
keturunannya untuk tetap mempertahan Galunggung. Dengan cara mendudukan
Galunggung maka siapapun akan memperoleh kesaktian, jaya dalam berperang, dan
akan mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
· Agar berbakti
kepada para pendahulu yang telah mampu mempertahan tanah air pada jamannya
masing-masing.
*1).
Tentang gelar Dyah Singamurti, Dyah Lembu Tal, masih diperdebatkan dalam
sejarah.
*2).
Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wongateleng, yang berarti cucu dari Ken
Arok dan Kendedes.
*3).
Karena itu dalam babad tanah jawa, yang ditulis pada zaman Mataram, Raden
Wijaya ini disebut pula Jaka susuruh dari Pajajaran (atau Jaka susuruh dari
Pasundan). Ia juga merupakan keturunan Ken Dedes dari pihak ibu
(turunan ke4). Raden wijaya sebenarnya merupakan pewaris tahta sunda yang
ke-27, tetapi karena berada di Singasari, tahta jatuh ke tangan pamannya, (adik
Jayadarma), Prabu Ragasuci..
IV.B.26. Rakeyan
Saunggalah Prabu Ragasuci (mp.
1297-1303 M)
Prabu Ragasuci dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya
saja “ Nu Hilang di Taman”. Nama masih belum menjadi raja terkenal dengan
nama Rakeyan Saunggalah, dan setelah
menjadi raja bergelar Prabu Ragasuci. Ia naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu Resiguru Darmasiksa,. Ia berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297
hingga 1303 M. Karena sebelumnya, ayahnya, Prabu Darmasiksa, dikaruniai umur panjang,
menjadi raja di Kerajaan Sunda, satu seperempat abad lamanya (1175‑1297 Masehi). Ragasuci memerintah berkedudukan Di Saunggalah
(Kuningan).
Prabu Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota, karena kedudukan itu dijabat
kakaknya, Rakeyan Jayadarma. Karena Jayadarma meninggal ketika masih muda (usia 44 tahun), ia kemudian naik tahta
menggantikan ayahnya.
Prameswarii Ragasuci yang bernama Dara Puspa berasal
dari putri kerajaan Melayu, dan merupakan adik dari Dara Kencana, istri
Kertanegara dari Singasari (Jawa timur sekarang). Dari istrinya ia mempunyai anak yang bernama Citraganda, yang
dikemudian hari menggantikannya sebagai raja.
Setelah meninggal ia kemudian digantikan oleh
anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan di Taman, sehingga ia kemudian
dikenal dengan nama Sang Mokteng Taman.
IV.B.27. Prabu
Citraganda (1303-1311 M)
Prabu Citraganda dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat meninggalnya
saja “Nu Hilang di Tanjung”). Ia naik tahta sunda menggantikan ayahnya tahun
1303 M, Prabu
ragasuci. Ia berkuasa di tanah sunda (termasuk Galuh dan galunggung) selama 8 tahun (dari tahun
1303-1311 M), dan berkuasa dengan berkedudukan di pakuan.
Ia merupakan putra dari Prabu Ragasuci dengan Dara Puspa berasal dari putri kerajaan
Melayu, (Dara Puspa merupakan adik dari Dara Kencana,
istri Kertanegara dari Singasari (Jawa timur sekarang). Prabu Citraganda berprameswarikan Dewi Antini,
yang merupakan putri dari Prabu Rajapurana.
Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada
putranya, Prabu Linggadewata. Prabu Ragasuci ketika meningal, ia
dipusarakan (dimakamkan) di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang
Mokteng
tanjung.
IV.B.28. Prabu
Linggadewata (1311-1333 M)
Prabu Linggadewata dalam Carita Parahiyangan hanya disebut tempat
meninggalnya “ Nu Hilang di Kikis” (yang Hilang di Kikis). Ia naik tahta kerajaan Sunda Galuh menggatikan ayahnya, Prabu Citra
Ganda. Ia memerintah tahta Sunda berkedudukan di Kawali
selama 22 tahun (mp. 1311-1333 M).
Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya yang
bernama Rimalestari, yang menikah dengan Ajiguna Linggawisesa.
Setelah meninggal ia dipusarakan di Kikis (Nu Hilang di Kikis), sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kikis. Karena
ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta selanjutnya ia wariskan
kepada menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa.
IV.B.29. Prabu
Ajigunawisesa (1333-1340 M)
Prabu Ajiguna Wisesa dalam Carita parahiyangan disebut hanya tempat
meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang Hilang di Kidding).
Prabu Ajigunawisesa, yang berkuasa di tanah Sunda (termasuk Galuh) selama 7 tahun dari
tahun 1333 sampai dengan
tahun 1340 M. Ia naik tahta
menggantikan mertuanya Prabu Linggadewata. Atau Sang Mokteng Kikis (yang Hilang di Kikis). Ia memerintah berkedudukan di
keraton Kawali selama 7 tahun
Ia naik tahta karena istrinya, Rimamelati, putri
dari Prabu Linggadewata merupakan pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3 orang
anak, yaitu:
·
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan
nama Sang Aki Kolot. Ia merupakan
anak pertama, dan kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda.
·
Dewi Kiranasari merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon.
·
Prabu Suryadewata, merupakan anak ketiga atau anak bungsu. Ia diangkat menjadi Raja (Ratu) Galuh.
Prabu Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga. Ia meninggal di Wararaja (hutan raja) ketika sedang berburu.
Prabu Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia
kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding atau dalam istilah carita parahiyang, “Nu hilang
di Kidding”.
a. Cikal Bakal Kerajaan Talaga & Sumedang Larang
Anak Prabu Ajiguna Wisesa yang ketiga yang bernama
Prabu Suryadewata, yang diangkat menjadi Raja Galuh dianggap sebagai cika bakal
kerajaan Talaga. Putra Suryadewata yang bernama Suddhayasa,yang dikenal juga dengan nama Batara Gunung
Picung atau batara gnung bitung dianggap menjadi cikal bakal kerajaan
Talaga (Majalengka)
Batara Gunung Picung mendirikan kabataraan
Gunungpicung di talaga. Kabataraan di Gunung Picung diyakini sebagai kekuasaan
kebataraan setelah kebataraan tembong agung, di Sumedang berubah menjadi
kerajaan Sumedang Larang. Kekuasaan kabataraan gunung picung dari Batara Gunung Picungkemudian dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci,
Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan
Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang
bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu Talaga menjadi sebuah kerajaan.
Sebelumnya Prabu Suryadewata, sebelum
kepindahan keraton Galuh ke Pakuan, menginstruksikan kepada Prabu
Aji putih untuk membangun kabataraan Tembong Agung. Kabataraan tembong agung
ini dikemudian hari menjadi kerajaan Sumedang Larang.
IV.B.30. Prabu Ragamulya Luhur Prabawa (
mp. 1340-1350 M)
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa naik tahta Sunda
menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Dalam Carita Parahiyaangan di sebutkan bahwa Sang
Aki Kolot. Ia memerintah
selama 10 tahun (mp. 1340-1350 M).
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari
Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati. Prabu Luhur Prabawa terkenal
juga dengan nama Sang Aki Kolot.
Setelah meninggal, ia dikenal dengan Salumah
Ing Taman, karena ia meninggal di Taman. Setelahnya kekuasaan Sunda
kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Maharaja Linggabuana wisesa
(mp. 1350-1357 M), yang gugur dalam perang bubat.
IV.B.31. Prabu
Linggabuana Wisesa / Prabu Wangi (1350-1357
M)
Manak deui Prebu
Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya,
kabancana ku seuweu
dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna.
Urang réya sangkan nu
angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Pan prangrang di
Majapahit.
Aya na seuweu Prebu,
wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di
Nusalarang ring giri
Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na
agama, kretajuga.
Prabu Linggabuana Wisesa memerintah sunda
menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, dengan gelar penobatan Prabu Maharaja Linggabuana. Ia memerintah kerajaan sunda selama 7 tahun (1350-1357
M). la dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka
(22 Pebruari 1350 M). Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi
oleh adiknya, Sang Bunisora, yang bergelar Mangkubumi Saradipati.
Prabu Maharaja
Linggabuana berprameswarikan Dewi Lara Linsing, darinya ia mempunyai 4 orang anak, tetapi anak kedua
dan ketiganya meninggal pada usia 1 tahun. Anak pertamanya seorang wanita yang
terkenal dalam sejarah, yaitu Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 M, oleh kakeknya
diberi nama Citraresmi, dan anak
terakhirnya ( yang ke-empat) seorang laki-laki yang dikemudian hari menjadi
raja yang sangat terkenal, yaitu Wastukencana yang lahir tahun 1348 M.
Prabu Maharaja Linggabuana gugur di medan perang
bubat, dalam mempertahankan harga diri dan melawan kecurangan majapahit,
bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri Citra resmi.
Karena anak laki-lakinya (adik dari diah pitaloka)
masih berumur 9 tahun, maka kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya,
Patih Mangkubumi Suradipati yang kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora.
Karena meninggal di Bubat, prabu Linggabuana
kemudian dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Bubat.
a. Pribadi
Prabu Linggabuana terkenal sebagai seorang yang
perkasa. Naskah Wangsakerta melukiskan dirinya sebagai berikut:
” Dimedan perang bubat ia banyak
membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan
mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang
lain.”
a tidak merasa takut berhadapan dengan pasukan
majapahit meskipun berada dikandang lawan (didaerah majapahit). Ia juga tidak
merasa gentar meskipun pasukannya tidak dipersiapkan untuk berperang (ia
membawa pasukan hanya untuk mengantar penganten), dan dalam jumlah yang sedikit,
melawan pasukan Majapahit yang memang sudah dipersiapkan untuk berperang.
Ia tidak gentar mengahadapi pasukan majapahit yang
dipimpin oleh Pati Gajah Mada yang jumlahmya tidak terhitung.
b. Kebijakannya
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran
dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh wilayah kekuasaanya.
Kemashurannya juga sampai kepada negara-negara di pula pulau dwipantara
atau (nusantara namanya yang lain).
Kemashuran sang raja membangkitkan (rasa bangga
kepada ) keluarga, mentri-mentri kerajaan, angkat perang dan rakyat pasundan.
Oleh karena itu namanya mewangi. Selanjutnya ia kemudian bergelar Prabu wangi.
c. Perang
Bubat
Peristiwa Bubat setidaknya tercatat dalam suatu
naskah yang dinamakan dengan nama Kidung Sunda, atau Kidung Sundayana yang
berasal dari Bali. Di Bali sendiri kidung ini dinamakan geguritan Sunda.
Melihat rombongan Sunda yang tidak bersenjata
lengkap, timbul niat jahat gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan Sunda, sebagai
pembalasan atas kekalahan-kekalahan sebelumnya.
d. Latar
Belakang Perang Bubat
Dalam naskah-naskah
kuno, yang dibuat pada masa majapahit, baik oleh para pujangga, tidak memasukan
kerajaan sunda pada negara-negara nusantara. Kerajaan Sunda tidak pernah kalah
perang melawan majapahit, bahkan dimungkinkan Majapahit pernah mengalami
kekalahan yang tragis, seperti apa yang diungkapkan oleh Patih Anepaken kepada
Gajah Mada, naskah Kidung Sunda dari Bali menceritakan dengan jelas tentang
itu.
Patih anepaken merupahan
mahapatih Sunda yang mengikuti rombongan maharaja Linggabuana untuk mengantar
putri ke Majapahit. Ia tidak merasa takut meskipun hanya diiringi oleh 300
pasukan untuk melawan ribuan yang dipersiapkan oleh Gajah Mada.
Dari perkataan yang dikutip dalam kidung Sunda
tersebut, maka ada beberapa kesimpulan:
·
Patih Anepaken ingin mengatakan bahwa kerajaan Sunda
adalah kerajaan besar, yang tidak ada satu negarapun yang dapat menguasai
Sunda, demikian juga Majapahit.
·
Kritikannya terhadap moralitas Majapahit yang
mengambil kesempatan dalam kesempitan. Menantang perang kepada lawan yang tidak
membawa senjata perang, dan dengan harapan persaudaraan (perkawinan).
·
Ingin mengingatkan bahwa tempo dulu ketika majapahit
berperang dengan kerajaan Sunda, dengan kekalahan yang telak, dimana para
mantrinya dengan meminta belas kasihan dari para prajurit Sunda.
Gajah mada sangat mengetahui kehebatan kerajaan
Sunda, karena tidak mungkin mengalahkan mereka, bahkan pernah kalah sebelumnya.
Karena itu ia bagaikan mendapat durian runtuh ketika rombongan raja Sunda
datang ke kandangnya dengan tidak bersenjata lengkap, karena hendak mengantar
penganten, suatu kesempatan untuk balas dendam.
e. Perang
Bubat dan Karir Patih Gajah Mada
Perang bubat diyakini
mengakibatkan akhir dari karir patih Gajah Mada. Ia dipersalahkan karena
peristiwa itu. Meskipun masih menjabat patih hingga beberapa tahun berikutnya,
tetapi pamornya sangat menurun.
f. Yang Gugur Dalam Perang Bubat
Dalam naskah Wangsakerta diceritakan bahwa para pembesar dan pengiring
kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, yaitu:
·
Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda,
·
Rajaputri Dyah Pitaloka, bersama semua pengiringnya
·
Rakeyan Tumenggung Larang Ageng
·
Rakeyan Mantri Sohan; Yuwamantri (menteri muda)
·
Gempong Lotong
·
Sang Panji Melong Sakti
·
Ki Panghulu Sura
·
Rakeyan Mantri Saya
·
Rakeyan Rangga Kaweni
·
Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu)
·
Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali
·
Rakeyan Juru Siring
·
Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul)
·
Sang Mantri Patih Wirayuda
·
Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut
Sunda)
·
Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang
kerajaan)
·
Ki Juru Wastra
·
Ki Mantri Sebrang Keling
·
Ki Mantri Supit Kelingking
*) Kidung Sunda merupakan sebuah tulisan / naskah dalam bahasa Jawa
pertengahan yang berbentuk syair, dan kemungkinan besar berasal dari Bali.
Kidung Sunda ini menceritakan tentang tragedy perang Bubat dengan
detail.
*) Peristiwa bubat ini diyakini merupakan
akhir dari karier patih gajah Mada. Meskipun masih menjabat Patih, tetapi
pengaruhnya mulai cepat berkurang.
**) Dari perkataan Patih
Anipaken kepada Gajah Mada dalam Kidung Sunda, sangat jelas diungkapkan suatu
perkataan yang menyebut kekalahan-kejkalahan pihak Majapahir dari kerajaan Sunda. Karena itu ketika rombongan raja
Sunda tidak bersenjata lengkap, karena hanya mengantar penganten, maka timbul
niat jahat dari gajah Mada untuk mengalahkan kerajaan Sunda.
IV.B.32. Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati (mp. 1357-1371 M)
Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku
satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang
Bunisora,
nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
Sakitu
nu diturut ku nu mawa lemahcai.
Batara
Guru di Jampang ma, inya nu nyieun ruku Sanghiyang Pak é, basa nu wastu
dijieun
ratu. Beunang nu pakabrata séwaka ka d éwata [43]. Nu di tiru ogé paké
Sanghiyang
Indra, ruku ta.
Sakitu,
sugan aya nu d ék nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Daé k él éh ku
satmata.
Mana na kretajuga, él éh ku nu ngasuh.
Prabu Bunisora atau Mangkubumi
Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang
Bubat. Ia menggantikan tahta sunda, karena putra mahkota (putra Prabu Linggabuana),
Wastukencana, masih kecil (umur 9 tahun).
Ia memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp.
1357-1371 M) dengan gelar Prabu Guru
Pangadiparamarta Jayadewabrata. Pada masa pemerintahan Prabu Linggabuana, ia
menjabat sebagai patih mangkubumi, dan menggantikan kedudukannya, ketika sang
raja gugur.
Dalam
menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung mengambil jalan hidupnya sebagai raja
pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan,
Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang
Bataraguru di Jampang. Karena setelah ia menyerahkan
kekuasaan pada wastukancana, ia menjadi pertapa dan resi di jampang.
Ia juga dikenal dengan nama Prabu Kuda lalean. Dan dalam babad
Panjalu disebut dengan nama Prabu Borosngora. Dan setelah meninggal ia dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Gegeromas, karena
ia meninggal di Geger Omas.
Dari perkawinannya dengan permaisuri Laksmiwati, Ia mempunyai anak, yaitu:
·
Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, kelak menjadi raja
daerah di wilayah Cirebon Girang
·
Bratalegawa, kelak memeluk agama Islam dan menjadi
haji pertama di tatar sunda, sehingga ia terkenal dengan
julukan Haji Purwa Galuh
·
Banawati, kelak menjadi Ratu di wilayah Galuh.
·
Mayangsari, kelak berjodoh dengan Sang Niskala
Wastu Kancana.
Setelah meninggal, tahta jatuh ke keponakannya dan sekaligus
menantunya, yaitu Prabu Wastukencana atau Prabu
Anggalarang, atau ada yang menyebut dengan nama Prabu Siliwangi 1.
a. Permintaan
Maaf Dari hayam Wuruk
Kekalahan sang raja
Linggabuana dalam perang Bubat bukan berarti kerajaan Sunda takluk. Raja
Sunda yang baru, Bunisora menerima permintaan maaf dari penguasa
Majapahit, hayam Wuruk, yang mengutus utusan yang berasal dari Bali, seperti yang diungkapkan dalam naskah kidung sunda.
b. Undang
Undang ” Larangan Estri ti Kaluaran”
Untuk
mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, maka Prabu Bunisora mengeluarkan
peraturan yang kemudian dinamakan dengan Larangan estri ti kaluaran, yang
melarang mengawinkan seluruh anggota kerajaan dengan majapahit.
IV.B.33. Prabu
anggalarang Niskala wastukancana (mp. 1371-1475 M).
Aya
na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di
Nusalarang
ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na
agama,
kretajuga.
Tandang
pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang
Bunisora,
nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
Sakitu
nu diturut ku nu mawa lemahcai.
Batara
Guru di Jampang ma, inya nu nyieun ruku Sanghiyang Pak é, basa nu wastu
dijieun
ratu. Beunang nu pakabrata séwaka ka d éwata [43]. Nu di tiru ogé paké
Sanghiyang
Indra, ruku ta.
Sakitu,
sugan aya nu d ék nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Daé k él éh ku
satmata.
Mana na kretajuga, él éh ku nu ngasuh.
Nya
mana sang rama énak mangan, sang resi é nak ngaresisasana, ngawakan na
purbatisti,
purbajati. Sang disri énak masini ngawakan na manusasasana, ngaduman
alas
pari-alas. Ku b éét hamo diukih, ku gedé hamo diukih. Nya mana sang Tarahan
énak
lalayaran ngawakan manu-rajasasana. Sanghiyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu
énak-énak,ngalungguh
di sanghiyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghiyang rajasasana,
angadeg
wiku énak di Sanghiyang Linggawesi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku
énak
ngadéwasasana ngawakan Sanghiyang Watang Ageung, énak ngadeg manu-rajasuniya.
Tohaan
di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah
twah
bogoh ka é stri larangan ti kaluaran.
”Negara akan jaya
dan unggul perang bila rakyat berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja
harus selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu)” (Prabu Niskala
wastu kancana dalam Prasasti Kawali)
Prabu anggalarang
atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu
Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).
Ia merupakan
putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika
perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya,
yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja.
Setelah meninggal di
Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan
membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda
sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).
a. Pribadi
Wastukancana berkembang
menjadi seorang raja yang seimbang, kebesaran budi pekertinya, seperti
tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada prasastinya kawali, yaitu:
”Negara akan jaya dan unggul perang bila berada dalam kesejahteraan (kareta
beber), raja harus selalu berbuat
Ayahnya, Prabu Linggabuana, yang gugur dalam
perang bubat, sebagai karena mempertahankan kehormatan sunda sebagai bangsa
yang besar, mendapat julukan Prabu wangi, sehingga dalam cerita
Parahiyangan disebutkan bahwa anaknya, Prabu Niskala Wastu
kancana adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi.
b. Istri
dan Anak Anaknya
Wastukancana mempunyai 2 orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati),
putri resi Susuk, penguasa Lampung, dan Mayang sari, putri sulung
Prabu rahyang Bunisora.
Dari
perkawinanya dengan Rara Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang
haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk
Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum.
Sedang dari
Mayangsari, putri sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana
mempunyai 4 orang putra. Yang sulung, bernama Ningrat Kancana yang
naik tahta Kawali (Galuh) dan bergelarPrabu Dewa Niskala, yang
berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya,
yang ketiga Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.
c. Anak dan Pembagian Wilayah Kekuasaan
c.1. Prabu Dewa niskala
Nama aslinya Ningrat kancana, dan merupakan putra sulung
hasil perkawinan Prabu wastukencana dengan putri Mayangsari. Ia kemudian
diangkat menjadi raja galuh, dengan gelar penobatan Prabu Dewa niskala. Ia
berkuasadi timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.
c.2. Prabu Susuk Tunggal (mp. 1382-1482 M)
Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya, Rara
sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai citarum ke barat. Ia berkuasa cukup lama (selama 100
tahun), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah
timur.
Prabu Susuk Tunggal atau Sang
Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah
Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain
ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
Prabu Susuk
Tunggal yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun pusat
pemerintahan dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana Madura
Suradipati.
Ia tidak mempunyai anak
laki-laki. Putrinya, Kentrik Manik Mayang sunda, kemudian
menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan
demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari
Wastukencana) menjadi besan.
Setelah Prabu Susuk
Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata,
yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda,
keraton Galuh dan Pakuan.
Prabu
anggalarang atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan
mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp.
1371-1475 M).
Ia
merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357
M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun. Karena
putra mahkota, Pangeran Wastukancana masih kecil, dan masih terguncang oleh
kematian ayah, ibu dan juga kakaknya. Maka disepakati bahwa Pangeran
Wastukancana akan diangkat menjadi raja setelah ia dewasa. Dan untuk mengisi
kekosongan tahta, maka diangkatlah raja pendamping, yaitu pamannya sendiri,
Mangkubumi Suradipati. Dan bergelar Prabu Bunisora.
Setelah mulai remaja Wastukancana kemudian melanglang buana ke Lampung,
yang waktu itu masih dalam pengaruh kerajaan Sunda. Dan dari Lampung ini, ia
kemudian menikah dengan putri Raja lampung, yang bernama Lara sarkati. Dan
kemudian menjadi prameswari pertamanya ketika ia diangkat menjadi raja pada
tahun 1371 M, pada usia 23 tahun. Dari perkawinannya ini ia kemudian mempuanyai
anak yang bernama Sang Haliwungan, yang dikemudian hari menjadi raja Sunda di
Pakuan, dengan bergelar Prabu Susuk Tunggal.
Niskala Wastukancana juga menikah putri sulung pamannya,Prabu Rahyang Bunisora, yaitu
Mayangsari, yang kemudian menjadi prameswari keduanya. Dari perkawinannya ini ia
mempunyai
4 orang putra. Yang sulung, bernama Ningrat Kancana yang
naik tahta Kawali (Galuh) dan bergelarPrabu Dewa Niskala, yang
berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya,
yang ketiga Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.
Setelah melihat cukup dewasa dan juga dianggap sudah layak menjadi raja,
akhirnya Raja Bunisora berencana untuk menyerahkan kekuasaannya kepada
keponakannya dan juga menantunya, Pangeran Niskala Wastukancana. Karena Prabu
Bunisora mau fokus untuk menjalani tapa brata.
Dan Prabu Anggalarang secara resmi naik tahta pada tahun 1371 M pada usia
23 tahun dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M). Ia berkembang menjadi seorang raja yang seimbang, kebesaran budi
pekertinya, seperti tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada prasastinya
kawali, yaitu:
Akhir Kekuasaan dan Suksesi
Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia
kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda
kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan
sunda sebelah timur (galuh).
Prabu Dewa niskala, nama aslinya Ningrat kancana, dan merupakan putra
sulung hasil perkawinan Prabu wastukencana dengan putri Mayangsari. Ia kemudian
diangkat menjadi raja galuh, dengan gelar penobatan Prabu Dewa niskala. Ia
berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.
Prabu Susuk Tunggal (mp. 1382-1482 M) merupakan putra dari Wastukencana, dari
istrinya, Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di
tanah kerajaan Sunda, dari sungai citarum ke barat. Ia berkuasa cukup lama (selama 100
tahun), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah
timur.
Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan
menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian
barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa
Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
Prabu Susuk Tunggal yang berkuasa di Pakuan ,
kemudian membangun pusat pemerintahan dan membangun keraton Sri
Bima Punta narayana Madura Suradipati., Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya,
Kentrik Manik Mayang sunda, kemudian menikah dengan
Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian
jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana)
menjadi besan.
Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian
digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri
Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.
PRABU ANGGALARANG / PRABU NISKALA WASTUKANCANA (mp. 1371-1475 M).
”Negara akan jaya
dan unggul perang bila rakyat berada dalam kesejahteraan (kareta beber), raja
harus selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu)” (Prabu Niskala
wastu kancana dalam Prasasti Kawali)
Prabu anggalarang atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda
menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama
104 tahun (mp. 1371-1475 M).
Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun
1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah
bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan
ayahnya menjadi raja.
Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang
Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu
berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).
a. Pribadi
Wastukancana berkembang menjadi seorang raja yang seimbang, kebesaran
budi pekertinya, seperti tersebut dalam wasiatnya yang tertulis pada
prasastinya kawali, yaitu:
”Negara akan jaya dan unggul perang bila berada dalam
kesejahteraan (kareta beber), raja harus selalu berbuat
Ayahnya, Prabu
Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, sebagai karena mempertahankan
kehormatan sunda sebagai bangsa yang besar, mendapat julukan Prabu wangi,
sehingga dalam cerita Parahiyangan disebutkan bahwa anaknya, Prabu
Niskala Wastu kancana adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi.
b. Istri dan Anak
Anaknya
Wastukancana mempunyai 2 orang istri, yang pertama Lara sarkati (larasati),
putri resi Susuk, penguasa Lampung, dan Mayang sari, putri sulung
Prabu rahyang Bunisora.
Dari perkawinanya dengan Rara Sarkati putri penguasa Lampung melahirkan Sang haliwungan, yang naik tahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk
Tunggal, yang berkuasa di barat sungai Citarum.
Sedang dari Mayangsari, putri sulung Prabu Rahyang Bunisora, Niskala
Wastukancana mempunyai 4 orang putra. Yang sulung, bernama Ningrat Kancana yang naik
tahta Kawali (Galuh) dan bergelarPrabu Dewa Niskala, yang berkuasa
di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Yang kedua Surawijaya, yang
ketiga Gedeng Sindangkasih, dan yang ke-4, Gedeng Tapa.
c. Anak dan Pembagian Wilayah Kekuasaan
c.1. Prabu Dewa niskala
Nama aslinya Ningrat
kancana, dan merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu wastukencana dengan
putri Mayangsari. Ia kemudian diangkat menjadi raja galuh, dengan gelar
penobatan Prabu Dewa niskala. Ia berkuasadi timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.
c.2. Prabu Susuk Tunggal (mp. 1382-1482 M)
Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya, Rara
sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai citarum ke barat. Ia berkuasa cukup lama (selama 100 tahun), sebab sudah
dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Prabu Susuk Tunggal
atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah
Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain
ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
Prabu Susuk Tunggal yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun
pusat pemerintahan dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana
Madura Suradipati.
Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik Manik Mayang
sunda, kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala
dari kraton Galuh. Dengan demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang
seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya,
Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang
mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.
IV.B.34. Prabu Susuktunggal (mp. 1382-1482
M)
Prabu Susuktunggal
merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya, Rara sarkati, putri
penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah Sunda cukup lama (selama 100
tahun), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah
timur.
Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan
tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang
bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa
di galuh (parahiyangan timur).
Prabu Susuk Tunggal yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun
pusat pemerintahan dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana
Madura Suradipati.
Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik Manik Mayang
sunda, kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala
dari kraton Galuh. Dengan demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang
seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya,
Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang
mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.
IV.B.35. Sri Baduga
Maharaja Prabu Jayadewata (mp. 1482-1521M)
Disilihan ku Prebu,
naléndraputra premana, inya Ratu Jayadéwata, sang mwakta ring
Rancamaya, lawasniya
ratu telupuluhsalapan tahun.
Purbatisti, purbajati,
mana mo kadatangan ku musuh ganal, musuh alit. Suka kreta tang
lor, kidul, kulon,
wétan, kena kreta rasa.
Tan kreta ja lakibi
dina urang réya, ja loba di Sanghiyang Siksa.
Prabu Jayadewata merupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan
kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai
penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga
maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah
Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Pada tahun 1482 M, Jaya Dewata menerima tahta Galuh dari
ayahnya, Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta
Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang
terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam
satu tangan, Jayadewata.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota),
karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari
mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan
menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini kerajaan
sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama
ibukotanya Pakuan Pajajaran
Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan
Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Prabu Jayadewata merupakan putra Dewa Niskala,
dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan
menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini
bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M).
Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
a. Masa Muda
Masa mudanya Sri baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan
satu satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk
Marugul) waktu bersaing memperebutkan Subanglarang, istrinya yang
beragama Islam.
Dalam berbagai hal orang sezamannya teringat kepada kebesaran
buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang
digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu
Siliwangi.
b. Istri Istrinya
Pada mulanya ia memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindang
kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja Jayadewata. Ia
merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastukenacana dari
Mayang Sari.
Ia kemudian
memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedengtapa, yang menjadi raja di
Singapura.Subang Larang adalah muslim pertama di
lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok qura di Pura
Karawang. Dari turunan Subang Larang inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda (raja Cirebon dan banten).
Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak: Walangsungsang (atau Cakra
Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang (ibu dari Syarif
Hidayatullah), dan Raja Sangara.
Jaya Dewata juga memperistri Kentrik Manik Mayang sunda, putri
Prabu Susuk Tunggal, dari istana Pakuan. Dengan demikian jadilah raja
Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
c. Menerima
Tahta Sunda dan Galuh
Pada tahun 1482 M, Jaya Dewata menerima tahta Galuh dari
ayahnya, Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta
Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang
terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam
satu tangan, Jayadewata.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota),
karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari
mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan
menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini kerajaan
sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama
ibukotanya Pakuan Pajajaran
d. Palangka Sriman
Sriwacana
Dalam carita parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
” Sang Susuk
Tunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu haji di Pakuan Pajajaran nu
mikadatwan sri bima punta narayana Madura suradipati, inyana pakwan
sanghiyang sri ratu dewata” ( Sang Susuk Tunggal ialah yang membuat tahta
Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di
Pakuan Pajajaran yang bersemayan di keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
e. Pindahnya Ratu
Pajajaran
Pindahnya putri Ambetkasih, istri Sri baduga Maharaja yang pertama, dari
keraton timur (galuh) ke Pakuan, bersama istri-istri Sri Baduga
yang lain, terekam oleh pujangga yang bernama Kairaga di Gunung
Srimanganti (Ci Kuray), dalam sebuah naskah yang ditulis dalam sebuah pantun
dan dinamai ’Carita ratu Pakuan’, yang diperkirakan ditulis diakhir abad ke-17
M atau awal abad 18 M. Diantara isi naskahnya (terjemahan):
” Tersebutlah
Ambetkasih bersama madu-madunya bergerak payung kebesaran melintasi tugu yang
seia dan sekata hendak pulang ke pakuan kembali dari keration timur
hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman cahaya putih
induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir
lukisan alun di sanghiyang pandai larang keraton penenag hidup, bergerak
barisan depan disusul kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue
dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih nampan
perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke pakuan. Bergerak
tandu kencana beratap cemara gading bertiang emas bernama lingkaran
langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang berkuncup
singa-singaan di sebelah kiri kanan panjang hijau bertiang gading berpuncak
getas yang bertiang berpuncak emas dan panjang sabirilen berumbai
potongan benang”
f. Kebijakan dan
Kehidupan Sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi menjadi
raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang
disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi
mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu prasasti peninggalan Sri
Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):
” Semoga selamat.
Ini tanda peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang
Ningrat Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan sekarang di Pakuan
Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda
Sambawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan mmeberatkannya dengan ’dasa’ ,
’calagra’, kapasa timbang’, dan ’pare dongdang’. Maka diperintahkan
kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang
selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas
mengamalkan peraturan dewa.”
g. Perekonomian &
Perdagangan
Dalam carita Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman
kesejahteraan. Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah
Karuhun Kabeh (dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa
pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires, utusan Portugis dari Malaka, ikut mencatat kemajuan zaman Sri
baduga dengan komentar:
” The Kingdom of
Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan
adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda hingga ke
kepulaan maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai
1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)
dikatakan cukup untuk mengisi 1000 kapal.
h. Gelar Prabu
Siliwangi
Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan
Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batutulis, sedang dalam carita parahiyangan ditulis Jayadewata.
Sumber sejarah pertama yang mengungkap nama siliwangi, adalah naskah
sanghiyang siksa kandang karesian (1518 M), yang dimaksud
menyebutkan salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama
(lalakon)nya tidak diceritakan.
Yang kedua adalah naskah ”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis
oleh Pangeran Arya Cirebon, yang menceritakan tentang Prabu Siliwangi,
yang merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang berkuasa di kraton
Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur. Prabu Siliwangi bertahta di
keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan Subang Larang
(1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di Kawali
(1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga emnikah dengan putri Ambetkasih.
Dan yang ketiga terdapat dalam naskah Carita Ratu Pakuan (kropak 410) yang
ditulis kira-kira pad akhir abad ke-17 M atau awal abad ke-18 M. Dalam naskah
ini juga diceritakan tentang Prabu Siliwangi yang berkuasa di Pakuan, yang
mempunyai istri Ambetkasih dan Subanglarang. Hal ini cocok dengan Naskah
cirebon diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri
Baduga maharaja.
Prabu Jayadewata merupakan putra Dewa Niskala,
dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan
menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini
bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M).
Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
a. Masa Muda
Masa mudanya Sri baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan
satu satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk
Marugul) waktu bersaing memperebutkan Subanglarang, istrinya yang
beragama Islam.
Dalam berbagai hal orang sezamannya teringat kepada kebesaran
buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang
digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu
Siliwangi.
b. Istri Istrinya
Pada mulanya ia memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindang
kasih. Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja Jayadewata. Ia
merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastukenacana dari
Mayang Sari.
Ia kemudian
memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedengtapa, yang menjadi raja di
Singapura.Subang Larang adalah muslim pertama di
lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok qura di Pura
Karawang. Dari turunan Subang Larang inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda (raja Cirebon dan
banten). Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak: Walangsungsang
(atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang (ibu dari
Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara.
Jaya Dewata juga memperistri Kentrik Manik Mayang sunda, putri
Prabu Susuk Tunggal, dari istana Pakuan. Dengan demikian jadilah raja
Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
c. Menerima
Tahta Sunda dan Galuh
Pada tahun 1482 M, Jaya Dewata menerima tahta Galuh dari
ayahnya, Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta
Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang
terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam
satu tangan, Jayadewata.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota),
karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari
mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan
menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini kerajaan
sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama
ibukotanya Pakuan Pajajaran
d. Palangka Sriman
Sriwacana
Dalam carita parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
” Sang Susuk
Tunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu haji di Pakuan Pajajaran nu
mikadatwan sri bima punta narayana Madura suradipati, inyana pakwan
sanghiyang sri ratu dewata” ( Sang Susuk Tunggal ialah yang membuat tahta
Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di
Pakuan Pajajaran yang bersemayan di keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
e. Pindahnya Ratu
Pajajaran
Pindahnya putri Ambetkasih, istri Sri baduga Maharaja yang pertama, dari
keraton timur (galuh) ke Pakuan, bersama istri-istri Sri Baduga
yang lain, terekam oleh pujangga yang bernama Kairaga di Gunung
Srimanganti (Ci Kuray), dalam sebuah naskah yang ditulis dalam sebuah pantun
dan dinamai ’Carita ratu Pakuan’, yang diperkirakan ditulis diakhir abad ke-17
M atau awal abad 18 M. Diantara isi naskahnya (terjemahan):
” Tersebutlah
Ambetkasih bersama madu-madunya bergerak payung kebesaran melintasi tugu yang
seia dan sekata hendak pulang ke pakuan kembali dari keration timur
hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman cahaya putih
induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir
lukisan alun di sanghiyang pandai larang keraton penenag hidup, bergerak
barisan depan disusul kemudian teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue
dengan tutup yang diukir kotak jati bersudut bulatan emas tempat sirih nampan
perak bertiang gading ukiran telapak gajah hendak dibawa ke pakuan. Bergerak
tandu kencana beratap cemara gading bertiang emas bernama lingkaran
langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang berkuncup
singa-singaan di sebelah kiri kanan panjang hijau bertiang gading berpuncak
getas yang bertiang berpuncak emas dan panjang sabirilen berumbai
potongan benang”
f. Kebijakan dan
Kehidupan Sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi menjadi
raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang
disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi
mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu prasasti peninggalan Sri
Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):
” Semoga selamat.
Ini tanda peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang
Ningrat Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan sekarang di Pakuan
Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda
Sambawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan mmeberatkannya dengan ’dasa’ ,
’calagra’, kapasa timbang’, dan ’pare dongdang’. Maka diperintahkan
kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang
selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas
mengamalkan peraturan dewa.”
g. Perekonomian &
Perdagangan
Dalam carita Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman
kesejahteraan. Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah
Karuhun Kabeh (dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa
pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires, utusan Portugis dari Malaka, ikut mencatat kemajuan zaman Sri
baduga dengan komentar:
” The Kingdom of
Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan
adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda hingga ke
kepulaan maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai
1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)
dikatakan cukup untuk mengisi 1000 kapal.
h. Gelar Prabu
Siliwangi
Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan
Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batutulis, sedang dalam carita parahiyangan ditulis Jayadewata.
Sumber sejarah pertama yang mengungkap nama siliwangi, adalah naskah
sanghiyang siksa kandang karesian (1518 M), yang dimaksud
menyebutkan salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama
(lalakon)nya tidak diceritakan.
Yang kedua adalah naskah ”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis
oleh Pangeran Arya Cirebon, yang menceritakan tentang Prabu Siliwangi,
yang merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang berkuasa di kraton
Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur. Prabu Siliwangi bertahta di
keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan Subang Larang
(1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di Kawali
(1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga emnikah dengan putri Ambetkasih.
Dan yang ketiga terdapat dalam naskah Carita Ratu Pakuan (kropak 410) yang
ditulis kira-kira pad akhir abad ke-17 M atau awal abad ke-18 M. Dalam naskah
ini juga diceritakan tentang Prabu Siliwangi yang berkuasa di Pakuan, yang mempunyai
istri Ambetkasih dan Subanglarang. Hal ini cocok dengan Naskah cirebon
diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga
maharaja.
IV.B.36. Prabu Surawisesa
(mp. 1521-1535 M)
Disilihan
inya ku Prebu Surawisésa, inya nu surup ka Padaré n, kasuran, kadiran,
kuwamén.
Prangrang
limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu.
Prangrang
ka Kalapa deung Aria Burah. Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol
kiyi.
Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka Simpang. Prangrang ka Gunungbatu.
Prangrang
ka Saungagung. Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka Gunung. Prangrang ka
Gunung
Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka Panggoakan. Prangrang ka
Muntur.
Prang rang ka Hanum. Prangrang ka Pagerwesi. Prangrang ka
Medangkahiyangan.
Ti inya
nu pulang ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan deui, panteg hanca di bwana.
Lawasniya
ratu opatwelas tahun.
(Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di
Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh
jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun
peperangan teh kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung.
Perang ka Ancol kiyi. Perang ka
Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka
Gunungbatu. Perang ka Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka
Padang. Perang ka Pagoakan.
Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka
Pagerwesi. Perang ka
Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui.
Ratu tilar dunya. Lawasna jadi
ratu opatwelas taun.)
Prabu Surawisesa menjadi raja kedua di
era kerajaan Pajajaran, menggantikan ayahnya Sri Baduga Maharaja yang meninggal
dunia pada tahun 1521 M. Ia merupakan putra
dari Sri Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu dari Prabu Susuk Tunggal. Surawisesa
memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti
sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia
kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
Prabu Surawisesa
dipuji oleh naskah Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran
(perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan
15 kali pertempuran, memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian
penulis Carita parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.
Surawisesa dalam kisah-kisah tardisional lebih
dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Prameswarinya, Kinawati,
berasal dari kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar minggu,
Jakarta, sekarang. Kinawati adalah putri Mental Buana, cicit Munding Kawati,
yang semuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun
Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung.
Surawisesa memerintah selama 14 tahun
lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya.
Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu
Dewata.
Diantara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia
dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun
pantun. Babad Pajajaran atau babad pakuan, misalnya, semata mengisahkan
’petualangan’ Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita panji.
a. Sebelum
Menjadi Raja
Sebelum menjadi raja, ketika masih menjadi
pangeran, ia pernah diutus oleh ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque,
laksamana portugis di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali, yaitu pada
tahun 1512 dan 1521 M.
Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajagan
pihak portugis pada tahun 1513 M, yang diikuti oleh Tome Pires. Sedang hasil
kunjungan kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh
Hendrik De Leme (ipar Alfonso) ke ibukota Pakuan Pajajaran. Dalam
kunjungan kedua ini disepakati persetujuan antara kerajaan Pajajaran
(Sunda) dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan yang ditandatangani
pada 21 Agustus 1522 M.
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa
Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis
yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang
keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian saat itu benteng mulai
dibangun, pihak sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun
untuk deitukarkan dengan muatan sebanyak dua custumodos (kurang lebih 351
kwintal).
b. Reaksi
Dari Cirebon & Demak
Perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis
sangat mencemaskan Sultan trenggono, sultan Demak III. Setelah selat
Malaka yang merupakan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah
dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai. Jika
selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga
dikuasai Portugis. Maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan
negara-negara Islam diwilayah timur, termasuk Demak,
terancam putus.
Maka kemudian Sultan Trenggono yang di pimpin
oleh Fatahillah, yang menjadi senapati Demak menyerang
Banten, yang jatuh pada tahun 1526 M.
c. Medan
Peperangan
Surawisesa mewarisi tahta kekuasaan dalam masa yang
tidak menguntungkan, sebab wilayah-wilayahnya banyak diserang oleh musuh, disamping kalah pengaruh
oleh Cirebon, yang di bantu oleh Demak, yang merupakan pusat Islam di tataran
Sunda. Selama 14 tahun berkuasa ia telah melakukan 15 kali peperangan tanpa
mengalami kekalahan, seperti apa yang diungkapkan dalam naskah Carita
Parahiyangan.
Pada awal masa kekuasaannya wilyah Islam hanya berkonsentrasi di Cirebon.
Pada masa ayahnya berkuasa, Cirebon belum berani mengadakan pemberontakan. Tetapi
ketika ia berkuasa cirebon yang dibantu Demak mulai melancarkan serangan di
berbagai tempat. Cirebon mengklaim bahwa mereka sama-sama keturunan dari Prabu
Jaya Dewata dan mempunyai hak berkuasa di tanah Sunda. Perlawaanan Cirebon yang
dibantu Demak mulai intensif ketika Cirebon di kuasai oleh cucu Prabu Jaya
Dewata atau keponakan Surawisesa sendiri, yang terkenal dengan nama Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung jati.
Sunan Gunung jati mulai menyerang wilayah-wilayah pajajaran, di 15 medan
pertempuran, yaitu di jakarta (kalapa), di Banten (wahanten girang), di
tanjung, di Ancol Kiyi, dan lainnya, tetapi dizaman Surawisesa wilayah-wilayah
tersebut masih belum bisa di taklukan.
Dalam Carita Parahiyangan,
medan-medan pertempuran tersebut, adalah.
·
Kalapa, yaitu
daerah sekitar pantai sunda kelapa sekarang. Dalam Naskah caarita parahiyangan,
pasukan Islam ipimpi oleh Arya Burah, ataau Fatahilah dalam versi Islam.
·
Tanjung, daerah Tanjung juga terdapat di
Jakarta sekarang (atau sekitar Pasar minggu,
Jakarta,). Kemungkinan di daerah mertuanya di Tanjung barat
yang berada di tepi sungai Ciliwung.
·
Ancol Kiyi. Wilayah ini juga terdapaat di Jakarta sekarang, yaitu di wilayah Ancol.
·
Wahanten Girang (Banten). Medan perang juga terjadi di
Banten. Meskipun pada awalnya Banten
dapat dipertahankan , tetapi pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama
pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dan mendirikan Kesultanan Banten yang
berafiliasi ke Demak.
·
Simpang
·
Gunung batu
·
Saung Agung, wilayah Saung Agung diyakini merupakan wilayah Wanayasa, Purwakarta
sekarang. Dan wilayah ini dapat ia pertahankan.
·
Rumbut
·
Gunung
·
Gunung Banjar
·
Padang
·
Panggaokan
·
Muntur
·
Hanum
·
Pagerwesi. Nama Pagerwesi pernah diungkapkan juga dalam Naskah Bujangga Manik.
Ketika ia berada dipincak gunung papandayan yang dikenal dengan Panenjoan. Ia
melihat pegunungan dan wilayah wilayah kekuasaan Pajajaran. Di arah selatan adalah wilayah Danuh, di
timur Karang Papak, di barat tanah Balawong, merupakan Gunung Agung, pilarnya
Pager Wesi.
·
Medang Kahiyangan. Medang Kahiyangan merupakan nama Sumedang sekarang. Sebelum menjadi nama
kerajaan Sumedang Larang, Sumedang lebih dikenal dengan nama Medang Kahiyangan.
Nama Medang Kahiyangan juga dapat ditemui dalam naskah Bujangga Manik.
Setidaknya ia 2 kali melewati Medang Kahiyangan ini.
d. Kerajaan pajajaran
setelah tahun 1926 M
Jika sebelum tahun 1526 M, wilayah Pajajaran masih tetap utuh,
kecuali Cirebon dan sekitarnya, yang telah memisahkan diri. Tetapi
setelah tahun 1526 M, beberapa wilayah sunda satu persatu wilayahnya dikuasai
oleh Cirebon dan Demak, termasuk Banten.
·
Pada tahun 1526 M, Banten direbut oleh tentara
Cirebon-Demak, di kemudian hari menjadi Kesultanan Banten.
·
Pada tahun berikutnya (1927 M), Sunda (Nusa)
Kalapa juga jatuh ke tangan Cirebon Demak, dan kemudian diganti namanya menjadi
jayakarta (sekarang jakarta), dan menjadi kerajaan dibawah kekuasaan Banten.
·
Raja Talaga, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon
tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya
Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan
Cirebon.
·
Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada
pasukan Cirebon. Salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat
sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian
diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan, karena
kuningan menjadi bagian Cirebon.
IV.B.37.
Ratu Dewata (mp. 1535-1543 M)
Prebu
Ratudé wata, inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem. Lumaku ngarajaresi. Tapa
Pwah
Susu.
Sumbé
lé han niat tinja bresih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.
Datang
na bancana musuh ganal, tambuh sangkané. Prangrang di burwan ageung.
Pejah
Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.
Hana
pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang panadita di Ciranjang
pinejahan
tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring
sagara.
Hana
sang pandita sakti hanteu dosana. Munding Rahiyang ngaraniya linabuhaken ring
sagara
tan keneng pati, hurip muwah, moksa tanpa tinggal raga teka ring duniya.
Sinaguhniya
ngaraniya Hiyang Kalingan. Nya iyatnajatna sang kawuri, haywa ta sira
kabalik
pupuasaan.
Samangkana
ta pr écinta.
Prebu
Ratudé wata, lawasniya ratu dalapan tahun, kasalapan panteg hanca dina bwana.
(Prabu Ratudeawata, enya eta nu hilang
kasawah-tampian-dalem.
Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah
Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor
ari dikumbah, disunat ku
tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana
asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang
pandita di Ciranjang dipaehan
tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di
Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang
ngaranna, digubruskeun ka sagara,
henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun
ragana di dunya.
Katelah ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta
masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api
pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh.
Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun,
kasalapanna tilar dunya.)
Prabu
Dewata buanawisesa atau kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia
naik tahta menjadi raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.
Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima
perang yang perkasa dan pemberani. Ratu
Dewata sangat alim dan taat beragama. . Ia
melakukan upacara sunatan (adat khitan sunda pra-Islam) dan melakukan tapa pwah
susu, hanya makan buah-buahan dan susu (istilah sekarang
Vegetarian).
Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa
ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah
dengan baik. Tapa brata seperti yang dilakukannya hanya boleh
dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti
yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh
penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:
”
Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka
berhati-hatilah yang kemudian, jangan engkau berpurapura rajin puasa).
Rupanya
penulis naskah ini melihat
bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani
menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek
”Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).
a. Hubungan Dengan Cirebon
dan Banten
Pada masanya perjanjian perdamaian Pajajaran
Cirebon masih berlaku. Tetapi ratu dewata lupa bahwa ia merupakan tunggul
(pimpinan) negara yang harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk beluk
dalam politik.
Sementara, Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten,
yang ikut juga dalam menandatangani perjanjian perdamaian Cirebon Pajajaran
tersebut, kurang menyetujui karena wilayah kekuasaanya berbatasan langsung
dengan Pajajaran, tetapi karena kepatuhan pada ayahnya, Sunan Gunung Jati.
Hasanuddin membuat pasukan khusus tanpa identitas
resmi, yang mampu bergerak cepat. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa
pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke ibukota
Pakuan dari musuh yang tidak dikenal asal usulnya. Ratu Dewata beruntung
masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahanya, Surawisesa,
dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, perwira ini masih mampu
menghadapi serangan musuh, disamping tangguhnya benteng Pakuan peninggalan Sri
Baduga, menyebabkan serangan banten (dan mungkin juga dari Kalapa /
Jayakarta) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. (alun-alun empang sekarang
pernah jadi rajamandala (medan pertempuran) mempertahankan sisa-sisa kebesaran Sri Baduga yang diwariskan kepada
cucu-cucunya.
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan
kota tetapi 2 orang perwira (senopati) pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu
Sangiang dan Tohaan sarendet.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu
ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat
keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, yang dalam zaman Sri
Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi negara.
IV.B.38. Prabu Sakti (mp. 1543-1551
M)
Disilihan
ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka
Péngpéléngan.
Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri
larangan
ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas
tanpa
prégé, tan bakti ring wong-atuha [44], asampé ring sang pandita.
Aja
tinut d é sang kawuri, polah sang nata.
Mangkana
Sang Prebu Ratu, carita inya.
(Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik.
Enya eta anu hilang ka
Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran
ratu lampahna cilaka ku awewe.
Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng
maehan jalma tanpa dosa,
ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot,
ngahina pandita.
Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah
kitu riwayat sang ratu teh).
Prabu Sakti menjadi Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata,
yang memerintah dari tahun 1543-1551
M.
Untuk
mengatasi yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim,
ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan
melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu
salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa
rasa malu sama sekali.
Setelah
meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.
IV.B.39. Prabu Nilakendra (mp. 1551-1567 M)
Tohaan
di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda
Sanghiyang
Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora
larangan.
Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.
Hanteu
ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu
ngayuga
sanghara, kreta, kreta.
Dopara
luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya
manggirang,
lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda
wisayaniya,
manurunaken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning
baksa
kilang.
Wong
huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan . Lawasniya ratu kampa
kalayan
pangan, ta tan agama gayan kewaliya mamangan sadirasa nu surup ka sangkan
beunghar.
Lawasniya
ratu genepwelas tahun.
(Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu
cicing di kadaton. Manehna nu
nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj
diatur mirupa taman mihapitkeun
panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas
jajar, diukir diparada
diwujudkeun rupa-rupa carita.
Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan
disebutna jaman kreta.
Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.
Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti
ka jaman kali, jaman beusi,
Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina
kasenangan, ngumbar hawa napsu.
Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya,
nya nurunkeun pertapa, incu
pateterean.
Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan
napsu. Jelema nu ngahuma
rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan.
Lila ratu ngalajur napsu dina
barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning
ngumbar kasenangan borakborak
da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.
Lilana jadi ratu genepwelas taun.)
Prabu Nilakendra atau
terkenal dengan nama Tohaan di Majaya, naik tahta sebagai penguasa
Pajajaran yang ke-5 menggantikan Prabu Sakti. Ia naik tahta
pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan
prustasi telah melanda ke segala lapisan masyarakat.
Frustasi
dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh
(banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja
dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap
poya-poya raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.
IV.B.40. Prabu Nusya Mulya (mp. 1567-1579
M)
Disilihan
ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa [46], tembey datang na prebeda.
Bwana
alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam.
Prang
ka Rajagaluh, élé h na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka
Pakwan,
prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka
Jawakapala,
él éh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh
ku Selam.
Kitu,
kawisésa ku Demak deung ti Cirebon [47], pun.
Diganti ku Nusia
Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan.
Buana lemes nyusup
ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.
Perang ka
Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan,
perang ka Galuh,
perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang ka
Jawakapala, eleh
Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeh
eleh ku urang
Islam.
Kitu nu matak
kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.
Prabu
Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang berkuasa dari
tahun.
Prabu Surya Kancana atau Prabu Raga Mulya atau dalam cerita parahiyangan di
sebut Nusya Mulya. Prabu Surya Kancana sendiri merupakan nama yang diberikan
dalam naskah Wangsakerta.
Prabu Suryakanacana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari,
Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan)
Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes
pada lereng Gunung Palasari.
IV.C.
Pusat Pemerintahan dan Daerah Kekuasaan Kerajaan Sunda
Ada 2 sumber penting
yang membicarakan tentang letak ibukota kerajaan Sunda ( kerajaan Pajajaran)
yaitu Naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 M, dan Summa
Oriental karya Tome Pires, penulis asal Portugis,
IV.C.1. Letak Ibukota
Pajajaran
IV.C.1.a. Berdasar Naskah Perjalanan Bujangga Manik
Prabu Jaya Pakuan
Dari kisah perjalanan
Bujangga Manik yang paling berharga adalah kita bisa memperkirakan dengan jelas
dimana lokasi Ibukota Pajajaran itu berada, dan juga jalan-jalan utama menuju
ibukota, baik ke wilayah timur atau ke pelabuhan (pabeyan) kelapa (jakarta
sekarang).
Dalam perjalanan pertama, setelah sang pangeran meninggalkan rumahnya di pakancilan, setelah melewati Umbul, ia kemudian sampai di Windu Cinta, aku tiba di halaman paling luar, melewati Pancawara, untuk terus pergi ke alun-alun besar, pergi ke Pakeun Caringin, aku melewatinya dengan segera. Aku pergi melewati Nangka Anak, dan datang ke Tajur Mandiri. Setelah aku tiba di Suka Beureus (sekarang Sukabirus),, aku pergi ke Tajur Nyanghalang (sekarang Tajur), turun menuju Engkih, dan menyeberangi Sungai Cihaliwung (sekarang Sungai Ciliwung).
Dalam perjalanan pertama, setelah sang pangeran meninggalkan rumahnya di pakancilan, setelah melewati Umbul, ia kemudian sampai di Windu Cinta, aku tiba di halaman paling luar, melewati Pancawara, untuk terus pergi ke alun-alun besar, pergi ke Pakeun Caringin, aku melewatinya dengan segera. Aku pergi melewati Nangka Anak, dan datang ke Tajur Mandiri. Setelah aku tiba di Suka Beureus (sekarang Sukabirus),, aku pergi ke Tajur Nyanghalang (sekarang Tajur), turun menuju Engkih, dan menyeberangi Sungai Cihaliwung (sekarang Sungai Ciliwung).
Dan perjalanan kembalinya yang pertama, setelah dari kalapa (jakarta sekarang), ia berjalan melalui Mandi Rancan, Ancol Tamiang, (sekarang Ancol), Samprok. menyeberangi Sungai Cipanas, melewati Suka Kandang, menyeberangi Sungai Cikencal, lewat Luwuk, menyeberangi Sungai Ciluwer (Sungai Ciluar), sampai di Peteuy Kuru, berjalan lewat Kandang Serang., Batur, menyeberangi Sungai Ciliwung. Sesampai di Pakuen Tubuy, melewati Pakuen Tayeum (Tayem sekarang) Setelah sampai di Batur, setiba di Pakancilan,.
Pada perjalanan kedua, Bujangga manik mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang pertama. Dari Pakancilan, dan Umbul Medang, ia pergi ke Gonggong, ke Umbul Songgol. Setelah melewati Leuwi Nutug, dan pergi dari Mulah Malik, itulah jalan ke Pasagi, jalan menuju Bala Indra, aku meninggalkan Paniis. Setelah melewati Tubuy, aku menyeberangi Sungai Cihaliwung, naik menuju Sanghiang Darah, dan sampai di Caringin Bentik.
Pada perjalanan kedua, ia tidak pulang ke rumahnya di Pakancilan, tetapi ia memilih menjadi pertapa di tempat suci Karagcarencang Hulu Sungai Cisokan Gunung Patuha.
Jadi jelaslah kita bisa menentukan lokasi dimana ibukota pajajaran berada, yaitu sekitar pakancilan, sebelah barat sungai Ciliwung, sebelah barat Nangka anak dan Tajur. atau sebelah selatan Tayeum atau Batur.
IV.C.1.b. Berdasar Catatan Tome Pires
IV.C.2. Pelabuhan
Kerajaan Pajajaran
IV.C.3. Nama Nama
Negara Bagian / wilayah di Kerajaan Sunda
Dalam Naskah
perjalanannya ke tanah Jawa dan Bali,
Bujangga Manik banyak membicarakan tempat, batas batas wilayah suatu daeah dann
nama kerajaan bawahan kerajaan sunda diataranya:
·
Galuh
·
Saunggalah
·
Karangpapak
·
Pager Wesi.
·
Danuh,
·
Majapura.
·
Pasir Batang
·
Maruyung,
·
Losari.
·
Pada Beunghar,
·
Kuningan,
·
Talaga.
·
Gunung Wangi.
·
Mandala Dipuntang
·
Sri Manggala,
·
Saung Agung.
·
Medang Kahiangan.
·
Gunung Wangi,
·
Sri Manggala.
·
Saung Agung.,
·
Hujung Barat.
·
Gunung Anten.
·
Batu Hiang.
·
Kurung Batu.
·
Sajra,
·
Catih Hiang.
·
Demaraja, ,
·
Tegal Lubu,,
·
Bojong Wangi.
·
Kujang Jaya.
·
Karangiang,
·
Karang.
·
Rawa.
·
Labuhan Batu.
·
Wanten.
Dalam naskah Bujangga Manik tersebut diterangkan juga
pebatasannya atau pilar atau penopangnya dari setiap wilayah itu.
·
Pager Wesi (penopangnya: Gunung Agung),
·
Majapura. (penopangnya Gunung Patuha,
·
Pasir Batang.
( penopangnya Gunung Pamrehan
·
Maruyung, (
penopangnya Gunung Kumbang)
·
Losari
·
Pada Beunghar,
(penopangnya: Gunung Ceremay)
·
Kuningan,
·
Talaga (Walang
Suji)
·
Medang Kahiangan. (penopangnya: Gunung Tampo
Omas
·
Gunung Wangi, (penopangnya: Gunung Tangkuban Parahu,
·
Sri Manggala. (penopangnya: Gunung Marucung,
·
Saung Agung. (penopangnya: Gunung Burangrang,
·
Hujung Barat. (penopangnya: Gunung Burung Jawa,
·
Gunung Anten. (penopangnya: Gunung Bulistir,
·
Batu Hiang. (penopangnya: Gunung Nagarati,
·
Kurung Batu. (penopangnya: Gunung Barang,
·
Sajra, (penopangnya: Gunung Banasraya,
·
Catih Hiang. (penopangnya: Gunung Catih,
·
Demaraja, (penopangnya: Gunung Hulu Munding,
·
Tegal Lubu,, (penopangnya: Gunung
Parasi,
·
Bojong Wangi. (penopangnya: batas Mener
·
Kujang Jaya. (penopangnya: Gunung Hijur,
·
Karangiang, (penopangnya: Gunung Sunda,
·
Karang. (penopangnya: Gunung Karang,
·
Rawa. (penopangnya: Gunung Cinta Manik,
·
Labuhan Batu. (penopangnya: Gunung
Kembang,
·
Wanten(penopangnya:. Panyawung,
Dengan demikian
Bujangga Manik cukup akurat menceritaan wilayah wilayah yang ada di kerajaan
Sunda secara global.
IV.C.3.a. Profil Kerajaan bagian atau wilayah Kerajaan Sunda
Telah dibahas
sebelumnya, bahwa Bujangga manik telah memberikan info awal tentang wilayah
wilayah yang ada di kerajaan Sunda. Meskipun tidak terlalu mendetail, tetapi
infonya begitu berharga untuk penelusuaran sejarah sunda ke depan. Karena
hingga kini belum ada data yang detail tentang penguasa pada wilayah wilayah
tersebut. Jadi suatu kesempatan emas kaum muda sunda untuk menyelidikinya.
IV.C.3.a.1. Mandala Puntang
Ngalalar ka Timbang Jaya,
datang ka Bukit Cikuray,
nyanglandeuh aing ti inya,
datang ka Mandala Puntang.
(Berjalan melewati Timbang
Jaya,
pergi ke Gunung Cikuray,
seturunku dari sana,
pergi ke Mandala Puntang)
Dari kisah
perjalanannya, Bujangga Manik berjalan dari Timbang jaya, melewati Gunung
CiKuray. Gunung Cikuray adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Garut,
Gunung Cikurai mempunyai ketinggian 2.841 meter di atas permukaan laut dan
merupakan gunung tertinggi keempat di tatar Sunda setelah Gunung Gede. (Gunung
ini sekarang berada di perbatasan kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh
Manggun).
Bujangga Manik ketika
turun dari gunung Cikuray, ia pergi ke Mandala Puntang. Mandala Puntang adalah
suatu kerajaan bagian dari kerajaan Sunda yang diperkirakan sekarang ada di
Panembong Bayongbong Garut. Dan nantinya diperkirakan menjadi cikal bakal
kerajaan Timbanganten.
Raja terakhir Kerajaan
Mandala Dipuntang, Prabu Derma Kingkin memindahkan pusat kerajaan dari
Panembong ke daerah Timbanganten (daerah yang sekarang disebut Tarogong).
Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, kemudian Derma Kingkin
mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan Timbanganten.
Sunan Derma Kingkin
memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda
Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum
di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di
Pagaden Subang.
Timbanganten nantinya
termasuk wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, dengan ibukota di Tegal luar.
Sejak pertengahan Abad ke-15 M, Kerajaan Timbanganten diperintah secara
turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa
pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas,
mencakup sebagian besar tatar sunda, terdiri dari sembilan daerah yang disebut
“Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan
Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat serangan Pasukan Banten dalam
usaha menyearkan Agama Islam, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan
Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran.
IV.C.3.a.2. Wilayah
Danuh
Setelah menanjak ke Gunung Papandayan,
yang juga dipanggil Panenjoan,
aku melihat pegunungan dari sana,
jajaran (?) pemukiman di mana-mana,
semua desa, semua pemukiman,
peninggalan Nusia Larang yang mulia.
Aku melihat mereka satu per satu.
Di arah selatan adalah wilayah Danuh,
di timur Karang
Papak,
Setelah Bujangga Manik
naik ke Gunung Papandayan, yang ia sebut dengan Panenjoan (tempat penglihatan).
Ia melihat satu persatu wilayah kekuasaan Pajajaran, Ke aeah Selatan
wilayah Danuh,di timur karang papak, dan di barat balawong yang merupakan
wilayah Pager Wesi.
Gunung Papandayan
adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut,, tepatnya di
Kecamatan Cisurupan. Gunung mempunyai ketinggian 2665 meter di atas
permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota
Bandung.Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat
tebing yang terjal.
Di Gunung Papandayan,
terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru,
Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari
sisi dalamnya.
e. Wilayah Pager Wesi
di barat tanah Balawong,
merupakan Gunung
Agung,
pilarnya Pager
Wesi.
f. Majapura
Itu Gunung Patuha,
penopang Majapura.
Bujangga manik
mengungkapkan bahwa Gunung Patuha merupakan pilar/ perbatasan wilayah
Majapura.
Gunung Patuha
merupakan sebuah gunung yang terdapat di sekitar Bandung Selatan.
Tingginya 2.386 meter. Gunung patuha memiliki kawah yang sangat eksotik,
yaitu kawah putih. Kawah yang terbentuk dari letusan gunung patuha itu memiliki
dinding kawah dan air yang berwarna putih, .yang sekarang dijadikan obyek wisata.
g. Pasir Batang
Itu Gunung Pamrehan,
penopang Pasir
Batang.
h. Wilayah Maruyung
dan Wilayah Losari
Itu Gunung Kumbang,
pilarnya Maruyung,
ke arah utara wilayah Losari.
Bujangga Manik mengatakan bahwa Gunung Kumbang merupakan tapal batas Maruyung, ke arah utaranya wilayah Losari.
i. Pada Beunghar, Wilayah Kuningan, Wilayah Talaga
Itu Gunung Ceremay,
pilarnya Pada Beunghar,
di selatan wilayah Kuningan,
ke baratnya Walang Suji,
di situlah wilayah Talaga.
Menurut Bujangga
manik, Gunung Ciiremay merupakan pilar / perbatasan Pada Beunghar. Diselatannya
merupakan wilayah Kuningan, dan di baratnya Walang Suji yang merupakan wilayah
Talaga.
Gunung Ceremai
adalah gunung berapi kerucut yang secara administratif termasuk dalam
wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan
Kabupaten Majalengka, . Gunung ini merupakan yang tertinggi di tatar Sunda,
dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki
kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang
beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat
bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Nama gunung ini berasal dari
kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan
rada masam),
Jad menurut Bujangga
manik di sekitar Gunung Cereme itu ada 3 negara, yaitu: Pada Beunghar, Kuningan
dan Talaga. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama Cirebon, yang mungkin
waktu itu belum begitu dikenal.
j. Kerajaan Pada beunghar
Belum ada yang
mencatat tentang sejarah Padabeunghar ini. Padahal Bujangga manik telah
mengatakan bahwa Gunung Ciremay merupakan pilar (tapal batas) Padabeunghar.
Kemungkinan Padabeunghar ini terletak di desa Padabeunghar yang merupakan nama
sebuah desa yang terletak di kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan.
Nama Padabeunghar ini
juga sekarang dapat ditemui di suatu desa di Sukabumi, yaitu desa
Padabeunghar, sebuah desa yang terletak di kecamatan Jampang Tengah,
Kabupaten Sukabumi.
Para peneliti masih
kebingungan dengan Padabeunghar ini, apakah hanya merupakan ibukota atau nama kerajaannya
juga. Ada yang mengaitkan bahwa Padabeunghar di era Bujangga Manik sama dengan
Rajagaluh sekarang. Mengingat pada arti pada artinya kaki gunung, dan beunghar
artinya kaya atau sugih-mukti. hal itu mirip dengan loh jinawi (loh =
tanah, jinawi = subur-makmur). Dengan demikian Raja artinya yang menguasai,
galuh artinya permata; rajagaluh sama artinya dengan yang banyak
mempunyai permata, alias kaya.
Seidaknya ada 2
kali Bujaangga Manik berbicara tentang Padabeunghar ini, sebelumnya
ketika setelah dari Saunggalah perjalananya ke barat ia melewati
Padabeunghar.
Sesampai di Saung Galah
Sesampai di Saung Galah
berangkatlah aku dari sana
ditelusuri Saung Galah
Gunung Galunggung di belakang saya
melewati Panggarangan
melalui Pada Beunghar
Pamipiran ada di belakangku.
k. Kerajaan Kuningan
Kerajaan Kuningan
merupakan salah satu kerajaan tua di tatar sunda. Tidak diketahui kapan
kerajaan ini didirikan, yang pasti awalnya kerajaan ini merupakan bawahan
keresian Galunggung, Penguasanya, Pandawa atau Wiragati (671-723 M), mempunyai
putri yang bernama Sangkari., menikah dengan Demunawan, putera kedua dari
Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, resiguru dari Galunggung, putra dari
pendiri galuh, Wretikandayun. Setelah Pandawa menjadi resiguru di Layuwatang
atas permntaan Sempak Waja, maka kekuasaan kerajaan jatuh ke menantunya,
Demunawan.
Masa Demunawan (723 - 774)
Resi Demunawan
mendirikan ibukota baru Kerajaan Kuningan, tepatnya di Arile atau Saung
Galah. Dengan demikian pada periode ini, Kerajaan Kuningan dikenal juga dengan
sebutan Kerajaan Saung Galah. Lokasi keraton Saung Galah berada di lereng
Gunung Ciremai bagian selatan (sekarang Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan
Kadugede, Kabupaten Kuningan). Dengan didirikan ibukota baru, Sempakwaja (raja
Galunggung), menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan
bawahannya kepada Demunawan dengan maksud untuk menandingi Kerajaan Galuh.
Demunawan juga dikenal
dengan beberapa sebutan, yaitu Seuweukarma, dan Rahiyangtang Kuku / Sang Kuku.
Sebagai seorang Resiguru, Demunawan memiliki daerah pengaruh yang luas dan
dapat dijadikan andalan kekuatan politik. Daerah kekuasaannya meliputi
Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasea, Kahauripan, Sumajajah, Pasugihan,
Padurungan, Darongdong, Pagergunung, Muladarma, Batutihang, bahkan melakukan
ekspansi dengan menyeberang sampai negeri Melayu.
Demunawan menganut
ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang
Dharma(ajaran Kitab Suci), serta Sanghiyang Riksa (sepuluh
pedoman hidup).
Dibawah pimpinannya
masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tenteram. Secara tidak
langsung, kekuasaan besar Demunawan di Kuningan telah menandingi kebesaran
Kerajaan Galuh (atas pengaruh kerajaan Sunda) yang saat itu dipegang oleh
Premana Dikusuma.
Perang saudara antara
sesama keturunan Wretikandayun terjadi kembali pada tahun 739 M. Antara
Sonjaya yang membantu Hariang Banga dan Manarah (Ciung Wanara). Perang
menelan banyak korban jiwa.. Dalam keadaan demikian Demunawan turun dari
Saung Galah untuk meredakan peperangan. Dengan wibawanya yang besar serta
dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan berhasil menghentikan
pertempuran dengan jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk
berunding di keraton Galuh pada tahun 739 M.
Resi Demunawan pada
tahun 774 M, Resiguru Demunawan meninggal pada usia 128 tahun. Setelahnya
seolah kerajaan Kuningan hilang ditelan zaman, belum diketahui siapa
penerusnya. Dan sejarah Kuningan baru mulai terkenal lagi ketika Saung Galah mulai
dijadikan ibukota pemerintahan Kerajaan Sunda pada masa Prabu Sanghiyang Ageung
(Raja Sunda ke-19) berkuasa pada tahun 1019.
Mulai periode
tersebut, hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kuningan memang sangat erat,
Raja yang memerintah di Sunda sebelumnya pernah menjabat sebagai Raja Kuningan.
Rakeyan Darmasiksa
(1163-1175 M),
Pada tahun 1163
riwayat Kerajaan Kuningan secara otonom, muncul kembali dalam data sejarah.
Adalah Raja Sunda, Rakeyan Darmasiksa (1163-1175 M), yang merupakan putra raja
sunda ke-24, Prabu Darmakusuma, menikah putri raja Kuningan. Dari pernikahannya
itu, Rakeyan Darmasiksa dikaruniai seorang putra yang bernama Rajapurana, yang
lahir pada tahun 1168. Kekuasaan Rakeyan Darmariksa sebagai Raja Kuningan
berakhir, dikarenakan Sang Raja diangkat menjadi Raja Sunda ke-25 yang bertahta
di Pakuan menggantikan ayahnya yang wafat.
Prabu Ragasuci (1175
–1297)
Prabu Ragasuci
merupakan anak dari Rakeyan Darmasiksa dari istrinya yang ke-2. ketika ayahnya
menjadi Raja Sunda di Pakuan, Prabu Ragasuci ditugaskan untuk tetap berada di
Saung Galah sambil menjaga kabuyutan. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat
menjadi raja Sunda tetapi tetap memilih Saung Galah sebagai pusat pemerintahan.
Kedekatan antara
Kerajaan Sunda dengan Kuningan kemungkinan besar pada perkembangan selanjutnya
menjadikan Kuningan dan Sunda melebur menjadi satu nama yaitu Kerajaan Sunda.
Baru pada sekitar abad ke-15, muncul lagi kisah yang menceritakan perkembangan
wilayah ini secara otonom.
Ratu Selawati
(sekitar abad ke-15)
Ratu Selawati adalah
cucu dari Sribaduga Maharaja Prabu Jayadewata. Pada masa kekuasaan Ratu
Selawati, penduduk wilayah Kuningan sudah banyak yang masuk agama Islam.
Keadaan ini merupakan pengaruh dari daerah tetangganya yaitu Cirebon. Selain
itu, di wilayah Sidapurna (wilayah bawahan Kuningan) telah berdiri pondok
pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Bayanullah. Perkembangan Islam semakin
pesat setelah Ratu Selawati di Islam-kan oleh Raden Walangsungsang. Setelah
menjadi muslimah, beliau kemudian menikah dengan Maulana Arifin (putera dari
Syekh Bayanullah). Rantai sejarah kembali terputus hingga kembali diceritakan
mengenai terbentuknya sebuah daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kota
Kuningan.
l. Kerajaan Talaga
Bujangga Manik
mengatakan Walangsuji merupakan wilayah Kerajaan Talaga. Walangsuji diyakini
merupakan ibukota dari kerajaan Talaga.
Kerajaan Talaga
didirikan oleh Prabu Talaga manggung. Setelahnya, anaknya yang menggantikannya,
yang bernama Ratu Simbarkancana, kemudian Kerajaan Talaga dipegang oleh
putera pertamanya yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah
Sunan Parung meninggal, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puterinya
yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat
julukan Ratu Parung.. Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden
Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden
Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu
Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi
Sunyalarang inilah pusat kerajaan tidak lagi di walangsuji, tetapi
dipindahkan ke Parung.
j. Medang Kahiangan (Sumedang sekarang)
Itu Gunung Tampo Omas,
di wilayah Medang Kahiangan.
Setidaknya Bujangga manik melewati Medang kahiyangan 3 kali dalam perjalananya ke wilayah timur, yaitu pada keberangkatan perjalanan pertama, keberangkatan perjalanan kedua dan sekmbali dari perlanan yang kedua, Medang Kahiangan adalah wilayah sumedang sekarang ini, atau dikemudian hari terkenal dengan kerajaan Sumedang Larang. yang mewarisi kekuasaan wilayah Pajajaran, ketika pajajjarann burak / runtuh. Bujangga Manik belum menyebut nama Sumedang Larang tetapi masih nama Medang Kahiyangan.
Satu-satunya gunung besar yang ada di Medang kahiyangan adalah Gunung Tampomas (gunung Tompo Emas) yang mempunyai ketinggian 1.684 diatas permukaan laut.
k. Wilayah Gunung Wangi
Itu Gunung Tangkuban Parahu,
pilarnya Gunung Wangi.
Menurut Bujangga
Manik, Gunung Tangkuban Parahu merupakan pilar atau perbatasannya wilayah
Gunung Wangi.
Gunung Tangkuban
Perahu berada di kabupaten bandung dan juga Subang. Gunung Tangkuban Parahu
mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter dan termasuk gunung api aktif..
Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang
dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat
anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat
perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang
perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang
kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
l. Wilayah Sri Manggala
Itu Gunung Marucung,
pilarnya Sri Manggala.
m. Wilayah Saung Agung
itu Gunung Burangrang,
pilar dari Saung Agung.
Gunung Burangrang
merupakan sebuah gunung api mati, ditataran Sunda yang mempunyai
ketinggian setinggi 2.064 meter. Gunung ini merupakan salah-satu sisa dari
hasil letusan besar Gunung Sunda di Zaman Prasejarah. Gunung Burangrang
bersebelahan dengan Gunung Sunda.
Dikatakan oleh
Bujangga Manik bahwa Gunung Burangrang, merupakan pilar perbatasan/ tapal batas
wilayah Saung Agung. Di kaki Gunung Burangrang, yaitu daerah wanayasa
sekarang diyakini dulunya merupakan sebuah kerajaan yang dinamakan Saung Agung.
Wanayasa adalah
sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan sekian juta tahun yang lalu berada
di kaki Gunung Sunda. Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan
tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu juga,
melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian
selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di
bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini
dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat
setempat sebagai pangparatan Situ Wanayasa.
Wanayasa berasal dari
kata “wana” dan “yasa” yang berarti hutan yang sangat lebat. Pada zaman
Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain
Carita Parahiyangan di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan
Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di
Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu
(perlu penyelidikan)
.Kerajaan Saung Agung
merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh
Kerajaan Cirebon .Pada tahun 1530, bagian utara Tatar Sunda yang berbatasan
dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan
Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, kemudian
diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari
Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang
berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang
terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka, dan Indramayu).
Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih, Ciracas (di Cirebon Caracas,
sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur,
Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered, Palumbon
(di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.
Di bidang
pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan
ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama
Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang
dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur
Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah
menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon
termasuk di dalamnya.
Wilayah Hujung Barat
Itu Gunung Burung Jawa,
pilarnya Hujung Barat.
Wilayah Gunung Anten
Itu Gunung Bulistir,
pilarnya Gunung Anten.
Wilayah Batu
Hiang
Itu Gunung Nagarati,
pilarnya Batu Hiang.
Wilayah Kurung Batu
Itu Gunung Barang,
pilarnya wilayah Kurung Batu.
Wilayah Sajra
Itu Gunung Banasraya,
pilarnya wilayah Sajra,
ke barat Gunung Kosala
Wilayah Catih Hiang.
Itu Gunung Catih,
pilarnya Catih Hiang.
Wilayah Demaraja, Tegal Lubu, Sinday.
Itu Gunung Hulu Munding,
pilarnya Demaraja,
ke barat Gunung Parasi,
pilarnya Tegal Lubu,
ke timurnya Sedanura,
yang menghadap wilayah Sinday.
Wilayah Rumbia.
Ini Gunung Kembang,
tempat segala macam pertapa,
ti kidulna alas Maja,
eta na alas Rumbia.
(ke selatannya wilayah Maja,
yang merupakan wilayah Rumbia.
ti kidulna alas Maja,
eta na alas Rumbia.
(ke selatannya wilayah Maja,
yang merupakan wilayah Rumbia.)
Wilayah Bojong Wangi.
Ti baratna wates Mener,
ta(ng)geranna Bojong Wangi.
(Ke baratnya batas Mener,
pilarnya Bojong Wangi.)
Wilayah Kujang Jaya.
Itu ta na Gunung Hijur,
ta(ng)geranna Kujar Jaya.
(Itu Gunung Hijur,
pilarnya Kujang Jaya.)
Wilayah Karangiang
Itu ta na Gunung Su(n)da,
ta(ng)geran na Karangkiang.
(Itu Gunung Sunda,
pilarnya Karangiang)
Wilayah Karang.
Itu ta na bukit Karang,
ta(ng)geran na alas Karang.
(Itu Gunung Karang,
pilarnya wilayah Karang.)
Wilayah Rawa.
Itu Gunung Cinta Manik,
ta(ng)geran na alas Rawa.
(Itu Gunung Cinta Manik,
pilarnya wilayah Rawa.)
Wilayah Labuhan Batu.
itu ta na Gunung Kembang
ta(ng)geran Labuhan Ratu.
(Itu
Gunung Kembang,
pilarnya
Labuhan Batu.)
Wilayah Wanten
Ti kaler alas Panyawung,
ta(ng)geran na alas Wa(n)ten.
Ke arah utara wilayah Panyawung,
pilar dari wilayah Wanten.
(lanjut)
By Adeng Lukmantara
Sumber: Dari berbagai Sumber Internet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar